Anda di halaman 1dari 21

JURNAL PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI II

PRAKTIKUM I PENYAKIT DYSPEPSIA

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 22 Oktober 2019


A2B - Kelompok 2
Oleh:

I Gede Argham Mahardika (171200165)

I Kadek Aditya Putra (171200166)

I Komang Agus Mahardika (171200167)

I Made Pradnyana Putra (171200168)

I Nyoman Adi Parawita (171200169)

Dosen Pengampu

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS

INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI

2019

1
DAFTAR ISI

Cover ......................................................................................................................................... i

Daftar isi................................................................................................................................... ii

Tujuan praktikum ..................................................................................................................... 1

Dasar Teori............................................................................................................................... 1

1. Definisi ......................................................................................................................... 1
2. Klasifikasi .................................................................................................................... 1
3. Diagnosis...................................................................................................................... 6
4. Patofisiologi ................................................................................................................. 7

Daftar pustaka ........................................................................................................................ 10

ii
PENYAKIT DISPEPSIA

A. Tujuan
1. Mengetahui definisi dyspepsia.
2. Mengetahui klasifikasi dyspepsia.
3. Mengetahui patofisiologi dyspepsia.
4. Mengetahui tatalaksana dyspepsia (farmakologi & Non-Farmakologi).
5. Dapat menyelesaikan kasus terkait dyspepsia secara mandiri dengan menggunakan
metode SOAP.
B. Dasar Teori
1. Definisi
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan dalam suatu sindrom atau kumpulan
gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual,
muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitas, dan rasa panas
yang menjalar di dada (Sudoyo, 2009). Keluhan ini tidak selalu ada pada setiap
penderita. Setiap penderita keluhannya dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi
jenis keluhan maupun kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit,
melainkan merupakan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari
penyebabnya (Sofro dan Anurogo, 2013).
2. Klasifikasi
Secara umum dyspepsia dapat dibedakan menjadi:
 Dispepsia akut yaitu pada saat muncul dalam periode waktu yang cepat.
Patofisiologi dispepsia akut jarang terjadi sering kali berterkait dengan
makanan, alkohol, obat-obatan, merokok dan stres. Ada berbagai macam jenis
makanan yang dapat menyebabkan dispepsia, antara lain: makanan pedas, kopi,
coklat, makanan berlemak, tomat. Kopi coklat dan alkohol dapat menyebabkan
relaksasi pada sfingter esofagus bagian bawah yang sehingga dapat
menimbulkan dispepsia, sedangkan makanan berlemak menyebabkan waktu
pengosongan lambung tertunda. Obat-obatan juga dapat menyebabkan
timbulnya dyspepsia. Obat-obatan yang dapat menyebabkan dispepsia:
antagonis kalsium, nitrat, teofilin, bisfosfonat, NSAID (Non steroid
inflamatory drugs), digoxin, kortikosteroid, obat-obatan

3
erithromisin.Dispepesia juga dapat disebabkan oleh gaya hidup yang buruk
(lifestyle) dan faktor psikologi (stress). Gaya hidup yang buruk dapat
menyebabkan timbulnya dyspepsia contohnya: obesitas, merokok (relaksasi
sfingter esophagus bagian bawah) makan terlalu banyak, posisi tidur tanpa alas
kepala (refluks asam lambung).
 Dispepsia kronis didefinisikan sebagai gejala kambuhan yang termasuk nyeri
epigastrik, abdomen boating, sendawa, mual, muntah dan rasa penuh pada
abdomen (merasa kenyang lebih awal saat makan). Patofisiologi dispepsia
kronis berkaitan dengan penyebab lain, contohnya GERD (Gastroesophageal
reflux disease), PUD (Peptic Ulcer Disease) dengan atau tanpa esofagitis,
keganasan (kanker pada lambung), dan dispesia idiopatik (tidak diketahui
penyebabnya dan pada hasil endoskopi tidak ditemukan kerusakan mukosa.
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia terbagi
atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dikatakan dispepsia organik bila
penyebab dispepsia sudah jelas misal adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung dan
kholelithiasis yang bisa ditemukan dengan mudah. Dikatakan dispepsia fungsional bila
penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan
gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya kerusakan organik dan
penyakit-penyakit sistemik (Tarigan, 2003).
a. Dyspepsia organic
Dispepsia organik baru bisa dipastikan bila penyebabnya sudah jelas. Yang dapat
digolongkan dispepsia organik, yaitu (Hadi, 2002) :
1. Dispepsia tukak (ulcer-like dispepsia)
Keluhan yang sering dirasakan ialah rasa nyeri pada ulu hati. Berkurang atau
bertambahnya nyeri ada hubungannya dengan makanan, sering terbangun
saat tengah malam karena nyeri pada ulu hati. Hanya dengan endoskopi dan
radiologi baru bisa dipastikan tukak di lambung atau duodenum.
2. Dispepsia bukan tukak
Keluhannya mirip dengan dispepsia tukak, biasa ditemukan pada gastritis
dan duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-
tanda tukak.

4
3. Refluks gastroesofageal
Gejala yang sering ditemukan adalah rasa panas di dada dan regurgitasi
masam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan ini
disertai keluhan sindroma dispepsia lainnya maka dapat disebut dispepsia
refluks gastroesofageal.
4. Penyakit saluran empedu
Sindroma dispepsia biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa
nyeri dari perut kanan atas atau ulu hati yang menjalar ke punggung dan
bahu kanan.
5. Karsinoma
Karsinoma saluran cerna (esofagus, lambung, pankreas dan kolon) sering
menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering dijumpai
yaitu rasa nyeri di perut, keluhan bertambah berkaitan dengan makanan,
anoreksia dan berat badan menurun.
6. Pankreatitis
Rasa nyeri timbul mendadak dan menjalar ke punggung. Perut terasa makin
tegang dan kembung. Dan didapat juga keluhan lain dari sindroma
dispepsia.
7. Dispepsia pada sindroma malabsorpsi
Pada penderita ini selain menderita nyeri perut, nausea, anoreksia, sering
flatus dan kembung juga didapat diare profus yang berlendir.
8. Dispepsia akibat obat-obatan
Banyak obat-obatan yang bisa menimbulkan rasa nyeri atau tidak enak pada
ulu hati tanpa atau disertai mual dan muntah, misalnya obat golongan
NSAID (non steroidal anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik
oral (terutama ampisilin dan eritromisin), alkohol dan lain-lain. Oleh karena
itu perlu ditanyakan obat yang dikonsumsi sebelum timbul keluhan
dispepsia.
9. Gangguan metabolisme
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan
lambung yang lambat sehingga timbul nausea, vomitus dan rasa cepat

5
kenyang.Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan nyeri di perut dan
vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomotilitas
lambung. Hiperparatiroidi mungkin disertai nyeri di perut, nausea, vomitus
dan anoreksia.
10. Penyakit lain
Penyakit jantung iskemik sering didapat keluhan perut kembung dan rasa
cepat kenyang. Penderita infark miokard dinding inferior juga sering
memberi keluhan nyeri perut pada bagian atas, mual dan kembung. Kadang
penderita angina memiliki keluhan menyerupai refluks
gastroesofageal.Penyakit vaskuler kolagen terutama pada skleroderma di
lambung atau usus halus sering memberi keluhan sindrom dispepsia. Rasa
nyeri perut sering ditemukan pada penderita SLE terutama yang banyak
mengkonsumsi kortikosteroid.
b. Dyspepsia Fungsional
Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, merupakan dispepsia yang tidak
ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.
Penderita dengan dispepsia fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam
lambung. Kelainan psikis, stres dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan
dispepsia fungsional (Hadi, 2002).
3. Diagnosis
Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab lain dispepsia
berhasildieksklusi. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada upaya mengeksklusi
penyakitpenyakit serius atau penyebab spesifik organic yang mungkin, bukan menggali
karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala dyspepsia yang dikeluhkan
pasien.(Gunawan,2012)
Dispepsia fungsional: Kriteria diagnostik terpenuhi “bila 2 poin di bawah ini
seluruhnya terpenuhi”:
1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:
a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu
b. Perasaan cepat kenyang
c. Nyeri ulu hati

6
d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium
2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan
timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksisaat endoskopi saluran cerna bagian
atas [SCBA])
“Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal mula gejala timbulsedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.”
(Gunawan,2012)
Tidak semua pasien dyspepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi.Banyak pasien
dapat ditatalaksanadan di diagnosis secara klinisdengan baik kecuali bila ada
alarmsign.(Bytzer,2004)
Jika terdapat alarm symptoms atau alarm sign sepertipenurunan berat badan,
timbulnyaanemia, muntah yang prominen,maka hal tersebut merupakanpetunjuk awal
akan kemungkinanadanya penyebab organik yangmembutuhkan
pemeriksaanpenunjang diagnostik secara lebihintensif seperti endoskopi
dansebagainya.(Rani, 2011)
4. Patofisiologi
Dari sudut pandang patofi siologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan
potensialberhubungan dengan dispepsia fungsionaladalah hipersekresi asam lambung,
infeksiHelicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
Ferri et al. (2012)menegaskan bahwa patofi siologi dyspepsia hingga kini masih belum
sepenuhnya jelas danpenelitian-penelitian masih terus dilakukanterhadap faktor-faktor
yang dicurigai memilikiperanan bermakna, seperti di bawah ini:
1. Abnormalitas fungsi motorik lambung,khususnya keterlambatan
pengosonganlambung, hipomotilitas antrum, hubunganantara volume lambung
saat puasa yangrendah dengan pengosongan lambung yanglebih cepat, serta
gastric compliance yanglebih rendah.
2. Infeksi Helicobacter pylori
3. Faktor-faktor psikososial, khususnya terkaitdengan gangguan cemas dan
depresi.
(Gunawan,2012)
5. Tatalaksana Dispepsia

7
Tatalakana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan
faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan
sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil
investigasi.(Marcellus et al,2014)
a. Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi
empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu
pemerikaanadanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan
faktorrisiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal.(Marcellus et
al,2014)
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung
(PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atauH2-Receptor
Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnyarebamipide), di
mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan danriwayat pengobatan
pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembanganobat baru yang bekerja
melaluidown -regulation proton pumpyang diharapkanmemiliki mekanisme
kerja yang lebih baik dari PPl, yaitu DLBS 2411.(Marcellus et al,2014)
b. Dispepsia yang telah diinvestigasi
Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empiric,
melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu denganendoskopi
dengan atau tanpa pemerikaan histopatologi sebelum ditanganisebagai
dispepsia fungsional.Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan'
bahwa padabeberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai
kelainannya.(Marcellus et al,2014)
c. Dispepsia organic
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosaldamage) sesuai hasil endoskopi,
terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yangtermasuk
ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritishemoragik
duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan.Pada ulkus
peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yangdiberikan antara

8
lain kombinasi PPl, misal rabeprazole 2x20 mg/ lanzoprazole2x30 mg dengan
mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.
d. Dyspepsia Fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa,
terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang
ada.Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid,
itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada
beberapapasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan
perlambatanpengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia
fungsional.Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh
karenapotensi komplikasi kardiovaskular.(Ghoshal UC,2012)
e. Dispepsia dengan infeksi H. Pylori
Eradikasi H. Pylori mampu memberikan kesembuhan jangka panjang
terhadap gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectionalpada 21 pasien
diRumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa
terapieradikasi memberikan perbaikan gejala pada mayoritas pasien dyspepsia
dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81% penemuan Hp negatif
yang diperiksa dengan UBT.(Utla K,2010)
Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan
bahwaterapi eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin,
danklaritromisin) selama 7 hari lebih baik dariterapi selama 5 hari.(Syam
AF,2010)

9
(Megraud F. et al, 2011)

ALAT DAN BAHAN

1. ALAT:
 Form soap.
 Form medication record.
 Kalkulator scientific.
 Laptop dan koneksi internet.
2. BAHAN:
 Text book.
 Data nilai normal laboratorium.
 Evidence terkait (ournal, Systematic Review, Meta Analysis).

10
STUDI KASUS

1. Ny. XY, 38 thn, datang ke apotek mengeluhkan rasa sesak,kembung, tidak enak di perut
bagian ulu hati. Pasien mengurangi rasa tidak enak dengan cara beberapa kali makan dalam
sehari. Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 2 minggu terakhir. Pasien juga tidak
mnegluhkan hal yang lain. Pasien memiliki riwayat penyakit maag dan mengobati dirinya
sendiri dengan obat maag saja. Ny. XY belum mengonsumsi obat lainnya. Apoteker dari
apotek ABC memberika polysilane® kepada Ny. XY. Temukan DRP pada kasus ini?
2. Nn.W, 26 thn, pergi ke dokter umum kembali dengan mengeluhkan rasa nyeri di ulu hati
bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan yang belum bilang. Pasien
sudah mengalami gejala tersebut selama 15 hari terakhir. Sebelumnya pasien mendapatkan
obat ranitidine tablet dan antasida sirup. Akhirnya Nn. W mendapatkan rujukan melakukan
endoskopi di RS. Hasil dari endoskopi adalah gastritis ec dyspepsia. Pasien kembali ke
dokter dengan membawa hasilnya dan mendapatkan obat berupa sucralfat sirup,
omeprazole tablet, dan antasida sirup. Temukan DRP pada kasus ini ?

PEMBAHASAN

1. Kasus 1
NO Further Information Required Alasan
Bagaimana pola hidup pasien? Apakah Iya, (Pentingnya menanyakan life
1 pasien merokok, mengonsumsi alcohol, style karena lifestyle yg buruk
makan makanan berlemak? menjadi faktor pemicu dispepsia)
Berapa berat badan dan tinggi badan Ideal, (untuk pemberian terapi yg
2
pasien? tepat)
Tidak. (Untuk mengetahui faktor
Apakah pasien memiliki riwayat penyakit
3 pemicu lain yang menyebabkan
lain?
dyspepsia)
Apakah pasien pernah mengonsumsi Tidak. (untuk pemberian terapi yg
4
NSAID? tepat)
Tidak (untuk memberikan terapi
5 Ada alergi obat?
yang tepat)

11
Berapa dosis polysilane yang digunakan 3x1 cth (5 mL). (untuk mengetahui
6
pasien? kesesuaian dosis pada literatur)

a. Subjective
Rasa sesak,kembung, tidak enak di perut bagian ulu hati.
b. Objective

c. Assesement:

Diagnosa Pengobatan yang DRP Plan


diberikan
Dyspepsia Polysilane syr M1.2 Efek obat tidak Obat diganti dengan
optimal golongan PPI
P1.1 pemilihan obat Lansoprazole full
tidak tepat dose 1 x 30 mg
13.6 obat baru mulai
diberikan

d. Pl

 Efektivitas
Dilakukan pemantauan efek terapi obat tersebut dan monitoring
 Efek Samping
Perlu di monitoring efek samping yang dapat timbul dari penggunaan
obat-obat tersebut.
Kasus 2
Medication
No Nama Obat Indikasi Dosis yang Digunakan Dosis literatur
1 Sulcrafat Syr Gastritis 3 x 15 mL 4 x 1 g (pc)
2 Omeprazole cap Peptic ulcer 2 x 1 caps 1 x 20-40 mg (pc)
3 Domperidon tab Antiemetic 1 x 1 tab 4 x 10 mg (ac)
4 Antasida syr Gastic acid 3 x 15 mL 3-4 x 10 mL (pc)
(MIMS. 2010)

12
NO Further Information Required Alasan
1 Apakah ada penurunan berat badan? Tidak, (untuk melihat alarm sign)
Tidak, (untuk pemberian terapi yg
2 Apakah ada pemeriksaan H.pylori?
tepat)
Dosis terapi yang digunakan setelah
3 (Tertera di medication)
endoskopi
Gejala kekambuhan atau pengobatan tidak
4 Tidak ada respon
ada respon?
Tidak (untuk memberikan terapi
5 Ada alergi obat?
yang tepat)
6 Ada riwayat konsumsi NSAID? Tidak ada

Problem List
NO Medical Pharmaceutical
1 Adanya penurunan nafsu makan a. M1.4. ada indikasi tetapi tidak
yang belum diterapi diterapi
b. P1.5. ada indikasi obat tidak
diresepkan
2 Adanya kombinasi obat yang tidak a. P1.3. kombinasi obat-obat
tepat (antasida dan omeprazole) tidak tepat karena adanya
nteraksi
b. M1.1. Efek obat tidak efektif
c. P5.4. obat tidak diminum atau
tidak diberikan

13
3 Dosis domperidone kurang atau P3.1. Dosis obat terlalu rendah
terlalu rendah

e. Subjective
Pasien mengeluh rasa nyeri di ulu hari bagian atas dan bawah, rasa mual, penurunan
nafsu makan yang belum hilang.
f. Objective
Pasien mendapat rujukan melakukan endoskopi di RS. Hasil dari endoskopi
tersebut ialah pasien didiagnosa gastritis dyspepsia
g. Assesement:
NO Diagnosa/gejala Pengobatan DRP Plan
1 Gastritis 1. Omeprazole (2 x 1 M1.1, P1.3, Karena adanya
ec.dyspepsia kaps) P5.4 interaksi antara
2. Antasida (3 x 15 antasida
mL) dengan
3. Sulcrafat (3 x 15 omeprazole
mL) maka antasida
tidak perlu
diberikan
2 Mual Domperidon (1 x 10 mg) P3.1, M1.2, Perlu adanya
I3.2 penambahan
dosis karena
dosis kurang
dari literatur
3 Nafsu makan M1.4, P1.5 Ditambahkan
berkurang - obat nafsu
makan yaitu

14
curcuma tablet
2 x 1 tab

Berdasarkan studi kasus, pasien dapat dikatakan mengalami dyspepsia investigated.


Hal ini dikarenakan pasien mendapatkan pemeriksaan endoskopi sebelumnya dan
didiagnosa gastritis dyspepsia.
PPI Tujuh studi dengan total 3.725 pasien diidentifikasi. PPI
ditemukan lebih efektif dibandingkan plasebo dalam
mengurangigejala pada pasien dengan dispepsia fungsional.(Wei
et al,2007)
H2RA Sebuah meta-analisis dari 11 percobaan dan 2.164 pasien
menemukan bahwa H2RA lebih efektif daripada plasebo untuk
mengurangi gejala dispepsia.
Prokinetik Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon,
cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan
gejaladengan dispepsia fungsional.(Ghoshal UC,2012)
h. Plan
Terapi Alasan Dosis
Omeprazole Pada analisis intention-to-treat (n = 1 x 20 mg (pc)
1248) penggunaan omeprazole 20 mg
lebih efektif dalam menurunkan gejala
dibandingkan dengan omeprazole 10
mg. (Talley et al, 1998)
Antasida  Penggunaan antasida juga dapat 3 x 5 ml
mengurangkan aktivitas pepsin.
(Finkel, 2009).
 Obat ini merangsang sintesis
prostaglandin. (Mycek,2001).

15
 Terdapat interaksi yang
menyebabkan antasida tidak perlu
diberikan yaitu
Sucralfat Sukralfat menekan H.pylori dan 1 g x 4 kali sehari
menghambat sekresi asam,mengurangi (pc)
gejala pada beberapa pasien serta
memiliki efek samping yang kecil
(Abdar,2017)
Domperidone Domperidone (probabilitas SUCRA 3 x 10 mg/hari (ac)
62,9%) memberikan efektivitas yang
lebih baik daripada itopride dan
acotiamide. (Yang,2017)
Curcuma tablet Untuk menambah nafsu makan pada 2 x1 tablet/hari
pasien.
(Oetari. 1998)

 Efektivitas
Monitoring dilakukan untuk melihat efektivitas terapi yang diberikan.
Apabila tidak adanya respon obat ataupun pasien mengalami kekambuhan,
terapi dapat diganti ataupun dirujuk ke dokter spesialis
 Efek Samping
Perlu di monitoring efek samping yang dapat timbul dari penggunaan obat-
obat tersebut.
Pembahasan

Kasus I

Pada praktikum ini, mahasiswa diberikan kasus terkait penyakit dyspepsia dan
menyelesaikannya dengan menggunakan metode SOAP. Metode SOAP ini adalah metode yang
sering digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang terdiri dari Subjective, objective, assessment
dan plan dengan tujuan agar terapi yang diberikan sudah tepat dengan keluhan yang diderita oleh
pasien tersebut.

16
Pada kasus ini Ny. XY, 38 thn, datang ke apotek mengeluhkan rasa sesak, kembung, tidak
enak di perut bagian ulu hati. Pasien mengurangi rasa tidak enak dengan cara beberapa kali makan
dalam sehari. Pasien sudah mengalami gejala tersebut selama 2 minggu terakhir. Pasien juga tidak
mengeluhkan hal yang lain. Pasien memiliki riwayat penyakit “maag” dan mengobati dirinya
dengan obat maag saja. Ny. XY belum mengonsumsi obat lainnya. Apoteker dari apotek ABC
memberikan polysilance® kepada Ny. XY.
Setelah dilakukan wawancara dengan pasien dalam bentuk table FIR (Futher Information
Required) dimana tujuan dilakukan FIR ini adalah agar informasi yang diberikan oleh pasien
tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan terapi yang tepat. Setelah dilakukan
FIR dapat disimpulkan bahwa pasien menderita uninvestigated dyspepsia. Pasien mengalami
dyspepsia akut yang terjadi kurang dari 4 minggu. Berdasarkan obat yang diberikan oleh apoteker
tidak sesuai dengan manajemen terapi untuk dyspepsia uninvestigated yang seharusnya diberikan
adalah golongan PPI full dose. PPI full dose diberikan pada pasien yang tidak merespon
pengobatan atau bahkan mengalami kekambuhan. Terapi yang diberikan kepada Ny. XY, perlu
dilakukan penafsiran atau assessment, yakni sebagai berikut:
1. Penggunaan obat polysilane syr (antasida) dapat dihentikan karena tidak sesuai dengan
manajemen terapi yang terdapat pada guideline dan diduukung dengan adanya studi
mengenai efektifitas PPI vs antasida, dengan perbandingan sebagi berikut
“PPI lebih efektif dalam mengurangi gejala dispepsia daripada antasid atau alginat.
Rasio risiko yang dikumpulkan untuk penilaian gejala global adalah 0,72 (95% CI: 0,64
hingga 0,80; T: p = 0,24; ukuran: n / a). Tingkat rata-rata pada kelompok antasid atau
alginat adalah 63% dan PPI mencapai pengurangan absolut dari 18% (95% CI: 12%
menjadi 23%; T: p = 0,41; ukuran n / a) sejumlah yang diperlukan untuk mengobati
satu tambahan 'responden' dari 5.6 (95% CI: 4.3 hingga 8.3).”
2. Obat golongan PPI yaitu Lansoprazole full dose 1 x 30 mg selama 1 bulan. (NICE.
2014). Pasien perlu diberikan KIE mengenai cara pemakaian obat sehingga obat yang
diberikan mencapai efek terapi yang diinginkan.

Terapi non farmakologinya ialah sebagai berikut:


 Modifikasi life style
 Hindari makanan yang pedas dan berlemak

17
Monitoring efek terapi dilakukan, jika dalam waktu satu bulan gejala tidak menghilang,
maka disarankan melakukan uji H.pylori
Kasus II

Pada praktikum ini, mahasiswa diberikan kasus terkait penyakit dyspepsia dan
menyelesaikannya dengan menggunakan metode SOAP. Metode SOAP ini adalah metode yang
sering digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang terdiri dari Subjective, objective, assessment
dan plan dengan tujuan agar terapi yang diberikan sudah tepat dengan keluhan yang diderita oleh
pasien tersebut.
Pada kasus ini Nn. W, 26 thn, mengalami keluhkan rasa nyeri di ulu hati bagian atas dan
bawah, rasa mual, penurunan nafsu makan yang belum hilang. Pasien sudah mengalami gejala
tersebut selama 15 hari terakhir. Sebelumnya pasien mendapatkan obat ranitidine tablet dan
antasida sirup. Akhirnya Nn. W mendapatkan rujukan untuk melakukan endoskopi di RS. Hasil
dari endoskopi adalah gastritis ec dyspepsia. Pasien kembali ke dokter dengan membawa hasilnya
dan mendapatkan obat berupa sulcrafat sirup, omeprazole tablet, domperidone tablet, dan antasida
sirup.
Setelah dilakukan wawancara dengan pasien dalam bentuk table FIR (Futher Information
Required) dimana tujuan dilakukan FIR ini adalah agar informasi yang diberikan oleh pasien
tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan terapi yang tepat. Setelah dilakukan
FIR dapat disimpulkan bahwa pasien menderita dyspepsia fungsional. Hal tersebut didasari atas
informasi yang diperoleh oleh pasien(FIR) dan juga pasien melakukan endoskopi dan didiagnosa
mengalami gastritis ec dyspepsia. Dalam kasus ini pasien tidak melakukan tes uji H.Pylori.
Menurut Koda-kimble manajemen terapi dyspepsia fungsional yang telah diinvestigasi seharusnya
melanjutkan ke tahapan pemeriksaan uji H. pylori untuk mengetahui ada atau tidaknya peranan H.
pylori dalam penyakit yang dialami pasien tersebut.
Menurut (PGI,2013) terapi lini pertama pada pasien dyspepsia fungsional ialah golongan
PPI dengan atau tanpa prokinetik. Terapi yang diberikan kepada Nn. W, perlu dilakukan penafsiran
atau assessment, yakni sebagai berikut:
1. Untuk mual dapat diberikan Domperidone 3 x 10 mg/hari (ac), hal ini sudah tepat
karena Domperidone ini efektif untuk mengobati dispepsia fungsional (Dipiro et
al,2008) dan efektivitasnya lebih baik dibandingkan itopride dan acotiamide.
(Yang,2017)

18
2. Untuk pemberian antasida dapat diberhentikan diakrenakan mengalami interaksi
dengan obat omeprazole yang mengakibatkan kadarnya dalam darah berkurang
(Stockley,2010)
3. Pemberian Omeprazole dapat dilanjutkan 1 x 20 mg (pc)
4. Pemberian sucralfat dilanjutkan guna untuk menekan H.pylori dan menghambat sekresi
asam serta mengurangi gejala pada beberapa pasien dan memiliki efek samping yang
kecil (Abdar,2017)
5. Pemberian curcuma tablet untuk menambah nafsu makan pasien (Oetari. 1998)
diberikan 2 x1 tablet/hari
Dilakukan monitoring penggunaan obat agar terapi yang diberikan mentai target yang
diinginkan. Apabila dalam 1 minggu gejala tidak kunjung sembuh maka konsultasikanlah ke
dokter.
Terapi non farmakologinya ialah sebagai berikut:
a. Jangan makan pedas, berlemak, coklat
b. Modifikasi life style

19
DAFTAR PUSTAKA

Anonimb . 2010. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 9, 2009/2010. Jakarta: Penerbit Asli
(MIMS Pharmacy Guide).
Abdar EsfahaniM,AhmadiN,KeikhaM,Adibi P, SharmaN,Moayyedi P.Antacids, sucralfate and
bismuth salts for functional dyspepsia. Cochrane Database of Systematic Reviews 2017
Bytzer P. Diagnostic approach to dyspepsia. Best Practice & Research Clinical Gastroenterol.
2004;18:681-93.
Dipiro et al., 2008, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition, 2085-2117,
TheMcGraw-Hill Companies, Inc., USA.
Finkel R., Clark M.A., Cubeddu L.X., Harrey R.A., Champe P.C., 2009, Lippincott’s Illustrated
Review Pharmacology 4thEd, Pliladelphia: Williams & Wilkins (329-335, 502-509).
Gunawan, Jeffri. 2012. “Dispepsia.” 39(9): 647–51.
Hadi, S. 2002. Gastroenterologi. Bandung, P.T. Alumni.
Hunt RH, Xlro SD, Megraud F. et al. Hellcobacter pylorl ln developing countrles. World
Gastroenterology Organisation Global Guldellne. J Gastrcintesdn Ltoer Dis 2011;20;299-
304.
Miwa H, Ghoshal UC, Gonlachanvlt S, et al. Asian consensus report on functional dyspepsia. J
Neurogastrenterol Motil 2012;18:150-68.
Mycek, M. J, Harvey, R.A. dan Champe, P.C., 2001, Farmakologi Ulasan Bergambar 2nd ed. H.
Hartanto, ed., Jakarta, Widya Medika.
NICE. 2010. Management of chronic obstructive pulmonary disease in adults in primary and
secondary care (partial update). National Institute for Health and Care and
Excellence.guidance.nice.org.uk/cg101.
Rani AA, Jacobus A. Buku Ajar Gastroenterologi. Jakarta Pusat: Interna Publishing; 2011.
Oetari, R.A., 1998, The interactions betweencurcumin and curcumin analogues andcytochrome
P450, molecular andstructure-activity relationships studies, Dissertation, GMU, Yogyakarta

20
Sofro, M., & Anurogo, D. (2013). 5 menit memahami 55 problematika kesehatan. Yogyakarta: D-
Medika.
Sudoyo, AW., dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam; edisi V jilid I. Jakarta; Interna
Publising.
Syam AF, Abdullah M, Rani AA et al. A comparlson of 5 or 7 days of rabeprazole triple therapy
fotreradication of Helicobacter pylori. Med J lndones 2010:1 13-7.
Simadibrata K, Marcellus et al. 2014. KONSENSUS NASIONAL Penatalaksanaan Dispepsia dan
Infeksi Helicobacter pylori. Jakarta: ISBN
Stockley., Baxter, K., 2010. Stockley’s Drug Interactions: 9th Edition. Pharmaceutical Pr, London.
Tarigan, C.J. 2003. Perbedaan Depresi Pada Pasien Dispepsia Fungsional Dan Dispepsia
Organik. Tesis, Universitas Sumatera Utara. USU Digital Library.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6365 [diakses tanggal 23 februari 2012].
Talley et al. (1998). Efficacy of omeprazole in functional dyspepsia: double-blind, randomized,
placebo-controlled trial (the bond and opera studies). Journal of medicine vol 12; 1055-1065
Utla K, Syam AF, Slmadlbrata M, Setiatl S, Manan C. Clinlcal evaluatlon of dyspepsia in patlents
with functional dyspepsia, with the history of Helicobacter pylorl eradication therapy in
Clpto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Acta Med lndones 2010;42:86-93.
Wei et al. (2007). Effects of Proton-Pump Inhibitors on Functional Dyspepsia: A Meta-analysis of
Randomized Placebo-Controlled Trials. Journal clinical gastroenterology and hepatology
vol 5; 178-185
Yang et al. 2017. Prokinetics for the treatment of functional dyspepsia: Bayesian network meta-
analysis. Journal of BMC Gastroenterology: 1 - 12

21

Anda mungkin juga menyukai