Anda di halaman 1dari 10

JURNAL PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON STERIL


(SEDIAAN SUPPOSITORIA)

MADE DIO LOKANTARA


171200176
FARMASI KLINIS A2B

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 17 Desember 2019

Dosen Pengampu : I Putu Gede Adi Purwa Hita, S.Farm.,


M.Farm., Apt.

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2019
BAB II
SUPPOSITORIA

A. TUJUAN
Memberikan pengalaman kepada mahasiswa dalam memformulasikan sediaan
suppositoria dan evaluasi kontrol kualitasnya seperti uji kekerasan, uji waktu larut
dan uji disolusinya.

B. DASAR TEORI
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya
berbentuk torpedo dapat melarut, melunak, atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan
dasar yang digunakan harus dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh
(Depkes RI, 1979). Suppositoria menurut FI edisi IV adalah sediaan padat dalam
berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan melalui rektum, vagina atau uretra;
umumnya meleleh, melunak, atau melarut pada suhu tubuh. Suppositoria dapat
bertindak sebagai pelindung jaringan setempat dan sebagai pembawa zat terapeutik
yang bersifat lokal atau sistemik.
Umumnya, suppositoria rektum panjangnya ± 32 mm (1,5 inci), berbentuk
silinder dan kedua ujungnya tajam. Beberapa suppositoria untuk rectum diantaranya
ada yang berbentuk seperti peluru, torpedo atau jari-jari kecil tergantung kepada bobot
jenis bahan obat dan habis yang digunakan, beratnya pun berbeda-beda. USP
menetapkan berat suppositoria 2 gram untuk orang dewasa apabila oleum cacao yang
digunakan sebagai basis. Sedang suppositoria untuk bayi dan anak-anak, ukuran dan
beratnya ½ dari ukuran dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-kira seperti
pensil. Suppositoria untuk vagina yang juga disebut pessarium biasanya berbentuk
bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan kompendik resmi beratnya 5 gram,
apabila basisnya oleum cacao. Suppositoria untuk saluran urin yang juga disebut
bougie bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam
saluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm
dengan panjang ±140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan lainnya.
Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ±4 gram. Suppositoria untuk
saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ±70 mm
dan beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao. (Ansel, 2005).
Bahan dasar suppositoria adalah oleum cacao (lemak coklat), gelatin
tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran PEG dengan berbagai bobot
molekul, dan ester asam lemak PEG. Bahan dasar lain seperti surfaktan nonionik
dapat digunakan, misalnya ester asam lemak polioksietilen sorbitan dan polioksietilen
stearat (Syamsuni, 2006).
Suppositoria berdasarkan tempat penggunaannya dapat dibedakan menjadi 3 jenis
yaitu:
1. Suppositoria rektal, sering disebut supositoria saja, berbentuk peluru,
digunakan lewat rektum atau anus. Menurut FI III bobotnya antara 2-3 g, yaitu
untuk dewasa 3 g dan anak 2 g, sedangkan menurut FI IV kurang lebih 2 g.
Supositoria rektal berbentuk torpedo mempunyai keunggulan, yaitu jika
bagian yang besar masuk melalui jaringan otot penutup dubur, supositoria
akan tertarik masuk dengan sendirinya.

2. Suppositoria vaginal (ovula), berbentuk bola lonjong seperti kerucut,


digunakan lewat vagina, berat antara 3-5 g, menurut FI III 33-6 g, umumnya
5 g.
Supositoria kempa atau supositoria sisipan adalah supositoria vaginal
yang dibuat dengan cara mengempa massa serbuk menjadi bentuk yang
sesuai, atau dengan cara pengapsulan dalam gelatin lunak.
Menurut FI IV, supositoria vaginal dengan bahan dasar yang dapat larut
atau dapat bercampur dalam air seperti PEG atau gelatin tergliserinasi
memiliki bobot 5g. Supositoria dengan bahan dasar gelati tergliserinasi (70
bagian gliseri, 20 bagian gelatin dan 10 bagian air) harus disimpan dalam
wadah tertutup rapat, sebaiknya pada suhu di bawah 35oC.

3. Suppositoria uretra (bacilla, bougies) digunakan lewat uretra, berbentuk


batang dengan panjang antara 7-14 cm.
(Syamsuni, 2006).
Bentuk-bentuk sediaan obat yang ada saat ini memiliki tujuan khusus dalam
penggunaannya. Tujuan penggunaan obat dalam bentuk supositoria antara lain:

1. Supositoria dipakai untuk pengobatan lokal, baik di dalam rektum, vagina


atau uretra, seperti pada penyakit haemorroid/wasir/ambeien, dan infeksi
lainnya.
2. Cara rektal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat diserap
oleh membran mukosa dalam rektum.
3. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada pasien
yang mudah muntah atau tidak sadarkan diri.
4. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui mukosa
rektum dan langsung masuk ke dalam sirkulasi darah.
5. Agar terhindar dari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
(Syamsuni, 2006).

Pembuatan supositoria dapat dilakukan dengan cara bahan dasar supositoria yang
digunakan dipilih agar meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut dalam cairan rektum.
Obat diusahakan agar larut dalam bahan dasar, jika perlu dipanaskan, jika obat sukar
larut dalam bahan dasar, harus dibuat serbuk halus. Setelah campuran obat dan bahan
dasar meleleh atau mencair, dituangkan ke dalam cetakan supositoria kemudian
didinginkan. Cetakan tersebut terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau dari logam
lain, namun ada juga yang dibuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka secara
longitudinal untuk mengeluarkan supositoria. Untuk mencetak bacilla dapat
digunakan tabung gelas atau gulungan kertas (Syamsuni, 2006).
Untuk mengatasi massa yang hilang karena melekat pada cetakan, supositoria
dibuat berlebih (± 10%), dan sebelum digunakan cetakan harus dibasahi lebih dahulu
dengan parafin cair atau minyak lemak, atau spiritus saponatus. Namun spiritus
saponatus tidak boleh digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam
karena akan bereaksi dengan sabunnya dan sebagai pengganti digunakan oleum ricini
dalam etanol. Khusus untuk supositoria dengan bahan dasar PEG dan Tween bahan
pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan dasar tersebut dapat mengerut
sehingga mudah dilepas dari cetakan pada proses pendinginan (Syamsuni, 2006).
Dalam pembuatan supositoria dapat dilakukan dengan 3 metode, antara lain:
1. Dengan tangan
Pembuatan dengan tangan hanya dapat dikerjakan untuk supositoria yang
menggunakan bahan dasar oleum cacao berskala kecil, dan jika bahan obat
tidak tahan terhadap pemanasan. Metode ini kurang cocok untuk iklim panas.
2. Dengan mencetak hasil leburan
Cetakan harus dibasahi lebih dahulu dengan parafin cair bagi yang memakai
bahan dasar gliserin-gelatin, tetapi untuk oleum cacao dan PEG tidak dibasahi
karena akan mengerut pada proses pendinginan dan mudah dilepas dari
cetakan.
3. Dengan kompresi
Pada metode ini, proses penuangan, pendinginan dan pelepasan supositoria
dilakukan dengan mesin secara otomatis. Kapasitas bisa sampai 3500-6000
supositoria/jam.
(Syamsuni, 2006).

Sediaan supositoria yang sudah jadi setelah dicetak, dilakukan pemeriksaan mutu
pemeriksaan tersebut antara lain:

a. Uji sikap lebur/kisaran leleh


Waktu lebur dapat diperoleh melalui metode yang amat sederhana yaitu
meletakkan sebuah suppositoria dalam sebuah pingan terkristalisasi terisis dengan
air bersuhu 370 C dalam suatu penangas air. Waktu yang diperlukan suppositoria
untuk melebur disebut waktu lebur.

b. Uji keseragaman bobot


Ditimbang 20 suppositoria dan dihitung rata-rata dari suppositoria, kemudian
dihitung persen penyimpangan.

Syarat: tidak satupun suppositoria yang bobotnya menyimpang lebih dari 5% dari
bobot rata-ratanya dan tidak lebih dari 2 suppositoria yang menyimpang tidak
lebih dari 7,5% dari bobot rata-ratanya.
c. Uji keseragaman bentuk
Suppositoria dipotong memanjang dan diamati secara visual bagian luar dan
dalam dari masing-masing suppositoria dan harus tampak homogen.
d. Uji waktu lunak
Dimasukkan suppositoria kedalam pipa U yang dicelupkan pada penangas air
dengan suhu 370 C, kemudian dimasukkan batang pengaduk dan waktu sampai
batang pengaduk menembus suppositoria disebut waktu lunak.
e. Uji kehancuran
Alat yang digunakan terdiri dari ruang berdinding rangkap dimana suppositoria
yang diuji ditempatkan, dirancang untuk mengukur kerapuhan suppositoria
f. Uji disolusi
Digunakan untuk menahan sampel ditempatnya dengan kapas, kawat, dan manik-
manik gelas.
(Voight, 1994; Lachman, 2008).

Sediaan obat bentuk supositoria memiliki beberapa keuntungan serta kerugian


diantaranya (Anief, 2005):

a. Keuntungan
1. Dapat menghndari terjadinya iritasi pada lambung
2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung
3. Obat dapat masuk langsung dalam saluran darah sehingga obat dapat berefek
lebih cepat dari pada penggunaan obat per oral.
4. Baik bagi pasien yanag mudah muntah atau tidak sadar.
b. Kerugian
1. Pengisapan menimbulkan rasa tidak nyaman
2. Bahan obat terabsorpsi secara lambat menghasilkan waktu terapeutik yang
lama
3. Penyimpana denga kelembapan yang tinggi dapat menyerap kelembapan yang
cenderung menjadi mengembang
4. Penyimpanan pada kelembapan yang kurang dapat kehilangan kelembapan dan
menjadi rapuh.
5. Jumlah obat yang akan diberikan dalam bentuk suppo tergantung pada
pembawa dan bentuk kimia serta fisik obat yang diberikan.

C. ALAT DAN BAHAN


a. Alat
1. Alat penentu kekerasan suppositoria
2. Alat penentuan waktu leleh (erweka)
3. Labu takar 1000 ml
4. Thermometer
5. Stopwatch
6. Tabung reaksi
7. Pipet volum 1 ml
8. Pipet tetes
9. Beker glass
b. Bahan
1. Aminofilin 250 mg
2. Oleum cacao qs
3. Cera alba 5%
4. Sediaan supositoria jadi

D. PEMERIAN BAHAN
1. Aminophylin (FI ed III; hal. 82)
Pemerian: Butir atau serbuk; putih atau agak kekuningan; bau lemah mirip
amoniak; rasa pahit
Kelarutan: Larut dalam lebih kurang 5 bagian air, jika dibiarkan mungkin
menjadi keruh; praktis tidak larut dalam etanol 95% P dan dalam
eter P
Penyimpanan: Dalam wadah tertutup, terlindung dari cahaya
Khasian dan Penggunaan: Bronkodilator, antispasmodikum, diuretikum

2. Oleum Cacao (FI ed. III; hal. 453)


Pemerian: Lemak padat, putih kekuningan; bau khas aromatic; rasa khas
lemah; agak rapuh
Kelarutan: Sukar larut dalam etanol 95% P; mudah larut dalam kloroform P,
dalam eter P dan dalam eter minyak tanah P
Khasian dan Penggunaan: Zat tambahan

3. Cera alba (FI ed. III; hal. 140)


Pemerian: Zat padat, lapisan tipis bening, putih kekuningan; bau khas lemah
Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air; agak sukar larut dalam etanol 95% P
dingin; larut dalam kloroform P, dalam eter P hangat, dalam
minyak lemak dan dalam minyak atsiri
Penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik
Khasian dan Penggunaan: Zat tambahan

E. CARA KERJA

Siapkan alat dan bahan



Hitunglah bahan yang diperlukan untuk membuat 8 suppositoria

Penimbangan semua bahan-bahan yang dibutuhkan

Lelehkan oleum cacao dan cera alba

Setelah semua basis melebur tambahkan zat aktif

Masukkan ke dalam cetakan suppo

Dinginkan dalam almari pendingin

Kemas suppositoria yang telah jadi dengan menggunakan alluminium foil

Bandingkan suppo yang dibuat dengan yang ada di pasaran

F. PERHITUNGAN BAHAN
Bobot 1 supositoria yang digunaka adalah 3g, jadi perhitungan bahan adalah :
1. Aminophylin : 250mg x 8 = 2000mg
5
2. Cera Alba : 100 x 3000mg = 150mg

Untuk 8 suppo adalah : 150mg x 8


: 1200mg
3. Oleum Cacao : 3000mg - 250mg – 150mg = 2600mg
Untuk 8 suppo adalah : 2600mg x 8
: 20800mg
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2005. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel C. Howard. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta. UI Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Syamsuni, 2006. Ilmu Resep. Jakarta: EGC
Voight, R., 1994, Buku Pengantar Teknologi Farmasi, 572-574, diterjemahkan oleh
Soedani, N., Edisi V, Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada Press.

Anda mungkin juga menyukai