Anda di halaman 1dari 127

.

STABILITAS OBAT

Makalah

Disusun Oleh:

Kelompok 11

Indra Prasetya 260112150030


Niken Prawesti 260112150032
Indri Aryanti 260112150040
Arwa 260112150059
Floriza Michelia 260112150118
Fadli Apriliandi 260112150144
Rudi Satria 260112150145

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015

1|Page
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tim penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat anugerah dan bimbinganNya tim penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Konten makalah terkait dengan pengembangan produk
farmasi yang bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Industri.
Pada kesempatan ini tim penulis mengucapkan terima kasih dan apresiasi
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam tercapainya
makalah ini terutama kepada Ibu Dr. rer. Nat. Anis Yohana., Apt selaku dosen
pembimbing dalam mata kuliah Farmasi Industri. Tim penulis menyadari akan sangat
sulit menyelesaikan makalah ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak.
Tim penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, namun tim
penulis berharap semoga makalah ini dSapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan pada umumnya terutama ilmu Farmasi pada khususnya.

Jatinangor, Oktober 2015

2|Page
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................4
1.1 Latar belakang.................................................................................................4
1.2 Rumusan masalah...........................................................................................5
1.3 Tujuan.............................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................6
2.1 Pengantar Teoritis Stabilitas Obat.......................................................................6
2.1.1 Faktor yang mempengaruhi kestabilan obat............................................7
2.1.2 Interaksi Bahan pengemas produk obat...................................................8
2.1.3 Interaksi Eksipien Terhadap Bahan Obat...................................................13
2.1.4 Jenis-jenis stabilitas obat.......................................................................14
2.2 Jenis reaksi degradasi....................................................................................27
2.2.1 Hidrolisis....................................................................................................27
2.2.2. Epimerisasi................................................................................................29
2.2.3 Dekarboksilasi............................................................................................30
2.2.4 Dehidrasi.....................................................................................................30
2.2.5 Oksidasi......................................................................................................31
2.2.6 Photolysis....................................................................................................32
2.2.7 Kekuatan Ion...............................................................................................33
2.2.8 Perubahan Nilai pH....................................................................................33
2.2.9 Interionik....................................................................................................34
2.3 Pengujian Stabilitas Obat..............................................................................34
2.3.1 Protokol Uji Stabilitas................................................................................34
2.3.2 Tahan Pengujian Stabilitas Obat.................................................................37
2.3.3 Metode Analisis Stabilitas Obat.................................................................44

3|Page
2.3.4 Pemilihan Metode Pengujian......................................................................68
2.4 Peraturan Dalam Pengujian Stabilitas Obat..................................................73
2.4.1 Pedoman ICH (International Conference on Harmonisation)....................73
2.4.2 Pedoman CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)..................................95
2.5 Interpretasi Data Stabilitas............................................................................98
BAB III......................................................................................................................109
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................110

4|Page
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Untuk suatu sediaan obat yang dibuat utamanya dalam skala besar, yang
melalui waktu penyimpanan yang panjang, diharapkan suatu ruang waktu daya
tahan selama kurang lebih 5 tahun. Sedian obat sebaiknya berjumlah 3 tahun
dalam kasus yang kurang baik. Obat yang dibuat secara reseptur, sebaiknya
menunjukkan suatu stabilitas untuk sekurang-kurangnya beberapa bulan. Akan
tetapi untuk preparat yang terakhir disusun dengan suatu pembatasan dari waktu
penyimpanan.
Sifat khas kualitas yang penting adalah kandungan bahan aktif, keadaan
galeniknya, termasuk sifat yang dapat terlihat secara sensorik, sifat mikrobiologis
dan toksikologisnya dan aktivitasnya secara terapeutik. Skala perubahan yang
diizinkan ditetapkan untuk obat yang terdaftar dalam farmakope. Untuk barang
jadi obat dan obat yang tidak terdaftar berlaku keterangan yang telah dibuat
dalam peraturan yang baik.
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu obat
atau sediaan farmasi biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan
memerlukan waktu yang lama untuk sampai ke tangan pasien yang
membutuhkan. Penyebab ketidakstabilan sediaan obat ada dua watak, pertama
kali adalah labilitas dari bahan obat dan bahan pembantu sendiri. Yang terakhir
dihasilkan dari bahan kimia dan kimia fisika, untuk lainnya adalah faktor luar
seperti suhu, kelembapan, udara, dan cahaya, menginduksi atau mempercepat
reaksi yang yang berkurang nilainya. Faktor-faktor yang telah disebutkan
menjadi efektif dalam skala tinggi adalah bergantung dari jenis galenik dari
sediaan dalam obat padat, seperti serbuk, bubuk, dan tablet.

5|Page
Penjelasan di atas menjelaskan kepada kita bahwa betapa pentingnya kita
mengetahui pada keadaan yang bagaimana suatu obat tersebut aman dan dapat
bertahan lama, sehingga obat tersebut dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama tanpa menurunkan khasiat obat tersebut.

1.2 Rumusan masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:


1. Apa saja faktor yang mempengaruhi stabilitas dari sediaan obat?
2. Apa saja jenis-jenis stabilitas sediaan obat ?
3. Bagaimanakah pengujian stabilitas obat ?
4. Bagaimana peraturan dalam pengujian stabilitas obat ?
5. Bagaimana interpretasi data stabilitas obat ?

1.3 Tujuan

Tujuan yang dapat diharapkan dalam makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui apa saja faktor yang mempengaruhi stabilitas dari sediaan
obat?
2. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis stabilitas sediaan obat ?
3. Untuk mengetahui cara pengujian stabilitas obat
4. Untuk mengetahui bagaimana peraturan dalam pengujian stabilitas obat
5. Untu mengetahui interpretasi data stabilitas dari obat

6|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengantar Teoritis Stabilitas Obat

Stabilitas obat didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk untuk


bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan atau
penggunaan, sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat
dibuat (Antometa, 2011)
Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu
sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan memerlukan waktu
yang lama untuk sampai ke tangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang
disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama dapat mengalami penguraian dan
mengakibatkan hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat
membahayakan jiwa pasien. Oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih suatu
kondisi dimana kestabilan obat tersebut optimum.
Stabilitas suatu obat adalah suatu pengertian yang mencakup masalah
kadar obat yang berkhasiat. Bila suau obat stabil artinya dalam waktu relative
lama, obat akan berada dalam keadaan semula, tidak berubah atau bila berubah
masuh dalam batas yang diperbolehkan oleh peryaratan tertentu. Batas kadar obat
masih bersisa 90% keatas masih bias digunakan, tetapi bila kadarny kurang dari
90% tidak dapat digunakan lagi atau disebut sebagai sub standar waktu
diperlukan sehingga obat tinggal 90% disebut umur obat
Apabila bentuk sediaan dari suatu obat diubah, (misalnya dengan
dilarutkan dalam suatu cairan, diserbuk atau pun ditambahkan bahan-bahan
penolong lain), atau juga dilakukan modifikasi terhadap kondisi lingkungan dari
obat itu sendiri yaitu misalnya dengan mengubah-ubah kondisi penyimpanannya

7|Page
dan lain sebagainya, maka dengan demikian stabilitas obat yang bersangkutan
mungkijn juga akan terpengaruh.
Expiration date adalah waktu yang tertera pada kemasan yang
menunjukkan batas waktu diperbolehkannya obat tersebut dikonsumsi karena
diharapkan masih memenuhi spesifikasi yang ditetapkan. Shelf life (waktu
simpan) adalah periode penggunaan dan penyimpanan yaitu waktu dimana suatu
produk tetap memenuhi spesifikasinya jika disimpan dalam wadahnya yang
sesuai dengan kondisi penjualan di pasar.

2.1.1 Faktor yang mempengaruhi kestabilan obat

Stabilitas merupakan faktor penting dari kualitas, keamanan dan


kemanjuran produk obat. Stabilitas obat merupakan kemampuan suatu produk
untuk mempertahankan sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang
dimilikinya pada saat dibuat, identitas, kekuatan, kualitas, kemurnian dalam
batasan yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan.
Pada pembuatan obat harus diketahui waktu paro suatu obat. Waktu paro
suatu obat dapat memberikan gambaran stabilitas obat, yaitu gambaran kecepatan
terurainya obat atau kecepatan degradasi kimiawinya. Panas, asam-asam, alkali-
alkali, oksigen, cahaya, kelembaban dan faktor-faktor lain dapat menyebabkan
rusaknya obat. Mekanisme degradasi dapat disebabkan oleh pecahnya suatu
ikatan, pergantian spesies, atau perpindahan atom-atom dan ion-ion jika dua
molekul bertabrakan dalam tabung reaksi (Moechtar, 1989).
Faktor yang mempengaruhi stabilitas obat terdiri dari faktor lingkungan
dan fisika. Faktor lingkungan diantaranya suhu, radiasi, kelembaban, udara dan
cahaya sedangkan faktor fisik seperti ukuran partikel, pH, sifat pelarut, sifat
kemasan dan bahan kimia. Sebuah produk obat yang tidak cukup stabil dapat
mengakibatkan :
a. Perubahan sifat fisik (kekerasan, kecepatan disintegrasi-disolusi, pemisahan
fasa, endapan, dll)

8|Page
b. Perubahan karakteristik kimia (dekomposisi bahan aktif dan pembentukan zat
cemaran yang mungkin berisiko tinggi).
c. ketidakstabilan mikrobiologis (missal dari suatu produk obat steril bisa
berbahaya).
Sebagai contoh : senyawa-senyawa ester dan amida seperti amil ntrat dan
kloramfenikol adalah merupakan suatu zat-zat yang mudah terhidrolisa dengan
adanya lembab, sedangkan vitamin C mudah sekali mengalami oksidasi.
Efek tidak diinginkan yang potensial dari ketidakstabilan produk farmasi
adalah :
a. Hilangnya zat aktif
b. Naiknya konsentrasi zat aktif
c. Berubahnya bioavailabilitas
d. Hilangnya keseragaan kandungan obat
e. Menurunnya status mikrobiologi
f. Hilangnya elegansi produk dan patient acceptability
g. Pembentukan hasil urai yang toksik
h. Hilangnya kekedapan kemasan
i. Menurunnya kulaitas label dan
j. Modifikasi faktor hubungan fungsional.

2.1.2 Interaksi Bahan pengemas produk obat


Interaksi antara bahan pengemas dengan produk yang dikemas sangat
mungkin terjadi karena tidak ada sistem wadah-tutup yang inert secara total.
Reaksi interaksi yang mungkin terjadi :
1. Sorbsi (adsorbsi, absorpsi, desorpsi, resorpsi)

Faktor-faktor yang mempengaruhi sorpsi :


a. Efek konsentrasi

9|Page
b. Koefisien partisi; Koefisien partisi merupakan ukuran dari afinitas relatif
dari solute terhadap fase organic. semakin tinggi koefisien partisi maka
sorpsi semakin cepat.
c. pH Larutan; Obat yang tidak terionkan (lipofilik) sangat mudah disorpsi
oleh plastic dan beberapa buffer lebih mudah diabsorpsi
d. Efek temperatur; Temperature sangat mempengaruhi sorpsi, semakin tinggi
suhu, kecepatan difusi akan semakin bertambah.
e. Efek bahan tambahan; Hal ini teradi apabila polaritas dari fase air menurun
karena ditambahkannya solven, maka afinitas obat untuk fase air
bertambah. Sehingga ketika koefisien partisi menurun, maka jumlah yang
tersorpsi berkurang. Contoh: penambahan 30% propylenglycol dalam
formula maka adsorpsi paraben, benzalkonium klorid dan benzetonium
klorid akan menurun)
f. Struktur dari sorben polimer; obat hanya bisa penetrasi melalui bagian yang
amorph dan tidak dapat menembus ikatan. Sehingga kemasan yang
menggunakan plastik yang telah dicrosslink mengakibatkan sorpsi
berkurang

2. Leaching

Leaching merupakan komponen bahan pengemas berpindah dari wadah-


tutup ke dalam formulasi produk pada kondisi normal selama umur produk
dan extractables.

3. Permeasi

Dalam hal ini permeasi yang dimaksud adalah masuknya kelembapan


ke dalam kemasan. Sehingga diperlukan uji permeasi untuk menetapkan
permeabilitas kelembapan wadah yang digunakan untuk obat.beberapa contoh
procedure untuk uia permeasi adalah sebagai berikut :
uji permeasi pada wadah multi dose adalah sebagai berikut :
 Pilih 12 wadah dg ukuran & tipe seragam
 Tutup & buka setiap wadah 30 kali

10 | P a g e
 Tutup dengang penutup sekrup dg tenaga putaran sss tabel
 Tambahkan desikan (Sejumlah calsium klorida anhidrat dg ukuran 4-8
mesh dikeringkan pd suhu 110º C selama 1 jam) ke dalam 10 wadah
 Isi ad 2/3 kapasitas
 Tutup segera dengan putaran yg sss
 2 wadah sisa utk kontrol, isi dg manik kaca utk memperoleh bobot lebih
kurang setara dg wadah uji pd
 Catat bobot dg teliti
 Simpan pd kelembaban relatif 75% suhu 23ºC, selama 14 hari.
 Catat bobot
Ui permeasi untuk wadah satuan tunggal adalah sebagai berikut :
•Segel tidak kurang 10 wadah dosis satuan yangg berisi 1 pelet per wadah
•Segel juga 10 wadah dosis satuan kosong sebagai kontrol
•Dengan menggunakan pinset/tang utk memegang wadah tersegel
•Catat bobot baik isi maupun kontrol
•Simpan pada kelembaban relatif 75% suhu 23ºC
•Setelah 24 jam atau kelipatannya, pindahkan wadah dar bejana biarkan terjadi
kesetimbangan slm 15-60 menit
•Catat bobot tiap wadah
•Bila pelet berubah menjadi merah muda/bobot pelet naik > 10%, hentikan
pengujian, prosedur diulang
Untuk mengetahui interaksi antara obat dengan bahan pengemas dapat
dilakukan dengan mengitung jumlah zat terlarut yang dipindahkan pada awal dan
setelah uji. Data yang didapatkan kemudian diolah secara matematis dengan
menggunakan persamaan persamaan sebagai berikut

1. Persamaan Freundlich:
Pendekatan isoterm adsorpsi yang cukup memuaskan dijelaskan oleh H.
Freundlich. Menurut Freundlich, jika y adalah berat zat terlarut per gram

11 | P a g e
adsorben dan c adalah konsentrasi zat terlarut dalam larutan. Dari konsep
tersebut dapat diturunkan persamaan sebagai berikut

q = kf.Ceqi/n
Log q (Xm / m) = logkf + (1/n) log Ceq
Dimana :
q = zat terlarut dalam produk yang diserap oleh bahan plastik
kf = konstanta ikatan Freundlich
n = konstanta empiris yang ditentukan dari intercep dan resiprokal dari
slope yang diplot log q vs log Ceq
Ceq= konsentrasi zat terlarut dalam produk
Bila dibuat kurva log (Xm / m) terhadap log C akan diperoleh persamaan
linear dengan intersep log k dan kemiringan 1/n, sehingga nilai kf dan n dapat
dihitung. Nilai kf dapat untuk memperkirakan kecenderungan absorpsi.
Semakin tinggi nilai kf, semakin besar kecenderungan zat terlarut diserap oleh
plastik
2. Persamaan Langmuir:

Langmuir berperndapat bahwa gas diabsorbsi pada permukaan solid dan


membentuk tidak lebih dari satu lapis ketebalannya. Persamaan dari Langmuir
adalah sebagai berikut :
1/q = 1/Sl + 1/klxSl x 1/Ceq
Kl = ratio kecepatan adsorpsi dengan kecepatan desorpsi
Sl = nilai kejenuhan
3. Persamaan difusi hokum fick I :
Molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah
konsentrasi obat rendah. Persamaan hokum fick I adalah sebagai berikut :

q = DA. dt –(dc/dx)dt
A = luas permukaan

12 | P a g e
dt = perubahan waktu
dc/dx = beda konsentrasi pada jarak x
D = koefisien difusi
Mengetahui secara kuantitatif dan kualitatif bahan-bahan yang bersifat
extractables atau leachables sangatlah penting untuk memastikan bahwa bahan
yang digunakan dalam system wadah tertutup aman. Halini perlu diketahui karena
bahan- bahan yang bersifat extractables atau leachables ini dapat meningkatkan
toksisitas produk obat, mengganggu penetapan kadar obat dan dapat bereaksi
dengan satu atau lebih komponen obat. Menentukan extractables dan leachable
dari sistem wadah-tutup dapat di lakukan dengan :

– Tinjau ulang komposisi komponen bahan pengemas terutama aditif pada


plastik dan karet
– Identifikasi extractables/leachables yang potensial dengan bantuan pabrik
pemasok
– Lakukan uji dengan pelarut yang sesuai dengan produk obatnya
– Bandingkan hasil dengan informasi dari pemasok bahan
– Lakukan tinjauan terhadap keamanan produk (konsentrasi, cara penggunaan,
aturan pakai,dll)
– Tentukan dan lakukan validasi terhadap metode analisis dengan adanya
produk obat.
– dilakukan uji stabilitas
Beberapa contoh interaksi obat dan plastik :
1) Insulin akan diabsorbsi oleh permukaan gelas secara reversible terutama pada
pH netral. Dengan adanya glukosa maka adsorpsi akan lebih tinggi
dibandingkan dengan adanya salin. Adanya albumin atau sejenis gelatin
(polygelin) akan menurunkan adsorpsi;dalam 2 hari : PVC - 80%; gelas-15%
2) Nitrogliserin lebih baik menggunakan botol gelas dan syringe gelas
3) Diazepam : selama 24 jam dalam gelas kehilangan 80% dan dalam PVC
kehilangan 60%

13 | P a g e
2.1.3 Interaksi Eksipien Terhadap Bahan Obat
Eksipien, seperti halnya obat (bahan aktif dalam sediaan farmasi), juga
mempunyai aktivitas termodinamika, sehingga walaupun rendah, tetap memiliki
pengaruh pada reaksi degradasi dan interaksi dengan bahan obat. Pengaruh
eksipien ini tentunya sudah dipertimbangkan para formulator di industri farmasi,
ketika melakukan studi praformulasi. Beberapa contoh interaksi antara eksipien
dengan bahan obat adalah lubrikan (pelincir) lipofilik, yang bila didispersikan
secara halus pada bahan obat dapat menurunkan disolusi bahan obat. Kelompok
karbonilat, misalnya polivinilpirolidon, dapat berinteraksi dengan bahan obat
yang termasuk dalam golongan donor hidrogen misalnya famotidine dan
atenolol. Formulator tentu tidak akan menggunakan eksipien yang dapat
berinteraksi dengan bahan obat, karena akan berpengaruh pada kualitas sediaan
farmasi.
Pemilihan eksipien yang tidak menimbulkan interaksi dengan bahan obat,
dilakukan dengan menggunakan uji DSC (differential scanning calorimetry) dan
TLC (thin layer chromatography). Selain interaksi dengan bahan obat, eksipien
juga dapat menimbulkan efek yang tidak dikehendaki, baik efek yang terjadi
secara umum maupun yang mungkin terjadi secara spesifik hanya pada individu
tertentu. Efek yang terjadi secara umum biasanya timbul sebagai akibat
penggunaan eksipien yang melebihi batasan yang ditetapkan. Eksipien seperti
halnya obat atau bahan lainnya, mempunyai kemungkinan menimbulkan efek
yang tidak diinginkan apabila digunakan dengan jumlah yang melebihi batasan
tertentu.

14 | P a g e
2.1.4 Jenis-jenis stabilitas obat

2.1.4.1 Stabilitas Fisika

Stabilitas fisika adalah mengevaluasi perubahan sifat fisika dari


suatu produk yang tergantung waktu (periode penyimpanan).contoh dari
perubahan fisika antara lain : migrasi (perubahan) warna, perubahan rasa,
perubahan bau, perubahan tekstur atau penampilan. Evaluasi dari uji
stabilitas fisika meliputi : pemeriksaan organoleptik, homogenitas, ph,
bobot jenis.
Kriteria stabilitas fisika meliputi penampilan fisika seperti warna,
bau, rasa, tekstur, bentuk sediaan, keseragaman bobot, keseragaman
kandungan, suhu, disolusi, kekentalan, bobot jenis, dan visikositas.
Sifat fisik meliputi hubungan tertentu antara molekul dengan
bentuk energi yang telah ditentukan dengan baik atau pengukuran
perbandingan standar luar lainnya.Dengan menghubungkan sifat fisik
tertentu dengan sifat kimia dari molekul-molekul yang hubungannya sangat
dekat, kesimpulannya adalah :
 menggambarkan susunan ruang dari molekul obat
 memberikan keterangan untuk sifat kimia atau fisik relatif dari sebuah
molekul
 memberikan metode untuk analisis kualitatif dan kuantitatif untuk suatu
zat farmasi tertentu.
Setiap jenis formulasi sediaan memiliki reaksi yang berbeda-beda
terhadap ketidakstabilan fisika. Berbagai permasalahan stabilitas fisika
pada formulasi yang berbeda tentunya akan memberikan efek yang berbeda
juga. Berbagai permasalahan ketidakstabilan fisika dengan formulasi yang
berbeda antara lain:
1. Larutan Oral
Ketidakstabilan fisika yang umum terjadi pada larutan oral adalah:
a. Hilangnya rasa pada larutan

15 | P a g e
b. Rasa yang berubah
c. Timbulnya rasa yang janggal akibat interaksi dengan botol plastik
d. Hilangnya warna
e. Timbul presipitasi
f. Perubahan warna.
Efek yang ditimbulkan dari ketidakstabilan fisika tersebut
adalah adanya perubahan pada bau, rasa, maupun tampilan. Langkah
yang harus diambil untuk mencegah ketidakstabilan larutan oral
adalah dengan menggunakan eksipien yang sesuai dan bahan
pengemas yang cocok.
2. Larutan Parenteral
Ketidakstabilan fisika yang dapat terjadi pada larutan parenteral
dapat disebabkan karena adanya interaksi antara konten dengan
kontainer dan perubahan komposisi kimia. Berbagai permasalahan
ketidakstabilan antara lain:
a. Adanya perubahan warna akibat reaksi fotokimia atau oksidasi,
sebagai contoh adalah thiamine hydrochloride)
b. Adanya presipitasi akibat adanya interaksi dengan kontainer atau
stopper
c. Muncul suatu whisker. Apabila terdapat lubang yang sangat kecil
pada ampul akibat penutupan atau sealing yang tidak sempurna,
cairan akan terevaporasi dan terbentuk bagian solid diluarnya. Hal
tersebut akan membuat cairan semakin keluar dan akan terbentuk
kristal sepanjang vial yang kemudian disebut whisker. Kondisi
tersebut dapat terjadi akibat adanya lubang sangat kecil (<0,5µm)
yang tidak terdeteksi atau adanya lubang akibat pecah saat
penyimpanan.
d. Adanya cloud yang timbul dalam produk akibat perubahan kimia
(pada ester, polysorbate dapat terhidrolisis yang kemudian
memproduksi suatu asam yang sukar larut), dan penyiapan semula
dari suatu larutan supersaturated atau penggunaan bentuk
metastabil seperti calcium gluceptate.

16 | P a g e
Efek yang ditimbulkan dari ketidakstabilan larutan parenteral
adalah adanya perubahan dalam penampilan dan bioavailabilitas.
Tahapan untuk mencegah ketidakstabilan fisika pada larutan parenteral
adalah dengan:
a. Penggunaan antioksidan (0,5% Acetylcystane atau 0,02 – 1 % asam
askorbat atau agen pengkelat 0,01 – 0,075 sodium edetate) untuk
mencegah perubahan warna.
b. Mengganti stopper atau material dari kontainer.
c. Memeriksa proses pembuatan yang dapat meningkatkan stabilitas.
d. Meningkatkan kelarutan dengan menggunakan kosolven
(polyethylene glycol) atau dengan berbagai metode lain seperti
pendekatan micellar atau kompleksisasi yang akan meminimalisasi
clouding.
3. Suspensi
Ketidakstabilan suspensi dapat terjadi karena berbagai hal berikut:

a. Diameter partikel c. Viskositas


b. Konsentrasi agen d. Temperatur
e. pH
resuspensi
f. Adanya

g. mikroba.
h. Berbagai penyebab ketidakstabilan tersebut dapat
menimbulkan permasalahan seperti settling, caking, dan pertumbuhan
kristal. Efek yang dapat ditimbulkan adalah hilangnya keseragaman
konten obat dalam dosis yang berbeda dari botol dan keelokan yang
hilang. Langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut
adalah dengan mendesain produk berdasarkan studi preformulasi yang
tepat.
4. Emulsi
a. Pada emulsi, ketidakstabilan dapat terjadi karena hal berikut:

b. Diameter partikel c. Konsentrasi agen


resuspensi

17 | P a g e
d. Viskositas f. pH
e. Temperatur g. Adanya mikroba

h. Ketidakstabilan pada emulsi dapat timbul dengan


adanya creaming dan cracking. Efek yang terjadi akibat
ketidakstabilan tersebut adalah ketidakseragaman konten obat pada
dosis yang berbeda dalam botol dan keelokan yang berkurang. Hal
yang dapat dilakukan untuk mencegah ketidakstabilan adalah dengan
mendesain produk berdasarkan studi preformulasi yang tepat.
5. Semisolid (Ointment dan Suppositoria)
a. Permasalahan ketidakstabilan fisika pada sediaan
semisolid dapat diakibatkan oleh berbagai hal berikut:
b. Perubahan ukuran partikel, keadaan polimorfik atau hidrasi atau
solvasi, konsistensi, dan laju pelepasan obat.
c. Caking atau coalescene.
d. Bleeding
e. Efek yang dapat ditimbulkan dari permasalahan
ketidakstabilan tersebut adalah hilangnya keseragaman konten obat
dalam dosis yang berbeda dari botol, keelokan yang berkurang, dan
perubahan laju pelepasan obat. Untuk mencegah ketidakstabilan fisika
pada sediaan emulsi adalah dengan mendesain produk berdasarkan
studi preformulasi yang tepat.
6. Tablet
a. Perubahan dalam waktu disitegrasi, profil disolusi,
kekerasan, dan penampilan merupakan permasalahan ketidakstabilan
fisik yang terjadi pada tablet. Efek yang dapat ditimbulkan adalah
pelepasan obat yang akan berubah.
7. Kapsul
a. Permasalahan ketidakstabilan fisika pada kapsul antara
lain adalah perubahan pada penampilan, disolusi, dan kekuatan. Efek
yang ditimbulkan adalah perubahan dari pelepasan obat. Tahap yang
dapat diambil untuk mencegah ketidakstabilan adalah dengan
mendesain produk berdasarkan studi preformulasi yang tepat.

18 | P a g e
2.1.4.2 Stabilitas Farmakologi

b. Aktivitas senyawa bioaktif disebabkan oleh interaksi antara


molekul obat dengan bagian molekul dari obyek biologis yaitu resptor
spesifik. Untuk dapat berinteraksi dengan reseptor spesifik dan
menimbulkan aktivitas spesifik, senyawa bioaktif harus mempunyai stuktur
sterik dan distribusi muatan yang spesifi pula. Dasar dari aktivitas bioogis
adalah proses-proses kimia yang kompleks mulai dari saat obat diberikan
sampai terjadinya respons biologis.

c.
d. Gambar 1. Skema aktivitas obat

e. Fasa-fasa yang mempengaruhi aktivitas obat


1. Fasa farmasetik
f. Fasa ini menentukan ketersediaan farmasetik yaitu
ketersediaan senyawa aktif untuk dapat diabsorpsi oleh sistem
biologis. Untuk dapat diabsorpsi senyawa obat harus dalam bentuk

19 | P a g e
molekul dan mempunyai lipofilitas yang sesuai. Bentuk molekul
senyawa dipengaruhi oleh nilai pKa dan pH lingkungan (lambung
pH= 1-3 dan usus pH = 5-8).
g. Pada fasa I selain sifat molekul obat, seperti kestabilan
terhadap asam lambung dan larutan dalam air, formulasi farmasetis
dan bentuk sediaan yang digunakan juga penting untuk aktivitas obat.
h.
i.

2. Fasa Farmakokinetik
j. Meliputi proses fasa II dan fasa III. Fasa II adalah
proses absorpsi molekul obat yang mengahasilkan ketersediaan
biologis obat, yaitu senyawa aktif dalam cairan darah (Ph = 7,4) yang
akan didistribusikan ke jaringan atau organ tubuh. Fasa III adalah fasa
yang melibatkan proses distribusi, metabolisme dan ekresi obat, yang
menentukan kadar senyawa aktif pada kompartemen tempat reseptor
berbeda. Fasa I, II dan III menentukan kadar obat aktif yang dapat
mencapai jaringan target.

3. Fasa Farmakodinamik
k. Meliputi proses fasa IV dan fasa V. Fasa IV adalah
tahap interaksi molekul senyawa aktif dengan tempat aksi spesifik atau
reseptor pada jaringan target, yang dipengaruhi oleh ikatan kimia yang
terlibat. Fasa V adalah induksi rangsangan, dengan melalui proses
biokimia, menyebabkan terjadinya respons biologis.
2.1.4.3 Stabilitas Kimia

l. Stabilitas kimia suatu obat adalah lamanya waktu suatu obat


untuk mempertahanakan integritas kimia dan potensinya seperti yang
tercantum pada etiket dalam batas waktu yang ditentukan. Pengumpulan
dan pengolahan data merupakan langkah menentukan baik buruknya

20 | P a g e
sediaan yang dihasilkan, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya
parameter lain yang harus diperhatikan. Data yang harus dikumpulkan
untuk jenis sediaan yang berbeda tidak sama, begitu juga untuk jenis
sediaan sama tetapi cara pemberiannya lain. Jadi sangat bervariasi
tergantung pada jenis sediaan, cara pemberian, stabilitas zat aktif dan lain-
lain.
m. Data yang paling dibutuhkan adalah data sifat, kimia,
kimiafisik, dan kerja farmakologi zat aktif (data primer), didukung sifat zat
pembantu (data sekunder). Secara reaksi kimia zat aktif dapat terurai
karena beberapa faktor diantaranya ialah, oksigen (oksidasi), air (hidrolisa),
suhu (oksidasi), cahaya (fotolisis), karbondioksida (turunnya pH larutan),
sesepora ion logam sebagai katalisator reaksi oksidasi. Jadi jelasnya faktor
luar juga mempengaruhi ketidakstabilan kimia seperti, suhu, kelembaban
udara dan cahaya.
n. Mekanisme degradasi hidrolisis dapat terjadi pada obat jenis
ester seperti aspirin, alkaloid, dexamethasone, sodium phosphate, dan
nitroglycerin. Oksidasi dapat terjadi pada gugus fungsional katekol,sebagai
contoh adalah katekolamin (dopamin). Fotolisis salah satunya terjadi dalam
sodium nitroprusside yang diberikan secara infus intravena untuk
managemen hipertensi akut. Apabila larutan dijaga dari cahaya maka akan
stabil selama satu tahun, namun jika disimpan di cahaya ruangan normal
maka stabilitasnya hanya mencapai empat jam saja.
o. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju degradasi pada
stabilitas kimia antara lain sebagai berikut:
a. pH
p. Tingkat keasaman atau basa dari suatu larutan akan
mempengaruhi dekomposisi dari suatu senyawa obat. Sebagai contoh
adalah larutan buffer aspirin paling stabil pada pH 2,4, apabila pH
berada diatas 10 maka dekomposisi akan meningkat secara cepat. Nilai

21 | P a g e
pH juga mempengaruhi laju oksidasi. Suatu sistem akan lebih condong
untuk tidak teroksidasi saat pH rendah.
b. Kompleksisasi
q. Pembentukan kompleks dapat menurunkan laju
hidrolisis dan oksidasi. Contoh dari pembentukan kompleks adalah
kafein yang membentuk kompleks dengan anestetik lokal seperti
benzocaine, procaine, dan tetracaime sehingga menurunkan laju
degradasi hidrolitik.
r.
s.
c. Surfaktan
t. Penambahan surfaktan nonionik, kationik, dan anionik ke
dalam larutan yang mengandung obat dapat membentuk micelle dan
partikel akan terjebak di dalamnya. Golongan hidrolitik seperti –OH
tidak dapat mempenetrasi lapisan micelle dan mencapai partikel obat,
maka dari itu laju hidrolisisnya berkurang.
u.
d. Logam Berat
v. Dengan adanya logam berat seperti copper, besi, kobalt,
dan nickel dapat meningkatkan laju pembentukan radikal bebas dan
meningkatkan dekomposisi oksidatif.
e. Cahaya dan kelembaban
w. Cahaya terutama sinar ultraviolet dapat meningkatkan
fotolisis dan kelembaban meningkatkan dekomposisi hidrolitik.
x. Untuk mencegah degradasi obat akibat hidrolisis, oksidasi, dan
fotolisis, maka harus dilakukan berbagai hal antara lain:
a) Temperatur
y. Seluruh produk harus disimpan di temperatur yang
sesuai untuk mengihndari percepatan dekomposisi akibat temperatur.
Terdapat tiga jenis yang dianggap sesuai untuk penyimpanan yaitu suhu
ruang, suhu cool, dan suhu cold.
b) Cahaya
z. Bahan-bahan yang sensitif terhadap cahaya harus
disimpan dalam botol berwarna amber atau gelap.

22 | P a g e
c) Kelembaban
aa. Material pengemasan harus dipilih untuk menghindari
paparan produk terhadap keadaan yang lembab (biasanya dipilih gelas
atau plastik).
ab.
d) Oksigen
ac. Pengemasan yang tepat dapat menjaga konten oksigen
dalam larutan agar lebih sedikit dengan meninggalkan ruang antara
larutan dengan tutup botol seminimal mungkin untuk mencegah
terjadinya oksidasi.
e) Antioksidan
ad. Penggunaan antioksidan dapat mencegah oksidasi.
Untuk sistem air dapat digunakan sodium metabisulfite, sodium
thiosulfate, dan ascorbic acid. Untuk sistem minyak dapat digunakan
ascorbyl palmitate, butylated hydroxy toluene, butylated hydroxy
anisole.
f) Agen Pengkelat
ae. Agen pengkelat dapat membentuk kompleks dengan
ion logam berat dan mencegah dari dekomposisi oksidatif. Agen
pengkelat dapat digunakan EDTA dan garam, asam sitrat.
g) Pelarut
af. Dengan penambahan pelarut yang sesuai, laju hidrolisis
dapat dikurangi.
ag.
2.1.4.4 Stabilitas Mikrobiologi

ah. Stabilitas mikrobiologi suatu sediaan adalah keadaan di mana


tetap sediaan bebas dari mikroorganisme atau memenuhi syarat batas
miroorganisme hingga batas waktu tertentu. Terdapat berbagai macam zat
aktif obat, zat tambahan serta berbagai bentuk sediaan dan cara pemberian
obat. Tiap zat, cara pemberian dan bentuk sediaan memiliki karakteristik
fisika-kimia tersendiri dan umumnya rentan terhadap kontaminasi
mikroorganisme dan/atau memang sudah mengandung mikroorganisme

23 | P a g e
yang dapat mempengaruhi mutu sediaan karena berpotensi menyebabkan
penyakit, efek yang tidak diharapkan pada terapi atau penggunaan obat dan
kosmetik.
ai. Oleh karena itu farmakope telah mengatur ketentuan mengenai
kandungan mikroorganisme pada sediaan obat maupun kosmetik dalam
rangka memberikan hasil akhir berupa obat dan kosmetika yang efektif dan
aman untuk digunakan atau dikonsumsi manusia. Stabilitas mikrobiologi
diperlukan oleh suatu sediaan farmasi untuk menjaga atau mempertahankan
jumlah dan menekan pertumbuhan mikroorgansme yang terdapat dalam
sediaan tersebut hingga jangka waktu tertentu yang diinginkan.
aj. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Mikrobiologi:

1. Faktor Sifat Fisika-Kimia Zat aktif dan Zat tambahan


ak. Sifat fisika kimia zat aktif maupun zat tambahan dapat
mempengaruhi stabilitas mikrobiologi sediaan. Zat yang bersifat
higroskopik atau hidrofilik rentan terhadap kontaminasi
mikroorganisme. Hal ini berhubungan dengan adanya air yang
merupakan media pertumbuhan bagi mikroorganisme.

2. Faktor Kontaminasi dari Bahan Baku dan Proses


al. Bahan baku alami dalam bantuk air yang bebas serbuk
atau granula dapat menjadi tempat tumbuhnya mikroorganisme, virus
atau pun toksin mikroba. Analisa terhadap bahan-bahan ini dapat
menunjukkan keberadaan bakteri, spora Clostridium, Staphylococci,
kapang dan khusunya toksin fungi/jamur.
am. Kemungkinan keberadaan mereka mungkin sudah ada
semenjak tahap persiapan produksi. Bahan alami yang diekstrak,
diproduksi maupun disediakan dalam bantuk cair juga rentan terhadap
kontaminasi mikroorganisme. Cara pengawetan yang tidak tepat ketiga
digunakan utuk menghasilkan produk dalam bentuk larutan, disperse

24 | P a g e
atau pun emulsi dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme Gram
negative seperti Enterobacter spp., E. coli, Citrobacter spp.,
Pseudomonas spp dan lainnya.
an. Untuk mencegah adanya kontaminasi dalam formulasi
selama penyimpanan dapat dilakukan antara lain:
1. Desain kontainer yang sesuai
2. Kontainer single-dose
3. Kondisi penyimpanan yang tepat
4. Penambahan senyawa antimikroba sebagai pengawet
ao. Tabel 1. Jenis Pengawet untuk Berbagai Sediaan
ap. aq. ar.

as. at.

au.

av.

az. ba. bc.


bd.

25 | P a g e
bb.

be. bf.

bk.

bg.

bh.

bl. bm. bo.


Parab

bn.

26 | P a g e
bq. br.

bt.
bu. Dalam mendesain kemasan, harus diperhatikan jenisnya
agar dapat mempertahankan stabilitas sediaan obat secara baik. Jenis
kemasan antara lain:
bv.
bw.
1. Kaca
bx. Kaca umumnya resisten terhadap perubahan kimia dan
fisika. Kaca merupakan jenis kemasan yang paling sering digunakan.
Warna kaca sebaiknya dipilih yang berwarna gelap atau amber. Ion
mungkin dapat mengendapkan kristal yang tak larut dari kaca sehingga
perlu digunakan buffer.
2. Plastik
by. Plastik seringkali dapat mengkontaminasi konten obat.
Plastik dapat berpengaruh terhadap kelembaban, oksigen, dan elemen
lainnya. Plastik juga seringkali mengadsorpsi obat atau eksipien.
3. Logam
bz. Logam alumunium dapat digunakan sebagai tube dalam
emulsi, salep, krim, dan pasta. Kelemahan logam adalah dapat berkarat
dan membentuk presipitasi. Hal tersebut dapat diatasi dengan melapisi
tube dengan polimer.
4. Karet
ca. Permasalahan karet adalah sulitnya mengekstraksi obat
dan menempelnya obat dalam kontainer. Harus dilakukan pretreatment

27 | P a g e
terlebih dahulu terhadap stopper karet vial dan penutupan dengan air
dan uap untuk menghindari adanya kebocoran.
2.1.4.5 Stabilitas Toksikologi

cb. Stabilitas toksikologi adalah ukuran yang menujukkan


ketahanan suatu senyawa/bahan akan adanya pengaruh kimia, fisika,
mikrobiologi dan farmakologi yang tidak menyebabkan peningkatan
toksisitas secara signifikan.Efek toksik dapat dibedakan, menjadi :
1. Efek toksik akut, mempunyai korelasi langsung dengan absorpsi zat
toksik
2. Efek toksik kronis, zat toksik dalam jumlah kecil diabsorpsi sepanjang
jangka waktu lama, terakumulasi, mencapai konsentrasi toksik akhirnya
timbul keracunan.
cc. Faktor yang memengaruhi stabilitas toksikologi, antara lain:
1. Dosis
2. Bahan penyusun (dapar, pengawet, antioksidan)
3. Faktor luar (cara pembuatan, bahan pengemas)
4. Kondisi penyimpanan

2.2 Jenis reaksi degradasi

cd. Degradasi secara kimiawi melibatkan berbagai macam reaksi


seperti oksidasi, hidrolisa, dehidrasi, interaksi dengan eksipien, dan lain-lain.
Penyebab umum yang paling sering terjadi adalah paparan lingkungan seperti
kelembaban, oksigen, dan cahaya. Perubahan secara kimia ini menjadi penting
diperhatikan.Perusakan molekul obat menjadi dua atau lebih senyawa dapat
berpengaruh tidak hanya pada efikasi produk obat, tetapi juga keamanan
pasien, terutama jika hasil degradasi dapat memberikan efek berbahaya atau
bersifat toksik.
ce. Dalam berbagai bentuk sediaan reaksi-reaksi ini dapat
mengakibatkan rusaknya kandungan zat aktif, antara lain adalah :

28 | P a g e
cf. 2.2.1 Hidrolisis
cg.Solvolisa adalah pemecahan molekul akibat pelarut. Jenis yang paling
umum dari degradasi ini adalah hidrolisa, yaitu disebabkan adanya air.
Umumnya, pH larutan sangat berpengaruh karena hidrolisa dikatalisa oleh ion
hidronium atau hidroksida. Gugus fungsi yang rentan menjadi sasaran
pemecahan adalah ester dan amida. Contoh senyawa ester yang paling terkenal
adalah aspirin. Hidrolisa aspirin menghasilkan asam salisilat dan asam asetat.
Sedangkan paracetamol, yang memiliki gugus amida, dapat mengalami
hidrolisa menjadi 4-aminofenol (senyawa amina) dan asam asetat. Ikatan
amida juga dpt terhidrolisa meskipun kecepatan hidrolisanya lebih lambat
dibanding ester. Sebagai contoh prokain akan terhidrolisa apabila di autoklaf,
tetapi senyawa prokainamid tidak terhidrolisa.
ch.Gugus laktam dan azometin (imine) dalam benzodiazepine juga dapat
tehidrolisis. Faktor kimia yang dapat menjadi katalis dalam reaksi hidrolisi
adalah pH dan senyawa kimia tertentu (contohnya dextrose dan tembaga dalam
kasus hidrolisa ampisilin).
ci.
cj.

ck. Gambar 2. Hidrolisa aspirin (Sumber: Prenzler dan Bedgood, 2006)


cl.
cm.

29 | P a g e
cn. Gambar 3. Hidrolisa paracetamol (Sumber: Hegazy et al, 2013)
co.
cp.Hidrolisa bukan hanya dapat terjadi pada ester dan amida linear.
Senyawa lain yang dapat mengalami hidrolisa antara lain yang mengandung
gugus lakton atau siklik ester (warfarin), siklik amida (antibiotika golongan
beta-laktam), ester karbamat (estramustine), ester fosfat (kortikosteroid natrium
fosfat), fosforamida (cyclophosphamide), sulfonamida - termasuk golongan
thiazide (hydrochlorothiazide) dan sulfonilurea (glibenclamide), imida
(phenobarbital), senyawa dengan nitrogen reaktif (thiamin hidroklorida,
furosemid), benzodiazepin (diazepam, oxazepam, nitrazepam), struktur seperti-
imina (nitrofurantoin, rifampisin), alkilhalida (kloramfenikol, klindamisin,
klorambusil), sulfida (azathioprin, thimerosal), senyawa platinum (carboplatin),
dan senyawa dengan gugus karbohidrat (digoxin).
cq.Rantai samping Asn, Gln, dan ikatan peptida pada sisi C-terminal Asp
dan Pro pada peptida dan protein seringkali mengalami hidrolisa. Proses
hidrolisa ini dapat melibatkan deamidasi, yang lajunya dipengaruhi oleh pH.
Pada pH rendah, laju deamidasi lebih lambat dibandingkan pada pH netral dan
basa.
cr.
cs.

ct. Gambar 4. Hidrolisa warfarin (Sumber: Yoshioka dan Stella,


2000)
cu.

30 | P a g e
cv.

cw.Hidrolisa penisilin betalaktam (Sumber: Yoshioka dan Stella, 2000)

cx. 2.2.2. Epimerisasi


cy. Senyawa tetrasiklin paling umum mengalami epimerisasi.
Reaksi terjadi dengan cepat ketika obat dilarutkan dan terpapar dg pH lebih dari
3, mengakibatkan terjadinya perubahan sterik pd gugus dimetilamin. Bentuk
epimer dari tetrasiklin seperti epitetrasiklin tidak memiliki aktifitas anti bakteri.

cz. 2.2.3 Dekarboksilasi


da.
Beberapa asam senyawa asam karboksilat terlarut seperti para-
amini salisilic acid dapat kehilangan CO2 dari gugus karboksil ketika
dipanaskan.Produk urainya memiliki potensi farmakologi yang rendah. Beta-
keto dekarboksilasi dpt terjadi pada beberapa antibiotik yg memiliki gugus
karbonil pada beta karbon dari asam karboksilat atau anion karboksilat.

31 | P a g e
Dekarboksilasi akan terjadi pada beberapa antibiotik : Carbenicillin sodium,
Carbenicillin free acid, Ticarcillin sodium, Ticarcillin free acid6
db.

dc. 2.2.4 Dehidrasi


dd. Dehidrasi yg dikatalisis oleh asam pd gol tetrasiklin menghasilkan
senyawa epianhidrotetrasiklin, senyawa yg tdk memiliki efek anti bakteri dan
memiliki efek toksisitas. Reaksi dehidrasi melibatkan hilangnya air dari
molekul yang bereaksi.Laktosa dan glukosa mengalami degradasi melalui
jalur ini membentuk 5-(hidroksimetil)-2-furfural.Contoh bahan aktif obat
yang dapat mengalami dehidrasi adalah erithromycin, terutama dalam kondisi
asam.

de.
df. Gambar 5 Dehidrasi erythromycin (Sumber: Yoshioka dan Stella,

2000)
dg.

dh. Gambar 6. Dehidrasi glukosa (Sumber: Yoshioka dan Stella, 2000)

32 | P a g e
di. 2.2.5 Oksidasi

dj. Oksidasi merupakan jalur degradasi yang populer dalam


produk obat, umumnya disebabkan karena keberadaan oksigen selama proses
manufaktur dan/atau penyimpanan. Struktur kimia yang rentan oksidasi antara
lain catechol (epinephrine, methyldopa), ethanolamine (procaterol), thiol
(captopril, 6-mercaptopurine), phenothiazine (promethazine), molekul poli-tak-
jenuh (vitamin A, vitamin D). Atom S pada sulfida menjadi target oksidasi
membentuk sulfoksida, yang akan teroksidasi lebih lanjut menjadi sulfon.
Contoh senyawa dengan gugus sulfida adalah golongan antagonis H2 dan
senyawa dengan gugus sulfoksida adalah penghambat pompa proton
(Kaczorowska et al, 2005).
dk. Senyawa dengan gugus alkohol primer dan sekunder dalam
mengalami oksidasi. Alkohol primer, misalnya pada hidrokortison, mengalami
oksidasi membentuk aldehid dan berlanjut membentuk asam
karboksilat.Sedangkan alkohol sekunder, dapat teroksidasi membentuk
keton.Semua reaksi terhadap alkohol ini bersifat dapat-kembali (reversible)
karena reduksi.Alkohol tersier tidak mengalami reaksi oksidasi.
dl. Jalur degradasi ini juga merupakan yang paling sering ditemui
pada protein.Asam amino yang dapat terpengaruh adalah yang mengandung
sulfur (Cys, Met) dan cincin aromatik (His, Tyr, Trp).Reaksi dapat terjadi
dengan atau tanpa katalis logam dan tergantung pH.

33 | P a g e
dm.

Gam
bar 7. Produk degradasi oksidasi promethazine (Sumber: Yoshioka dan Stella,
2000)
dn.
do.

dp. Oksidasi sulfida menjadi sulfoksida dan sulfon (Sumber:


Straub, 2006)
dq.
dr. Struktur molekular yang dapat mudah teroksidasi adalah gugus
hidroksil yang terikat langsung pada cincin aromatik (contoh pd katekolamin
dan morfin), gugus dien terkonjugasi (vit A dan asam lemak tak jenuh), cicin
heterosiklik aromatik, gugus turunan nitroso dan nitrit dan aldehid (flavoring).
Produk hasil oksidasi biasanya memiliki efek terapetik lebih rendah.Identifikasi
secara visual bisa terlihat pada perubahan warna contohnya pada kasus
efineprin.Oksidasi dapat dikatalisa oleh pH ion logam contohnya tembaga dan
besi, paparan terhadap oksigen, UV.

34 | P a g e
ds. 2.2.6 Photolysis

dt. Fotolysis melibatkan reaksi yang sangat kompleks.Contoh


bahan yang dapat mengalami fotodegradasi adalah kloramfenikol.Paparan
cahaya pada sediaan obat tetes mata yang mengandung kloramfenikol dapat
menyebabkan terbentuknya p-nitrobenzaldehid, yang justru dapat menimbulkan
kerusakan mata (Asker, 2007; de Vries et al, 1994).
du. Degradasi yang diperantarai cahaya ini seringkali berkaitan
juga dengan jalur reaksi yang lain. Reaksi yang paling sering mengiringi
fotodegradasi adalah oksidasi.Senyawa seperti fumagilin, fenothiazine, dan
cholecalciferol disebutkan menghasilkan degradan yang berbeda antara dengan
dan tanpa paparan cahaya.Asam amino seperti Trp, Tyr, Phe, dan Cys rentan
mengalami fotooksidasi.Asam folat dan tetrasiklin dapat mengalami
fotooksidasi (Dántola et al, 2010; Wiebe dan Moore, 1977).Sedangkan
mefloquine dan furosemid dapat mengalami fotohidrolisa (Moore dan
Sithipitaks, 1983).
dv. Paparan pada UV dapat menyebabkan oksidasi (foto oksidasi)
dan fotolisis pada ikatan kovalen.Nipedipin, nitroprusin, ribovlavin, dan
fenotiazin sangat tidak stabil terhadap foto oksidasi.

dw.2.2.7 Kekuatan Ion

dx. Efek dari jumlah elektrolit yang terlarut terhadap kecepatan


hidrolisis dipengaruhi oleh kekuatan ion pada interaksi inter ionik. Secara
umum konstanta kecepatan hidrolisis berbanding tebalik dengan kekeuatan ion
dan sebaliknya dengan muatan ion, sebagai contoh obat-obat kation yang
diformulasikan dengan bahan tambahan anion.

35 | P a g e
dy. 2.2.8 Perubahan Nilai pH

dz. Degradasi dari banyak senyawa obat dalam larutan dapat


dipercepat atau diperlambat secara ekponensial oleh nilai pH yg naik atau turun
dari rentang pH nya.Nilai pH yang di luar rentang dan paparan terhadap
temperatur yang tinggi adalah faktor yang mudah mengkibatkan efek klinik dari
obat secara signifikan, akibat dari reaksi hidrolisis dan oksidasi. Larutan obat
atau suspensi obat dapat stabil dalam beberapa hari, beberapa minggu, atau
bertahun-tahun pada formulasi aslinya, tetapi ketika dicampurkan dengan
larutan lain yg dapat mempengaruhi nilai pH nya, senyawa aktif dapat
terdegradasi dalam hitungan menit.
ea. Sistem pH dapar yang biasanya terdegradasi dari asam atau
basa lemah dan garamnya biasanya ditambahkan ke dalam sediaan cair
ditambahkan untuk mempertahankan pHnya pada rentang dimana terjadinya
degradasi obat minimum.Pengaruh pH pada kestabilan fisik sistem dua fase
contohnya emulsi juga penting, sebagai contoh kestabilan emulsi intravena
lemak dirusak oleh pH asam.

eb. 2.2.9 Interionik

ec. Kelarutan dari muatan ion yg berlawanan tergantung pada


jumlah muatan ionnya dan ukuran molekulnya.Secara umum ion2 polivalen
dengan muatan berlawanan bersifat inkompatibel.Jadi inkompatibilitasnya lebih
mudah terjadi dengan penambahan sejumlah besar ion dengan muatan yang
berlawanan.

ed.

36 | P a g e
2.3 Pengujian Stabilitas Obat

ee.2.3.1 Protokol Uji Stabilitas

ef. Protokol Uji Stabilitas terdiri dari:


1. Batches
2. Sampling Plan
3. Test Parameters
4. Sampling Time Point

eg. Protokol uji stabilitas diperlukan untuk memulai uji stabilitas


dan digunakan sebagai dokumen yang menjelaskan komponen regulasi dan
pengawasan dalam uji stabilitas. Karena kondisi pengujian sangat
tergantung pada stabilitas peracikan, bentuk sediaan, sistem wadah
kemasan, maka protokol tergantung pada jenis dari senyawa obat atau
produk.
eh. Protokol dapat tergantung pada apakah obat itu baru ataukah
sudah ada di pasar: Protokol sebaiknya menggambarkan wilayah dimana
produk tersebut dituju untuk dipasarkan. Misalnya jika produk itu
direncanakan akan digunakan di zona iklim I-III, IVa, IVb, maka program
stabilitasnya harus memenuhi zona iklim tersebut.
1. Batches
ei. Uji stabilitas pada tahap pengembangan umumnya dilakukan
pada satu batch, sedangkan uji yang diperlukan untuk registrasi obat baru
atau produk yang baru selesai dibuat dan belum dinyatakan stabil diuji
pada batch di 3 produksi pertama, sedangkan untuk batch yang stabil atau
baru dinyatakan stabil, diizinkan walaupun 2 batch.
ej. Data pada batch skala laboratorium yang diperoleh selama
pengembangan obat-obatan tidak diterima sebagai data stabilitas primer
tetapi merupakan informasi yang pendukung. Secara umum, pemilihan
batch harus merupakan sampel acak dari batch skala pilot atau skala
produksi.
2. Sampling Plan

37 | P a g e
ek. Metode pengambilan contoh (sampling plan) untuk uji
stabilitas meliputi perencanaan jumlah sampel yang akan di uji pada tempat
pengujian dan juga sampel yang di luar batch tersebut, sehingga dapat
mewakili semua pengujian.
el. Tahap pertama sebaiknya pengembangan dari sampling time
points (titik waktu sampling) diikuti dengan jumlah sampel yang
dibutuhkan untuk menggambarkan tiap titik yang ditarik untuk evaluasi
lengkap dari semua parameter uji.
3. Test Parameters
em. Protokol uji stabilitas harus mendefinisikan parameter uji yang
akan digunakan untuk evaluasi dari uji stabilitas. Pengujian ini memantau
kualitas, kemurnian, kekuatan dan identitas yang diharapkan dapat
menentukan penyimpanan yang digunakan pada uji stabilitas.
en. Oleh karena itu penampilan (organoleptis), assay atau
pengujian, degradasi produk, kelarutan, uji mikrobiologi, dan kelembaban
merupakan uji standar yang ditunjukkan pada uji stabilitas sampel. Uji
mikrobiologi ini meliputi uji sterilitas, uji efektivitas pengawet, dan uji
batas mikroba misalnya pada sediaan larutan injeksi.
eo. Batch yang digunakan untuk uji stabilitas harus
mempertemukan semua syarat-syarat pengujian termasuk uji batas logam
berat, uji batas kadar residu abu, uji residu pelarut.
4. Sampling Time Point
ep. Frekuensi pengujian harus sedemikian rupa agar cukup untuk
menunjukkan profil stabilitas senyawa obat baru. Untuk produk yang
waktu simpannya kurang dari 12 bulan, frekuensi uji pada kondisi
penyimpanan jangka panjang sebaiknya dilakukan tiap 3 bulan pada tahun
pertama, pada tiap 6 bulan di tahun kedua dan tiap tahun setelah waktu
simpan dan tanggal kadaluwarsa diusulkan.
eq. Tabel 2. Test schedule for stability testing new products.

38 | P a g e
er.

es. 2.3.2 Tahan Pengujian Stabilitas Obat

1 Forced-Stability Testing
et. Forced-Stability Testing memiliki peranan penting dalam
pengembangan formulasi, pengembangan dan pengujian pembuatan produk
obat, dan pengembangan metode analisis. Pengujian ini menggunakan
Climatic Chamber yaitu alat yang dapat mengatur suhu dan kelembaban
udara. Sampel obat yang akan diuji biasanya akan ditempatkan
dilingkungan yang sangat ekstrim, seperti pada suhu dan kelembaban udara
yang tinggi. Suhu yang digunakan disini biasanya hampir menyentuh titik
leleh dari Active Pharmaceutical Ingredient (API). Pengujian ini juga bisa
dilakukan untuk melihat photostability atau kestabilan obat terhadap
cahaya dibawah intensitas cahaya yang tinggi.Hasil yang didapatkan dari
Forced-Stability Testing yaitu dapat memprediksi reaksi kinetik dari obat.
eu. Forced-Stability Testing diterapkan selama proses
pengembangan analisis untuk mengidentifikasi kestabilan metode
pengujian. Pada proses pengembangan formulasi, pengujian ini digunakan
untuk mengetahui ketahanan dan kestabilan formulasi.

39 | P a g e
ev. Beberapa contoh kondisi Forced-Stability Testing adalah sebagai
berikut :
 Peningkatan temperature yang tinggi
 Penurunan suhu yang ekstrim
 Pengujian photostability sesuai ICH
 Kondisi pH yang ekstrim
 Kondisi oksidatif
2 Uji stabilitas dipercepat (Accelerated–Stability Testing)
ew. Uji stabilitas dipercepat merupakan uji yang dirancang
meningkatkan laju degradasi kimia dan perubahan fisika obat dengan
membuat suatu kondisi penyimpanan yang dilebihkan.Uji ini merupakan
bagian dari program uji stabilitas resmi. Data yang diperoleh dari uji ini,
selain data yang diperoleh dari uji stabilitas real time, dapat digunakan untuk
menilai efek kimia jangka panjang dalam kondisi penyimpanan biasa dan
untuk mengevaluasi dampak penyimpangan jangka pendek di luar kondisi
penyimpanan pada penandaan. Hasil studi uji stabilitas dipercepat tidak selalu
dapat memprediksi perubahan fisika.
ex. Pada uji stabilitas dipercepat, obat disimpan pada kondisi
ekstrim di suatu lemari uji yang disebut climatic chamber untuk menjaga agar
suhu ekstrim dan kelembaban nisbi terkendali.Obat dalam kemasan aslinya
dipaparkan pada suhu 40 ± 2oC dan kelembaban 75 ± 5%.kecuali untuk obat
yang peka terhadap suhu dilakukan pada suhu ruangan (25 0C ± 20C) dengan
kelembaban nisbi ruangan 60% ± 5%. Rentang waktu pengujian untuk uji
stabilitas dipercepat dilakukan pada bulan 0, 1, 2, 3, dan 6.Biasanya pengujian
pada bulan ke-6 hanya untuk senyawa obat baru.

ey. Metode uji stabilitas dipercepat untuk produk-produk farmasi


yang didasarkan pada prinsip-prinsip kinetika kimia ditunjukkan oleh Garret
dan Carper.Menurut teknik ini, nilai k untuk penguraian obat dalam larutan
pada berbagai temperatur yang dinaikkan diperoleh dengan memplot beberapa
fungsi konsentrasi terhadap waktu.Logaritma laju spesifik kemudian diplot

40 | P a g e
terhadap kebalikan dari temperatur mutlak dan hasil berupa garis lurus
diekstrapolasi sampai temperatur ruang digunakan untuk memperoleh
pengukuran kestabilan obat pada kondisi penyimpanan biasa.
ez. Pendekatan yang lebih maju untuk evaluasi kestabilan adalah
kinetika nonisotermal, yang diperkenalkan oleh Rogers pada tahun 1963.
Energi aktivasi, laju reaksi dan kestabilan yang diperkirakan diperoleh dalam
satu percobaan dengan mengatur temperature untuk berubah pada laju yang
telah ditentukan sebelumnya. Temperatur dan waktu dihubungkan melalui
fungsi yang sesuai, seperti :
fa. 1/T = 1/T0 + at
fb. Dimana To adalah temperatur awal dan a adalah kebalikan dari
konstanta laju pemanasan. Pada setiap waktu, dalam proses, persamaan
Arrhenius untuk waktu nol dan t dapat ditulis:
fc. ln k1= ln ko - Ea/R (( 1)/(T1 ) - 1/T0 )

fd. Karena temperatur merupakan fungsi dari waktu t, suatu


pengukuran kestabilan k secara langsung diperoleh pada kisar temperatur
tersebut. Sejumlah variasi telah dibuat pada metode dan sekarang
memungkinkan untuk mengubah laju pemanasan selam proses atau
menggabungkan laju pemanasan terprogram dengan penelitian isothermal dan
menerima print- out energi aktivasi, dan kestabilan memperkirakan waktu
yang direncanakan dan pada berbagai temperatur.

fe. Pada uji stabilitas dipercepat, hasil kinetika reaksi penguraian


obatyang dilakukan pada suhu tinggi, kemudian diekstrapolasi pada suhu
penyimpanannya sehingga didapat kinetika reaksi pada suhu penyimpanan
yang sebenarnya.Pengujian dilakukan pada 3 batch kecuali jika bahan aktif
sudah dikenal cukup stabil. Batch harus representative mewakili proses
manufaktur dan dibuat skala pilot atau skala produksi penuh.
ff. Cara analisis uji stabilitas obat dipercepat yaitu dengan:
fg. 1. Tentukan orde reaksi.
fh. 2. Harga k pada setiap suhu dihitung dari gradien.

41 | P a g e
fi. 3. Harga k dapat diplotkan pada suhu yang dikehendaki.
fj. 4.Waktu simpan produk dihitung dari tetapan laju sesuai dengan derajat
penguraian (orde reaksi).
3 Uji Stabilitas Jangka Panjang (Real Time-Stability Testing)
fk. Pengujian yang dilakukan terhadap karakteristik fisika, kimia,
biologi, biofarmasi, dan mikrobiologi suatu obat, selama masa edar dan
periode penyimpangan yang diharapkan atau lebih, pada kondisi penyimpanan
sesuai dengan kondisi penyimpanan obat sebenarnya di pasaran.Hasil yang
diperoleh digunakan untuk menetapkan masa edar, membuktikan hasil
proyeksi masa edar dan untuk menentukan kondisi penyimpanan yang
dianjurkan.
fl. Untuk produk baru biasanya pengujian dilakukan pada suhu
kamar yang dikendalikan (300C ± 20C ) dengan kelembaban nisbi ruangan
75% ±5%, kecuali untuk obat yang peka terhadap suhu dilakukan pada suhu
rendah (50C ± 20C) dengan rentang waktu pengujian pada bulan 0, 3, 9, 12, 18,
24,36, 48, dan 60. Biasanya pengujian dilakukan sampai bulan ke-36, tetapi
apabila masih memenuhi syarat pengujian harus diteruskan sampai bulan ke-
60. Ruangan untuk uji stabilitas dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

a. Ruangan dengan suhu 40±20C dan Rh 75% ±5%


b. Ruangan dengan suhu 30±20C dan Rh 75 %±5%
c. Ruangan dengan suhu 25±20C dan Rh 40% ±5 %
d. Ruangan dengan suhu 40±20C dan Rh ≤ 35%

fm. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas setiap bahan baku


obat, baik bahan yang memberikan efek terapi atau bahan tambahan yaitu:
a ukuran partikel,
b pH, kelarutan,
c ketercampuran anion dan kation,
d kekuatan larutan ionik,
e bahan tambahan kimia
f bahan pengikat molekular dan difusi bahan tambahan.

42 | P a g e
fn. Berdasarkan kedua metode pengujian stabilitas obat diatas, dapat
dibagi beberapa kegunaan dari penggunaan metode pengujian stabilitas obat
sebagai berikut:
fo. Tabel 3. Kegunaan metode pengujian stabilitas obat
fp.
fq.
fr. Tujua
P
n

fu. Untu
k
memi
lih
formu
lasi
dan
siste
m
ft.
fs. Dipercep penut
P
at upan
wada
h
yang
sesuai
(berd
asark
an
stabili
tas)
fv. fw. fx. Untu

43 | P a g e
k
mene
ntuka
n
masa
P edar
dan
kondi
si
penyi
mana
n
ga. Untu
k
mene
gaska
fy.
fz. n
D masa
edar
yang
telah
diteta
pkan
gb. gc. gd. Untu
P k
mem
bukti
kan
bahw

44 | P a g e
a
tidak
ada
perub
ahan
yang
terjad
i
dalam
perub
ahan
yang
terjad
i
dalam
formu
lasi
atau
prose
s
pemb
uatan
yang
dapat
mem
berik
an
efek

45 | P a g e
meru
gikan
pada
stabili
tas
obat
ge.
gf. Tabel 4 Kondisi iklim rata-rata: Data pengukuran di
udara terbuka dan di ruang penyimpanan

gg.

gh.

46 | P a g e
gi.

gj.
a. Fase pengembangan
gk. Uji stabilitas dipercepat memberikan cara untuk
membandingkan berbagai pilihan formulasi, bahan kemasan, dan proses
pembuatan dalam eksperimen jangka pendek. Setelah formulasi akhir dan
proses pembuatan ditetapkan, pabrik obat dapat segera melakukan rangkaian
uji stabilitas dipercepat sehingga memungkinkan pabrik obat untuk
memperkirakan stabilitas produk obat, serta menentukan masa edar dan
kondisi penyimpanan. Uji stabilitas jangka panjang harus dimulai pada waktu
yang sama untuk tujuan pembuktian. Perhitungan yang sesuai harus
diterapkan untuk mkenetapkan periode penggunaan produk untuk sediaan
dalam wadah dosis ganda, khususnya untuk penggunaan topikal.
b. Dokumen registrasi
gl. Badan pengawas obat akan meminta pabrik obat untuk
menyerahkan informasi stabilitas produk yang diperoleh dari pengujian
sediaan dari uji stabilitas dipercepat dan uji stabilitas jangka panjang. Data
stabilitas pendukung yang telah dipublikasi yang diperoleh dari penelitian
terbaru dapat juga diserahkan.Jika produk harus diencerkan atau direkonstitusi
sebelum diberikan kepada pasien (misalnya serbuk untuk injeksi atau
konsentrat untuk suspense oral) , data stabilitas “penggunaan setelah dibuka”

47 | P a g e
harus diserahkan untuk mendukung informasi waktu dan kondisi
penyimpanan sediaan yang diannjurkan untuk bentuk sediaan tersebut.
c. Periode pasca registrasi
gm. Pabrik harus melakukan uji stabilitas jangka panjang pasca
registrasi untuk memperkuat data tanggal kadaluarsa dan kondisi dan kondisi
penyimpanan yang telah diperkirakan sebelumnya.Data yang diperlukan
untuk membuktikan masa edar sementara harus diserahkan kepada badan
registrasi.Hasil lasin dari uji stabilitas pasca registrasi diperiksa pada saat
inspeksi GMP.Untuk memastikan mutu dan keamanan produk yang telah
diproduksi.
gn. Desain forced degradation

go.
gp. Gambar 8 design forced degradation

gq. 2.3.3 Metode Analisis Stabilitas Obat


gr. Dalam dunia industri, suatu obat perlu dilakukan pengujian
stabilitasnya menggunakan metode-metode yang sesuai. Berikut adalah beberapa
contoh metode dan instrumen yang sudah biasa digunakan untuk analisis
stabilitas obat:

48 | P a g e
2.3.3.1 Metode Le Bail

gs. Pada pola difraksi sinar-X serbuk sering terjadi


adanya overlap pada puncak difraksi terutama pada nilai 2θ yang tinggi. Dengan
adanya overlap tersebut menyebabkan sulitnya pemisahan intensitas dari tiap-
tiap pemantulan sinar, sehingga penentuan struktur sukar dilakukan. Namun,
dengan metoda Rietveld, kini dimungkinkan untuk menentukan struktur kristal,
terutama untuk struktur yang relatif sederhana, dari data difraksi serbuk.
gt. Sebagai langkah awal penggunaan metoda Rietveld, sering digunakan
metoda Le Bail. Pada metode Le Bail, intensitas dari berbagai puncak difraksi
dihitung dengan hanya menggunakan parameter sel satuan dan parameter yang
mendefinisikan puncak. Dari analisis Le Bail akan didapatkan parameter sel dan
plot Le Bail mirip plot Rietveld.
gu.

gv. Gambar 9. Hasil Refinement Pola Difraksi Sinar-X Serbuk


Menggunakan Metode Le Bail Dengan Menggunakan Program
Rietica.
gw.
2.3.3.2 Sorpsi Air

gx. Hubungan antara kelembaban dan kandungan air pada


temperatur yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi air

49 | P a g e
seperti yang dikemukakan oleh Bell dan Labuza. Masing-masing produk
mempunyai kesetimbangan kandungan air yang unik karena perbedaan interaksi
(efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan) antara air dengan
komponen padat pada kandungan air yang berbeda. Peningkatan a w biasanya
dibarengi dengan peningkatan kandungan air, walaupun tidak secara linier.
Kesetimbangan kandungan air biasanya berbentuk sigmoidal untuk kebanyakan
makanan, walaupun makanan tersebut mengandung gula dalam jumlah besar
(Fontana, 2000).
gy. Informasi mengenai mekanisme sorpsi air pada suatu bahan
dapat diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan airnya, karena hal itu
sangat tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan padat.
Isoterm sorpsi fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI),
berdasarkan klasifikasi IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk
dijumpai (Sing, dkk., 1985).
gz. Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya
adsorpsi yang terbatas yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan
tunggal yang sempurna. Tipe I memiliki adsorben dengan mikropori yang luas
permukaannya relatif kecil, yang dapat menyimpan banyak air pada RH yang
rendah (Sing, dkk., 1985).

50 | P a g e
ha.
hb. Gambar 10. Klasifikasi Isoterm Sorpsi Air dan
hc. Berbagai Bentuknya (Sing, dkk., 1985).
hd.
he. Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk S umumnya
berhubungan dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan
permukaan yang tidak berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV
menunjukkan pengikatan tertentu pada kelembaban rendah yang diikuti
dengan adsorpsi yang rendah pada kelembaban menengah, selanjutnya
meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya histeresis
menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan IV
(Sing, dkk., 1985).
hf. Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki
penyerapan yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena
tertutupnya mesopori yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian
pori (Sing, dkk., 1985).
hg. Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorbent-
adsorbat yang lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada
kelembaban rendah dan terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang
lebih tinggi. Isoterm tipe VI, isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat

51 | P a g e
demi tingkat pada permukaan bahan tidak berpori yang seragam (Sing, dkk.,
1985).
hh. Kesetimbangan dari adsorpsi air (dimulai dari keadaan kering)
tidak sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi air
(dimulai dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan air yang berbeda
dengan aw yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi air dan dimiliki oleh
kebanyakan makanan (Fontana, 2000).

hi. Gambar 11. Skema Histeresis antara Adsorpsi dan


Desorpsi Air
hj. (Chaplin, 2005).
hk. Ada beberapa alasan hal ini dapat terjadi, seperti perbedaan
pengisian dan pengosongan air pada pori-pori, pengembangan bahan polimer,
transisi keadaan gelas dan karet, dan supersaturasi beberapa zat terlarut
selama desorpsi. Kesetimbangan kandungan air ini biasanya digambarkan
dalam bentuk grafik, dengan memplot kandungan air sebagai suatu fungsi aw
atau dalam suatu bentuk persamaan (Fontana, 2000).
hl. Ada lebih dari 70 persamaan yang telah dikembangkan untuk
memprediksi kesetimbangan kandungan air ini. Model GAB (Guggenheim-
Anderson-de Boer) merupakan salah satu model yang telah diterima secara
luas untuk bahan dengan aktivitas air dari 0,1 sampai 0,9.

52 | P a g e
hm.
hn.
ho. Dimana C1 dan k adalah suatu konstanta dan mo adalah kadar
air lapisan tunggal. Persamaan ini dapat diselesaikan menggunakan program
regresi non linear terkomputerisasi ataupun dalam bentuk persamaan
polinomial (Fontana,2000).
hp. Air (terutama aktivitas air) tidak hanya mempengaruhi
pertumbuhan mikroba, tetapi juga mempengaruhi reaktivitas kimia dan
enzimatik suatu bahan. Air dapat mempengaruhi stabilitas kimia dalam
berbagai cara. Air dapat bertindak sebagai pelarut, reaktan, atau mengubah
mobilitas dari suatu reaktan dengan mengubah viskositas sistem. Aktivitas air
mempengaruhi pengcoklatan non- enzimatik (non-enzymatic browning),
oksidasi lipid enzimatik, denaturasi protein, gelatinisasi amilum, dan
retrodegradasi amilum (Fontana, 2000).

hq. Gambar 12. Aktivitas Air-Diagram Stabilitas (Labuza, 1972)


hr.

53 | P a g e
2.3.3.3 Titik Leleh

1) Binary System
hs. Sistem biner memiliki dua komponen yaitu C setara dengan 2,
dan bilangan kebebasan yaitu F=4-P. Setidaknya pasti terdiri dari satu fase,
sehingga nilai minimum yang memungkinkan dari F adalah 3. Sistem
kesetimbangan tidak boleh lebih dari 4 karena nilai F tidak bisa negatif.
Temperatur, tekanan dan komposisi dari sistem dapat divariasikan. Umumnya
menggunakan diagram dua dimensi, yaitu diagram antara temperatur dan
komposisi pada tekanan tetap atau antara tekanan dan komposisi dengan
temperatur tetap. Variabel komposisi biasanya bervariasi sepanjang sumbu
aksis horizontal dan dapat mole fraction, mass fraction, atau mass percent
dari salah satu komponen. Interpretasi dari diagram fase dua dimensi adalah
untuk menentukan komposisi atau fase individual yang bergantung pada
jumlah fase yang terdapat dalam sistem.
 Jika poin dalam sistem diantara area satu fase dari diagram fase, variabel
komposisi yaitu komposisi dari fase tungggal. Terdapat tiga derajat
kebebasan. Pada diagram fase, nilai T atau P telah pasti, sehingga terdapat
dua variabel independen lainnya. Sebagai contoh, pada diagram
temperatur dan komposisi, tekanan memiliki nilai pasti dan temperatur
serta komposisi dapat dirubah secara independen dalam batas-batas
daerah diagram satu fase.
 Jika poin dalam sistem dalam aera dua fase pada diagram, tarik garis
horizontal dari suhu konstan (pada diagram fase suhu-komposisi) atau
tekanan konstan (pada diagram tekanan-komposisi). Posisi titik pada
setiap akhir baris, pada batas wilayah dua fase, memberikan nilai variabel
komposisi pada salah satu fase dan juga keadaan fisik pada fase ini baik
keadaan yang berdekatan daerah satu fase, atau keadaan fase komposisi
tetap ketika batas adalah garis vertikal. Dengan demikian, batas yang
memisahkan area dua fase untuk fase α dan β dari daerah satu fase untuk

54 | P a g e
fase α adalah kurva yang mendeskripsikan komposisi dari fase α sebagai
fungsi dari T ketika terjadi kesetimbangan dengan fase β. Kurva tersebut
disebut solidus, liquidus ,atau vaporus bergantung pada fase α
merupakan padatan, cairan, atau gas.
 Sebuah sistem biner dengan tiga fase hanya memiliki satu derajat
kebebasan dan tidak dapat direpresentasikan oleh area pada diagram fase
dua dimensi. Sebaliknya, ada garis batas horizontal antar daerah, dengan
titik khusus sepanjang garis di persimpangan beberapa daerah. Koposisi
dari tiga fase diberikan posisi dari titik ini dan titik-titik di kedua ujung
garis. Posisi pada sistem titik pada garis tidak spesifik menentukan
jumlah relatif dalam tiga fase.
ht. Contoh-contoh yang mengikuti beberapa jenis diagram fase
sederhana disebut dengan sistem biner.

hu.

hv.

hw. Sistem Solid-Liquid

55 | P a g e
hx.

hy. Gambar 13. Temperature-composition phase diagram


for
hz. a binary system exhibiting a eutectic point
ia.
ib. Sistem satu fase area cair dibatasi oleh dua kurva, dimana
keduanya merupakan kurva titik beku untuk cairan atau sebagai kurva
kelarutan untuk padatan. Saat fraksi mol dari komponen dalam fase cair
menurun dari kesatuan, titik beku akan menurun. Kurva akan bertemu pada
titik a, dimana ini merupakan titik eutektik. Pada titik ini, baik solid A dan
solid B dapat berdampingan dalam kesetimbangan dengan campuran cairan
biner. Komposisi pada titik ini merupakan komposisi eutektik, dan temperatur
pada titik ini (dilambangkan dengan Te) merupakan temperatur eutektik.
Eutektik berasal dari bahasa Yunani dengan arti mudah meleleh. Te adalah
suhu terendah untuk tekanan yang diberikan dimana fase cair stabil.

ic. Pada titik c isopleth, titik sistem mencapai batas daerah satu
fase dan akan measuk ke area dua fase berlabel A(s) + liquid. Pada titik dalam
proses pendinginan, cairan tersaturasi dengan padatan A, dan padatan A akan

56 | P a g e
membeku dari cairan. Ada penurunan mendadak (break) pada laju
pendinginan pada titik ini, karena proses pendinginan melibatkan penurunan
entalpi ekstra. Pada suhu masih lebih rendah pada titik d, titik sistem dalam
area dua fase padatan-cairan. Garis yang melalui titik ini adalah garis e-f.
Komposisi dari dua fase diberikan oleh nilai-nilai dari zB pada ujung garis:
XsB = 0 untuk padatan dan XlB = 0,50 untuk cairan.

id. Ketika titik sistem mencapai suhu eutektik pada titik g,


pendinginan berhenti hingga seluruh cairan membeku. Padatan B dan juga
padatan A akan membeku. Selama penghentian eutektik ini, pertama terdapat
tiga fase yaitu cairan dengan komposisi eutektik, padatan A, dan padatan B.
Panas yang terus ditarik dari sistem mengakibatkan jumlah penurunan cairan
dan jumlah padatan meningkat hingga akhirnya hanya terdapat 0,60 mol dari
padatan A dan 0,40 mol dari padatan B. Suhu kemudian akan menurun lagi
dan titik sistem memasuki daerah dua fase untuk padatan A dan padatan B,
gais-garis pada daerah ini meluas dari zB = 0 hingga zB = 1.

ie. Diagram fase komposisi-temperatur seperti ini sering dipetakan


secara eksperimental dengan mengamati kurva pendinginan (suhu sebagai
fungsi dari waktu) bersama isopleths dari berbagai komposisi. Prosedur ini
dinamakan analisis termal. Terobosan pada kemiringan kurva pendinginan
pada suhu tertentu menunjukkan titik sistem telah pindah dari daerah cair satu
fase ke daerah dua fase cair dan padat. Penghentian suhu menunjukkan suhu,
baik titik beku cairan untuk membentuk padatan dengan komposisi sama, atau
titik eutektik lain.

2) Ternary System
if. Sistem terner merupakan sistem dengan tiga komponen. Secara
independen dapat memvariasikan temperatur, tekanan, dan dua variabel
independen komposisi untuk seluruh sistem. Diagram fase dua dimensi untuk

57 | P a g e
sistem terner biasanya digambarkan untuk kondisi konstan temperatur dan
tekanan.

ig.

ih.

ii. Gambar 14. Representing the composition of a temary


ij. system by a point in a equilateral triangle
ik.

58 | P a g e
il. Setiap titik dari segitiga sama sisi menunjukan satu dari
komponen murni A, B, atau C. Titik A pada sisi segitiga menunjukkan sistem
biner dari dua komponen lainnya, dan titik dalam segitiga menunjukkan
sistem terner dari ketiga komponen. Untuk mengukur fraksi mol z A dari
komponen A dalam sistem sebagai keseluruhan ditunjukkan oleh titik di
dalam segitiga, dengan mengukur jarak titik dari sisi segitiga yang
berseberangan dengan titik dari A murni, lalu gunakan jarak ini sebagai fraksi
dari tinggi pada segitiga. Pengukuran zB dan zC dilakukan dengan cara yang
sama.

im. Sistem Tiga Cairan

in.
io. Gambar 15. Contoh sistem tiga cairan

ip. Ketika titik sistem dalam area berlabel P = 1, terdapat fase


cairan tunggal dimana komposisi digambarkan dengan posisi dari titik. Area
satu fase diperluas ke sisi dari segitiga yang menunjukkan campuran biner
dari etanol dan benzena, dan ke sisi yang menunjukkan campuran biner dari
etanol dan air. Dengan kata lain, etanol dan benzena dapat bercampur dalam
segala perbandingan, dan sebagaimana juga etanol dan air. Ketika komposisi
keseluruhan pada titik sistem jatuh pada area berlabel P = 2, terdapat dua fase
cairan. Komposisi pada fase ini diberikan oleh posisi dari akhir garis yang
melalui titik sistem. 4 garis representatif termasuk dalam diagran, dan harus
diukur secara eksperimental. Titik pertemuan ditampilkan sebagai lingkaran

59 | P a g e
terbuka dan disebut sebagai titik kritis larutan. Akibat titik sistem mendekati
titik pertemuan dari dalam daerah dua fase, panjang dari garis yang melalui
titik sistem mendekati nol, menghilangnya miscibility gap, dan komposisi dari
dua konjugat fase cairan menjadi identik.

iq.

ir.

is. Sistem Dua Padatan dan Pelarut

it.
iu. Gambar 16. Contoh sistem dua padatan dan pelarut

iv. Diagram fase ini digunakan untuk sistem terner dari air dan
dua garam dengan anion yang sama. Terdapat area satu fase untuk larutan,
ditandai sln; pasangan dari daerah dua fase dimana fase tersebut merupakan
padatan garam tunggal dan larutan tersaturasi; dan area tiga fase segitiga. Titik
bagian atas dari area tiga fase yang merupakan titik eutonik, menunjukkan
komposisi dari larutan tersaturasi. Sistem dari tiga komponen dan tiga fase
memiliki dua derajat kebebasan, yaitu nilai tetap dari temperatur dan tekanan,
dimana setiap fase harus memiliki komposisi pasti. Komposisi pasti dari fase
yang hadir ketika titik sistem jatuh dalam area tiga fase adalah komposisi di
tiga simpul dalam segitiga.

a. Solubility/Dissolution Rate

60 | P a g e
iw. Kelarutan, fenomena dari melarutnya suatu larutan dalam pelarut
untuk memberikan sistem yang homgen, merupakan salah satu parameter penting
untuk mencapai konsentrasi yang diinginkan dari obat dalam sirkulasi sistemik
untuk mencapai respon farmakologi yang diinginkan. Kelarutan merupakan sifat
dari suatu padatan, cairan, atau gas yang dapat melarut ke dalam pelarut untuk
membentuk larutan yang homogen. Kelarutan tergantung dari pelarut yang
digunakan, temperatur, dan tekanan. Tingkat kelarutan dari suatu zat dalam
pelarut yang spesifik diukur dengan konsentrasi saturasi dimana ketika
ditambahkan zat terlarut tidak meningkatkan konsentrasinya dalam larutan.
Kelarutan terjadi dalam kesetimbangan dinamik, dimana berarti kelarutan
merupakan hasil dari proses disolusi secara simultan. Kesetimbangan kelarutan
terjadi ketika dua proses terjadi pada laju konstan. Dalam kondisi tertentu,
kesetimbangan kelarutan dapat melebihi dan terjadi larutan jenuh yang metastabil.
ix. Disolusi didefinisikan sebagai proses dimana suatu zat baik padat,
larutan, atau gas, masuk ke dalam pelarut dan menghasilkan suatu larutan.
Disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat terlarut dengan pelarut. Laju
disolusi atau kecepatan pelarutan merupakan jumlah zat yang terlarut dari bentuk
sediat zat terlarut dalam medium tertentu sebagai fungsi waktu.
iy.

iz.
ja. Gambar 17. Grafik laju disolusi

61 | P a g e
jb. Grafik di atas merupakan grafik laju disolusi dari suatu zat
terlarut di dalam pelarut. Sumbu aksis pada grafik menunjukkan jumlah zat
terlarut yang ditambahkan ke dalam sistem. Sedangkan sumbu ordinatnya
menunjukkan jumlah zat yang terlarut. Dapat diartikan bahwa meningkatnya
jumlah zat terlarut yang ditambahkan ke dalam suatu sistem larutan, maka
jumlah zat yang terlarut akan semakin menurun.
jc.
jd.
b. Mass Changes
je. Kelembaban adalah pengukuran kandungan air dalam udara.
Kelembaban absolut yang biasanya disebut rasio kelembaban, adalah masa uap
air per satuan massa dari udara kering sehingga satuannya adalah kg.kg-1. Udara
dikatakan jenuh dengan uap air saat temperatur dan tekanan tertentu jika
kelembabannya maksimum pada kondisi ini. Jika air selanjutnya ditambahkan
untuk menjenuhkan udara, akan muncul sebagai air cair dalam bentuk kabut atau
tetesan. Dalam kondisi jenuh, tekanan parsial dari uap air dalam udara adalah
sama dengan tekanan saturasi uap air pada temperatur tersebut.
jf. Tekanan total dari campuran gas, seperti udara dan uap air,
dibentuk dari jumlah tekanan dari konstituennya, dimana disebut dengan tekanan
parsial. Setiap tekanan parsial berasal dari konsentrasi molekular dari konstituen
dan tekanan yang diberikan adalah yang sesuai dengan jumlah mol yang ada dan
total volume dari sistem. Tekanan parsial ditambahkan untuk menentukan
tekanan total. Kelembaban parsial (RH) didefinisikan sebagai rasio tekanan
parsial dari uap air di udara (p) dengan tekanan parsial pada uap air jenuh pada
temperatur yang sama (ps).

62 | P a g e
jg.
jh. Gambar 18. Contoh perubahan masa

ji.
jj.
jk. Pada stabilitas padatan, kelembaban relatif akan mempengaruhi
massa dari suatu zat. Pada grafik di atas dapat dilihat pengaruh dari kelembaban
relatif terhadap % perubahan massa dari massa kering. Pada grafik sumbu aksis
merupakan kelembaban relatif, sedangkan sumbu ordinat merupakan perubahan
massa. Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi
kelembaban relatifnya, maka akan semakin tinggi pula % perubahan massa. Hal
ini disebabkan karena massa kering akan semakin higroskopis. Higroskopis
adalah kemampuan suatu zat untuk menyerap molekul air dari lingkungannya
baik melalui absorbsi atau adsorpsi.

2.3.3.4 Differential Scanning Calorimetry (DSC)

jl. DSC adalah suatu instrumen yang digunakan untuk melihat perubahan
kalori pada sampel yang terjadi akibat degradasi kimia atau fisika dari suatu
sediaan atau zat (Yoshiokaand Stella, 2000). Degradasi yang terjadi dapat berupa
transisi konformasi suatu makromolekul biologi, contohnya adalah perubahan
struktur protein atau perubahan untaian DNA dari untai ganda menjadi untai
tunggal(Bruylants et al., 2005).

63 | P a g e
jm.
Gambar 19. Contoh instrumen DSC.

jn. Instrumen DSC memberikan hasil analisis kualitatif dan kuantitatif


meliputi proses eksotermik / endotermik atau perubahan kapasitas panas.
Parameter-parameter yang dapat diukur menggunakan DSC adalah transisi gelas,
titik leleh dan titik didih, waktu dan suhu kristalisasi, persen kristalinasi, reaksi
panas, kapasitas panas spesifik (Cp), stabilitas suhu/oksidatif, kinetika reaksi, dan
kemurnian (Elmer, 2014).Data parameter-parameter tersebut dapat berupa bentuk
thermogram seperti pada Gambar 2 (Departement of Chemistry, 2015).
jo.

Gambar 20. Thermogram DSC.

jp. Penerapan DSC banyak digunakan dalam proses penemuan


dan pengembangan obat diantaranya untuk melakukan studi interaksi ligan,
karakterisasi dan seleksi protein yang paling stabil atau yang berpotensi dalam

64 | P a g e
pengembangan bioterapi, optimasi secara cepat kemurnian dan kondisi
produksi obat, serta penentuan kondisi optimum dalam formulasi sediaan cair.
Teknik analisis menggunakan metode ini adalah teknik dimana suhu dari
sampel dibandingkan dengan baku pembanding inert selama perubahan suhu
terprogram. Suhu sampel dan baku pembanding akan sama jika tidak terjadi
perubahan, namun saat terjadi peristiwa thermal (pelelehan, dekomposisi, atau
perubahan struktur kristal pada sampel), suhu dari sampel dapat berada di
bawah apabila perubahannya bersifat endotermik, atau suhu sampel dapat
berada di atas suhu baku pembanding apabila perubahan bersifat eksotermik.
2.3.3.5 Powder X-Ray Diffraction (PXRD)

jq. PXRD adalah suatu metode analisis obat yang dapat digunakan untuk
karakterisasi dan identifikasi fase padat yang dapat muncul akibat terjadinya
bentuk kompleks atau fase padat yang terdapat dalam dispersi molekular padat.
PXRD dapat memeriksa ketidakstabilan suatu obat yang terjadi akibat proses
produksi atau penyimpanan (Chung and Smith, 2000). Aspek-aspek stablitas obat
yang dapat diperoleh melalui XRD mencakup (Particle Sciences, 2012):
1. Identifikasi bentuk polimorfisme suatu senyawa obat.
2. Karakterisasi bentuk kristal yang terlarut atau terhidrasi. Contoh: terbentuknya
kristal hidrat yang stabil pada senyawa obat anhidrat yang diproduksi dengan
cara granulasi basah.
3. Pembentukan ko-kristal. Hal ini terjadi akibat interaksi dua kristal padatan
membentuk struktur kristal baru yang melibatkan adanya ikatan hidrogen. Ko-
kristal dapat membantu meningkatkan kelarutan zat aktif.
4. Deteksi dan kuantifikasi kandungan kristal dalam matrix amorf.
jr. Hasil analisis XRD dapat berupa kualitatif dan kuantitatif. Hasil
kualitatif dari XRD berupa identifikasi struktur kristal atau amorf berdasarkan
jarak d (jarak yang berulang antara kristal). Jarak d dapat diperoleh juga melalui
hukum Braggλ = 2d sin θ. Hasil analisis kuantitatif XRD berupa hubungan antara
intensitas puncak pada hasil difraksi dengan jumlah komponen yang terlibat
dalam proses difraksi. Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat perbedaan pola

65 | P a g e
difraksi untuk bentuk sediaan yang mengandung kristal dan amorf. Bentuk
sediaan yang amorf akan memiliki pola yang lebar dan tidak memiliki puncak
yang terpisah dengan jarak tertentu (d) seperti pola difraksi pada kristal (Young,
2012).

js.
Gambar 21. Perbedaan pola difraksi bentuk ristal dan
amorf.

2.3.3.6 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)

jt. HPLC atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) adalah suatu
metode analisis yang mampu memisahkan komponen-komponen suatu campuran
dengan kepekaan yang tinggi. Metode ini dapat digunakan untuk melihat profil
kelarutan atau ketersediaan zat aktif suatu obat dalam waktu dan suhu
penyimpanan tertentu, sehingga dapat menjadi parameter penentu kestabilan
suatu obat. Hasil analisis dari HPLC dapat berupa kualitatif (waktu retensi) dan
kuantitatif (luas puncak yang akan berhubungan dengan konsentrasi senyawa
obat) (Gandjardan Rohman, 2012).

2.3.3.7 Spektroskopi inframerah.

ju. Metode spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk mengetahui


struktur suatu senyawa. Metode ini dapat digunakan pula untuk karakterisasi
bentuk polimorfisme suatu senyawa obat karena perbedaan frekuensi stretching
suatu ikatan (Niazi, 2006). Dari hasil spektrum, dapat diperoleh informasi berupa
identifikasi gugus fungsional suatu senyawa, serta perlu dibandingkan spektrum

66 | P a g e
sampel dengan spektrum dari senyawa bakunya. Pita absorpsi inframerah untuk
berbagai gugus fungsi dapat dilihat pada Gambar 4. Hasil analisis spektrum
inframerah berguna untuk karakterisasi interaksi intermolekular dan pengaruhnya
terhadap suatu sediaan. Interaksi yang terjadi dapat mempengaruhi stabilitas fisik
zat aktif dilihat dari perubahan pola spektrum inframerahnya. Contohnya adalah
melihat interaksi antara suatu zat aktif dengan polimernya pada sediaan dispersi
padat.

jv.

jw.
Gambar 5. Pita absorpsi inframerah

67 | P a g e
2.3.3.8 Scanning Electron Microscope (SEM)

jx. Terdapat beberapa alat untuk mengidentifikasi komposisi pada obat,


salah satunya dengan Scanning Electron Microscope (SEM). SEM merupakan
mikroskop elektron yang digunakan untuk mengamati morfologi permukaan
dalam skala mikro dan nano. Teknik analisis SEM menggunakan elektron
sebagai sumber pencitraan dan medan elektromagnetik sebagai lensanya (Voutou,
dan Stefanaki, 2008 dalam Rianita dkk, 2014).
jy. Karakterisasi SEM memiliki kemampuan dalam hal topografi, yaitu
kemampuan SEM dalam mengobservasi permukaan yang menggambarkan
tekstur dan sifat material, morfologi, mengidentifikasi bentuk dan jenis penyusun
objek. Kemampuan SEM dalam mengidentifikasi sifat fisik dan kimia
berhubungan dengan struktur dan sifat material, komposisi, dan kristalografi
yang merupakan komposisi senyawa (atom penyusun material). SEM tidak hanya
mengobservasi material yang sangat detail (resolusi tinggi) tetapi juga fokus pada
daerah permukaan yang luas, dan bayangan yang dihasilkan jelas pada 10 Å
(Jeol, 2000).
jz. Persiapan sampel pada SEM juga tergolong mudah karena hanya
diperlukan sifat konduktif pada sampelnya. Pada saat ini, SEM merupakan salah
satu peralatan yang sering digunakan dalam penelitian karena dapat melakukan
perbesaran yang tinggi, memiliki kemampuan untuk fokus yang tinggi, resolusi
yang lebih baik sehingga SEM memudahkan pengamatan sampel (Petra, 2008).
Skema desain SEM dapat dilihat pada gambar berikut:
ka.

68 | P a g e
kb.
kc. Gambar 22. Skema desain dari Scanning electron
microscope (Petra, 2008)
kd.
ke.Sinar elektron dipancarkan melalui sebuah katoda tungsten yang
dipanaskan dan difokuskan menjadi diameter kecil melalui sebuah sistem lensa
magnetik (biasanya terdiri atas dua lensa condenser dan sebuah lensa obyektif).
Pengecilan diameter kira-kira 10 nm pada peralatan standar, sedangkan pada
peralatan resolusi tinggi 1 nm, tegangan yang digunakan antara 1.000 sampai
50.000 V. Arus listrik elektron utama yang melalui permukaan kira-kira 10 -8
sampai 10-7 A. Arus listrik dapat ditingkatkan dengan menggunakan sumber
elektron yang lebih efektif seperti katoda lathanum hexoboride (LaB6) (Petra,
2008).
kf. SEM membentuk gambar dengan menembakkan suatu sinar elektron
berenergi tinggi, biasanya dengan energi dari 1 hingga 20keV, melewati sampel
dan kemudian mendeteksi secondary electron dan backscattered electron yang
dikeluarkan. Secondary electron berasal pada 5-15 nm dari permukaan sampel
dan memberikan informasi topografi dan untuk tingkat yang kurang, pada variasi
unsur dalam sampel. Backscattered electron terlepas dari daerah sampel yang
lebih dalam dan memberikan informasi terutama pada jumlah atom rata-rata dari
sampel (Martinez, 2010).

69 | P a g e
kg. Analisis gambar SEM merupakan teknik baik untuk
menghasilkan profil distribusi partikel dan karakteristik permukaan. Teknik ini
dapat mengkarakterisasi ukuran dan bentuk dari produk yang tidak diketahui
dengan profil distribusi relatif luas dari rentang nanometer hingga mikron.
Distribusi ukuran partikel sangat penting untuk mengamati stabilitas sediaan
(terutama suspensi). Ukuran partikel harus diperhitungkan dengan tepat untuk
menghindari gaya atraksi inter-partikel yang mengakibatkan ketidakstabilan,
disolusi dan absorbsi yang rendah (Sahoo et al., 2011).
kh. Berikut adalah contoh gambar SEM hasil spray-drying
formulasi insulin 11% dengan eksipien Melezitose 86, 25%, dan NaTC 2,75%:
ki.

a Setelah diproses; (b) Setelah 6 bulan penyimpanan.


kj. Gambar 23. Gambar perubahan sampel dalam analisa REM
kk.
kl. Saat sampel setelah diproses, morfologinya terlihat berupa bola 10-20
μm. Namun, setelah 6 bulan penyimpanan dalam wadah terbuka yang terlindung
dari cahaya matahari pada 25°C ± 2°C dan 30% RH ± 5% RH, morfologinya
terlihat berupa partikel leburan 100-500 μm. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadinya penyerapan air, dan partikel-partikel primer telah berfusi membentuk
gumpalan besar. Peningkatan kandungan air yang disebabkan karena penyerapan
kelembaban ini dapat menurunkan stabilitas (Mollmann et al., 2006).
km.

70 | P a g e
2.3.3.9 X-ray DIfraksi

kn. Difraksi sinar-X merupakan teknik yang digunakan untuk


menganalisis padatan kristalin. Sinar-X merupakan radiasi gelombang
elektromagnetik dengan panjang gelombang sekitar 1 Å, berada di antara panjang
gelombang sinar gama (γ) dan sinar ultraviolet. Sinar-X dihasilkan jika elektron
berkecepatan tinggi menumbuk suatu logam target (Gambar 1).

ko. Gambar 24. Pembentukan Sinar-


x
kp. Elektron berkecepatan tinggi yang mengenai elektron pada
orbital 1s akan menyebabkan elektron tereksitasi menyebabkan kekosongan (□)
pada orbital 1s tersebut, dengan adanya pengisian elektron pada orbital kosong
tersebut dari orbital yang lebih tinggi energinya akan memberikan pancaran
sinar-X.
kq. Sinar-X yang diperoleh memberikan intensitas puncak tertentu
yang bergantung pada kebolehjadian transisi elektron yang terjadi. Transisi
Kα lebih mungkin terjadi dan memiliki intensitas yang lebih tinggi daripada
transisi Kβ, sehingga radiasi Kα yang digunakan untuk keperluan difraksi sinar-
X. Sinar-X juga dapat dihasilkan oleh proses perlambatan elektron pada saat
menembus logam sasaran. Proses perlambatan ini menghasilkan sinar-X yang
biasa disebut sebagai radiasi putih. Hasil dari semua proses tadi untuk logam
tertentu adalah spektrum khas sinar-X, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Terdapat bentuk dasar yang terbentuk oleh radiasi putih dan puncak khas tajam
yang bergantung pada kuantisasi transisi elektron.
kr.

71 | P a g e

Gambar 25. Spektrum panjang gelombang sinar-X pada


ks.
kt. Terdapat beberapa jenis pancaran panjang gelombang yang dihasilkan
dengan intensitas yang berbeda, dimana panjang gelombang Kα1 memiliki
intensitas yang lebih tinggi, sehingga digunakan dalam difraksi sinar-X.
ku. Sinar-X yang monokromatis sangat diperlukan dalam suatu
eksperimen difraksi sinar-X. Untuk tujuan itu salah satunya dapat digunakan
filter, yang secara selektif meneruskan panjang gelombang yang ingin digunakan.
Untuk sinar-X dari tabung tembaga, biasanya digunakan lembaran nikel sebagai
filter. Nikel sangat efektif dalam meneruskan radiasi Cu K α, karena radiasi Cu
Kβ memiliki cukup energi untuk mengionisasi elektron 1s Nikel, sedangkan
radiasi Cu Kα tidak cukup untuk mengionisasi. Dengan demikian, lembaran nikel
tersebut akan mengabsorpsi semua panjang gelombang termasuk radiasi putih,
kecuali radiasi Cu Kα.
kv.
kw. Hukum Bragg
kx. “Suatu kristal memiliki susunan atom yang tersusun secara
teratur dan berulang, memiliki jarak antar atom yang ordenya sama dengan
panjang gelombang sinar-X. Akibatnya, bila seberkas sinar-X ditembakkan pada
suatu material kristalin maka sinar tersebut akan menghasilkan pola difraksi

72 | P a g e
khas. Pola difraksi yang dihasilkan sesuai dengan susunan atom pada kristal
tersebut.”
ky. Menurut pendekatan Bragg, kristal dapat dipandang terdiri atas
bidang-bidang datar (kisi kristal) yang masing-masing berfungsi sebagai cermin
semi transparan. Jika sinar-X ditembakkan pada tumpukan bidang datar tersebut,
maka beberapa akan dipantulkan oleh bidang tersebut dengan sudut pantul yang
sama dengan sudut datangnya, seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 3,
sedangkan sisanya akan diteruskan menembus bidang.
kz. Perumusan secara matematik dapat dikemukakan dengan
“Persamaan Bragg” menghubungkan panjang gelombang sinar-X, jarak antar
bidang dalam kristal, dan sudut difraksi:
la. nλ = 2d sin θ
lb. Keterangan: λ adalah panjang gelombang sinar-X
lc. d adalah jarak antar kisi kristal
ld. θ adalah sudut datang sinar
le. n = 1, 2, 3, dan seterusnya adalah orde difraksi.
lf. Persamaan Bragg tersebut digunakan untuk menentukan parameter sel
kristal. Sedangkan untuk menentukan struktur kristal, dengan menggunakan
metoda komputasi kristalografik, data intensitas digunakan untuk menentukan
posisi-posisi atomnya

73 | P a g e
lg.

lh. Gambar 26. Pemantulan berkas sinar-X monokromatis oleh dua bidang kisi
dalam kristal, dengan sudut sebesar θ dan jarak antara bidang kisi sebesar dhkl
li.

lj. 2.3.4 Pemilihan Metode Pengujian


lk. Rancangan program uji stabilitas harus mempertimbangakan daerah
tujuan pemasaran dan kondisi iklim daerah tujuan pemasaran dan kondisi iklim
daerah tempat produk akan digunakan. Ada empat zina iklim yang telah
ditentukan untuk tuuan penguian stabilitas global, yaitu sebagai berikut :
1. Zona I : iklim sedang
2. Zona II : subtropics, kemungkinan memiliki kelembapan tinggi
3. Zona III : panas/kering
4. Zona IV : panas/lembab

ll. Tabel 5. kondisi iklim rata-rata : data pengukuran di udara terbuka dan
di ruang penyimpanan.

ln. lo.
D D

74 | P a g e
lx.
mc.
mh.

mm.

mo.
mp. Ada beberapa Negara yang termasuk dalam zona I, sehingga
pabrik obat tersebut disarankan untuk melakukan uji stabilitas pada kondisi zona
II jika suatu produk akan dipasarkan pada daerah beriklim sedang. Untuk Negara
yang letaknya pada termasuk dalam zona III dan IV dan dengan pertimbangan
pemasaran secara global, program uji stabilitas disarankan mengacu kepada
kondisi iklim zona IV.
mq. Dalam uji stabilitas,harus diamati pengaruh variasi suhu,
waktu, kelembapan, intensitas cahaya dan tekanan uap parsial pada produk. Oleh
karena itu, suhu kenitik rata-rata atau suhu kinetik lebih efektif bila
mencerminkan kondisi yang sebenarnyadibandingkan dengan suhu rata-rata yang
diukur. Produk disimpan selama 1 bulan pada 20 0C dan satu bulan pada suhu
400C akan berbeda dengan produk yang disimpan selama 2 bulan pada suhu 30-
0
C. selain itu suhu pada kondisi penyimpanan tersebut sering lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu rata-rata dari data meteorologist suatu Negara yang
digunkan sebagai acuan.
mr. Untuk beberapa bentuk sediaan, khususnya bentuk
sediaan cair dan semi padat, rancangan pengujian perlu ditambahkan pada suhu
dibawah 00C, sebagai contoh pada suhu -10 sampai -20 0C (kondisi beku, siklus
beku-cair (sedian dibekukan dan dicairkan berulang-ulang, freeze-thaw cycles)
atau rentang suhu 20-80C (dalam lemari pendingin). Untuk sediaan terntu,
pengaruh yang ditimbulkan oleh pemaanan terhadap cahaya perlu diamati.

75 | P a g e
ms. Tabel 6. Kondisi Iklim Rata-Rata: Data Hasil Perhitungan dan
Kondisi Penyimpanan pada Tiap Zona
mt. mu. mv. Kondisi
Da penyimp
anan
pada
zona
mw. (untuk
uji
Stabilita
s jangka
Panjang
)
nc.
%

ni.
45
no.
60
nu.
35
oa.
70
ob. *suhu Hasil perhitungan diperoleh dari data
hasil pengukuran, tetapi setiap suhu yang
kurang dari 190C telah diatur sama dengan
190C
oc. *MKT : Mean Kinetic Temperature
od. *RH : Relative Hurrydity

oe.Uji stabilitas produk jadi farmasi harus dirancang dengan


memperhatikan sifat dan karakteristik stabilitas bahan obat serta kondisi iklim
daerah tujuan pemasaran. Sebelum uji stabilitas terhadapa sediaan obat
dilakukan, informasi mengenai stabilitas bahan obat harus dicari, dikumpulkan

76 | P a g e
dan dianalisis. Informasi mengenai stabilitas bahan obat yang lazim digunakan
adalah sebagai berikut:
b. Sampel uji
of. Untuk tujuan registrasi, sampel uji produk yang mengandung
zat aktif yang cukup stabil diambil dari dua bets produksi yang berbeda
sedangkan untuk produk yang memiliki kandungan zat aktif yang mudah
terurai atau bahan-bahan yang memiliki data stabilitas terbatas, sampel
sebaiknya diambil dari tiga bets. Bets-bets yang digunakan sebagai sampel ui
harus mewakili proses pembuatan, baik dalam sekala pilot maupun skala
produksi penuh. Jika memungkinkan, ,masing- masingbets yang akan diuji
tersebut sebaiknya dibuat dari zat aktif dari bets-bets yang berbeda.
og. Pada studi on-going, sampel harus diambil dari bets-bets yang
sedang di produksi sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Jadwal yang
ideal adalah sebagai berikut :
- Satu bets tiap dua tahun untuk formulasi yang dianggap stabil atau satu bets
per taun
- Satu bets tiap 3-5 taun untuk formulasi yang profil stabilitasnya telah
terbukti, kecuali telah dilakukan perubahan besar, sebagai contoh
perubahan formulasi atau metode pembuatan.
oh. Informasi yang terperinci mengenai bets-bets tersebut harus
dimasukkan dalam catatan pengujian yaitu kemasan produk obat, nomor bets,
tanggal pembuatan, ukuran bets dan lain-lain.
c. Kondisi Pengujian
1. Pengujian Dipercepat
oi. Produk-produk yang mengandung bahan obat kurang satbil dan
untuk produk yang memiliki data stabilitas terbatas, lama uji dipercepat
untuk zoan II disarankan diperpanjang sampai 6 bulan.
oj. Kondisi penyimpanan lainnya dapat diteliti khususnya penyimpanan
0
selama 6 bulan pada suhu sekurang-kurangnya 15 C diatas suhu
penyimpanan yang kemungkinan dilakukan di pasaran ( dengan
kelembapan relative yang sesuai). Penyimpanan pada suhu yang lebih

77 | P a g e
tinggi juga dapat dilakukan, sebagai contoh 3 bulan pada suhu 45-500C
dan kelembapan relative 75% (RH) untuk zona IV.
ok.Jika terjadi perubahan yang signifikan pada pelaksanaan ui
stabilitas dipercepat seperti yang akan diuraikan berikut, harus dilakukan
pengujian tambahan pada kondisi antara, misalkan 30±20C dan 60±5%
RH. Permohonan registrasi awal harus menyerahkan sedikitnya data enam
bulan dari pengujian selama satu tahun.
ol. Perubahan signifikan pada kondisi dipercepat dianggap terjadi jika :
- Hasil pengujian menunjukkan penurunan konsentrasi 5%
dibandingkan dengan hasil penguian konsentrasi awal suatu bets.
- Produk hasil penguraian melampau batas yang diterapkan dalam
spesifikasi produk.
- Bahas pH sediaan terlampaui
- Disolusi 12 kapsul atau tablet melampui batas spesifikasi
- Tidak memenuhi persyaratan spesifikasi pemerian dari sifat fisika,
seperti warna, pemisahan fase, caking, kekerasan.
om. Kondisi penyimpanan selama pengujian pada kelembapan
relative tinggi sangat penting, terutama untuk bentuk sediaan padat dalam
kemasan semi-permiable. Untuk produk dalam wadah primer yang
dirancang untuk member perlindungan terhadap uap air, kondisi
penyimpanan dengan kelembapan yang relative tinggi tidak perlu
dilakukan. Pada dasarnya, uji dipercepat kurang tepat untuk formulasi
semi-padat dan formulasi heterogen seperti emulsi.
on. Tabel 7. Contoh Kondisi Uji Stabilitas Dipercepat untuk Produk yang
Mengandung Zat Aktif yang Relatif Stabil
oq. Lama
oo. Suhu op. Kelembapan
Pengujian
Penyimpanan (0C) Relatif (%)
or. (bulan)
ot. Zona IV-untuk zona
iklim panas atau pasar
os. 40±2 ov. 6
global :
ou. 75±5

78 | P a g e
ox. Zona II- untuk zona
ow. 40±2 iklim sedang dan subtropis: oz. 3
oy. 75±5

2. Pengujian Jangka Panjang (Real-time)


pa. Kondisi penyimpana sebenernya pada percobaan dibuta
semirip mungkin dengan kondisi penyimpanan sebenarnya yang
diperkirakan akan diterapkan pada system distribusi. Pada saat
registrasiharus menyerahkan sekurang-kurangnya data 6 bulan studi
jangka panjang. Tetapi dokumen registrasi sebaiknya diserahkan sebelum
akhir dari periode 6 bulan tersebut. Penguian jangka panjang harus
dilanjutkan sampai akhir masa edar.
2.4 Peraturan Dalam Pengujian Stabilitas Obat

pb. 2.4.1 Pedoman ICH (International Conference on Harmonisation)


pc.Prinsip pengujian stabilitas berdasarkan pedoman ICH adalah
memberikan bukti tentang kualitas bahan obat atau produk obat berdasarkan
pengaruh faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan cahaya) dan membangun
masa tes ulang (bahan obat ) atau umur simpan (produk obat) dan kondisi
penyimpanan yang disarankan.Topik yang dibahas dalam Pedoman ICH
dikategorikan menjadi empat topik, yaitu:
1. Pedoman Kualitas (Quality Guidelines): mencakup uji stabilitas, uji
kemurnian, serta manajemen resiko aspek-aspek yang berhubungan dengan
kualitas obat berdasarkan Good Manufacturing Practice (GMP).
2. Pedoman Keamanan (Safety Guidelines): mencakup cara untuk mengatasi
resiko karsinogenik, toksisitas genetik, imunotoksikologi, atau pengujian in
vitro dan in vivo suatu obat.
3. Pedoman Efikasi (Efficacy Guidelines): mencakup cara pengujian klinik pada
subjek manusia seperti pengujian respon dosis, cara pelaksanaan kegitan
klinik yang benar.

79 | P a g e
4. Pedoman Multidisiplin (Multidisciplinary Guidelines): mencakup topik lintas
sektoral seperti terminologi medis (MedDRA), dokumen teknik (CTD), serta
pengembangan standar elektronik untuk mengirim informasi mengenai
regulasi (ESTRI).
pd.Pedoman yang berkaitan dengan menjaga kestabilitan suatu obat
tercantum dalam pedoman kualitas dengan kode-kode sebagai berikut:

pe.Tabel 8. Kode dalam pedoman yang berkaitan dengan menjaga


kestabilan
pf.Kode pg. Panduan
ph. pi. Uji stabilitas senyawa dan produk
Q1A(R2) obat baru.
pj. Q1B pk. Uji stabilitas senyawa dan produk
obat baru terhadap cahaya
(Photostability).
pl. Q1C pm. Uji stabilitas bentuk sediaan obat
baru.
pn. po. Desain bracketing dan matrixing
Q1D dalam uji stabilitas senyawa dan
produk obat baru.
pp. pq. Evaluasi data stabilitas.
Q1E
pr. Q1F ps. Data stabilitas untuk registrasi
obat di zona iklim III dan IV.
pt. Q5C pu. Uji stabilitas produk biologi atau
bioteknologi.
pv.
2.4.1.1 Pedoman Q1A(R2)

pw. Pedoman Q1A(R2) membahas mengenai uji stabilitas yang


berhubungan dengan suhu, kelembaban, dan zona iklim I dan II. Pedoman ini
merupakan revisi dari pedoman Q1A. Pedoman ini dapat digunakan untuk proses

80 | P a g e
registrasi obat di region Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan juga impor atau
ekspor obat ke daerah lain. Dalam pedoman ini dibagi menjadi dua topik utama
yaitu pedoman uji stabilitas senyawa obat baru dan pedoman uji stabilitas produk
obat baru.

A. Pedoman uji stabilitas senyawa obat baru.


1. Stress testing
px. Uji ini berguna untuk mengetahui jalur degradasi obat dan
stabilitas intrinsik suatu molekul. Uji ini dilakukan pada batch tunggal
senyawa obat melihat perbedaan pada setiap kenaikan suhu sebanyak 10 oC,
kelembaban, mengamati proses oksidasi dan fotolisis senyawa obat.
2. Pemilihan batch.
py. Uji stabilitas dilakukan minimal pada 3 batch primer senyawa
obat dalam skala pilot dengan rute sintetik yang sama dan menggunakan
metode pembuatan yang mensimulasikan batch produksi.
3. Container Closure System
pz. Pengemasan senyawa obat harus sesuai atau sama dengan
kondisi saat penyimpanan dan distribusi.
4. Spesifikasi
qa. Uji stabilitas dilakukan terhadap senyawa obat yang mungkin
dapat berubah selama penyimpanan dan akan mempengaruhi kualitas,
keamanan, dan efikasi. Uji stabilitas harus mencakup uji fisika, kimia, dan
mikrobiologi.
5. Frekuensi pengujian.
qb. Untuk studi jangka panjang, frekuensi pengujian harus cukup
untuk menentukan profil stabilitas senyawa obat. Pengujian senyawa obat
yang disimpan dalam jangka waktu yang panjang dilakukan setiap 3 bulan
sekali di tahun pertama, setiap 6 bulan sekali di tahun kedua, dan
seterusnya dilakukan sekali setiap tahunnya. Untuk kondisi penyimpanan
dipercepat minimum dilakukan tiga kali pengujian (bulan ke-0, 3, dan
6).untuk kondisi penyimpanan intermediate minimum dilakukan empat kali
pengujian (bulan ke-0, 6, 9, dan 12).
6. Kondisi penyimpanan.

81 | P a g e
a Kondisi penyimpanan senyawa obat secara umum.
qc. Tabel 9. Kondisi penyimpanan secara umum.
qf.
qe. Kon
disi
pen
yim
pan
an
qg. qh. 25°

2°C/
60%
RH
±
5%
RH
or
30°

2°C/
65%
RH
±
5%
RH
qj. qk. 30°

2°C/
65%
RH
±
5%
RH
qm. qn. 40°

2°C/

82 | P a g e
75%
RH
±
5%
RH

b Kondisi penyimpanan senyawa obat di lemari es.


qp. Tabel 10. Kondisi penyimpanan di Lemari es
qs.
qr. Ko
nd
isi
pe
ny
im
pa
na
n
qu. 5°
C qv.
±

C
qx. 25
°C
±

C/
60
qy.
qw. %
R
H
±
5
%
R
H

83 | P a g e
qz.
c Kondisi penyimpanan senyawa obat di freezer.
ra. Tabel 11. Kondisi penyimpanan di freezer

rd. M
i
n
i
m
a
l

w
a
rc. k
rb. K t
u

p
e
n
g
u
j
i
a
n
rg. 1
2
rf.
b
-
u
l
a
n
rh.
7. Komitmen stabilitas.

84 | P a g e
ri. Data uji stabilitas jangka panjang yang tersedia pada batch
primer yang belum mencakup periode pengujian ulang yang telah
diusulkan maka pengujian stabilitas harus dilanjutkan sehingga dapat
ditetapkan waktu simpan sesuai hasil pengujian yang baru.
8. Evaluasi.
rj. Evaluasi pengujian stabilitas dilakukan terhadap seluruh batch
dengan kondisi produksi yang serupa dan diharapkan memberikan data
yang serupa atau perbedaan data yang minimal.
rk.
rl.
9. Labeling
rm. Dalam pelabelan perlu dicantumkan kondisi penyimpanan,
tanggal pengujian ulang, dan data-data yang sesuai dengan evaluasi
stabilitas.
B. Pedoman uji stabilitas senyawa obat baru.
1. Stabilitas terhadap cahaya.
rn. Minimal dilakukan terhadap satu batch primer. Kondisi standar
untuk uji ini terdapat pada pedoman Q1B.
2. Pemilihan batch.
ro. Minimal dilakukan terhadap satu batch primer suatu produk
obat. Batch primer harus memiliki formula yang sama, dikemas dalam
container closure system seperti saat produk akan dipasarkan. Metode
pembuatan harus dapat mensimulasikan batch produksi.
3. Container Closure System
rp. Pengemasan produk obat harus sesuai atau sama dengan
kondisi saat akan dipasarkan. Pengemasan termasuk kemasan sekunder dan
label container.
4. Spesifikasi
rq. Uji stabilitas dilakukan terhadap produk obat yang mungkin
dapat berubah selama penyimpanan dan akan mempengaruhi kualitas,
keamanan, dan efikasi. Uji stabilitas harus mencakup uji fisika, kimia,
mikrobiologi, kemampuan antimikroba dan antioksidan, dan sistem
penghantaran obat. Prosedur analisis harus divalidasi dengan baik.
rr.

85 | P a g e
5. Frekuensi pengujian.
rs. Untuk studi jangka panjang, frekuensi pengujian harus cukup
untuk menentukan profil stabilitas senyawa obat. Pengujian senyawa obat
yang disimpan dalam jangka waktu yang panjang dilakukan setiap 3 bulan
sekali di tahun pertama, setiap 6 bulan sekali di tahun kedua, dan
seterusnya dilakukan sekali setiap tahunnya. Untuk kondisi penyimpanan
dipercepat minimum dilakukan tiga kali pengujian (bulan ke-0, 3, dan
6).untuk kondisi penyimpanan intermediate minimum dilakukan empat kali
pengujian (bulan ke-0, 6, 9, dan 12).
rt.
ru.
6. Kondisi penyimpanan.
rv. Kondisi penyimpanan produk obat sama seperti kondisi
penyimpanan senyawa obat untuk kondisi secara umum, penyimpanan di
lemari es, dan penyimpanan di freezer. Produk obat yang dikemas dengan
kemasan impermeable diuji stabilitasnya dalam kondisi/kelembaban
apapun yang terkontrol. Sedangkan produk obat yang dikemas dengan
kemasan semipermeable diuji stabilitasnya dalam kondisi kelembaban
relatif yang rendah. Kondisi penyimpanan produk dengan basis solven non
air adalah sebagai berikut:
rw. Tabel 12. Kondisi penyimpanan dengan produk basis solven
non-air

rz.
ry. Kon
disi
pen
rx.
yim
pan
an
sa. sb. 25°

2°C/
40%

86 | P a g e
RH
±
5%
RH
or
30°

2°C/
35%
RH
±
5%
RH

sd. se. 30°



2°C/
65%
RH
±
5%
RH

sg. sh. 40°



2°C/
tida
k
lebi
6 bulan
h
dari
(N
MT)
25%
RH

87 | P a g e
7. Komitmen stabilitas.
si. Data uji stabilitas jangka panjang yang tersedia pada batch
primer yang belum mencakup periode pengujian ulang yang telah
diusulkan maka pengujian stabilitas harus dilanjutkan sehingga dapat
ditetapkan waktu simpan sesuai hasil pengujian yang baru.
8. Evaluasi
sj. Evaluasi pengujian stabilitas dilakukan terhadap seluruh batch
dengan kondisi produksi yang serupa dan diharapkan memberikan data
yang serupa atau perbedaan data yang minimal.
sk. Dalam pedoman Q1A(R2) tercantum pula perubahan yang
merupakan adopsi dari ICH Q1F yaitu data stabilitas untuk registrasi obat
di zona iklim III dan IV. Perubahan yang tercantum adalah:
1. Perubahan kondisi penyimpanan intermediate dari 30°C ± 2°C/60% RH
± 5% RH menjadi 30°C ± 2°C/65% RH ± 5% RH.
2. 30°C ± 2°C/65% RH ± 5% RH dapat menjadi kondisi penyimpanan
alternatif untuk jangka panjang selain 25°C ± 2°C/60% RH ± 5%.
3. 30°C ± 2°C/35% RH ± 5% dapat menjadi kondisi penyimpanan
alternatif untuk jangka panjang selain25°C ± 2°C/40% RH ± 5% dan
digunakan untuk ratio laju hilangnya air.
2.4.1.2 Pedoman QIB

sl. Pedoman ini dapat digunakan untuk uji photostability pada bahan yang
berkhasiat, produk formulasi di luar kemasan langsung, sediaan jadi dalam
kemasan langsung, serta pada sediaan jadi dalam kemasan yang akan dipanaskan.
Sumber cahaya yang digunakan ada dua jenis. Jenis pertama adalah sumber
cahaya apapun yang serupa dengan standar emisi D65/ID65 seperti lampu
fluoresen buatan yang dikombinasikan dengan output visible dan ultraviolet,
xenon, atau lampu logam halida. Lampu D65 adalah standar lampu international
untuk pencahayaan luar ruangan seperti yang tercantum pada ISO 10977. Jenis
sumber cahaya yang kedua adalah lampu fluoresen putih dan sejuk serta lampu
yang mendekati ultraviolet. Uji stabilitas produk obat terhadap cahaya dapat
dilakukan dengan alur sebagai berikut:

88 | P a g e
sm.

89 | P a g e
sn. Prosedur uji stabilitas produk terhadap cahaya dilakukan dengan cara
berikut: Untuk studi konfirmasi (penegasan), sampel harus terpapar cahaya yang
memberikan keseluruhan pencahayaan tidak kurang dari 1,2 juta jam lux dan
terpadu energi ultraviolet dekat (near ultraviolet energy) tidak kurang dari 200
watt jam / meter persegi untuk memungkinkan perbandingan langsung harus
dibuat antara zat obat dan produk obat.Sampel dapat terpapar berdampingan
(bersampingan) dengan divalidasi sistem actinometric kimia untuk memastikan
paparan cahaya yang spesifik didapatkan, atau selama waktu yang tepat ketika
kondisi telah dimonitor menggunakan radiometer terkalibrasi / lux meter. Jika
sampel yang dilindungi (misalnya, dibungkus aluminium foil) digunakan sebagai
kontrol gelap untuk mengevaluasi kontribusi perubahan yang diinduksi secara
termal terhadap perubahan total yang diamati, ini harus ditempatkan di samping
sampel otentik (asli). Lux merupakan satuan internasional dari iluminasi
(penyinaran/pencahayaan), sebanding dengan 1 lumen/m2. Contoh alat uji yang
digunakan adalah:

Gambar 27. Alur Uji stabilitas produk obat terhadap cahaya

90 | P a g e
so.

sp. Gambar 28. Contoh alat uji

2.4.1.3 Pedoman QIC

sq.Pedoman ini digunakan untuk produk obat dengan bentuk sediaan


baru. Bentuk sediaan baru adalah produk obat dengan zat aktif yang sama,
namun rute administrasinya yang berbeda (contoh: obat oral diubah menjadi
parenteral), sistem penghantaran yang baru (contoh: tablet dengan pelepasan
cepat diubah menjadi tablet dengan pelepasan termodifikasi), atau bentuk sediaan
yang baru dengan rute administrasi yang sama (contoh: kapsul diubah menjadi
tablet, atau larutan diubah menjadi suspensi). Pedoman ini mengacu kepada
pedoman induk uji stabilitas.

91 | P a g e
2.4.1.4 Pedoman QID

sr. Berlakunya Reduced Designs dapat diterapkan pada studi stabilitas


formal sebagian besar jenis produk obat, meskipun pembenaran tambahan harus
disediakan untuk sistem pengiriman obat tertentu yang kompleks di mana ada
sejumlah besar potensi interaksi antara obat-alat. Untuk studi zat obat, matrixing
adalah utilitas terbatas dan bracketing umumnya tidak berlaku.
ss. Apakah bracketing atau matrixing dapat diterapkan tergantung pada
keadaan, seperti yang dibahas secara rinci di bawah. Penggunaan desain reduced
harus dibenarkan. Dalam kasus tertentu, kondisi yang dijelaskan dalam pedoman
ini adalah justifikasi yang cukup untuk digunakan, sementara dalam kasus lain,
justifikasi tambahan harus disediakan. Jenis dan tingkat pembenaran dalam setiap
kasus akan tergantung pada data pendukung yang tersedia. Variabilitas data dan
stabilitas produk, seperti yang ditunjukkan oleh data pendukung, harus
dipertimbangkan ketika desain matrixing diterapkan.
st. Bracketing dan matrixing reduced designs berdasarkan prinsip yang
berbeda. Oleh karena itu, pertimbangan cermat dan pembenaran ilmiah harus
dilakukan sebelum penggunaan bracketing dan matrixing bersamaan dalam satu
design.
a. Bracketing
su. Sebagaimana didefinisikan, bracketing adalah suatu desain stabilitas
yang terjadwal, sehingga hanya sampel ekstrem pada faktor desain tertentu
(misalnya, kekuatan, ukuran kontainer dan / atau fill) diuji pada semua titik
waktu seperti dalam fuul design
sv. Desain mengasumsikan bahwa stabilitas setiap tingkat menengah
ditunjukkan oleh stabilitas ekstrem yang diuji. Penggunaan desain bracketing
tidak akan dianggap tepat jika tidak dapat menunjukkan bahwa kekuatan atau
ukuran wadah dan / atau fill dipilih untuk pengujian tersebut memang yang
ekstrem.
1. Faktor design

92 | P a g e
sw. Faktor variabel desain (misalnya, kekuatan, ukuran
kontainer dan / atau mengisi) untuk dievaluasi dalam
studi desain untuk efek pada stabilitas produk.
- Kekuatan
sx. Bracketing dapat diterapkan untuk studi dengan beberapa
kekuatan dari formulasi yang sama atau yang terkait erat. Beberapa di
antaranya namun tidak dibatasi pada (1) kekuatan kapsul yang berbeda
dibuat dengan ukuran plug yang berbeda dari campuran bubuk yang sama,
(2) kekuatan tablet yang berbeda yang diproduksi dengan cara
mengompresi berbagai jumlah granulasi yang sama dan (3) kekuatan
larutan oral yang berbeda dengan formulasi yang berbeda hanya dalam
bahan tambahan kecil (misalnya, pewarna, perasa).
sy. Dengan justifikasi, bracketing dapat diterapkan untuk
penelitian dengan beberapa kekuatan di mana jumlah relatif zat obat dan
bahan tambahan berubah dalam formulasi. Justifikasi tersebut dapat
mencakup demonstrasi profil stabilitas sebanding antara kekuatan yang
berbeda dari batch klinis atau pengembangan.
sz. Dalam kasus di mana bahan tambahan digunakan dengan
konsentrasi yang berbeda, bracketing umumnya tidak harus diterapkan.
- Container Closure Sizes and/or Fills
ta. Bracketing dapat diterapkan untuk studi tentang sistem
penutupan wadah yang sama di mana baik ukuran kontainer atau fill
bervariasi sementara yang lain tetap konstan. Namun, jika desain
bracketing dianggap di mana kedua ukuran wadah dan isi bervariasi, itu
tidak boleh diasumsikan bahwa wadah terbesar dan terkecil mewakili
semua kemasan. Perawatan harus diambil untuk memilih kondisi ekstrem
dengan membandingkan berbagai karakteristik dari sistem penutupan
wadah yang dapat mempengaruhi stabilitas produk. Karakteristik ini
meliputi ketebalan dinding kontainer, penutupan geometri, luas permukaan
terhadap volume, headspace untuk volume rasio, tingkat perembesan uap

93 | P a g e
air atau tingkat permeasi oksigen per unit dosis atau mengisi volume
satuan, yang sesuai.
tb. Dengan justifikasi, bracketing dapat diterapkan untuk studi
untuk wadah yang sama ketika penutupannya bervariasi. Pembenaran dapat
mencakup diskusi tentang tingkat permeasi relatif dari sistem penutupan
wadah bracket.
2. Design Considerations and Potential Risks
tc. Jika, setelah memulai studi, salah satu ekstrem tidak lagi
diharapkan akan dipasarkan, rancangan penelitian dapat dipertahankan untuk
mendukung bracketed intermediet. Kesediaan harus disediakan untuk
melaksanakan studi stabilitas pasca persetujuan.
td. Sebelum desain bracketing diterapkan, efeknya pada periode
tes ulang atau estimasi umur simpan harus dinilai. Jika stabilitas ekstrem
ditunjukkan menjadi berbeda, intermediet harus dipertimbangkan setidaknya
tidak lebih stabil daripada ekstrim stabil (yaitu, masa simpan untuk
intermediet tidak boleh melebihi bahwa setidaknya untuk stabil ekstrim).
3. Contoh desain
te. Bracketing diberikan dalam Tabel dibawah ini. Contoh ini
didasarkan pada produk yang tersedia dalam tiga kekuatan dan ukuran
kontainer. Dalam contoh ini, harus menunjukkan bahwa 15 ml dan 500 ml
polyethylene densitas tinggi ukuran wadah yang benar-benar mewakili
ekstrem. Batch untuk setiap kombinasi yang dipilih harus diuji pada setiap
titik waktu seperti dalam desain penuh.
tf.
tg. Tabel 13. Contoh design bracketing

94 | P a g e
th.

b. Matrixin
ti. Sebagaimana didefinisikan dalam glossary dari pedoman induk,
matrixing adalah desain stabilitas suatu jadwal sehingga subset yang dipilih dari
jumlah total kemungkinan sampel untuk semua kombinasi faktor akan diuji pada
titik waktu tertentu. Pada titik waktu berikutnya, bagian lain dari sampel untuk
semua kombinasi faktor akan diuji. Desain mengasumsikan bahwa stabilitas
setiap bagian dari sampel yang diuji mewakili stabilitas semua sampel pada suatu
titik waktu tertentu. Perbedaan dalam sampel untuk produk obat yang sama harus
diidentifikasi sebagai, misalnya, meliputi batch yang berbeda, kekuatan yang
berbeda, ukuran yang berbeda dari sistem penutupan wadah yang sama, dan
mungkin, dalam beberapa kasus, sistem penutupan wadah yang berbeda. Ketika
sistem kemasan sekunder kontribusi untuk stabilitas produk obat, matrixing dapat
dilakukan di seluruh sistem kemasan.
tj. Setiap kondisi penyimpanan harus diperlakukan secara terpisah di
bawah desain matrixing sendiri. Matrixing tidak harus dilakukan di atribut uji.
Namun, desain matrixing alternatif untuk uji atribut yang berbeda dapat
diterapkan jika dibenarkan.
1. Faktor design
tk. Desain matrixing dapat diterapkan untuk kekuatan dengan
formulasi yang sama atau terkait erat. Beberapa di antaranya tetapi tidak
dibatasi pada (1) kekuatan kapsul yang berbeda dibuat dengan ukuran mengisi
Plug yang berbeda dari bubuk campuran yang sama, (2) tablet dari kekuatan

95 | P a g e
yang berbeda yang diproduksi oleh mengompresi berbagai jumlah dari
granulasi yang sama, dan (3) kekuatan larutan oral yang berbeda dengan
formulasi yang berbeda hanya dalam eksipien kecil (misalnya, pewarna atau
perasa).
tl. Contoh lain dari faktor desain yang bisa matrixed termasuk
batch dibuat dengan menggunakan proses dan peralatan yang sama, dan
ukuran kontainer dan / atau mengisi dalam sistem penutupan wadah yang
sama.
tm. Dengan justifikasi, desain matrixing dapat diterapkan,
misalnya, untuk kekuatan yang berbeda di mana jumlah relatif zat obat dan
eksipien mengubah atau di mana eksipien yang berbeda digunakan atau sistem
penutupan wadah yang berbeda. Pembenaran umumnya harus berdasarkan
data pendukung. Misalnya, untuk matriks di dua penutupan yang berbeda atau
sistem penutupan kontainer, data pendukung dapat diberikan menunjukkan
tingkat transmisi uap air relatif atau perlindungan yang sama terhadap cahaya.
cahaya ainst. Atau, data pendukung bisa diberikan untuk menunjukkan bahwa
produk obat tidak terpengaruh oleh oksigen, kelembaban, atau cahaya.
2. Design consideration
tn. Sebuah desain matrixing harus seimbang sejauh mungkin
sehingga setiap kombinasi faktor diuji pada tingkat yang sama selama durasi
dimaksudkan penelitian dan melalui titik waktu terakhir sebelum pengajuan.
Namun, karena pengujian penuh dianjurkan pada titik-titik waktu tertentu,
seperti dibahas di bawah, mungkin sulit untuk mencapai keseimbangan
lengkap dalam desain di mana titik waktu yang dimatrix.
to. Dalam desain di mana titik waktu yang matrixed, semua
kombinasi faktor yang dipilih harus diuji pada titik waktu awal dan akhir,
sementara fraksi hanya tertentu dari kombinasi yang ditunjuk harus diuji pada
setiap kali poin menengah. Jika data jangka panjang penuh untuk umur
simpan yang diusulkan tidak akan tersedia untuk diperiksa sebelum
persetujuan, semua kombinasi batch, kekuatan, ukuran kontainer yang dipilih,

96 | P a g e
dan isi, antara lain, juga harus diuji pada 12 bulan atau pada waktu terakhir
titik sebelum penyerahan. Selain itu, data dari setidaknya tiga titik waktu,
termasuk awal, harus tersedia untuk setiap kombinasi yang dipilih melalui 12
bulan pertama penelitian. Untuk matrixing pada kondisi penyimpanan
dipercepat atau menengah, perawatan harus dilakukan untuk memastikan
pengujian terjadi pada minimal tiga titik waktu, termasuk awal dan akhir,
untuk setiap kombinasi yang dipilih dari faktor.
tp. Ketika matriks pada faktor-faktor desain diterapkan, jika salah
satu kekuatan atau wadah ukuran dan / atau mengisinya tidak lagi ditujukan
untuk pemasaran, pengujian stabilitas bahwa kekuatan atau wadah ukuran dan
/ atau mengisinya dapat terus mendukung kekuatan lain atau ukuran wadah
dan / atau mengisi dalam desain.
3. Contoh desain
tq. Matrixing pada titik waktu untuk produk dalam dua kekuatan
(S1 dan S2) ditunjukkan pada Tabel 2. Istilah s “one-half reduction” dan “one-
third reduction” mengacu pada strategi pengurangan awalnya diterapkan pada
studi full design. Misalnya, “one-half reduction” awalnya menghilangkan satu
di setiap dua titik waktu dari desain studi penuh dan “one-third reduction”
awalnya menghilangkan satu dari tiga. Dalam contoh yang ditunjukkan pada
Tabel 2, pengurangan kurang dari satu-setengah dan sepertiga karena
masuknya pengujian penuh dari semua kombinasi faktor di beberapa titik
waktu seperti yang dibahas sebelumnya. Contoh-contoh ini meliputi
pengujian penuh pada awal, akhir, dan 12 bulan titik waktu. Pengurangan
utamanya adalah karena itu kurang dari satu-setengah masing-masing (24/48)
atau sepertiga (16/48), dan sebenarnya 15/48 atau 10/48.
tr.
ts.
tt.
tu.
tv. Tabel 14. Contoh matrixing Designs pada waktu Poin untuk
Produk dengan Dua Kekuatan

97 | P a g e
tw.

tx.

ty. Contoh tambahan desain matrixing untuk produk dengan tiga


kekuatan dan tiga ukuran wadah diberikan dalam Tabel 13 dan 14. Tabel 13
menunjukkan desain dengan matrixing pada titik waktu saja dan Tabel 14
menggambarkan desain dengan matrixing pada poin waktu dan faktor. Pada
Tabel 13, semua kombinasi batch, kekuatan, dan ukuran kontainer diuji,

98 | P a g e
sementara dalam Tabel 14, kombinasi tertentu dari batch, kekuatan dan ukuran
kontainer tidak diuji.
tz. Contoh tabel 13 dan 14 Examples of Matrixing Designs for a
Product with Three Strengths and Three Container Sizes
ua.
ub.
uc. Tabel 15. Matrixing on Time Points
ud.

ue. Tabel 16. Matrixing on Time Points and Factors

uf.

99 | P a g e
ug.

4. Applicability and Degree of Reduction


uh. Berikut ini, meskipun bukan daftar lengkap, harus
dipertimbangkan ketika desain matrixing yaitu:
 pengetahuan variabilitas data
 stabilitas diharapkan dari produk
 ketersediaan data pendukung
 perbedaan stabilitas di produk dalam faktor atau antara faktor-faktor
dan / atau
 jumlah kombinasi faktor dalam penelitian ini
ui.
uj. Secara umum, desain matrixing berlaku jika data pendukung
menunjukkan stabilitas produk diprediksi\
uk. Matrixing sesuai ketika data menunjukkan hanya mendukung
variabilitas kecil. Namun, di mana data pendukung menunjukkan variabilitas
moderat, desain matrixing harus statistik dibenarkan. Jika data yang
mendukung menunjukkan variabilitas yang besar, desain matrixing tidak
harus diterapkan.
ul. Sebuah justifikasi statistik dapat didasarkan pada evaluasi dari
desain matrixing diusulkan sehubungan dengan kekuatannya untuk
mendeteksi perbedaan antara faktor-faktor di tingkat degradasi atau presisi
dalam estimasi umur simpan.

100 | P a g e
5. Dampak potensial
um. Jika desain matrixing dianggap berlaku, tingkat pengurangan
yang dapat dibuat dari desain penuh tergantung pada jumlah kombinasi faktor
yang dievaluasi. Semakin faktor yang terkait dengan produk dan lebih tingkat
di setiap faktor, semakin besar tingkat pengurangan yang dapat
dipertimbangkan. Namun, setiap desain direduksi harus memiliki kemampuan
untuk memprediksi umur simpan produk memadai.
un. Karena jumlah direduksi dari data yang dikumpulkan, desain
matrixing pada faktor-faktor lain selain waktu menunjukkan umumnya
memiliki presisi kurang dalam estimasi umur simpan dan menghasilkan masa
simpan pendek dari desain penuh sesuai. Selain itu, seperti desain matrixing
mungkin memiliki kekuatan yang cukup untuk mendeteksi efek utama atau
interaksi tertentu, sehingga mengarah ke penyatuan salah data dari faktor
desain yang berbeda selama estimasi umur simpan. Jika ada pengurangan
berlebihan dalam jumlah faktor kombinasi diuji dan data dari kombinasi
faktor diuji tidak dapat dikumpulkan untuk membangun umur simpan tunggal,
mungkin tidak mungkin untuk memperkirakan umur simpan untuk kombinasi
faktor hilang.
uo. Sebuah desain studi yang matriks pada titik waktu sering hanya
jika memiliki kemampuan yang sama dengan full design untuk mendeteksi
perbedaan dalam tingkat perubahan antara faktor-faktor dan untuk
membangun masa simpan yang handal. Fitur ini ada karena linearitas
diasumsikan dan karena pengujian penuh dari semua faktor kombinasi masih
akan dilakukan pada kedua titik waktu awal dan titik waktu terakhir sebelum
pengajuan.
6. Evaluasi data
up. Fitur ini ada karena linearitas diasumsikan dan karena
pengujian penuh dari semua faktor kombinasi masih akan dilakukan pada
kedua titik waktu awal dan titik waktu terakhir sebelum pengajuan.
uq. 2.3.1.4 Pedoman Q1E

101 | P a g e
ur. Pedoman ini berguna untuk melakukan evaluasi data stabilitas dan
menetapkan usia guna (shelf life) dilakukan cara analisis regresi (statistik). Cara
yang sesuai untuk menetapkan perkiraan waktu usia guna adalah dengan
melakukan analisis secara kuantitatif dengan menentukan waktu yang paling
awal pada limit kepercayaan 95% dari kurva regresi. Jika digunakan kondisi
temperatur lebih rendah, maka penelitian stabilitas dipercepat harus dilakukan
selama 6 bulan pada suhu 15°C di atas suhu penyimpanan yang diperkirakan
(dengan sendirinya dengan RH yang sesuai dengan temperatur).

2.4.1.5 Pedoman Q5C

us. Q5C digunakan untuk pengujian stabilitas yang termasuk kategori


produk-produk biologi atau bioteknologi. Substansi biologis merupakan senyawa
kompleks :
a. Struktur primer: urutan asam amino dari rantai polipeptida
b. Struktur sekunder: ikatan-ikatan a-helix, b-sheet yang distabilkan oleh ikatan
hidrogen
c. Struktur tersier: struktur 3 dimensi dari molekul tunggal yang terlipat kedalam
bentuk globular, dan distabilkan oleh interaksi hidrofobik yang tak spesifik
(jembatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida)
d. Kuarterner: tersusun atas beberapa rantai polipeptida : interaksi non kovalen
ikatan disulfida

ut. Ketidakstabilan protein, umumnya disebabkan oleh:


a. Hidrolisis deamidasi Asn dan Gln pada rantai amida
b. Oksidasi residu Met, His, Cys, Tyr, dan Trp
c. Denaturasi yang menyebabkan hilangnya konformasi struktur 3D protein
d. Agregasi – kumpulan monomer atau native multimer kovalen atau non
kovalen
e. Glikoprotein – hidrolisis glikosilai residu asam dari asam sialat
uu. Produk obat yang dicakup oleh ICH Q5CICH Q5C
diaplikasikan pada protein terkarakterisasi dan polipeptida yang telah diisolasi
atau dibuat melalui teknologi rDNA. Selain itu juga mencakup sitokin (IFN,

102 | P a g e
IL, CSF, TNF), EPO, aktivator plasminogen, produk darah, hormon
pertumbuhan, insulin, vaksin dan antibodi monoklonal. Tidak mencakup
antibiotik, ekstrak yang bersifat alergenik, heparin, vitamin, darah utuh atau
murni. Pemilihan bets untuk proses pengesahan data stabiliitas senyawa obat:
a. Sekurang-kurangnya tiga bets yang mewaklil dari skala pembuatan
produksi.
b. Data-data representatif, diantaranya:

 Perwakilan dari kualitas dari bets yang digunakan pada pengujian pre-
klinik dan klinik.
 Perwakilan dari proses pembuatan dan kondisi penyimpanan.
 Perwakilan dari proses penyimpanan.
c. klaim terhadap waktu penyimpanan

uv. Jika >6 bulan : jumlah data minimal 6 bulan sejak waktu pengajuan.

uw. Jika <6 bulan : pengajuan data didiskusikan berdasarkan kasus demi
kasus.

ux. Contoh :

 Stabilitas dari suatu protein rekombinan :

uy.

103 | P a g e
uz.
va.
Gambar 29. Stabilitas
dari suatu protein
rekombinan
 Vaksin terhadap antigen
bakteri permukaan

vb.

vc. Kondisi penyimpanan untuk pengujian stabilitas yang termasuk kode Q5C
adalah sebagai berikut :

104 | P a g e
vd.
ve. Gambar 30. Kondisi penyimpanan Q5C

2.4.1.6 Zona iklim

vf. Dalam panduan berdasarkan ICH (International Conference on


Harmonization), pembagian zona iklim sangat penting untuk menentukan produk
yang akan dibuat tersebut aman terhadap iklim yang ada di berbagai Negara.
vg. Pembagian zona iklim tersebut dapat dilihat pada
gambar berikut :
vh.

105 | P a g e
vi.

106 | P a g e
vj. 2.4.2 Pedoman CPOB (Cara Pembuatan Obat yang

Baik)

vk. Program uji stabilitas hendaklah dirancang untuk menilai


karakteristik stabilitas obat dan untuk menentukan kondisi penyimpanan yang
sesuai serta tanggal kadaluarsa. Program tertulis hendaklah dipatuhi dan
mencakup :
a. Jumlah sampel dan interval pengujian berdasarkan kriteria statistik untuk tiap
atribut yang diperiksa untuk memastikan estimasi stabilitas
b. Kondisi penyimpanan
c. Metode pengujian yang dapat diandalkan, bermakna, dan spesifik
d. Pengujian produk dalam bentuk kemasan yang sama dengan yang diedarkan
e. Pengujian produk untuk rekonstruksi dilakukan sebelum dan sesudah rekonstruksi
vl. Studi stabilitas hendaklah dilakukan dalam hal berikut :
a. Produk baru (biasanya dilakukan pada bets pilot)
b. Kemasan baru yaitu yang berbeda dari standar yang telah ditetapkan
c. Perubahan formula, metode pengolahan atau sumber/pembuat bahan awal dan
bahan pengemas primer

1. Perubahan Kecil Gambar 31. pembagian zona iklim

vm. Perubahan kecil adalah perubahan yang tidak memberikan dampak


yang berarti pada kestabilan produk. Yang termasuk dalam perubahan kecil
adalah :
i. Perubahan kecil pada sintesis bahan aktif
ii. Perubahan jumlah eksipien yang sesuai dengan rentang yang telah
dipersyaratkan sebagai berikut :
iii. Perubahan pemasok eksipien
iv. Pengurangan coloring agent atau flavoring agent
v. Pengurangan bahan penyalut atau perubahan dari berat kapsul kosong
vi. Perubahan prosedur pemeriksaan tanpa mengubah spesifikasi
vii. Perubahan besar wadah dan atau bentuk dasarnya
viii. Perubahan dimensi tablet, kapsul, suppositoria, dsb. tanpa mengubah
komposisi secara kuantitatif maupun berat massanya (kecuali: perubahan
bentuk dari produk sustained release, termasuk perubahan besar)
ix. Perubahan besar bets, sebesar 10 kali dari besar bets sebelumnya

107 | P a g e
x. Perubahan fasilitas produksi (tanpa mengubah catatan bets, peralatan dan
PROTAP)
xi. Perubahan peralatan yang sejenis baik desain maupun cara kerjanya

2. Perubahan Besar
vn. Perubahan besar adalah perubahan yang secara potensial dapat
memberikan dampak terhadap kestabilan obat. Yang termasuk dalam perubahan
besar antara lain:
i. Setiap perubahan baik kualitatif maupun kuantitatif dari setiap eksipien
yang sedikit mengubah efek obat
ii. Perubahan technical grade eksipien
iii. Perubahan pemasok bahan aktif
iv. Perubahan besar terhadap sintesis bahan aktif
v. Perubahan jumlah eksipien yang lebih besar dari yang telah ditetapkan
pada perubahan kecil
vi. Perubahan secara kualitatif dari bahan pengemas primer dan perubahan
bahan pengemas primer
vii. Perbahan kondisi penyimpanan
viii. Perubahan spesifikasi produk
ix. Perubahan metode analisis akibat perubahan spesifikasi
x. Perubahan dimensi dari sustained release produk/formulation
xi. Perubahan proses pengolahan obat
xii. Perubahan metode granulasi basah ke cetak langsung atau granulasi kering
xiii. Perubahan ruangan produksi pada pabrik atau berpindah pabrik
xiv. Perubahan ukuran bets, 10 kali dari ukuran bets awal
xv. Perubahan peralatan yang mempunyai desain dan cara pengoperasian yang
berbeda
d. Bets yang diluluskan dengan pengecualian misalnya bets yang sifatnya
berbeda dari standar atau bets yang diolah ulang
e. Produk yang beredar
vo. Uji stabilitas produk yang beredar :
i. Uji stabilitas untuk produk yang beredar hendaklah dilakukan minimal 1
bets dalam 1 tahun, asalkan didukung data Pengkajian Produk Tahunan
(Annual Product Review) atau validasi retrospektif
ii. Penyimpanan sampel dilakukan pada suhu kamar atau suhu yang
dipersyaratkan dan hendaklah dimonitor

108 | P a g e
iii. Periode pemeriksaan: 12, 24, 36 bulan atau sampai dengan masa daluarsa
tercapai. Apabila produk tersebut direkonstruksi, hendaklah dilakukan in-
use stability study di periode akhir atau pada waktu daluarsa produk
tersebut

2.5 Interpretasi Data Stabilitas

vp. Terdapat perbedaan dalam menginterpretasi data hasil uji stabilitas


tergantung uji yang dilakukan. Dalam contoh penelitian uji stabilitas yang akan
dijelaskan, uji stabilitas menggunakan metode uji stabilitas dipercepat yaitu stress
test menggunakan climate chamber lalu dianalisis menggunakan KCKT. Uji
stabilitas ini akan menerangkan metode dan hasil dalam uji stabilitas serta usaha
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan stabilitasnya. Studi ini meneliti formulasi
yang dapat menghasilkan stabilitas paling baik untuk kombinasi obat
Dihidroartemisinin (DHA) dan Piperakuin (PPQ).
vq. Kombinasi obat Dihidroartemisinin (DHA) dan Piperakuin (PPQ)
merupakan sediaan obat antimalaria yang digunakan untuk mengatasi masalah
resistensi klorokuin yang dikenal dengan Artemisinin Combined Therapy (ACT).
Dengan bertambahnya penderita malaria pada usia anak, formulasi granul
effervescent kombinasi DHA dan PPQ dinilai lebih tepat untuk pengobatan usia
anak.
vr. Kedua senyawa DHA dan PPQ tidak larut dalam air sehingga telah
banyak dilakukan penelitian mengenai kombinasi DHA-PPQ dalam hal formulasi
untuk meningkatkan kelarutan kedua zat tersebut dalam air menggunakan bahan
tambahan, salah satunya dengan cara inklusi β-siklodekstrin.
vs. Terdapat penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa inklusi DHA
dan PPQ menggunakan β-siklodekstrin dapat menutupi rasa pahit dan memperbaiki
kelarutan obat. Namun permasalahan yang timbul adalah terdapat penurunan kedua
kadar zat aktif secara signifikan. Penyebab utama dari permasalahan tersebut adalah
proses degradasi obat.

109 | P a g e
vt. Uji stabilitas dipercepat merupakan suatu pengujian yang dapat
membantu dalam usaha untuk mengetahui peningkatan waktu penyimpanan sediaan
granul effervescent. Dengan model pengujian stabilitas dipercepat, dapat diketahui
langkah-langkah penyempurnaan yang dibutuhkan agar kadar DHA dan PPQ dalam
granul effervescent dapat dipertahankan. Salah satu metode uji stabilitas dipercepat
yang memerlukan waktu yang cukup singkat adalah dengan stress test.
vu. Metode stress test adalah suatu pengujian stabilitas senyawa obat atau
produk obat dalam kondisi suhu penyimpanan lebih ekstrim dari uji stabilitas
dipercepat pada umumnya (Klick et al., 2005). Metode stress test menggunakan
prinsip Arrhenius dimana laju degradasi senyawa obat dipengaruhi oleh peningkatan
suhu.
vv. Kombinasi obat DHA dan PPQ dalam penelitian ini dibuat menjadi
empat formulasi. F1 merupakan formula awal yang tidak diberikan perlakuan
tambahan, sedangkan F2 hanya diberikan penyalutan PVP pada zat aktif tanpa
penambahan BHT. Pada F3 dan F4, formula mengandung BHT, masing-masing
0,9% dan 1%.
vw. Uji stabilitas dipercepat dengan metode stress test dilakukan pada
climatic chamber bersuhu 60o C dan RH 75% selama 6 minggu. Langkah pengujian
adalah sebagai berikut:
1. Sebanyak 10 sachet granul effervescent pada tiap formula dimasukkan
kedalam climatic chamber.
2. Evaluasi kualitas kimia sediaan granul effervescent dengan KCKT pada
minggu ke-0, ke-1, ke-2, ke-3, dan ke-6.

vx. Hasil penentuan kondisi analisis optimum DHA dengan konsentrasi


1000 ppm ditunjukan pada gambar 6 dan tabel 10.

110 | P a g e
vy.

vz. Gambar 32. Kromatogram DHA

wa. Menurut Cabri W. et al, 2008, terdapat dua puncak pada kromatogram
DHA. Puncak pertama merupakan puncak dari 2α-epimer DHA dan puncak terakhir
merupakan puncak 2β-epimer DHA. Untuk uji stabilitas ini digunakan puncak
pertama DHA sebab responnya yang lebih besar pada kromatogram.
wb. Tabel 17. Waktu Retensi DHA

wd.

wf.
W
wh.
wg.
(m
we.

wj. wk. wl.

111 | P a g e
7

wo.
wn. wp.
7

ws.
wr. wt.
7

wv.
ww.
wx.
7

wy.
wz. Hasil penentuan kondisi analisis PPQ fosfat dengan konsentrasi 80
ppm ditunjukkan pada gambar 12 dan tabel 15.

xa.
xb. Gambar 33. Kromatogram PPQ Fosfat

xc. Tabel 18. Waktu Retensi PPQ Fosfat

xe. xg.

112 | P a g e
xf.

xj. xk. xl.

xn. xo. xp.

xr. xs. xt.

xv.

xw. xx.

xy. Kadar granul effervescent kemudian ditetapkan dengan


menggunakan metode KCKT. Kurva kalibrasi DHA dan PPQ Fosfat
ditampilkan dalam gambar 19 dan 20

113 | P a g e
xz.

ya. Gambar 34. Kurva Kalibrasi DHA

yb.

yc. Gambar 35. Kurva Kalibrasi PPQ Fosfat

yd. Kadar DHA dan PPQ dalam sediaan granul effervescent


selanjutnya dilakukan evaluasi. Granul effervescent sebelumnya dimasukan ke
dalam climatic chamber dengan suhu 60o C dan RH 75% selama 6 minggu.

ye. Tabel 19. Kadar DHA selama 6 Minggu

yg. yh. yi. yk.

yl. ym. yn. yo. yp. yq.

yr. ys. yt. yu. yv. yw.


yx. yy. yz. za. zb. zc.

114 | P a g e
zd. ze. zf. zg. zh. zi.

zj. Tabel 20. Kadar PPQ Fosfat selama 6 Minggu

zn. zo. zp.

aam.

aao.

120

100

80

60 DHA
Series 2
40

20

0
0 7 14 21 42

aap. Gambar 36. Grafik Konsentrasi terhadap Waktu F1

115 | P a g e
aaq.

120

100

80

60 DHA
PPQ
40

20

0
0 7 14 21 42

aar.Gambar 37. Grafik Konsentrasi terhadap Waktu F2

aas.

aat.

120

100

80

60 DHA
PPQ
40

20

0
0 7 14 21 42

aau. Gambar 38. Grafik Konsentrasi terhadap Waktu F3

116 | P a g e
aav.

120

100

80

60 DHA
PPQ
40

20

0
0 7 14 21 42

aaw.Gambar 39. Grafik Konsentrasi terhadap Waktu F4

aax. Pada keempat gambar grafik konsentrasi terhadap waktu


dengan formula yang berbeda menunjukan laju reaksi kedua zat aktif
mengikuti aturan reaksi orde satu. Dengan demikian perhitungan konstanta
kecepatan reaksi (k) diambil dari hasil minus slope pada grafik Ln konsentrasi
terhadap waktu.
aay.

117 | P a g e
aaz. Tabel 21. k pada Suhu 60oC DHA dan PPQ

aba. abb. abc.


k k

abd. abe. abf.


0 0

abg. abh. abi.


0 0

abj. abk. abl.


0 0

abm. abn. abo.


0 0

abp. Konstanta laju reaksi (k) hanya berhubungan dengan


perubahan kemiringan garis yang dihasilkan oleh persamaan kecepatan. Oleh
karena itu, walaupun terdapat perbedaan penurunan kadar tiap formula,
konstanta laju reaksi yang dihasilkan tidak jauh berbeda.
abq. Estimasi efek suhu terhadap laju reaksi dapat diketahui
menggunakan metode perkiraan dengan memperhatikan perbandingan tetapan
laju reaksi KT1/KT2 pada dua macam suhu. Dari perbandingan tetapan laju
reaksi, estimasi masa simpan (t90) suatu obat pada suhu dapat ditentukan.
Perhitungan estimasi masa simpan menggunakan nilai Q10 = 2, 3, dan 4,
dimana nilai tersebut sebanding dengan energi aktivasi rata-rata degradasi
obat.

abr. Dalam perhitungan uji stabilitas pada keempat formula DHA


dan PPQ menggunakan rumus t90. Perhitungan DHA dengan berbagai faktor
Q10 adalah sebagai berikut:

1. Formula 1 DHA

118 | P a g e
abs. Pada suhu 60oC

abt. K = 0,014 hari


0,105
t 90=
abu. k

0,105
t 90= =7,5 hari
abv. 0,014/menit

abw.
∆T
(
10
) t 901
abx. Q 10 =
t 90 2

aby.
abz. Faktor Q10 = 2, 3, 4
aca. ∆T = T2 – T1 = 25oC – 60oC = - 35oC
a. Faktor Q10 = 2
−35
(
10
) 7,5
b. 2 = = 84,85 hari = 2,8 bulan
t 90 2

c. Faktor Q10 = 3
−35
(
10
) 7,5
d. 3 = = 350 hari = 11,69 bulan
t 902

e. Faktor Q10 = 4
−35
(
10
) 7,5
f. 4 = = 960 hari = 32 bulan
t 90 2

119 | P a g e
2. Formula 1 PPQ

g. Pada suhu 60oC

h. K = 0,061 hari
0,105
t 90=
i. k

0,105
t 90= =1,72 hari
j. 0,061/menit
∆T
( ) t 901
k. Q 1010 =
t 90 2

l.
m. Faktor Q10 = 2, 3, 4 ∆T = T2 – T1 = 25oC – 60oC = - 35oC

a. Faktor Q10 = 2
−35
(
10
) 1,72
n. 2 = = 19,46 hari = 0,65 bulan
t 90 2

b. Faktor Q10 = 3
−35
(
10
) 1,72
o. 3 = = 80,44 hari = 2,7 bulan
t 902

c. Faktor Q10 = 4
−35
(
10
) 1,72
p. 4 = = 220,16 hari = 7,34 bulan
t 90 2

q. Sehingga masa edar F1 untuk faktor Q10 = 2 adalah 0,65 bulan, untuk
faktor Q10 = 3 adalah 2,7 bulan, dan untuk faktor Q 10 = 4 adalah 7,34 bulan.
Seluruh perhitungan ini berlaku untuk semua formula, yaitu F2, F3, dan F4.

r. Tabel 22. t90 DHA dan PPQ pada suhu kamar dengan Faktor Q10 = 2

s. t. t90 u. t90
DHA PPQ
(hari) (hari)
v. F
w. 84,85 x. 19,46
1
y. F
z. 91,38 aa. 19,23
2
ab. F
ac. 79,2 ad. 20,82
3
ae. F
af. 91,4 ag. 21,2
4
ah.
ai. Tabel 23. t90 DHA dan PPQ pada suhu kamar dengan Faktor Q10 = 3

ak. t90
DH
aj. al. t90 PPQ
A
(hari)
(har
i)
am.
an. 350 ao. 80,44
F1
ap. aq. 377
ar. 79,5
F2 ,72
as. at. 327
au. 86,05
F3 ,36
av. aw. 377
ax. 87,7
F4 ,72
ay.
az.Tabel 24. t90 DHA dan PPQ pada suhu kamar dengan Faktor Q10 = 4

bb. t90 bc. t90


ba. DHA PPQ
(hari) (hari)
bd. F
be. 960 bf. 220,16
1
bg. F bh. 1033,
bi. 217,6
2 86
bj. F
bk. 896 bl. 235,52
3
bm. bn. 1033,
bo. 240
F4 86
bp.
bq. Pada setiap formula yang digunakan dalam penelitian terdiri
atas campuran DHA dan PPQ sehingga dalam penentaun estimasi masa simpan
formula tersebut harus dapat memastikan kedua senyawa obat tersebut masih
dalam kualitas yang baik. Oleh karena itu, pada faktor Q 10 = 2, estimasi masa
simpan F1 adalah 0,65 bulan atau 19,46 hari, F2 adalah 0,64 bulan atau 19,23
hari, F3 adalah 0,694 bulan atau 20,85 hari, dan F4 adalah 0,71 bulan atau 21,213
hari. Dengan faktor Q10 = 3, estimasi masa simpan F1 adalah 2,7 bulan atau 80,44
hari, F2 adalah 2,65 bulan atau 79,5 hari, F3 adalah 2,87 bulan atau 86,05 hari,
dan F4 adalah 2,9 bulan atau 87,7 hari. Dengan faktor Q10 = 4, estimasi masa
simpan F1 adalah 7,34 bulan atau 220,16 hari, F2 adalah 7,25 bulan atau 217,6
hari, F3 adalah 7,85 bulan atau 235,52 hari, dan F4 adalah 8 bulan atau 240 hari.
br. Dari hasil perhitungan menunjukan estimasi masa simpan yang relatif
pendek pada F1 dan F2. F1 merupakan formula awal yang tidak diberikan
perlakuan tambahan, sedangkan F2 hanya diberikan penyalutan PVP pada zat
aktif tanpa penambahan BHT. Pada F3 dan F4, masa simpan yang diperoleh lebih
panjang sebab kedua formula mengandung BHT, masing-masing 0,9% dan 1%.
bs.Kesimpulan dari uji stabilitas penelitian ini adalah bahwa formula
yang mengandung BHT memiliki stabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan
formula awal yang tidak diberikan perlakuan tambahan dan formula yang hanya
diberikan penyalutan PVP saja. Dapat disimpulkan juga bahwa usaha untuk
meningkatkan stabilitasnya adalah dengan penambahan BHT. Senyawa BHT atau
butyl hidroksi toluen merupakan antioksidan yang dapat memperlambat atau
menghambat oksidasi lemak dan minyak serta untuk mencegah berkurangnya
aktivitas vitamin yang larut lemak.
bt. BAB III
bu. SIMPULAN

bv. Simpulan yang dapat diambil dalam makalah ini adalah:

1. Faktor yang mempengaruhi stabilitas dari sediaan obat adalah faktor lingkungan
dan fisika. Faktor lingkungan diantaranya suhu, radiasi, kelembaban, udara dan
cahaya sedangkan faktor fisik seperti ukuran partikel, pH, sifat pelarut, sifat
kemasan dan bahan kimia
2. Jenis-jenis stabilitas obat yaitu stabilitas fisika, farmakologi, kimia, mikrobiologi
dan toksikologi
3. Pengujian stabilitas obat dapat dilakukan dengan cara uji stabilitas dipercepat dan
uji stabilitas jangka panjang
4. Peraturan dalam pengujian stabilitas obat mengikuti Pedoman ICH (International
Conference on Harmonisation) dan juga CPOB (Cara Pembuatan Obat yang
Baik)
5. Interpretasi data stabilitas dari suatu obat tergantung dari uji stabilitas yang
dilakukan apakah uji stabilitas dipercepat atau uji stabilitas jangka panjang.
bw.

bx.
by. DAFTAR PUSTAKA
bz.
ca. Anonim, 2005. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika.. Makassar : UMI.
cb.
cc. Ansel, H..C, 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi IV. Diterjemahkan
oleh Farida Ibrahim. Jakarta: UI-press.
cd.
ce. Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Nomor
HK.03.1.33.12.12.8195 tahun 2012. Tentang Penerapan pedoman cara
pembuatan obat yang baik. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia.
cf.
cg. Bajaj, at al, 2012. Stability Testing of Pharmaceutical Products. Journal of
Applied Pharmaceutical Science 02 (03); 2012: 129-138, Swami Vivekanand
College of

ch. Bruylant, G., J. Wouters., and C. Michaux. 2005. Differential Scanning


Calorimetry in Life Science: Thermodynamics, Stability, Molecular
Recognition, and Application in Drug Design. Current Medicinal Chemistry.
12 (17): 2011-2020.
ci.
cj. Chadha, R., Kashid, N., and Jain, D. V. S., 2004, Microcalorimetric
Evaluation of the inVitro Compatibility of Amoxicilin/clavulanic Acid and
ampicillin/sulbactamwith Ciprofloxacin, Journal of Pharmaceutical
Biomedical and Analysis, 36,295-307.
ck.
cl. Chung, F.H. and D.K. Smith. 2000. Industrial Applications of X-Ray
Diffraction. USA: Marcel Dekker.
cm.
cn. Circus, W., Canary W. 2006. ICH Topic Q 1 D Bracketing and Matrixing
designs for Stability Testing of Drug Substances and Drug Products. European
Medicines Agency. London. EMEA.
co.
cp. Davis, R. E., Lorimer, K. A., Wilkowski, M. A., and Rivers, J. H., 2004,
Studies ofRelationship in Cocrystal Systems, ACA Transactions, 39, 41-61.
cq.
cr. Dell, Ahmad. 2013. Uji Stabilitas Menurut WHO, CPOB, dan ICH. Tersedia
di :https://www.scribd.com/doc/132406738/Uji-Stabilitas-Menurut-Who-Cpob-
Dan-Ich. (Diakses pada tanggal 30 September 2014).
cs.
ct. Departement of Chemistry. 2015. Differential Scanning Calorimetry: First
and Second Order Transitions in Polymers. Maine: Colby College.
cu.
cv. Elmer, P. 2014. Differential Scanning Calorimetry. USA: PerkinElmer.
cw.
cx. Fusari SA (1973a) Nitroglycerin sublingual tablets I: Stability of conventional
tablets. J. Pharm. Sci. 62(1):122-129.
cy.
cz. .Gandjar, I.G. dan Rohman, A. 2012. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
da. Gibson, M. 2009. Pharmaceutical Preformulation and Formulation Second
Edition: A Practical Guide from Candidate Drug Selection to Commercial
Dosage Form. New York: Informa Healthcare
db.
dc. ICH (International Conference on Harmonization).
http://www.ich.org/products/guidelines/quality/article/quality-guidelines.html
diakses pada Kamis, 1 Oktober 2015 jam 13:15.
dd.
de. Kats M.2005. Forced degradation studies: regulatory considerations and
implementation. BioPharm Int.
df.
dg. Klancnik, G., et al. 2010. Differention Thermal Analysis (DTA) ang Differential
Scanning Calorimetry (DSC) as a Method of Material Investigation.RMZ-
Material and Geoenvironment.57: (1). Page: 124-127.
dh.
di. Lachman, L., Lieberman, H. A., Kanig, J. L., 1986, Teori dan Praktek Farmasi
Industri, Edisi ketiga, diterjemahkan oleh: Suyatmi, S., Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta, 760-779, 1514 – 1587.
dj.
dk. Moechtar. 1989. Farmasi fisik Bagian Larutan dan Sistem Dispersi. Jogjakarta
Universitas Gadjah Mada:Press.
dl.
dm. Murni Handayani1 dan Eko Sulistiyono, 2009, Uji Persamaan Langmuir Dan
Freundlich Pada Penyerapan Limbah Chrom (Vi) Oleh Zeolit.
dn.
do. Niazi, S.K. 2006. Handbook of Preformulation: Chemical, Biological, and
Botanical Drugs. USA: CRC Press.
dp.
dq. Particle Sciences. 2012. Solid State Characterization. Technical Brief. 5.
Pharmacy, Banur, India. Diakses pada Kamis, 8 Oktober 2015 jam 08.41 WIB.
dr.
ds. Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti
Sjamsiah, Apt. Airlangga University Press. Surabaya.
dt. Shivkumar Vishwanathan , 2011, Risk Assessment for Pharmaceutical
Packaging Material, Intertek.
du.
dv. Simon, P. C. Zuzana. 2010. Measurmement oh heat Capacity by Differention
Scanning Calorimetry. Slovak: Slovak University of Technology.
dw.
dx. Sun, JS. The Use of Dynamic Vapor Sorption Method in the Determination of
Water Sorption Limit and Setting Specification for Drug Substance. American
Pharmaceutical Review 2011; Volume 14. Issue 6.
dy.
dz. Sugiyartono, 2011, Pengaruh Bahan Tambahan atau Eksipien dalam Sediaan
Farmasi Bagi Keamanan Terapi Obat,, Universitas Airlangga, Surabaya,:
MEDICINUS Vol. 24 (1).
ea.
eb. Syahputri, M. 2007. Pemastian mutu obat volume 1: kompendium pedoman dan
bahan-baan terkait. Jakarta : EGC.
ec.
ed. Voight, R., 1994, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Gadjah Mada University
Press, Jogjakarta.
ee.
ef. Yoshioka, S. and V.J. Stella. 2000. Stability of Drugs and Dosage Forms.
USA: Plenum Publishers.
eg.
eh. Young, A.L. 2012. Powder X-Ray Diffraction and its Application to
Biotherapeutic Formulation Development. Tersedia di:
http://www.americanpharmaceuticalreview.com/Featured-Articles/38371-
Powder-X-ray-Diffraction-and-its-Application-to-Biotherapeutic-
Formulation-Development/ (Diakses pada 8 Otober 2015).
ei.

ej.
ek.

el.

Anda mungkin juga menyukai