Pembimbing :
Disusun oleh :
PENDAHULUAN
Abses paru adalah nekrosis jaringan paru dan pembentukan rongga yang berisi sebukan
nekrotik atau cairan yang disebabkan oleh infeksi mikroba. Bila diameterkavitas < 2 cm dan
jumlahnya banyak (multiple small abscesses) dinamakan “necrotising pneumonia”. Abses besar
atau abses kecil mempunyai manifestasi klinik berbeda namun mempunyai predisposisi yang
sama dan prinsip diferensial diagnose sama pula. Abses timbul karena aspirasi benda terinfeksi,
penurunan mekanisme pertahanan tubuh atau virulensi kuman yang tinggi. Pada umumnya kasus
abses paru ini berhubungan dengan karies gigi, epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru
sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol.
Pada negara-negara maju jarang dijumpai kecuali penderita dengan gangguan respons
imun seperti penyalahgunaan obat, penyakit sistemik atau komplikasi dari pasca obstruksi. Pada
beberapa studi didapatkan bahwa kuman aerob maupun anaerob dari koloni oropharing sering
menjadi penyebab abses paru. Kesalahan dalam diagnosis dan pengobatan abses paru-paru akan
memperburuk kondisi klinis. Penelitian pada penderita Abses paru nosokomial ditemukan kuman
aerobseperti golongan enterobacteriaceae yang terbanyak. Sedangkan penelitian dengan teknik
biopsi perkutan atau aspirasi transtrakeal ditemukan terbanyak adalah kuman anaerob.
Abses paru dapat disebabkan karena penyakit Bronkiektasis yaitu kelainan bronkus
dimana terjadi pelebaran atau dilatasi bronkus dan bersifat permanen karena kerusakan struktur
dinding. Bronkiektasis merupakan kelainan saluran pernafasan yang sering kali tidak berdiri
sendiri, akan tetapi bagian dari suatu sindrom atau sebagai akibat dari penyulit dari kelianan paru
yang lain misalnya PPOK.
Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular
yang menjadi mesalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor
penjamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK; semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar
ruangan dan di tempat kerja (PDPI, 2011). Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD), PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas
yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas yang
berbahaya.
PPOK merupakan salah satu penyebab gangguan pernafasan yang semakin sering
dijumpai. Salah satu dampak negatif PPOK adalah penurunan kualitas hidup pasiennya. Hal ini
dikarenakan PPOK penyakit paru kronik, progresif yang tidak sepenuhnya reversible. Salah satu
gejala PPOK yaitu sesak nafas, akibat sesak nafas yang sering terjadi penderita menjadi panik,
cemas dan frustasi sehingga penderita mengurangi aktifitas untuk menghindari sesak nafas yang
menyebabkan penderita tidak aktif. Penderita akan jatuh dalam dekondisi fisik yaitu keadaan
merugikan akibat aktifitas yang rendah dan dapat mempengaruhi sistem muskuloskletal,
respirasi, kardiovaskular dan lainnya. Kemampuan penderita untuk aktivitas fisik juga menurun.
Keadaan ini menyebabkan kapasitas fungsional menurun sehingga kualitas hidup juga menurun.
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp. S
Umur : 54 tahun
Pekerjaan : Buruh
Suku : Sunda
Agama : Islam
PRIMARY SURVEY
1. Airway :
Pasien tampak sesak
2. Breathing :
Laju napas : 28 x/menit
Pasien tampak menggunakan otot-otot bantu pernapasan
3. Circulation :
Laju nadi : 104 x/menit
Suhu : 36,7 0C
4. Disability :
Compos Mentis, GCS 15 (E4M6V5)
5. Exposure :
Pasien menggunakan pakaian sesuai usia.
ANAMNESIS :
Keluhan Utama
Sesak Nafas
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak rutin kontrol untuk penyakitnya.
Riwayat Lifestyle
Pasien merokok 1 bungkus lebih per hari.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis : CM / E4V5M6
Tanda Vital :
• TD : 160/100 mmHg
• Nadi : 104 x / menit, reguler, kuat, isi cukup
• Pernafasan : 28x / menit,
• Suhu : 36,7 oC
• Saturasi : 88% 96% dengan nasal canul 3L
• BB/TB : 40 kg / 165 cm
Status Lokalis
• Kepala : Normocephal
• Telinga : Normotia, nyeri tekan (-/-), serumen (-/-), pendengaran baik
• Mata : Pupil bulat isokor, Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-),
• Mulut : Bibir kering (-), stomatitis (-), faring hiperemis (-), T1/T1
• Leher : Benjolan (-)
• Jantung : Bunyi jantung s1 – s2 murni reguler, murmur (-), gallop (-)
• Paru : VBS ka menurun – ki (+) , rhonki (+/+), wheezing (-/-)
• Abdomen : Supel, BU(+) normal, NT (-)
• Ekstremitas : Akral hangat, crt < 2 detik, edema -/-
• Kulit : dbn
• Genitalia : dbn
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi Rutin
Leukosit 14.700 /mm3
Hematokrit 41 %
Trombosit 331.000 /mm3
Hemoglobin 13,2 g/dL
Jumlah Eritrosit 4,2 juta/mm3
MCV 100,4
MCH 30,9
GDS 109 mg/dL
Ureum 28
Kreatinin 0,94
SGOT 19
SGPT 50
Rontgen Thorax :
Gambaran :
EKG :
DIAGNOSIS AWAL
TATALAKSANA
PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
FOLLOW UP RUANGAN
O KU: CM
TD : 110/60
N : 92x/menit
R : 24x/m
S: 36.1 oC
SpO2 : 94% dengan O2 4L
TINJAUAN PUSTAKA
ABSES PARU
I. PENDAHULUAN
Abses paru adalah suatu kavitas dalam jaringan paru yang berisi material
purulent berisikan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses terinfeksi
.
Bila diameter kavitas < 2 cm dan jumlahnya banyak (multiple small abscesses)
dinamakan “necrotising pneumonia”. Abses besar atau abses kecil mempunyai
manifestasi klinik berbeda namun mempunyai predisposisi yang sama dan prinsip
diferensial diagnose sama pula. Abses timbul karena aspirasi benda terinfeksi, penurunan
mekanisme pertahanan tubuh atau virulensi kuman yang tinggi. Pada umumnya kasus
Abses paru ini berhubungan dengan karies gigi, epilepsi tak terkontrol, kerusakan paru
sebelumnya dan penyalahgunaan alkohol. Pada negara-negara maju jarang dijumpai
kecuali penderita dengan gangguan respons imun seperti penyalahgunaan obat, penyakit
sistemik atau komplikasi dari paska obstruksi. Pada beberapa studi didapatkan bahwa
kuman aerob maupupn anaerob dari koloni oropharing yang sering menjadi penyebab
abses paru.
Penelitian pada penderita Abses paru nosokonial ditemukan kuman aerob seperti
golongan enterobacteriaceae yang terbanyak. Sedangkan penelitian dengan teknik biopsi
perkutan atau aspirasi transtrakeal ditemukan terbanyak adalah kuman anaerob.
Pada umumnya para klinisi menggunakan kombinasi antibiotik sebagai terapi
seperti penisilin, metronidazole dan golongan aminoglikosida pada abses paru. Walaupun
masih efektif, terapi kombinasi masih memberikan beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Waktu perawatan di RS yang lama
2. Potensi reaksi keracunan obat tinggi
3. Mendorong terjadinya resistensi antibiotika.
4. Adanya super infeksi bakteri yang mengakibatkan Nosokonial Pneumoni.
Terapi ideal harus berdasarkan penemuan kuman penyebabnya secara kultur dan
sensitivitas. Pada makalah ini akan dibahas Abses paru mulai patogenesis, terapi dan
prognosa sebagai penyegaran teori yang sudah ada.
II. EPIDEMIOLOGI
Mortalitas/Morbiditas
Kebanyakan pasien dengan abses paru primer dapat sembuh dengan antibiotik,
dengan tingkat kesembuhan rata-rata sebanyak 90-95%.
Faktor host yang menyebabkan prognosis memburuk antara lain usia lanjut,
kekurangan tenaga, malnutrisi, infeksi HIV atau bentuk lain imunosupresi,
keganasan, dan durasi gejala lebih dari 8 minggu. Tingkat kematian untuk pasien
dengan status imunokompromis mendasar atau obstruksi bronkial yang kemudian
membentuk abses paru dapat mencapai 75%.
Organisme aerobik, yang biasanya didapat di rumah sakit, juga dapat menghasilkan
prognosa yang buruk. Sebuah studi retrospektif melaporkan tingkat kematian abses
paru yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif digabungkan
adalah sekitar 20%.
Seks
Laki-laki mempunyai prevalensi yang dominan dalam kejadian abses paru yang
dilaporkan dalam beberapa seri kasus yang sudah dipublikasikan.
Umur
Abses paru pada umumnya terjadi pada pasien usia lanjut dikarenakan
meningkatnya penyakit periodontal dan peningkatkan prevalensi disfagi dan
aspirasi pada usia ini. Namun, serangkaian kasus dari warga yang tinggal di pusat
perkotaan dengan prevalensi alkoholisme tinggi melaporkan usia rata-rata yang
mengalami abses paru adalah 41 tahun.2
Orang-orang tua, orang-orang dengan immunocompromise, malnutrisi, debilitated
dan khususnya orang-orang yang tidak pernah mendapatkan antibiotik adalah
orang-orang yang paling rentan dan memiliki prognosis yang paling buruk.
III. ANATOMI
Paru-paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m 2 untuk
pertukaran udara. Tiap paru memiliki bentuk yang menyerupai kerucut, memiliki puncak
yang tumpul yang berbatasan bagian bawah dari kosta pertama, memiliki dasar cekung
yang mengikuti bentuk otot diafragma, memiliki permukaan kostovertebra yang luas dan
mengikuti bentuk dari dinding thoraks, serta permukaan mediastinal cekung yang
menyokong perikardium.
Terdapat suatu struktur berupa membran pembungkus yang mengelilingi paru-paru
disebut pleura. Pleura terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura parietalis.
Pleura viseralis melekat pada paru sedangkan pleura parietalis membatasi aspek terdalam
dalam dinding dada, diafragma, serta sisi perikardium dan mediastinum. Di antara kedua
membran ini terdapat rongga yang disebut sebagai kavum pleura yang berisi cairan
pleura. Cairan pleura berfungsi sebagai pelumas untuk mengurangi gesekan antara kedua
pleura.
Paru-paru kanan berukuran sedikit lebih besar dari paru-paru kiri. Paru-paru kanan
dibagi menjadi 3 lobus –atas, tengah, dan bawah, oleh fisura oblikus dan fisura horizontal
. Sedangkan paru-paru kiri hanya memiliki fisura oblikus yang membagi paru menjadi 2
lobus, atas dan bawah.
lobus atas
fisura lobus atas
horisontalis fisura
horisontalis
lobus tengah
fisura
horisontalis
lobus bawah
lobus bawah
Bronki dan jaringan parenkim paru-paru mendapat pasokan darah dari a.bronkialis
–cabang-cabang dari aorta torakalis desendens. v. bronkialis yang juga berhubungan
dengan v. pulmonalis, mengalirkan darah ke v. azigos dan v. hemiazigos. Alveoli
mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal a. pulmonalis dan darah yang
teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang v. pulmonalis. Dua v. pulmonalis
mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung.
Aliran limfe dari paru-paru mengalir kembali dar perifer menuju kelompok kelenjar
getah bening trakeobronkial hilar dan dari sini menuju trunkus limfatikus mediastinal.
Pleksus pulmonalis berasal dari serabut saraf simpatis (dari trunkus simpatikus) dan
serabut parasimpatis (dari N. vagus). Aliran eferen mempersarafi muskulus bronchial dan
menerima aliran aferen dari membran mukosa bronkiolus dan alveolus.
IV. ETIOLOGI
Abses paru dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, yaitu :
a. Kelompok bakteri anaerob, biasanya diakibatkan oleh pneumonia aspirasi
- Bacteriodes melaninogenus
- Bacteriodes fragilis
- Peptostreptococcus species
- Bacillus intermedius
- Fusobacterium nucleatum
- Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobik meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari spesimen
yang didapat melalui aspirasi transtrakheal.
b. Kelompok bakteri aerob
Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi
- Staphillococcus aureus
- Streptococcus micraerophilic
- Streptococcus pyogenes
- Streptococcus pneumoniae
Abses sekunder adalah abses yang terjadi sebagai akibat dari kondisi lain. Seperti
contoh: Obstruksi bronkial (karsinoma bronkogenik); penyebaran hematogen
(endokarditis bakterial, IVDU); penyebaran infeksi dari daerah sekitar (mediastinum,
subphrenic).
Gram negatif : biasanya merupakan sebab nosokomial
- Klebsiella pneumoniae
- Pseudomonas aeroginosa
- Escherichia coli
- Actinomyces species
- Nocardia species
- Gram negatif bacilli
c. Kelompok jamur (mucoraceae, aspergillus species), parasit, amuba, mikobakterium
V. PATOFISIOLOGI
Terjadinya abses paru biasanya melalui dua cara, yaitu aspirasi dan hematogen.
Yang paling sering dijumpai adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk
akibat aspirasi, stasis sekresi, benda asing, tumor, dan struktur bronkial. Keadaan ini
menyebabkan obstruksi bronkus dan terbawanya organisme virulen yang akan
menyebabkan infeksi pada daerah distal obstruksi tersebut. Dalam keadaan tegak, bahan
aspirasi akan mengalir menuju ke lobus medius atau segmen posterior lobus inferior paru
kanan, tetapi dalam keadaan berbaring aspirat akan menuju ke segmen apikal lobus
superior atau segmen superior lobus inferior paru kanan, hanya kadang-kadang saja
aspirat dapat mengalir ke paru kiri.
Kebanyakan abses paru muncul sebagai komplikasi dari pneumonia aspirasi akibat
bakteri anaerob di mulut. Penderita abses paru biasanya memiliki masalah periodontal
(jaringan di sekitar gigi). Sejumlah bakteri yang berasal dari celah gigi yang sampai ke
saluran pernapasan bawah akan menimbulkan infeksi. Tubuh memiliki sistem pertahanan
terhadap infeksi semacam ini, sehingga infeksi hanya terjadi jika sistem pertahanan tubuh
sedang menurun, seperti yang ditemukan pada seseorang yang tidak sadar atau sangat
mengantuk karena pengaruh obat penenang, obat bius, atau penyalahgunaan alkohol.
Selain itu dapat pula terjadi pada penderita gangguan sistem saraf.
Jika bateri tersebut tidak dapat dimusnahkan oleh mekanisme pertahanan tubuh,
maka akan terjadi pneumonia aspirasi dan dalam waktu 7-14 hari kemudian akan
berkembang menjadi nekrosis yang berakhir dengan pembentukan abses.
Secara hematogen yang paling banyak terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai
fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi pada bagian lain tubuhnya seperti
tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses
multipel dan biasanya disebabkan oleh stafilokokus.
Abses hepar bakterial atau amubik bisa mengalami ruptur dan menembus diafragma
yang akan menyebabkan abses paru pada lobus bawah paru kanan dan rongga pleura.
Disebut abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi
pada orang normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang
sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkiektasis dan gangguan
imunitas
Diameter abses bervariasi dari beberapa milimeter sampai kavitas besar dengan
ukuran 5-6 cm. Lokalisasi dan jumlah abses bergantung pada bentuk perkembangannya.
Abses paru yang diakibatkan oleh aspirasi lebih banyak terjadi pada paru kanan (lebih
vertikal) daripada paru kiri, serta lebih banyak berupa kavitas tunggal. Abses yang terjadi
bersamaan dengan adanya pneumonia atau bronkiektasis umumnya bersifat multipel,
terletak di basal dan tersebar luas. Septik emboli dan abses yang diakibatkan oleh
penyebaran hematogen umumnya bersifat mulitipel dan dapat menyerang bagian paru
manapun.
Abses bisa mengalami ruptur ke dalam bronkus, dengan isinya diekspektoransikan
ke luar dengan meninggalkan kavitas yang berisi air dan udara. Kadang-kadang abses
ruptur ke rongga pleura sehingga terjadi empiema yang diikuti dengan terbentuknya
fistula bronkopleura.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis abses paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menyingkirikan diagnosis banding yang
lain dengan gejala yang hampir menyerupai abses paru.
1. Keluhan penderita yang khas seperti malaise, demam ringan sampai demam
tinggi, batuk purulen dengan bau amis dan penurunan berat badan.
2. Riwayat penyakit sebelumnya seperti infeksi saluran nafas atas, infeksi gigi,
serangan epilepsi, dan penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi.
3. Pemeriksaan laboratorium. Peningkatan jumlah leukosit yang umumnya mencapai
10.000-30.000/mm3. Anemia dapat ditemukan pada abses lama.
4. Bronkoskopi. Untuk mengetahui adanya obstruksi pada bronkus. Obstruksi
bronkial skunder biasanya disebabkan oleh karsinoma.
5. Aspirasi Jarum Perkutan. Meripakan cara dengan akurasi yang tinggi untuk
melakukan diagnosis bakteriologis.
VIII. LABORATORIUM
Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm 3 dengan hitung jenis
bergeser ke kiri dan sel polimorfinuklear yang banyak terutama neutrofilyang immatur.
Pada abses lama dapat ditemukan anemia. Dapat dilakukan pemeriksaan dahak untuk
mengetahui miukroorganisme penyebab, namun dahak sebaiknya diaperoleh dari aspirasi
transtrakheal, transtorakal atau bilasan/sikatan bronkus untukmenghindari kontaminasi
dari organisme anaerobik normal pada mulut dan saluran napas atas.
Ukuran dari abses bervariasi namun secara umum memiliki bentuk yang bulat.
Dinding abses umumnya tebal dan permukaan dalamnya irreguler. Pembuluh darah
bronkus dan bronkus sendiri dapat menjadi dinding dari abses.
Abses dapat berisi cairan saja maupun cairan yang bercampur dengan udara
sehingga memberikan gambaran air-fluid level. Bila abses mengalami ruptur akan
terjadi drainase abses yang tidak sempurna ke dalam bronkus, yang akan
memberikan gambaran kavitas dengan batas udara dan cairan di dalamnya (air fluid
level). Secara umum terdapat perselubungan di sekitar kavitas, meskipun begitu
pada terapi kavitas akan menetap lebih lama dibanding perselubungan di sekitarnya.
Gambar 5. Abses Paru – posisi AP dan lateral. Kavitas dengan air fluid level pada
lapangan paru kiri atas.
b. CT-Scan
CT-Scan adalah modalitas pencitraan yang paling sensitif dalam menegakkan
diagnosis abses paru. Kontras yang diberikan adalah kontras yang dapat bercampur
dengan perselubungan disekitar lesi sehingga batas margin dapat diidentifikasi.
Gambaran khas CT scan abses paru adalah berupa lesi dens bundar dengn
kavitas berdinding tebal, tidak teratur, dan terletak di daerah jaringan paru yang
rusak. Tampak bronkus dan pembuluh darah paru berakhir secara mendadak pada
dinding abses, tidak tertekan atau berpindah letak.
c. Ultrasound
Ultrasound tidak memiliki peran yang signifikan dalam menegakkan diagnosis
abses paru dikarenakan banyak daerah dari paru yang berisi udara yang akan
menghalangi visualisasi menggunakan ultrasound. Meskipun begitu, tepi abses yang
berbatasan dengan pleura atau berbatasan dengan daerah paru yang mengalami
penekanan ataupun perselubungan dapat tervisualisasi. Hal ini harus dibedakan
dengan empiema.
Secara umum, kavitas yang terdapat pada abses paru dan tuberculosis adalah
hampir sama. Oleh karena tuberculosis lebih sering terjadi di lapangan paru atas,
maka kavitas pada tuberculosis juga sering terdapat pada lapangan paru atas. Lain
halnya dengan kavitas pada abses paru yang dapat terjadi di seluruh lapangan paru.
Selain itu, air-fluid level lebih sering terdapat pada kavitas yang terjadi oleh abses
paru sedangkan air-fluid level dilaporkan terjadi hanya pada 9%-21% dari kavitas
pada TB.
b. Tumor Paru
Gambar 9. Karsinoma sel skuamosa lobus paru kanan bawah dengan kavitas.
c. Empiema
Empiema yang terlokalisir dan disertai dengan fistula bronkopleura akan sulit
dibedakan dengan abses paru. Gambaran empiema karakteristik, yaitu tampak
pemisahan pleura viseral dan parietal (pleura split) dan kompresi paru. CT scan
dapat menunjukkan lokasi abses berada dalam parenkim paru yang
membedakannya dengan empiema.
Gambar 10. Potongan coronal dada pada gambar CT menunjukkan adanya lesi pada
lobus atas kanan dengan internal air-filled cavity, dinding tebal tidak beraturan
(panah warna hijau) dan lesi lain di sebelah bawah paru kiri dengan internal fluid,
dinding tipis (panah warna kuning) kompresi pada lapangan paru (panah kuning
dan kotak). Lesi pada bagian atas paru kanan adalah abses paru dan pada bagian
bawah paru kiri adalah empiema.
XI. PENATALAKSANAAN
a. Terapi antibiotik
Penisilin merupakan pilihan dengan dosis satu juta unit, 2-3 kali sehari
intramuskular. Bila diperkirakan terdapat kuman gram negatif dapat ditambahkan
kloramfenikol 500 mg empat kali sehari. Respons terapi yang baik akan terjadi
dalam 2-4 minggu, dan selanjutnya bisa dilanjutkan dengan terapi antibiotik
peroral. Pada terapi peroral diberikan:
Penisilin oral 750 mg empat kali sehari.
Apabila hasil terapi kurang memuaskan, terapi dapat dirubah dengan:
Klindamisin 600 mg tiap 8 jam,
Metronidazol 4x500 mg, atau
Gentamisin 5 mg/kg BB dibagi dalam 3 dosis tiap hari.
b. Drainase postural
Selalu dilakukan bersama dengan pemberian terapi antibiotik. Tubuh
diposisikan sedemikian rupa sehingga drainase pun menjadi lancar. Pada
kebanyakan pasien, drainase spontan terjadi melalui cabang bronkus, dengan
produksi sputum purulen.
c. Bronkoskopi
Penting untuk membersihkan jalan napas sehingga drainase pun menjadi
lancar. Di samping itu, dengan bronkoskopi dapat dilakukan aspirasi dan
pengosongan abses yang tidak mengalam drainase yang adekuat, serta dapat
diberikannya larutan antibiotik melewati bronkus langsung ke lokasi abses.
d. Bedah
Pembedahan dilakukan bila terapi antibiotik gagal, yaitu bila :
- Abses menjadi menahun
- Kavitas, produksi dahak, dan gejala klinik masih tetap ada setelah terapi intensif
selama 6 minggu, atau
- Abses yang sudah sembuh tapi meninggalkan sisa jaringan parut yang cukup luas
dan mengganggu faal paru.
Lobektomi merupakan prosedur yang paling sering, sedangkan reseksi segmental
biasanya cukup untuk lesi-lesi yang kecil. Pneumoektomi diperlukan terhadap abses
multipel atau gangren paruyang refrakter terhadap penanganan dengan obat-obatan.
XII. KOMPLIKASI
Komplikasi abses paru meliputipenyebaran infeksi melalui aspirasi lewat bronkus
atau penyebaran langsung melalui jarinag sekitarnya. Abses paru yang drainasenya
kurang baik, bisa mengalami ruptur ke segmen lain dengan kecenderungan infeksi
staphylococcus, dan apabila ruptur ke rongga pleura menjadi piotoraks (empiema).
Komplikasi sering lainnya berupa abses otak, hemoptisis masif, ruptur pleura viseralis
sehingga terjadi piopneumotoraks dan bronkopleura.
Abses paru resisten (kronik), yaitu yang resisten denagn pengobatan selama 6
minggu, akan menyebabkan kerusakan paru yang permanen. Dan mungkin akan
menyisakan suatu bronkiektasis, kor pulmonal dan amiloidosis. Abses paru kronik juga
dapat mengakibatkan anemia, malnutrisi, kakesia, gangguan cairan dan elektrolit serta
gagal jantung terutama pada manula.
XIII. PROGNOSIS
Bila tidak terlambat ditangani prognosisnya baik. Lebih dari 90% dari abses paru-
paru sembuh dengan manajemen medis saja, kecuali disebabkan oleh obstruksi bronkial
sekunder untuk karsinoma. Angka kematian yang disebabkan oleh abses paru terjadi
penurunan dari 30 – 40 % pada era preantibiotika dan sampai 15 – 20 % pada era
sekarang.
Pada penderita dengan beberapa faktor predisposisi mempunyai prognosis yang
lebih jelek dibandingkan dengan penderita dengan satu faktor predisposisi. Beberapa
faktor yang memperbesar angka mortalitas pada Abses paru sebagai berikut :
1. Anemia dan Hipoalbuminemia
2. Abses yang besar (φ > 5-6 cm)
3. Lesi obstruksi
4. Bakteri aerob
5. Immunocompromised
6. Usia tua
7. Gangguan intelegensia
8. Perawatan yang terlambat
BRONKIEKTASIS
I. DEFINISI
Bronkiektasis adalah kelainan kronik yang ditandai dengan dilatasi bronkus secara permanen,
disertai proses inflamasi pada dinding bronkus dan parenkim paru sekitarnya. Manifestasi klinis
primer bronkiektasis adalah terjadinya infeksi yang berulang, kronis, atau refrakter, dengan
gejala sisa yang terjadi adalah batuk darah, obstruksi saluran napas kronis, dan gangguan
bernapas secara progresif.
II. KLASIFIKASI
Model yang secara luas diterima dalam menjelaskan evolusi bronkiektasis adalah model Cole’s
vicious circle. Model ini menjelaskan individu yang memiliki predisposisi terjadi respons
inflamasi hebat terhadap infeksi paru atau jejas terhadap jaringan. Inflamasi yang terjadi
sebagian bertanggungjawab terhadap kerusakan struktural saluran napas. Abnormalitas struktural
yang terjadi menyebabkan stasis dari mukus yang semakin memperberat infeksi kronis dan
lingkaran setan infeksi (vicious circle) terus berlangsung. Pada bronkiektasis sering terjadi
retensi sputum, mucous plug, obstruksi saluran napas, obliterasi dan kerusakan dinding bronchial
lebih lanjut
IV. ETIOLOGI
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab yang paling umum dari bronkiektasis
adalah infeksi namun penelitian yang dilakukan oleh Pasteur dkk di Inggris pada tahun 2000
mendapatkan data dari 150 kasus bronkiektasis, 53% kasus tidak dapat diidentifikasi kausa
spesifiknya. Pada Tabel 1 menunjukkan beberapa kondisi
yang berhubungan dengan bronkiektasis.
V. INFEKSI
Mekanisme yang mungkin mendasari bronkiektasis pascainfeksi adalah adanya infeksi
pada saat awal kehidupan yang menyebabkan kerusakan struktural pada saluran napas yang
masih dalam tahan pengembangan,sehingga mengakibatkan saluran napas rentan terhadap
infeksi berulang, dan dengan berjalannya waktu, infeksi persisten tersebut mengakibatkan
bronkiektasis. Beberapa infeksi saluran napas yang dapat menyebabkan bronkiektasis termasuk:
pertusis, bakteri gram negatif (Pseudomonas aeruginosa,Haemophilus influenzae), virus (HIV,
Paramyxovirus, adenovirus, dan influenza), Mycobacterium tuberculosis, dan atypical
mycobacteria.
VI. KEADAAN KLINIS
Asma
Proses airway remodelling yang terjadi pada pasien asma dapat bervariasi, mulai dari
penebalan dinding saluran nafas yang ringan sampai dengan bronkiektasis yang jelas. Penelitian
Kohort yang dilakukan Grenier dkk mendapatkan data bahwa 40% penderita asma mengalami
bronkiektasis. Penelitian tersebut juga mendapatkan data hasil pemeriksaan HRCT pasien asma
didapatkan penebalan dinding bronkus pada 82% pasien, tingginya angka tersebut menunjukkan
tingginya risiko terjadinya bronkiektasis pada pasien asma.
PPOK
Pada beberapa kasus, bronkiektasis adalah diagnosis primer yang disertai dengan PPOK.
Suatu penelitian mengemukakan pada penderita PPOK sedang dan berat terdapat prevalens
bronkiektasis sebesar 50%. Penderita PPOK dengan bronkiektasis cenderung menderita
eksaserbasi yang lebih berat dan peningkatan kadar marker inflamasi pada sputum.1 Bakteri
patogen seperti Pseudomonas aeruginosa dan Haemophilus influenza teridentifikasi pada 42%
penderita dan mungkin berperan penting dalam perkembangan bronkiektasis melalui mekanisme
vicious circle.
Imunodefisiensi Humoral
Penderita dengan sindroma imunodefisiensi humoral termasuk defisiensi IgG, IgM dan IgA
memiliki risiko terkena infeksi sinopulmonary supuratif berulang dan bronkiektasis. Defisiensi
IgG, terutama IgG2, telah diasosiasikan dengan kejadian bronkiektasis, terutama pada anak.
Insidensi defisiensi IgG pada penderita bronkiektasis dilaporkan bervariasi dari 4% sampai
dengan 48%. Defisiensi IgG2 sering dihubungkan dengan penurunan respons antibodi terhadap
S. Pneumoniae atau H. Influenzae. Terapi immune globulin diharapkan dapat menurunkan
frekuensi episode infeksi dan mencegah destruksi saluran napas.
Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis dipresentasikan sebagai infeksi saluran napas berulang dengan onset saat
dewasa yang tidak disertai dengan insufisiensi eksokrin pankreas. Infiltrasi lobus atas pada
pemeriksaan foto toraks dan pertumbuhan S. Aureus atau Pseudomonas aeruginosa pada
pemeriksaan kultur adalah petunjuk bahwa Cystic Fibrosis kemungkinan menjadi penyakit dasar.
Peningkatan kadar natirum dan klorida pada tes keringat dapat mendukung diagnostic kondisi
ini. Pada Cystic Fibrosis pada umumnya didapatkan mutasi pada cystic fibrosis transmembrane
conductance regulator, namun mutasi yang lain juga dapat ditemukan dekat lokus tersebut.
Rheumatoid Arthritis
Bronkiektasis sering dihubungkan dengan rheumatoid arthritis, di mana bronkiektasis
dapat mendahului kejadian rheumatoid arthritis atau bronkektasis berkembang selama perjalanan
rheumatoid arthritis. Bronkiektasis terjadi pada
1-3% penderita rheumatoid arthritis. Penggunaan HRCT dapat meningkatkan temuan diagnosis
bronkiektasis sampai dengan 30%. Swinson dkk7 melakukan follow up selama 5 tahun
mendapatkan data bahwa pasien bronkiektasis dan rheumatoid arthritis memiliki angka kematian
5 kali lebih sering dibandingkan pasien rheumatoid arthritis saja, dengan penyebab kematian
paling sering berhubungan dengan komplikasi respiratori.
VII. PATOGENESIS
Ada beberapa jalur yang menerangkan terjadinya bronkiektasis. Secara luas, bronkiektasis
dapat terjadi sehubungan dengan kejadian atau episode incidental yang tidak berhubungan
dengan kondisi dasar intrinsic pertahanan tubuh penderita, dapat pula berkaitan dengan kondisi
dasar konstitusional genetik penderita. Perbedaan dua mekanisme diatas merupakan elemen
penting yang menentukan prognosis dan penatalaksanaan penderita.
Hal dasar yang perlu dipahami dalam pathogenesis bronkiektasis adalah apakah infeksi
yang bersangkutan adalah suatu penyebab bronkiektasis atau infeksi pada penderita tersebut
berhubungan dengan kondisi predisposisi yang mendasar. Udara inspirasi sering terkontaminasi
dengan gas toksik, partikel, dan mikroba. Lini pertama pertahanan paru dibentuk oleh bentuk
kompleks saluran napas atas dan bawah yang sedemikian sehingga membentuk aliran udara
dengan turbulensi tinggi. Bentuk saluran napas yang khas tersebut memungkinkan impaksi,
sedimentasi, dan deposisi partikel dan mikroorganisme ke mukosa saluran napas. Partikel dan
mikroorganisme yang terdeposisi pada mukosa selanjutnya akan dibuang melalui mekanisme
gerakan mukosilier atau langsung keluarkan dari saluran napas melalui mekanisme bersin, batuk,
atau penelanan. Saluran napas dilapisi atas epitel bersilia, di mana stuktur dan fungsi dari silia ini
telah banyak dipelajari.
Fungsi silia dan gerakan mukosilier juga bergantung pada viskositas yang rendah dari
lapisan cairan perisilier, lapisan cairan yang terhidrasi cukup memungkinkan separasi yang baik
antara epitel dan lapisan viscous-mucous yang melapisi silia.
Apabila lapisan perisilier tidak merata (seperti pada fibrosis kistik), lapisan perisilier yang
tipis dapat menyebabkan silia terjerat pada lapisan mukus, sehingga menyebabkan gerakan
mendorong mukus terganggu. Patogenesis yang terjadi berkaitan kombinasi inflamasi berulang
dinding bronkus dan fibrosis parenkim, menghasilkan dinding bronkus yang lemah dan berlanjut
menjadi dilatasi yang irreversibel. Tipe sel inflamasi yang banyak ditemukan pada bronkiektasis
adalah neutrofil pada lumen saluran napas yang menyebabkan purulensi sputum, dan makrofag,
sel dendritik, serta limfosit pada dinding saluran napas. Sel makrofag, sel dendritik, dan limfosit
khas terlihat pada pasien dengan tubuler bronkiektasis dan menjadi penyebab utama obstruksi
pada saluran napas kecil.
Peran neutrofil dan elastase neutrofil sangat menonjol dalam patogenesis bronkiektasis.
Terlepas dari penyebab utama dari bronkiektasis, “vicious circle” bronkiektasis didominasi
dengan masuknya neutrofil yang dirangsang oleh pelepasan kemokin seperti interleukin-8 (IL-8)
dan leukotrien B4 (LTB4) yang diproduksi oleh makrofag, dan IL-17 yang diproduksi oleh sel
Th17. Migrasi sel-sel tersebut dari aliran darah ke dalam saluran napas difasilitasi oleh
peningkatan ekspresi E-selectin dan intercellular adhesion molecule-1 sel endotel, yang masing-
masing terikat pada L-selectin dan CD11 pada neutrofil. Neutrofil kemudian memasuki saluran
napas melalui celah diantara sel epitel. Neutrofil memiliki jangka hidup yang relatif singkat serta
mengalami apoptosis dan nekrosis. Protease PMN seperti elastase, cathepsin, matriks
metaloproteinase, dan proteinase-3 dapat menyebabkan kerusakan sel epitel dan menginduksi
inflamasi lebih lanjut. Selain kerusakan jaringan, elastase dapat merangsang hipersekresi mukus,
menghambat fungsi silia, dan menghambat efferocytosis (yaitu, fagositosis neutrofil yang telah
mengalami apoptosis) oleh phosphatidylserine (PS) pada permukaan sel apoptosis, mencegah
pengikatan reseptor PS (PSRs) pada permukaan makrofag. Elastase juga menghambat bacterial
killing dengan menghambat opsonisasi bakteri melalui degradasi opsonins immunoglobulin G
(IgG), komplemen komponen iC3b serta pembelahan reseptor Fcγ (FcγRs) dan reseptor
komplemen (CR) 1.
IX. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah rutin, walaupun tidak spesifik, sangat penting untuk memonitor
masing-masing individu. Kadar hemoglobin dapat rendah sehubungan dengan anemia pada
penyakit kronik, dapat pula terjadi polisitemia sebagai akibat dari hipoksia kronik. Peningkatan
sel darah putih mengindikasikan keberadaan infeksi akut. Keadaan limfopenia merupakan awal
kecurigaan untuk pemeriksaan defisiensi imun. Eosinofilia dapat ditemukan pada (walaupun
tidak spesifik) allergic bronchopulmonary aspergillosis. CRP adalah protein fase akut yang
sering diperiksakan pada penderita penyakit saluran napas yang mengalami eksaserbasi akut
untuk menentukan ada tidaknya respons inflamasi sistemik. Pada pasien bronkiektasis stabil
didapatkan kadar CRP diatas nilai normal. Pada beberapa penelitian kadar CRP berhubungan
dengan penurunan fungsi paru dan tingkat keparahan penyakit.
Pemeriksaan Radiologis
Diagnosis bronkiektasis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan radiologis, dengan gold
standard menggunakan HRCT. Pada foto toraks bronkiektasis dapat terlihat dengan adanya
gambaran tram track, densitas garis paralel, densitas berbentuk ring, dan gambaran struktur
tubuler; gambaran-gambaran tersebut mencerminkan dinding bronkial yang mengalami
penebalan dan dilatasi abnormal. Gambaran ring shadow dapat samar-samar berukuran 5 mm
sampai dengan bentukan cysts yang jelas.
Gambaran opasitas tubuler yang membentuk percabangan sesuai dengan bentuk
percabangan bronkial dapat terlihat sebagai akibat dari bronkus yang terisi cairan mucous.
Gambaran vaskuler dapat kurang terlihat sebagai akibat terjadinya fibrosis peribronkial. Tanda-
tanda eksaserbasi/komplikasi seperti bercak densitas terkait impaksi mucoid dan konsolidasi,
volume loss terkait obstruksi bronkus oleh sekret atau sikatrisasi kronik juga sering terlihat.
Semakin difus gambaran bronkiektasis akan tampak gambaran hiperinflasi dan oligemia sejalan
dengan obstruksi saluran napas kecil yang berat.
Foto toraks berperan dalam kecurigaan awal bronkiektasis, follow up dalam
penatalaksanaan bronkiektasis, dan penanganan pada saat eksaserbasi. Dilatasi bronkus, yang
merupakan tanda cardinal bronkiektasis, pada HRCT dapat diidentifikasi dengan adanya rasio
bronkoarterial > 1 (BAR > 1), kurangnya bronchial tapering, dan terlihatnya saluran napas
sampai dengan 1 cm dari permukaan pleura atau berdekatan dengan permukaan pleura
mediastinal. Rasio bronkoarterial adalah perbandingan antara diameter bronkial dengan diameter
arteri yang berdampingan, rasio > 1 adalah abnormal dan dikenal dengan istilah signet ring sign.
Kurangnya bronchial tapering atau tram like appearance adalah gambaran bronkiektasis
yang sering dijumpai pada lapangan tengah paru. Terlihatnya saluran napas perifer juga
merupakan tanda langsung adanya bronkiektasis pada penderita. Teknik HRCT terkini dapat
memberikan visualisasi saluran napas sampai dengan diameter 2 mm dan ketebalan dinding
saluran napas hingga 0,2 mm. Penelitian yang dilakukan Kim dkk10 menunjukkan data bahwa
bronkus normal tidak tervisualisasi pada jarak 1 cm dari permukaan pleura costal, namun terlihat
pada jarak 1 cm dari pleura mediastinal. Tanda-tanda lain yang ditemukan pada bronkiektasi
termasuk penebalan dinding bronkial, impaksi mukoid, dan air trapping. Minor volume loss
dapat terlihat pada fase awal bronkiektasis, sedang area kolaps yang lebih besar sebagai akibat
dari mucous plugging pada penyakit yang lebih lanjut. Bercak konsolidasi kadang ditemukan
pada infeksi sekunder. Penebalan dinding bronkus dapat disebabkan oleh inflamasi saluran
napas, hipertrofi otot polos, dan proliferasi fibroblastic. Penebalan bronkus minor juga dapat
ditemui pada individu normal, asma, perokok, dan infeksi saluran napas bawah.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi sputum adalah pemeriksaan yang sangat penting dalam
penanganan bronkiektasis. Penelitian yang dilakukan di 4 pusat kesehatan dengan spesialisasi
bronkiektasis (di Hongkong; Tyler, Texas, Barcelona, Spanyol; dan Cambridge, Inggris)
mendapatkan data bahwa H influenzae adalah patogen yang paling sering terisolasi (yaitu 29%
sampai dengan 42% kasus). Patogen lain yang sering teridentifikasi antara lain Staphylococcus
aureus, Moraxella catarrhalis,dan Pseudomonas aeruginosa. Patogen-patogen tersebut
mempunyai kemampuan menghambat bersihan mukosilier, merusak epitel respirasi, dan
membentuk biofilm yang dapat mempermudah infeksi persisten melalui mekanisme inhibisi
imunitas innate serta meningkatkan resistensi
antibiotik.
Pemeriksaan Spesifik
Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mendiagnosis kelainan spesifik tertentu sesuai
dengan gambaran klinis yang mendukung. Beberapa pemeriksaan tersebut antara lain: (1) Pada
kecurigaan fibrosis kistik dilakukan pemeriksaan kadar konsentrasi ion klorida (Cl-) dengan
menggunakan pilocarpine ionthophoresis. Kadar ion klorida > 60 mM menegakkan diagnosis
fibrosis kistik. (2) Penderita dengan kelainan imunitas humoral dapat diperiksa kadar
Imunoglobulin dalam darah, meliputi IgM, IgG, dan IgA. (3) Diagnosis Primary ciliary
diskinesia (PCD) berdasarkan pada kadar nitric oxide udara ekshalasi dan pemeriksaan spesimen
biopsi nasal dengan menggunakan mikroskop elektron. Kadar nitric oxide yang rendah memiliki
nilai diagnostik untuk PCD, dan diagnosis ditegakkan dengan terlihatnya defek pada dynein arms
silia pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron. (5) Kadar IgE melebihi 1000 IU adalah suatu
marker yang spesifik untuk Allergic bronchopumonary aspergillosis. (6) Pemeriksaan kadar
serum α1-antitrypsin dan pemeriksaan genetik untuk mendiagnosis bronkiektasis defisiensi α1-
2antitrypsin.
X. PENATALAKSANAAN BRONKIEKTASIS
Penatalaksanaan bronkiektasis meliputi: identifikasi keadaan eksaserbasi akut dan
penggunaan antibiotik, mengendalikan pertumbuhan mikroba, terapi terhadap kondisi yang
mendasarinya, mengurangi respons inflamasi yang berlebihan, peningkatan higienitas bronkial,
mengontrol perdarahan bronkial, terapi bedah untuk menghilangkan segmen paru atau lobus paru
yang mengalami kerusakan hebat yang dapat menjadi sumber infeksi atau perdarahan.
Antibiotik
Antibiotik memiliki peranan krusial dalam penatalaksanaan bronkiektasis, antibiotik dapat
menghambat proses lingkaran setan infeksi, inflamasi, dan kerusakan epitel saluran napas.
Penggunaan antibiotik diperlukan sebagai terapi saat eksaserbasi maupun sebagai terapi jangka
panjang. Penggunaan antibiotik lebih awal pada eksaserbasi dapat membatasi ‘vicious circle’.
Antibiotik dilaporkan dapat menurunkan kadar CRP, sel inflamasi pada sputum, volume
sputum, purulensi sputum dan densitas bakteri. Penderita dengan sputum purulen setelah
pemberian antibiotik lebih pendek waktu eksaserbasi berikutnya dibandingkan dengan penderita
dengan sputum mukoid. Data klinis menunjukkan pemberian antibiotik dosis tinggi dan jangka
waktu yang lebih lama memberikan hasil yang lebih baik, hal tersebut disebabkan sulitnya
mencapai konsentrasi antibiotik yang cukup ke dalam lumen yang bronkiektasis, bakteri yang
sering resisten, serta adanya biofilm yang ‘melindungi’ bakteri. Lama pemberian terapi antibiotik
sampai saat ini masih menjadi perdebatan, namun demikian British Thoracic Society guideline
for non-CF Bronchiectasis 2010 menyebutkan pada kondisi eksaserbasi antibiotik diberikan
selama 14 hari.
Pada saat eksaserbasi, antibiotik dapat diberikan secara oral maupun intravena sesuai
dengan derajat klinis penderita. Antibiotik oral yang digunakan, bila memungkinkan, sebaiknya
berdasarkan hasil pemeriksaan kultur sputum. Menurut British Thoracic Society guideline for
non-CF Bronchiectasis 2010, apabila tidak terdapat data bakteriologis, maka antibiotik lini
pertama yang dapat digunakan adalah amoksisilin 500 mg tiga kali sehari atau klaritromisin 500
mg dua kali sehari (untuk penderita alergi penisilin) selama 14 hari. Regimen dosis tinggi
(misalnya amoksisilin 1 gram tiga kali sehari, atau amoksisilin 3 gram dua kali sehari) mungkin
diperlukan pada penderita dengan bronkiektasis berat yang telah terjadi kolonisasi kronis
Haemophilus influenzae. Ciprofloxacin dapat diberikan pada penderita dengan kolonisasi
Pseudomonas aeruginosa, dimana penggunaannya harus hati-hati pada orangtua.
Antibiotik kombinasi tidak diperlukan pada pasien dengan infeksi Haemophilus
influenzae, Moraxella catarrhalis, Staphylococcus aureus (methicillin-sensitive) dan
Streptococcus pneumoniae. Apabila didapatkan lebih dari satu patogen, dapat dipilih antibiotik
yang mencakup kedua patogen. Kombinasi dapat dilakukan jika didapatkan pola resistensi yang
tidak memungkinkan dilakukan terapi tunggal. Pada penderita dengan kultur Pseudomonas
aeruginosa sensitif terhadap ciprofloxacin, monoterapi dengan ciprofloxacin oral dapat
digunakan sebagai terapi lini pertama. Antibiotik kombinasi harus digunakan untuk infeksi
Pseudomonas aeruginosa yang resisten. MRSA harus diterapi dengan dua antibiotik oral atau
satu agen intravena. Hasil pemeriksaan bakteriologi terdahulu dapat digunakan sebagai dasar
pemberian antibiotik.
Higienitas Bronkopulmoner
Penatalaksanaan bronkiektasis juga melibatkan usaha-usaha untuk menghilangkan sekret
saluran napas. Usaha yang dapat dilakukan antara lain latihan batuk efektif, postural drainase,
fisioterapi dada, mengencerkan sekret saluran napas, serta pemberian bronkodilator dan
kortikosteroid inhalasi pada saat eksaserbasi akut.
Penatalaksanaan Bedah
Reseksi bedah pada bronkiektasis hanya dilakukan dengan pertimbangan khusus,
diantaranya pada pasien dengan kelainan terlokalisasi yang gagal dengan terapi medis dan
menderita gejala klinis yang memperburuk kualitas hidup pasien. Konsep dasar tindakan bedah
pada bronkiektasis adalah menghilangkan area parenkim paru yang rusak yang menyebabkan
penetrasi antibiotik tidak dapat berjalan dengan baik. Jaringan paru yang rusak menjadi area
reservoir bakteri yang menyebabkan infeksi berulang.
Beberapa hal yang memengaruhi suksesnya tindakan bedah antara lain: reseksi komplit
area yang terlibat, intervensi awal untuk mencegah terjadinya perkembangan mikroba resisten
dan penyebaran ke segmen paru yang berdekatan, terapi antibiotik preoperasi sesuai dengan
kultur dan sensitivitas, terapi antibiotik tetap dilanjutkan setelah operasi, perbaikan suplementasi
nutrisi preoperasi sesuai indikasi, antisipasi terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.
PPOK
I. DEFINISI
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik dengan
karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya. Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering
ditemukan bersama, meskipun keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi
menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK,
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan
diagnosis patologi. Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh
pembentukan mukus yang meningkat dan bermanifestasi sebagai batuk kronik. Emfisema
merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran
alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar.
II. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi PPOK berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1995
adalah 13 per 1000 penduduk, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan
adalah 3 banding 1. Penderita PPOK umumnya berusia minimal 40 tahun, akan tetapi
tidak tertutup kemungkinan PPOK terjadi pada usia kurang dari 40 tahun. Menurut hasil
penelitian Setiyanto dkk. di ruang rawat inap RS. Persahabatan Jakarta selama April 2005
sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia termuda adalah 40 tahun
dan tertua adalah 81 tahun. Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah
bekas perokok yaitu 109 penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Kebanyakan pasien PPOK adalah laki-laki. Hal ini disebabkan lebih banyak
ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada wanita. Hasil Susenas (Survei
Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak 62,2% penduduk
laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang merokok. Sebanyak
92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah, ketika bersama
anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga
merupakan perokok pasif.
Menurut Ilhamd (2000) dalam Parhusip (2008), penderita PPOK menduduki
proporsi terbesar yaitu 31,5% dari seluruh penderita penyakit paru yang dirawat di
Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga
Desember 1999 dari keseluruhan penyakit paru yang ada.
III. ETIOLOGI
Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi saluran
pernapasan yang bersifat ireversibel atau reversible parsial. Gejala yang ditimbulkan pada
PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini.
Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema, bronkitis kronik, dan perokok berat.
Karakteristik dari bronkitis kronik adalah adanya penyempitan dari dinding bronkus
(diagnosis fungsional), sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya,
sementara itu pada perokok berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya (habit).
V. KLASIFIKASI
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2011,
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut:
1. Derajat 0 (berisiko)
Gejala klinis : Memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan
dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko.
Spirometri : Normal
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum.Sesak
napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1
Spirometri : FEV1/FVC < 70%, FEV1 ≥ 80%
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis : Dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum. Sesak
napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas).
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 50% < FEV1 < 80%
4. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4. Eksaserbasi lebih sering terjadi.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis : Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung kanan.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30% atau < 50%.
VI. PATOFISIOLOGI
Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal,
perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang
kronik dan perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada
saluran nafas kecil dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen
dalam dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen
saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat
inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan
seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru.
Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar
dari berbagai macam penyakit paru.
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan
menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan
menimbulkan kerusakan sel daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel
makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut akan menyebabkan dilepaskannya faktor
kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan leukotrienB4, tumor necrosis factor
(TNF), monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS).
Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan
merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar dan
hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit
CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada
dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen
menjadi anion superoksidadengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen
peroksida (H2O2) yang toksik akandiubah menjadi OH dengan menerima elektron dari
ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida
(HOCl).
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronissehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi.Penurunan fungsi paru
terjadi sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa
destruksi alveol yangmenuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang
berlebihan oleh leukosit dan polusi dan asap rokok.
VII. DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariaso, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi
paru.
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan :
A. Gambaran Klinis
1. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernafasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat factor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap
rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu nafas
- Hipertrofi otot bantu nafas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema pada tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
- Pada emfisema, fremitus melemah, sela iga melebar
- Pada emfisema, suara perkusi hipersonor dan batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
- Suara nafas vesikuler normal atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus,
kulit kemerahan dan pernafasan pursed-lips breathing. Blue bloater adalah
gambaran yang khas pada bronchitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang yang bernafas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal nafas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Rutin
1. Faal Paru
• Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi: % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan
penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat
dipakai sebagai alternative dengan memantau variability
harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
• Uji Bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak
ada gunakan APE meter. Setelah pemberian
bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan <200
ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah Rutin
Hb, Ht, Leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance)
Pada bronchitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),
Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronchitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabilitas harian APE kurang dari 20%
2. Uji Latih Kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari nomal
3. Uji Provokasi Bronkus
Untuk menilai derajat hiperekativiti bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan
4. Uji Coba Kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednisone atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari
selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pasca bronkodilator >
20% dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
6. Radiologi
7. Elektrokardiografi
8. Ekokardiografi
9. Bakteriologi
10. Kadar alfa-1 antitripsin
IX. PENATALAKSANAAN
A. Penatalaksanaan PPOK stabil
Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap PPOK, seorang dokter
harus dapat membedakan keadaan pasien. Apakah pasien tersebut mengalami
serangan (eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan
pentalaksanaan dari kedua jenis ini berbeda.
Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil antara lain mempertahankan
fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan terakhir mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan PPOK stabil dilaksanakan di Poliklinikklinik sebagai
evaluasi berkala atau dirumah untuk mempertahankan PPOK yang stabil dan
mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan PPOK stabil meliputi pemberian obat-obatan, edukasi,
nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru/rumah sakit. Dalam
penatalaksanaan PPOK yang stabil termasuk disini melanjutkan pengobatan
pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru baik setelah
mengalami serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti
pemeriksaan fungsi paru, analisis gas darah, kardiologi dll. Obat-obatan
diberikan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit dan
mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai dengan mempertahankan
bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Obat-obatan yang digunakan antara
lain:
1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan
golongan xantin. Masing-masing dalam dosis subobtimal, sesuai
dengan berat badan dan beratnya penyakit sebagai dosis pemeliharaan.
Contohnya aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinsi dengan salbutamol
1 mg atau terbutalin 1 mg.
2. Kortikosteroid
Gunakan golongan metilprednisolon/prednison, diberikan dalam bentuk
oral, setiap hari atau selang sehari dengan dosis 5 mg perhari, terutama
bagi penderita dengan uji steroid positif.
3. Ekspektoran
Gunakan obat batuk hitam (OBH)
4. Mukolitik
Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum mucoid
5. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu.
Manfaatkan obat-obatan yang tersedia sesuai dengan perkiraan
patogenesis yang terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan
waktu pemberian untuk menghindari efek samping obat.
Tabel 1. Terapi berdasarkan stage dari PPOK
Sumber: Global initiative for chronic obstructive lung disease
(GOLD)
5. Ventilasi Mekanik
Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat
adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas, serta memperbaiki gejala.
Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi intermiten non invasif (NIV), baik
yang menggunakan tekanan negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi
mekanik invasif dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan
penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik
dengan intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa
Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang secara
konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka keberhasilan 80-85%.
Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV memperbaiki asidosis
respiratorik, menurunkan frekuensi pernapasan, derajat keparahan sesak,
dan lamanya rawat inap.
X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas akut
pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas kronik
ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO250 mmHg, serta pH dapat normal.
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa
sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada
pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman,
hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas
tubuh menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya
kor pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai
gagal jantung kanan.
XI. Pencegahan dan Edukasi PPOK
A. Pencegahan PPOK
1. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang
belum ada faktor resiko PPOK, meliputi: menciptakan lingkungan yang
bersih dan berperilaku hidup sehat seperti tidak merokok.
2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
a. Kebiasaan merokok harus dihentikan
b. Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang
terdapat asap mesin, debu
c. Membuat corong asap di rumah maupun di tempat kerja (pabrik)
d. Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan PPOK
3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan
menghindari komplikasi. Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk
mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih
serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian
pengobatan.
4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Pencegahan tertier meliputi:
a. Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita
untuk dapat menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat
disembuhkan bahkan akan mengalami kecemasan, takut dan
depresi terutama saat eksaserbasi. Rehabilitasi psikis juga bertujuan
mengurangi bahkan menghilangkan perasaaan tersebut.
b. Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan
yang dapat dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi
paru penderita. Diusahakan menghindari pekerjaan yang memiliki
risiko terjadi perburukan penyakit.
c. Rehabilitasi Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas
fisik serta diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan
kondisi inaktif dan berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi.
Tujuan rehabilitasi fisik yang utama adalah memutuskan rantai
tersebut sehingga penderita tetap aktif.
B. Edukasi PPOK
Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena
keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya,
seperti keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan
ekonomi dan sarana kesehatan, edukasi di Puskesmas ditujukan untuk mencegah
bertambah beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia
dengan tepat, menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga.
Asupan nutrisi diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori
dapat menyebabkan meningkatnya derajat sesak. Pemberian karbohidrat yang
berlebihan menghasilkan CO2 yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap
rehabiltasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips,
latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekttremitas.
XII. PROGNOSIS
Beberapa pasien mungkin hidup lebih lama dengan eksaserbasi, namun tetap dengan
bantuan dari ventilasi mekanik sebelum meninggal akibat penyakit ini. Banyak kematian
dari PPOK disebabkan oleh komplikasi sistem pernapasan, berhubungan dengan kondisi
lain yang sebenarnya memiliki angka kematian yang rendah apabila tidak terjadi
bersamaan dengan PPOK.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasyid, Ahmad. Abses Paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing. 2009. Hal 2323-8
2. Alsagaff, Hodd. Mukty, H. Abdul(ed). Dasar-dasar ilmu penyakit paru. Surabaya:
Airlangga University Press. 2005. Hal 136-40
3. Kumar, Vinay. Abbas, Abul. Robbins Basic Pathology, 8 th edition. Philadelphia:
Saunders. 2007. Hal 515
4. Muller, Nestor. Franquet, Thomas. Soo Lee, Kyung. Imaging of Pulmonolgy Infection,
1st edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007. Chapter 1
5. Faiz, Omar. Moffat, David. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
2002. Hal 12-3
6. Eng, Philip. Cheah, Foong Koon. Interpreting Chest X-Rays. Cambridge: Cambridge
University Press. 2005. Hal 101, 199
7. Budjang N. Radang. Radang Paru Yang Tidak Spesifik. Dalam: Ekayuda I, editor.
Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2005. Hal. 100-5
8. Casaburi R, ZuWallack R. Pulmonary rehabilitation for management of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J med 2009: 360:1329- 35.
9. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. 2011
10. Guyton AC, Hall JE. 2006. Ventilasi Paru dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 495-506.
11. Khairani F., 2013. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Universitas Diponegoro
12. Oemiati, R., 2013. Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013: 82-88
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK):
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011.
14. World Health Organization (WHO). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD.)
2015 Available from : http://www.who.int/respiratory/copd/en/