DISUSUN OLEH :
JURUSAN FARMASI
MALANG
2023
1. KATA PENGANTAR
Alhamdulillaahirabbil'alamin. Segala puji hanya untuk Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Diktat Petunjuk
Praktikum Farmakologi dan Toksikologi 2 ini. Diktat ini disusun untuk memperlancar
penyelenggaraan praktikum Farmakologi yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
mahasiswa dalam kerja laboratorium sekaligus untuk menambah wawasan terhadap bidang
Farmakologi dan toksikologi yang telah diperoleh secara teoritik dalam perkuliahan.
Melalui mata kuliah ini mahasiswa mampu mengamati efek-efek farmakologi obat dan
toksikologi, mengembangkan keterampilan bereksperimen, keterampilan berpikir dan bekerja
secara ilmiah, selain itu melalui mata kuliah ini mahasiswa dapat memperoleh ide-ide yang dapat
dikembangkan menjadi tema dalam menyusun karya tulis ilmiah (KTI). Melalui praktikum ini
mahasiswa dituntut untuk mampu menangani hewan coba (pemilihan, pemeliharaan, pemberian
obat, pengambilan spesimen sampel dan pemusnahan), mengamati dan mencatat hasil percobaan,
menganalisis data hasil percobaan, serta menyimpulkan hasil percobaan. Pencapaian hasil belajar
mahasiswa dinilai dari Pre-test, Laporan dan Ujian Praktikum.
Akhir kata, kami mengucapkan selamat bekerja dan mengharapkan agar Diktat Petunjuk
Praktikum Farmakologi dan Toksikologi 2 dapat bermanfaat dan menambah keterampilan
mahasiswa dalam menerapkan teori yang telah dipelajari.
Tim Penulis
ii
2.TATA TERTIB PRAKTIKUM
iii
PETUNJUK KERJA PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI 2
1. Sebelum mulai bekerja perlu mempelajari serta memahami petunjuk dan prosedur setiap
percobaan
iv
5. Peserta praktikum tidak boleh meninggalkan laboratorium selama praktikum berlangsung, kecuali
dengan ijin khusus dari pembimbing praktikum. Hanya seorang praktikan dari suatu kelompok
yang diperbolehkan meninggalkan kegiatan praktikum.
6. Peserta praktikum akan dibagi menjadi kelompok-kelompok. Setiap kelompok bertanggung jawab
atas peralatan yang dipakai dan percobaan yang dilakukan. Dalam semua percobaan, perlu ada
pembagian tugas dalam suatu kelompok, misalnya: sebagian menyiapkan alat-alat dan obat-
obatan, mencatat dosis yang digunakan, dan menetapkan kadar obat dalam sampel biologis;
sebagian lain menyiapkan binatang percobaan dan memberikan obat pada binatang tersebut,
dan sisanya melakukan pengamatan dan mencatat hasil pengamatan.
7. Sebelum memulai percobaan, alat-alat yang diperlukan diperiksa kelengkapan dan kebenarannya.
8. Binatang percobaan diperlakukan dengan kasih sayang. Hal ini akan membantu praktikan dalam
melakukan percobaan, dan mengurangi pengaruh yang tidak dikehendaki yang disebabkan oleh
ketakutan binatang dan variasi biologi lainnya. Binatang jangan disakiti.
Keterangan: Pre-test dan Ujian Akhir Praktikum dikerjakan secara individual. Laporan praktikum
dikerjakan berkelompok
v
Format Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi 2
(Laporan Praktikum Farmakologi dan Toksikologi 2 diketik pada kertas A4; rata atas dan kiri 4 cm;
rata bawah dan kanan 3 cm; spasi 1,5)
Judul Laporan
Jenis Percobaan
Nama : NIM :
I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Praktikum memuat hal-hal yang mendasari pentingnya melakukan praktikum
(prinsip percobaan) sebagai ilmu dalam kefarmasian maupun secara khusus untuk memahami
matakuliah farmakologi
1. Penjelasan mengenai mekanisme kerja obat, dosis, dan efek samping dan/ atau
2. Penjelasan kriteria hewan coba yang digunakan, jenis, manfaat penggunaan hewan coba
dan/atau
2. Hewan Percobaan
3. Cara Kerja
vi
IV. Hasil Percobaan
Hasil Percobaan berisi data pelaporan praktikum yang terdiri dari data pengamatan dan/ hasil
perhitungan. Laporan sementara dibuat sampai Hasil Percobaan (parameter hasil dan rumus
perhitungan saja yang dituliskan) sedangkan Pembahasan dan kesimpulan dibuat setelah praktikum
selesai dilaksanakan. Setiap data hasil praktikum wajib mendapatkan paraf dosen pembimbing
praktikum atau asisten praktikum.
V. Pembahasan
VI. Kesimpulan
Tanggal, ……………………..
Ketua Kelompok …
Tanda Tangan
NIM………………..………………….
vii
PERCOBAAN I
TUJUAN :
DASAR TEORI
A. TEKANAN DARAH
Tekanan darah arteri dapat diukur dengan 2 cara, yaitu cara palpasi dan cara
auskultasi. Manset dipasang pada di atas fosa cubiti. Dengan cara palpasi (perabaan),
orang percobaan dapat diukur tekanan darah dengan meraba arteri radialis. Pengukuran
tekanan darah dengan cara palpasi tersebut hanya dapat mengetahui tekanan darah
sistole sedangkan cara auskultasi dapat mengukur tekanan sistole dan diastole. Tekanan
pada arteri dapat berubah-ubah sesuai dengan aktifitas kita.
8
B. BUNYI JANTUNG
Jantung bertugas mengalirkan darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh melalui
pembuluh arteri, dan mengambil kembali darah yang telah mengedarkan oksigen
tersebut kembali ke jantung.
Bunyi jantung
1. Bunyi jantung normal (S1 dan S2) terdengar sangat baik dengan menggunakan
diafragma stetoskop
2. Murmur
3. Friction rub
9
Bunyi jantung kedua (S2)
1. Mengikuti S1 (dub)
3. Terdengar jelas pada apex atau sepanjang batas bawah sternum kiri
4. Normal pada anak-anak , suatu tanda distres pada pasien dengan penyakit jantung
5. Lebih signifikan jika disertai tachicardi dan denyut atrium prematur atau fibrilasi
atrium
2. Disebabkan oleh darah memasuki ventrikel yang non compliance seperti pada
hypertensi, hypertropi ventrikel, selama atrium berkontraksi
4. Irama tidak terdengar selama kontraksi atrium tidak ada atau terjadi selama atau
setelah kontraksi ventrikel (fibrilasi atrium)
Murmur
10
Tingkat Deskripsi
1 Redup, terdengar setelah periode kontraksi
2 Lembut, redup, terdengar langsung saat
auskultasi
3 Intensitas menengah, terdengar jelas
4 Murmur keras dengan getaran
5 Keras, membutuhkan stetoskop
6 Sangat keras, dapat didengar dengan stetoskop
diangkat dari dada
Tingkat Deskripsi
1. Dapat didengar selama sistole dan diastole karena cairan pada kantung perikardial
atau keradangan perikardium
2. Bising gesekan perikardial seperti ada kulit dengan kulit/nyaring , dan bertepatan
dengan nadi
3. Gesekan pleura terdengar pada saat inspirasi , bila ragu minta sukarelawan untuk
menahan napas maka gesekan akan menghilang.
- paling baik didengar dengan pasien condong kedepan atau berbaring miring kekiri
11
C. DENYUT NADI
Denyut nadi yang paling mudah dideteksi adalah arteri carotid dan arteri radialis.
Bila manusia semakin bugar, denyut nadi sewaktu istirahat akan makin menurun, kuat
dan lebih teratur.Namun denyut nadi bisa lebih cepat jika seseorang dalam keadaan
ketakutan, setelah berolah raga, atau demam. Umumnya denyut nadi akan meningkat
sekitar 20 kali permenit untuk setiap satu derajat celcius penderita demam.
2. Stetoscope
CARA KERJA
4. Memasang manset di salah satu lengan 2-3 cm di atas fosa cubiti. Manset dipasang
dalam keadaan tidak longgar / terlalu ketat.
12
6. Meraba arteri radialis.
7. Memompa air raksa sampai denyut arteri radialis tidak teraba lagi.
8. Meningkatkan air raksa 10-30 mmHg di atas posisi pada saat arteri radialis tidak
teraba.
9. Menurunkan air raksa perlahan sampai denyut arteri radialis mulai teraba lagi.
13. Menetapkan tekanan sistole rata-rata dari 3 kali pengukuran dengan benar.
4. Memasang manset di salah satu lengan 2-3 cm di atas fosa cubiti. Usahakan manset
terpasang dalam keadaan tidak longgar/ terlalu ketat.
11. Menetapkan tekanan sistol dan diastol rata-rata dari 3 kali pengukuran benar.
13
B. DENYUT NADI
Dengan menggunakan 2 jari yaitu telunjuk dan jari tengah, atau 3 jari, telunjuk, jari
tengah dan jari manis jika kita kesulitan menggunakan 2 jari.Temukan titik nadi (daerah
yang denyutannya paling keras), yaitu nadi karotis di cekungan bagian pinggir leher kira-
kira 2 cm di kiri/kanan garis tengah leher ( kira-kira 2 cm disamping jakun pada laki-laki ),
nadi radialis di pergelangan tangan di sisi ibu jari. Setelah menemukan denyut nadi,
tekan perlahan kemudian hitunglah jumlah denyutannya selama 1 menit. Lakukan
pengukuran dalam 3 waktu yang berbeda (Bangun tidur, saat beraktivitas keseharian,
setelah olahraga)
14
PERCOBAAN II
I. PENDAHULUAN
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri. Secara umum analgetika dibagi kedalam dua golongan, yakni analgetika
non-narkotik atau integumental analgesics (misalnya: asetosal, parasetamol) dan
analgetika narkotika atau visceral analgesics (misalnya: morfin). Berdasarkan atas
rangsang nyeri yang dipergunakan, maka terdapat berbagai metode penetapan daya
analgetik suatu obat. Salah satu diantaranya menggunakan rangsang kimia dan termis
sebagai penimbul rasa nyeri, akan dipraktekkan disini.
Tujuan Praktikum
1. Mengamati respon nyeri pada mencit yang ditimbulkan oleh bahan kimia
2. Mengamati respon menggeliat (merupakan respon nyeri pada mencit yang
ditimbulkan asam asetat)
3. Mengamati hambatan respon nyeri yang timbul setelah pemberian obat analgesic
4. Membandingkan hambatan respon nyeri yang timbul pada kelompok yang diberi
obat dengan kelompok control
5. Menjelaskan mekanisme kerja obat-obat analgesik.
15
siklooksigenasi yang mengkatalisis langkah pertama dalam biosisntesis prostanoid.
NSAID dalam digolongkan menjadi :
1. Aspirin dan derivatnya
4. Derivat oxicam
5. Fenamte
7. Nabumetone
8. Celecoxib
1. Parasetamol
16
% kadar parasetamol = jumlah parasetamol yang digunakan (g) / 100 ml x100%
= ……%
Bila digunakan sirup parasetamol dengan kekuatan 120 mg per sdt (5 ml) maka
membutuhkan ….. ml
Untuk membuat larutan parasetamol dengan kadar ….% dilakukan dengan mengukur ….
ml sirup parasetamol kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 ml lalu
tambahkan air hingga 100 ml dan kocok hingga homogen.
= ……%
Bila digunakan tablet aspirin 500mg, dengan bobot per tablet = …. mg, maka bobot
tablet aspirin yang dibutuhkan ….. mg. Tablet aspirin digerus kemudian ditimbang. Puyer
aspirin yang dibutuhkan dimasukkan ke dalam labu ukur 100,0 ml lalu tambahkan air
hingga 100 ml, kocok hingga homogen.
3. Larutan steril Asam asetat 0,6% . Dosis mencit 300 ml/kg BB melalui intraperitoneal
17
Hewan yang digunakan: mencit
Cara kerja :
2. Obat dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi secara kimia. Rasa nyeri diperlihatkan dalam bentuk respon gerakan
meliuk pada hewan coba. Frekuensi gerakan dalam waktu tertentu menyatakan
derajat nyeri yang dirasakan. Mencit ditimbang dan dikelompokkan sesuai jumlah
obat yang dipergunakan. Kelompok I sebagai kontrol diberi CMC 1%, Kelompok II
diberi aspirin 1% secara per oral. Kelompok III diberi parasetamol 1% secara per oral.
3. Ditunggu 30 menit kemudian diberikan asam asetat 0,6%. Dosis mencit 300 ml/kg BB
melalui intraperitoneal.
5. Ditunggu 5 menit kemudian amati dan catatlah jumlah liukan (mencit akan
menggeliat: perut kejang dan kaki ditarik ke belakang) setiap 5 menit selama 30
menit
PERHATIKAN :
Berat mencit I =
18
Berat mencit III =
1. Dosis mencit I =
2. Dosis mencit II =
I (kontrol)
II
III
19
PERCOBAAN III
TUJUAN :
Mahasiswa dapat mengetahui, mengidentifikasi dan memahami histologi organ
ginjal dan hepar
DASAR TEORI :
A. GINJAL
1. Histologi Ginjal
Ginjal berjumlah dua buah (satu pasang) pada setiap orang. Ginjal terletak
pada bagian retroperitoneal. Ginjal manusia berukuran 11 x 6 x 2,5 cm dengan
berat 150 x 2 gram atau 0,5% dari berat badan. Ginjal terdiri atas bagian korteks
dan medula. Sementara itu, unit fungsional terkecil dari ginjal adalah nefron yang
terdapat pada bagian korteks dan berjumlah sekitar 1 juta dalam satu ginjal.
Nefron terdiri atas tiga bagian, yaitu vaskular, glomerulus, dan tubulus, dengan
penjelasan seperti berikut.
a. Vaskular, yang terdiri atas arteriol aferen (pembuluh darah yang menuju
glomerulus) dan arteriol eferen (pembuluh darah yang meninggalkan
glomerulus).
b. Glomerulus, yang memiliki diameter dengan ukuran 200 μm. Glomerulus
memiliki ciri histologis yaitu, dikelilingi ruang kapsular yang ditutupi selapis sel
epitel pipih kapsul bowman.
c. Tubulus, yang terdiri atas tubulus proksimal, ansa henle, tubulus distal, dan
duktus collecting.
- Tubulus Proksimal memiliki ciri histologis diantaranya terdiri dari sel epitel
selapis kuboid, sel-sel terpulas baik dengan banyak mitokondria, mikrovili
panjang, lumen tertutup
20
- Ansa Henle terbagi menjadi 2, yaitu segmen tipis dan segmen tebal.
Segmen tipis terdiri dari sel epitel selapis pipih dan sedikit mitokondria.
Segmen tebal terdiri dari epitel selapis kuboid, tanpa mikrovili dan banyak
mitokondria.
- Tubulus Distal memiliki ciri histologis diantaranya terdiri dari epitel selapis
kubiod, sel lebih kecil dari tubulus proksimal, mikrvili pendek, lumen lebih
kosong.
- Ductus collecting terbagi menjadi 2, yaitu sel prinsipalis dan sel
interkalaris. Sel prinsipalis memiliki ciri histologis diantaranya jumlahnya
paling banyak, terdiri dari sel epitel kuboid sampai silindris, terpulas lebih
pucat. Sel interkalaris jumlahnya lebih sedikit dan tersebar serta terpulas
21
2. Histopatologi Ginjal
Zat-zat toksik dapat menyebabkan terjadinya nekrosis pada ginjal.
Nekrosis yang paling sering terjadi adalah di tubulus proksimal atau
dapat juga disebut Nekrosis Tubular Akut yang dapat menyebabkan gagal
ginjal akut. Nekrosis Tubular Akut (NTA) adalah suatu lesi ginjal ditandai
dengan adanya destruksi dan nekrosis sel epitel tubulus dan penurunan
akut fungsi ginjal. Secara histopatologi, NTA digambarkan berkurang atau
hilangnya brush border, hilangnya nukleus, terdapat debris nekrotik di
dalam lumen tubulus proksimal dan badan apoptosis. Sel epitel tubulus
proksimal merupakan bagian dari ginjal yang mudah terkena kerusakan
akibat kasus nefrotoksik. Hal ini disebabkan karena epitel tubulus
proksimal lemah dan mudah bocor, sehingga aliran bahan – bahan
nefrotoksik dapat menuju tubulus proksimal ginjal dan mudah
terakumulasi di dalamnya.
B. HEPAR
1. Histologi Hepar
Hepar adalah organ interna paling besar. Pada orang dewasa rata-rata
seberat 1,5 kg atau 2% berat tubuh. Organ ini terletak di kuadran kanan atas
abdomen tepat di bawah diafragma. Hepar memiliki lobus mayor kiri dan kanan
dengan dua lobus inferior yang lebih kecil, sebagian besar dilapisi kapsul tipis dan
22
mesotelium peritoneum visera. Kapsul ini menebal di hilum (porta hepatis) pada
sisi inferior, tempat aliran darah ganda dari vena porta hepar dan arteri hepar
memasuki organ dan tempat vena hepar, limfatik, dan duktus ke luar.
Unsur utama struktur hepar adalah sel hepatosit. Hepatosit berkelompok
dalam susunan-susunan saling berhubungan sedemikian rupa sehingga
membentuk suatu unit struktural, yang dinamakan lobulus hepar. Struktur
lobulus dapat dikelompokkan dalam 3 golongan yang berbeda yaitu lobulus
klasik, saluran portal dan asinus hepar. Ciri-ciri histologis struktur utama hepar
adalah sebagai berikut:
a. Hepatosit; saling bertumpukan dan membentuk lapisan sel,
mempunyai satu atau dua inti yang bulat dengan satu atau lebih
nukleolus.
b. Lobulus klasik; suatu bangun berbentuk heksagonal dengan vena
sentralis sebagai pusat.
c. Saluran portal; bangunan berbentuk segitiga dengan vena sentralis
sebagai sudut-sudutnya dan segitiga Kiernan atau saluran portal
sebagai pusat.
d. Asinus hepar; unit terkecil hepar
23
a b
2. Histopatologi Hepar
Kerusakan hepar secara histologi ditandai dengan adanya perubahan seluler,
berupa perubahan reversibel dan ireversibel. Pola kerusakan sel reversibel dapat
diamati melalui pemeriksaan mikroskopik berupa pembengkakan sel (degenerasi
hidropik) dan perlemakan (steatosis). Degenerasi hidropik merupakan
manifestasi awal pada kerusakan hepatosit. Degenerasi hidropik muncul karena
sel tidak mampu mempertahankan homeostasis ion dan cairan, sehingga
24
mengakibatkan hilangnya fungsi pompa-pompa ion dependen-energi pada
membran plasma. Perubahan morfologi ini lebih mudah diamati bila terjadi
kerusakan yang menyeluruh pada hepar yang dapat menyebabkan kepucatan,
peningkatan turgor dan peningkatan berat hepar. Degenerasi hidropik pada
pemeriksaan mikroskopik terlihat berupa vakuola-vakuola jernih kecil di dalam
sitoplasma. Pembentukan vakuola ini disebabkan oleh adanya segmen-segmen
retikulum endoplasma (RE) yang teregang dan tercabik (Kumar et al., 2009).
2
1
25
Gambar 5: Nekrosis Hepatosit. Keterangan: kepala panah putih = kariolisis;
panah putih = karioreksis; kepala panah hitam = piknosis. Pewarnaan HE,
pembesaran 400x (Mclntosh et al., 2007)
CARA KERJA
Amati preparat di bawah mikroskop dan identifikasi bagian-bagian penyusunnya,
kemudian gambarkan di lembar kerja praktikum.
26
Gambar/sketsa histopatologi ginjal Keterangan
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur C (2012) Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC
Kemp, WL., Burns, DK., Brown, TG (2008) Pathology: the big picture. New York:
McGraw Hill
Mclntosh, MT, Behan, SC, Mohamed, FM, Lu, Z, Moran, KE, Burrage, TG, Neilan,
JG, Ward, GB, Capucci, L, Metwally, SA (2007) A pandemic strain of
27
calicivirus threatens rabbit industries in the Americas’, Virology Journal;
4: 96.
Mescher, Anthony L (2017) Histologi Dasar Junqueira. Edisi 14. Jakarta: EGC
Maulina, Meutia (2018) Zat-zat yang Mempengaruhi Histopatologi Hepar. Aceh:
Unimal Press
28
PERCOBAAN IV
INOKULASI BAKTERI
Tujuan Praktikum
1. Melakukan inokulasi bakteri Staphylococcus aureus ke media agar miring
2. Melakukan uji daya hambat antibiotik golongan β-laktam terhadap
Staphylococcus aureus
3.
Tinjauan Pustaka
Staphylococcus aureus merupakan sel berbentuk bola dengan garis tengah sekitar 1 m
dan tersusun dalam kelompok-kelompok tak beraturan. Pada biakan cair tampak juga
kokus tunggal, berpasangan, berbentuk tetrad dan berbentuk rantai. Kokus muda
bersifat gram positif kuat, sedangkan pada biakan yang lebih tua, banyak sel menjadi
gram negatif. Staphylococcus aureus tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Oleh
pengaruh obat- obat seperti penisilin, Staphylococcusaureus dilisiskan
Dalam rangka mengevaluasi aktivitas antimikroba suatu sediaan antibiotik, salah satu
metode yang banyak digunakan adalah uji daya hambat. Terdapat beberapa metode uji
daya hambat bakteri, diantaranya adalah: metode dilusi, metode difusi, metode cakram,
metode sumuran, dan lain-lain. Dasar pemilihan metode uji aktivitas antimikroba suatu
bahan uji tergantung pada jenis bakteri, sifat bahan uji, serta luaran yang diharapkan
dari penelitian tersebut. Dalam praktikum kali ini akan dilakukan uji daya hambat
sejumlah konsentrasi antibiotik golongan β-laktam terhadap Staphylococcus aureus
menggunakan metode difusi agar dengan cakram, atau yang biasa disebut dengan
metode Kirby-Bauer.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah autoklaf, hot plate-magnetic stirrer,
laminar airflow cabinet, inkubator, neraca digital, kertas timbang, cakram/kertas
Whatmann, labu Erlenmeyer, gelas arloji, spatula, gelas ukur, tabung reaksi, cawan petri,
pinset, jarum ose, cotton swab steril, kapas, plastic wrap, alumunium foil.
29
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Biakan Staphylococcus aureus, injeksi
antibiotik ampisilin, media Nutrien Agar, aquades.
CARA KERJA (ATCC, 2022; HIMEDIA, 2022; Macé et al., 2017)
Pembuatan Media
1. Formula medium NA adalah menurut formulasi Oxoid adalah 28 gram / liter
akuades. Jadi untuk membuat 1 liter / 1000 ml larutan dibutuhkan sebanyak 28
gram medium NA yang dilarutkan kedalam 1 liter akuades.
2. Timbang medium menggunanakan timbangan analitik agar lebih presisi.
3. Larutkan medium ke dalam 1 liter akuades dengan cara dipanaskan pada suhu
80°C sambil diaduk menggunakan alat hot plate and magnetic stirrer. Pastikan
medium larut dengan sempurna dan tidak meninggalkan gumpalan.
4. Masukkan medium kedalam masing-masing tabung erlenmeyer / tabung reaksi
sesuai volume yang diinginkan dan tutup dengan tidak terlalu rapat.
5. Sterilisasi medium menggunakan Autoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 2 Atm
selama 15 menit.
6. Setelah disterilisasi saat medium dalam kondisi masih cair (sekitar suhu 45-50
°C), medium dapat secara langsung dituang ke masing-masing cawan petri
sesuai kebutuhan.
Inokulasi Bakteri pada Media Agar Miring
1. Diambil 1 goresan koloni bakteri Staphylococcus aureus dari kultur stok
menggunakan jarum ose, kemudian goreskan pada permukaan media BHI agar
miring
2. Tutup media menggunakan kapas dan alumunium foil
3. Inkubasi kultur dalam suhu 37°C selama 24 jam
4. Amati pertumbuhan bakteri. Simpan dalam suhu 2-8°C
30
4. Letakkan kertas cakram yang telah berisi rendaman antibiotic di atas permukaan
agar secara tegak lurus menggunakan pinset.
5. Tutup cawan petri secara aseptis dan bungkus dengan plastic wrap
6. Inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam
7. Amati dan ukur zona hambat yang terbentuk
Pustaka
Kebede, D., Admas, A., & Mekonnen, D. (2021). Prevalence and antibiotics susceptibility
profiles of Streptococcus pyogenes among pediatric patients with acute pharyngitis at
Felege Hiwot Comprehensive Specialized Hospital, Northwest Ethiopia. BMC
Microbiology, 21(1), 135. https://doi.org/10.1186/s12866-021-02196-0
Macé, S., Truelstrup Hansen, L., & Rupasinghe, H. P. V. (2017). Anti-Bacterial Activity of
Phenolic Compounds against Streptococcus pyogenes. Medicines, 4(2), 25.
https://doi.org/10.3390/medicines4020025
Kebutuhan Praktikum
1. Biakan murni bakteri Staphylococcus aureus
2. Ampicillin injeksi 1 vial
3. Media Nutrien Agar 100 gram
4. Plastic wrap 1 pack
5. Alumunium foil 1 pack
6. Kapas gulung besar 1 pack
7. Cotton swab steril 1 pack
8. Blank paper disk 1 pack
31
PERCOBAAN V
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
(PENGHITUNGAN ZONA HAMBAT)
PENDAHULUAN
Antibakteri adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk , menghambat
pertumbuhan atau membunuh bakteri. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk
menentukan kemampuan suatu bahan terhadap penghambatan bakteri. Uji bioaktivitas
indikator mikroba sebagai antibakteri menggunakan uji difusi cakram Kirby-Bauer pada
kertas cakram. Zona bening kemudian diukur untuk mengetahui zona hambat terhadap
bakteri uji. Kriteria kekuatan hambat dari bakteri yang digunakan terdiri dari sangat kuat
yaitu zona hambat >20 mm, kuat dengan zona hambat 10-20 mm, sedang dengan zona
hambat 5-10 mm, dan kategori lemah dengan zona hambat <5 mm
Tujuan Praktikum
1. Mengamati pertumbuhan bakteri
Tinjauan Pustaka
32
keunggulan: sederhana, biaya rendah, mampu untuk menguji mikroorganisme dan agen
antimikroba dalam jumlah besar, dan kemudahan untuk menafsirkan hasil yang
diberikan.
Dalam prosedur ini, pelat agar-agar diinokulasi dengan inokulum standar dari
mikroorganisme uji. Lalu, cakram kertas (berdiameter sekitar 6 mm), berisi senyawa uji
pada konsentrasi yang diinginkan, ditempatkan pada permukaan agar-agar. Umumnya,
agen antimikroba berdifusi ke dalam agar dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme uji dan kemudian diameter zona pertumbuhan hambatan diukur.
Antiseptik, Desinfektan, Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cakram berisi
ampisilin dalam biakan Staphylococcus aureus dalam media Mueller Hinton Agar (MHA)
24 jam.
CARA KERJA
1. Semprot tangan dengan Antiseptik
2. Ambil Cawan petri berisi tetrasiklin dalam biakan Staphylococcus aureus dalam
media NA 24 jam.
Zona hambat adalah daerah sekitar kertas cakram yang berwarna bening sebagai tanda
tidak bertumbuhnya bakteri A. actinomycetemcomitans
33
PERCOBAAN V
UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI
(PENGHITUNGAN ZONA HAMBAT)
PENDAHULUAN
Antibakteri adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk , menghambat
pertumbuhan atau membunuh bakteri. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan untuk
menentukan kemampuan suatu bahan terhadap penghambatan bakteri. Uji bioaktivitas
indikator mikroba sebagai antibakteri menggunakan uji difusi cakram Kirby-Bauer pada
kertas cakram. Zona bening kemudian diukur untuk mengetahui zona hambat terhadap
bakteri uji. Kriteria kekuatan hambat dari bakteri yang digunakan terdiri dari sangat kuat
yaitu zona hambat >20 mm, kuat dengan zona hambat 10-20 mm, sedang dengan zona
hambat 5-10 mm, dan kategori lemah dengan zona hambat <5 mm
Tujuan Praktikum
1. Mengamati pertumbuhan bakteri
Tinjauan Pustaka
34
keunggulan: sederhana, biaya rendah, mampu untuk menguji mikroorganisme dan agen
antimikroba dalam jumlah besar, dan kemudahan untuk menafsirkan hasil yang
diberikan.
Dalam prosedur ini, pelat agar-agar diinokulasi dengan inokulum standar dari
mikroorganisme uji. Lalu, cakram kertas (berdiameter sekitar 6 mm), berisi senyawa uji
pada konsentrasi yang diinginkan, ditempatkan pada permukaan agar-agar. Umumnya,
agen antimikroba berdifusi ke dalam agar dan menghambat pertumbuhan
mikroorganisme uji dan kemudian diameter zona pertumbuhan hambatan diukur.
Antiseptik, Desinfektan, Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cakram berisi
tetrasiklin dalam biakan Aggregatibacter actinomycetemcomitans dalam media Mueller
Hinton Agar (MHA) 24 jam.
CARA KERJA
6. Semprot tangan dengan Antiseptik
7. Ambil Cawan petri berisi tetrasiklin dalam biakan Staphylococcus aureus dalam
media NA 24 jam.
35
PERCOBAAN VI
TOKSISITAS AKUT
B. TUJUAN
1. Menentukan dosis awal suatu obat yang diuji toksisitasnya
2. Membuat suspensi luminal yang sesuai dengan hewan coba mencit yang
digunakan
3. Melakukan pengujian toksisitas pada hewan uji
4. Menentukan gejala-gejala toksisitas pada mencit
C. PRINSIP PRAKTIKUM
Didalam kegiatan praktikum tersebut terdiri dari uraian singkat tentang
materi praktikum, kemudian anda akan mendapatkan tahapan-tahapan
dalam melakukan praktikum ini. Tahapan ini akan dibagi menjadi 3 bagian
yaitu (1) persiapan yang memuat alat,bahan dan hewan yang perlu anda
persiapkan dalam melakukan praktikum, (2) pelaksanaan yang memuat
prosedur perlakuan pada hewan coba dan (3) pelaporan yang memuat tabel
yang anda harus sesuai dengan pengamatan yang anda telah lakukan pada
percobaan tersebut.
36
juga digunakan kelompok kontrol tanpa perlakuan tergantung dari jenis
uji toksisitas.
3. Cara Pemberian Sediaan Uji Pada dasarnya pemberian sediaan uji harus
sesuai dengan cara pemberian atau pemaparan yang diterapkan pada
manusia misalnya peroral (PO), topikal, injeksi intravena (IV), injeksi
intraperitoneal (IP), injeksi subkutan (SK), injeksi intrakutan (IK), inhalasi,
melalui rektal dll.
4. Hewan Uji Pada dasarnya pemilihan jenis hewan yang digunakan untuk uji
toksisitas harus dipertimbangkan beberapa faktor seperti sensitivitas,
cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan manusia, kecepatan
tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan
percobaan. Hewan pengerat seperti tikus dan mencit merupakan jenis
hewan yang memenuhi persyaratan tersebut diatas, sehingga paling
banyak digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang digunakan harus
sehat; asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta berat badan harus
jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot
tidak lebih dari 20%.
TOKSISITAS AKUT
Pengujian toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan
diperlukan untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat
setelah pemberian suatu zat dalam dosis tunggal atau dosis berulang yang
diberikan secara dalam waktu tidak lebih dari 24 jam; apabila pemberian
dilakukan secara berulang, maka interval waktu tidak kurang dari 3 jam. Hasil
toksisitas akut dievaluasi berdasarkan kriteria bahaya dari GHS (Globally
Harmonised Classification System for Chemical Substances and Mixtures)
yang tercantum dalam Thirteenth Addendum to The OECD Guidelines for The
Tesing of Chemicals (2001), Kriteria penggolongan menurut OECD (2001)
digunakan untuk penentuan kategori toksisitas akut bahan kimia seperti
pestisida serta untuk pelabelannya.
37
D. METODE KERJA
METODE UJI TOKSISITAS AKUT
Pada awalnya toksistas akut diuji menggunakan metode konvensional,
namun metode ini mempunyai kelemahan yaitu hewan uji yang dibutuhkan
dalam menentukan parameter akhir cukup banyak, dimana bertentangan
dengan animal welfare. Oleh karena itu pada tahun 1984 telah dibuat
metode alternatif dimana hewan yang digunakan jumlahnya lebih sedikit
yaitu metode Up and Down Procedure, Fixed Dose Method dan Toxic Class
Method. Metode Alternatif ini merupakan revisi metode OECD tahun 1984
untuk mendapatkan jalan pintas dalam mengklasifikasikan senyawa kimia.
Pada metode alternatif, hanya menggunakan satu jenis kelamin hewan uji.
Hal ini disebabkan karena dari literatur tidak ada perbedaan nilai LD50 yang
signifikan akibat perbedaan jenis kelamin, tetapi pada keadaan yang
berbeda nilai LD50 umumnya jenis kelamin betina lebih sensitif, maka pada
38
uji alternatif hanya menggunakan hewan betina. Jumlah hewan yang
digunakan pada uji alternatif lebih sedikit dibandingkan dengan metode
konvensional. Dalam pedoman ini hanya dibahas uji toksisitas akut metode
konvensional dan Fixed Dose Method.
METODE KONVENSIONAL
PROSEDUR
Hewan Uji dan Jumlah Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih
(strain Sprague Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c
dan lain-lainnya). Syarat hewan uji adalah sehat, umur 5-6 minggu untuk
mencit, 8-12 minggu untuk tikus. Sekurang-kurangnya 3 kelompok yang
masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor dengan jenis kelamin sama
(jantan atau betina). Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian rupa
sehingga penyebaran berat badan merata untuk semua kelompok dengan
variasi berat badan tidak melebihi 20% dari rata-rata berat badan. Jika
digunakan hewan uji berkelamin betina, maka hewan uji tersebut harus
nullipara dan tidak sedang bunting.
Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 dosis berbeda. Dosis dapat diperoleh dari
literatur resmi. Dosis terendah adalah dosis tertinggi yang sama sekali tidak
menimbulkan kematian, sedangkan dosis tertinggi adalah dosis terendah
yang menimbulkan kematian 100 %. Dengan interval dosis yang mampu
menghasilkan rentang toksisitas dan angka kematian. Dari data ini akan
diperoleh suatu kurva dosis-respon yang dapat digunakan untuk
menghitung nilai LD50.
Batas Uji
Bila hingga dosis 5000 mg/kg BB (pada tikus) tidak menimbulkan kematian,
maka uji tidak perlu dilanjutkan dengan menggunakan dosis bahan uji yang
lebih tinggi
39
yang mati dengan sendirinya atau yang mati dalam keadaan moribound
digabungkan jumlahnya untuk penghitungan nilai LD50
PRINSIP
Sekelompok hewan uji dengan jenis kelamin yang sama diberikan dosis
bertingkat menggunakan metode fixed doses antara lain: 5, 50, 300 dan
2000 mg/kg (dosis dapat ditambah hingga 5000 mg/kg). Dosis awal dipilih
berdasarkan uji pendahuluan sebagai dosis yang dapat menimbulkan gejala
toksisitas ringan tetapi tidak menimbulkan efek toksik yang berat atau
kematian. Prosedur ini dilanjutkan hingga mencapai dosis yang
menimbulkan efek toksik atau ditemukan tidak lebih dari 1 kematian, atau
tidak tampak efek toksik hingga dosis yang tertinggi atau adanya kematian
pada dosis yang lebih rendah.
PROSEDUR
Penyiapan Hewan Uji Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih
(strain Sprague Dawley atau Wistar) atau mencit (strain ddY atau BALB/c
dan lain-lainnya). Umumnya digunakan tikus betina karena sedikit lebih
sensitif dibandingkan tikus jantan. Namun bila bahan uji (menurut literatur)
secara toksikologi atau toksikokinetik menunjukkan bahwa tikus jantan lebih
sensitif, maka jenis kelamin jantan harus digunakan untuk uji. Secara prinsip
jika hewan jantan digunakan maka diperlukan alasan yang kuat.
Kriteria hewan uji meliputi:
a. Hewan sehat dan dewasa
b. Hewan betina harus yang belum pernah beranak dan tidak sedang
bunting.
c. Pada permulaan uji, setiap hewan harus berumur 8-12 minggu dengan
variasi berat badan tidak boleh melebihi 20% dari rata-rata berat badan.
40
Pemberian Sediaan uji dan Volume Pemberian
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan
selama 14-18 jam, namun air minum boleh diberikan; mencit dipuasakan
selama 3-4 jam, air minum boleh diberikan). Setelah dipuasakan, hewan
ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji diberikan dalam dosis
tunggal dengan menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian, sediaan
uji dapat diberikan beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak
boleh melampaui 24 jam. Setelah diberikan perlakuan, pakan boleh
diberikan kembali setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam untuk mencit. Bila
sediaan uji diberikan beberapa kali, maka pakan boleh diberikan setelah
perlakuan tergantung pada lama periode pemberian sediaan uji tersebut.
Volume cairan maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran
hewan uji. Pada rodensia, jumlah normalnya tidak melampaui 1 mL/100 g.
berat badan, namun bila pelarutnya air (aqueous) dapat diberikan hingga 2
mL/100 g berat badan. Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume yang
tetap selama pengujian (konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji
berupa cairan atau campuran cairan, sebaiknya digunakan dalam bentuk
tidak diencerkan (konsentrasi tetap).
Uji Pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji
utama. Dosis awal pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed
dose: 5, 50, 200 dan 2000 mg/kg BB sebagai dosis yang diharapkan dapat
menimbulkan efek toksik (Lampiran 1, 2). Pemeriksaan menggunakan dosis
5000 mg/kg hanya dilakukan bila benar-benar diperlukan. Diperlukan
informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in vivo dan in vitro dari zat-zat
yang mempunyai kesamaan secara kimiawi dan struktur. Jika informasi
tersebut tidak ada, maka dosis awalnya ditentukan sebesar 300 mg/kg BB.
Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya.
41
pemberian antara satu hewan dengan hewan berikutnya harus cukup agar
dapat dilakukan penilaian apakah hewan tersebut akan tetap hidup atau
tidak. Jika hewan ke-3 mati (jika dihitung dari awal merupakan kematian
kedua hewan uji), maka pemberian bahan uji dihentikan dan tidak
diteruskan kepada hewan ke-4 dan ke-5. Berdasarkan Lampiran 2, maka
bahan uji masuk kelompok A (kematian 2 atau lebih), dan berlaku klasifikasi
pada dosis 5 mg/kgBB (Kategori 1 jika ada 2 atau lebih kematian atau
Kategori 2 jika hanya ada 1 kematian).
Uji Utama
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi
kematian pada uji pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan
didasarkan pada waktu terjadinya gejala toksik. Pengujian tidak diteruskan
pada dosis selanjutnya sampai diketahui apakah hewan masih bertahan
hidup atau mati (Lampiran 3, 4). Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan
diambil: menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi
atau melanjutkan uji dengan dosis yang lebih rendah. Pada umumnya,
klasifikasi bahan uji sudah dapat ditentukan pada dosis awal dan uji
selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan sejumlah 5 ekor hewan
uji untuk tiap tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan tersebut terdiri atas 1
ekor hewan dari uji pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan. Interval
waktu antara dosis uji ditentukan oleh onset, lama dan beratnya toksisitas.
Peralihan pemberian bahan uji pada tahap dosis berikutnya harus ditunda
sampai diperoleh petunjuk bahwa hewan uji tersebut bertahan hidup.
Umumnya diperlukan interval waktu peralihan selama 3-4 hari, namun
dapat diperpanjang bila hasilnya tampak meragukan. Sehubungan dengan
animal welfare, bila akan menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg,
dipertimbangkan bahwa dosis tersebut sangat relevan dengan kepentingan
untuk melindungi manusia, hewan atau lingkungan.
Uji Batas
Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg
dan pada uji utama hanya 1 ekor atau tidak ada hewan yang mati pada
tingkat dosis 2000 mg/kg, maka tidak perlu diberikan dosis melampaui 2000
mg/kg.
42
Alat dan Bahan yang digunakan :
Alat yang digunakan:
1. Batang pengaduk
2. Beaker
3. Gelas ukur
4. Hot plate
5. Mixer
6. Spoit 1 ml
7. Spoit oral
8. Stop watch
9. Timbangan berat badan
43
E. HASIL PERCOBAAN
Pengamatan
44
c. Pemeriksaan Patologi Seluruh hewan (termasuk yang mati selama
penelitian maupun yang dimatikan) harus dinekropsi. Semua perubahan
gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji. Pemeriksaan mikroskopik
dari organ yang menunjukkan adanya perubahan secara gross patologi
pada hewan yang bertahan hidup selama 24 jam atau lebih setelah
pemberian dosis awal dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi
yang berguna.
45
46
47
48
PERCOBAAN VII
PERHITUNGAN LETHAL DOSE 50
A. LATAR BELAKANG
Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk
menimbulkan kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan
tubuh yang peka. Untuk dapat mengetahui informasi efek toksik dari suatu
obat atau bahan tertentu, maka dapat diperoleh dari percobaan
menggunakan hewan uji sebagai model yang dirancang pada serangkaian uji
toksisitas yang meliputi uji toksisitas akut oral, toksisitas subkronis oral,
toksisitas kronis oral, teratogenisitas, sensitisasi kulit, iritasi mata, iritasi akut
dermal, iritasi mukosa vagina, toksisitas akut dermal, dan toksisitas
subkronis dermal. Pemilihan uji tersebut, tergantung dari tujuan
penggunaan suatu zat dan kemungkinan terjadinya risiko akibat pemaparan
pada manusia. Banyak faktor dapat mempengaruhi validitas hasil uji
toksisitas diantaranya faktor dari sediaan uji, penyiapan sediaan uji, hewan
uji, dosis, teknik dan prosedur pengujian, serta kemampuan SDM sehingga
sangat diperlukan pemahaman terhadap bermacam-macam faktor tersebut.
ChemDraw adalah suatu aplikasi yang berfungsi untuk menggambar
struktur senyawa baik dalam bentuk 2D atau 3D yang dikembangkan oleh
perusahaan kimia Cambridgesoft. pkCSM merupakan metode baru untuk
memprediksi dan mengoptimalkan sifat farmakokinetik dan toksisitas
molekul kecil yang bergantung pada tanda tangan grafik berbasis jarak.
pkCSM mengadaptasi konsep Pemindaian Cutoff untuk merepresentasikan
struktur molekul kecil dan kimia (dinyatakan sebagai label farmakofor
atomik-node) untuk mewakili dan memprediksi sifat farmakokinetik dan
toksisitasnya, yang membangun 30 prediktor dibagi menjadi lima kelas
utama: absorpsi (tujuh prediktor), distribusi (empat prediktor), metabolisme
(tujuh prediktor), ekskresi (dua prediktor), dan toksisitas
B. TUJUAN
Menentukan nilai toksisitas suatu senyawa menggunakan metode in silico
(computerize)
C. PRINSIP PRAKTIKUM
untuk obat, obat tradisional dan bahan lainnya (Generally Recognized As
Safe/GRAS) seperti bahan pangan, penentuan kategori toksisitas akut
digunakan penggolongan klasifikasi seperti pada tabel berikut
49
D. METODE KERJA
Alat: perangkat keras yaitu satu set laptop
Bahan: struktur senyawa uji
1. Prediksi sifat fisikokimia dan toksisitas senyawa dengan digambar
struktur molekul 2-D dengan aplikasi ChemDraw profesional 16.0,
2. kemudian disalin pada aplikasi ChemDraw 3D 16.0 untuk membuat
struktur 3-D,
3. kemudian senyawa uji disimpan dalam bentuk file *.sdf atau *.pdb.
4. Selanjutnya, senyawa uji diubah dalam bentuk format SMILES dengan
aplikasi ChemDraw profesional 16.0.
5. Kemudian format SMILES senyawa diproses menggunakan software
SwissADME (http://www.swissadme.ch/index.php) untuk memprediksi
sifat fisikokimia senyawa
6. memprediksi toksisitas dari senyawa dengan parameter nilai LD50,
Hepatotoxycity, Ames toxicity dan skin sensitization format SMILES
diproses menggunakan aplikasi pkCSM online tool
(http://biosig.unimelb.edu.au/pkcsm/prediction).
7. memprediksi nilai LD50 beserta kelas toksisitasnya dilakukan pada
aplikasi Protox II Online Tools yang dapat diakses gratis pada situs
https://tox-new.charite.de/protox_II/.
E. HASIL PERCOBAAN
Toksisitas
Senyawa Kelas
Ames Skin LD50
Hepatoxicity Toksisitas
Toxicity Sensitization (mg/kg)
(GHS)
50
51