Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

“TB dan Kusta”

Disusun oleh :
Inamatul Munawaroh 1900029216
Nurhikmah Safitri 1900029219
Alifia Ramadhani 1900029228
Fasya Farah Salsabila 1900029235
Khairun Nisa 1900029253

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Alhamdulillahi rabbilalamin berkat limpahan rahmat-Nya sehingga makalah yang
berjudul “TB dan KUSTA”dapat terselesaikan sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi
Penyakit Menular.
Tanpa bantuan dari semua pihak, tidak mungkin makalah ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Desi Nurfita, S.KM.,M.Kes, selaku dosen mata kuliah yang telah memberikan
tugas ini.
2. Makalah ini bisa terselesaikan dengan baik.
Menyadari tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu pula dalam pembuatan
makalah ini, penulis menyadari kesalahan, kelemahan, bahkan kekurangan dan
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan agar dapat dijadikan acuan dalam penulisan makalah
ini. Demikian yang dapat penulis sampaikan. Atas bantuan dari semua pihak penulis
mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 26 Maret 2021

(Penulis)
BAB 1
PEMBAHASAN
1. TB (Tuberkulosis)
A. Definisi Penyakit
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronik, menular, yang
disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis, yang ditandai dengan
jaringan granulasi nekrotik (perkijauan) sebagai respons terhadap kuman
tersebut. Penyakit ini menular dengan cepat pada orang yang rentan dan daya
tahan tubuh lemah. Tuberkulosis adalah penyakit yang mengganggu
sumberdaya manusia dan umumnya menyerang kelompok masyarakat
dengan golongan sosial ekonomi rendah (Sejati & Sofiana, 2015).
TB ini merupakan suatu penyakit bakteri menular yang berpotensi
serius terutama mempengaruhi paru-paru. Bakteri TB ini membunuh
jaringan dari organ yang terinfeksi dan membuatnya sebagai kondisi yang
mengancam nyawa jika tidak dilakukan terapi. Tuberkulosis (TB)
mempunyai 2 tipe tingkatan, yaitu TB laten dan TB aktif. Untuk TB laten
merupakan bentuk non – aktif penyakit karena sistem kekebalan tubuh dapat
melawan bakteri TB. Orang dengan TB laten tidak akan mengalami keluhan
selama penyakit tersebut tidak menjadi aktif (TB laten ini tidak menular).
Dan untuk TB aktif terjadi ketika bakteri mulai memenangkan perlawanan
terhadap sistem pertahanan tubuh dan mulai menyebabkan gejala. Saat
bakteri menginfeksi paru-paru, TB aktif dapat menyebar dengan mudah ke
orang lain.
Kejadian tuberkulosis dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1) Faktor umur karena insiden tertinggi penyakit tuberkulosis adalah pada
usia dewasa muda di Indonesia diperkirakan 75 % penderita tuberkulosis
adalah pada kelompok usia produktif.
2) Jenis kelamin yang lebih banyak menyerang laki-laki dari pada wanita,
karena sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok.
3) Kebiasaan merokok yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga
mudah untuk terserang penyakit terutama pada laki-laki yang
mempunyai kebiasaan merokok.
4) Kepadatan hunian yang merupakan faktor lingkungan terutama pada
penderita tuberkulosis yaitu kuman M. Tuberculosis dapa masuk pada
rumah yang memiliki bangunan yang gelap dan tidak ada sinar matahari
yang masuk.
5) Pekerjaan yang merupakan faktor risiko kontak langsung dengan
penderita. Resiko penularan Tuberkulosis pada suatu pekerjaan adalah
seorang tenaga kesehatan yang secara kontak langsung dengan pasien
walaupun masih ada beberapa pekerjaan yang dapat menjadi faktor risiko
yaitu seorang tenaga pabrik.
6) Status ekonomi yang merupakan faktor utama dalam keluarga masih
banyak rendahnya suatu pendapatan yang rendah dapat menularkan pada
penderita tuberkulosis karena pendapatan yang kecil membuat orang
tidak dapat layak memenuhi syarat-syarat kesehatan (Sejati & Sofiana,
2015).
B. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk
batang berukuran panjang 1 – 4 mm dengan tebal 0,3 – 0,6 mm. Sebagian
besar komponen M. Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman
mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor
fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang
banyak oksigen. Oleh karena itu, M. Tuberculosis senang tinggal di daerah
apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi
tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis (Shelvy, 2010).
Kuman ini akan mati dengan sinar langsung, akan tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant (tidur lama) selama beberapa tahun.
Kuman ini juga berada di udara kering dan keadaan dingin (misalnya di
dalam lemari es) karena sifatnya yang dormant, yaitu dapat bangkit kembali
menjadi lebih aktif. Bakteri Mycrobacterium tuberculosis masuk ke dalam
paru-paru melalui saluran napas (droplet infection) sampai alveoli dan
terjadilah infeksi primer. Kemudian, di kelenjar getah bening terjadilah
primer kompleks yang disebut tuberculosis primer. Dalam sebagian besar
kasus, bagian yang terinfeksi ini dapat mengalami penyembuhan.
C. Epidemiologi Penyakit
Robert Koch menemukan M. tuberculosis pada tahun 1882. William
Osler, pada tahun 1909, menulis bahwa “semua yang bercampur dengan
pasien tuberkulosis terinfeksi, tetapi tetap sehat selama mereka merawat diri
mereka sendiri dan menjaga tanah dalam kondisi yang tidak menguntungkan
bagi pertumbuhan tanaman. benih ”. Selama abad intervensi penelitian
tuberkulosis, pemahaman kita tentang penularan tuberkulosis dan
perkembangan penyakit telah meningkat: pada tahun 1920, Devoto
menyadari bahwa petugas layanan kesehatan berisiko terkena tuberkulosis;
pada tahun 1934, Wells menggambarkan waktu jatuh dan penguapan untuk
droplet nuklei; dan Riley, pada tahun 1961, menjelaskan pengendapan
bakteri di udara di paru-paru dan pada tahun 1960-1962, menjelaskan
penyebaran M. tuberculosis dari udara di bangsal tuberkulosis. Chapman,
pada tahun 1964, menjelaskan faktor sosial dan faktor lain yang terkait
dengan penularan tuberkulosis di rumah tangga yang terkena tuberkulosis.
Pencapaian yang lebih baru (sekitar pertengahan 2000-an) di bidang ini
termasuk klasifikasi filogeografis dari strain M. tuberculosis global dan
munculnya sekuensing genom utuh untuk pelacakan molekuler dari wabah
tuberkulosis (Churchyard et al., 2017).
Epidemiologi Tuberkulosis paru (TB paru) di Indonesia masih cukup
tinggi. TB merupakan salah satu dari sepuluh tertinggi penyebab kematian di
seluruh dunia. Pada tahun 2015, insiden kasus baru TB paru, termasuk HIV
dengan TB, adalah 395 per 100.000 populasi. Insiden meningkat seiring
dengan meningkatnya usia, dimana laki-laki lebih banyak terkena dibanding
wanita. Angka kematian atau mortalitas TB adalah 40 per 100.000 populasi.
Keberhasilan terapi (treatment success rate) pada pengidap TB baru dengan
smear-positif adalah 84% untuk yang terdaftar sebagai pasien di tahun 2014.
Pada tahun 2011, terungkap tiga faktor yang menyebabkan tingginya kasus
TB di Indonesia, yaitu:
1) Waktu pengobatan TB yang relatif lama, sekitar 6-8 bulan, menjadikan
penderita TB berhenti berobat (drop out) setelah merasa sehat meski
proses pengobatan belum selesai
2) Masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS
yang berkembang cepat
3) Munculnya permasalahan kebal terhadap bermacam obat (MDR-TB)
D. Riwayat Alamiah Penyakit
Bakteri yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk adalah
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di
dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada
orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC
dapat menginfeksi paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang,
kelenjar getah bening, dan lain-lain (Najmah, 2016).
Saat Mycobacterium tuberculosis berhasil menginfeksi paru-paru,
maka dengan segera akan tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular
(bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi imunologis bakteri TBC ini
akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling bakteri
itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan
di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai
tuberkel pada pemeriksaan foto rontgen (Najmah, 2016).
Pada sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bentuk ini akan
tetap dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang-orang dengan
sistem kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami
perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak. Tuberkel yang
banyak ini membentuk sebuah ruang di dalam paru-paru. Ruang inilah yang
nantinya menjadi sumber produksi sputum (dahak). Seseorang yang telah
memproduksi sputum dapat diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan
tuberkel berlebih dan positif terinfeksi TBC. Meningkatnya penularan
infeksi yang telah dilaporkan saat ini, banyak dihubungkan dengan beberapa
keadaan, antara lain memburuknya kondisi sosial ekonomi, belum
optimalnya fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatnya jumlah
penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal dan adanya epidemi dari
infeksi HIV. Di samping itu daya tahan tubuh yang lemah/menurun,
virulensi dan jumlah kuman merupakan faktor yang memegang peranan
penting dalam terjadinya infeksi TBC (Najmah, 2016).
Menurut WHO, riwayat terjadinya Tuberkulosis terbagi menjadi dua
bagian, yaitu (WHO, 2012):
1. Infeksi Primer
Infeksi primer merupakan saat orang pertama kali terpapar dengan
kuman tuberculosis. Masa inkubasi untuk penyakit ini sekitar 6 bulan.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilierbronkus dan terus berjalan sehingga sampai
di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil
berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru yang
menyebabkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa
kuman TB ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4 – 6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi dari banyaknya kuman
yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler).
Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan
perkembangan kuman TB, meskipun demikian ada beberapa kuman akan
menetap sebagai kuman persister atau dormant (tidur). Jika daya tahan
tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, dalam
beberapa bulan orang tersebut akan menjadi penderita TB.
2. Post Primary Tuberkulosis
Tuberculosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan
atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh
menurun akibat infeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberculosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kapitas atau efusi pleura. Infeksi HIV mengakibatkan
kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular imunity),
sehingga bila terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberculosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di
masyarakat akan meningkat pula.
E. Rantai Penularan
Anggota keluarga dengan kasus TB BTA positif yang tinggal serumah
merupakan kelompok masyarakat yang memiliki potensi paling rentan untuk
tertular penyakit TB. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penularan
tuberkulosis tidak hanya dapat menular pada orang dewasa namun juga pada
anak balita yang seruma dengan penderita tuberkulosis (Pangestika et al.,
2019).
Pasien TB BTA positif merupakan sumber penularan utama dari
penyakit TB itu sendiri. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan
kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan
terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama. Sedangkan risiko peningkatan paparan TB terkait dengan jumlah kasus
menular di masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, patogenisitas
dahak sumber penularan, intensitas batuk, kedekatan kontak dengan sumber
penularan, konsnetrasi atau jumlah kuman yang terhirup, usia seseorang
yang terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh sesorang misalnya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) serta faktor lingkungan terkait
konsentrasi kuman di udara seperti ventilasi, sinar ultraviolet dan
penyaringan udara (Pangestika et al., 2019).
F. Upaya Pencegahan
Berikut ini merupakan beberapa pencegahan primer, sekunder dan
tersier Tuberkulosis (Depkes RI, 2012):
1. Pencegahan Primer
a. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita, kontak atau
suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini
bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
b. Petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit
TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang
ditimbulkannya.
c. Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut
sewaktu batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.
d. Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan
rumah harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Tidak ada tindakan
pencegahan khusus untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan
lainnya). Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi yang baik dan bisa
ditambahkan dengan sinar UV.
e. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang
sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan
lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi
yang positif tertular.
f. Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi
risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
2. Pencegahan Sekunder
a. Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap
penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai
pencegahan.
b. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan
khusus TBC. Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita
yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program
pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis
untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
c. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala tbc paru.
d. Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok beresiko
tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan penderita,
petugas di rumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas foto rontgen.
e. Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil
pemeriksaan Tuberculin test.
f. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang
tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum
dengan tekun dan teratur, waktu yang lama (6 atau 12 bulan).
Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan pemeriksaan
penyelidikan oleh dokter.
3. Pencegahan Tersier
a. Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena menghirup
udara yang tercemar debu para pekerja tambang, pekerja semen dan
sebagainya.
b. Rehabilitasi.
Sumber utama penularan memang dari dahak atau cairan yang
disebarkan melalui tetesan sehingga suatu upaya yang merupakan cara
terbaik untuk mencegah penularan ini adalah dengan etika batuk dan
bersin, menggunakan masker dan cara membunuh bakteri tuberkulosis
dengan membuka jendela setiap saat pagi agar ventilasi dan sinar
matahari bisa masuk ke dalam ruangan (Lucya, 2021).
G. Upaya Penanggulangan
Di Indonesia sebagai upaya dalam penanggulangan TBC
(Tuberculosis) telah ditetapkan tujuan program pemberantasan yang meliputi
tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan jangka panjang, meliputi
menurunkan angka kesakitan dan kematian serta penularan Tuberculosis
dengan memutus mata rantai penularan sehingga penyakit Tuberculosis tidak
lagi menjadi masalah kesehatan bagi masyarakat di Indonesia. Sedangkan
tujuan jangka pendek, meliputi menyembuhkan minimal 85% penderita baru
BTA (+) yang ditemukan, tercapainya cakupan penemuan penderita secara
bertahap sampai dengan tahun 2007, 70% mencegah timbulnya resistensi
obat Tuberculosis di masyarakat (Depkes, 1999 dalam (Syukur & Pakaya,
2018)).
Program pemberantasan Tuberculosis dilaksanakan sejak tahun 1995
dengan strategi Directly Observed Treatment, Shortcoursing (DOTS) yang
direkomendasikan oleh WHO. Terdapat lima komponen dalam strategi
Directly Observed Treatment, Shortcoursing (DOTS), yaitu (Kasim et al.,
2012):
1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional;
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik;
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung dikenal
dengan istilah DOT;
4. Pengadaan obat anti TBC (OAT) secara berkesinambungan; Monitoring
serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar) baik
2. Kusta
A. Definisi Penyakit
Kusta merupakan penyakit granulomatous kronis yang disebabkan
oleh bacillus Mycrobacterium leprae. bacillus Mycrobacterium leprae dapat
memengaruhi kulit dan saraf perifer serta masih endemic di berbagai wilayah
dunia (Eichelmann et al., 2013). Selain memengaruhi kulit dan saraf bacillus
Mycrobacterium leprae juga dapat menyerang saluran napas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis. Kusta memiliki istilah yang
berbeda-beda di berbagai negara, Jerman dengan Aussatz, Prancis dengan
Lepre, Rusia dengan Prokaza, Cina dengan Mafung, Jepang dengan Raibyo,
Arab dengan Juhdam, India dengan Kushtha (Amruddin, 2012).
Berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histologis, dan
mempunyai korelasi dengan tingkat imunologis penyakit kusta dapat
diklasifikasikan dalam 5 tipe (Amruddin, 2012) yang dibuat oleh Redley dan
Jopling pada tahun 1962 yang terdiri dari (Amelia, 2020) :
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Terdapat lesi yang mengenai kulit maupun saraf, Jumlah lesi bisa satu
atau beberapa. Lesi memiliki permukaan bersisik dengan tepi yang
meninggi menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata.
2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)
Lesi menyerupai tipe TT, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan
kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT.
3. Tipe Borderline (BB)
Tipe paling tidak stabil, disebut sebagai bentuk dismorfik dan jarang
dijumpai. Lesi sangat bervariasi, permukaan lesi dapat mengkilap dan
batas lesi kurang jelas. Cirri khasnya adalah lesi punched out: suatu lesi
yang hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi awalnya sedikit, tetapi dapat dengan mudah menyebar keseluruh
badan. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi dipinggir
dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan lebih
cepat, muncul dibandingkan dengan LL.
5. Tipe Lepromatous (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eretematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Memiliki distribusi lesi yang khas. Pada stadium
lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin dan
fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki
B. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh M. leprae yang ditemukan oleh G.H.
Armauer Hansen tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam,
bentuk pleomorf lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan
kedua ujung- ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8 um dan diameter
0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang gram
positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen
basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna merah terang,
dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-pecah
(fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).
(Nesa, 2018)
C. Epidemiologi Penyakit
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe
multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya
berdasarkan anggapan yang klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit
yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae
masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta
bervariasi,40 hari sampai 40 tahun. Kusta menyerang semua umur dari anak-
anak sampai dewasa. Faktor sosial ekonomi memegang peranan, makin
rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta, sebaliknya sosial
ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, kusta
tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India,
Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.
Penyakit kusta di Indonesia menempati peringkat nomor tiga
terbanyak di dunia setelah India dan Brasil serta peringkat teratas di kawasan
ASEAN. Penyebaran penyakit kusta merata di Indonesia, tetapi paling
banyak ditemukan di Jawa Timur. Prevalensi rate kusta tahun 2010 di Jawa
Timur sebesar 1,64 per 10.000 penduduk sehingga masih di atas target yaitu
<1/10.000 penduduk. Kondisi tersebut terutama terjadi pada daerah yang
berada di pantai utara pulau Jawa dan pulau Madura. Untuk angka penemuan
kasus baru (CDR) penderita kusta di Jawa Timur sebesar 1,14 per 100.000
penduduk yang berarti masih belum mencapai target < 0,5/100.000
penduduk. Pada tahun 2010 di Jawa Timur terdapat 713 penderita kusta PB
dengan RFT (Release From Treatment) 92,95%. Sedangkan penderita kusta
MB (menular) sebanyak 3.971 penderita dengan RFT MB sebesar 90,23%.
Kondisi tersebut sudah mencapai target untuk RFT MB sebesar 90%
sedangkan untuk RFT PB masih dibawah target 95% 3. Salah satu daerah
yang merupakan kantong dari penderita kusta di Jawa Timur adalah wilayah
Kabupaten Lamongan. Daerah yang memiliki jumlah penderita kusta
terbanyak adalah Kecamatan Brondong. Untuk tahun 2013 dan 2014
ditemukan 52 orang penderita baru. (Hadi & Kumalasari, 2017)
D. Riwayat Alamiah Penyakit
Mekanisme perjalanan terjadinya infeksi pada penderita kusta belum
terungkap sepenuhnya. Secara teorit perjalanan klinik penyakit kusta
merupakan suatu proses yang lambat dan berjalan bertahun-tahun. Sehingga
acapkali si penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam
tubuhnya. Sebagian besar penduduk di daerah endemik kusta pernah
terinfeksi kuman Mycobacterium leprae. Namun, karena adanya kekebalan
alamiah, hanya sekitar 15% dari mereka yang mungkin akan terjadi sakit.
Pada mereka yang kekebalan alamiahnya tidak berhasil membunuh kuman
yang masuk, terjadi pengembangbiakan kuman di dalam sel Schwann di
perineurium. (Mudatsir, 2010)
Proses ini berjalan sangat lambat sebelum muncul gejala klinik yang
pertama, mungkin beberapa tahun dan tampakanya kebanyakan pasien
mendapatkan infeksi sewaktu semasa anak-anak. Insiden yang rendah pada
pasien-pasien yang merupakan pasangan suami istri (kusta yang diperoleh
dari pasangan) memberikan kesan bahwa orang dewasa relative tidak mudah
terkena. Penyakit ini terkena akibat kontak fisik yang erat dengan pasien
yang terinfeksi, dan resiko ini semakin menjadi lebih besar bila terjadi
kontak dengan penderita lepramatosa. (Hadi & Kumalasari, 2017)
E. Rantai Penularan
Sumber Infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe
multibasiler (MB)Agent dalam penyakit kusta yaitu mycobacterium leprae
yang menyerang saraf tepi kulit ditangan maupun kaki, selaput lendir pada
hidung dan jaringan tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Cara
penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan yang
klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi sebab mycobacterium leprae masih
dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi 40 hari
sampai 40 tahun. Kusta menyerang semua umur dari anak anak sampai
dewasa. Terdapat 2 faktor yang menjadi mata rantai penularan yaitu portal
of exit dan portal of entry. Portal of exit dimana jalan keluar dari kuman
kusta adalah melalui selaput lendir hidung penderita selain itu juga berasal
dari sekret hidung penderita yang telah mengering dimana basil dapat hidup
2 – 7 hari. Portal of entry dimana organisme yang masuk melalui saluran
pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak – anak
dibawah satu tahun diduga penularannya melalui plasenta(Masriadi, 2017)
Penyebaran dan penularan penyakit kusta dipengaruhi oleh beberapa
hal yaitu intensitas kontak dengan penyakit kusta, pernah tidaknya kontak,
dan lama kontak dengan penderita. Lingkungan yang meliputi air, tanah dan
udara berperan menjadi habitat alamiah penyakit kusta. Penularan penyakit
kusta dapat melalui udara (airbone disease), air (waterborne disease) dan
tanah. Penularan melalui udara (airbone disease) yaitu pada mukosa hidung
yang merupakan tempat terjadinya infeksi primer. Pernyataan tersebut
diperkuat dengan penemuan bahwa bakteri Mycobacterium leprae mampu
hidup untuk beberapa waktu di lingkungan. Penularan penyakit kusta
tertinggi melalui tetesan lendir mukosa hidung yang terdispersi ke udara
pernapasan (droplet infection). Dimana pada mukosa hidung penderita
terdapat banyak sekali basil kusta yang mudah terbawa keluar melalui udara
pernapasan (Cendaki, 2018).
F. Upaya Pencegahan
Pencegahan penyakit kusta di latar belakangi oleh promosi
kesehatan dan pemberian imunisasi (Ulfah et al., 2018). Tindakan yang
dapat dilakukan untuk melakukan personal hygiene seperti merawat kulit,
menjaga kebersihan diri, lingkungan dan pergaulan (Gustomi & Larasati,
2015). Memeriksa apakah ada luka atau lecet, melindungi tangan dari benda
yang panas dan tajam ataupun kasar dengan memakai kaos tangan tebal atau
alas kain, merawat luka yang memar atau lecet dan istirahatkan bagian
tangan atau kaki tersebut sampai sembuh (Fajriyah et al., 2015). Strategi dan
intervensi yang dilakukan untuk mendorong deteksi dini kusta antara lain
program eliminasi kusta, surveilans gejala, pemeriksaan kontak, survei
terfokus, pelatihan tenaga medis, penyuluhan kesehatan, dan investasi
keuangan untuk perbaikan transportasi dan rekonstruksi departemen
dermatologi dan desa kusta(Id et al., 2021)
G. Upaya Pengendalian
Pertama, komitmen politik harus dipertahankan di tingkat pemerintah
pusat dan daerah, kepemimpinan pemerintah harus diperkuat, pendanaan
berkelanjutan harus disediakan, dan layanan rutin dan rujukan harus
diperkuat dalam sistem kesehatan terpadu. Kedua, kualitas layanan klinis
untuk deteksi dini, diagnosis dan pengobatan harus ditingkatkan, terutama
dengan memantau gejala kusta demikian pula pengelolaan komplikasi akut
dan kronis, termasuk reaksi kusta dan reaksi obat yang merugikan. Ketiga,
intervensi pencegahan kecacatan / gangguan dan layanan rehabilitasi harus
diluncurkan secepat mungkin. Keempat, penelitian ilmiah harus dilakukan
untuk mempromosikan teknologi baru pencegahan kusta, deteksi dini,
pemantauan resistensi obat, dan kambuh serta manajemen kasus. Selain itu,
pembentukan dan pemeliharaan sistem surveilans, pemanfaatan LEPMIS,
dan penguatan pengumpulan dan pemanfaatan data epidemiologi dapat
memberikan dasar ilmiah untuk merumuskan dan menyempurnakan strategi
pencegahan dan pengendalian penyakit kusta(Id et al., 2021).
Pengendalian yang saat ini sedang dipertimbangkan adalah
kemoprofilaksis dan imunoprofilaksis. Kemoprofilaksis menurut definisi
memberikan perlindungan sementara karena mengurangi beban bakteri
dengan penggunaan agen antimikroba. Itu tidak menyebabkan perlindungan
imunologi yang langgeng seperti yang dilakukan oleh imunoprofilaksis
dengan vaksin. pengendalian kusta lokal melalui pengenalan atau penguatan
pelacakan kontak, peningkatan motivasi terkait dengan ketersediaan obat
pencegahan yang efektif dan diterima dengan baik, serta pelatihan dan
pengawasan yang lebih sering (Richardus et al., 2021). Kemoprofilaksis
adalah pemberian obat untuk mencegah infeksi, pada kusta mencegah infeksi
M. leprae pada orang yang berisiko tinggi terpapar bakteri tersebut (kontak
penderita) Kecacatan yang dialami oleh penderita kusta sebenarnya dapat
dicegah melalui diagnosis dini dan pengobatan secara teratur dan akurat
melalui Multi Drug Therapy (MDT), walaupun kecacatan bisa juga terjadi
selama proses dan setelah pengobatan. Pengobatan MDT secara teratur dan
tuntas mampu membunuh kuman kusta, akan tetapi cacat yang telah terlanjur
akan permanen atau menetap, sehingga harus dilakukan upaya perawatan
diri. melakukan pemantauan atau memonitor melalui pemeriksaan yang
dilakukan pada setiap pertemuan, memperhatikan perkembangan psikis dan
sosial dari penderita (Noratikasari et al., 2020).
Pemberantasan kusta dengan menyediakan obat – obatan yang efektif
untuk pengobatan dan mencegah penularan secara cepat, seperti rifampisin
telah mengubah penatalaksanaan penderita penyakit kusta dan kehidupan
penderita kusta dari pengucilan sosial dengan cara berobat jalan (Amiruddin,
2019). Pengobatan kusta sangat penting dalam pemberantasan kusta karena
penyakit kusta dapat disembuhkan dengan berobat secara teratur, pengobatan
MDT (Multi Drug Treatmen) merupakan kunci dari strategi eliminasi kusta
disamping pelayanan kesehatan dan kepatuhan pasien (Agusstyawan, 2020).
Tahun 2006 WHO mengeluarkan kebijakan Global Strategy for Further
Reducing the Leprosy Burden and Suistaning Leprosy Control Activities
(2006-2010) yaitu untuk menurunkan beban penyakit dan kesinambungan
program pemberantasan penyakit kusta, dengan cara menurunkan angka
kesakitan atau angka prevalensi kurang ari 1 per 10.000 penduduk, serta
untuk mencapai eliminasi kusta masih diperlukan peningkatan kualitas
program kegiatan yang meliputi penemuan penderita baru, pengobatan yang
tepat dengan Multidrug Therapy (MDT), tingkat kepatuhan pengobatan dan
pemantauan kasus, pencegahan cacat, rehabilitasi non medis atausosial dan
promosi kesehatan (S. Meru, S. Winarsih, 2017).
Daftar Pustaka
Agusstyawan, F. W. (2020). Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Minum
Obat pada Penderita Kusta di Kabupaten Bondowoso. Jurnal Keperawatan
Profesional, 8.
Amelia, R. (2020). Pendampingan Masyarakat Mantan Penderita Kusta (A. Yanuar, A.
J. Muslimin, M. J. Sidik, M. M. Hakim, & W. E. Nugroho (Eds.)). PT Sahabat
Alter Indonesia.
Amiruddin, M. D. (2019). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Brilian
International.
Amruddin, M. D. (2012). Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis (A. Wijaya (Ed.)).
Penerbit Brilian Internasional.
Cendaki, Q. A. (2018). The Findings of Mycobacterium Leprae DNA Existence in the
Air as an Indication of Leprosy Transmission from Respiratory System. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 10(2), 181.
Churchyard, G., Kim, P., Shah, N. S., Rustomjee, R., Gandhi, N., Mathema, B., Dowdy,
D., Kasmar, A., & Cardenas, V. (2017). What We Know about Tuberculosis
Transmission: An Overview. Journal of Infectious Diseases, 216, S629–S635.
https://doi.org/10.1093/infdis/jix362
Depkes RI. (2012). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Depkes RI.
Eichelmann, K., González, S. E. G., Salas-Alanis, J. ., & Ocampo-Candiani, J. (2013).
Leprosy . An Update : Definition , Pathogenesis , Classification , Diagnosis , and
Treatment. Actas Dermosifiliograficas, 104(7), 554–563.
Fajriyah, N. N., Andriani, A., Keperawatan, P., & Zaitun, M. (2015). Efektivitas
Minyak Zaitun untuk Pencegahan Kerusakan Kulit pada Pasien The effectiveness
of Olive Oil for Skin Damage Prevention in Patients with Leprosy. Jurnal Ilmiah
Kesehatan, VII(1).
Gustomi, M., & Larasati, R. (2015). Journals of Ners Community Volume 6 No 1 Juni
2015. Journal of Ners Community, 6(1), 1–7.
Hadi, M. I., & Kumalasari, M. L. F. (2017). Kusta Stadium Subklinis Faktor Risiko dan
Permasalahannya.
Id, T. S., Id, H. L., Xiong, L., Zhang, X., & He, J. (2021). Towards the elimination of
leprosy in Yunnan , China : A time-series analysis of surveillance data.
Kasim, F., Soen, M., & Hendranata, K. F. (2012). Observed Treatment Shortcourse
Sebagai Upaya Penanggulangan Tuberculosis di Puskesmas yang Berada. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia, 01(03), 134–143.
Lucya, V. (2021). Prevention of Tuberculosis : Literature Review. KnE Life Sciences,
2021, 630–634. https://doi.org/10.18502/kls.v6i1.8663
Masriadi. (2017). Penyakit Menular (2nd ed.). Rajawali Pers.
Mudatsir. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Infeksi Kusta. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala, 10(2), 99–104.
Najmah. (2016). Epidemiologi Penyakit Menular. Trans Info Media.
Nesa Suci Ayu. (2018). Open Acces. Journal of Holistic and Traditional Medicine,
03(02).
Noratikasari, P. D., Ariyanto, Y., & Ririanty, M. (2020). Peran Kelompok Perawatan
Diri (KPD) dalam Upaya Mencegah Peningkatan Kecacatan pada Penderita Kusta.
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 15(1), 22.
https://doi.org/10.14710/jpki.15.1.22-30
Pangestika, R., Fadli, R. K., & Alnur, R. D. (2019). Edukasi Pencegahan Penularan
Penyakit TB melalui Kontak Serumah. Jurnal SOLMA, 8(2), 229–238.
Richardus, J. H., Tiwari, A., Barth-Jaeggi, T., Arif, M. A., Banstola, N. L., Baskota, R.,
Blaney, D., Blok, D. J., Bonenberger, M., Budiawan, T., Cavaliero, A., Gani, Z.,
Greter, H., Ignotti, E., Kamara, D. V., Kasang, C., Manglani, P. R., Mieras, L.,
Njako, B. F., … Steinmann, P. (2021). Leprosy post-exposure prophylaxis with
single-dose rifampicin (LPEP): an international feasibility programme. The Lancet
Global Health, 9(1), e81–e90.
S. Meru, S. Winarsih, T. S. (2017). The correlation of knowledge level on leprosy with
the drinking obedience of MDT (multidrug therapy) in leprosy patients at public
health center Kejayan and Pohjentrek of Pasuruan. Majalah Kesehatan FKUB,
4(1), 20–29.
Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 10(2), 122. https://doi.org/10.15294/kemas.v10i2.3372
Shelvy, C. D. (Ed.). (2010). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Salemba Medika.
Syukur, S. B., & Pakaya, A. W. (2018). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Tbc Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Bolangitang. Jurnal Zaitun
Universitas Muhammadiyah Gorontalo. https://doi.org/10.31227/osf.io/fk2qp
Ulfah, M., Kamasturyani, Y., & Ramandani, P. M. (2018). PENYAKIT KUSTA
DENGAN RISIKO PENULARAN KUSTA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS LOSARI , PUSKESMAS ( Correlation Of Knowledge About
Prevention Of Kusta Disease and Kusta Transmission Risk In. Jurnal Kesehatan
Mahardika, 5(2), 26–31.
WHO. (2012). Global Tuberculosis Report 2012. WHO.

Anda mungkin juga menyukai