Anda di halaman 1dari 9

JURNAL AWAL PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI NON STERIL


SUPPOSITORIA

Kelompok II
A2B FARMASI KLINIS
I Made Pradnyana Putra (171200168)
DOSEN PENGAMPU : I Gusti Ngurah Agung Windra W.P, M.Sc., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI KLINIS


INSTITUT ILMU KESEHATAN MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2019
PRAKTIKUM II
SUPPOSITORIA
I. Tujuan
1. Memberikan pengalaman kepada Mahasiswa dalam memformulasikan
sediaan suppositoria dan evaluasi kontrol kualitasnya seperti uji kekerasan,
uji waktu larut dan uji disolusinya.
II. Dasar Teori
Menurut Farmakope Indonesia ed. IV suppositoria adalah sediaan padat
dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektal, vagina atau
uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh. (FI ed.IV
hal 16).
Basis suppositoria mempunyai peranan penting dalam pelepasan obat
yang dikandungnya. Salah satu syarat utama basis suppositoria adalah selalu
padat dalam suhu ruangan tetapi segera melunak, melebur atau melarut pada
suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat tersedia sepenuhnya,
segera setelah pemakaian (H.C. Ansel, 2008)
Umumnya, suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inci),
berbentuk silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa suppositoria untuk
rectum diantaranya ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari
kecil tergantung kepada bobot jenis bahan obat dan habis yang digunakan,
beratnya pun berbeda-beda.USP menetapkan berat suppositoria 2 gram untuk
orang dewasa apabila oleum cacao yang digunakan sebagai basis.Sedang
suppositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan beratnya ½ dari ukuran dan
berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti pensil.Suppositoria
untuk vagina yang juga disebut pessarium biasanya berbentuk bola lonjong atau
seperti kerucut, sesuai dengan kompendik resmi beratnya 5 gram, apabila
basisnya oleum cacao.Suppositoria untuk saluran urin yang juga disebut bougie
bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran
urin pria atau wanita.Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm
dengan panjang ±140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan
lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ±4 gram.
Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran
untuk pria, panjang ±70 mm dan beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao
(Ansel, 2008).
Tujuan Penggunaan Suppositoria:
1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan
penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk
tujuan sistemik karena dapat diserap oleh membrane mukosa dalam
rectum. Hal ini dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral tidak
memungkinkan seperti pada pasien yang mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih
cepat karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke
dalam sirkulasi pembuluh darah.
3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati
(Syamsuni, 2006)
Keuntungan suppositoria:
1. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung
2. Dapat menghindari terjadinya kerusakan obat oleh enzim pencernaan
dan asam lambung
3. Obat dapat masuk langsung ke dalam sirkulasi darah sehingga obat
dapat berefek lebih cepat daripada penggunaan obat peroral
4. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar
(Syamsuni,2006)

Kerugian suppositoria
1. Meleleh pada udara yang panas, jika menggunakan basis oleum cacao.
2. Dapat menjadi tengik pada penyimpanan yang lama
(Lachman, 2008)
Bahan dasar suppositoria adalah oleum cacao(lemak coklat), gelatin
tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran PEG dengan berbagai
bobot molekul, dan ester asam lemak PEG. Bahan dasar lain seperti surfaktan
nonionic dapat digunakan, misalnya ester asam lemak poliolsiletilen sorbitan
dan polioksietilen strearat(Syamsuni,2006). Metode pembuatan suppositoria
yaitu:
a. Dengan tangan
Pembuatan dengan tangan hanya dapat dikerjakan untuk suppositoria
yang mengguanakan bahan dasar oleum cacao skala kecil, dan jika
bahan obat tidak tahan terhadap pemanasan. Metode ini kurang cocok
untuk iklim panas (Lachman, 2008).
b. Dengan mencetak hasil leburan
Cetakan harus dibasahi terlebih dahulu dengan paraffin cair bagi yang
memakai bahan dasar gliserin/gelatin. Tetapi untuk oleum cacao dan
PEG tidak dibasahi karena akan mengerut pada proses pendinginan
dan mudah dilepas dari cetakan (Lachman, 2008).
c. Dengan kompresi
Pada metode ini proses penuangan, pendinginan, dn pelepasan
suppositoria dilakukan dengan mesin secara otomatis kapasitas bisa
sampai 3500-6000 suppositoria perjam (Lachman, 2008).
Uji evaluasi sediaan suppositoria meliputi uji keseragaman bobot, uji
kisaran leleh, uji keseragaman bentuk, uji waktu lunak, uji kehancuran, uji
disolusi.
a. Uji sikap lebur/kisaran leleh
Waktu lebur dapat diperoleh melalui metode yang amat sederhana
yaitu meletakkan sebuah suppositoria dalam sebuah pingan
terkristalisasi terisis dengan air bersuhu 370 C dalam suatu penangas
air. Waktu yang diperlukan suppositoria untuk melebur disebut
waktu lebur.
b. Uji keseragaman bobot
Ditimbang 20 suppositoria dan dihitung rata-rata dari suppositoria,
kemudian dihitung persen penyimpangan.

Syarat: tidak satupun suppositoria yang bobotnya menyimpang lebih


dari 5% dari bobot rata-ratanya dan tidak lebih dari 2 suppositoria
yang menyimpang tidak lebih dari 7,5% dari bobot rata-ratanya.
c. Uji keseragaman bentuk
Suppositoria dipotong memanjang dan diamati secara visual bagian
luar dan dalam dari masing-masing suppositoria dan harus tampak
homogen.
d. Uji waktu lunak
Dimasukkan suppositoria kedalam pipa U yang dicelupkan pada
penangas air dengan suhu 370 C, kemudian dimasukkan batang
pengaduk dan waktu sampai batang pengaduk menembus
suppositoria disebut waktu lunak.
e. Uji kehancuran
Alat yang digunakan terdiri dari ruang berdinding rangkap dimana
suppositoria yang diuji ditempatkan, dirancang untuk mengukur
kerapuhan suppositoria
f. Uji disolusi
Digunakan untuk menahan sampel ditempatnya dengan kapas,
kawat, dan manik-manik gelas.
(Voight, 1994; Lachman, 2008).

III. Alat dan Bahan


Alat:
 Alat penentuan kekerasan  Pipet tetes
suppositoria  Beker glass
 Alat penentuan waktu leleh Bahan:
 Labu takar 1000 mL 1. Aminofilin : 250 mg
 Thermometer 2. Oleum cacao : qs
 Stopwatch 3. Cera alba : 5%

 Tabung reaksi 4. Sediaan suppositoria jadi

 Pipet volume 1 ml

IV. Pemeriaan Bahan


1. Aminofilin
Pemerian : Butir atau serbuk putih atau agak kekuningan, bau ammonia
lemah, rasa
pahit.

Struktur :
Kelarutan : Tidak larut dalam etanol dan dalam eter. Larut dalam air. Larut
1 gram
dalam 25 ml air menghasilkan larutan jenuh; larutan 1 gram
dalam 5 ml air menghablur jika didiamkan dalam larutan
kembali jika ditambahkan sedikit etilendiamin.
Khasiat : Bronkodilator, antispasmodikum, diuretikum.
Penyimpanan : tertutup rapat terlindung dari cahaya
2. Oleum cacao(FI Edisi III : 453)
Nama Resmi : OLEUM CACAO
Nama Lain : Lemak coklat
Pemerian : lemak padat, putih kekuninga, bau khas aromatik, rasa
khas lemak,
agak rapuh.
Kelarutan : Sukar larut dalam etanol (95%), mudah larut dalam
kloroform p,
dalam eter p dan dalam eter minyak tanah p.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Analgetikum, Antipiretikum
3. Cera Alba(FI Ed III : 140)
Pemerian : Padatan bewarna kuning sampai coklat keabuan,
berbau enak
seperti madu, agak rapuh bila dingin dan bila patah
membentuk granul, patahan non hablur menjadi lunak
oleh suhu tangan.
Kelarutan : tidak larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol
dingin,etanol
mendidih.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Khasiat : Pengeras basiss suppositoria
V. Cara kerja

Siapkan alat dan bahan

Hitunglah bahan yang diperlukan untuk membuat 8 suppositoria

Penimbangan semua bahan - bahan yang dibutuhkan

Lelehkan Oleum cacao dan cera alba

Setelah semua basis melebur tambahkan zat aktif

Aduk sampai basis dan zat aktif tercampur homogen

Masukan ke dalam cetakan suppo

Dinginkan dalam almari pendingin

Kemas suppositoria yang telah jadi dengan menggunakan aluminium foil

Bandingkan suppo yang dibuat dengan yang ada di pasaran


DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

British Pharmacopea. 1980. British Pharmacopea. Volume II. London: Her Majesty’s
tasionery Office.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia.Edisi keempat. Departemen


Kesehatan. Jakarta.

Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., 2008, Teori dan Praktek Industri Farmasi
Edisi III, 1119-1120, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Syamsuni H.A., 2006, Ilmu Resep, EGC, Jakarta.

Voight, R., 1994, Buku Pengantar Teknologi Farmasi, 572-574, diterjemahkan oleh
Soedani, N., Edisi V, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Press.

Anda mungkin juga menyukai