Anda di halaman 1dari 122

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi

PENUNTUN PRAKTIKUM
FARMAKOLOGI & TOKSIKOLOGI

NAMA MAHASISWA : I GUSTI NGURAH AGUNG ARTAWIJAYA

NIM MAHASISWA : 61608100820037

KELOMPOK : 3 (TIGA)

PRODI SARJANA FARMASI


INSTITUT KESEHATAN MITRA BUNDA
BATAM

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr.Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang dengan karunia NYA

sehingga kami diberikan kemudahan dalam penyusunan buku Panduan Praktikum

Farmakologi & Toksikologi. Maksud penyusunan buku panduan ini adalah untuk

membantu mahasiswa dalam melaksanakan praktikum yang menunjang pemahaman

terhadap teori mata kuliah Farmakologi& Toksikologi yang diberikan dalam

perkuliahan.

Buku ini disusun berdasarkan literatur sebagai bahan acuan. Dalam buku

panduan ini hanya diberi beberapa contoh, sehingga mahasiswa masih perlu mencari

dan mempelajari literatur lain sebagai pendukung. Kami menyadari bahwa dalam

penyusunan buku penuntun ini tentu masih ada kekurangan, sehingga kami

membutuhkan saran, kritik dan masukan dalam penyusunan dan revisi buku ini

selanjutnya. Kami berharap semoga buku panduan praktikum ini bermanfaat.

Batam, Maret 2021

Penyusun

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


BUKU PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI & TOKSIKOLOGI

VISI DAN MISI


INSTITUT KESEHATAN MITRA BUNDA

VISI INSTITUT
Menjadi Institut Kesehatan yang unggul menghasilkan tenaga kesehatan yang
professional dan kompetitif pada tahun 2034

MISI INSTITUT
1. Menyelenggarakan pendidikan kesehatan yang professional untuk mengembangkan
pendidikan yang berorientasi pasar, baik lokal maupun nasional dan menghasilkan
SDM yang mempunyai kemampuan intelektual, teknikal, dan interpersonal di
bidang kesehatan yang mampu bersaing ditingkat lokal dan nasional
2. Menyelenggarakan penelitian yang menghasilkan produk penelitian sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meliputi penelitian dasar,
terapan, dan kebijakan khususnya dibidang kesehatan.
3. Menyelenggarakan pengabdian kepada masyarakat untuk meningkatkan taraf
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
4. Menyelenggarakan kerjasama dengan instansi pendidikan, pelayanan kesehatan di
tingkat lokal, nasional dan global

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


BUKU PENUNTUN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI & TOKSIKOLOGI

VISI DAN MISI


PRODI SARJANA FARMASI
INSTITUT KESEHATAN MITRA BUNDA

VISI PRODI
Menjadi Program Studi Sarjana Farmasi yang Profesional dan Kompetitif Khususnya
dalam Bidang Farmasi Klinis dan Komunitas, mampu Bersaing di Tingkat Nasional
pada Tahun 2029.

MISI PRODI
1. Melaksanakan kegiatan pendidikan yang mampu menghasilkan sumber daya manusia
yang professional khususnya bidang farmasi klinis dan komunitas serta mampu
bersaing ditingkat lokal dan nasional.
2. Melaksanakan kegiatan penelitian dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi khususnya dalam bidang farmasi klinis dan komunitas.
3. Melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat melalui pemberian informasi obat.
4. Menyelenggarakan kerjasama kemitraan dalam mendukung tridharma perguruan
tinggi baik secara nasional maupun internasional.

Tata Tertib Laboratorium Farmakologi & Toksikologi

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


1. Berlaku sopan, santun dan menjunjung etika akademik dalam laboratorium
2. Menjunjung tinggi dan menghargai asisten praktikum, staf laboratorium dan
sesama pengguna laboratorium
3. Menjaga kebersihan dan kenyamanan ruang laboratorium
4. Dilarang menyentuh, menggeser dan menggunakan peralatan di laboratorium
yang tidak sesuai dengan acara praktikum matakuliah yang diambil.
5. Peserta praktikum tidak diperbolehkan merokok, makan dan minum, membuat
kericuhan selama kegiatan praktikum dan di dalam ruang laboratorium
6. Selama kegiatan praktikum, TIDAK BOLEH menggunakan handphone
untuk pembicaraan dan/atau media sosial
7. Jas laboratorium hanya boleh digunakan di dalam laboratorium, dosen / asisten
harus mengenakan jas laboratorium.
8. Mahasiswa hadir tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
9. Peserta praktikum berikut : mengenakan pakaian/kaos oblong , memakai
sandal, tidak memakai jas/pakaian laboratorium; tidak boleh memasuki
laboratorium dan/atau TIDAK BOLEH MENGIKUTI PRAKTIKUM
10. Membersihkan peralatan yang digunakan dalam praktikum maupun penelitian
dan mengembalikannya kepada petugas laboratorium
11. Membaca, memahami dan mengikuti prosedur operasional untuk setiap

peralatan dan kegiatan selama praktikum dan di ruang laboratorium

12. Laporan praktikum diserahkan sebelum praktikum selanjutnya berlangsung,

sebagai syarat untuk praktikum.

13. Asisten harus menyerahkan laporan yang telah diperiksa, sebelum praktikum

selanjutnya berlangsung

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


14. Mahasiswa yang tidak lulus pre test, diberi kesempatan mengulang sekali, jika

tidak lulus lagi tidak boleh mengikuti praktikum.

15. Mahasiswa yang mengalami kejadian luar biasa (kedukaan, sakit dibuktikan

dengan surat dokter) , harap melapor 1 x 24 jam ke dosen penanggung jawab.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Sanksi Praktikum Farmakologi & Toksikologi

1. Mahasiswa yang tidak mematuhi tata tertib poin 1- 6 diberi teguran lisan, tulisan dan

selanjutnya tidak diperbolehkan mengikuti praktikum.

2. Peserta praktikum yang tidak mematuhi tata tertib TIDAK BOLEH masuk dan

mengikuti kegiatan praktikum di ruang laboratorium

3. Peserta praktikum yang datang terlambat (tidak sesuai kesepakatan), tidak memakai jas

lab, tidak memakai sepatu, tidak memakai baju berkerah/kaos berkerah, dan/atau tidak

membawa buku petunjuk praktikum, tetap diperbolehkan masuk laboratorium tetapi

TIDAK BOLEH MENGIKUTI KEGIATAN PRAKTIKUM.

4. Peserta praktikum yang memindahkan dan/atau menggunakan peralatan praktikum tidak

sesuai dengan yang tercantum dalam petunjuk praktikum dan berkas peminjaman alat,

kegiatan praktikum yang dilaksanakan akan dihentikan dan praktikum yang

bersangkutan dibatalkan.

5. Peserta praktikum yang telah dua (2) kali tidak mengikuti acara praktikum dinyatakan

GUGUR dan harus mengulang pada semester berikutnya, kecuali ada keterangan dari

ketua jurusan/kepala laboratorium atau surat dari dokter.

6. Peserta praktikum yang mengumpulkan laporan praktikum terlambat satu (1) hari, tetap

diberikan nilai sebesar 75%, sedangkan keterlambatan lebih dari satu (1) hari, diberikan

nilai 0%.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


7. Plagiat dan kecurangan sejenisnya selama kegiatan praktikum maupun penyusunan

laporan praktikum, pekerjaan dari kegiatan yang bersangkutan diberikan penilaian 25%.

8. Peserta praktikum yang telah menghilangkan, merusak atau memecahkan peralatan

praktikum harus mengganti sesuai dengan spesifikasi alat yang dimaksud, dengan

kesepakatan antara laboran, pembimbing praktikum dan kepala laboratorium.

Presentase pengantian alat yang hilang, rusak atau pecah disesuaikan dengan jenis alat

atau tingkat kerusakan dari alat.

9. Apabila peserta praktikum sampai dengan jangka waktu yang ditentukan tidak bisa

mengganti alat tersebut, maka peserta praktikum TIDAK BOLEH mengikuti ujian

akhir semester (UAS); dan apabila peserta praktikum tidak sanggup mengganti alat

yang hilang, rusak atau pecah dikarenakan harga alat mahal atau alat tidak ada

dipasaran, maka nilai penggantian ditetapkan atas kesepakatan antara ketua prodi,

koordinator laboratorium, pembimbing praktikum dan peserta praktikum (atau

peminjam).

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PANDUAN PENYUSUNAN LAPORAN

1. Jurnal dan laporan praktikum dikerjakan dengan tulisan tangan menggunakan bolpoin
tinta hitam pada Kertas folio bergaris/buku, ditulis timbal balik
2. Laporan lengkap dikerjakan dengan ketikan komputer menggunakan kertas A4 ukuran
70/80 gram, margin 4 kiri, 4 cm atas, 3 cm bawah dan 3 cm kanan
3. Halaman Sampul Jurnal dan laporan

Halaman Awal

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Jurnal Praktikum Farmakologi & Toksikologi

Percobaan .. *)

…………(Judul Percobaan)……………

Hari/Tanggal :

Nama :

NIM :

Kelompok :

Kelas :

Dosen/Asisten :

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

INSTITUT KESEHATAN MITRA BUNDA

BATAM

TAHUN

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


4. Konten Isi Laporan Praktikum
Halaman sampul laporan
a. Tujuan praktikum
b. Landasan teori
c. Alat, bahan dan hewan
d. Prosedur Kerja/ Diagram alir/skema kerja
e. Hasil pengamatan
f. Lembar pengamata (laporan sementara yang telah disetujui oleh dosen
pengampu)
g. Pembahasan yang berisi hasil diskusi dan responsi
h. Kesimpulan
i. Daftar pustaka, yang berisi referensi primer dan sekunder (jurnal dan
Publikasi ilmiah lebih diutamakan)
5. Konten Isi Laporan Lengkap
Halaman Pengesahan
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
Lampiran
Bab I : Pendahuluan
Dalam bab ini terdiri dari 3 unsur yaitu :
1.1 Latar Belakang Praktikum
Memuat hal-hal yang mendasari pentingnya malakukan praktikum ini baik
secara umum sebagai ilmu dalam kefarmasian, maupun secara khusus untuk
memahami matakuliah farmakologi
1.2 Maksud dan Tujuan Praktikum
Memuat maksud dan tujuan praktikum yang dapat terdiri dari tujuan umum
dan khusus
1.3 Prinsip Praktikum
Memuat prinsip dasar dalam melakukan praktikum ini
Bab II : Tinjauan Pustaka
II.1 Landasan Teori
Memuat dasar-dasar teori yang penting diketahui dalam melaksanakan
praktikum ini, serta teori-teori yang diperlukan dalam mambuat
pembahasan hasil praktikum
II.2 Uraian Bahan
Memuat Uraian Bahan yang digunakan (Nama resmi, nama lain, pemerian,
kelarutan, kegunaan, farmakologi, farmakokinetik, dosis, efek samping)
II.3 Uraian Hewan (klasifikasi, anatomi dan morfologi)

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Bab III : Metode Kerja
Bab IV : Hasil Percobaan dan Pembahasan
1. Memuat data-data yang didapat dari hasil percobaan, dibuat sesuai dengan
format lembar praktikum yang terdapat pada akhir modul praktikum
2. Memuat gambar-gambat/tabel/grafik
3. Untuk grafik dibuat dalam milimeter blok
4. Perhitungan
5. Pembahasan
6. Memuat pembahasan hasil praktikum yang meliputi pembahasan data,
analisis hasil perhitungan, menghubungkan dengan teori dan memperkirakan
penyebab terjadinya perbedaan hasil percobaan dan praktikum
Bab V : Kesimpulan
Berisi hal-hal yang disimpulkan dari hasil analisis percobaan dan pembahasan
yang merupakan jawaban dari tujuan praktikum.
Daftar pustaka
Diharapkan daftar pustakan berasal dari sekurang-kurangnya 5 sumber selain
modul Selain format laporan yang diatas anda juga harus menjawab setiap
pertanyaan yang ada di modul praktikum untuk masing-masing judul kegiatan
praktikum.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN I
PENANGANAN HEWAN COBA

Pada percobaan pertama praktikum farmakologi & toksikologi ini terdiri dari 4 (empat)
kegiatan.

A. Pemilihan Hewan Coba


I. Tujuan Percobaan
Untuk mengukur tingkat kesehatan hewan uji mencit (mus musculus) dengan metode
BCS (Body Condition Scoring )

II. Landasan Teori


Untuk mendapatkan penelitian ilmiah yang baik, maka semua aspek dalam
protokol penelitian harus direncanakan dengan seksama, termasuk dalam pemilihan
hewan percobaan, penting untuk memastikan bahwa penggunaan hewan percobaan
merupakan pilihan terakhir dimana tidak terdapat cara lain yang bisa menggantikannya
Rustiawan menguraikan beberapa alasan mengapa hewan percobaan tetap
diperlukan dalam penelitian khususnya di bidang kesehatan, pangan dan gizi antara lain:
a) keragaman dari subjek penelitian dapat diminimalisasi,
b) variabel penelitian lebih mudah dikontrol,
c) daur hidup relatif pendek sehingga dapat dilakukan penelitian yang bersifat
d) multigenerasi,
e) pemilihan jenis hewan dapat disesuaikan dengan kepekaan hewan terhadap materi
f) penelitian yang dilakukan,
g) biaya relatif murah,
h) dapat dilakukan pada penelitian yang berisiko tinggi,
i) mendapatkan informasi lebih mendalam dari penelitian yang dilakukan karena kita
j) dapat membuat sediaan biologi dari organ hewan yang digunakan,
k) memperoleh data maksimum untuk keperluan penelitian simulasi, dan
l) dapat digunakan untuk uji keamanan, diagnostik dan toksisitas

Berdasarkan tujuan penggunaan hewan uji, maka hewan uji dapat diklasifikasikan
menjadi :
a) Exploratory (penyelidikan) Hewan Uji ini digunakan untuk memahami mekanisme
biologis, apakah termasuk mekanisme dasar yang normal atau mekanisme yang
berhubungan dengan fungsi biologis yang abnormal.
b) Explanatory (penjelasan) Hewan Uji ini digunakan untuk memahami lebih banyak
masalah biologis yang kompleks.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


c) Predictive (perkiraan) Hewan Uji ini digunakan untuk menentukan dan mengukur
akibat dari perlakuan, apakah sebagai cara untuk pengobatan penyakit atau untuk
memperkirakan tingkat toksisitas suatu senyawa kimia yang diberikan.

Agar tujuan dari percobaan tercapai dengan baik, secara efektif dan efisien maka
didalam memilih hewan percobaan penting untuk mempertimbangkan beberapa faktor
berikut :
a) Apakah hewan percobaan tersebut memiliki fungsi fisiologi, metabolik dan prilaku
serta proses penyakit yang sesuai dengan subyek manusia atau hewan lain dimana
hasil penelitian tersebut akan digunakan
b) Apakah dari sisi karakteristik biologi maupun prilaku hewan tersebut cocok dengan
rencana penelitian atau percobaan yang dilakukan (misalnya cara penanganan, lama
hidup, kecepatan berkembang biak, tempat hidup dsb.). hal ini sangat berguna alam
pelaksanaan penelitian atau percobaan dengan hewan
c) Apakah tinjauan kritis dari literatur ilmiah menunjukkan spesies tersebut telah
memberikan hasil yang terbaik untuk penelitian sejenis atau termasuk hewan yang
paling sering digunakan untuk penelitian yang sejenis.
d) Apakah spesimen organ atau jaringan yang akan digunakan dalam penelitian itu
mencukupi pada hewan tersebut dan dapat diambil dengan prosedur yang
memungkinkan.
e) Apakah hewan yang akan digunakan dalam penelitian memiliki standar yang tinggi
baik secara genetik maupun mikrobiologi.

Respon yang digunakan oleh suatu senyawa sering bervariasi karena jenis yang
berbeda dan hewan yang sama. Oleh karena itu hewan uji yang akan digunakan dipilih
berdasarkan umur, jenis kelamin, berat badan, Kondisi kesehatan dan keturunan. Hewan
uji yang digunakan harus selalu berada dalam kondisi dan tingkat kesehatan yang baik,
dalam hal ini hewan uji yang digunakan dikatakan sehat bila pada periode pengamatan
bobot badannya bertambah tetap atau berkurang tidak lebih dari 10% serta tidak ada
kelainan dalam tingkah laku dan harus diamati satu minggu dalam laboratorium atau
pusat pemeliharaan hewan sebelum ujinya berlangsung
Selain kriteria yang disebutkan diatas maka hewan uji sedapat mungkin bebas dari
mikroorganisme patogen, karena adanya mikroorganisme patogen pada tubuh hewan
sangat mengganggu jalannya reaksi pada pemeriksaan penelitian, sehingga dari segi
ilmiah hasilnya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, berdasarkan
tingkatan kontaminasi mikroorganisme patogen, hewan percobaan digolongkan menjadi
hewan percobaan konvensional, specified pathogen free (SPF) dan gnotobiotic. Selain
itu hewan sebaiknya menggunakan hewan yang mempunyai kemampuan dalam

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


memberikan reaksi imunitas yang baik. Hal ini ada hubungannya dengan persyaratan
pertama.
Dalam penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus
diterapkan prinsip 3 R dalam protokol penelitian, yaitu: replacement, reduction, dan
refinement Replacement adalah banyaknya hewan percobaan yang perlu digunakan
sudah diperhitungkan secara seksama, baik dari penelitian sejenis yang sebelumnya,
maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh
mahluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. Replacement terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: relatif (sebisa mungkin mengganti hewan percobaan dengan memakai
organ/jaringan hewan dari rumah potong atau hewan dari ordo lebih rendah) dan absolut
(mengganti hewan percobaan dengan kultur sel, jaringan, atau program komputer).
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian seminimal
mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimal biasa dihitung
menggunakan rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah jumlah hewan yang
diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan. Kelemahan dari rumus ini adalah
semakin sedikit kelompok penelitian, semakin banyak jumlah hewan yang diperlukan,
serta sebaliknya. Untuk mengatasinya, diperlukan penggunaan desain statistik yang
tepat agar didapatkan hasil penelitian yang sahih.
Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi
(humane), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta
meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan hewan
coba sampai akhir penelitian.
Didalam penelitian, ada beberapa hewan uji yang sering digunakan, yakni tikus,
kelinci, dan primata. Permasalahannya adalah tidak sembarang hewan uji bisa
digunakan untuk penelitian. Hewan hewan uji tersebut harus memenuhi beberapa
kriteria sehingga hewan uji dapat dikatakan sesuai untuk fungsi atau penyakit yang di
jadikan obyek penelitian kita. Berikut beberapa spesies hewan uji beserta
karakteristiknya serta seringnya peneliti menggunakannya.
1. Rodent (binatang pengerat)
Hewan pengerat yang yang digolongkan sebagai tikus, telah digunakan sebagai
hewan laboratorium selama lebih dari 100 tahun. Beberapa, jenis tikus telah mengalami
perubahan genetik untuk meminimalkan dan mengendalikan variabel asing yang dapat
mengubah hasil penelitian dan untuk keperluan penelitian. tikus juga merupakan hewan
yang reprodusible sehingga tersedia dalam jumlah yang cukup untuk penelitian yang
memerlukan banyak hewan coba. Terdapat berbagai macam jenis tikus diantaranya :
a) Tikus Biobreeding
Tikus ini merupakan tikus rentan terkena DM tipe 1, sehingga tikus ini banya
digunakan dan banyak berperan dalam penemuan obat DM tipe 1

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


b) Tikus Putih Galur Sprague Dawley
Keuntungan utama pada hewan ini adalah ketenangan dan kemudahan penanganan
(jinak), Berat dewasa antara 250-300 g untuk betina, dan 450 – 520 g untuk jantan.
Usia hidup antara 2, 5 – 3, 5 tahun. Ekornya lebih panjang daripada tikus galur
wistar,berkembang biak dengan cepat. Tikus ini paling banyak digunakan dalam
penelitian – penelitian biomedis seperti toksikologi, uji efikasi dan keamanan, uji
reproduksi, uji behavior/perilaku, aging, teratogenik, onkologi, nutrisi, dan uji
farmakologi lainnya. Contoh contoh penelitian yang dilakukan antara lain Studi
infeksi maternal dan fetal, Studi efek diet pre-natal tinggi garam pada keturunan ,
studi efek status seks dan hormonal pada stress yang diinduksi kerusakan memori,
Studi gen ostocalcin spesifik stulang pada tikus, dan Studi eksitabilitas hippocampus
selama siklus estrus pada tikus. Tikus ini pertama dihasilkan oleh peternakan Sprague
Dawley- (kemudian menjadi Sprague Dawley-Animal Perusahaan) di Madison,
Wisconsin pada tahun 1925
c) Tikus Putih Galur Wistar
Tikus galur wistar memiliki bobot yang lebih ringan dan lebih galak daripada galur
Sprague dawley. Tikus ini banyak digunakan pada penelitian toksikologi, penyakit
infeksi, uji efikasi, dan aging.
d) Tikus Mungil Alias Mencit
Mencit berbeda dengan tikus, dimana ukurannya mini, berkembang biak sangat
cepat, dan 99% gennya mirip dengan manusia. Oleh karena itu mencit sangat
representative jika digunakan sebagai model penyakit genetic manusia (bawaan).
Selain itu, mencit juga sangat mudah untuk di rekayasa genetiknya sehingga
menghasilkan model yang sesuai untuk berbagai macam penyakit manusia. Selain
itu, mencit juga lebih menguntungkan dalam hal kemudahan penanganan, tempat
penyimpanan, serta harganya yang relatif lebih murah.
2. Kelinci
Kelinci juga merupakan hewan uji yang sering digunakan selain tikus. Contohnya
kelinci albino Hewan ini biasanya digunakan untuk uji iritasi mata karena kelinci
memiliki air mata lebih sedikit daripada hewan lain dan sedikitnya pigmen dimata
karena warna albinonya menjadikan efek yang dihasilkan mudah untuk diamati.
Selain itu, kelinci juga banyak digunakan untuk menghasilkan antibody poliklonal.

Body Condition Scoring (BCS)


Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomendasikan
penggunaan. Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai endpoint klinis hewan. BCS
merupakan penilaian yang cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai kondisi fisik
hewan. Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis yang lebih baik daripada berat
badan. Penggunaan berat badan saja tidak dapat membedakan antara lemak tubuh atau

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


simpanan otot. Berat badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal
(misalnya pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau
pada kondisi normal (misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan telah kehilangan
berat badan lebih dari 20% namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai
3 (BCS 3) maka mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia segera. Dengan demikian,
BCS adalah penanda yang lebih komprehensif dan akurat untuk kesehatan hewan
dibandingkan kehilangan berat badan.
Nilai BCS yang kurang dari 2 biasanya akan dianggap sebagai titik akhir klinis.
Endpoint klinis lain juga dapat dilaporkan seperti penurunan perilaku eksplorasi,
keengganan untuk bergerak (penurunan penggerak / mobilitas), postur membungkuk,
piloereksi (rambut berdiri), dehidrasi sedang hingga berat (mata cekung, lesu), nyeri tak
henti-hentinya (misalnya distress vokalisasi).

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


III. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan :
a) Sarung Tangan
b) Kandang Mencit
c) Alat pelidung diri

Hewan yang digunakan :


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g- 30
g berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Percobaan


Pengukuran kesehatan mencit dengan meraba bagian tulang sacroiliac (tulang antara
tulang belakang hingga ke tulang kemaluan) dengan dengan menggunakan jari dan
mencocokannya dengan nilai BSC

V. Prosedur Kerja
a) Siapkan 5 ekor mencit
b) Letakkan satu ekor mencit di atas kandang yang terbuat dari kawat
c) Biarkan mencit dalam posisi istirahat
d) Amatilah kondisi tulang belakang mencit hingga ke tulang dekat kemaluan (bokong)
e) Secara perlahan-lahan sentulah (rabalah) bagian tulang belakang hingga ke tulang
bokong
f) Catatlah hasil pengamatan dan perabaan serta ulangi untuk 4 mencit yang lain.

VI. Tugas Pendahuluan


1) Pada percobaan untuk menguji efek atropin, maka hewan kelinci tidak cocok untuk
percobaan tersebut, jelaskan kenapa sebabnya
2) Kenapa hewan dengan jenis kelamin betina, tidak direkomendasikan untuk banyak
jenis percobaan
3) Se beberapa alasan mengapa sampai saat ini hewan masih sering digunakan dalam
penelitian dan percobaan
4) Faktor yang penting dipertimbangkan dalam memilih hewan uji
5) Penelitian kesehatan yang memanfaatkan hewan coba, juga harus diterapkan prinsip
6) Sebutkan kelebihan mencit sebagai hewan uji

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VII. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum :
Kelompok :
Asisten Pengawas :

Data pengamatan dan hasil perabaan pada mencit

Hasil
No Mencit Berat badan
Pengamatan Perabaan
1
2
3
4
5

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


B. Pemiliharaan Hewan Percobaan

I. Tujuan Percobaan
Untuk Menghitungan perubahan berat badan mencit (mus musculus) dalam masa
adaptasi selama 5 (lima) hari

II. Landasan Teori


Penelitian ilmiah yang baik dimana digunakan hewan sebagai objek ataupun
model kajian, maka tata kerjanya dievaluasi oleh Komisi Etik Penggunaan Hewan. Oleh
karena itu, penggunaan hewan dalam kegiatan laboratorium pendidikan (praktikum)
perlu selaras tata caranya dan memenuhi kriteria etika penggunaan hewan percobaan.

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian tetap harus dijaga hak-haknya yang
dikenal sebagai Animal Welfare seperti yang tercantum dalam five of freedom yang
terdiri dari 5 kebebasan yaitu :
a) Freedom from hunger and thirst.
Bebas dari rasa lapar dan haus, maksudnya adalah hewan harus diberikan pangan
yang sesuai dengan jenis hewan dalam jumlah yang proporsional, hiegenis dan
disertai dengan kandungan gizi yang cukup
b) Freedom from thermal and physical discomfort.
Hewan bebas dari kepanasan dan ketidak nyamanan fisik dengan menyediakan
tempat tinggal yang sesuai dengan prilaku hewan tersebut
c) Freedom from injury, disease and pain.
Hewan harus bebas dari luka, penyakit dan rasa sakit dengan melakukan perawatan,
tindakan untuk pencegahan penyakit, diagnosa penyakit serta pengobatan yang tepat
terhadap binatang peliharaan
d) Freedom to express most normal pattern of behavior.
Hewan harus bebas mengekspresikan perilaku norml dan alami dengan menyediakan
kandang yang sesuai baik ukuran maupun bentuk, termasuk penyediaan teman
(binatang sejenis) atau bahkan pasangan untuk berinteraksi sosial maupun
melakukan perkawinan.
e) Freedom from fear and distresss.
Hewan bebas dari rasa takut dan penderitaan dilakukan dengan memastikan bahwa
kondisi dan perlakuan yang diterima hewan peliharaan bebas dari segala hal yang
menyebabkan rasa takut dan stress seperti konflik dengan spesies lain dan gangguan
dari predator.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan dititik beratkan pada:
a) Kondisi bangunan
Terkadang di dalam penelitian hewan uji ditempatkan dalam kandang. Namun perlu
diingat kondisi dan ukuran kandang sangat menentukan kondisi hewan percobaan,
karena bentuk,ukuran serta bahan yang dipakai merupakan elemen dalam physical
environment bagi hewan percobaan. Kandang harus dirancang sedemikian rupa
sehingga hewan dapat hidup dengan tenang, tidak terlalu lembab, dapat
menghasilkan peredaran udara yang baik, suhu cocok, ventilasi lengkap dengan
insect proof screen (kawat nyamuk).
b) Sanitasi
Kandang yang digunakan dalam menempatkan hewan ujii memiliki sistem sanitasi
yang baik, sestim drainase yang baik, dan terjaga kebersihan dengan baik, misalnya
dengan desinfektan (lysol 3-5%). Di samping itu perlunya mengenakan lab jas
(Protective clothing) atau peralatan proteksi lainnya seperti masker dan sebagainya.
c) Tersedianya makanan
Tersedianya makanan untuk hewan percobaan yang bernutrisi dan dalam jumlah
yang cukup. Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab,
diusahakan bebas dari insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan adanya
ini dapat merupakan petunjuk adanya kerusakan bahan makanan hewan
d) Kebutuhan air
Kebutuhan air dapat diperoleh oleh hewan dengan mudah dan lancar dan usahakan
tidak terlalu tinggi kandungan mineralnya serta bersih, dan tidak membasahi kandang
hewan tersebut
e) Sirkulasi udara
Dengan adanya sistim ventilasi yang baik, sehingga sirkulasi udara dapat diatur, lebih
baik lagi bila dipasang exhaust fan sehingga sirkulasi udara menjadi terkontrol.
f) Penerangan
Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi hewan,
perlu diperhatikan siklus terang dan gelap karena pada beberapa hewan siklus estrus
(siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh penerangan dan bila tidak terdapat
penerangan akan menyebabkan terhambatnya proses reproduksi.
g) Kelembaban dan temperatur ruangan
Suhu dan kelembaban ruangan merupakan komponen penting dari lingkungan semua
hewan karena secara langsung mempengaruhi kemampuan hewan untuk mengatur
panas internalnya. kehilangan panas pada hewan dapat menyebabkan hewan menjadi
pingsan, bukan dengan cara berkeringat. Adapun kelembaban dan temperatur

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


ruangan yang direkomendasikan bagi masing-masing hewan percobaan masing-
masing berbeda misalnya tikus pada suhu 300C, dan kelinci pada suhu 250-280C

h) Keamanan
Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi
penyakit baik yang berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha
pencegahan tidak diperkenankan semua orang boleh menyentuh atau mengeluarkan
hewan hewan dari kandang (lebih-lebih bila hewannya adalah bebas kuman atau yang
disebut dengan Germ Free Animals) tanpa suatu keperluan apapun.
i) Training/kursus bagi personil
Dalam program pemeliharaan hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih dan
berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut hewan percobaan dapat
melibatkan banyak aspek ilmu, sehingga diperlukan sekali adanya kursus baik
tenaga administrasi maupun tenaga teknis.

Cara Memberi Kode Binatang


Sering kali diperlukan tanda untuk mengidentifikasi binatang yang terdapat dalam suatu
kelompok atau kandang.Sehingga binatang-binatang percobaan perlu diberi kode.Gunakan
larutan 10% asam pikrat dalam air dan sebuah sikat atau kuas.
Punggung binatang dibagi menjadi tiga bagian:
a. Bagian kanan menunjukkan angka satuan
b. Bagian tengah menunjukkan angka puluhan
c. Bagian kiri menunjukkan angka ratusan
Untuk jelasnya, dapat dilihat pada gambar 1 dibawah ini

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


III. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan
1) Kandang Mencit
2) Alat pelidung diri
3) Sumber cahaya

Bahan yang digunakan


1) Pakan normal mencit
2) Air minum

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g-
30 g berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Kerja


Perubahan berat badan mencit (mus musculus) dapat ditentukan dengan persen selisih
berat badan sebelum adaptasi dan sesudah adaptasi.

V. Prosedur Kerja
1) Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit jatan sebanyak 10 ekor.
2) Hewan percobaan kemudian ditimbang berat badannya dan dikelompokkan menjadi
2 kelompok dan masing–masing kelompok terdiri dari 5 ekor.
3) Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda.
4) Mencit diaklimatisasi selama 7 hari dengan pemberian makan dengan pakan reguler
dan air minum
5) Mencit dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar sama, tapi dengan siklus cahaya
terang : gelap yang berbeda dimana kelompok I dengan siklus cahaya terang : gelap
(14:10) dan kelompok II dengan siklus terang : gelap (10 : 14)
6) Setelah 7 hari mencit kemudian di timbang berat badannya dan dicatat
7) Hitunglah persen perubahan berat badan sebelum dan sesudah perlakuan

VI. Tugas Pendahuluan


1. Buatlah suatu uraian singkat tentang peranan komisi etik penelitian, peneliti dan
hewan uji dalam proses penelitian ?
2. Sebutkan lima kebebasan Animal welfere ?
3. Apa yang dimaksud dengan Freedom from hunger and thirst ?
4. Jelaskan prosedur kerja secara singkat
5. Dalam memelihara hewan percobaan maka dititikberatkan pada ?

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


6. Keuntungan bagi hewan coba bila petugas menggunakan jas laboratorium dalam
menangani mencit ?

VII. Lembar Kerja


DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum :
Kelompok :
Asisten Pengawas :

Data pengamatan dari hasil percobaan

Berat Badan (gram) Persen


Kelompok Mencit
Sebelum Sesudah perubahan
1
2
I 3
4
5
1
2
II 3
4
5

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


C. Cara Pemberian Obat dan Pengambilan Spesimen Sampel Hewan Coba

I. Tujuan Percobaan
Melalui praktikum ini diharapkan praktikan mampu memegang, memberikan
perlakukan dan mengambil sampel cairan dari hewan uji mencit, tikus dan kelinci
dengan benar.

II. Landasan Teori


Melalui kegiatan praktikum ini, akan membantu praktikan untuk dapat
memberikan obat kepada hewan uji dengan berbagai jalur pemberian dan melalui
kegiatan praktikum ini pula apraktikan mampu untuk mengambil spesimen sampel
hewan uji. Kedua kemampuan tadi diperlukan agar hewan coba terlindung dari rasa sakit
selain itu dosis yang diberikan hewan coba juga sesuai dan kemampuan ini penting
untuk melakukan percobaan-percobaan pada praktikum yang berikutnya.
Sebelum praktikan mampu memberikan obat dan mangambil spesimen pada
hewan uji, anda dituntut untuk mampu memegang dan mengendalikan hewan uji dengan
benar, hewan uji terlindung dari rasa sakit dan cedera yang didapat bila hewan tersebut
dipegang dengan benar, selain itu bila hewan tersebut tidak dipegang dengan benar,
maka hewan tersebut dapat melukai anda.

Pemberian Obat Pada Hewan Coba


A. Alat suntik
1. Tabung dan jarum suntik harus steril jika akan digunakan pada kelinci, marmot,
dan anjing. Tetapi tidak perlu steril melainkan sangat bersih untuk tikus dan
mencit.
2. Setelah penyuntikan, cuci tabung dan jarum suntik tersebut, semprotkan cairan ke
dalam gelas beker, dan jarum dipegang erat-erat. Ulangi cara ini tiga kali.

B. Heparinasi
1. Untuk hepariansi (mencegah darah menggumpal) dipakai 10 unit heparin per 1 ml
darah.
2. Untuk mencegah penggumpalan darah, sebelum dipakai tabung dan jarum suntik
dicuci dahulu dengan larutan jenuh natrium oksalat steril.

Pemberian obat
1. Pemberian per-oral
• Kelinci dan marmot
Cairan diberikan dengan pertongan kateter yang menggunakan mouth
block.Mouth block dipasang ketika binatang dalam posisi duduk. Mouth block

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


adalah pipa kayu yang berbentuk silinder (panjang sekitar 12 cm, diameter luar 3
cm, diameter lubang 7 mm). Sewaktu memasang mouth block tekan rahang
binatang dengan ibu jari dan telunjuk.
Celupkan kateter karet ke dalam parafin cair, lalu masukkan kateter ke dalam
oesofagus melalui lubang mounth block.Kateter harus dimasukkan sekitar 20-25
cm (ditandani kateter pada 25 cm).Untuk memeriksa apakah kateter masuk
oesofagus dan bukan trakea, celupkan ujung luar kateter ke dalam air. Jika timbul
gelembung-gelembung udara, berarti kateter tersebut tidak masuk oesofagus.
Bentuk obat padat ( tablet, puder, atau kapsul) diberikan kepada binatang pada
pisisi duduk dengan pertolongan pipa plastik dan alat pendorong. Pipa tersebut
dimasukkan ke dalam pharynk, dan obat didorong masuk.
• Tikus dan mencit
Obat-obat dalam bentuk suspensi, larutan, atau emulsi. Kepada tikus dan
mencit dilakukan dengan pertolongan jarum suntik yang ujungnya tumpul (bentuk
bola).

2. Pemberian secara intravena (i.v)


• Kelinci
Bulu-bulu telinga disekitar pembuluh darah vena marginalis dicabut, lalu
digosok dengan kapas yang dibasahi xilol, atau dipanasi sedikit dengan api. Tekan
pembuluh darah tersebut dipangkal telinga (dekat kepala). Jarum suntik berikut
obatnya dimasukkan pelan-pelan searah dengan aliran darah vena dengan bevel
mengahadap ke atas. Untuk dmemastikan jarum telah terinserasi ke dalam vena
dengan benar lakukan aspirasi perlahan-lahan. Kemudian putar jarum pelan-pelan
sehingga bevel menghadap ke bawah. Gunakan jarum yang panjangnya 0,5 inchi
dengban ukuran 26 gauge. Setelah penyuntikan, bekas suntikan ditekan dengan
kapas bersih dengan pertolongan penjepit.

3. Pemberian secara intraperitonial (i.p.)


• Kelinci
Pegang tengkuk kelinci dengan kuat dan didorong pelan-pelan ditekan
sehingga kepala mendongkak kebelakang.Teman sekerja menginjeksi obat ke
belakang ¼ kiri bawah daerah abdominal dengan jarum yang membentuk sudut
45o.Gunakan jarum yang panjang 1 inchi dengan ukuran 22 gauge.
• Tikus dan mencit
Peganglah tikus/mencit pada ekornya dengan tangan kanan biarkan mereka
mencengkram anyaman kawar dengan kaki depannya.Dengan tangan kiri jepitlah
tengkuk tikus/mencit diantara jari telunjuk dan jari tengah (bisa juga dengan jari
telunjuk dan ibu jari).Pindahkan ekor tikus dari tangan kanan ke jari kelingking

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


tangan kiri.Tikus/mencit siap diinjeksik pada abdominal area.Gunakan jarung 5/8
inchi 24 gauge.

Kekerabatan Waktu Pemejanan Pada Hewan Uji Dengan Kesetaraannya Pada


Manusia

Pada uji farmakologi, sediaan uji yang diberikan dengan frekuensi sekali sehari (single
dose), meskipun pada kasus-kasus tertentu dosis berulang (muliple dose). Lama pemberian
sediaan uji sangat bergantung dengan tujuan percobaan farmakologi. Hal tersebut
mempertimbangkan penggunaan obat uji pada manusia. Oleh karena itu diperlukan
kekerabatan waktu pemejanan senyawa uji pada hewan percobaan, masa hidup hewan
percobaan dan kesetaraannya pada manusia.

Tabel IV. Kekerabatan waktu pemejanan senyawa uji pada hewan percobaan, masa
hidup, dan kesetaraannya pada manusia (Benitz, 1970)

Tikus Kelinci Anjing Kera


Lama uji Masa Setara Masa Setara Masa Setara Masa Setara
(bln) hidup dengan hidup dengan hidup dengan hidup dengan
(%) (bln) (%) (bln (%) (bln (%) (bln)

1 4,1 34 1,5 12 0,82 6,5 1,55 4,5


2 8,2 67 3,0 24 1,6 14 1,1 9
3 12 101 4,5 36 2,5 20 1,6 13
6 25 202 9,00 72 4,9 40 3,3 27
12 49 404 18 145 9,8 81 6,6 53
24 99 808 36 289 20 162 13 107

III. Alat dan hewan


Alat yang digunakan
1. Masker
2. Sarung tangan
3. Kandang restrain
4. Spoit oral
5. Spoit 1 ml

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Hewan uji yang digunakan
1. Mencit
2. Tikus
3. kelinci

IV. Prinsip Percobaan


Hewan percobaan dipegang, diberi perlakukan dan diambil sampel cairannya dengan
benar sehingga hewan tetap tenang,sehat dan merasa aman

V. Prosedur Kerja
Sebelum memegang mencit dan hewan lainnya sebaiknya menggunakan alat pelindung
diri yang berupa baju laboratorium, sarung tangan, dan masker. Bila memiliki riwayat
alergi dengan hewan yang digunakan dalam percobaan ini, segeralah melapor kepada
dosen pengampu .

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
VI. Tugas Pendahuluan
1. Jelaskan masing-masing rute cara pemberian obat pada mencit ?
2. Jelaskan masing-masing rute cara pemberian obat pada kelinci ?
3. Apa saja yang harus dilakukan untuk mengurangi stress pada mencit ?

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


4. Apa saja yang harus dilakukan agar kelinci tetap tenang saat akan digunakan
untuk praktikum?

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
VI.Tugas Pendahuluan
1. Tuliskan Judul, Tujuan dan Manfaat Percobaan !
2. Tuliskan klasifikasi dari setiap hewan coba di atas ?
3. Tuliskan dan jelaskan Macam-Macam Rute Pemberian Obat !
4. Menurut Anda Bagaimana pengaruh rute pemberian terhadap
keberhasilan Terapi Obat?

VII.Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum :
Kelompok :
Asisten Pengawas :
Data pengamatan hasil praktikum
Hewan coba
Cara pemberian Vol Pemberian
Jenis Berat

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


D. Cara Menganestesi dan Mengorbakan Hewan Coba

A. Tujuan Percobaan
Melakukan anastesi dan euthanasia pada hewan coba yang memenuhi syarat

II. Landasan Teori


Cara Menganestesi
Anestesi adalah keadaan ketidaksadaran yang diinduksi pada hewan. Anastesi
diperlukan terutama sebelum hewan itu dibedah, ada tiga tahapan anestesi yaitu
analgesia (penghilang rasa sakit), amnesia (hilangnya memori) dan imobilisasi. Obat
yang digunakan untuk mencapai anestesi biasanya memiliki efek yang berbeda-beda.
Beberapa obat dapat digunakan secara individual untuk mencapai semua komponen
anastesi, lainnya hanya dapat bersifat analgesik atau sedatif dan dapat digunakan secara
individual atau dalam kombinasi dengan obat lain untuk mencapai anestesi penuh.
Relaksan otot rangka seperti Curariform atau beta bloker neuromuskuler
(misalnya suksinilkolin, decamethonium, curare, galamin, pancuronium) tidak
digunakan untuk anestesi dan tidak memiliki efek analgesik. Mereka hanya dapat
digunakan bersama dengan anestesi umum. Biasanya, diperlukan pernapasan buatan.
pemantauan fisiologis juga harus digunakan untuk menilai kedalaman anestesi, dimanaa
metode refleks normal tidak akan dapat diandalkan.

MengorbDankan Hewan Percobaan


Percobaan dengan hewan biasanya akan berakhir dengan mematikan hewan
tersebut, baik karena akan diambil organ in vitro nya selama atau pada akhir percobaan
(misalnya pengamatan histologi paru), untuk menilai bagaimana efek obat (misalnya
efek toksik obat), atau karena hewn tersebut mengalami penderitaan atau sakit dan cacat
yang tidak mungkin sembuh lagi.
Istilah mematikan hewan uji dikenal sebagai euthanasia, yaitu suatu proses
dengan cara bagaimana seekor hewan di bunuh dengan menggunakan teknis yang dapat
diterima secara manusiawi. Hal ini berarti hewan mati dengan mudah, cepat, tenang
dengan rasa sakit yang sedikit mungkin.

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Kadang restrain
2. Penggaris
3. Timbangan berat badan

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Bahan yang digunakan
1. Alkohol 70%
2. Eter
3. Etil Karbamat
4. Haloten
5. Natrium fenobarbital

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal, berumur antara 6 – 8
minggu.
1. Untuk percobaan euthanasia gunakan mencit yang memenuhi syarat untuk
dikorbankan yaitu jika suatu hewan telah kehilangan berat badan lebih dari 20%,
penurunan perilaku eksplorasi, keengganan untuk bergerak (penurunan penggerak
/ mobilitas), postur membungkuk, piloereksi (rambut berdiri), dehidrasi sedang
hingga berat (mata cekung, lesu), nyeri tak henti-hentinya (misalnya distress
vokalisasi).
2. Untuk percobaan anastesi gunakan hewan yang sehat

IV. Prosedur Kerja


1. Cara meng-anastesi mencit
Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk anestesi adalah:
Eter, Eter dapat digunakan untuk anestesi waktu singkat. eter diletakkan diatas
kapas dan dimasukkan dalam suatu wadah tertutup kedap, kemudian hewan
ditempatkan dalam wadah terebut dan ditutup. Didalam menggunakan eter
sebaiknya anda menggunakan masker untuk mencegah anda menghirup uap eter
tesebut. Saat hewan sudah kehilangan kesadaran, hewan dikeluarkan dan siap
dibedah. Penambahan selanjutnya untuk menjaga kedalam anastesi dapat
diberikan dengan bantuan kapas yang dibasahi dengan obat tersebut.
2. Euthanasia mencit dengan cara fisik
Cara fisik dilakukan dengan dislokasi leher. Proses dislokasi dilakukan dengan
cara:
a. Ekor mencit dipegang dan kemudian ditempatkan pada permukaan yang bisa
dijangkaunya, biarkan mencit meregangkan badannya.
b. Saat mencit meregangkan badannya, pada tengkuk ditempatkan suatu penahan,
misalnya pensil atau batang logam yang dipegang dengan tangan kiri.
c. Ekornya ditarik dengan tangan kanan dengan keras, sehingga lehernya akan
terdislokasi dan mencit akan terbunuh.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


V. Tugas Pendahuluan
1. Coba anda sebutkan 5 jenis-jenis penelitian dan alasan dalam penelitian tersebut
mengapa suatu hewan harus di anastesi dan euthanasia
2. Jelaskan tahapan awal anastesi pada hewan uji
3. Sebutkan hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam penggunaan beta bloker
neuromuskuler sebagai anastesi
4. Sebutkan obat anestetika yang paling banyak digunakan untuk kelinci
5. Sebutkan alas an dilakukan euthanasia pada hewan coba
VI. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum :
Kelompok :
Asisten Pengawas :

Data pengamatan dan hasil percobaan

Waktu Anastesi
No Mencit Berat Badan
Sadar Tidak Sadar

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN II
PERHITUNGAN DOSIS HEWAN UJI COBA

I. Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui dan memahami cara konversi dosis dari manusia ke hewan uji coba,
mengitung larutan stok, volume pemberian mencit, dll

II. Landasan Teori

Tabel 2. Volume maksimum larutan yang bisa diberikan pada binatang

Volume Maksimum (ml)


Binatang Cara Pemberian
i.v i.m i.p s.c p.o
Mencit (20-30 gram) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0* 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2,0-5,0 2,0-5,0* 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1,0-5,0 2,5 2,5
Marmot (250 g) - 0,25 2,0-5,0 5,0 10,0
Merpati (3 kg) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (2,5 kg) 5,0-10,0 0,5 10,0-20,0 5,0-10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5,0 – 10,0 1,0 10,0-20,0 5,0-10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10,0-20,0 5,0 20,0-50,0 5,0-10,0 100,0
*Distribusikan ke daerah yang lebih luas

Konversi dosis antara jenis subjek uji

Dosis yang diberikan pada subjek uji dalam uji farmakoligi harus mempertimbangkan
dosis efektif pada manusia. Laurance dan bacharach (1964) merumuskan suatu tab el
konversi dosis/perhitungan dosis antara jenis hewan dan manusia, berdasarkan nisbah
(ratio) luas permukaan badan, seperti tampak pada Tabel.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Tabel . Konversi perhitungan dosis antar jenis subjek uji laurence dan bacharach
(1964)

Mencit Tikus Marmut Kelinci Kera Anjing Manusia


20 kg 200 g 400 g 1,5 kg 4 kg 12 kg 70 kg

Mencit 20 g 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9

Tikus 200g 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0


Marmut 400g
0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5

Kelinci 1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2

Kera 4 Kg 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1


Anjig 12kg 0,008 0,6 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1

Manusia 70kg 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,16 0,32 1,0

Tabel . Perbandingan luas permukaan tubuh hewan percobaan untuk konversi dosis

Contoh soal perhitungan


Hitunglah dosis pilokarpin injeksi untuk mencit dengan berat 30 gram, dimana diketahui berat
etiket pilokarpin 20 mg/5 ml, dosis manusia 10 mg. Serta buatkan larutan stok sebanyak 10
ml, berapakah volume pemberian pilokarpin untuk mencit 25 & 28 gram

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Jawab :

Volume Pemberian

Vp Mencit berat 30 g p.o = 1 ml


Mencit berat 25 g = 25 g/30g x1 ml = 0,83 ml
Mencit berat 28 g = 28 g/30g x1 ml = 0,93 ml

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Spoit 1 cc dan 5cc
2. Beker gelas
3. Batang pengaduk
4. Timbangan analitik

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Bahan yang digunakan
1. Pilokarpin
2. Aqua pro injeksi

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20g- 30g
berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prosedur Kerja


1. Siapkan alat dan bahan
2. Timbang berat badan mencit
3. Hitung dosis pilokarpin untuk mencit yang terberat
4. Ambil dengan spoit pilokarpin sesuai dengan perhitungan
5. Lalu encerkan dengan aqua pro injeksi
6. Buat larutan stok sesuai dengan hasil perhitungan
7. Ambil dengan spoit masing-masing volume pemberian dengan perhitungan
8. Obat siap diberikan kepada mencit sebagai hewan coba

V. Tugas Pendahuluan

1. Dosis obat parasetamol 500 mg, berat etiket 500 mg, berat rata-rata 529 mg. Berat
max mencit 30 g ,tikus 200 g, kelinci 2,5 kg. hitung u/ 10 ekor hwn coba.
a. Dosis, larutan stok dan vp untuk mencit berat 26 g dan 29 g
b. Dosis, larutan stok dan vp untuk tikus berat 225 g dan 215 g
c. Dosis, larutan stok dan vp untuk kelinci berat 1,8 kg dan 2 kg
2. Dosis epinefrin injeksi 4 mg, berat etiket 10 mg/5 ml, hitung
a. Dosis, larutan stok dan vp untuk mencit berat 26 g dan 29 g
b. Dosis, larutan stok dan vp untuk tikus berat 225 g dan 215 g
c. Dosis, larutan stok dan vp untuk kelinci berat 1,8 kg dan 2 kg

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VI. Lembar Kerja
DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas :

Data pengamatan dan hasil percobaan

Berat Mencit (gram) Dosis Mencit (mg) Volume Pemberian (ml)

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN III
ANALISIS EFEK FARMAKOKINETIK OBAT PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum
Untuk Menganalisis Kecepatan Absorbsi luminal dengan berbagai macam jalur pemberian
obat

II. Landasan Teori


Obat dapat diberikan secara oral atau parenteral (yaitu melalui jalur
nongastrointestinal). Sebagian besar obat diabsorbsi melalui jalur oral dan cara ini paling
banyak digunakan karena kenyamanannya. Akan tetapi, beberapa obat (misalnya
benzilpenisilin dan insulin) dirusak oleh asam atau enzim dalam usus dan harus diberikan
secara parenteral. Obat dapat langsung masuk ke dalam sirkulasi dan tidak melewati sawar
absorbsi. Cara ini digunakan saat dibutuhkan efek yang cepat, untuk pemberian yang
kontinu (infus), untuk volume yang besar, dan untuk obat-obat yang menyebabkan
kerusakan jaringan lokal bila diberikan melalui cara lain. Obat pula dapat diberikan melalui
suntikan intramuskular dan subkutan. Selain itu, jalur lain termasuk inhalasi (misalnya
anestetik voliatif, beberapa obat yang digunakan pada asma) dan topikal (misalnya salep)
dapat digunakan sebagai jalur pemberian obat. Pemberian obat secara sublingual dan rektal
digunakan untuk menghindari sirkulasi portal, dan sediaan sublingual secara khusus sangat
penting dalam pemberian obat yang dalam keadaan metabolism lintas pertama derajat
tinggi (Neal, 2005).
Salah satu prinsip pemberian obat adalah waktu yang benar. Waktu yang benar
adalah saat dimana obat yang diresepkan harus diberikan. Dosis obat harian diberikan pada
waktu tertentu dalam sehari, seperti b.i.d (dua kali sehari), t.i.d (tiga kali sehari), q.i.d
(empat kali sehari), atau q6h (setiap 6 jam), sehingga kadar obat dalam plasma dapat
dipertahankan. Jika obat mempunyai waktu paruh (t1/2) yang panjang, obat diberikan sekali
sehari.
Absorbsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagai barrier absorbsi adalah
membran sel epitel saluran cerna, yang seperti halnya semua membran sel di tubuh kita,
merupakan lipid bilayer. Dengan demikian, agar dapat melintasi membran sel tersebut,
molekul obat harus mempunyai kelarutan lemak (setelah terlebih dulu larut dalam air).
Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat (selain
dengan perbedaan kadar obat lintas membran, yang merupakan driving force proses difusi,
dan dengan luasnya area permukaan membran tempat difusi) (Tanu, 2012).
Salah satu faktor penentu kecepatan absorbsi obat adalah tempat absorbsi. Obat dapat
diabsorbsi pada berbagai tempat, misalnya di kulit, membran mukosa, lambung, dan usus
halus. Absorbsi obat yang menembus lapisan sel tunggal (tipis), seperti pada ephitelium

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


intestinal akan lebih cepat jika dibandingkan kalau menembus membran kulit yang
berlapis-lapis. Karena kecepatan absorbsi berbanding lurus dengan luas membran dan
berbanding terbalik dengan tebal membrane (Priyanto dkk, 2010)
Pemberian oral pada hewan uji akan memberian bioavailabilitas yang beragam,
dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi obat sebelum mencapai pembuluh darah.
Hal ini menyebabkan kecepatan dan jumlah dosis yang mencapai pembuluh darah beragam
pula, akibanya efek obat juga akan memberikan onset dan durasi yang beragam pula.
Sedangkan pada pemberian dengan cara parenteral terutama secara intravena maka obat
langsung dimasukkan dalam pembuluh darah vena sehingga tidak terjadi proses absorbsi,
akibatnya jumlah obat yang ada dalam pembuluh darah akan sama dengan jumlah obat
yang diberikan. Tetapi rute pemberian parenteral lain tetap melalui proses absorbsi karena
letak injeksi diberikan diluar pembuluh darah, seperti injeksi intra muskular yang diberikan
melalui otot, atau injeksi lainnya sehingga pada pemberian tersebut tetap terjadi proses
absorbsi.
Selain karena faktor rute pemberian maka absorbsi juga dipengaruhi oleh sifat fisik
dan kimia dari bahan aktif yang diberikan, Bentuk asam, ester, garam, kompleks atau hidrat
dari bahan obat dapat mempengaruhi kekuatan dan proses absorpsi obat. Selain itu bentuk
kristal atau polimorfi, kelarutan dalam lemak atau air, dan derajat ionisasi juga
mempengaruhi proses absorbsi.

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Batang pengaduk
2. Beaker
3. Gelas ukur
4. Hot plate
2. Mixer
3. Spoit 1 ml
4. Spoit oral
5. Stop watch
6. Timbangan berat badan

Bahan yang digunakan


1. Alkohol 70%
2. Aqua destilat,
3. Injeksi luminal
4. Natrium CMC.
5. Tablet luminal

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Hewan yang digunakan
Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g-
30 g
berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Praktikum


Cara pemberian mempengaruhi kecepatan absorbsi, semakin cepat luminal diabsorbsi
oleh tubuh maka semakin cepat pula efek hipnotik luminal terjadi dengan ditandai oleh
waktu tertidurnya hewan coba yang lebih cepat pula

V. Prosedur Kerja
Pembuatan natrium cmc 1%
1. Panaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih
2. Timbang Na.CMC sebanyak 1 g
3. Masukkan Na.CMC kedalam beaker gelas 300 ml lalu tambahkan 50 ml air panas
4. Aduk campuran tersebut dengan mixer hingga homogen, ditandai dengan tidak
nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran berupa seperti gel.
5. Tambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga volume larutan tersebut
menjadi 100 ml, dinginkan

Pembuatan suspensi luminal untuk pemberian oral


Perhitungan Dosis
Hitung dosis luminal sesuai dengan berat badan mencit dan lakukan pengenceran

Jika akan digunakan tablet luminal


Tablet luminal tersedia dalam beberapa konsentrasi yaitu 10 mg, 30 mg dan 100 mg per
tabletnya, walaupun yang paling sering tersedia dalam kadar 30 mg/tabletnya. Tentukan
dahulu tablet luminal dengan kandungan berapa yang saudara akan gunakan lalu timbang
berat tablet tersebut.

Cara pembuatan suspensi luminal


1. Ambil tablet luminal lalu gerus hingga halus, lalu timbang sebanyak yang dibutuhkan
sesuai perhitungan.
2. Masukkan serbuk luminal yang sudah ditimbang lumpang, tambahkan sekitar 50 ml
larutan Natrium CMC, aduk hingga homogen
3. Pindahkan ke suspensi luminal tersebut ke dalam erlenmeyer lalu cukupkan
volumenya hingga 100 ml dengan larutan Na.CMC 1%

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Pelaksanaan
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 4 kelompok dan masing–masing kelompok
terdiri dari 4 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda. Sebelum
praktikum dilakukan mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan pada
lingkungan percobaan, dan diberi makanan standar. Hewan dianggap sehat apabila
perubahan berat badan tidak lebih dari 10% serta memperlihatkan perilaku normal
1. Gunakan mencit jantan sebanyak 12 ekor
2. Ditimbang berat badan tiap mencit lalu catat
3. Mencit kemudian dikelompokkan secara random ke dalam 4 kelompok, tiap kelompok
terdiri dari 3 ekor, dimana
4. kelompok I sebagai kontrol, diberikan larutan Na.CMC 1%
5. kelompok II sebagai kelompok oral yang diberikan suspensi luminal secara oral dengan
dosis
6. kelompok III sebagai kelompok subkutan yang diberikan injeksi luminal secara
subkutan
7. dan kelompok IV sebagai kelompok intravena yang diberikan injeksi luminal secara
intravena
8. semua pemberian dilakukan dengan dosis yang sesuai
9. setiap pemberian obat dicatat waktunya, kemudian mencit diamati berapa lama waktu
yang dibutuhkan mula tertidur (onset obat) berapa lama waktu tidur mencit tersebut
(durasi), dengan mengamati refleksi balik badan mencit.

VI. Tugas Pendahuluan


5. Tuliskan Judul, Tujuan dan Manfaat Percobaan !
6. Tuliskan dan jelaskan Macam-Macam Rute Pemberian Obat !
7. Menurut Anda Bagaimana pengaruh rute pemberian terhadap keberhasilan Terapi
Obat?
8. Tuliskan Cara kerja Praktikum Absorbsi Obat (Skema/Point)
9. Perhitungan Dosis :
Mencit dengan berat 22 gram diberikan Obat X secara Oral dengan dosis 5 mg,
Hitunglah :
a. Dosis Pemerian pada mencit dan Volume Pemberian pada Mencit
b. Berapa Banyak Obat X yang harus ditimbang ? (Berat Rata-rata Obat X 0,225
gram dibuat dalam 10 ml)

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VII. Lembar Kerja
DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas :
1. Data Pengamatan Volume Pemberian Obat pada Mencit

Kelompok Replikasi BB mencit (g) Vol Pemberian (ml)

Peroral 2

Subkutan 2

Intravena 2

Na.CMC 2

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


2. Data Pengamatan Percobaan Pengaruh Absorbsi Obat

Refleks balik badan (pada jam)


Kelompok Replikasi Durasi
Jam Pemberian
Hilang Kembali

Peroral 2

Subkutan 2

Intravena 2

Na.CMC 2

Paraf Dosen Pengampu :


Praktikan
Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN IV
AKTIVITAS EFEK OBAT ANALGETIK PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum

Tujuan dilakukan percobaan ini adalah untuk menentukan sediaan-sediaan yang paling
optimal dari sediaan analgetik yang diujikan.

II. Landasan Teori

Nyeri adalah poengalaman sensosorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya atau potensi kerusakan jaringan atau keadaan yang
mengambarkan tersebut. Nyeri sebenarnya berfungsi sebagai tanda adanya penyakit atau
kelainan dalam tubuh dan merupakan bagian dari proses penyembuhan. Nyeri dapat
dihilangkan jika telah mengaggu aktifitas tubuh. Analgetik merupakan obat yang
digunakan untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.
Analgetik obat penghilang rasa nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau
rasa nyeri tanpa menghilangkan rasa kesadaran. Nyeri menjadi satu alasan utama seseorang
dating untuk mencari pertolongan medis karena sebagian besar penyakit pada tubuh
ditimbulkan oleh respon nyeri. Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat
adanya rasangan mekanis, kimiawi atau fisis. Ransangan tersebut memicu pelepasan zat-
zat tertentu yang disebut mediator nyeri antara lain : Histamin, Bradikinin, Leukotrin dan
Prostaglandin (Octavianus dkk. 2014).
Analgetik dibagi dalam dua golongan yakni analgetik narkotik yang dapat
menghilangkan nyeri sedang sampai berat dan nyeri yang bersumber dari organ visceral,
dan analgetik non narkotik yang berasal dari golongan anti inflamasi nonsteroit (AINS)
yang menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Analgetik yang diberikan kepada
penderita untuk mengurangi rasa nyeri nyang ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis,
kimia dan fisik. Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri dari
jaringan yang rusak yang kemudian merangsang merangsang reseptor nyeri diujung saraf
perifer ataupun ditempat lain, yang selanjutnya rangsang nyeri diteruskan kepusat nyeri
dikorteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.
Berdasarkan atas rangsang nyeri yang dipergunakan, maka terdapat berbagau metode
penetapan daya analgetik suatu obat.Olehnya itu, dipandang perlu dilakukan praktikum ini
untuk menentukan daya analgetik suatu sediaan yang paling optimal.

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Spuit 1 ml

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


2. Kanula/sonde lambung
3. Gelas kimia
4. Gelas ukur
5. Hot Plate
6. Batang pengaduk
7. Timbang berat badan
8. Stop watch

Bahan yang digunakan


1. Aqua pro injeksi
2. Asam asetat
3. Parasetamol
4. Antalgin
5. Ibuprofen
6. Na.CMC 0,5%
7. Alkohol 70%
8. Handscoon

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g- 30
g berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Praktikum


Semakin tinggi kemampuan analgetik suatu obat semakin berkurang jumlah geliatan
mencit yang diakibatkan induksi dengan asam asetat

V. Prosedur Kerja
Pembuatan asam asetat 0,25%
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Diambil asam asetat 0,25 gram
3. Diencerkan mengunakan aqua pro injeksi sebanyak 100 ml

Aklimitasi Mencit
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 4 kelompok dan masing–masing
kelompok terdiri dari 3 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda.
Sebelum praktikum dilakukan mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan
pada lingkungan percobaan, dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus cahaya
terang : gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum, sebelum
perlakuan mencit dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan air minum dan diberi

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


makanan standar. Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari
10% serta memperlihatkan perilaku normal

Metode geliat
1. Dihitung dosis sediaan tablet dan dihitung volume pemberian untuk hewan coba
mencit
2. Diberikan sediaan yang telah disuspensikan dengan Na-CMC secara oral
3. Didiamkan selama 5 menit
4. Diberikan penginduksi asam asetat 0,25% secara intra peritoneal
5. Didiamkan kembali selama 5 menit
6. Dilakukan pengamatan untuk metode geliat yang meliputi mata melotot, perut
kejang, dan kaki kejang
7. Diamati frekuensinya sesuai parameter waktu yang ditentukan yaitu menit ke 15, 30,
45 dan 60.
8. Dimasukkan data yang diperoleh dalam tabel.

Metode plat panas


1. Dihitung dosis sediaan tablet dan dihitung volume pemberian untuk hewan coba
mencit.
2. Diberikan sediaan yang telah disuspensikan dengan Na CMC secara oral.
3. Didiamkan selama 5 menit.
4. Diberikan penginduksi asam asetat 0,25% secara intraplantar.
5. Dilakukan pen gamatan dengan tanda mencit mengangkat kakinya dari plat panas.
6. Diamati frekuensinya sesuai parameter waktu yang ditentukan (10, 20, 40 dan 80
menit)
7. Dimasukkan data yang telah diperoleh ke dalam tabel.

VI. Tugas Pendahuluan


1. Jelaskan Apa yang dimaksud dengan :
a. Analgesik
b. Antipiretik
c. Antiinflamasi
d. Nyeri
e. Febris
f. COX
g. Inflamasi
h. Prostaglandin
i. Reseptor
j. Psikotropika

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


k. Narkotik
2. Jelaskan Bagaimana Mekanisme terjadinya Inflamasi !
3. Sebutkan dan Jelaskan Mediator-Mediator Nyeri !
4. Jelaskan Perbedaan COX-1 dan COX-2
5. Jelaskan klasifikasi nyeri berdasarkan :
a. Durasi
b. Lokasi Nyeri
c. Penyebabnya
6. Jelaskan penggolongan Obat Analgesik beserta contohnya dilihat dari :
a. Cara Kerja
b. Efek samping
c. Non Selektif COX Inhibitor
d. Selektif COX Inhibitor
7. Jelaskan golongan Obat dan Mekanisme Kerja Obat Analgesik
8. Jelaskan perbedaan terapi :
a. Analgesik Narkotik dan Non Narkoti
b. Analgesik Analgesik AINS

VII. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum :
Kelompok :
Asisten Pengawas :

A. Tabel Onset dan Durasi

Vol
Berat Badan
Perlakuan Replikasi Pemberian Onset Durasi
(g)
(ml)
1
Na CMC 2
3
1
Parasetamol
2

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


3
1
Ibuprofen 2
3
1
Antalgin 2
3

B. Tablet Jumlah Geliat

Jumlah Geliatan (menit)


Perlakuan No Metode Jumlah
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
1
2 Geliat
Na CMC 3
1
2 Plat Panas
3
1
2 Geliat
3
Parasetamol
1
2 Plat Panas
3
1
2 Geliat
3
Ibuprofen
1
2 Plat Panas
3
1
2 Geliat
3
Antalgin
1
2 Plat Panas
3

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Analisis Data

Data dianalisis dengan menghitung persen daya analgetiknya dengan rumus

Contoh cara menghitung % daya analgetik

Hitunglah % daya analgetik dari parasetamol berdasarkan data pengamatan dibawah ini

Paraf Dosen Pengampu :


Praktikan
Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN V
AKTIVITAS EFEK OBAT ANTIPIRETIK PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan efek antipiretik dari beberapa
sediaan yang diberikan pada hewan coba mencit.

II. Landasan Teori

Suhu tubuh sangat mudah sekali berubah dan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik
factor eksternal maupun internal. Perubahan suhu tubuh sangat erat kaitannya dengan
produksi panas yang berlebihan, produksi panas maksimal maupun pengeluaran panas
yang berlebihan. Sifat perubahan panas tersebut sangat mempengaruhi masalah klinis yang
dialami setiap orang. Untuk mempertahankan suhu tubuh seseorang dalam keadaan
konstan, diperlukan regulasi suhu tubuh. Suhu tubuh manusia diatur dengan mekanisme
umpan balik yang diperankan oleh pusat pengaturan suhu hipotalamus (Rajasa,dkk 2013).
Demam atau naiknya suhu tubuh pada umumnya terjadi karena adanya infeksi. Toksin
yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan mengganggu sistem pengaturan panas tubuh di
hipotalamus. Selain dapat dipengaruhi oleh toksin dari mikroorganisme, sistem pengaturan
panas tubuh dapat pula dipengaruhi oleh zat-zat lain yang bersifat toksik yang masuk ke
dalam tubuh. Pada suhu di atas 370 C limfosit dan makrofag menjadi lebih aktif, dan
apabila suhu melampaui 40-410 C dapat terjadi situasi kritis yang bisa menjadi fatal
dikarenakan tidak dapat dikendalikan lagi oleh tubuh.
Antipiretik adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh. Suhu tubuh diatur oleh
keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada
dihipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu karena tetapi
dikembalikan kenormal oleh obat mirip aspirin. Walaupun kebanyakan obat ini
memperlihatkan efek antipiretik invitro tidak semua berguna sebagai antipiretik karena
bersifat toksin bila digunakan secara rutin atau terlalu lama. Ini berkaitan dengan hipotesis
bahwa COX yang ada disentral otak COX-3 dimana hanya parasetamol dan beberapa obat
AINS lainya dapat mengambat.
Demam merupakan gangguan kesehatan yang hampir perna dirasakan oleh setiap
orang. Demam ditandai dengan kenaikan suhu tubuh diatas tubuh normal yaitu 36-37 oC,
yang diawali dengan kondisi mengigil (kedinginan) pada saat peningkatan suhu dan setelah
itu terjadi kemerahan pada permukaan kulit. Pengaturan suhu tubuh terhadap pada bagian
otak yang disebut hypotalamus, gangguan pada pusat pengaturan suhu tubuh inilah yang
dikenal dengan istilah demam.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Pengaturan suhu tubuh memerlukan keseimbangan yang akurat antara pembentukan
dan hilangnya panas; hipotalamus mengatur set point sehingga suhu dipertahankan. Saat
demam, set point ini meningkat dan NSAID mendorongnya kembali ke keadaan normal.
Obat ini tidak mempengaruhi suhu tubuh jika suhu tubuh jika suhu tubuh naik oleh faktor
seperti olahraga atau meningkatnya suhu lingkungan
Demam pada hewan uji dapat diinduksi dengan pemberian
1. Pepton 5%, diberikan sebanyak 1,0 ml/200g secara subkutan
2. Vaksin DPT-HB 0,2 ml/ 200g, secara intramuskular pada bagian paha untuk
menginduksi terjadinya demam
3. Vaksin Kotipa (kombinasi vaksin kolera, tifus dan paratifus) dengan dosis 0,6
mL/kgBB intra-muskuler (i.m.) (2 kali pemberian selama seminggu) dan perubahan
suhu tubuh diamati tiap 30 menit selama 5 jam, hewan coba dikatakan demam jika
suhu mencapai 380C sampai 40°C atau kenaikan suhu di atas 1,50C dari suhu basal.

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan :
a. Spuit 1 ml, 3ml dan 5 ml
b. Kanula/sonde lambung
c. Gelas kimia
d. Stopwatch
e. Gelas ukur
f. Batang pengaduk
g. Timbangan berat badan
h. Termometer

Bahan yang digunakan :


a. Vaksin DPT
b. Pepton
c. Parasetamol
d. Antalgin
e. Ibuprofen
f. NaCMC 0,5%
g. Alkohol 70%

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20g- 30g
berumur antara 6 – 8 minggu

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


IV. Prinsip Kerja
Efek antipiretik diamati dengan terjadinya penurunan suhu tubuh mencit yang
diinduksi dengan induktor demam setelah pemberian obat antipiretik

V. Prosedur Kerja

Aklimitasi Mencit
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 4 kelompok dan masing–masing kelompok
terdiri dari 3 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda. Sebelum
penelitian dilakukan mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan pada
lingkungan percobaan, dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus cahaya
terang : gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum, sebelum
perlakuan mencit dipuasakan selama 18 jam tetapi tetap diberikan air minum dan diberi
makanan standar. Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari
10% serta memperlihatkan perilaku normal. Semua hewan uji dilakukan pengukuran suhu
rektal awal sebelum penyuntikan lalu diinduksi untuk terjadinya demam. Semua hewan
uji yang mengalami peningkatan suhu tubuh sebesar atau sama dengan 1,5 0C dapat
dikategorikan demam.

Pemberian Vaksin pada hewan coba


a. Disiapkan alat dan bahan
b. Ditimbang BB mencit
c. Diukur suhu awal Mencit
d. Diberikan penginduksi vaksin setelah didiamkan selama 10 menit sebanyak 0,5 ml
secara intraperitoneal
e. Diukur suhu setelah diberi penginduksi
f. Diberi sediaan obat secara oral pada masing-masing mencit
g. Diukur suhu pada parameter waktu 15, 30, 45, dan 60.
h. Dimasukan dalam tabel pengamatan

Pemberian Pepton pada hewan coba


a. Disiapkan alat dan bahan
b. Ditimbang BB mencit
c. Diukur suhu awal mencit
d. Diberi penginduksi pepton setelah didiamkan selama 20 menit sebanyak 1 ml secara
interperitonial
e. Diukur suhu setelah diberi penginduksi
f. Diberi sediaan obat secara oral pada masing-masing Mencit
g. Diukur suhu pada parameter waktu 15, 30, 45, dan 60

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


h. Dimasukan dalam tabel pengamatan

VI. Tugas Pendahuluan


1. Tuliskan dengan lengkap 5 uraian obat golongan antipiretik ?
2. Jelaskan mekanisme terjadinya demam yang disebabkan karena adanya antigen
atau mikrorganisme yang masuk kedalam tubuh ?
3. Jelaskan mekanisme kerja obat golongan antipiretik secara sentral dan perifer ?
4. Jelaskan maksud dan tujuan penginduksian vaksin pada percobaan antipiretik dan
mekanismenya sehingga menimbulkan kondisi yang kita inginkan ?
5. Jelaskan mengapa obat golongan antipiretik juga dapat berfungsi sebagai analgetik?
6. Jelaskan bagian tubuh yang mengatur suhu tubuh ?

VII.Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas :

A. Pengamatan Suhu Tubuh

Rata-rata suhu rektal (0C) pada menit ke


Perlakuan Replikasi
ta to 15’ 30’ 45’ 60’
Na CMC 1
2
3
Parasetamol 1
2
3
Ibuprofen 1
2
3
Antalgin 1
2
3

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Ket :
ta = suhu awal sebelum diinduksi
t0 = suhu demam setelah diinduksi

B. Tabel Perubahan Suhu Setiap Kelompok Perlakuan

Kelompok Perlakuan
Waktu Menit ke
Air Parasetamol Ibuprofen Antalgin
t0 Suhu demam
t1 15’ (t1-t0)
t2 30’ (t2-t1)
t3 45’ (t3-t2)
t4 60’ (t4-t3)

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN VI
AKTIVITAS EFEK OBAT ANTIINFLAMASI PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan efek antiinflamasi yang diberikan pada
hewan hewan coba.

II. Landasan Teori


Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, dan zat-zat mikrobiologik. Inflamasi
adalah usaha untuk menginaktivasi atau merusak mikroorganisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan
lengkap, proses peradangan biasanya reda. Inflamasi dicetus oleh pelepasan mediator
kimiawi, (seperti prostaglandin, histamin dan leukotrien) dan migrasi sel (yang dicetus oleh
sitokin pro-inflamasi) (Mycek et al. 1997). Proses inflamasi dikenal dengan lima tanda
utama: panas (color), kemerahan (rubor), sakit (dolor), bengkak (tumor), dan kehilangan
fungsi (loss of function) (Eales 2003).
Berdasarkan lama terjadinya, inflamasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
inflamasi akut dan inflamasi kronis. Inflamasi akut adalah reaksi pertahanan paling awal
dari jaringan tubuh terhadap agen perusak, dan berkahir setelah beberapa jam atau hari.
Penyebab inflamasi akut diantaranya adalah mikroba, reaksi hipersensitifitas, zat kimia,
trauma fisik dan kerusakan jaringan. Sel-sel imun yang berperan dalam reaksi ini
diantaranya adalah neutrofil, eosinofil dan mastosit (Shell 1987). Sedangkan inflamasi
kronis adalah reaksi inflamasi tubuh yang terjadi dalam jangka waktu yang lebih lama.
Inflamasi kronis melibatkan banyak jenis sel imunitas, seperti sel fagosit mononuklear serta
sel T limfosit (Stephenson 2004).
Prostgalandin adalah mediator kimia utama yang terlibat dalam proses inflamasi,
disamping mediator kimia lainnya, dan menjadi target kerja obat-obat antiinflamasi. Asam
arakidonat adalah prekursor utama prostaglandin. Asam arakidonat dilepaskan dari
jaringan fosfolipid oleh kerja phospholipase A2 dan asil hidrolase lainnya. Selanjutnya,
dibiosintesis lagi dengan bantuan siklooksigenase (COX) menjadi eikosanoid. Terdapat
dua isomer utama dari COX yang berperan dalam biosintesis prostaglandin, COX1 dan
COX2. COX1 bersifat ada dimana-mana, sedangkan yang kedua diinduksi dalam respon
terhadap rangsangan inflamasi. Prostaglandin dan metabolitnya yang dihasilkan secara
endogen dalam jaringan bekerja sebagai tanda lokal yang menyesuaikan respons tipe sel
spesifik (Mycek et al. 1997).
Secara in vivo, model hewan inflamasi digunakan dalam penentuan aktivitas
senyawa atau bahanobat sebagai antiinflamasi. Model hewan inflamasi dapat diperoleh
dengan cara penyuntikan secara intraplantar hewan uji (tikus atau mencit) dengan

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


penginduksi seperti karagenan, antigen asing dan asam arakidonat, yang dapat mencetus
proses inflamasi (ditandai dengan pembengkakan pada telapak kaki hewan inflamasi)
(Blank et al. 2004). Bahan penginduksi inflamasi ini mencetus mekanisme inflamasi yang
kompleks, melibatkan banyak mekanisme, meliputi pelepasan mediator- mediator
biokimia, seperti prostaglandin, histamin, bradikinin, sitokin pro inflamasi, serta
peningkatan migrasi sel-sel leukosit ke tempat terjadnya inflamasi (Chiang et al. 2005).
Selanjutnya model hewan inflamasi, ditritmen dengan sediaan uji atau senyawa obat
dengan dosis yang telah ditentukan. Aktivitas antiinflamasi dapat ditentukan dengan cara
mengukur bengkak pada telapak kaki hewan uji dalam interval waktu tertentu, dengan
menggunakan alat pletismometer. Berkurangnya bengkak pada telapak kaki hewan uji
menandakan adanya aktivitas antiinflamasi.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, secara umum antiinflamasi dapat dibedakan menjadi


dua golongan obat, yaitu antiinflamasi non-steroid (AINS) dan antiinflamasi steroid.
1. Antiinflamasi non-steroid (AINS)
Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat (inhibisi) enzim siklooksigenase
yang bertanggung jawab dalam biosistesis prostaglandin, namun tidak bekerja pada
penghambatan enzim lipoksigenase. Enzim siklooksigenase mempunyai beberapa
isomer, seperti COX1, COX2 dan COX3, berdasarkan ini pula golongan obat
antiinflamasi non-steroid dapat dibedakan menjadi AINS selektif dan AINS tidak
selektif. AINS selektif bekerja dengan menghambat satu isomer COX, seperti COX2,
contoh obat ini adalah celecoxib. Sedangkan AINS tidak selektif bekerja dengan
menghambat semua isomer COX, contoh golongan obat ini adalah aspirin (obat
prototipe), indometasin, diklofenak (Katzung, 1992).
2. Antiinflamasi steroid
Golongan obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim phospholipase A2, yang
bertanggung jawab dalam pelepasan asam arakidonat (prekursor prostaglandin) dari
membran sel. Contoh dari golongan obat ini adalah prednison (Mycek et al. 1997).

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
a. Spuit
b. Oral sonde
c. Plestimometer manual atau digital

Bahan yang digunakan


a. Tikus putih 3 ekor
b. Larutan karagenan 1% dalam aquadest (dibuat sehari sebelum percobaan)
c. Suspensi kosong 0,5% se bagai control

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


d. Suspensi obat Deksametason

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah tikus jantan, dengan berat badan 200 gram

IV. Prinsip Praktikum


Pembengkakan yang terjadi pada telapak kaki hewan inflamasi akibat penyuntikan
penginduksi inflamasi dapat diturunkan dengan pemberian obat antiinflamasi.

V. Prosedur Kerja
1. Tikus dipuasakan (tetap diberi air minum) sejak ± 18 jam sebelum percobaan.
2. Tikus ditimbang, lalu diberikan tanda pada sendi kaki belakang sebelah kiri untuk
setiap tikus.
3. Volume kaki tikus diukur dengan cara mencelupkan kaki yang telah ditandai sampai
batas tanda yang telah diberikan ke alat pletismometer, lalu dilihat tinggi cairan pada
alat (jika menggunakan pletismometer manual) atau nilai yang tertera di layar (jika
menggunakan pletismometer digital). Nilai ini dinyatakan sebagai volume awal (V 0).
4. Tikus diberikan suspensi obat Deksametason secara oral dengan variasi dosis masing-
masing 15 mg/kg BB dan 20 mg/kg BB, dan suspensi kosong untuk tikus kontrol.
5. Pada menit ke-30 setelah pemberian obat, disuntikkan larutan karagenan 1% dengan
volume 0,05 ml ke telapak kaki belakang kiri setiap tikus.
6. 30 menit kemudian, volume kaki yang telah disuntik karagenan diukur dan dicatat.
Pengukuran dilakukan selama 120 menit dengan interval 30 menit sekali.
7. Catat hasil pengamatan dalam tabel, lalu untuk setiap tikus, hitung persentase radang
dan persentase inhibisi radang yang terjadi untuk setiap titik waktu (30 menit, 60
menit, 90 menit dan seterusnya) dengan menggunakan rumus:

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VIII. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas:

T=30
T = 20 menit
No Keterangan Berat Vo menit

Vt %R %IR Vt %R %IR

1 Tikus control

2 Tikus obat A

3 Tikus obat B

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


T=60
T = 20 menit
No Keterangan Berat Vo menit

Vt %R %IR Vt %R %IR

1 Tikus control

2 Tikus obat A

3 Tikus obat B

T=120
T = 20 menit
No Keterangan Berat Vo menit

Vt %R %IR Vt %R %IR

1 Tikus control

2 Tikus obat A

3 Tikus obat B

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN VII
AKTIVITAS EFEK OBAT DIABETES MELITUS PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum
Menganalisis efek obat hipoglikemik oral dengan melihat dan mengamati serta
menentukan jumlah penurunana kadar glukosa pada hewan uji mencit (mus musculus)
setelah pemberian obat antihipergliemik oral

II. Landasan Teori


Diabetes Millitus adalah kelainan metabolik yang melemahkan dan sering
membahayakan kehidupan dengan peningkatan kasus diseluruh dunia Komplikasi
Diabetes meningkat sebagian dari kerusakan sampai struktural glikolisasi dan protein
fungsional dan menggambarkan kegagalan kronik dari menjaga homestatis gula darah.
Komplikasi lainnya seperti Dibaetes Neurophati, Diabetes Retinophati, Diabetes
Kardiomiphati berlaku sebagai hasil dari hipeglikemia (Nandhagophal, dkk 2013).
Diabetes militus adalah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin relative
maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa kedala sel terhambat
serta metabolismenya terganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50 % glukosa yang
dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO 2 dan air, 5 % diubah menjadi
glikogen dan kira-kira 30-40 % diubah menjadi lemak. Pada diabetes mellitus semua proses
tersebut terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga energi utama
terutama diperoleh dari metabolisme protein lemak. Diabetes mellitus disebabkan oleh
sebuah ketidak seimbangan atau ketidak adanya persediaan insulin atau tidak sempurnanya
respon seluler terhadap insulin yang ditandai dengan tidak teraturnya metabolisme.
Dalam melakukan aktivitas, diperlukan energi baik itu berupa aktivitas fisik maupun
psiologik. Energi yang ada pada manusia sebagian besar dan hamper seluruhnya berasal
dari glukosa yang dikonsumsi dan dimetabolisme oleh tubuh. Tetapi, terkadang
karbohidrat yang dikonsumsi yang seharusnya menjadi sumber energi, berubah menjadi
musuh dalam tubuh yang menganggu sistem kestabilan organ. Ini disebabkan berbagai
faktor, diantaranya disfungsi organ-organ tubuh yang berperan dalam metabolisme
tersebut.
Obat Diabetes memiliki mekanisme kerja tertentu. Karbohidrat yang dicerna dalam
lambung masuk kedalam usus dan mengalami penyerapan. Penyerapan ini dipermudah
dengan adanya enzim pemeca ikatan yaitu enzim a-glukoksidase dan a-amilase yang
terdapat pada batas pertemuan sel usus. Aktivitas enzim a-Glukoksidase seperti maltase
dan sukrase dalam menghidrolisis digosakarida menjadi glukosa, Fruktosa, monosakarida
lainnya pada dinding usus yang dapat dihambat oleh senyawa obat inhibitor a-Glukosidase
(Rais dkk, 2013).

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Pankreas merupakan kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon-hormon peptida
insulin, glukagon dan somatosatin; selain itu, pankreas juga merupakan kelenjar eksokrin
yang menghasilkan enzim-enzim pencernaan.
Salah satu hormon yang memainkan peranan penting dalam mengatur aktivitas
metabolik tubuh adalah insulin. Kekurangan atau ketiadaan insulin dapat menyebabkan
penyakit diabetes melitus yang ditandai dengan hiperglikemia berat yang dapat
menyebabkan retinopati, nefropati, neuropati dan komplikasi kardiovaskular jika tidak
ditangangi. Pemberian preparat insulin atau agen-agen hipoglikemik oral dapat mencegah
morbiditas dan menurunkan mortalitas akibat diabetes
Senyawa-senyawa hipoglikemik oral terdiri dari golongan :
1. sulfonilurea
2. Short-acting insulin secretagogues
3. Golongan biguanid
4. Thiazolidindione
5. Golongan α-glukosidase-inhibitors

Hewan Coba pada Penelitian Diabetes


Hewan coba sering digunakan dalam penelitian untuk menemukan atau untuk menguji efek
dari obat diabetes melitus. Obat diabetes melitus secara garis besarnya dapat dibagi
menjadi 2, yaitu diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2, oleh karena itu perlakuan pada hewan
coba yang digunakan juga dapat dibedakan atas hewan coba dengan diabetes tipe 1 atau
diabetes tipe 2.
Dalam penelitian obat diabetes melitus, hewan coba yang sering digunakan adalah
golongan tikus (mencit atau tikus). Tikus dapat dibuat mengidap penyakit diabetes tipe 1
dan tipe 2, baik secara alami, perubahan genetik atau dengan induksi kimia maupun dengan
virus. Bahan kimia yang sering digunakan untuk menyebabkan hewan uji menderita
diabetes adalah aloxan, streptozozin atau dengan pembebanan glukosa.

Induksi dengan bahan kimia


Induksi kimia pada hewan akan menyebabkan hewan coba menderita diabetes tipe satu
dimana banyaknya sel beta yang hancur dengan demikian, jumlah insulin endogen yang
diproduksi menjadi sedikit, yang mengarah ke hiperglikemia dan penurunan berat badan.
Diabetes dengan diinduksi secara kimia tidak hanya menyediakan model sederhana dan
relatif murah tetapi juga dapat digunakan pada hewan yang lebih tinggi (Dufrane et al.,
2006). Dua senyawa utama yang digunakan untuk menginduksi diabetes adalah
streptozotocin (STZ) atau aloksan. Karena kesamaan mereka dalam struktur dengan
glukosa (Bansal et al., 1980), aloksan dan STZ dapat bersaing dengan glukosa, sehingga
hewan yang sedang puasa cenderung lebih rentan terhadap kedua bahan tersebut. Salah
satu kelemahan induksi diabetes tipe 1 dengan bahan kimia adalah bahan tersebut dapat

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


menjadi racun pada organ tubuh yang lain. perlu juga dicatat bahwa terjadi perubahan pada
isoenzim P450 di hati, ginjal, paru-paru, usus, Tesis dan otak setelah pemberian STZ atau
aloksan, dan dengan demikian, hal ini harus dipertimbangkan ketika obat sedang diuji
dengan cara ini (Lee et al., 2010).

1. Streptozotocin (STZ).
STZ [2-deoksi-2-(3-(metil-3-nitrosoureido)-D-glucopyranose] disintesis oleh
Streptomycetes achromogenes. Setelah pemberian i.p. atau i.v. obat akan memasuki sel
beta pankreas melalui Glut-2 transporter dan menyebabkan alkilasi dari DNA
(Szkudelski, 2001). Aktivasi berikutnya PARP menyebabkan deplesi NAD +,
pengurangan ATP seluler dan hasilnya penghambatan produksi insulin (Sandler dan
Swenne, 1983). Selain itu, STZ merupakan sumber radikal bebas yang juga dapat
berkontribusi terhadap kerusakan DNA dan akhirnya kematian pada sel. STZ dapat
digunakan dengan sekali pemberian dengan dosis tinggi atau diberikan berulang dengan
dosis rendah.
a. Dosis tinggi STZ.
Dosis tinggi pada sekali penyuntikan pada tikus berkisar 100-200 mg /kg BB
(Srinivasan dan Ramarao 2007;. Dekel et al, 2009), tergantung pada strain tikus
(Hayashi et al., 2006), dan pada mencit berkisar 35-65 mg/kg BB mencit
(Srinivasandan Ramarao, 2007). Perlu dicatat, setelah pemberian STZ dapat terjadi
perbaikan pada pankreas dengan demikian diperlukan kontrol yang cukup untuk
memastikan bahwa setiap perbaikan glikemia bukan karena regenerasi spontan dari
sel beta (Grossman et al., 2010).
b. STZ dosis rendah
STZ dapat diberikan dalam beberapa dosis rendah selama 5 hari untuk menginduksi
insulitis pada mencit (Like dan Rossini, 1976; Wang dan Gleichmann, 1998) atau
tikus (Lukic et al., 1998). jarak dosis yang diberikan antara 20 sampai 40 mg/kg per
hari, tergantung pada spesies dan strain. Penurunan dalam volume dan jumlah pulau
langerhans tampak jelas yang bersamaan dengan berkurangnya kapasitas sekresi
insulin (Bonnevie-Nielsen et al., 1981).
2. Aloksan.
Efek diabetes aloksan (2,4,5,6-tetraoxypyrimidine; 5,6-dioxyuracil) terutama
disebabkan ambilan cepat oleh sel beta dan pembentukan radikal bebas, dimana sel beta
memiliki mekanisme pertahanan yang buruk untuk radikal bebas tersebut (Nerup et al.,
1994). Aloksan direduksi menjadi asam dialuric dan kemudian teroksidasi kembali
menjadi aloksan, menciptakan siklus redoks untuk regenerasi radikal superoksida yang
mengalami dismutasi untuk membentuk hidrogen peroksida dan selanjutnya
membentuk radikal hidroksil yang sangat reaktif dan menyebabkan fragmentasi DNA
sel beta (Szkudelski, 2001).

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Aloksan juga diambil oleh hati, tetapi hati memiliki perlindungan yang lebih baik
untuk oksigen reaktif (Malaisse et al, 1982;. Mathews dan Leiter, 1999) dan oleh karena
itu hati tidak rentan terhadap kerusakan. Mekanisme lain kerusakan sel beta oleh aloksan
termasuk oksidasi gugus SH yang essensial, terutama dari glukokinase (Walde et
al.,2002) dan gangguan dalam homeostasis kalsium intraseluler (Kim et al., 1994).
Dosis pada tikus berkisar dari 50 sampai 200 mg/kg dan pada mencit dari 40 hingga
200 mg/kg BB, tergantung pada strain dan rute pemberian dimana pemberian ip dan s.c
membutuhkan hingga tiga kali lebih besar dari dosis dengan rute i.v. (Szkudelski, 2001).
dosis 100 mg/kg BB telah digunakan untuk membuat diabetes jangka panjang pada
kelinci (Wang et al., 2010). Perlu dicatat bahwa aloksan memiliki indeks dosis
diabetogenic yang sempit, sehingga overdosis ringan bisa menyebabkan toksisitas
umum, terutama untuk ginjal (Szkudelski,2001).
3. Dengan induksi glukosa
Pada cara ini mencit yang digunakan adalah mencit normal yang dibebani sukrosa
tanpa merusak pankreasnya, karena berdasarkan teori bahwa dengan pembebanan
sukrosa akan menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemik) secara
cepat. Sukrosa di dalam tubuh dapat terurai menjadi glukosa dan fruktosa. Kadar
glukosa yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh zat-zat berefek
antihiperglikemik
Metode pengukuran kadar glukosa darah
a. Dengan spektrofotometer
Darah mencit diambil melalui ekor sebanyak 0,5-1 ml ke dalam tabung ependorf.
Darah disentrifusa selama 10 menit untuk diambil serumnya sebanyak 50 μl dan kemudian
ditambahkan uranil asetat 500 μl dan disentrifusa kembali. Supernatan sebanyak 50 μl
diambil dan ditambahkan pereaksi enzim kit glukosa 500 μl, kemudian diinkubasi selama
10 menit dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 546 nm untuk
mendapatkan nilai kadar glukosa darah. Hal yang sama dilakukan untuk blanko dan standar
glukosa
b. Dengan Glukometer
Terdiri dari alat glukometer dan strip glukosa Glucometer yang sesuai dengan nomor
pada alat. Alat ini secara otomatis akan hidup ketika glucose Tes strip dimasukkan dan
akan mati setelah glucose Tes strip dicabut. masukkan strip kedalam alat glukometer,
sehingga glucometer ini akan hidup secara otomatis, kemudian dicocokkan kode nomor
yang muncul pada layar dengan yang ada pada vial Check glucose Tes strip. Tes strip yang
dimasukkan pada glucometer pada bagian layar yang tertera angka yang harus sesuai
dengan kode vial Check glucose Tes strip, kemudian pada layar monitor glukometer
muncul tanda siap untuk diteteskan darah. Setuhkan tetesan darah yang keluar langsung
dari pembuluh darah ke Tes strip dan ditarik sendirinya melalui aksi kapiler. Ketika wadah

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


terisi penuh oleh darah, alat mulai mengukur kadar glukosa darah. Hasil pengukuran
diperoleh selama 10 detik.

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Batang pengaduk
2. Beaker
3. Gelas ukur
4. Gunting
5. Hot plate
6. Mixer
7. Spoit 1 cc
8. Spoit oral
9. Timbangan berat badan
10. Alat test glukosa

Bahan yang digunakan


1. Alkohol 70%
2. Aqua destilat,
3. Kapas
4. Natrium CMC.
5. Tablet Akarbose
6. Tablet Glibenklamid
7. Tablet Metformin
8. Glukosa
9. Aloxan
10. Streptozozin

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g- 30
g berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Praktikum


Efek obat hipoglikemik oral dapat diamati dengan membandingkan kadar
glukosa darah mencit sebelum pemberian dan setelah pemberian obat hipoglikemik
oral.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


V. Prosedur Kerja
Aklimitasi Mencit
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 4 kelompok dan masing–masing kelompok
terdiri dari 3 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda. Sebelum
penelitian dilakukan mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan pada
lingkungan percobaan, dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus cahaya terang
: gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum, sebelum perlakuan
mencit dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan air minum dan diberi makanan
standar. Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari 10% serta
memperlihatkan perilaku normal

Pembuatan Bahan Praktikum


Landasan Teori Pembuatan Natrium CMC 1%
1. Panaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih
2. Timbang Na.CMC sebanyak 1 g
3. Masukkan Na.CMC kedalam beaker gelas 300 ml lalu tambahkan 50 ml air
panas
4. Aduk campuran tersebut dengan mixer hingga homogen, ditandai dengan
tidak nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran berupa seperti
gel.
5. Tambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga volume
larutan tersebut menjadi 100 ml, dinginkan
Pembuatan Glukosa 5% b/v
1. Timbang Glukosa sebanyak sebanyak 5 g
2. Masukkan kedalam labu ukur 100 ml lalu tambahkan 50 ml air suling
3. Aduk campuran hingga larut
4. Lalu cukupkan volumenya hingga 100 ml dengan air suling.
Pembuatan Bahan Obat
Pembuatan bahan obat disesuaikan dengan berat badan mencit dan dihitung dosisnya sesuai
perhitungan dosis pada percobaan II

Metode Induksi Kimia

A. Pembebanan Glukosa (Toleransi Glukosa)


1. Gunakan mencit jantan sebanyak 12 ekor
2. Ditimbang berat badan tiap mencit lalu catat
3. Mencit kemudian dikelompokkan secara rawu ke dalam 4 kelompok, tiap kelompok
terdiri dari 3 ekor, dimana kelompok I sebagai kontrol, diberikan larutan Na.CMC

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


1%, kelompok II diberi suspensi glibenklamid, kelompok III diberi suspensi
akarbose dan kelompok IV diberi suspensi metformin HCL
4. Sebelum perlakukan mencit diambil darahnya melalui pembuluh darah yang ada di
vena ekor dengan cara di potong ekor mencit tersebut ± 0,5 cm dari ujung ekor
dengan menggunakan gunting yang telah di usap dengan alkohol 70%.
5. Darah yang keluar di teteskan pada strip glukometer yang terpasang pada alat.
Kadar glukosa darah yang muncul pada alat kemudian dicatat sebagai kadar glukosa
puasa
6. Setelah penentuan kadar glukosa puasa pada mencit, kemudian semua mencit
diberikan larutan glukosa 5% dengan dosis 1-2,5g/Kg BB mencit secara oral
7. menit kemudian diukur kadar glukosa darahnya sebagai kadar glukosa setelah
pembebanan,
8. pada menit ke 10 (atau 5 menit setelah kadar glukosa di ukur) setiap mencit
diberikan perlakuan, kelompok I diberi larutan Na.CMC 1%, kelompok II diberi
suspensi glibenklamid, kelompok III diberi suspensi akarbose dan kelompok IV
diberi suspensi metformin HCL, semua perlakukan secara oral dengan volume
pemberian adalah 0,2 ml / 30 g BB mencit.
9. Mencit kemudian dibiarkan dan diukur kadar gula darahnya tiap 20 menit selama
60 menit.
B. Aloxan
1. Gunakan mencit jantan sebanyak 12 ekor
2. Ditimbang berat badan tiap mencit lalu catat
3. Sebelum perlakukan mencit diambil darahnya melalui pembuluh darah yang ada di
vena ekor dengan cara di potong ekor mencit tersebut ± 0,5 cm dari ujung ekor
dengan menggunakan gunting yang telah di usap dengan alkohol 70%.
4. Darah yang keluar di teteskan pada strip glukometer yang terpasang pada alat.
Kadar glukosa darah yang muncul pada alat kemudian dicatat sebagai kadar glukosa
puasa
5. Setelah penentuan kadar glukosa puasa pada mencit, kemudian semua mencit
diberikan injeksi aloxan yang dilarutkan dalam infus NaCl 0,9% dengan dosis 100
mg/Kg BB mencit secara intraperitoneal
6. Setelah 2 minggu mencit yang memiliki kadar gula > 250 mg/dL (dicatat sebagai
kadar gula diabetik) dipisahkan dan digunakan dalam penelitian.
7. Mencit kemudian dikelompokkan secara rawu ke dalam 4 kelompok, tiap kelompok
terdiri dari 3 ekor, dimana kelompok I sebagai kontrol, diberikan larutan Na.CMC
1%, kelompok II diberi suspensi glibenklamid, kelompok III diberi suspensi
akarbose dan kelompok IV diberi suspensi metformin HCL.
8. kemudian setiap mencit diberikan perlakuan, kelompok I diberi larutan Na.CMC
1%, kelompok II diberi suspensi glibenklamid, kelompok III diberi suspensi

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


akarbose dan kelompok IV diberi suspensi metformin HCL, semua perlakukan
secara oral dengan volume pemberian adalah 0,2 ml / 30 g BB mencit.
9. Mencit kemudian dibiarkan dan diukur kadar gula darahnya tiap 20 menit selama
60 menit.

C. Streptozozin
1. Gunakan mencit jantan sebanyak 12 ekor
2. Ditimbang berat badan tiap mencit lalu catat
3. Sebelum perlakukan mencit diambil darahnya melalui pembuluh darah yang ada di
vena ekor dengan cara di potong ekor mencit tersebut ± 0,5 cm dari ujung ekor
dengan menggunakan gunting yang telah di usap dengan alkohol 70%.
4. Darah yang keluar di teteskan pada strip glukometer yang terpasang pada alat.
Kadar glukosa darah yang muncul pada alat kemudian dicatat sebagai kadar glukosa
puasa
5. Setelah penentuan kadar glukosa puasa pada mencit, kemudian semua mencit
diberikan injeksi streptozozin yang dilarutkan dalam buffer sitrat (0.1 M, pH 4.5)
dengan dosis 65 mg/Kg BB mencit secara intraperitoneal
6. Setelah 7 hari mencit yang memiliki kadar gula > 250 mg/dL (dicatat sebagai kadar
gula diabetik) dipisahkan dan digunakan dalam percobaan.
7. Mencit kemudian dikelompokkan secara rawu ke dalam 4 kelompok, tiap kelompok
terdiri dari 3 ekor, dimana kelompok I sebagai kontrol, diberikan larutan Na.CMC
1%, kelompok II diberi suspensi glibenklamid, kelompok III diberi suspensi
akarbose dan kelompok IV diberi suspensi metformin HCL.
8. kemudian setiap mencit diberikan perlakuan, kelompok I diberi larutan Na.CMC
1%, kelompok II diberi suspensi glibenklamid, kelompok III diberi suspensi
akarbose dan kelompok IV diberi suspensi metformin HCL, semua perlakukan
secara oral dengan volume pemberian adalah 0,2 ml / 30 g BB mencit.
9. Mencit kemudian dibiarkan dan diukur kadar gula darahnya tiap 20 menit selama
60 menit.

Data yang dikumpulkan berupa kadar glukosa darah puasa, setelah pembebanan,
dan tiap 10 menit setelah diberikan perlakuaan. Penentuan kadar glukosa darah
dapat dilakukan dengan menggunakan glukometer atau spektrofotometer.

VI. Tugas Pendahuluan


1. Jelaskan secara singkat patofisiologi dari penyakit diabetes tipe 1 dan 2 !
2. Jelaskan mekanisme kerja obat hipoglikemik oral yang anda gunakan dalam
percobaan diatas !

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


3. Jelaskan mekanisme kerja Aloxan dapat menyebabkan diabetes melitus dan DM
tipe berapa yang disebabkan oleh alloxan ?
4. Berapakah dosis yang digunakan untuk induksi Diabetes melitus dengan
menggunakan streptozocin, glukosa dan aloxan ?

VII. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas:

A. Data kadar glukosa hewan coba dengan menggunakan induksi Glukosa

Kadar Glukosa Darah Mencit


Kelompok Mencit Kadar Menit
Puasa Glukosa
20 40 60
Diabetik
Kontrol I
II
III
Glibenklamid I
II
III
Akarbose I
II
III
Metformin HCL I
II
III

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


B. Data kadar glukosa hewan coba dengan menggunakan induksi Aloxan

Kadar Glukosa Darah Mencit


Kelompok Mencit Kadar Menit
Puasa Glukosa
20 40 60
Diabetik
Kontrol I
II
III
Glibenklamid I
II
III
Akarbose I
II
III
Metformin HCL I
II
III

C. Data kadar glukosa hewan coba dengan menggunakan induksi Streptozozin

Kadar Glukosa Darah Mencit


Kelompok Mencit Kadar Menit
Puasa Glukosa
20 40 60
Diabetik
Kontrol I
II
III
Glibenklamid I
II

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


III
Akarbose I
II
III
Metformin HCL I
II
III

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN VIII
AKTIVITAS EFEK OBAT SISTEM SARAF PUSAT PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum
Mampu mempelajari atau mengetahui pengaruh obat terhadap penekanan
susunan saraf pusat (SSP) dengan mengamati waktu onset dan durasi.

II. Landasan Teori


Obat-obatan yang bekerja untuk sistem saraf pusat (SSP) merupakan salah satu
yang pertama ditemukan manusia primitif dan masih digunakan secara luas sebagai zat
farmakologi sampai sekarang. Beberapa golongan obat ini bersifat adiktif dan
menyebabkan disfungsi berat baik bagi pribadi, sosial maupun ekonomi, maka perlu
memberi batasan dalam penggunaan dan penyediaannya.
Cara kerja berbagai obat pada SSP tidak selalu dapat dijelaskan. Karena penyebab
penyakit-penyakit yang dapat disembuhkannya (seperti skizofren, ansietas) belum
seluruhnya dapat diketahui sehingga selama ini obat tersebut bersifat deskriptif.
Pertama, jelas semua obat SSP bekerja pada reseptor khusus yang mengatur
transmisi sinaps. Beberapa obat seperti anestetik umum dan alkohol dapat bekerja secara
nonspesifik pada membran (meskipun pengecualian ini tidak sepenuhnya diterima)
tetapi kerja tanpa melalui reseptor ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang
mencolok pada transmisi sinaps.
Kedua, obat-obatan merupakan alat paling pentng untuk mempelajari aspek
fisiologi SSP mulai dari terjadinya bangkitan sampai pada penyimpanan memori jangka
panjang, Ketiga, kerja obat dengan manfaat klinik yang nyata telah membawa hipotesa
yang sangat menguntungkan mengenai mekanisme penyakit. Misalnya, informasi
tentang obat antipsikotik pada reseptor memberikan dasar hipotesa tentang patologi
skizofren. Kajian beberapa efek agonis dan antagonis reseptor asam gamma-
aminobutirat (GABA) memberikan konsep baru tentang penyakit-penyakit termasuk
ansietas dan epilepsi.
Isoniazid dapat menimbulkan konvulsi dengan cara menghambat sintesis GABA
(gamma amino butiric acid). GABA merupakan neurotransmitter derivat asam amino
yang bersifat inhibitori yangdapat menghiperpolarisasikan neuron sistem saraf pusat
(Harahap dan Hadisahputra, 1999), sehingga apabila jumlah GABA menurun, akan
terjadi efek konvulsi. Lebih lengkapnya, enzim dekarboksilase asam glutamat dihambat
oleh pyridoxal 5 fosfat yang merupakan ko-faktor bagi enzim tersebut, akibatnya terjadi
penurunan jumlah GABA (Vasu dan Saluja, 2005). Diazepam dapat merupakan
relaksan otot yang bekerja sentral dan berpengaruh selektif terhadap refleks polisinaptik

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


disumsum tulang belakang, maka diazepam dapat digunakan untuk mengatasi kejangan
yang diakibatkan striknin.

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Batang pengaduk
2. Beaker
3. Gelas ukur
4. Gunting
5. Hot plate
6. Mixer
7. Spoit 1 cc
8. Spoit oral
9. Timbangan berat badan
10. Stopwatch

Bahan yang digunakan


1. Alkohol 70%
2. Aqua destilat,
3. Kapas
4. Natrium CMC.
5. Diazepam
6. Isoniazid

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g- 30
g berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Praktikum


Efek obat dapat diamati dengan membandingkan insiden kejadian konvulsi pada
mencit setelah pemberian isoniazid.

V. Prosedur Kerja
Aklimitasi Mencit
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 3 kelompok dan masing–masing kelompok
terdiri dari 3 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda. Sebelum
penelitian dilakukan mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan pada
lingkungan percobaan, dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus cahaya
terang : gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum, sebelum

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


perlakuan mencit dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan air minum dan diberi
makanan standar. Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari
10% serta memperlihatkan perilaku normal

Pembuatan Bahan Praktikum


Pembuatan Bahan Obat
Pembuatan bahan obat disesuaikan dengan berat badan mencit dan dihitung dosisnya sesuai
perhitungan dosis pada percobaan II
Diazepam 0,5% dosis 20 mg/kgBB dan 25 mg/KgBB serta Isoniazid 400 mg/kgBB

Prosedur
1. Hewan ditimbang, dicatat dan ditandai pada ekornya
2. Dihitung dosis dengan pemberian:
a) Mencit 1 : Kontrol aquadest dosis 1%/BB (i.p)
b) Mencit 2 : Diazepam [ ] 0,5 % dosis 20 mg/kgBB (i.p)
c) Mencit 3 : Diazepam [ ] 0,5 % dosis 25 mg/kgBB (i.p)
3. Diamati gejala yang terjadi pada mencit
4. Setelah 1 jam masing-masing mencit disuntikkan Isoniazid 2% dosis 400 mg/kgBB
secara intraperitoneal, lalu diamati onset konvulsi (awal mula kejang), durasi proteksi
selama 2 jam dan jumlah kematian selama 2 jam.
5. Dibuat grafik respon vs waktu

VI. Tugas Pendahuluan


1. Tuliskan judul, tujuan dan manfaat praktikum ?
2. Tuliskan prosedur praktikum ?
3. Hitunglah dosis obat yang akan digunakan pada praktikum ini?
4. Apa yang di maksud dengan konvulsi?
5. Jelaskan mekanisme isoniazid dalam menyebabkan konvulsi?
6. jelaskan mekanisme kerja diazepam dalam menghilangkan konvulsi?

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VII. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas:

Onset Konvulsi Durasi Proteksi Insiden Konvulsi Kematian dalam 2


No Perlakuan
(menit) (menit) (%) jam

1 Kontrol

Diazepam
2 dosis
20mg/KgBB
Diazepam
3 dosis
25mg/KgBB

Kontrol Diazepam I Diazepam II


Menit
Mencit Mencit Mencit Mencit Mencit Mencit Mencit
Mencit I Mencit I
I II III II III II III
5

10

15

20

25

30

35

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN IX
AKTIVITAS EFEK OBAT SISTEM SARAF OTONOM PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu mengukur dan
mengevaluasi diameter pupil mata kelinci akibat pengaruh obat kolonomimetik,
muskarinik bloker, agonis adrenergik dan adrenergik bloker.
.
II. Landasan Teori

Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi
(SST). SSP terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf
somatik (SSS) dan sistem saraf otonom (SSO).
SSS merupakan saraf volunter karena mensarafi otot rangka yang dapat
dikendalikan. Sedangkan SSO bekerja pada otot polos dan kelenjar yang tidak dapat
dikendalikan. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom,
seperti jantung, saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah,
kelenjar, paru-paru dan bronkus.
SSO mmpunyai 2 neuron, yaitu aferen (sensorik) dan eferen (motorik). Neuron
aferen mengirimkan inpuls (informasi) ke SSP, untuk diinterprestasikan. Neuron eferen
menerima inpuls dari otak dan diteruskan melalui medulla spinalis ke sel-sel organ
efektor, seperti jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan. Jalur eferen dari SSO dibagi
menjadi 2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik, yang sering disebut sebagai sistem
saraf simpatik dan sistem saraf para simpatik.
Sistem saraf simpatik dan parasimpatik jika bekerja pada organ yang sama akan
menghasilkan efek yang berlawanan untuk tujuan keseimbangan, kecuali pada organ
tertentu. Sistem saraf simpatik bersifat katabolik artinya menghabiskan energi. Sistem
saraf parasimpatik bersifat anabolik berarti berusaha menyimpan energi. Kerja obat pada
kedua sistem saraf ini menyebabkan perangsangan atau penghambatan.
Istilah untuk obat perangsangan simpatik adalah adrenergik, simpatomimetik
atau agonis adrenergik, dan penghambat simpatik, dan penghambat simpatik disebut
simpatolitik atau antiadrenergik. Istilah untuk perangsang parasimpatik adalah
kolinergik, parasimpatomimetik atau agonis kolinergik, dan penghambat parasimpatik
disebut parasimpatolitik atau antikolinrgik.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Sistem Saraf Parasimpatik
Kolinergik (Parasimpatomimetik)
1. Kolinoseptor
1) Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pila muskarin, yaitu
suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu. Sebalikya, reseptor
muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap nikotin.
2) Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal nikotin, tetapi
afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin memang memacu
reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyerap reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat, medula adrenalis,
ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular.
2. Obat yang bekerja pada kolinergik
1) Parasimpatomimetik langsung
Mekanisme: bekerja agonis terhadap reseptor kolinergik (M,N)
Klasifikasi berdasarkan struktur kimia :
• Ester cholin (asetilkolin, karbakol, metakolin) => (M,N)
• Alkaloida (muskarin, pilokarpin (M), nikotin, cytisine, labeline (N)).
2) Parasimpatomimetik tidak langsung
Mekanisme:menghambat kolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi
asetilkolin endogen disekitar kolinoseptor.
Dibagi 2:
Reversibel : mengikat kolineterase dalam waktu tertentu.
Irreversibel : mengikat kolineterase secara permanen
3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi pembuluh
darah, meningkatnya kontraksi otot polos saluran GI, kontriksi kandung kemih,
meningkatkan saliva, meningkatkan motilitas usus.

Antikolinergik (Parasimpatolitik)
1. Mekanisme : antagonis kompetitif asetilkolin di reseptor muskarin -> menghambat
aktivitas sistem saraf parasimpatik -> semua efek asetilkoin diperlemah.
2. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi pembuluh darah,
relaksasi otot polos saluran GI, relaksasi kandung kemih, relaksasi uterus.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Sistem Saraf Simpatik
Adrenergik (Simpatomimetik)
1. Simpatomimetik langsung
Pada reseptor :
Alfa-1 : mengaktivasi organ-organ efektor seperti otot-otot polos (vasokontriksi) dan
sel-sel kelenjar dengan efek bertambahnya sekresi ludah dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf adrenergik dengan efek
turunnya tekanan darah.
Beta-1 : memperkuat data dan frekuensi kontraksi jantung.
Beta-2 : bronkodilatasi dan stimulatasi dan stimulasi metabolisme glikogen dan lemak.
1) Simpatomimetik Nonspesifik Langsung
Mekanisme : bekerja antagonis pada sistem saraf simpatik, aktivasi adrenoseptor
2) Simpatomimetik Alfa Langsung
• Penggunaan sistemik (nonselektif) : alfa-1 dan alfa-2
• Penggunaan lokal (selektif) : alfa-1 atau alfa-2
3) Simpatomimetik Beta Langsung
• Nonselektif :kerja pada beta-1 dan beta-2
• Selektif beta 2
2. Simpatomimetik Tidak Langsung
Mekanisme : melepaskan noradrenalin dan atau menghambat penguraian atau
menghambat uptake noradrenalin.
3. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi pembuluh darah,
relaksasi GI, relaksasi otot kandung kemih, relaksasi uterus.

Antiadrenergik (Simpatolitik)
1. Simpatolitik Alfa
1) Simpatolitik alfa (alfa bloker) nonselektif
• Derivat haloalkilamin
Mekanisme: bentuk basa->kehilangan gugus beta halogen ->membentuk cincin
etilenimonium->membentuk ion karbonium yang sangat reaktif+gugus sulfidril,
amino -> ikatan kovalen yang stabil dangan adrenoseptor alfa.
• Derivat imidazolin
Mekanisme : menghambat reseptor alfa, dan agonis reseptor muskarinik
• Derivat alkaloid ergot
Mekanisme : antagonis parsial pada reseptor alfa adrenergik, dopamin dan
serotonin.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


2) Simpatolitik alfa-1 selektif
3) Simpatolitik alfa-2 selektif
Mekanisme : memblok reseptor alfa-2 pascasinaps, menyebabkan peningkatan
aktivitas neuron adrenergik sentral, meningkatkan pelepasan NE dari ujung saraf
adrenergik di perifer, akibatnya tekanan darah meningkat.
2. Simpatolitik Beta (beta bloker)
Mekanisme : antagonis kompetitif terhadap adrenoseptor beta.
3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi pembuluh darah,
kontaksi GI, kontraksi kandung kemih.

Perangsangan Simpatik dan Parasimpatik

Perangsangan Simpatik Perangsangan Parasimpatik


- Meningkatkan tekanan darah - Menurunkan tekanan darah
- Meningkatkan denyut nadi - Menurunkan denyut nadi
- Relaksasi bronkus - Kontraksi bronkus
- Dilatasi pupil - Kontraksi pupil
- Relaksasi saluran kemih - Meningkatkan kontraksi saluran
- Relaksasi otot polos GI kemih
- Relaksasi urterus - Meningkatkan kontraksi GI
- Meningkatkan gula darah - Meningkatkan tonus otot

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Timbangan berat badan
2. Stopwatch
3. Botol tetes
4. Flashlight (senter)
5. Jangka sorong
6. Kaca pembesar

Bahan yang digunakan


1. Kapas
2. Atropin 1%
3. Pilokarpin 1%

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah kelinci dengan berat 1,5-2 kg

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


IV. Prinsip Praktikum
Efek obat dapat diamati dengan mengukur diameter pupil mata kelinci sebelum dan
sesudah perlakuan.

V. Prosedur Kerja
Aklimitasi Mencit
Hewan percobaan yaitu dua kelinci. Setiap kelinci dipisahkan dalam kandang yang
berbeda. Sebelum penelitian dilakukan kelinci diaklimatisasi selama 7 hari untuk
membiasakan pada lingkungan percobaan, dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar,
siklus cahaya terang : gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air
minum, sebelum perlakuan kelinci dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan air
minum dan diberi makanan standar. Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan
tidak lebih dari 10% serta memperlihatkan perilaku normal

Prosedur
1. Diukur diameter mata normal kanan dan kiri kelinci serta refleksnya terhadap cahaya
sebanyak 3 kali dengan selang waktu 5 menit.
2. Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes pada mata kanan dan kiri.
3. Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleksnya terhadap cahaya selama
30 menit selang waktu 5 menit.
4. Setelah 30 menit diberi tetes mata atropin sebanyak 2 tetes pada kedua mata.
5. Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleksnya terhadap cahaya selama
30 menit selang waktu 5 menit.
6. Dibuat grafik diameter pupil vs waktu

VI. Tugas Pendahuluan


1. Tuliskan judul, tujuan dan manfaat praktikum ?
2. Tuliskan prosedur praktikum ?
3. Apa alas an pemberian atropine pada kelinci ?
4. Jelaskan mekanisme kerja atropine pada praktikum ini?
5. Jelaskan mekanisme kerja pilokarpin pada praktikum ini ?
6. Gambarkan anatomi mata?

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VII. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas:

A. Kelinci Kontrol

No Perlakuan Waktu Mata Kiri Mata Kanan

(menit) D (mm) Refleks D (mm) Refleks

10
Normal
1 15

Rata-rata

10

15

2 Pilokarpin 20

25

30

35

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


40

45

50

55

60

B. Kelinci dengan Pemberian Obat

No Perlakuan Waktu Mata Kiri Mata Kanan

(menit) D (mm) Refleks D (mm) Refleks

1 Normal 5

10

15

Rata-rata

Pilokarpin 5

10

15

20
2
25

30

Atropin 35
Sulfat
40

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


45

50

55

60

Keterangan Refleks :
+ = Lambat
++ = Cepat
- =Tidak ada reaksi

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN X
AKTIVITAS EFEK OBAT DIURETIK PADA HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum
Untuk menganalisis efek diuretik pada mencit dengan melihat dan mengamati serta
menentukan jumlah volume dan, frekuensi urin pada hewan uji mencit (mus musculus)
setelah pemberian obat diuretik
.
II. Landasan Teori

Diuretik adalah obat-obat yang meningkatkan laju aliran urin, namun secara klinik
diuretik juga bermanfaat untuk meningkatkan laju ekskresi Na+ dan anion yang
menyertainya, biasanya Cl-. (Dasar Farmakologi Terapi). Diuretik tidak hanya mengubah
ekskresi Na+, tetapi juga memodifikasi pengaturan kation lain (misalnya K +, H+, Ca2+,
dan Mg2+ ), anion lain (seperti Cl , HCO3 , dan H2PO4 ) dan asam urat oleh ginjal. Selain
itu, diuretik juga secara tidak langsung dapat mengubah hemodinamik ginjal.
Pada banyak penyakit, jumlah natrium klorida yang direabsorbsi oleh tubulus ginjal
adalah tinggi secara abnormal. Hal ini mengakibatkan retensi air, peningkatan volume
darah dan ekspansi kompartemen cairan ekstravaskuler, yang mengakibatkan edema
jaringan. Beberapa penyakit edema jaringan yang biasa dihadapi meliputi gagal jantung,
asites hepatik dan sindrome nefrotik.
Diuretik juga diketahui digunakan secara luas dalam terapi penyakit nonedema
seperti hipertensi, hiperkalsemia dan diabetes insipides.
Diuretik dapat dibedakan menjadi :
1. Diuretik tiazid dan analog mirip tiazid
2. Diuretik loop dan high-ceilling
3. Diuretik hemat kalium
4. Penghambat karbonik anhidrase

Mekanisme Kerja Diuretik


Pada dasarnya diuretik memiliki daya kerja dengan mengurangi reabsorbsi natrium
sehingga jumlah cairan banyak dikeluarkan melalui saluran kemih. Target obat diuretik
itu berada pada bagian–bagian di ginjal yaitu:
1) Tubulusproksimal
Tubulus proksimal merupakan target kerja dari diuretik osmotik seperti manitol dan
sorbitol. Diuretik ini bekerja dengan menghambat reabsorbsi NaCl secara aktif dan
reabsorpsi berlangsung secara proporsional sehingga bersifat isotonis terhadap plasma
(Tjay and Rahardja, 2015).

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


2) LengkungHenle
Furosemid, bumetanid, asam etakrinat dapat menghambat transport klorida dan
reabsorpsi natrium di lengkung Henle, sehingga ekskresi kalium dan air tinggi. Hal
tersebut dapat terjadi karena adanya mekanisme reabsorbsi aktif klorida yang diikuti
reabsorbsi pasif natrium dan kalium (Tjay and Rahardja, 2015).
3) Tubulusdistal
Mekanisme obat diuretik di tubulus distal dibagi menjadi dua bagian yaitu: pertama
reabsorbsi aktif ion Na+ tanpa air yang bersifat hipotonis dapat terjadi pada diuretik tiazid
dan klortalidon, kedua terjadi pertukaran garam dengan kalium atau ammonium yang
dikendalikan oleh obat-obat golongan antagonis aldosteron (spironolakton) dan zat–zat
penghemat kalium (amilorid, triamteren) sehingga menyebabkan ekskresi natrium (< 5%)
dan retensi kalium (Tjay and Rahardja, 2015).
4) Saluran pengumpul
Hormon antidiuretik seperti vasopressin berperan pada sistem saraf pusat dan
sebagai vasopresor kuat pada sekresi ACTH ( Hormon adrenokortikotropik), suhu badan,
saluran cerna. Target kerja obat diuretik di saluran ini dengan mekanisme mempengaruhi
permeabilitas sel air (homeostasis air) (Tjay and Rahardja, 2015).

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Batang pengaduk
2. Beaker Gelas ukur
3. Hot plate
4. Kandang urinasi
5. Mixer
6. Spoit 1 ml
7. Kanula
8. Timbangan berat badan
9. Stopwatch

Bahan yang digunakan


1. Alkohol 70%
2. Aqua destilat,
3. Kertas Saring
4. Na. CMC
5. Tablet Furosemid
6. Tablet Hidroklortiazid
7. Tablet Spironolakton

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Hewan yang digunakan
Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g- 30
g berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Praktikum


Efek obat diuretik dapat diamati dengan meningkatnya frekuensi urinasi dan volume
urin pada hewan coba.

V. Prosedur Kerja
Aklimitasi Mencit
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 4 kelompok dan masing–masing kelompok
terdiri dari 3 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda. Sebelum
penelitian dilakukan mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan pada
lingkungan percobaan, dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus cahaya terang
: gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum, sebelum perlakuan
mencit dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan air minum dan diberi makanan
standar. Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari 10% serta
memperlihatkan perilaku normal

Pembuatan Bahan Praktikum


Landasan Teori Pembuatan Natrium CMC 1%
1. Panaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih
2. Timbang Na.CMC sebanyak 1 g
3. Masukkan Na.CMC kedalam beaker gelas 300 ml lalu tambahkan 50 ml air panas
4. Aduk campuran tersebut dengan mixer hingga homogen, ditandai dengan tidak
nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran berupa seperti gel.
5. Tambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga volume larutan tersebut
menjadi 100 ml, dinginkan

Pembuatan Bahan Obat


Pembuatan bahan obat disesuaikan dengan berat badan mencit dan dihitung dosisnya sesuai
perhitungan dosis pada percobaan II

Prosedur
1. Gunakan mencit jantan sebanyak 12 ekor
2. Ditimbang berat badan tiap mencit lalu catat
3. Mencit kemudian dibagi dalam 4 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari
3 ekor mencit.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


4. Kemudia masing-masing kelompok diberikan perlakukan dimana kelompok I adalah
kontrol, diberikan Na.CMC1%, kelompok 2 diberikan suspensi HCT, kelompok 3,
diberikan suspensi Spironolakton, Kelompok 4, diberikan suspensi Furosemid.
Pemberian dilakukan secara intrapritoneal (ip) atau secara oral dengan volume
pemberian 0,2 ml/30 g BB mencit
5. Mencit kemudian ditempatkan dalam kandang khusus yang memilki penampungan
urin
6. Urine mencit ditampung selama 2 jam, dengan pencatatan volume urine dilakukan tiap
30 menit.
7. Urine yang terkumpul kemudian ditentukan kandungan Ion Na+, dan K+

Data yang dikumpulkan berupa Volume urin kumulatif pada jam ke-2 diukur
menggunakan gelas ukur, kadar natrium dan kalium urin hewan uji diukur menggunakan
spektrofotometer autolyzer.

VI. Tugas Pendahuluan


1. Jelaskan mekanisme terjadinya urinasi
2. Gambarkan letak kerja obat diuretik pada nefron
3. Jelaskan mekanisme obat diuretik HCT, Furosemid dan Spironolakton
4. Jelaskan cara mengukur volume urine pada praktikum ini
5. Apa tujuan adanya kelompok kontrol

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VIII. Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas:

Tabel Pengamatan Efek Obat Diuretik Pada Mencit

Hewan Uji Kadar Ion


Volume Volume
Bahan Na K
Kode BB Pemberian Urine
Sbl Sdh Sbl Sdh
Kontrol 1
2
3
HCT 1
2
3
Spironolakton 1
2
3
Furosemid 1
2
3

Paraf Dosen Pengampu :


Praktikan
Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN XI
AKTIVITAS EFEK OBAT TERHADAP SISTEM IMMUN HEWAN COBA

I. Tujuan Praktikum
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa diharapkan dapat mengevaluasi aktivitas
antialergi obat/sediaan uji dengan metode anafilaksis kutan aktif.

II. Landasan Teori


Sel mastosit adalah sel yang inflamasi yang terdapat pada jaringan, berasal dari
proliferasi dan diferesiasi sel hematopoeitik sum-sum tulang. Sel ini berperan dalam
merespon signal imunitas alami (innate immunity) dan juga imunitas dapat (adaptive
immunity) dengan melepaskan mediator inflamasi, dengan reaksi yang cepat (immediate)
ataupun reaksi yang bertahap (delay). Sel mastosit banyak dijumpai, terutama di dalam
aliran darah atau di dalam jaringan-jaringan tubuh (Stone et al. 2009). Mediator utama
yang dilepaskan oleh sel mastosit dalam merespon adanya agen-agen asing berbahaya
yang masuk ke dalam tubuh adalah histamin. Disamping berfungsi dalam proteksi dari
serangan agen berbahaya yang masuk, histamin juga mempunyai efek lain, seperti pada
kontraksi otot halus, pad sel-sel endotel, serta pada ujung saraf. Sel mastosit manusia
mengandung lebih kurang 2 sampai 5 pg histamin per sel (Prusin & Metclafe, 2003).
Alergen spesifik sel T helper memainkan peranan yang penting dalam reaksi patogenesis
hipersensitifitas Sel Th mengaktifkan reaksi kompleks imun (IgE-sel mast) yang mencetus
rilisnya mediator poten dan meningkatkan penarikan sel-sel inflamasi (Nauta et al. 2008).
Anafilaksis adalah reaksi alergi merugukan yang terjadi secara cepat dan sistematik,
mempengaruhi satu atau lebih organ tubuh. Reaksi anafilaksis dapat terjadi setelah
paparan makanan yang mengandung protein, obat-obatan, racun serangga serta benda
yang bersifat alergen (Boyce et al. 2009). Reaksi anafilaksis dicetusoleh cross-linking
antara Ig-E dan agregasi reseptor FcR1 pada permukaan sel mastosit dan basofil (Simons
& Sampson, 2008). Pada saat masuknya antigen, akan terjadi reaksi pengaktifan sel
mastosit (melalui fragmen Ig-E yang menempel pada permukaan sel mastosit) sehingga
terjadi rilis histamin yang ada di dalam sel mastosit (Kemp & Lokey, 2002). Jumlah
histamin yang dirilis dalam respon ini sangat banyak sehingga tidak mampu
dimetabolisme oleh enzim histaminase, kelebihan histamin ini akan menyebabkan
gangguan fasiologis pada jaringan dan organ tubuh, seperti bronkokontriksi, dilatasi
pembuluh darah, udema (pembengkakan pada kulit) kontraksi pada saluran pencernaan
(Leung & Ledford, 2009).
Banyak metode yang bisa digunakan untuk mengetahui aktivitas anti-alergi suatu
senyawa atau bahan obat. Secara in vivo, model hewan yang tersensitisasi antigen yang
berasal dari protein asing maupun antibodi, dapat digunakan sebagai hewan percobaan
dapat digunakan sebagai model hewan. Penyuntikan antigen protein asing ke dalam tubuh

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


hewan secara subkutan/intradermal akan merangsang reaksi anafilaksis kutan aktif,
penyuntikan larutan evans blue setelah sensitisasi (7 sampai 14 hari) akan memunculkan
bentolan yang berwarna biru pada daerah sensitisasi tersebut (Arimura etal. 1990).
Penyuntikan antibodi ke tubuh hewan secara subkutan/intradermal akan mencetus reaksi
anafilaksis kutan pasif, setelah masa laten (24 sampai 72 jam), penyuntikan berulang
antibodi dengan evans blue menyebabkan munculnya bentolan biru pada daerah
sensitisasi (Park et al. 2005). Rilis histamin dari sel mastosit juga dapat ditentukan dengan
metode stabilitas sel mastosit secara in vitro, kemampuan suatu senyawa atau bahan obat
dalam menghambat degranulasi mastosit dapat diamati secara mikroskopik (Guphta et al.
1995). Kadar histamin yang dihasilkan juga dapat ditentukan dengan metode
spektrofluorometri (Shore et al. 1959). Namun, pengujian secara in vitro jarang dilakukan
dalam skala praktikum, sebab proses dan preparasi bahan- bahan serta sample sel dan
histamin yang relatif rumit.

Obat Antihistamin (Antialergi)


Berdasarkan mekanisme kerjanya, antihistamin dapat dibedakan menjadi tiga golongan
yaitu antagonis reseptor histamin, inhibitor penglepasan histamin dan anti-IgE (McKay
dan Oosterhout, 2000).
1. Antagonis reseptor histamin H1
Golongan obat ini bekerja dengan cara menduduki reseptor histamin, sehingga
menghambat efek fisiologis histamin. Contoh golongan obat ini adalah
dexchlorofeneramin, difenhidramin, prometazin.
2. Penghambat penglepasan hsitamin
3. Golongan obat ini bekerja dengan cara menghalangi pelepasan histamin dari sel
mastosit. Mekanisme aksi dari golongan obat ini adalah menghambat dan
menurunkan influks Ca2+ ke dalam sel, serta menghambat aktivasi sel mastosit.
Contoh golongan obat ini adalah natrium kromolin, natrium kromoglikat dan natrium
nedokromil.
4. Anti IgE
Pengobatan dengan menggunakan golongan obat ini relatif baru. Golongan obat ini
adalag antibodi monoklonal dengan sasaran aksi kerjany adalah IgE, yang
bertanggung jawab dalam mengaktifkan sel mastosit untuk melepaskan histamin.
Contoh golongan obat ini adalah antibodi monoklonal omalizumab.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


III. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan
1. Batang pengaduk
2. Beaker Gelas ukur
3. Alat Pencukur
4. Spoit 1 mL
5. Kanula
6. Timbangan berat badan
7. Stopwatch
8. Penggaris

Bahan yang digunakan


1. Alkohol 70%
2. Aqua destilat,
3. NaCl 0,9%
4. Ovalbumin
5. Metilen blue
6. Na CMC
7. CTM 1%

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah tikus jantan, dengan berat badan 200 gram

IV. Prinsip Praktikum


Efek obat diuretik dapat diamati dengan meningkatnya frekuensi urinasi dan volume urin
pada hewan coba.

V. Prosedur Kerja
Aklimitasi
Hewan percobaan dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Setiap kelompok dipisahkan
dalam kandang yang berbeda. Sebelum penelitian dilakukan mencit diaklimatisasi selama
7 hari untuk membiasakan pada lingkungan percobaan, dipelihara dalam ruangan dengan
suhu kamar, siklus cahaya terang : gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler
dan air minum, sebelum perlakuan mencit dipuasakan selama 10 jam tetapi tetap diberikan
air minum dan diberi makanan standar. Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat
badan tidak lebih dari 10% serta memperlihatkan perilaku normal

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Pembuatan Bahan Praktikum
Landasan Teori Pembuatan Natrium CMC 1%
1. Panaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih
2. Timbang Na.CMC sebanyak 1 g
3. Masukkan Na.CMC kedalam beaker gelas 300 ml lalu tambahkan 50 ml air panas
4. Aduk campuran tersebut dengan mixer hingga homogen, ditandai dengan tidak
nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran berupa seperti gel.
5. Tambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga volume larutan tersebut
menjadi 100 ml, dinginkan

Pembuatan Bahan Obat


Pembuatan bahan obat disesuaikan dengan berat badan mencit dan dihitung dosisnya sesuai
perhitungan dosis pada percobaan II

Prosedur
1. Satu minggu sebelum praktikum, hewan diaklimitasi
2. Hewan dibagi dalam beberapa kelompok.
3. Hewan disensitisasi secara aktif dengan injeksi suspensi ovalbumin dalam NaCl 0.9%
sebanyak 0,6 ml secara i.p dan 3 hari selanjutnya dengan suspensi ovalbumin dalam
NaCl 0,9% sebanyak 0,1 ml secara intraplantar.
4. Pada hari praktikum, hewan yang sudah disensitisasi dicukur bulu punggungnya lalu
ditritmen dengan CTM 1% dengan dosis 6 mg/kg BB dan larutan ekstrak dengan
dosis 100 mg/kg BB.
5. Satu jam berikutnya, hewan disuntik dengan larutan metilen blue sebanyak 0.2 mL,
secara intavena melalui vena ekor.
6. Hewan disuntikan lagi dengan ovalbumin pada daerah sensitisasi awal secara
subkutan.
7. Dilakukan pengamatan dengan interval waktu 30, 60 dan 80 menit.
8. Anafilaksis kutan aktif ditandai dengan munculnya benjolan yang berwarna biru pada
area injeksi (punggung).
9. Hasil pengamatan diberikan skor seperti yang terdapat pada tabel berikut.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VI. Tugas Pendahuluan
1. Jelaskan proses terjadi reaksi alergi ?
2. Jelaskan mekanisme kerja obat antihistamin?
3. Jelaskan alasan pemberian ovalbumin pada praktikum ini?
4. Jelaskan patofisiologi terjadinya anafilaksis ?
5. Jelaskan fungsi sel darah putih ?
6. Jelaskan perbedaan antibody dan antigen ?
7. Sebutkan dan jelaskan pembagian antibody?

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VII.Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas:

Tabel Pengamatan Efek Obat Immun Pada Mencit

Waktu Pengamatan
Bahan Mencit
30 menit 60 menit 90 menit
Kontrol I
II
III
Sediaan Uji I
II
III
CTM I
II
III

Praktikan Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PERCOBAAN XII
ANALISIS EFEK TOKSIK OBAT

I. Tujuan Praktikum
Untuk menganalisis efek toksisitas akut luminal yang diberikan secara oral kepada
mencit jantan (mus musculus)

II. Landasan Teori


Obat adalah bahan atau campuran bahan-bahan yang pada dosis terapi memilki
efek yang diinginkan dalam pengobatan. Selain memiliki efek yang diinginkan obat juga
memilki efek yang tidak inginkan, efek yang tidak diinginkan biasa dikenal sebagai efek
samping yang sering kali tidak dapat dihindari. Namun selain efek samping, obat juga
memiliki efek toksik, dimana efek ini harus dihindari dalam penggunaan obat. Modul ini
akan membantu anda untuk dapat mengenali tanda-tanda terjadinya toksisitas dan
membantu anda dalam menghitung LD50 serta menentukan tingkat dosis toksisitas suatu
obat.
Toksisitas adalah kemampuan suatu bahan atau senyawa kimia untuk
menimbulkan kerusakan pada saat mengenai bagian dalam atau permukaan tubuh yang
peka. Untuk dapat mengetahui informasi efek toksik dari suatu obat atau bahan tertentu,
maka dapat diperoleh dari percobaan menggunakan hewan uji sebagai model yang
dirancang pada serangkaian uji toksisitas yang meliputi uji toksisitas akut oral, toksisitas
subkronis oral, toksisitas kronis oral, teratogenisitas, sensitisasi kulit, iritasi mata, iritasi
akut dermal, iritasi mukosa vagina, toksisitas akut dermal, dan toksisitas subkronis dermal.
Pemilihan uji tersebut, tergantung dari tujuan penggunaan suatu zat dan kemungkinan
terjadinya risiko akibat pemaparan pada manusia.
Banyak faktor dapat mempengaruhi validitas hasil uji toksisitas diantaranya faktor
dari sediaan uji, penyiapan sediaan uji, hewan uji, dosis, teknik dan prosedur pengujian,
serta kemampuan SDM sehingga sangat diperlukan pemahaman terhadap bermacam-
macam faktor tersebut.

KETENTUAN-KETENTUAN UMUM PADA UJI TOKSISITAS


Informasi awal terhadap bahan yang akan diuji toksisitasnya akan sangat mempengaruhi
hasi uji toksisitas, oleh karena ini penting untuk menyediakan informasi yang akurat
terhadap sampel uji toksisitas. Informasi itu dapat berupa :
1. Sediaan uji yang berupa zat kimia memerlukan informasi berikut:
a) Identitas bahan
b) Sifat fisiko- kimia
c) Kemurnian
d) Kadar cemaran

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


2. Sediaan uji yang berupa simplisia tanaman obat memerlukan informasi berikut:
a) Nama latin dan nama daerah tanaman
b) Deskripsi daerah penanaman
c) Bagian tanaman yang digunakan
d) Pemerian simplisia
e) Cara pembuatan dan penanganan simplisia
f) Kandungan kimia simplisia

Beberapa Faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan Uji Toksisitas


1. Dosis Uji
Dosis uji harus disesuaikan dengan dosis penggunaan yang lazim pada manusia. Dosis
lain meliputi dosis dengan faktor perkalian tetap yang mencakup dosis yang setara
dengan dosis penggunaan lazim pada manusia sampai mencapai dosis yang
dipersyaratkan untuk tujuan pengujian atau sampai batas dosis tertinggi yang masih
dapat diberikan pada hewan uji.
2. Kelompok Kontrol
Pada setiap percobaan digunakan kelompok kontrol yang diberi pelarut/pembawa
sediaan uji tanpa sampel uji dan dapat juga digunakan kelompok kontrol tanpa
perlakuan tergantung dari jenis uji toksisitas.
3. Cara Pemberian Sediaan Uji
Pada dasarnya pemberian sediaan uji harus sesuai dengan cara pemberian atau
pemaparan yang diterapkan pada manusia misalnya peroral (PO), topikal, injeksi
intravena (IV), injeksi intraperitoneal (IP), injeksi subkutan (SK), injeksi intrakutan
(IK), inhalasi, melalui rektal dll.
4. Hewan Uji
Pada dasarnya pemilihan jenis hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus
dipertimbangkan beberapa faktor seperti sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang
serupa dengan manusia, kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan
sewaktu dilakukan percobaan.
Hewan pengerat seperti tikus dan mencit merupakan jenis hewan yang memenuhi
persyaratan tersebut diatas, sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas.
Hewan yang digunakan harus sehat; asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta berat
badan harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak
lebih dari 20%. Adapun kriteria hewan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


TOKSISITAS AKUT
Pengujian toksisitas akut dengan menggunakan hewan percobaan diperlukan untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian suatu zat dalam
dosis tunggal atau dosis berulang yang diberikan secara dalam waktu tidak lebih dari 24 jam;
apabila pemberian dilakukan secara berulang, maka interval waktu tidak kurang dari 3 jam.
Hasil toksisitas akut dievaluasi berdasarkan kriteria bahaya dari GHS (Globally Harmonised
Classification System for Chemical Substances and Mixtures) yang tercantum dalam
Thirteenth Addendum to The OECD Guidelines for The Tesing of Chemicals (2001), Kriteria
penggolongan menurut OECD (2001) digunakan untuk penentuan kategori toksisitas akut
bahan kimia seperti pestisida serta untuk pelabelannya.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Sedangkan untuk obat, obat tradisional dan bahan lainnya (Generally Recognized As
Safe/GRAS) seperti bahan pangan, penentuan kategori toksisitas akut digunakan
penggolongan klasifikasi seperti pada tabel berikut

METODE UJI TOKSISITAS AKUT


Pada awalnya toksistas akut diuji menggunakan metode konvensional, namun metode
ini mempunyai kelemahan yaitu hewan uji yang dibutuhkan dalam menentukan parameter
akhir cukup banyak, dimana bertentangan dengan animal welfare. Oleh karena itu pada tahun
1984 telah dibuat metode alternatif dimana hewan yang digunakan jumlahnya lebih sedikit
yaitu metode Up and Down Procedure, Fixed Dose Method dan Toxic Class Method.
Metode Alternatif ini merupakan revisi metode OECD tahun 1984 untuk mendapatkan
jalan pintas dalam mengklasifikasikan senyawa kimia. Pada metode alternatif, hanya
menggunakan satu jenis kelamin hewan uji. Hal ini disebabkan karena dari literatur tidak ada
perbedaan nilai LD50 yang signifikan akibat perbedaan jenis kelamin, tetapi pada keadaan
yang berbeda nilai LD50 umumnya jenis kelamin betina lebih sensitif, maka pada uji alternatif
hanya menggunakan hewan betina. Jumlah hewan yang digunakan pada uji alternatif lebih
sedikit dibandingkan dengan metode konvensional. Dalam pedoman ini hanya dibahas uji
toksisitas akut metode konvensional dan Fixed Dose Method

METODE KONVENSIONAL
PROSEDUR
Hewan Uji dan Jumlah
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau Wistar)
atau mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Syarat hewan uji adalah sehat, umur
5-6 minggu untuk mencit, 8-12 minggu untuk tikus. Sekurang-kurangnya 3 kelompok yang
masing-masing kelompok terdiri atas 5 ekor dengan jenis kelamin sama (jantan atau betina).
Hewan dikelompokkan secara acak sedemikian rupa sehingga penyebaran berat badan merata
untuk semua kelompok dengan variasi berat badan tidak melebihi 20% dari rata-rata berat
badan. Jika digunakan hewan uji berkelamin betina, maka hewan uji tersebut harus nullipara
dan tidak sedang bunting.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Dosis Uji
Sekurang-kurangnya digunakan 3 dosis berbeda. Dosis dapat diperoleh dari literatur resmi.
Dosis terendah adalah dosis tertinggi yang sama sekali tidak menimbulkan kematian,
sedangkan dosis tertinggi adalah dosis terendah yang menimbulkan kematian 100 %. Dengan
interval dosis yang mampu menghasilkan rentang toksisitas dan angka kematian. Dari data ini
akan diperoleh suatu kurva dosis-respon yang dapat digunakan untuk menghitung nilai LD50.

Batas Uji
Bila hingga dosis 5000 mg/kg BB (pada tikus) tidak menimbulkan kematian, maka uji tidak
perlu dilanjutkan dengan menggunakan dosis bahan uji yang lebih tinggi

Pengumpulan dan Analisis Data


Pengumpulan Data
Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam bentuk tabel
yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang menunjukkan gejala
toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan yang mati karena sekarat
(keadaan moribound)

Analisis Data
Nilai LD50 dihitung dengan metode Thompson & Weil, Litchfield & Wilcoxon, Miller &
Tainter, regresi linear/probit atau metode statistik lainnya. Semua hewan yang mati, baik yang
mati dengan sendirinya atau yang mati dalam keadaan moribound digabungkan jumlahnya
untuk penghitungan nilai LD50

FIXED DOSE METHOD


Metode ini digunakan untuk bahan uji dengan derajat toksisitas sedang dan dosis yang dipilih
adalah yang tidak menimbulkan kematian, nyeri hebat atau iritatif/ korosif

PRINSIP
Sekelompok hewan uji dengan jenis kelamin yang sama diberikan dosis bertingkat
menggunakan metode fixed doses antara lain: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg (dosis dapat
ditambah hingga 5000 mg/kg). Dosis awal dipilih berdasarkan uji pendahuluan sebagai dosis
yang dapat menimbulkan gejala toksisitas ringan tetapi tidak menimbulkan efek toksik yang
berat atau kematian. Prosedur ini dilanjutkan hingga mencapai dosis yang menimbulkan efek
toksik atau ditemukan tidak lebih dari 1 kematian, atau tidak tampak efek toksik hingga dosis
yang tertinggi atau adanya kematian pada dosis yang lebih rendah.

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


PROSEDUR
Penyiapan Hewan Uji
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau Wistar) atau
mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Umumnya digunakan tikus betina karena
sedikit lebih sensitif dibandingkan tikus jantan. Namun bila bahan uji (menurut literatur)
secara toksikologi atau toksikokinetik menunjukkan bahwa tikus jantan lebih sensitif, maka
jenis kelamin jantan harus digunakan untuk uji. Secara prinsip jika hewan jantan digunakan
maka diperlukan alasan yang kuat.
Kriteria hewan uji meliputi:
a) Hewan sehat dan dewasa
b) Hewan betina harus yang belum pernah beranak dan tidak sedang bunting.
c) Pada permulaan uji, setiap hewan harus berumur 8-12 minggu dengan variasi berat
badan tidak boleh melebihi 20% dari rata-rata berat badan.
Hewan diseleksi secara acak, diberi tanda untuk identifikasi tiap-tiap hewan, dan dilakukan
aklimatisasi sekurang-kurangnya 5 hari sebelum diberi perlakuan.

Penyiapan Sediaan Uji


Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata, minyak
nabati). Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi yang
aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak
jagung) dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka karakteristik toksisitas cairan
pembawa sudah harus diketahui

Pemberian Sediaan uji dan Volume Pemberian


Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama 14-18
jam, namun air minum boleh diberikan; mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh
diberikan). Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji
diberikan dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian, sediaan uji dapat diberikan
beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam. Setelah
diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam
untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa kali, maka pakan boleh diberikan setelah
perlakuan tergantung pada lama periode pemberian sediaan uji tersebut. Volume cairan
maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Pada rodensia, jumlah
normalnya tidak melampaui 1 mL/100 g. berat badan, namun bila pelarutnya air (aqueous)
dapat diberikan hingga 2 mL/100 g berat badan. Umumnya sediaan uji diberikan dalam
volume yang tetap selama pengujian (konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji berupa
cairan atau campuran cairan, sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan
(konsentrasi tetap).

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Uji Pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama.
Dosis awal pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50, 200 dan 2000
mg/kg BB sebagai dosis yang diharapkan dapat menimbulkan efek toksik (Lampiran 1, 2).
Pemeriksaan menggunakan dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila benar-benar
diperlukan. Diperlukan informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in vivo dan in vitro dari
zat-zat yang mempunyai kesamaan secara kimiawi dan struktur. Jika informasi tersebut tidak
ada, maka dosis awalnya ditentukan sebesar 300 mg/kg BB.
Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya24 jam pada setiap dosis dan semua
hewan harus diamati sekurangkurangnya selama 14 hari. Bila kematian terjadi pada dosis 5
mg/kg BB, sehingga nilai 111ut-off LD50 adalah 5 mg/kg BB (masuk kategori 1 GHS) maka
penelitian sudah harus dihentikan tanpa perlu melakukan uji utama. Namun, jika diperlukan
penegasan nilai LD50 maka prosedur tambahan dapat dilakukan sbb: Pada hewan uji kedua
diberikan dosis 5 mg/kg. Jika hewan kedua ini mati, maka kategori 1 GHS terkonfirmasi dan
percobaan dihentikan. Jika hewan ini hidup, maka pemberian bahan uji dosis 5 mg/kg BB
secara berurutan dilanjutkan kepada 3 hewan uji lainnya. Interval waktu pemberian antara satu
hewan dengan hewan berikutnya harus cukup agar dapat dilakukan penilaian apakah hewan
tersebut akan tetap hidup atau tidak. Jika hewan ke-3 mati (jika dihitung dari awal merupakan
kematian kedua hewan uji), maka pemberian bahan uji dihentikan dan tidak diteruskan kepada
hewan ke-4 dan ke-5.
Berdasarkan Lampiran 2, maka bahan uji masuk kelompok A (kematian 2 atau lebih),
dan berlaku klasifikasi pada dosis 5 mg/kgBB (Kategori 1 jika ada 2 atau lebih kematian atau
Kategori 2 jika hanya ada 1 kematian).

Uji Utama
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi kematian pada uji
pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan didasarkan pada waktu terjadinya gejala
toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis selanjutnya sampai diketahui apakah hewan
masih bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4). Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan
diambil: menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi atau melanjutkan
uji dengan dosis yang lebih rendah. Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah dapat
ditentukan pada dosis awal dan uji selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan
sejumlah 5 ekor hewan uji untuk tiap tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan tersebut terdiri
atas 1 ekor hewan dari uji pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan. Interval waktu antara
dosis uji ditentukan oleh onset, lama dan beratnya toksisitas. Peralihan pemberian bahan uji
pada tahap dosis berikutnya harus ditunda sampai diperoleh petunjuk bahwa hewan uji
tersebut bertahan hidup. Umumnya diperlukan interval waktu peralihan selama 3-4 hari,
namun dapat diperpanjang bila hasilnya tampak meragukan. Sehubungan dengan animal
welfare, bila akan menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg, dipertimbangkan bahwa dosis

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


tersebut sangat relevan dengan kepentingan untuk melindungi manusia, hewan atau
lingkungan.

Uji Batas
Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg dan pada uji
utama hanya 1 ekor atau tidak ada hewan yang mati pada tingkat dosis 2000 mg/kg, maka
tidak perlu diberikan dosis melampaui 2000 mg/kg.

Pengamatan
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama setelah
pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam pertama dan sehari
sekali setelah itu selama 14 hari. Namun durasi pengamatan dapat bervariasi dan diperpanjang
tergantung dari reaksi toksik dan waktu onset serta lama waktu kesembuhan. Waktu timbul
dan hilangnya gejala toksisitas (khususnya jika ada kecenderungan tanda- tanda toksik yang
tertunda) harus dicatat secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan untuk setiap
hewan. Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas
secara terus-menerus. Pengamatan yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata, membran
mukosa dan juga sistem pernafasan, sistem syaraf otonom, sistem syaraf pusat, aktivitas
somatomotor serta tingkah laku. Selain itu, perlu juga pengamatan pada kondisi: gemetar,
kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan koma. Hewan dalam kondisi sekarat dan hewan yang
menunjukkan gejala nyeri yang berat atau tampak menderita harus dikorbankan. Hewan uji
yang dikorbankan atau ditemukan mati, waktu kematiannya harus dicatat. Hal- hal yang harus
diamati dalam periode observasi adalah:
a) Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut
b) Berat Badan
a. Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan sediaan
uji dan sekurang-kurangnya seminggu setelahnya. Perubahan berat badan harus
dianalisis. Pada akhir penelitian, hewan yang masih bertahan hidup ditimbang dan
kemudian dikorbankan.
c) Pemeriksaan Patologi
Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan) harus
dinekropsi. Semua perubahan gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji. Pemeriksaan
mikroskopik dari organ yang menunjukkan adanya perubahan secara gross patologi pada
hewan yang bertahan hidup selama 24 jam atau lebih setelah pemberian dosis awal dapat
dilakukan untuk mendapatkan informasi yang berguna.

Pengumpulan dan Analisis Data


Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam bentuk tabel
yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang menunjukkan gejala

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


toksisitas; jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan yang mati karena dikorbankan;
waktu kematian masing-masing hewan; gambaran dampak toksik dan waktu dampak toksik;
waktu terjadinya reaksi kesembuhan; dan penemuan nekropsi.

III. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan
1. Batang pengaduk
2. Beaker
3. Gelas ukur
4. Spoit 1 mL
5. Hot plate
6. Mixer
7. Kanula
8. Timbangan berat badan
9. Stopwatch
10. Penggaris

Bahan yang digunakan


1. Alkohol 70%
2. Aqua destilat,
3. Na CMC
4. Luminal

Hewan yang digunakan


Hewan yang digunakan adalah mencit jantan, galur lokal dengan berat badan 20 g- 30
g berumur antara 6 – 8 minggu

IV. Prinsip Praktikum


Efek toksik suatu obat ditentukan dengan mengamati gejala-gejala toksisitas yang
muncul dan dengan menentukan LD 50 dari luminal

V. Prosedur Kerja
Aklimitasi
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit jatan sebanyak 20 ekor. Hewan
percobaan dikelompokkan menjadi 5 kelompok dan masing–masing kelompok terdiri
dari 4 ekor. Setiap kelompok dipisahkan dalam kandang yang berbeda. Sebelum
penelitian dilakukan mencit diaklimatisasi selama 7 hari untuk membiasakan pada
lingkungan percobaan, Mencit dipelihara dalam ruangan dengan suhu kamar, siklus
cahaya terang : gelap (14:10) pemberian makan dengan pakan reguler dan air minum,

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


sebelum perlakuan mencit dipuasakan selama 14 jam tetapi tetap diberikan air minum.
Hewan dianggap sehat apabila perubahan berat badan tidak lebih dari 10% serta
memperlihatkan perilaku normal

Pembuatan Bahan Praktikum


Landasan Teori Pembuatan Natrium CMC 1%
1. Panaskan kurang lebih 200 ml air hingga mendidih
2. Timbang Na.CMC sebanyak 1 g
3. Masukkan Na.CMC kedalam beaker gelas 300 ml lalu tambahkan 50 ml air panas
4. Aduk campuran tersebut dengan mixer hingga homogen, ditandai dengan tidak
nampaknya lagi serbuk berwarna putih dan campuran berupa seperti gel.
5. Tambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga volume larutan
tersebut menjadi 100 ml, dinginkan

Pembuatan Suspensi Lumina


Perhitungan Dosis oral Luminal untuk mencit
Dosis Maksimal Luminal untuk manusia = 200 mg sekali pakai dan seharinya 600 mg
Akan dibuat seri dosis luminal dengan kelipatan 2 dimulai dengan dosis maksimalnya
yaitu 200 mg kemuadian 400 mg (2 x 200 mg), 800 mg (2 x 400 mg) dan 1600 mg (2 x
800 mg) Dosis yang dipilih untuk membuat sediaan yaitu suspensi luminal dengan dosis
400 mg/ 0,2 ml

Prosedur
1. Mencit dikelompokkan secara acak kedalam 5 kelompok, masing-masing terdiri dari
4 ekor.
2. Kemudian tiap kelompok diberi perlakuan dimana
a. Kelompok I sebagai kelompok kontrol diberikan Suspensi Luminal sebanyak
0,1 ml/30 g BB Mencit,
b. Kelompok II diberi suspensi luminal sebanyak 0,2 ml/30 g BB Mencit,
c. Kelompok III diberi suspensi Luminal sebanyak 0,4 ml/30 g BB Mencit
d. Kelompok IV diberi suspensi Luminal sebanyak 0,8 ml/30 g BB Mencit.
e. Dan kelompok V yaitu kelompok kontrol yang hanya diberikan Na.CMC 1%
sebanyak 0,2 ml / 30 g BB mencit
3. semua perlakukan secara oral
4. Mencit kemudian ditempatkan dan diamati efek toksisitas yang dapat terjadi pada
kulit, bulu, mata, membran mukosa dan juga sistem pernafasan, sistem syaraf
otonom, sistem syaraf pusat, aktivitas somatomotor serta tingkah laku. Selain itu,
perlu juga pengamatan pada kondisi: gemetar, kejang, salivasi, diare, lemas, tidur dan
koma

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


5. Pengamatan dilakukan selama 2 jam untuk tanda-tanda toksisitas dan diamati selama
24 untuk jumlah mencit yang mati
6. Hasil pengamatan kemudian dicatat dan di hitung LD 50 untuk luminal

Data yang dikumpulkan berupa gejala-gejal toksisitas pada mencit, dan jumlah
mencit yang mati. Data tersebut kemudian digunakan untuk menentukan LD 50 untuk
luminal.

VI. Tugas Pendahuluan


1. Jelaskan secara singkat macam-macam uji toksikologi?
2. Jelaskan bagaimana proses terjadinya gejala toksisitas liminal
3. Hitunglah LD 50 dan derajat toksik obat dari data berikut

4. Jelaskan yang dimaksud dengan toksisitas akut?


5. Jelaskan yang dimaksud dosis lazim, dosis maksimal, dosis efektif, dosis toksik?

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


VII.Lembar Kerja

DATA LAPORAN PERCOBAAN

Judul Percobaan :
Tanggal Praktikum:
Kelompok :
Asisten Pengawas:

Tabel Pengamatan Gejala Toksisitas Luminal

Gejala Toksisitas Luminal Jumlah


Kelompok Waktu Hewan
Pernafasan Ataksia Nistagmus Diare Urinasi Saliva
Mati
5
10
20
Kontrol 40
80
120
24 jam
5
10
20
I 40
80
120
24 jam
5
II
10

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


20
40
80
120
24 jam
5
10
20
III 40
80
120
24 jam
5
10
20
IV 40
80
120
24 jam

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Praktikan
Paraf Dosen Pengampu :

Catatan :

Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi


Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi
Penuntun Praktikum Farmakologi & Toksikologi

Anda mungkin juga menyukai