Anda di halaman 1dari 28

PETUNJUK PRAKTIKUM

FARMAKOKINETIKA

Disusun Oleh :

Elza Sundhani, M.Sc., Apt.

LABORATORIUM FARMAKOLOGI & FARMASI KLINIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2021
PETUNJUK PRAKTIKUM
FARMAKOKINETIKA

Elza Sundhani, M.Sc., Apt.

LABORATORIUM FARMAKOLOGI & FARMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat limpahan rahmat-Nya sehingga buku
Petunjuk praktikum Farmakokinetika ini dapat terselesaikan. Buku ini disusun untuk dapat
digunakan sebagai panduan mahasiswa dalam melaksanakan praktikum Farmakokinetika, di
Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Mata praktikum telah disusun sedemikian rupa sehingga secara umum menunjukan
sistematika yang lazim ditempuh dalam percobaan di bidang Farmakokinetika seperti analisis
cairan hayati, penetapan jadwal sampling dan dosis model kompartemen, serta penetapan
parameter Farmakokinetika obat dengan menggunakan data darah.
Dengan demikian diharapkan buku panduan praktikum ini dapat dijadikan pedoman
untuk mahasiswa dalam melaksanakan seluruh kegiatan praktikum secara terarah. Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan buku petunjuk ini masih terdapat banyak kekurangan,
oleh karena itu kritik dan saran demi perbaikan akan selalu kami harapkan.

Purwokerto, September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................ i

Daftar Isi .................................................................................................................... ii

Petunjuk Praktikum ................................................................................................... 1

Penilaian dan Ketentuan Praktikum .......................................................................... 2

Cara Bekerja Mengguakan Hewan Uji ....................................................................... 4

Pemberian Obat dan Pengambilan Darah pada Hewan Percobaan ......................... 7

Percobaan I ............................................................................................................... 10

Percobaan II .............................................................................................................. 14

Percobaan III ............................................................................................................. 19

Percobaan IV ............................................................................................................. 22

Daftar Pustaka ........................................................................................................... 26


PETUNJUK KERJA PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA

1. Mahasiswa diharuskan memahami konsep dasar farmakokinetika dan bioanalisis


sebelum melakukan praktikum, dibuktikan dengan lolos pretes sebagai syarat
mengikuti praktikum.
2. Mahasiswa harus memahami dan membawa prosedur kerja (laporan sementara)
sebelum masuk ke dalam laboratorium.
3. Mahasiswa yang terlambat lebih dari 15 menit tidak diijinkan mengikuti praktikum,
kecuali ada alasan khusus yang bisa diterima.
4. Praktikum famakokinetika tidak menggunakan sistem inhal, 1 kali tidak mengilcuti
praktikum mahasiswa tersebut dinyatakan tidak lulus.
5. Mahasiswa peserta praktikum tidak diijinkan keluar laboratorium kecuali dengan ijin
khusus dari pembimbing praktikum.
6. Selama melaksanakan praktikum, mahasiswa harus memperhatikan kebersihan
beberapa hal seperti :
a. Mahasiswa dilarang makan, minum, dan menggunakan laptop/hp selama
praktikum.
b. Mahasiswa menggunakan jas praktikum yang bersih, masker, dan sarung tangan.
c. Mahasiswa harus menjaga kebersihan alat dan meja kerja selama melaksanakan
praktikum.
d. Mahasiswa harus memisahkan sampah biologis seperti sisa jaringan, sampel darah,
atau hewan mati dengan cara dibungkus plastik untuk kemudian diinsenerasi dan
tidak digabungkan dengan sampah jenis lainya.
7. Mahasiswa harus memperhatikan ketepatan dalam hal menimbang, mengukur volume
larutan atau suspensi atau sediaan obat yang akan diberikan kepada hewan percobaan.
8. Mahasiswa harus memperhatikan ketepatan perhitungan dosis dan cara pemberian obat
kepada hewan percobaan
9. Mahasiswa wajib mengikuti ujian responsi lisan dengan dosen pengampu setelah
praktikum telah selesai semua.
10. Mahasiswa wajib mengerjakan laporan akhir (gabungan Pl-P4) sebagai syarat
mengikuti responsi lisan dengan dosen pengampu.
PENILAIAN DAN KETENTUAN PRAKTIKUM
Nilai akhir praktikum farmakokinetika terdiri dari:
1. Pretes 15% (Minimal nilai 50 baru diijinkan mengikuti praktikum), jika tldak
memenuhi batas nilai minimum lulus pretes, asisten wajib memberikan tugas tambahan
Syarat pretes, mahasiswa membawa laporan sementara
2. Laporan 30 %
3. Praktikum 30 %.
4. Responsi 25 %.
Responsi dilakukan dalam bentuk ujian lisan dengan dosen pengampu. Ketentuannya
sebagai berikut :
Susunan Laporan Sementara :
1. Judul praktikum
2. Tujuan praktikum
3. Pendahuluan ( daftar pustaka).
4. Metode Praktikum
a. Alat
b. Bahan
c. Cara kerja
Susunan laporan akhir:
Laporan akhir merupakan gabungan dari Pl-P4 yang disusun oleh mahasiswa setelah
praktikum farmakokinetika telah selesai dan digunakan sebagai syarat mengikuti
responsi secara lisan dengan dosen pengampu. Laporan akhir praktikum terdiri dari :
1. Cover
2. Judul praktikum
3. Tujuan praktikum
4. Pendahuluan
5. Metode Praktikum
a. Alat
b. Bahan
c. Cara kerja
6. Hasil (Perhitungan dan kurva yang digambar pada kertas semilogaritmik)
7. Pembahasan (merupakan keseluruhan dari Pl-P4)
8. Kesimpulan (merupakan keseluruhan dari Pl-P4)
9. Daftar Pustaka (merupakan keseluruhan dari Pl-P4)
CARA BEKERJA MENGGUNAKAN HEWAN UJI
Setiap peneliti/praktikan yang bekerja menggunakan hewan uji dalam penelitian/
percobaan harus menjunjung tinggi etik pada penggunaan hewan percobaan. Sejak tahun 1980
digunakan konsep 3R, yaitu singkatan dari Replacement, Reduction, Refinement. Konsep 3R
adalah sarana untuk menghilangkan segi-segi yang tidak manusiawi (inhumane) pada
penggunaan hewan percobaan, dan telah memberi dasar bagi perumusan peraturan perundang-
undangan di beberapa wilayah dan negara di dunia, termasuk Indonesia (Undang Undang RI
nomer 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kcsehatan Hewan; Bab VI tentang Kesehatan
Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan pasal 66 tentang kesejahteraan hewan). Selain
itu pengguna hewan percobaan harus memperhatikan perlakuan yang akan digunakan pada
hewan percobaannya. Perlakuan tersebut harus melihat azas kesejahteraan hewan (animal
welfare) yang di singkat menjadi 5F atau 5 Freedom yaitu:
1. Freedom from hunger and thirst (Bebas dari rasa lapar dan haus)
2. Freedom from poin (Bebas dari rasa sakit)
3. Freedom from distress and feeling discomfort (Bebas dari penderitaan/rasa takut
dan rasa tidak nyaman)
4. Freedom from injury and diseases ( Bebas dari cedera dan penyakit)
5. Freedom to express their normal behavior (Bebas untuk mengekspresikan perilaku
alami)

Setiap peneliti/praktikan yang bekerja menggunakan hewan uji juga harus


membaca petunjuk pemeliharaan, penggunaan, dan dasar pemilihan hewan uji. Berikut
ini cara memperlakukan hewan uji khususnya Kelinci dalam percobaan :
1. Penanganan kelinci terutama ditujukan kepada kaki belakang dan penanganan
terhadap tenaga kelinci yang lebih besar dibanding tikus dan mencit
2. Menggenggam kulit leher kelinci dengan tegas dengan satu tangan, dan tangan yang
lain menahan bagian belakang hewan (tertutama kaki belakang).
3. Jangan mengangkat atau merestraint kelinci dengan cara memegang telinga. Hal ini
dapat menyebabkan syaraf dan pembuluh darah kelinci/marmot dapat terganggu
dan menimbulkan rasa sakit pada hewan.
Gambar l. Cara Penanganan Kelinci Tanpa Alat Bantu (a); Menggunakan Alat Bantu (b)

Kondisi fisiologi kelinci memiliki denyut jantung sekjtar 130-325/menit,


pemafasan 30-60/menit, bernafas hanya melalui hidung (obligate nose breathers),
suhu tubuh 38.5 - 40°C dan mata sangat sensitif terhadap cahaya (8x manusia).
Ketentuan untuk konsumsi pakan sekitar 5 g/ 100 g BW/hari dan konsumsi air
minum 5-10 ml/ 100g BW/hari.
Pemberian makan dan minum pada hewan percobaan harus diperhatikan oleh
peneliti/praktikan, binatang harus diberikan makanan yang sesuai dengan standar
dan diberi minum ad libitum. Selain itu untuk mengurangi variasi biologis maka
hewan uji harus dipuasakan semalam terlebih dahulu sebelum percobaan dimulai,
namun tetap diberikan minum. Peneliti/praktikan harus memahami bahwa hasil dari
percobaan menggunakan hewan uji (in vivo) dapat memiliki deviasi yang besar
dibandingkan dengan uji secara in vitro, hal ini disebabkan oleh adanya variasi
biologis. Beberapa langkah yang harus dilakukan agar dapat meminimalisir variasi
biologis tersebut adalah dengan menggunakan binatang-binatang percobaan
tersebut yang mempunyai jenis/strain , usia , jenis kelamin, dan perlakuan yang
sama.
PEMBERIAN OBAT DAN PENGAMBILAN DARAH PADA HEWAN
PERCOBAAN

A. Pemberian Obat
Sebelum melakukan pemberian obat pada hewan uji kelinci,
peneliti/praktikan harus mengetahui beberapa hal sebagai berikut:
1. Alat suntik yang digunakan untuk hewan uji yang akan diberikan secara
ip,iv,im, dan ip diharuskan yang masih dalam keadaan steril dan
menerapkan teknik aseptik untuk mencegah terjadinya infeksi pada hewan
coba.
2. Perhatikan volume maksimum larutan yang bisa diberikan pada hewan uji
Tabel l. Maksimum Volume Obat yang dapat diberikan pada Kelinci

Volume maksimum Volume maksimum


Rute Pemberian pada kelinci dengan pada kelinci dengan BB
BB 4 Kg (Hau, Jann & 4 Kg (Hrapkiewicz, et
Gerald, L .2003) al. 2013)
Rute Subcutan 4 ml 10-20 ml/kg BB
Rute Intraperitoneal 20 ml 20 ml/kg BB
Rute Intramuscular 1 ml/site 0,5 ml/kg BB
Rute Intravena 8 ml 2 ml/kg BB
Rute Oral 15 ml 15 ml/kg BB

3. Pemberian obat melalui jalur injeksi intravena dilakukan dengan


menggunakan alat yang steril dengan ukuran jarum yang sekecil mungkin
(direkomendasikan 22-28 gauge). Area penyuntikan didisinfeksi dan
melakukan aspirasi sebelum penyuntikan. Berikut tahapan penyuntikan
jalur intravena pada kelinci :
a. Penyuntikan pada Vena telinga bagian superficial marginal (Gambar 2)
b. Kendalikan dan bersihkan rambut telinga
c. Telinga diluruskan memanjang
d. Penyuntikan di mulai dari ujung daun telinga
e. Aspirasi, lalu suntikan secara perlahan obat / material injeksi.
f. Lakukan hemostasis yang sesuai
Gambar 2. Cara Penyuntikan injeksi intravena pada kelinci
4. Pemberian obat melalui jalur per oral dapat dilakukan dengan menggunakan
sonde lambung (metal atau flexible). Ukuran sonde disesuaikan dengan
ukuran kelinci dan pemberianya dalam posisi lurus. Berikut tahapan
pemberian obat jalur per oral pada kelinci (Gambat 3) :
a. Kendalikan kelinci dengan atau tanpa alat bantu
b. Masukkan dan memposisikan spekulum mulut.
c. Ujung sonde/selang dilembabkan
d. Konfirmasi posisi
e. Masukkan cairan
f. Keluarkan sonde setelah selesai.

Gambar 3. Cara pemberian obat melalui jalur per oral pada kelinci
B. Cara Mengambil Darah pada Hewan Percobaan
Beberapa hal harus diketahui peneliti/praktikan sebelum mengambil
darah dari hewan khususnya kelinci, seperti:
1. Lokasi pembuluh darah pada telinga kelinci pembuluh darah vena pada
telinga (Marginal ears vein) berada di bagian tepi dan pembuluh darah
arteri pada telinga berada dibagian tengah telinga kelinci.
2. Jumlah darah yang dikoleksi sesuai dengan spesies, berat badan, serta
waktu/timepoint pengambilan darah. Jumlah maksimal pengambilan
darah kelinci adalah 7,7 ml/ Kg BB
3. Pengambilan darah pada kelinci melalui pembuluh darah vena pada
telinga (Marginal ears vein) jumlah darah yang dapat diambil sedikit,
adanya tekanan dari bagian proksimal, dan kekuranganya dapat
menyebabkan pembuluh darah kolaps.
4. Pengambilan darah melaui pembuluh darah arteri pada telinga jumlah
darah bisa diambil cukup banyak (5-50 ml). Dilakukan dengan cara
ujung telinga sedjkit ditekuk dan metode hemeostatisnya yang benar.

Gambar 4. Pengambilan darah melalui pembuluh darah vena (a)


dan melalui pembuluh darah arteri (b) pada telinga kelinci.
PERCOBAAN I
ANALISIS OBAT DALAM CAIRAN HAYATI

A. PENDAHULUAN
Analisis senyawa obat dalam berbagai cairan hayati (urin, plasma, serum, air
liur, dll) merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam proses pemantauan
terapi obat. Sebelum berikatan dengan reseptornya di dalam tubuh, obat mengalami
serangkaian proses yang terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi
(ADME). Ilmu farmakokinetika secara spesifik mempelajari rate vs time (kinetika)
ADME dari suatu obat yang berkaitan dengan pergerakan obat melewati membran di
dalam tubuh hingga mencapai target aksinya (reseptor). Absorpsi merupakan
pergerakan suatu obat dari rute pemberiannya menuju ke sirkulasi sistemik. Sementara
itu, distribusi menggambarkan proses perpindahan obat dari sirkulasi sistemik menuju
ke jaringan. Distribusi dipengaruhi oleh kemampuan obat dalam berikatan dengan
protein plasma, semakin kuat suatu obat terikat pada protein plasma, maka nilai
distribusi obat menjadi semakin kecil. Metabolisme mempakan proses perubahan sifat
obat menjadi lebih hidrofilik sehingga obat lebih mudah untuk dieksresikan melewati
ginjal (biotransformasi). Proses metabolisme obat melibatkan serangkaian aktivitas
enzimatis dan sangat penting untuk menurunkan toksisitas obat. Tahapan terakhir yaitu
eksleresi yang menggambarkan proses pembuangan (removal) sisa hasil metabolisme
obat ke luar tubuh melalui ginjal. Dalam ilmu farmakokinetika, aspek ADME ini
kemudian dikuantifikasikan dalam bentuk tetapan matematis yang disebut dengan
parameter farmakokinetika. Aspek-aspek farmakokinetika ADME yang telah dibahas
sebelumnya pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan hayati obat di dalam
sirkulasi sistemik (bioavailabilitas) dan menentukan efektivitas terapi obat.
Cairan hayati merupakan suatu sistem yang sangat kompleks di dalam tubuh.
Berbagai komponen biologis seperti protein, glikoprotein, lipid, dan karbohidrat
terkandung dalam cairan hayati yang dapat mempersulit proses identifikasi obat.
Karena itu, dalam proses analisis senyawa obat dalam cairan hayati, setelah dilakukan
sampling (pengambilan cairan hayati) diperlukan proses preparasi sampel yang
bertujuan memisahkan senyawa obat dari komponen pengganggu di dalam cairan
hayati.
Gambar 5. Struktur senyawa obat natrium salisilat

Obat yang akan dianalisis pada praktikum inj adalah Natrium Salisilat (Gambar
5). Natrium salisilat merupakan senyawa obat golongan non-steroid antiinflammatory
drugs (NSAID) dengan efek farmakologi sebagai analgetik dan antiinflamasi. Efek
analgetik dan antiinflamasi dari natrium salisilat berkaitan dengan aktivitas
penghambatan enzim siklooksigenase yang pada akhirnya dapat mcnghambat
pembentukkan mediator rasa sakit dan inflamasi.

Gambar 6. Reaksi pembentukkan kompleks feri salisilat

Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kadar


natrium salisilat dalam darah, salah satunya yaitu metode TRINDER. Metode
TRINDER melibatkan proses pengendapan protein oleh garam merkuri, selanjutnya
senyawa salisilat bebas yang terdapat dalam sampel hayati akan berikatan dengan ion
feri (Fe3+) dalam keadaan asam (asam lemah) dan membentuk senyawa kompleks
berwama ungu yang terlihat pada sinar tampak (Gambar 6). Intensitas warna kompleks
feri dan salisilat ini dapat diukur dengan instrumen spektrofotometri UV/VIS. Intensitas
kompleks ini sebanding dengan kadar senyawa salisilat di dalam sampel cairan hayati.
B. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu melakukan proses analisis
sediaan obat di dalam darah, meliputi proses pengambilan sampel darah dari hewan uji,
preparasi sampel, analisis kadar obat menggunakan spektrofotometri UV/VIS, dan
analisis data.
C. METODE PRAKTIKUM
ALAT
1. Syring injeksi
2. Tabung sentrifuge
3. Tabung reaksi 1 mL, 5 mL
4. Kuvet
5. Spektrofotometri UV/VIS >

BAHAN
1. Natrium salisilat
2. Pereaksi TRINDER
3. Kalium oksalat
4. Hewan uji : kelinci

CARA KERJA
1. Penentuan panjang gelombang maksimum
a. Ambil 1 ml larutan natrium salisilat konsentrasi 200 ppm.
b. Ditambahkan dengan 5 ml pereaksi TRINDER, vortex.
c. Diukur absorbansinya pada panjang gelombang 460-580 nm.
d. Tentukan A max Na salisilat.
2. Operating time
a. Ambil 1 ml larutan Na salisilat 200 ppm.
b. Ditambahkan dengan 5 ml pereaksi TRINDER, vortex.
c. Baca absorbansi pada panjang gelombang max setiap 5 menit selama 30 menit.
d. Tetapkan Operating Time (OT).
3. Pembuatan Blanko
a. Ambil 0,45 ml darah dari vena marginalis kelinci, tambahkan 0,05ml Ka
Oksalat 2% vortex selama 10 detik.
b. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER dan
0,5 ml aquadest, sentrifuge selama 15 menit
c. Ambil supernatan.
d. Lakukan operating time dan ukur absorbansi pada k max.
e. Nilai absorbansi untuk kurva baku didapat dari pengurangan absorbansi larutan
standar-absorbansi blanko.
4. Pembuatan kurva baku asam salisilat
a. Membuat larutan standar Na Salisilat dengan konsentrasi 50 ppm, 100 ppm, 150
ppm, 200 ppm, 250 ppm, dan 300 ppm.
b. Ambil 0,45 ml darah vena marginalis kelinci, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat
2%, vortex selama 10 menit
c. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5ml pereaksi TRINDER,
ditambah 0,5 ml standar Na Salisilat, sentrifuge selama 15 menit
d. Ambil supernatan.
e. Lakukan operating time dan ukur absorbansi pada ƛ max sebagai absorbansi
larutan standar.
5. Recovery
a. Ambil 0,45 ml darah vena marginalis kelinci secara duplo dan tambahkan
0,05ml Ka Oksalat 2% pada masing-masing tabung, vortex selama 10 detik .
b. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER dan
0,5 ml standar Na Salisilat (konsentrasi 100 ppm & 250 ppm) ke dalam salah
satu tabung dan 0,5 ml aquades ke dalam tabung yang lain (sebagai blanko).
c. Sentrifuge selama 15 menit, kemudian ambil supernatan.
d. Lakukan operating time dan ukur absoxbansi pada ƛ max.
e. Masing-masing replikasi 3 kali dan perlakuan blanko. Hitung recovery dan CV.
PERCOBAAN II
PENETAPAN WAKTU PENGAMBILAN CUPLIKAN DAN ASUMSI MODEL
KOMPARTEMEN

A. PENDAHULUAN
Kompartemen menggambarkan suatu unit imagier yang mewakili sekelompok
jaringan biologis dengan kecepatan absorpsi obat yang sama. Untuk dapat menentukan
profil konsentrasi obat dalam plasma vs waktu yang dapat teramati secara klinis diperlukan
1 hingga 3 jenis kompartemen yang membentuk suatu model kompartemen. Komponen
dalam model kompartemen terdiri dari : Kompartemen utama (central), yang mewakili
plasma dan sekelompok jaringan dengan kecepatan perfusi obat yang sangat tinggi; dan
kompartemen tepi (perifer), yaitu sekelompok jaringan dengan kecepatan perfusi obat yang
lebih lambat dibandingkan kompartemen utama. Kadar obat dalam plasma yang teramati
secara in vivo menggambarkan jumlah obat dalam kompartemen utama. Proses eliminasi
umumnya terjadi di kompartemen utama karena kemampuan perfusi obat yang sangat baik
pada kompartemen utama Secara umum, terdapat 3 jenis model kompartemen, yaitu :
1. Model satu kompartemen Pada model satu kompartemen (Gambar 7), tubuh
diasumsikan sebagai satu kompartemen besar, yaitu kompartemen utama (plasma).
Kompartemen utama memiliki kemampuan perfusi obat yang sangat tinggi dan
distribusi obat ke jaringan berlangsung sangat cepat, sehingga dapat diabaikan. Begitu
obat sampai di kompartemen utama , obat akan langsung mengalami proses eliminasi.
Proses eliminasi pada hampir 95% obat mengikuti orde pertama, yang artinya nilai
tetapan laju eliminasi (k) sebanding dengan dosis chat.

2. Model dua kompartemen


Tubuh digambarkan terdiri dari dua kompartemen (Gambar 8), yaitu
kompartemen utama dan kompartemen tepi. Terjadi proses pertukaran obat dari
kompartemen utama ke kompartemen tepi dan sebaliknya yang digambarkan mengikuti
model orde satu (sebanding dengan dosis obat di kompartemen asal). Distribusi obat
merupakan pergerakan obat kompartemen utama ke kompartemen, sebaliknya
redistribusi menggambarkan pergerakan obat dari komparteemen tepi ke kompartemen
utama. Tetapan laju distribusi digambarkan sebagai k12, sedangkan tetapan laju
redistribusi digambarkan sebagai k21. Pada saat tertentu nilai k12 dan k21 akan
mencapai kesetimbangan, dimana k12 = k21, pada saat ini obat akan langsung
mengalami proses eliminasi.

Gambar 8. Model dua kompartemen pada pemberian intravena bolus


3. Model tiga kompartemen
Pada model tiga kompartemen terdapat satu kompartemen tambahan, yang
disebut dengan deep tissue compartment. Proses distribusi ke kompartemen ini
berlangsung sangat lambat, karena perfusi obat pada jaringan di deep tissue
compartment sangat buruk, contohnya jarigan tulang dan jaringan adiposa. Pergerakan
obat menuju deep tissue compartment terjadi ketika obat telah mengalami eliminasi dan
jumlah obat yang tersisa di kompartemen utama sangat kecil. Walaupun proses
distribusi menuju kompartmen ini berlangsung sangat lambat pada saat tertentu hampir
sebagian besar fraksi obat di dalam tubuh akan terdistribusi menuju deep tissue
compartment dan digambarkan sebagai nilai penurunan Cp pada proses redistribusi
(Gambar 9). Contoh obat-obatan yang mengikuti model tiga kompartemen adalah
digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida.

Gambar 9. Model 3 kompartemen . Penurunan nilai Cp pada tahap redistribusi


menggambarkan pergerakan dari kompartemen utama ke deep tisue compartment
B. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu menentukan waktu pengambilan
cuplikan sampel cairan biologis dan menetapkan model kompartemen suatu obat
melalui kurva Cp vs waktu.
C. METODE PRAKTIKUM
ALAT
1. Syringe Injeksi
2. Tabung sentrifuge
3. Tabung reaksi 1 mL, 5 mL
4. Kuvet
5. Spektrofotometri UV/VIS >

BAHAN
1. Natrium salisilat
2. Pereaksi TRINDER
3. Kalium Oksalat
4. Hewan uji : kelinci

CARA KERJA
Penetapan waktu pencuplikan untuk studi kinetika salisilat (pemberian intravena dosis
tunggal)
1. Kelinci ditimbang, dicukur bulu sekitar vena marginalis telinga, masukkan ke
dalam holder.
2. Membuat blanko dengan cara mengambil 0,45 ml darah dari vena marginalis
kelinci, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 menit.
3. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER,
sentrifuge selama 15 menit, ambil supernatan kemudian lakukan OT dan baca
absorbasinya pada ƛ max.
4. Kelinci diinjeksi salisilat secara intravena dengan dosis 150 mg/kg BB pada vena
marginalis.
5. Ambil darah 0,45 ml dari vena marginalis telinga yang lain pada waktu pencuplikan
yang telah ditetapkan, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 menit.
6. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER,
sentrifuge selama 15 menit, ambil supernatan
7. Lakukan operating time dan ukur absorbansi pada ƛ max.
8. Tetapkan kadar salisilat dengan persamaan kurva baku yang didapatkan pada P-1
kemudian buat kurva log/ln Cp per satuan waktu dan tentukan model kompartemen
dari kurva yang dihasilkan.
PERCOBAAN III
PEMILIHAN DOSIS DALAM FARMAKOKINETIKA
A. PENDAHULUAN
Pemilihan dosis pada hewan uji dapat berdasarkan pada beberapa hal seperti
mengacu pada nilai LD50 (toksisitas akut) obat yang akan diuji. Perbandingan nilai
LD50 oral vs intravena dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang
absorbabilitas obat sebagai fungsi dari pemberian per oral. Jika informsi ini tidak
tersedia, dapat digunakan dosis awal 5-10% dad LD50 intravena. Dosis awal ini
kemudian akan dinaikan menurut besaran tertentu untuk mcndeteksi timbulnya kinetika
obat yang tergantung dosis (dose dependent pharmacokinetics).
Besaran dosis yang diberikan kepada subjek uji dapat mempengaruhi profil
farmakokinetika obat, hal ini dapat menyebabkan disposisi obat linear atau non linear
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan perbedaan efek yang ditimbulkan.
Disposisi obat tidak tergantung pada dosis (dose-independent) , sehingga jika dosis
berubah dengan kelipatan tertentu maka kadar obat didalam darah akan berubah secara
proporsional. Dengan kata lain perubahan kadar obat dalam darah dengan dosis bersifat
linear. Hal ini disebabkan karena proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
eliminasi (ADME) dari obat belum mengalami saturasi. Obat jenis ini tidak mengalami
perubahan nilai T1/2 eliminasi dan klirens jika dosis mengalami perubahan. Obat
bersifat tergantung dengan dosis (dose-dependent) terjadi ketika kadar obat berubah
secara tidak proporsional ketika adanya perubahan dosis, sehingga menyebabkan
hubungan antara kadar dengan dosis akan menjadi nonlinear.
1. Perubahan kadar obat yang proporsional dengan dosis
Pada umumnya obat yang diberikan dengan dosis terapi akan mengalami proses
ADME yang belum jenuh, sebab jumlah molekul obat masih berada dibawah nilai
saturasi sistem ADME. Dalam hal ini mekanisme absorbsi obat tidak melalui sistem
transport aktif, melainkan difusi pasif, sedangkan tempat ikatan protein plasma
(albumin) dan enzim pemetabolisme masih berlebih dibandingkan dengan jumlah
molekul obat, serta sistem transport di tubulin ginjal masih belum jenuh. Obat-obat
seperti ini ketika ditingkatkan dosisnya misalkan 2 kali Iipat, maka Cmaks dan AUC
juga akan meningkat 2 kali lipat, tanpa terjadi perubahan pada T 1/2 eliminasi atau
klirens. Perubahan respon klinik selama adanya perubahan dosis akan proporsional,
sehingga respon klinik mudah untuk diprediksi, kecuali terdapat perubahan pada
reseptor atau target obat.
2. Perubahan kadar obat yang tidak proporsional dengan dosis
Perubahan kadar obat dapat tidak proporsional dengan adanya perubahan dosis,
hal ini disebabkan karena sistem ADME telah jenuh/nonlinear. Pada hubungan
nonlinearitas seperti ini akan menyababkan kadar puncak obat dalam darah dan nilai
AUC akan mengalami perubahan yang tidak proporsional dengan perubahan dosis,
sedangkan nilai T 1/2 eliminasi akan memanjang atau klirens akan melambat,
apabila proses eliminasi mengalami saturasi.

B. TUJUAN PRAKTIKUM
Pada praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui perbedaan
penggunaan beberapa variasi dosis pada hewan percobaan dan dosis yang tepat untuk
hewan uji berdasarkan data profil farmakokinetika.

C. METODE PRAKTIKUM
ALAT
1. Syringe
2. Injeksi
3. Tabung sentrifuge
4. Tabung reaksi 1 mL, 5 mL
5. Kuvet
6. Spektrofotometri UV/VIS

BAHAN
1. Natrium salisilat
2. Pereaksi TRINDER
3. Kalium oksalat
4. Hewan uji : kelinci

CARA KERJA
1. Kelinci ditimbang, dicukur bulu sekitar vena marginalis telinga, masukkan ke
dalam holder.
2. Membuat blanko dengan cara mengambil 0,45 ml darah dari vena marginalis
kelinci, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 menit
3. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER,
sentrifuge selama 15 menit, ambil supernatan kemudian lakukan OT dan baca
absorbasinya pada ƛ max.
4. Kelinci diinjeksi dengan larutan obat Na. Salisilat dengan dosis yang berbeda-beda
(100 mg/kg BB, 300 mg/kg BB, 500 mg/kg BB) pada vena marginalis telinga.
5. Ambil darah 0,45 ml dari vena marginalis telinga yang lain pada waktu pencuplikan
yang telah ditetapkan, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 menit.
6. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER,
sentrifuge selama 15 menit, ambil supernatan.
7. Lakukan operating time dan ukur absorbansi pada ƛ max.
8. Tetapkan kadar salisilat dengan persamaan kurva baku yang didapatkan pada P-l
kemudian buat kurva log/ln Cp per satuan waktu dan kurva AUC vs Dosis pada
kertas semilogaritma.
PERCOBAAN IV
PENETAPAN PARAMETER FARMAKOKINETKA OBAT SETELAH
PEMBERIAN EKSTRAVASKULER DOSIS TUNGGAL MENGGUNAKAN DATA
DARAH

A. PENDAHULUAN
Pemberian obat melalui jalur ekstravaskuler merupakan rute pemberian dimana obat
tidak langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada umumnya pemberian obat melalui
jalur ekstravaskuler tergantung pada sirkulasi sistemik untuk menghantarkan obat pada
target aksi. Sehingga proses absorbsi obat masuk kedalam sirkulais sistemik mejadi hal
yang sangat penting. Absorbsi obat yang diberikan melalui rute peroral pada saluran
gastrointestinal tergantung pada sifat fisiko-kimia obat, bentuk sediaan, dan anatomi
fisiologi tempat absorbsi. Selain itu, faktor yang mempengaruhi absorbsi obat yang
diberikan secara per oral yaitu luas permukan saluran cerna, kecepatan pengosongan
lambung, motilitas gastrointestinal, metabolisme oleh mikroflora usus, dan aliran darah
ditempat absorbsi.
Setelah obat diberikan (Gambar 10), kadar obat dalam darah akan naik secara bertahap
(A = fase absorbsi), kemudian kadar obat akan tems meningkat sampai kadar puncak (B =
Cmax/kadar obat maksimum) dan kadar obat akan turun karena mengalami fase eliminasi
(D) dan atau fase distribusi (C=distribusi, jika model 2 kompartemen terbuka).

Gambar 10. Kurva hubungan konsentrasi obat dalam darah terhadap waktu setelah
pemberian ekstravaskuler.
Parameter famakokinetika merupakan besaran yang diturunkan secara matematis dari
model berdasarkan hasil pengukuran kadar obat utuh dan atau metabolitnya dalam cairan
hayati (darah, urin, dll). Penentuan parameter farmakokinetika ini dilakukan untuk
mengkaji kinetika absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat didalam tubuh. Dimana hasil
tersebut dapat digunakan untuk pertimbangan dalam penentuan dosis. Parameter yang
dapat digunakan untuk mengkaji kinetika absorbsi suatu obat antara lain adalah kecepatan
absorpsi (Ka), luas daerah bawah kurva (AUC), dan fraksi obat yang terabsorbsi (fa).
Sedangkan untuk menerangkan kinetika distribusi adalah volume distribusi (Vd dan Vdss).
Kinetika eliminasi diterangkan dengan nilai klirens (Cl), kecepatan eliminasi (k), dan waktu
paruh eliminasi.

Gambar 11. Model Farmakokinetika untuk absorbsi mengikuti orde pertama pada model
kompartemen l terbuka. Ab dan Ac; merupakan jumlah obat dalam tubuh dan saluran
gastrointestinal ; k dan ka menerangkan kecepatan eliminasi (E) dan absorbsi (A);Cp
merupakan kadar obat dalam kompartemen; Vd (volume distribusi); Cl (klirens); S (obat yang
aktif) ; F (bioavaibilitas).

Persamaan yang menerangkan model kompartemen satu terbuka pemberian obat secara
peroral adalah sebagai berikut
Berdasarkan persamaan diatas menunjukkan bahwa kadar obat dalam darah
dipengaruhi oleh dosis obat, kecepatan dan jumlah obat yang tereliminasi, serta volume
distribusi. Kadar obat dalam darah berbanding lurus dengan kecepatan dan jumlah obat
yang terabsorbsi, dan dosis obat, namun berbanding tcrbalik dengan volume distribusi.
Artinya semakin cepat atau banyak obat yang terabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi sistemik
atau semakin besar dosis, semakin cepat dan tinggi kadar obat di dalam darah. Dengan
sebaliknya, semakin banyak obat yang didistribusikan kedalam jaringan, semakin rendah
kadar obat didalam darah.

B. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa mampu menetapkan dan menghitung parameter farmakokinetika obat
setelah pemberian dosis tunggal berdasarkan data kadar obat dalam darah/plasma vs waktu
C. METODE PRAKTIKUM
ALAT
1. Syringe Injeksi
2. Sonde
3. Tabung sentrifuge
4. Tabung reaksi 1 mL, 5 mL
5. Kuvet
6. Spektrofotometri UV/VIS

BAHAN
1. Natrium salisilat
2. Pereaksi TRINDER
3. Kalium oksalat
4. Hewan uji : kelinci

CARA KERJA
1. Kelinci ditimbang, dicukur bulu sekitar vena marginalis telinga, masukan ke dalam
holder.
2. Membuat blanko dengan cara mengambil 0,45 ml darah dari vena marginalis kelinci,
tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex selama 10 menit
3. Tampung plasma di tabung sentrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER, sentrifuge
selama 15 menit, ambil supernatan kemudian lakukan OT dan baca absorbasinya pada
ƛ max
4. Kelinci diberikan dengan larutan obat Na Salisilat secara per oral dengan dosis 200
mg/kg BB
5. Ambil darah 0,45 ml dari vena marginalis telinga pada waktu pencuplikan 5, 10, 20,
30, 40,4S,60,90,120,150,180, dan 240 menit, tambahkan 0,05 ml Ka Oksalat 2% vortex
selama 10 menit.
6. Tampung plasma di tabung scntrifuge, tambahkan 5 ml pereaksi TRINDER, sentrifuge
selama 15 menit, ambil supernatan.
7. Lakukan operating time dan ukur absorbansi pada ƛ max.
8. Tetapkan kadar salisilat dengan persamaan kurva baku yang didapatkan pada P-l
kemudian buat kurva log/ln Cp per satuan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Chiou, W. L., & Onyemelukwe, I. (1974). Simple modified colorimetric method for
total salicylate assay in urine after salicylate administration. Journal of pharmaceutical
sciences, 63(4), 630-632.
Dewi, F.N.A (2018). Handling, restraint & other procedures. Lecture Handout :
Training Penggunaan Hewan Laboratorium dalam Penelitian Biomedis. Institute
Pertanian Bogor.
Dubowski, K. M. (1981). Analysis of drugs in biological fluids. State-of-the-art ‘
In Proceedings International Council on Alcohol, Drugs and T rafc Safely Conference
(Vol. 1981, pp. 433-441). International Council on Alcohol, Drugs and Trafiic Safety.
Hakim, L. (2011). F armakokinetika. PT Bursa Ilmu, Yogyakarta
Hakim. L. (2016). Optimasi Dosis : Aplikasi Farmakokinetika dalam Penemuan Obat dan
Pengobatan. Bursa Ilmu, Yogyakarta.
Hau, Jann & Gerald, L .(2003). Handbook of Laboratory Animal Science, Second Edition,
volume 1. CRC Press
Hrapkiewiez, K, Lesley Colby, & Patricia Denison. (2013). Clinical Laboratory Animal
Medicine: An Introduction, 4th Edition. Wiley Blackwell.
Jambhekar, S.S & Philip J Breen. (2009). Basic Pharmacokinetics. Pharmaceutical Press.
Jarvie, D. R., Heyworth, R., & Simpson, D. (1987). Plasma salicylate analysis: a comparison
of colorimetric, HPLC and enzymatic techniques. Annals of clinical biochemzstry,
24(4), 364-373.
Kusuma, AM. (2017) Petunjuk Praktikum Farmakokinetika. Laboratorium Farmakologi dan
Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Mullett, W. M (2007). Determination of drugs in biological fluids by direct injection of
samples for liquid-chromatographic analysis. Journal of biochemical and btophyslcal
methods, 70(2), 263-273.
Rosenbaum, S. E. (Ed). (2016). 80310 pharmacokinetics and phamacodynamics: An
Integrated textbook and computer simulations. John W1 Icy & Sons
Trinder, P. "Rapid determination of salicylate in biological fluids.” Biochemical Journal 57,
no. 2 (1954): 301.

Anda mungkin juga menyukai