Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KASUS UROLOGI

Disusun Oleh :
Adrian Prasetya Sudjono/ 07120120010

Pembimbing :
dr. Emil Dinar, SpU

Kepaniteran Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Marinir Cilandak
Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Periode Desember 2017 – Februari 2018
DKI Jakarta
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. T
Umur : 15 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Pondok Labu
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal masuk : 27 Desember 2017

II. DATA DASAR

Primary survey
A : Adekuat
B : RR : 21 x /menit
C : TD : 130/70 mmHg, N : 93x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup, akral hangat,
CRT < 2s
D : GCS 15 (E4M6V5), Pupil isokor 3mm/3mm
E : Suhu : 36,60C, Didapatkan jejas pada kaki sebelah kanan.
Secondary survey

A. Data Subyektif
Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Jumat, 29 Desember 2017 di
bangsal Bougenville, Rumah Sakit Marinir Cilandak.
1. Keluhan Utama
Nyeri pada jari tengah kaki sebelah kanan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Marinir Cilandak dengan keluhan nyeri pada jari tengah
kaki sebelah kanan ±1 hari yang lalu. Nyeri dirasakan terus- menerus. Nyeri
dirasakan bertambah bila kaki digerakkan. Pasien mengatakan saat kejadian pasien
sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan >60 km/jam, lalu pasien terjatuh
ketika rem mendadak. Pasien tidak mengeluh mual, muntah, pusing, maupun pingsan
setelah kejadian tersebut.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma, hipertensi, stroke, penyakit jantung, dan diabetes mellitus disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat hipertensi, stroke, penyakit jantung, dan diabetes mellitus dalam keluarga
disangkal.
5. Riwayat Pengobatan
Pasien menyangkal mengkonsumsi obat maupun dalam tahap pengobatan
6. Riwayat Sosial
Pasien mengaku tidak merokok dan minum minuman beralkohol.
7. Riwayat kebiasaan
Pasien makan 2x sehari, diet cukup variatif.
8. Riwayat alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat-obatan.

B. Data Obyektif
Status Generalis :
Keadaan umum = Baik
Kesadaran = Compos Mentis
Tanda-tanda Vital :
Tekanan darah = 130/70 mmHg
Frekuensi Nadi = 93x/menit, reguler
Frekuensi Nafas = 21x/menit
Suhu tubuh = 36,6oC
Berat Badan = 57 kg
Tinggi Badan = 150 cm
BMI = 25,3 kg/m2 (Normal)
Kepala : Normocephal
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Bentuk normal, serumen -/-
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa basah
Gusi berdarah (-), lidah kotor (-)
Tonsil tidak membesar (T1-T2) tenang
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Leher : Kelenjar tyroid tidak teraba membesar
Kelenjar getah bening tidak teraba membesar
Thorax : Simetris saat statis dan dinamis
Pulmo : I= normochest, retraksi -/-, sela iga tidak melebar
P= fremitus taktil vokal hemithorak kanan = kiri
P= sonor pada seluruh lapang paru
A= suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : I= tidak tampak iktus cordis
P= iktus cordis teraba
P= batas pinggang jantung ICS III LPSS
batas kiri jantung ICS V LMCS
batas kanan jantung ICS IV linea sternalis dextra
A= BJ I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : I = datar, jaringan parut (-)
A = bising usus (+) normal
P = timpani
P = supel, defans muskuler (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien
tidak teraba membesar

Ekstremitas Superior Inferior

Akral dingin -/- -/-


Sianosis -/- -/-
Edema -/- -/-
Sensibilitas +/+ +/+
Motorik:
Gerak +/+ +/+
Kekuatan 5/5 5/5

2
Status lokalis :
 Regio Pedis Dextra
Look : deformitas digiti III (+), vulnus laceratum pada dorsum pedis.
Feel : nyeri tekan digiti III (+), krepitasi (+), pulsasi arteri radialis (+), akral
hangat (+), sensasi (-), capp refill (< 2’),
Move : Keterbatasan pergerakan fleksi dan extensi pada digiti III

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen : pedis dextra et sinistra (27 Desember 2017)

 Tampak diskontinuitas phalanx proximal digiti III


 Aposisi dan alignment tak baik
 Struktur tulang baik
Kesan : fraktur phalanx proksimal digiti III pedis dextra
D. RESUME
Pasien pria berusia 15 tahun, datang ke IGD RS Marinir Cilandak dengan keluhan
nyeri pada jari tengah kaki sebelah kanan ±1 hari yang lalu. Nyeri dirasakan terus-
menerus. Nyeri dirasakan bertambah bila kaki digerakkan. Pasien mengatakan saat
kejadian pasien sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan >60 km/jam,
lalu pasien terjatuh ketika rem mendadak. Pasien tidak mengeluh mual, muntah,
pusing, maupun pingsan setelah kejadian tersebut. Pada pemeriksaan fisik tampak
jejas pada kaki kanan, deformitas digiti III (+), vulnus laceratum pada dorsum pedis,
dengan nyeri tekan digiti III (+), krepitasi (+), dan keterbatasan pergerakan
dorsofleksi dan dorsoextensi pada digiti III. Pada pemeriksaan penunjang berupa
rontgen pedis dextra et sinistra tampak diskontinuitas phalanx proximal digiti III,
aposisi dan alignment tak baik, dengan kesimpulan fraktur phalanx proksimal digiti
III pedis dextra

E. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Berdasarkan : 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Kerja : Open fracture digiti III pedis dextra grade II

F. PENATALAKSANAAN
Tata Laksana Awal :
- RL 20 tpm
- Anti Tetanus Serum 0,5 ml Inj
- Ceftriaxon 2x1 gr IV
- Ketorolac 2x1 amp IV
Invasif :
- Debridement

G. PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad sanam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan
tulang patah dapat berupa trauma langsung maupun tidak langsung, misalnya jatuh
bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.

Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya.
Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan
tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka.
Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang
disertai luka di sendi yang disebut fraktur dislokasi.

B. KLASIFIKASI

Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar
dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika
kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus
maka disebut fraktur terbuka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang
ditentukan oleh berat ringannya luka dan berta ringannya patah tulang.

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )

Tipe Batasan
I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka,
trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di
pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan fraktur yang lebih dari 8 jam
setelah kejadian.
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo,
Mendoza dan Williams (1984):

Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping
atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.

Menurut Penyebab terjadinya

- Faktur Traumatik : direct atau indirect


- Fraktur Fatik atau Stress
- Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan
- Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan

Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya

- Fraktur Simple : fraktur tertutup


- Fraktur Terbuka : bone expose
- Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera

Menurut Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995 : 238-239)
fraktur diklasifikasikan menjadi :
1. Berdasarkan garis patah tulang

- Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya
bengkok.
- Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.
- Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
- Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi
tulang

2. Berdasarkan bentuk patah tulang

- Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan
fragmen tulang biasanya tergeser.
- Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
- Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan
tulang lain.
- Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
- Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa
bagian.
- Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
- Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan
dari tempat yang patah.
- Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya
yang normal.
- Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang
terlihat.
C. ETIOLOGI

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang kekuatannya melebihi kekuatan tulang.
Terdapat 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur :

 Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
 Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan, dan densitas tulang.

D. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :

1. Nyeri
Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen
tulang tidak bisa digerakkan.
2. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung
menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur
karena fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang
tersebut saling berdekatan.
3. Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang diketahui
ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
4. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas
yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah lokasi
fraktur.
5. Krepitasi
Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur digerakkan.
6. Bengkak dan perubahan warna
Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

E. DIAGNOSIS

Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau
fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia
konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi / Look
 Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak
 Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo
 Palpasi / Feel ( nyeri tekan, Krepitasi, CRT)
b. Gerakan / Moving
c. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-


test, dan urinalisa.
b. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
- 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
- Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur

Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :

1. Alignment : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut


2. Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening)
3. Aposisi : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
4. Rotasi : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal

F. TATA LAKSANA

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition, reduction, retention,


dan rehabilitation. Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi
fraktur dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa
baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple
trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah
hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah
dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.

Tujuan pengobatan fraktur :

a. REPOSISI
Teknik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau traksi kulit dan skeletal.
b. IMOBILISASI / FIKSASI
Mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union. Indikasi
dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstabel serta
kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar.
Jenis Fiksasi :
Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
 Gips ( plester cast)
 Traksi Jenis traksi :
1. Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
2. Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen
akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila
kelebihan kulit akan lepas
3. Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
 Indikasi OREF :
i. Fraktur terbuka derajat III
ii. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luar
iii. Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
iv. Fraktur Kominutif
v. Fraktur Pelvis
vi. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
vii. Non Union
viii. Trauma multiple

Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

 Indikasi ORIF :

1. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi,
misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.
2. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse
dan fraktur dislokasi.
3. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya
fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur
pergelangan kaki.
4. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih
baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur.

c. UNION
d. REHABILITASI

G. PENYEMBUHAN FRAKTUR
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :
1. Fase hematoma

Bila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang
melewati kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah
fraktur dan akan membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma
yang besar diliputi oleh periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat
mengalami robekan akibat tekanan hematoma yang terjadi sehingga dapat
terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak. Osteosit dengan lakunanya
yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan kehilangan darah dan
mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang yang mati
pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.

2. Fase proliferasi

Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan. Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik
yang berproliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada
daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktifitas seluler dalam
kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat pada periosteum, maka
penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang tidak
berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan
fraktur ini terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi
pertumbuhan yang cepat pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari
tumor ganas. Pembentukan jaringan seluler tidak terbentuk dari organisasi
pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah beberapa minggu, kalus
dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan osteogenik.
Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radiolusen.

3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)

Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel
dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk
tulang rawan. Tempat osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan
perlengketan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang
yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone. Pada pemeriksaan
radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan merupakan indikasi
radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.

4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)

Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.

5. Fase remodeling

Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang
menyerupai bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada
fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap
terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan
menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi
sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk
membentuk ruang sumsum.
H. KOMPLIKASI FRAKTUR

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan
fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik, diantara lain :

a. Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan.
b. Emboli lemak
c. trombosis vena dalam (DVT)
d. tetanus atau gas gangren

Komplikasi dini (1 minggu pasca trauma)

 Pada Tulang : Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.


 Pada Jaringan lunak : Lepuh, dekubitus.
 Pada Otot : sindroma crush atau trombus
 Pada pembuluh darah : Sindroma kompartemen dengan gejala klinis, 5 P yaitu
Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis. Terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas
maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya.
 Pada saraf : kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson).

Komplikasi lanjut

 Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada
pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung
fraktur, Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi.
Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)

 Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur
dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai
potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.

Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat
jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi
cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

 Malunion

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan


deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, A.Graham. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem APLEY. Ed.7. Jakarta :
Widya Medika.1995
2. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.
3. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT. Yarsif Watampone.
2007
4. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.2004.
5. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6. Jakarta :
EGC.2000.
6. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.

Anda mungkin juga menyukai