Anda di halaman 1dari 12

JURNAL PRAKTIKUM

TEKNOLOGI FORMULASI SEDIAAN NON STERIL


(SEDIAAN KRIM)

MADE DIO LOKANTARA


171200176
FARMASI KLINIS A2B

Hari, Tanggal Praktikum : Selasa, 5 November 2019

Dosen Pengampu : I Gusti Ngurah Agung Winda W. P,


M.Sc.,Apt

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS BALI INTERNASIONAL
DENPASAR
2019
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1. Agar mahasiswa mengetahui formulasi dan cara pembuatankrim
beserta cara uji kualitasnya

II. DASAR TEORI


A. Definisi Krim
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk
sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang
dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk
sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut
atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
Menurut Formularian Nasional, krim adalah sediaan setengah
padat, berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan
dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Krim adalah sediaan semi solid kental, umumnya berupa emulsi
m/a (krim berair) atau emulsi a/m (krim berminyak). (The
Pharmaceutical Codex 1994, hal 134)

B. Persyaratan Krim
Sebagai obat luar, krim harus memenuhi beberapa persyaratan
berikut:
a. Stabil selama masih dipakai untuk mengobati. Oleh karena itu,
krim harus
b. Bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar.
c. Lunak. Semua zat harus dalam keadaan halus dan seluruh produk
yang dihasilkan menjadi lunak serta homogen.
d. Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling
mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit.
e. Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui
dasar krim padat atau cair pada penggunaan. (Widodo, 2013)
C. Penggolongan Krim
Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air sehingga dapat dicuci
dengan air serta lebih ditujukan untuk pemakaian kosmetik dan estetika.
Krim digolongkan menjadi dua tipe, yakni:
1. Tipe a/m, yakni air terdispersi dalam minyak. Contohnya cold
cream.Cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk
memberi rasa dingin dan nyaman pada kulit.
2. Tipe m/a, yakni minyak terdispersi dalam air. Contohnya,
vanishing cream.Vanishing cream adalah sediaan kosmetik yang
digunakan untuk membersihkan, melembabkan dan sebagai alas
bedak. (Widodo, 2003)

D. Bahan bahan tambahan


Bahan bahan tambahan dalam sediaan krim agar peningkatan penetrasi
pada kulit, antara lain:
1. Zat untuk memperbaiki konsistensi
Konsistensi sediaan topical diatur untuk mendapatkan
bioavabilitas yang maksimal, selain itu juga dimaksudkan untuk
mendapatkan formula yang “estetis” dan “acceptable”. Konsistensi
yang disukai umumnya adalah sediaan yang dioleskan, tidak
meninggalkan bekas, tidak terlalu melekat dan berlemak. Hal yang
penting lain adalah mudah dikeluarkan dari tube. Perbaikan
konsistensi dapat dilakukan dengan mengatur komponen sediaan
emulsi diperhatikan ratio perbandingan fasa. Untuk krim adalah
jumlah konsentrat campuran zat pengemulsi.
2. Zat pengawet
Pengawet yang dimaksudkan adalah zat yang ditambahkan
dan dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas sediaan dengan
mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme. Karena pada
sediaan krim mengandung fase air dan lemak maka pada sediaan
ini mudah ditumbuhi bakteri dan jamur. Oleh karena itu perlu
penambahan zat yang dapat mencegah pertumbuhan
mikroorganisme tersebut. Zat pengawet yang digunakan umumnya
metil paraben 0.12% sampai 0,18% atau propil paraben 0,02%-
0,05%.
3. Pendapar
Pendapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH sediaan
untuk menjaga stabilitas sediaan. pH dipilih berdasarkan stabilitas
bahan aktif. Pemilihan pendapar harus diperhitungkan
ketercampurannya dengan bahan lainnya yang terdapat dalam
sediaan, terutama pH efektif untuk pengawet. Perubahan pH
sediaan dapat terjadi karena: perubahan kimia zat aktif atau zat
tambahan dalam sediaan pada penyimpanan karena mungkin
pengaruh pembawa atau lingkungan. Kontaminasi logam pada
proses produksi atau wadah (tube) seringkali merupakan
katalisator bagi pertumbuhan kimia dari bahan sediaan.
4. Pelembab
Pelembab atau humectan ditambahkan dalam sediaan topical
dimaksudkan untuk meningkatkan hidrasi kulit. Hidrasi pada kulit
menyebabkan jaringan menjadi lunak, mengembang dan tidak
berkeriput sehingga penetrasi zat akan lebih efektif. Contoh zat
tambahan ini adalah: gliserol, PEG, sorbitol.
5. Pengompleks (sequestering)
Pengompleks adalah zat yang ditambahkan dengan tujuan zat
ini dapat membentuk kompleks dengan logam yang mungkin
terdapat dalam sediaan, timbul pada proses pembuatan atau pada
penyimpanan karena wadah yang kurang baik. Contoh: Sitrat,
EDTA, dsb.
6. Anti Oksidan
Antioksidan dimaksudkan untuk mencegah tejadinya
ketengikan akibat oksidasi oleh cahaya pada minyak tidak jenuh
yang sifatnya autooksidasi, antioksidan terbagi atas:
 Anti oksidan sejati (anti oksigen) Kerjanya: mencegah
oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas dan
mencegah reaksi cincin. Contoh: tokoferol, alkil gallat, BHA,
BHT.
 Anti oksidan sebagai agen produksi. Zat zat ini mempunyai
potensial reduksi lebih tinggi sehingga lebih mudah
teroksidasi dibandingkan zat yang lain kadang-kadang bekerja
dengan cara bereaksi dengan radikal bebas. Contoh; garam Na
dan K dari asam sulfit.
 Anti oksidan sinergis. Yaitu senyawa yang bersifat
membentuk kompleks dengan logam, karena adanya sedikit
logam dapat merupakan katalisator reaksi oksidasi. Contoh:
sitrat, tamat, EDTA.
7. Peningkat Penetrasi
Zat tambahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah
zat yang terpenetrasi agar dapat digunakan untuk tujuan
pengobatan sistemik lewat dermal (kulit). (Ansel, 1989).

E. Metode Pembuatan Krim

Secara umum, pembuatan/peracikan sediaan krim meliputi proses


peleburan dan emulsifikasi. Biasanya, komponen yang tidak tercampur
dengan air, seperti minyak dan lilin, dicairkan bersama-sama didalam
penangas air pada suhu 70-75ºC. Sementara itu, semua larutan berair yang
tahan panas dan komponen yang larut dalam air dipanaskan pada suhu
yang sama pada komponen lemak. Kemudian, larutan berair secara
perlahan-lahan ditambahkan kedalam campuran lemak yang cair dan
diaduk secara konstan, sementara temperatur dipertahankan selama 5-10
menit untuk mencegah kristalisasi dari lilin/lemak. Selanjutnya campuran
perlahan-lahan didinginkan dengan pengandukan yang terus menerus
sampai mengental. Bila larutan berair tidak sama temperaturnya dengan
leburan lemak, beberapa lilin akan menjadi padat, sehingga terjadi
pemisahan antara fase lemak dan fase cair (Widodo, 2003).
F. Pembentukan Krim
Dibawah pengaruh gravitasi, partikel-partikel atau tetesan-tetesan
tersuspensi cenderung meningkat atau mengendap, tergantung pada
perbedaan dalam gravitasi spesifik antar fase tersebut. Jika
pembentukan krim berlangsung tanpa agregasi apapun, emulsi dapat
terbentuk kembali dengan pengocokan atau pengadukan. Pembentukan
krim meliputi gerakan sejumlah tetesan heterodispers, dan gerakan
tersebut saling mengganggu satu sama lain dan biasanyamenyebabkan
rusaknya tetesan (Lachman, dkk., 1994).

G. Penyimpanan Krim
Penyimpanan krim biasanya dikemas baik dalam botol atau
dalam tube, botol yang digunakan biasanya berwarna gelap atau buram.
Wadah dari gelas buram dan berwarna berguna untuk krim yang
mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Tube bias saja terbuat
dari kaleng atau plastik, beberapa diantaranya diberi tambahan kemasan
bila krim akan digunakan untuk penggunaan khusus. Tube dari krim
kebanyakan dikemas dalam tube kaleng dan dapat dilipat yang dapat
menampung (sekitar 8.5 g krim). Tube krim untuk pemakaian topikal
lebih sering dari ukuran 5 sampai 15 gram (Ansel, 1989).

H. Kelebihan dan Kekurangan Sediaan Krim


Adapun kelebihan dari sediaan krim yaitu:
1. Mudah menyebar rata.
2. Praktis.
3. Lebih mudah dibersihkan atau dicuci dengan air terutama tipe M/A
(minyak dalam air).
4. Cara kerja langsung pada jaringan setempat.
5. Tidak lengket, terutama pada tipe M/A (minyak dalam air).
6. Bahan untuk pemakaian topikal jumlah yang diabsorpsi tidak
cukup beracun, sehingga pengaruh absorpsi biasanya tidak
diketahui pasien.
7. Aman digunakan dewasa maupun anak–anak.
8. Memberikan rasa dingin, terutama pada tipe A/M (air dalam
minyak).
9. Bisa digunakan untuk mencegah lecet pada lipatan kulit terutama
pada bayi, pada fase A/M (air dalam minyak) karena kadar
lemaknya cukup tinggi.
10. Bisa digunakan untuk kosmetik, misalnya mascara, krim mata,
krim kuku, dan deodorant.
11. Bisa meningkatkan rasa lembut dan lentur pada kulit, tetapi tidak
menyebabkan kulit berminyak. (Ansel, 1989).

Adapun kekurangan dari sediaan krim yaitu:


1. Mudah kering dan mudah rusak khususnya tipe A/M (air dalam
minyak).
karena terganggu system campuran terutama disebabkan karena
perubahan suhu dan perubahan komposisi disebabkan penambahan
salah satu fase secara berlebihan atau pencampuran 2 tipe krim jika
zat pengemulsinya tidak tersatukan.
2. Susah dalam pembuatannya, karena pembuatan krim harus dalam
keadaan panas.
3. Mudah lengket, terutama tipe A/M (air dalam minyak).
4. Mudah pecah, disebabkan dalam pembuatan formulanya tidak pas.
5. Pembuatannya harus secara aseptik. (Ansel, 1989).

I. Pengujian Mutu Krim


Terdapat beberapa uji yang dilakukan terhadap sediaan krim untuk
melihat kualitas dari sediaan krim tersebut, yakni:
a. Uji Organoleptis
Pengamatan organoleptis meliputi perubahan warna, bau,
pemisahan fase, dan pertumbuhan jamur secara makroskopis.
Pengamatan ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut dengan
tujuan mengamati perubahan yang terjadi terhadap emulsi. Alat
yang digunakan adalah tabung reaksi beserta raknya.
b. Uji daya lekat
Uji daya melekat. Ditimbang krim 0,23 gram diletakkan di atas
gelas obyek yang telah ditentukan luasnya. Diletakkan gelas objek
yang lain di atas krim tersebut. Ditekan dengan beban 1 kg selama
5 menit. Dipasang gelas objek pada alat test. Dilepas beban seberat
80 gram. Dicatat waktunya hingga kedua objek gelas tersebut
terlepas.
c. Uji daya sebar
Uji daya menyebar. Ditimbang 0,5 gram krim diletakkan di tengah
cawan petri yang berada dalam posisi terbalik. Diletakkan cawan
petri yang lain di atas krim. Dibiarkan selam 1 menit. Diukur
diameter krim yang menyebar. Ditambahkan 50 gram beban
tambahan. Didiamkan 1 menit dan diukur diameter setelah beban
mencapai 500 gram.

III. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
1. Cawan porselen
2. Spatel logam
3. Penjepit kayu
4. Mortir dan stamper
5. Gelas ukur
6. Waterbath
7. Batang pengaduk
8. Stopwatch
9. Alat evaluasi sediaan
2. Bahan
1. Kloramfenikol 400 mg
2. Nipagin 20 mg
3. Parfum 20 mg
4. Asam stearate 3 mg
5. Trietanolamin 300 mg
6. Lemak bulu domba 600 mg
7. Paraffin cair 5 gram
8. Aquadest 11 gram

IV. PEMERIAN BAHAN


1. Kloramfenikol (FI III hal, 43)
 Pemerian: Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng
memanjang, putih sampai putih kelabu atau putih kekuningan,
tidak berbau, rasa sangat pahit.
 Kelarutan: Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5
bagian etanol (95%) P dan dalam 7 bagian propilenglikol P, sukar
larut dalam kloroform P dan dalam eter P.
 Penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik
 Khasiat: Antibiotikum (menghambat pertumbuhan
mikroorganisme)

2. Methylparaben (FI III hal, 373)


 Pemerian: Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur putih,
tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa
terbakar
 Kelarutan: Sukar larut dalam air, dalam benzena dan dalam karbon
tetraklorida mudah larut dalam etanol dan dalam eter
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapi
 Khasiat: Preservatif atau pengawet. Kadar 0,12-0,18%

3. Acidum Stearicum/ Asam Stearat (FI III hal. 57)


 Pemerian: Zat padat keras mengkilat menunjukkan susunan hablur,
putih atau kuning pucat, mirip lemak lilin.
 Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut dalam 20 bagian
etanol (95%)P, dalam 2 bagian kloroform P dan dalam 3 bagian
eter P.
 Penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik.
 Khasiat: Zat tambahan, untuk melembutkan kulit dengan
konsentrasi 1-20%.

4. Triaethanolamin (FI IV hal. 1203)


 Pemerian: Cairan tidak berwarna, berbau kuat amoniak.
 Kelarutan: Sukar larut dalam air, dapat bercampur dengan etanol,
dengan eter dan dengan air dingin.
 Penyimpanan: Dalam wadah tertutup rapat.
 Khasiat: Surfaktan, emulgator. Kadar 2-4%.

5. Adeps Lanae/ Lemak Bulu Domba/ Lanolin (FI IV hal. 57)


 Pemerian: Massa seperti lemak, lengket, warna kuning, bau khas.
 Kelarutan: Tidak larut dalam air, dapat bercampur dengan air
kurang lebih 2x beratnya, agak sukar larut dalam etanol dingin,
lebih larut dalam etanol panas, mudah larut dalam eter dan
kloroform.
 Khasiat: Basis krim.

6. Parafin (FI Ed.III hal 474)


 Nama resmi: Paraffinum Liquidum
 Nama lain: Parafin cair
 Pemerian: Cairan kental, transparan, tidak berfluorensensi, tidak
berwarna, hampir tidak berbau, hampir tidak mempunyai warna.
 Kelarutan: Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%),
larut dalam kloroform dan dalam eter.

7. Air aquadest (FI. III hal.96)


 Pemerian : Cairan jernih ; tidak berwarna ; tidak berbau ; tidak
 mempunyai rasa.
 Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
 Kegunaan : Sebagai pelarut

V. CARA KERJA
Siapkan alat dan bahan

Timbang bahan sesuai dengan perhitungan

Masukkan kloramfenikol kedalam mortar, tambahkan nipagin aduk sampai
homogen.

Tambahkan sebagian aquadest aduk sampai homogeny
(Campuran I)

Buat basis krim : asam stearate, trietanolamin, adeps lanae, paraffin cair dan
sebagian aquadest dalam cawan porselen dilebur diatas watterbath hingga
melebur sempurna (Campuran II)

Campurkan campuran I dan campuran II dalam mortar yang panas, aduk cepat.

Tambahkan parfum, aduk ad homogen

Masukkan dalam pot
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. A. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Penerbit
Universitas Indonesia: Jakarta.

Anwar, 2012, Eksipien Dalam Sediaan Farmasi Karakterisasi dan Aplikasi,


Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI.

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Ke-IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI.

Lachman, L., & Lieberman, H. A., 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi
Kedua, 1091-1098, UI Press, Jakarta.

Widodo, H. 2013. Ilmu Meracik Obat Untuk Apoteker. D-Medika : Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai