Anda di halaman 1dari 28

TUGAS BESAR BIOTEKNOLOGI

“INTERFERON (ROFERON-A)”

OLEH:
1. IDA AYU HELSHE GIANA PUTRI KUMARA (161200062/A1C)
2. LUH GEDE ADELIA SURYANINGSIH (161200063/A1C)
3. NI KETUT KUSUMA WARDANI (161200064/A1C)
4. NI KETUT SRI MULYATI ANTARI (161200065/A1C)
5. NI KOMANG SUKMA GITA SARI (161200066/A1C)
6. NI MADE AYU CANDRA DEWI (161200067/A1C)
7. NI MADE AYU UTAMI (161200068/A1C)

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN
MEDIKA PERSADA BALI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Interferon (IFNs) adalah garis pertahanan utama sitokin terhadap sistem
kekebalan yang mengatur kekebalan dengan aktivitas antivirus potensial.
Penelitian telah mengungkapkan bahwa keluarga sitokin ini juga memiliki
potensi untuk digunakan dalam pengobatan kanker, termasuk melanoma,
leukemia sel rambut, dan karsinoma sel ginjal. Pada tahun 1980, Institut
Nasional Alergi dan Penyakit Menular dan Organisasi Kesehatan Dunia
mengklasifikasikan IFN berdasarkan tiga jenis, yaitu IFN-α, IFN-β, dan IFN-
γ. Saat ini, IFN dikelompokkan berdasarkan dua kelompok utama, IFN tipe I
dan IFN tipe II yang dikategorikan berdasarkan perbedaan kemampuan
mengikat dengan tipe reseptor umum. IFN tipe I, yang dikenal sebagai IFN
virus, berikatan dengan reseptor IFN tipe I. Jenis ini termasuk IFN-α
(leukosit), IFN-β (fibroblast), IFN-ω (leukosit), dan IFN-τ (ovum trofoblas)
yang memiliki struktur homolog yang signifikan. IFN-γ hanya salah satu dari
IFN tipe II yang berikatan dengan reseptor IFN tipe II. IFN ini, dikenal
sebagai IFN imun, diproduksi oleh sel-T dan sel natural killer (NK)
(Esperanza Gómez-Lucía, 2009; Jonasch & Haluska, 2001; Nyman et al.,
1998; Platanias, 2005; Samuel, 2001).
Human IFN-α2a ditemukan sebagai protein manusia murni pertama yang
telah disetujui sebagai terapi kanker sejak 1986. Ini digunakan untuk
pengobatan leukemia sel rambut dan saat ini sebanyak 86 negara telah
menggunakan IFN-α2a human rekombinan (rhIFN- α2a) dalam pengobatan
hepatitis dan kanker (Jonasch & Haluska, 2001). Juga dilaporkan bahwa
rhIFN-α2a memiliki efek terapi untuk beberapa penyakit kulit termasuk
vaskulitis urtikaria kronik dengan angioedema (Matteson, 1996), virus herpes
terkait penyakit radang usus (kolitis ulseratif dan penyakit Crohn) (Ruther et
al., 1998) dan kulit, melanoma ganas (Wang et al., 2007). Selain itu, studi
pendahuluan pada model hewan mengungkapkan potensi terapi rhIFNα-2a
untuk pengobatan infeksi rabies (Roy et al., 2015). rhIFN-α2a secara luas
diterapkan dalam monoterapi atau terapi kombinasi dengan obat lain. rhIFN-
α2a dikombinasikan dengan ribavirin, lamivudine atau adevofir dalam
pengobatan hepatitis dan dikombinasikan dengan cytarabin, vinblastine, 5-
fluorouracil, tamoxifen atau interleukin-2 dalam pengobatan kanker (Golan et
al., 2008; Jonasch & Haluska, 2001; Buckle, 1996).
Larutan rhIFN-α2a injeksi biasanya digunakan untuk terapi. Namun,
sebuah penelitian baru menunjukkan bahwa hidrogel asam hialuronat-
tyramine suntik yang menggabungkan interferon-α2a lebih berpotensi dalam
kemanjuran apoptosis dan sel-sel yang kurang berkembang biak dibandingkan
dengan larutan rhIFN-α2a dalam sel kanker hati dan memberikan profil
farmakokinetik yang lebih baik pada model tikus (Xu et al. ., 2013).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas adapun rumusan masalah yang dapat
kami simpulkan adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan produk bioteknologi interferon (IFNs)?
2. Bagaimankah proses up stream dari produk bioteknologi interferon
(IFNs)?
3. Bagaimanakah proses down stream dari produk bioteknologi interferon
(IFNs)?
4. Bagaimanakah analisis kemurnian produk bioteknologi interferon (IFNs)?

1.3 Tujuan Makalah


Tujuan yang kami harapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut
1. Agar dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan produk bioteknologi
interferon (IFNs)
2. Agar dapat mengetahui bagaimana proses dari up stream bioteknologi
interferon (IFNs)
3. Agar dapat mengetahui bagaimana proses dari down stream bioteknologi
interferon (IFNs)
4. Agar dapat mengetahui bagaimana analisis kemurnian produk
bioteknologi interferon (IFNs)?
1.4 Manfaat Makalah
Manfaat yang kami harapkan dari penulisan makalah ini yaitu agar dapat
memberikan pemahaman mengenai produk bioteknologi interferon (IFNs).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Interferon
Interferon (IFN) termasuk kelompok glikoprotein yang diproduksi oleh
berbagai tipe sel sebagai respon terhadap rangsangan yang diterima oleh sel.
Rangsangan tersebut bisa disebabkan oleh virus, bakteri, parasit, sel tumor,
atau antigen lain. Interferon mempunyai berat molekul sekitar 20-30 kDa.
Interferon juga termasuk dalam golongan sitokin seperti interleukin (ILS),
colony- stimulating factors dan growth factors. Sitokin bekerja pada reseptor
spesifik di permukaan sel dan berfungsi sebagai pengatur kelangsungan hidup
sel, proliferasi sel, diferensiasi dan aktivasi fungsional sel (Obeid dan
Bouvois, 2006).
Interferon berdasarkan tipe reseptornya dikelompokkan menjadi 2 tipe.
Interferon tipe I berikatan pada reseptor tipe 1, yaitu IFN alpha (α), IFN beta
(β), IFN omega (ω), dan IFN tao (τ). Interferon tipe 2 berikatan pada reseptor
tipe 2, yaitu IFN gamma (γ). Hampir semua tipe sel memproduksi IFN tipe I.
Interferon tipe II hanya diproduksi oleh sel limfosit T dan NK-cells (Natural
Killer Cells) (Jonasch dan Haluska, 2001).
Interferon memiliki aktivitas spektrum luas dan mekanisme kerjanya
melalui interaksi yang komplek. Interferon mempunyai aktivitas antivirus,
antitumor, berpengaruh pada metabolisme dan diferensiasi sel serta
memodulasi sistem imun (Jonasch dan Haluska, 2001). Interferon dapat
mencegah replikasi virus pada sel, serta dapat mengaktifkan fungsi khusus
dari sel meliputi deferensiasi, pertumbuhan, pengekspresian antigen
permukaan dan immunoregulasi sel (Meager, 2006). Aktivitas antivirus IFN
melalui mekanisme pencegahan replikasi pada sel-sel sekitar yang terinfeksi.
Pencegahan replikasi dilakukan melalui pengikatan IFN pada reseptor
permukaan membran sel yang mengaktifkan gen-gen pengkode protein yang
menghalangi replikasi virus. Ekspresi gen pengkode IFN terjadi melalui jalur
transduksi sinyal dan aktivasi transkripsi yang dikenal dengan jalur Jak-Stat.
Interferon α dan β berikatan pada tipe reseptor yang sama, sedangkan IFN γ
berikatan pada tipe reseptor yang berbeda (Samuel, 2001).
Mekanisme aksi dari IFN dimulai dengan zat penginduksi IFN akan
memicu sel untuk mengaktifkan gen ifn sehingga dihasilkan mRNA yang
kemudian ditranslasikan menjadi protein IFN. Protein IFN selanjutnya
disekresikan keluar sel. Interferon ekstraseluler akan terikat ke reseptor pada
membran sel sekitarnya. Proses pengikatan IFN pada reseptor ini akan
menginisiasi sinyal kaskade JAK/STAT yang selanjutnya akan menstimulasi
ekspresi gen penghasil protein efektor. Protein efektor akan memediasi efek
IFN sebagai antivirus, anti tumor, dan imunomodulator (Pang et al., 2005). Sel
yang teraktivasi juga dapat menghasilkan protein aktivator bagi sel lain
sehingga menghasilkan protein efektor (Samuel, 2001).
2.1.1 Interferon alfa 2a
Interferon-a-2a adalah inteiferon rekombinan dengan antivirus,
antitumor dan sifat imunomodulator. Interferon-a-2a adalah bentuk
rekombinan dari interferon-endogen. Dengan membujuk pelepasan enzim
intraseluler seperti 2'5'-oligoadenylate synthetase dan protein kinase
tergantung RNA untai ganda, obat menyebabkan degradasi viral
messenger RNA dan menghambat sintesis protein. Interferon-a-2a
memiliki berbagai efek imunomodulator: peningkatan ekspresi antigen
kompleks histokompatibilitas utama, peningkatan pembunuh alami dan
aktivitas sel T sitotoksik, induksi sitokin, dan produksi interferon endogen.
Perkembangan penyakit hati aktif menjadi sirosis tampaknya lambat pada
pasien menanggapi terapi interferon-a-2a (Haria & Benfield, 1995)
Gambar 1. Gambar tiga dimensi dari INF-α2a

Human IFN-α2a alami adalah O-glikosilasi protein yang mengandung


disaccharide galactosyl-Nacetylgalactosamine (Gal-GalNAc). Secara
umum, karakter IFN-α adalah sedikit asam (Adolf et al., 1991).
Karakteristik meliputi empat residu sistein yang membentuk dua ikatan
disulfida antara Cys 1-Cys 98 dan Cys 29-Cys 138 (Baron & Narula,
1990). Struktur hIFN-α2a mirip dengan struktur hIFN-α2b yang
mengandung 165 amino asam dengan hanya satu perbedaan dalam asam
amino residu pada posisi 23 (Lys to Arg). Secara umum, fitur dominan
struktur hIFN-α2a adalah klaster lima α-heliks, yang ditunjuk A ke E.
Empat dari mereka membentuk bundel helix tangan kiri. Terkait dengan
empat bundel heliks sitokin, Dimana struktur hIFN-α2a mirip dengan
hIFN-α2b dan juga murine IFN-β yang terlihat dari backbone fold, karena
mereka termasuk tipe I IFN. Berdasarkan analisis spektroskopi NMR, ada
empat domain diduga dari situs pengikatan reseptor hIFN-α2a yang terdiri
dari domain A (Met16-Ser28), AB (Cys29-Phe36), C (Glu78-Asp95) dan
D (Tyr122-Ala139) (Klaus et al., 1997).

2.1.2 Mekanisme Interferon Alfa 2a


IFN-α2a adalah tipe I IFN, oleh karena itu terlibat dalam pertahanan
terhadap infeksi virus. Tipe I IFNs memainkan peran penting untuk
menghasilkan respon imun adaptif dan bawaan. Setelah virus menginfeksi
sel, ia menginduksi tipe I IFN diatur oleh dua jalur sinyal transduksi,
klasik dan jalur Toll-like reseptor (TLR). Jenis yang disintesis IFN akan
mengikat reseptor spesifik mereka, yaitu reseptor alfa interferon (IFNAR),
dibentuk oleh dua subunit yaitu: IFNAR-1 dan IFNAR-2 (Gambar 2).
Interaksi ini menghasilkan heterodimerisasi kedua subunit. Hal ini akan
aktifkan tyrosine kinases TYK-2 dan janus kinase JAK-1. Fosforilasi IFN-
α atau IFN-β terlibat dalam transduksi sinyal beberapa molekul, yaitu
Transduksi Sinyal dan Aktivator Transkripsi (STAT) -1 dan STAT-2.
Mereka mengikat IRF-9 kemudian membentuk trimer (IFN-stimulated
gene factor-3, ISGF-3). Setelah translokasi ke dalam nukleus, ISGF-3
berikatan dengan Unsur-Unsur Respon Yang Dirangsang Interferon
(ISRE) dalam gen yang diinduksi IFN. Induksi ini mengarah ke mRNA
terjemahan dan rilis enzim intraseluler seperti 2 ', 5' oligoadenylate
synthetase dan beruntai ganda Protein kinase tergantung RNA,
menghasilkan degradasi viral messenger-RNA dan penghambatan
terjemahan protein (Chawla-Sarkar et al., 2003; Esperanza Gómez-Lucía,
2009; Samuel, 2001).

Gambar 2. Mekanisme induksi gen oleh Interferon tipe I.


2.2 Kloning dan Isolasi DNA
Cloning DNA merupakan suatu proses penggandaan jumlah DNA yang
rekombinan melalui proses perkembangbiakan, dimana cloning DNA ini
adalah teknik DNA rekombinan yang memungkinkan pembuatan satu DNA
menjadi DNA yang jumlahnya banyak dan murni. Kloning melibatkan ligase
sekuen tertentu misalnya suatu gen manusia kedalam vector. Vector adalah
urutan DNA yang terdapat didalam satu sel namun tidak termasuk kedalam
genom sel (Grompe et al., 1998). Vector berdasarkan jumlah salinannya dapat
dibedakan menjadi dua yaitu, vector dengan jumlah Salinan tinggi dan vector
dengan jumlah salinan rendah.
Proses cloning sendiri diawali dengan pemotongan DNA vector
menggunakan enzim restriksi yang menyebabkan DNA sirkuler terbuka dan
linier. Sedangkan DNA sirkuler linier lainnya diinginkan dibuat dengan ujung-
ujungnya yang sesuai untuk diligasikan kedalam suatu celah sehingga dapat
terbentuk DNA sirkuler yang telah mengandung insert. Kemudian vector
rekombinan yang diperoleh dimasukkan kedalam sel inang melalui proses
transformasi. Proses transformasi merupakan suatu proses pemasukan molekul
DNA kedalam sel (Grompe et al., 1998). Setelah proses transformasi selesai,
bakteri dibiakkan pada medium agar yang telah mengandung marka
antibiotika, hanya sel yang mengandung vector rekombinan yang tumbuh dan
berkoloni. Koloni ini kemudian disebut klon. Klon kemudian diperbanyak
dalam media cair untuk dilakukan isolasi DNA dalam jumlah yang besar.
Isolasi DNA terdiri empat tahap yaitu, tahap kultivasi sel dalam media
yang sesuai, pemecahan dinding sel, ekstraksi DNA, dan purifikasi DNA.
Proses pemecahan dinding sel bakteri dapat dilakukan dengan cara fisik yaitu
melakukan sonifikasi dan secara kimia menggunakan enzim lisozim,
etilendiamin tetra asetat (EDTA), dan sodium diodesil sulfat (SDS). Dinding
sel yang telah lisis kemudian dilakukan pemisahan debris sel menggunakan
metode disentrifus. Ekstrak dalam supernatant, tidak hanya mengandung DNA
namun juga mengandung RNA dan protein sehingga perlu dilakukan proses
pemurnian.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Penjelasan Produk Interferon (Roferon-A)


Interferon alfa 2a adalah inteiferon rekombinan dengan antivirus, antitumor
dan sifat imunomodulator. Salah satu produk dari interferon alfa 2a adalah
Roferon A. Roferon-A merupakan protein rekombinan hIFNα2a (human
interferon alfa 2a) dengan aktivitas antivirus, yang mirip dengan zat alami yang
diproduksi oleh leukosit tubuh manusia. Aktivitas antivirus ini melindungi tubuh
dari invasi infeksi virus, tumor dan bahan asing lainnya (Roche, 2010). Secara
umum, pengembangan Roferon-A sebagai produk biologis pencetus rhIFN-α2a
menutupi produksi protein rekombinan, studi praklinis dan klinis sebelum produk
mendapat persetujuan komersial dari regulator obat (Roche, 2010).
rhIFN-α2a rekombinan diproduksi oleh Hoffman LaRoche menggunakan
DNA rekombinan teknologi dalam sistem Escherichia coli di bawah nama dagang
Roferon-A (Trown et al., 1986). Ada tiga tahap utama dalam pembuatan IFN-α2a
diekspresikan dalam E. coli, termasuk kloning gen hIFN-α2a, ekspresi hIFN-α2a
di sistem prokariotik, dan produksi dan pemulihan rhIFN-α2a dalam skala besar
yang diekspresikan dalam E. coli. (Baron & Narulla, 1990).

(Gambar 3.1 Produk Roferon-A)


Roferon-A (Interferon alfa-2a, rekombinan) adalah produk protein steril untuk
digunakan dengan injeksi. Roferon-A diproduksi oleh teknologi DNA rekombinan
yang menggunakan genetik merekayasa bakteri Escherichia coli yang
mengandung DNA yang mengkode protein manusia. Interferon alfa-2a,
rekombinan adalah protein yang sangat murni yang mengandung 165 asam amino,
dan memiliki berat molekul sekitar 19.000 dalton. Fermentasi dilakukan dalam
media nutrisi tertentu yang mengandung antibiotik tetrasiklin hidroklorida, 5 mg /
L. Namun, kehadiran antibiotik tidak terdeteksi dalam produk akhir. Roferon-A
adalah disediakan dalam jarum suntik yang sudah diisi sebelumnya. Setiap tabung
jarum suntik gelas mengandung 0,5 mL produk. Di Selain 20, ada jarum, yang
panjangnya ½ inci.

Sifat farmakodinamik rhIFN-α2a sebagai obat penyebab terapi degradasi viral


load RNA yang mengarah ke penghambatan sintesis protein. Selanjutnya, ini
protein rekombinan memiliki beberapa efek imunomodulator dan dapat digunakan
untuk pengobatan pasien dengan penyakit hati aktif. Roferon-A biasanya
diindikasikan untuk perawatan pada penyait seperti Leukemia sel berbulu, Pasien
dewasa dengan hepatitis B maupun C (Wardiana & Nigrum, 2015)

Sifat farmakokinetik IFN-α2a manusia rekombinan umumnya diberikan


baik melalui intra muscular (IM) atau injeksi subkutan (SC). Ada sebuah nomor
studi farmakokinetik dilakukan dengan sehat sukarelawan (Tabel 1).
Setelah pemberian 36 MIU via IM dan SC, konsentrasi serum memuncak
pada 3,8 jam dan 7,3 jam masing-masing. Area di bawah kurva menunjukkan
bahwa bioavailabilitas obat lebih besar dari 80%. Dosis multipel pada injeksi IM
meningkatkan akumulasi konsentrasi serum dari 2 hingga 4 waktu. Volume
distribusi adalah 31,4 L ketika IFN-α2a diberikan melalui IV injeksi. Reabsorpsi
IFN-α2a sudah dekat lengkap karena jumlahnya sedikit radiolabeled IFN-α2a
pada ginjal tikus terisolasi. IFNα2a disaring melalui glomeruli dan memiliki yang
cepat pembersihan selama reabsorpsi (Roche, 2010).

3.2 Proses Up Stream


3.2.1 Host Gen
Host yang digunakan adalah bakteri E. coli. Inang E. Coli merupakan
inang pertama yang digunakan untuk kloning dan ekspresi protein
rekombinan. Inang E. coli baik digunakan untuk ekspresi protein intraseluler
yang relatif kecil dan tidak memerlukan modifikasi pascatranslasi yang terlalu
banyak untuk membuat protein tersebut berfungsi. Keuntungan sistem
ekspresi pada E. coli diantaranya yaitu mudah untuk dilakukan manipulasi
DNA rekombinan serta proses seleksi dan ekspresi yang cepat (Grompe et al.,
1998). Tidak setiap gen dapat diekspresikan secara efisien pada organisme E.
coli. Hal ini bisa disebabkan oleh sekuen gen yang unik, stabilitas dan
efisiensi translasi mRNA, kemudahan dalam folding protein, degradasi
protein oleh protease sel inang, perbedaan besar dalam penggunaan kodon
antara gen asing dan di E. coli, serta potensi toksisitas protein ke inang.
Kelemahan E. coli sebagai sistem ekspresi mencakup ketidakmampuannya
untuk melakukan banyak modifikasi pascatranslasi pada protein eukariotik,
kurangnya mekanisme sekresi untuk efisiensi pelepasan protein ke dalam
medium kultur, serta keterbatasan kemampuan untuk memfasilitasi
pembentukan ikatan disulfida yang luas. Di sisi lain, banyak protein eukariot
yang masih memiliki aktivitas biologis dalam bentuk nonglikosilasi dan oleh
karena itu dapat diproduksi dalam E. coli (Fuh et al., 1990).
3.2.2 Sumber Gen
Sumber gen yang digunakan adalah protein Rekombinan interferon α2a.
Interferon α2a merupakan subtipe dari IFN α yang terdiri atas 165 asam
amino sistein dengan 4 sistein dan 2 ikatan disulfida. Interferon α2a adalah
glikoprotein dengan berat molekul sekitar 19.000 dalton (Tae-Ok Bae et al.,
1995). Struktur 3 dimensi protein IFN α2a yang ditentukan menggunakan
spektroskopi nuclear magnetic resonance (NMR) pada pH 3,5 menunjukkan
bahwa IFN α2a sebagian besar mengandung alpha heliks (6 alpha heliks, 65%
alpha heliks) dalam struktur sekunder dan sisanya adalah kumparan koil dan
loop (Klaus et al., 1997).
Penggunaan IFN α2a telah disetujui oleh FDA (Food and Drug
Administration) untuk pengobatan non-hodgkin’s lymphoma (NHL), hairy
cell leukemia, chronic myelogenous leukemia (CML), AIDS-related kaposi’s
sarcoma, dan hepatitis C kronis (Jonasch dan Haluska, 2001). Banyak upaya
yang telah dilakukan untuk kloning dan ekspresi rekombinan human IFN α2a
pada berbagai mikroorganisme (Wardiana et al., 2015).
3.2.3 Mekanisme Kloning
CDNA pertama IFN- α dihasilkan pada tahun 1980 menggunakan 12S
polyA RNA dari stimulasi leukosit manusia (Nagata et al ., 1980).
Mekanisme cloning diawali dengan DNA insert dimasukkan kedalam vector.
Kemudian ligasi dilakukan dengan bantuan enzim ligase yaitu antara vector
pET-32b (+) dengan gen human IFN α-2a yang telah dipersiapkan, yang
mana proses ligasi ini dilakukan dengan enzim T4 ligase diinkubasi pada
suhu 40 C. hasil dari proses ligase lalu ditransformasikan pada inang cloning
yaitu sel kompeten E. coli DH5α. Proses transformasi dikatakan berhasil bila
terdapat klon transforman yang tumbuh pada media LB padat yang telah
ditambahkan ampisilin meskipun efisiensinya rendah. Kemudian klon
transforman yang tumbuh masih harus dilakukan skrining dan verifikasi
untuk mengetahui vector rekombinan yang masuk kedalam sel E. coli DH5α
(Wardiana et al., 2015).
3.2.4 Ekspresi Gen
Pada Roferon-A terjadi ekspresi IFN-α2a manusia dalam system
prokariotik. CDNA dikloning di daerah PstI plasmid pBR322. Site atau
daerah restriksi ini terletak didalam wilayah pengkodean yang memiliki gen
resistensi ampisilin pengkodean β-laktamase. Dimana IFN-α2a diekspresikan
di bawah kendali promotor triptofan. ORF rhIFN-α2a diekspresikan sebagai
badan inklusi di E. coli strain K12. Tingkat ekspresi mencapai hingga 1×10
10 U/L menggunakan kombinasi strain bakteri dan peningkatan kondisi
fermentasi (Henco et al ., 1985).
3.2.5 Proses Fermentasi
Pelet yang mengandung badan inklusi rekombinan diaduk dalam buffer,
kemudian sisa sel dibersihkan dari pengotor dengan ultra-sentrifugasi lalu
esktrak yang telah teridentifikasi mengandung IFN dikonsentrasikan dengan
ultrafiltrasi. Ekstrak yang mengandung IFN kemudian dipekatkan dengan
ultrafiltrasi dan siap dimurnikan. Dalam proses rhIFN-alpa 2a, proses
pemurnian ditingkatkan dengan penggunaan dari immuno-afinitas kolom
kromatografi (Wardiana et al., 2015)

3.3 Proses Down Stream


Dalam proses down stream dalam produk Roferon-A, dimana kontaminasi
mikroba dapat mengganggu dalam proses kemurnian protein. Langkah-langkah
pemurnian protein yaitu IFN-α2a rekombinan manusia melibatkan isolasi protein
dari E. coli, kemudian dilanjutkan dengan proses pemurnian menggunakan
dengan kromatografi kolom immuno-afinitas. Antibodi monoklonal untuk IFN-
α2a digunakan, diikuti oleh kromatografi afinitas tembaga-chelating untuk
mendapatkan bentuk IFN-α2a yang diinginkan. Kromatografi filtrasi gel
dimasukkan sebagai langkah pemolesan untuk mendapatkan protein murni
sebelum proses formulasi dan vialing.
3.3.1 Pemisahan Protein dengan Sel
Dengan menggunakan Western blotting, protein dipisahkan berdasarkan
ukuran massanya dengan cara elektroforesis gel poliakrilamida. Protein yang akan
dielektroforesis sebelumnya ditambah dengan SDS dan kemudian dipanaskan.
Penyelubungan protein menyebabkan terganggunya interaksi non-kovalens
ditambahkan untuk mereduksi ikatan disulfide. Kompleks SDS dengan protein
yang terdenaturasi memiliki jumlah muatan negatif yang sebanding dengan
ukuran protein.
Kompleks protein-SDS kemudian dielektroforesis sehingga molekul protein
bergerak menuju kutub positif dan terpisah berdasarkan ukuran massanya. Protein
yang telah terpisahkan menjadi pita-pita pada gel poliakriamid kemudian
ditransfer ke membrane nitroselulosa. Proses transfer makromolekul dari gel ke
membrane nitriselulosa disebut dengan proses blotting. Identifikasi protein
dilakukan dengan merendam membrane nitroselulosa dalam larutan yang
mengandung antibodi primer, kemudian dicuci untuk menghilangkan antibody
primer yang tidak berikatan dengan protein target. Kemudian dilakukan
penambahan antibodi sekunder yang hanya melekat pada antibody sekunder dan
tidak melekat pada protein target. Antibodi sekunder telah terkonjugasi dengan
suatu enzim yang dapat divisualisasikan dengan penambahan substrat karena
dapat mengoksidasi substrat yang tidak berwarna menjadi berwarna (Kusmawati,
A. 2013).
3.3.2 Proses pemurnian protein
Proses pemurnian protein yang umumnya dilakukan yaitu dengan
penambahan larutan fenol ataupun dengan campuran fenol kloroform dengan
perbandingan 1:1, untuk mengendapkan protein dengan cara disentrifus dan
dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase. Pemurnian protein selanjutnya
dengan penambahan RNAse untuk membersihkan protein dari RNA. Molekul
protein Kloning gen yang diperoleh kemudian dilakukan presipitasi menggunakan
etanol absolut disimpan pada suhu -20°C, kemudian disentrifus untuk
mengendapkan DNA dan mempermudah pemisahan (Radji, 2011).
3.3.3 Modifikasi Protein
Manipulasi DNA dapat dilakukan secara enzimatis dengan menggunakan
berbagai macan enzim diantaranya yaitu:
1. Enzim Endonuklease
Restriksi Enzim endonuklease restriksi umumnya diperoleh dari
bakteri, yang mana dapat mengenal DNA untai ganda dengan urutan
basa spesifik serta memotong pada tempat yang tertentu. Enzim
endonuklease restriksi berfungsi untuk membatasi masuknya DNA
asing dengan cara memotong DNA pada situs restriksi yang tidak
terdapat pada bakteri. Setiap enzim endonuklease restriksi dapat
mengenal, mengikat dan memotong urutan basa tertentu. Urutan basa
yang dipotong biasanya terdiri dari 4-8 pasang basa (pb), dan enzim
endonuklease restriksi hanya memotong DNA yang mempunyai urutan
basa yang benar-benar persis dengan kode tersebut. Sebagai contohnya
yaitu urutan basa yang dikenal oleh enzim EcoRI adalah GAATTC.
Semua situs yang memiliki urutan basa GAATTC akan dipotong oleh
enzim EcoR1, namun jika ada satu basa yang berbeda misalnya
CAATTC maka mampu mencegah terjadinya pemotongan Proses
pemotongan DNA dengan enzim endonuklease restriksi dapat
menghasilkan potongan asimetris 5' atau 3' terbuka sehingga ujungnya
kohesif (sticky end), ataupun potongan simetris sehingga ujungnya
tumpul (blunt end) (Grompe et al., 1998).
Enzim endonuklease restriksi diberi nama sesuai dengan bakteri
penghasilnya, misalnya EcoRI berasal dari Escherichia coli.
Penggunaan enzim restriksi adalah dengan menginkubasi enzim
bersama-sama dengan DNA dalam larutan bufer yang sesuai, sehingga
akan dihasilkan potongan-potongan DNA dengan ukuran tertentu.
Pemotongan enzim restriksi bersifat spesifik untuk urutan basa tertentu,
sehingga DNA yang berbeda akan menghasilkan pola pemotongan yang
khas. Pola yang khas ini dapat diketahui setelah dilakukan
elektroforesis gel dan pewarnaan sehingga fragmen DNA yang berbeda-
beda ukurannya dapat terlihat (Grompe et al., 1998). Enzim
endonuklease restriksi sangat bermanfaat diaplikasian pada teknologi
DNA rekombinan karena sangat selektif dalam memotong untai DNA
(Radji, 2011).
2. Enzim DNA Ligase
Enzim DNA ligase adalah enzim yang berfungsi mengikatkan dua
potong DNA secara kovalen (Grompe et al., 1998). Enzim DNA ligase
merupakan enzim yang terdapat pada sistem biologis yang dapat
mengkatalis pembentukan ikatan kovalen yang merekatkan kembali
potongan fragmen-fragmen DNA. Enzim DNA ligase adalah salah satu
enzim yang sangat penting dalam perkembangan teknologi DNA
rekombinan (Radji, 2011). Enzim DNA ligase ini terutama digunakan
untuk menyisipkan sepotong DNA ke dalam vektor kloning. Enzim
DNA ligase yang paling banyak digunakan adalah T4 DNA ligase.
Reaksi ligase terjadi antara gugus 3'OH dari salah satu untai DNA
dengan gugus fosfat dari untai DNA pasangannya. Reaksi ligasi
menggunakan ATP sebagai sumber energi (Grompe et al., 1998) Proses
ligasi menggunakan T4 DNA ligase memerlukan kofaktor ATP yang
kemudian membentuk kompleks enzim-AMP. Kompleks ini menempel
dan menyambung gugus 5'-fosfat dan 3'-hidroksi dengan ikatan kovalen
sehingga terbentuk rantai fosfodiester (Sudjadi, 2008). Ligasi DNA
hanya dapat terjadi antara dua ujung fragmen DNA yang kompatibel.
Kompatibilitas inilah yang digunakan untuk mengatur ligasi beberapa
fragmen DNA yang berbeda secara sekaligus dalam satu campuran
reaksi (Grompe et al., 1998). Proses penyambungan fragmen DNA
dengan ujung kohesif dengan enzim DNA ligase cukup efisien dan
telah banyak digunakan dalam pembuatan vektor rekombinan. Pada
fragmen DNA dengan ujung tumpul memerlukan kondisi ligasi yang
spesial yaitu kadar fragmen DNA harus tinggi dan larutan reaksi agak
kental sehingga gerakan molekul lebih lambat (Sudjadi, 2008).
3. Enzim DNA Polimerase
Enzim DNA polimerase adalah enzim yang menggunakan satu
DNA untai tunggal sebagai cetakan (template) untuk mensintesis untai
kedua yang komplemen dengan cetakannya. Enzim DNA polimerase
membutuhkan primer dalam mensintesis DNA baru dari arah 5' ke 3'.
Primer adalah sepotong kecil DNA yang komplemen terhadap untai
DNA yang akan disalin, polimerase melekat pada primer dan kemudian
akan memperpanjang primer dengan cara menambahkan blok-blok
deoksinukleotida dari arah 5' ke 3' (Grompe et al., 1998) Primer
merupakan oligonukleotida rantai pendek yang dibuat secara sintetik
dan umumnya memiliki panjang 15-32 pasang basa. Enzim DNA
polimerase memiliki aktivitas optimal pada suhu 92-95°C dan
digunakan dalam polymerase chain reaction (PCR) (Radji, 2011)
3.4 Analisis Kemurnian Protein
Analisis protein dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode
diantaranya yaitu:
3.4.1 Analisis Kemurnian Protein dengan metode Western Blot
Protein spesifik dalam campuran protein dapat diidentifikasi dengan teknik
Western blotting. Pada metode Western blotting, protein dipisahkan berdasarkan
ukuran massanya dengan cara elektroforesis gel poliakrilamida SDS-PAGE
(sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel electrophoresis) dengan sistem
vertikal (Kuby, 1994). Protein yang akan dielektroforesis sebelumnya ditambah
dengan SDS dan kemudian dipanaskan. Sodium dedosil sulfat merupakan suatu
detergen anionik yang berguna untuk menyelubungi molekul protein
Penyelubungan protein menyebabkan terganggunya interaksi non-kovalen
sehingga molekul protein dalam struktur primer. Merkaptoetanol juga
ditambahkan untuk mereduksi ikatan disulfida. Kompleks SDS dengan protein
yang terdenaturasi memiliki jumlah muatan negatif yang sebanding dengan
ukuran protein (Sudjadi, 2008) Kompleks protein-SDS kemudian dielektroforesis
sehingga molekul protein bergerak menuju kutub positif dan terpisah berdasarkan
ukuran massanya. Protein yang telah terpisahkan menjadi pita-pita pada gel
poliakriamid kemudian ditransfer ke membran nitroselulosa. Proses transfer
makromolekul dari gel ke membaran nitriselulosa disebut dengan proses blotting
(Radji, 2011). Identifikasi protein dilakukan dengan merendam membran
nitroselulosa dalam larutan yang mengandung antibodi primer, kemudian dicuci
untuk menghilangkan antibodi primer yang tidak berikatan dengan protein target.
Langkah selanjutnya adalah penambahan antibodi sekunder yang hanya melekat
pada antibodi sekunder dan tidak melekat pada protein target. Antibodi sekunder
telah terkonjugasi dengan suatu enzim yang dapat divisualisasikan dengan
penambahan substrat karena dapat mengoksidasi substrat yang tidak berwarna
menjadi berwarna (Sudjadi, 2008).
3.4.2 Analisis Kemurnian Protein dengan metode Analisis Densitometri
Densitas merupakan kemampuan sebuah material untuk menyerap atau
memantulkan sinar. Densitas dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu densitas
transmisi yaitu kemampuan lapisan material untuk menyerap sinar yang datang
dan densitas refleksi yaitu kemampuan lapisan material untuk memantulkan sinar
yang datang. Pengukuran densitas dapat menggunakan sebuat alat ukur yang
disebut densitometer. Densitometer merupakan alat yang berfungsi untuk
mengukur besamya densitas atau dengan kata lain merupakan alat yang digunakan
untuk mengukur derajat kehitaman atau kepekatan (densitas optis) suatu model
atau bahan semi-transparan (Siregar, 2009) Analisis densitometri merupakan salah
satu cara untuk konfirmasi hasil elektroforesis. Hasil analisis densitometri
terhadap pita-pita pada gel hasil elektroforesis dapat digunakan untuk konfirmasi
keberadaan pita, dan untuk kuantifikasi proporsi penyusun protein yang
dielektroforesis (Aulanni am, 2004) Suatu pita menandakan adanya akumulasi
protein pada gel hasil elektroforesis diidentifikasi sebagai oleh suatu puncak
(peak). Masing-masing puncak memiliki karakteristik ketinggian (height) sebagai
intensitas densitograf dan luas daerah di bawah kurva (area) sebagai gambaran
kuantitas protein pada pita tersebut Ketebalan pita pada gel hasil SDS-PAGE
dikuantifikasi dalam bentuk luas daerah di bawah kurva pada kurva densitograf
(Mustofa et al., 2006).
Kuantifikasi intensitas pita Western blot dapat dilakukan dengan sistem
digitalisasi automatik menggunakan UN-SCAN-IT. Program UN-SCAN-IT dapat
mengkuantifikasi data Western blot dengan menggunakan dua metode. Metode
analisis segmental memberikan informasi piksel total dan analisis pita pada setiap
segmen, sedangkan analisis lane yang memberikan informasi profil densitas
ekstraksi dan analisis pita untuk seluruh jalur (lane). Pada pengukuran pita
dilakukan pemindaian sebagai JPEG dalam format 8 bit grayscale pada 600 dpi
dan intensitas piksel. Pada pengukuran intensitas piksel dilakukan pengkoreksian
terhadap latar (background). Derajat kehitaman atau kepekatan digunakan
program UN-SCAN-IT untuk menganalisa pita dan diukur dalam bentuk piksel
Piksel adalah unsur gambar atau representasi sebuah titik terkecil dalam sebuah
gambar grafis yang dihitung per inci. Data digital piksel total yang diperoleh
dapat digunakan untuk menghitung kepadatan optik relatif pada setiap pita untuk
analisis yang lebih lanjut (Rezvani et al., 2009)
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Interferon alfa 2a adalah inteiferon rekombinan dengan antivirus, antitumor
dan sifat imunomodulator. Salah satu produk dari interferon alfa 2a adalah
Roferon A. Roferon-A merupakan protein rekombinan hIFNα2a (human
interferon alfa 2a) dengan aktivitas antivirus, yang mirip dengan zat alami yang
diproduksi oleh leukosit tubuh manusia.
Dalam proses up stream bioteknologi inteferon (IFNs) terdiri dari host gen,
sumber gen, mekanisme kloning, ekspresi gen, dan proses fermentasi. Host gen
yang digunakan adalah bakteri E. Coli, untuk Sumber gen yang digunakan adalah
protein Rekombinan interferon α2a, Mekanisme cloning diawali dengan DNA
insert dimasukkan kedalam vector. Kemudian ligasi dilakukan dengan bantuan
enzim ligase yaitu antara vector pET-32b (+) dengan gen human IFN α-2a yang
telah dipersiapkan, yang mana proses ligasi ini dilakukan dengan enzim T4 ligase
diinkubasi pada suhu 40 C, dalam ekspresi gen pada Roferon-A terjadi ekspresi
IFN-α2a manusia dalam system prokariotik, dan proses fermentasi yang terjadi
Ekstrak yang mengandung IFN kemudian dipekatkan dengan ultrafiltrasi dan siap
dimurnikan. Dalam proses rhIFN-alpa 2a, proses pemurnian ditingkatkan dengan
penggunaan dari immuno-afinitas kolom kromatografi.

Selain itu terdapat juga proses down stream bioteknologi inteferon (IFNs)
yang meliputi pemisahan protein dengan sel, proses pemurnian protein.
modifikasi protein atau manipulasi DNA dengan menggunakan berbagai enzim.
Proses pemisahan protein dengan sel yaitu menggunakan Western blotting, protein
dipisahkan berdasarkan ukuran massanya dengan cara elektroforesis gel
poliakrilamida, Proses pemurnian protein yang umumnya dilakukan yaitu dengan
penambahan larutan fenol ataupun dengan campuran fenol kloroform dengan
perbandingan 1:1, untuk mengendapkan protein dengan cara disentrifus dan
dihancurkan secara enzimatis dengan proteinase, dan terakhir proses Manipulasi
DNA dapat dilakukan secara enzimatis dengan menggunakan berbagai macan
enzim diantaranya yaitu Enzim Endonuklease, Enzim DNA Ligase, Enzim DNA
Polimerase.

Yang terakhir yaitu Analisis Kemurnian Protein. Analisis protein dapat


dilakukan dengan menggunakan berbagai metode diantaranya yaitu, Analisis
Kemurnian Protein dengan metode Western Blot, Pada metode Western blotting,
protein dipisahkan berdasarkan ukuran massanya dengan cara elektroforesis gel
poliakrilamida SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate polyacrilamide gel
electrophoresis) dengan sistem vertikal, serta Analisis Kemurnian Protein dengan
metode Analisis Densitometri, Analisis densitometri merupakan salah satu cara
untuk konfirmasi hasil elektroforesis. Hasil analisis densitometri terhadap pita-
pita pada gel hasil elektroforesis dapat digunakan untuk konfirmasi keberadaan
pita, dan untuk kuantifikasi proporsi penyusun protein yang dielektroforesis.

4.2 Saran

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
refrensi yang ada hubungannya dengan judul tugas ini.

Diharapkan selanjutnya ada jurnal maupun penelitian lanjutan mengenai


interferon khususnya produk Interferon alfa 2a.
DAFTAR PUSTAKA

Esperanza Gómez-Lucía, V. M. C., Guadalupe, M., & Ana, D. (2009). Effect of


Type-I Interferon Retroviruses. Viruses, 1, 545-573. Findor, J.,
Daruich, J., & Bruch Igartúa

Jonasch, E., & Haluska, F. G. (2001). Interferon in oncological practice: Review


of interferon biology, clinical applications, and toxicities. The
Oncologist, 6(1), 34-55. doi:10.1634/theoncologist.6-1-34.

Nyman, T. A., Kalkinen, Tӧlӧ, H. & Herlin, J. (1998). Structural characterisation


of N-linked and O-linked oligosaccharides derived from
interferon-α2b and interferon-α14c produced by sendai virus-
induced human peripheral blood leukocytes. European Journal
of Biochemistry, 253, 485-493.

Platanias, L. C. (2005). Mechanisms of type-I- and type-II-interferon-mediated


signalling. Nature Reviews Immunology, 5(5), 375-386.
doi:10.1038 /nri1604.

Samuel, C. E. (2001). Antiviral actions of Interferons. Clinical Microbiology


Review, 14, 778-809.

Matteson, E. L. (1996). Interferon alpha 2a therapy for urticarial vasculitis with


angioedema apparently following hepatitis A infection. Journal
of Rheumatology, 23(2), 382-384.

Ruther, U., Nunnensiek, C., Muller, H.A., Bader, H., May, U., & Jipp, P. (1998).
Interferon alpha (IFN alpha 2a) therapy for herpes virus-
associated inflammatory bowel disease (ulcerative colitis and
Crohn's disease). Hepatogastroenterology, 45(21), 691-699.

Wang, Y, Cen, Y., & Li, Z. (2007). Therapeutic result of operation combined with
large-dose of roferon-A for cutaneous malignant melanoma.
Zhongguo xiu fu chong jian wai ke za zhi =Zhongguo xiufu
chongjian waike zazhi = Chinese journal of reparative and
reconstructive surgery, 21(1), 37.

Roy, S., Patil, D., Ghadigaonkar, S., Roy, R., Mukherjee, S., Chowdary, A., &
Deshmukh, R. (2015). A preliminary study of recombinant
human interferon-α-2a activity against rabies virus in murine
model. Indian Journal of Medical Microbiology, 33(1), 132-135.
doi:10.4103/0255-0857.148412.
Golan, D. E., Baca, Q. J., & Leader, B. (2008). Protein therapeutics: a summary
and pharmacological classification. Nature Reviews Drug
Discovery, 7, 21-39.

Buckle, P. 1996. Recombinant protein for therapy. Trend in Pharmacological


Sciences, 17(12), 450-456.

Xu, K., Lee, F., Gao, S. J., Chung, J. E., Yano, H., & Kurisawa, M. (2013).
Injectable hyaluronic acid-tyramine hydrogels incorporating
interferon-α2a for liver cancer therapy. Journal of controlled
release : official journal of the Controlled Release Society,
166(3), 203-210. doi: 10.1016/ j.jconrel.2013.01.008.
Kusmwati, A. 2013. Kloning Gen Human Interferon Alpha 2a Pada Vektor pET-
32b(+) dan Ekspresi Pada Escherichia coli (Tesis). Fakultas
Farmasi. Universitas Indonesia.
Fuh G., Mulkerrin M. G., Bass S., McFarland N., Brochier M., Bourell J. H.,
Light D. R., and Wells J. A. (1990). The human growth hormone
receptor. Secretion from Escherichia coli and disulfide bonding pattern of
the extracellular binding domain. J. Biol. Chem., 265, 3111-31153.
Grompe M., Johnson W., and Jameson L. (1998). Recombinant DNA and genetic
techniques. In Principles of molecular medicine. Edited by J. Larry
Jameson. Humana Press Inc. Totowa, New Jersey.
Henco, K., Brosius, J., Fujisawa, A., Fujisawa, J. I., Haynes, J. R., Hochstadt, J.,
Kovacic, T., Pasek, M., Antonelli Schambock, A., Schimd, J., Todokoro,
K., Walchi, M., Nagata, S., & Weissmann, C. (1985). Structural
relationship of human interferon alpha genes and pseudogenes. Journal of
Molecular Biology, 185(2), 227-260.
Jonasch E., and Haluska F.G. (2001). Interferon in oncological practice: review of
interferon biology, clinical application, and toxicities. The Oncologist, 6,
34-55.
Klaus W., Gsella B., Labhardta A.M., Wipfa B., Senn H. (1997). The three-
dimensional high relarutan structure of human interferon α-2a determined
by heteronuclear NMR spectroscopy in larutan. Journal of Molecular
Biology, 274 (4), 661-675.
Nagata, S., Taira, H., Hall, A., Johnsrud, L., Streuli, M., Ecsodi, J., Boll, W.,
Cantell, K., & Weissmann. (1980). Synthesis in E. coli of a polypeptide
with human leukocyte interferon activity. Nature, 284, 316-320.
doi:10.1038/284316a0
Tae-Ok Bae, Ho-Jin Chang, Jung Ho Kim, and Soon Jae Park. (1995).
Purification and Characteization of Recombinant Human Interferon
Alpha 2a Produced from Saccharomyces cerevisiae. J. Biochem. Mol.
Biol., 28 (6), 477-483.

Wardiana, Andri., Asmana Ningrum, Ratih. 2015. Roferon-A: A Biologic


Product of Human Interferon Alpha 2a. Bogor: Research Center
for Biotechnology, Indonesian Institute of Sciences, Indonesia
Adolf, G. R., Kalsner, I., Ahorn, H., Maurer-Fogy, I., & Cantell,
K. (1991). Natural human interferonalpha 2 is O-glycosylated.
The Biochemical Journal, 276(Pt 2), 511-518.

Chawla-Sarkar, M., Lindner, D. J., Liu, Y. F., Williams, B. R., Sen, G. C.,
Silverman, R. H., & Borden, E. C. (2003). Apoptosis and
interferons: Role of interferon-stimulated genes as mediators of
apoptosis. Apoptosis, 8, 237-249.

Esperanza Gómez-Lucía, V. M. C., Guadalupe, M., & Ana, D. (2009).


Effect of Type-I Interferon on Retroviruses. Viruses, 1, 545-573.

Grompe M., Johnson W., and Jameson L. (1998). Recombinant DNA and
genetic techniques. In Principles of molecular medicine. Edited
by J. Larry Jameson. Humana Press Inc. Totowa, New Jersey.

Haria, M., & Benfield,P. (1995). Interferon-alpha-2a. A review of its


pharmacological properties and therapeutic use in the
management of viral hepatitis. Review in Pharmacological
Properties and Therapeutic Use in the Management of Viral
Hepatitis, 50(5):873-9
Jonasch E., and Haluska F.G. (2001). Interferon in oncological practice :
review of interferon biology, clinical application, and toxicities.
The Oncologist, 6, 34-55.

Klaus, W., Gsell, B., Labhardt, A. M., Wipf, B., & Senn, H. (1997). The
Three-dimensional High Resolution Structure of Human
Interferon aaa -2a Determined by Heteronuclear NMR
Spectroscopy in Solution. Journal of Molecular Biolology, 274,
661-675.

Obeid D., and Bauvois B. (2006). Interferons: mechanisms, biological


activities and survey of their use in human diseases. Current
Bioactive Compounds, 2 (4), 431-444.

Roche. (2010). Roferon-A. Retrieved from http://www. roche-


australia.com/fmfiles/re7229005/downloads/anti-
virals/roferonpi.pdf.

Samuel C.E. (2001). Antiviral actions of interferons. Clin Microbiol Rev.,


14 (4), 778-809.

Trown, P. W., Wills, R. J., & Kamm, J. J. (1986). The preclinical


development of Roferon-A. Cancer, 57, 1648-1656.

Baron, E., & Narula, S. (1990). From cloning to a commercial realization:


Human alpha interferon. Critical Reviews in Biotechnology,
10(3), 179- 190. doi:10.3109/07388559009038206

Wardiana, A., & Nigrum, R.A. (2015). Roferon-A: A Biologic Product of


Human Interferon Alpha 2a. Research Center for Biotechnology,
Indonesian Institute of Sciences, Indonesia. Annales Bogorienses
Vol. 19 No. 2 (2015).

Grompe M.,Jhonson W.,and Jameson L.1998.Recombinant DNA and


Genetic Thecniques in Principles of Molecular
Medicine.Edited by J.Larry Jameson.Humanna Press
Inc.Totowa,New Jersey
Radji,M.2011.Rekayasa Genetika untuk Pengantar Profesi
Kesehatan.Penerbit Sagung Seto.Jakarta
Sudjadi.2008.Bioteknologi Kesehatan.Penerbit Kanisius.Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai