Assalamualaikum wr wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga modul praktikum
ini dapat selesai disusun dengan baik. Buku ini disusun sebagai pedoman praktikum Farmakologi di
Akademi Farmasi Putra Indonesia.
Modul ini berisi tentang informasi dan materi praktikum farmakologi yang diharapkan dapat
memberikan bekal teori/konsep dan prosedur kerja praktis untuk melaksanakan praktikum Farmakologi
kepada mahasiswa.
Namun demikian, modul ini bukan membatasi segenap civitas akademika dan mahasiswa untuk
melaksanakan hal yang lebih luas dari modul ini dalam praktikum. Modul ini dapat dikembangkan
dengan seluas-luasnya namun tetap dengan memperhatikan ketersediaan alat dan bahan yang ada di
Laboratorium Farmakologi.
Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun kami harapkan demi
kesempurnaan modul ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan modul ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.
Wassalamualaikum wr wb.
Tim Penyusun
1
BAB I
PRAKTIKUM FARMAKOLOGI DASAR
A. Pendahuluan
Mata kuliah Farmakologi I & 2 (FR.304 & FR.305) pada kurikulum D3 Farmasi 2003
mendapat 5 SKS ( T3/P2 ) membahas aspek farmakokinetika dan mekanisme kerja obat secara
farmakodinamis, efek samping, indikasi serta kontra indikasi. Praktikum farmakologi merupakan
bagian dari mata kuliah Farmakologi 1 & 2 dan mendapat penempatan pada semester 4 (empat).
Mata kuliah ini membahas tentang tatacara berlaboratorium farmakologi yang baik,
mempraktekkan beberapa model pengujian efek obat terhadap hewan coba. memperoleh data serta
menyajikan data.
C. Tujuan Pembelajaran
Salah satu tujuan Kurikulum Pendidikan D-3 Farmasi adalah membantu dalam kegiatan
penelitian di bidang farmasi atau di bidang kesehatan lainnya yang terkait. Terlebih jauh tercantum
dalam GBPP mata kuliah farmakologi 1 & 2 Kurikulum Pendidikan D-3 Farmasi, AMF dapat
menjelaskan secara singkat khasiat, dosis, cara kerja serta efek samping obat. Praktikum
farmakologi berperan dalam mengaplikasikan teori tentang obat kepada praktis khususnya
mengamati efek obat terhadap hewan coba. Dengan kata lain, praktikum farmakologi bertujuan
khusus meningkatkan pemahaman peserta terhadap efek obat.
2
f. Cara anestesi hewan coba
g. Pemberian obat pada binatang percobaan
h. Cara mengorbankan binatang
i. Format laporan praktikum farmakologi
2. Percobaan Pengaruh Cara Pemberian Terhadap Absorpsi Obat
3. Percobaan Efek Induksi dan Inhibisi Metabolisme Obat
4. Percobaan Efek Diuretik
5. Percobaan Toksisitas Akut
6. Percobaan Efek Inflamasi
3
BAB II
INFORMASI DASAR
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
Diperlukan kerja yang serius dan mengetahui tentang farmakologi dasar. Sebelum memulai
bekerja perlu mempelajari serta memahami petunjuk dan prosedur percobaan. Terdapat tiga hal
yang perlu diperhatikan selama bekerja di laboratorium farmakologi, yaitu:
1. Kebersihan
Selama bekerja, laboratorium selalu dijaga kebersihannya dan pakailah jas praktikum
yang bersih, demikian pula alat-alat yang dipakai untuk praktikum. Setelah selesai melakukan
percobaan, bersihkan dan keringkan alat-alat, cuci wadah binatang dan kembalikan ke tempat
semula. Kertas-kertas atau benda-benda lain yang tidak berguna dimasukan kedalam keranjang
sampah, dan tinggalkan laboratorium dalam keadaan bersih, rapi seperti pada waktu anda
memasukinya.
Dalam beberapa hal mungkin perlu pembersihan dengan desinfektansia. Sampah biologis
seperti sisa jaringan, sample darah atau hewan mati, perlu dibungkus plastik untuk selanjutnya
diinsinerasi (diabukan).
4
2. Ketepatan
Ketepatan yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. Ketepatan dalam menimbang.
b. Ketepatan dalam mengukur volume larutan, suspensi atau sediaan obat lain yang akan
diberikan.
c. Ketepatan dalam menentukan dosis obat yang akan diberikan.
d. Ketepatan cara pemberian obat.
3. Pengamatan
Percobaan akan memberikan hasil yang baik bila pengamatan dilakukan secara layak dan
setiap perubahan yang terjadi harus segera dicatat.
Berikut adalah tata cara pelaksanaan praktikum atau petunjuk kerja laboratorium
farmakologi:
1. Peserta praktikum harus datang tepat pada waktunya. Bagi yang berhalangan hadir, wajib
memberikan keterangan yang jelas.
2. Setiap kali praktikum akan diadakan tes/quis untuk masing-masing percobaan.
3. Tidak diadakan praktikum ulang. Satu kali tidak mengikuti praktikum, dinyatakan gugur dan
dipersilahkan mengikuti praktikum tahun berikutnya.
4. Peserta praktikum tidak boleh meninggalkan laboratorium selama praktikum berlangsung,
kecuali dengan izin khusus dari pembimbing praktikum. Hanya seorang praktikan dari suatu
kelompok yang diperbolehkan meninggalkan laboratorium.
5. Rombongan praktikum akan dibagi menjadi kelompok-kelompok, setiap kelompok bertanggung
jawab atas peralatan yang dipakai, dan percobaan yang dilakukan. Dalam semua percobaan
perlu ada pembagian tugas dalam suatu kelompok, misalnya: sebagian, menyiapkan alat-alat
dan obat-obatan, mencatat dosis yang digunakan dan menetapkan kadar obat dalam sample
biologis. Sebagian lain, menyiapkan binatang percobaan dan memberikan obat pada binatang
tersebut, sisanya melakukan pengamatan dan mencatat hasil pengamatan.
6. Laporan praktikum harus diserahkan sebelum melakukan percobaan berikutnya.
7. Beberapa percobaan hanya memerlukan hasil tiap kelompok, lainnya memerlukan hasil dari
kelompok lain untuk dihitung secara statistik.
8. Setiap kerusakan atau gangguan harus dilaporkan secepatnya.
9. Sebelum memulai percobaan, alat-alat yang diperlukan di cek.
10. Binatang percobaan diperlakukan dengan kasih saying, dan jangan disakiti. Hal ini akan
membantu praktikan dalam melakukan percobaan, dan mengurangi pengaruh yang tidak
dikehendaki yang disebabkan karena takut dan sebagainya.
11. Pada akhir praktikum akan diadakan diskusi dengan pengawas kelompok.
5
C. Cara Bekerja Dengan Binatang Percobaan
Setiap orang, baik praktikan maupun pengawas, yang bekerja di laboratorium dengan menggunakan
binatang percobaan sebaiknya membaca tentang beberapa hal berikut ini:
1. Petunjuk memelihara dan menggunakan binatang percobaan.
2. Dasar-dasar memelihara binatang percobaan. Karakteristik binatang percobaan yang digunakan
di laboratorium farmakologi adalah sebagai berikut:
Karakteristik Mencit
Dalam laboratorium mencit mudah ditangani, ia bersifat penakut, fotofobic, cenderung
berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi dan Iebih aktif pada
malam hari. Kehadiran manusia akan menghambat mencit. Suhu tubuh normal 37,4 C. Laju
respirasi normal 163 tiap menit.
Karakteristik Tikus
Relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih pada umumnya tenang dan
mudah ditangani, tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit, serta kecenderungan
untuk berkumpul sesamanya juga tidak begitu besar. Aktifitas tidak begitu terganggu dengan
adanya manusia di sekitarnya. Suhu tubuh normal 37,5 C, laju respirasi normal 210 tiap menit.
Bila diperlakukan kasar atau mengalami delisiensi nutrisi, tikus menjadi galak dan berang
menyerang si pemegang. Pada tabel 1.1. menunjukan karakteristik secara umum untuk mencit
dan tikus.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, perlakukan binatang percobaan dengan kasih
sayang dan jangan disakiti. Adapun cara memperlakukan binatang percobaan mencit dan tikus
adalah:
a. Mencit
Mencit diangkat dengan memegangnya pada ujung ekornya dengan tangan kanan, dan
dibiarkan menjangkau kawat kandang dengan kaki depannya. Dengan tangan kiri, kulit
tengkuknya di jepit diantara telunjuk dan ibu jari. Kemudian ekornya dipindahkan dari
.
tangan kanan ke antara jari manis dan jari kelingking tangan kiri, sehingga mencit cukup
erat dipegang dan pemberian obat kini dapat dimulai.
b. Tikus
Tikus dapat diperlakukan sama seperti mencit, hanya harus diperhatikan bahwa
sebaiknya bagian ekor yang dipegang adalah bagian pangkal ekor. Tikus dapat diangkat
dengan memegang perutnya, ataupun dengan cara sebagai berikut: tikus diangkat dari
kandangnya dengan memegang tubuh/ekornya dari belakang, kemudian letakan di atas
permukaan kasar. Tangan kiri diluncurkan dari belakang tubuhnya, menuju kepala dan ibu
jari diselipkan ke depan untuk men jepit kaki kanan depan tikus antara jari ini dengan
.
6
telunjuk.
Untuk melakukan pemberian obat, tikus dipegang pada bagian belakangnya. Hal ini
hendaknya dilakukan dengan mulus tanpa ragu-ragu. Tikus tidak mengelak bila dipegang
dari atas, tapi bila dipojokan ke sudut, ia akan menjadi panik dan menggigit.
Catatan:
Adakalanya diperlukan kaos tangan dari kulit atau karet yang cukup tebal untuk melindungi
tangan dari gigitan binatang. Akan tetapi bagi yang sudah terbiasa lebih baik tanpa kaos
tangan sebab kontak langsung dengan binatang akan lehih mudah mengontrol gerakan
binatang.
Karakteristik Binatang Percobaan
Mencit Tikus
Karakteristik
(Mus musculus) (Rattus rattus)
7
Binatang percobaan biasanya memberikan hasil dengan deviasi yang lebih besar
dibandingkan dengan percobaan in vitro, karena adanya variasi biologis. Maka untuk mencegah
supaya variasi tersebut minimal, binatang-binatang yang mempunyai spesies, dan strain yang sama,
usia yang sama, jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula.
Binatang percobaan harus diberi makan sesuai dengan makanan standar untuknya dan diberi
rninum ad libitum.
Lebih lanjut untuk mengurangi variasi biologis, binatang harus dipuasakan semalam
sebelum percobaan dimulai. Dalam periode ini binatang hanya diperbolehkan minuet ad libitum.
Dosis obat yang diberikan pada hewan dinyatakan dalam mg atau g per g bobot tubuh hewan.
Karena itu perlu diketahui berat dari tiap-tiap hewan yang akan digunakan dalam percobaan, dan
tiap hewan diberi tanda (titik/garis) menggunakan pewarna untuk mengidentilikasinya.
Tabel berikut menunjukan penandaan pada ekor berupa garis melintang, sejajar atau tanda (+), yang
dirumuskan atau dibaca sebagai angka (nomor hewan) dimulai dari pangkal ekornya. Gunakan
spidol tidak tercuci air, berujung kecil.
Penandaan Hewan Percobaan Pada Ekornya (Tikus dan Mencit)
Dibaca Sebagai
Tanda Pada Ekor
Nomor Hewan
Satu garis melintang | 1
Dua garis melintang || 2
||| 3
Satu garis melintang dan satu garis sejajar |- 4
Satu garis sejajar - 5
Satu garis sejajar dan garis melintang -| 6
-|| 7
-||| 8
Satu garis melintang dan satu tanda (+) |+ 9
Satu tanda (+) + 10
Satu tanda (+) dan melintang +| 11
+ || 12
+ ||| 13
Satu tanda (+), garis sejajar dan melintang + |- 14
+- 15
+ -| 16
+ -|| 17
+ -||| 18
+|+ 19
Dua tanda (++) ++ 20
dst
Tabel 2.2. Penandaan hewan percobaan pada ekornya (tikus dan mencit), dibaca mulai dari pangkal ekornya.
F. Luka Gigitan Binatang
8
Imunisasi tetanus disarankan bagi semua orang yang bekerja dengan binatang percobaan.
Luka yang bersifat abrasif atau luka yang agak dalam karena gigitan binatang, ataupun karena alat-
alat yang telah digunakan untuk percobaan binatang, harus diobati secepatnya menurut cara-cara
pertolongan pertama pada kecelakaan. Apabila korban gigitan belum pernah mendapat kekebalan
tehadap tetanus, ia harus mendapatkan imunisasi profilaksis.
Senyawa-senyawa yang dapat digunakan untuk anestesi mencit dan tikus adalah:
1. Eter dan Karbondioksida
Keduanya digunakan untuk anestesi singkat, caranya adalah dengan meletakan obat pada dasar
suatu desikator, hewan kemudian dimasukan dalam wadah tertutup. Apabila hewan sudah
kehilangan kesadarannya ia dikeluarkan dan dapat mulai dibedah. Penambahan kemudian
dengan eter dapat dilakukan dengan kapas sebagai masker.
2. Halotan
Digunakan untuk anestesi yang lebih lama. Sebenarnya eter dapat juga digunakan untuk tujuan
ini, namun karena efek-efek lain yang ditimbulkan, obat ini tidak menjadi pilihan utama.
3. Pentobarbital Natrium dan Heksobarhital Natrium
Dosis Pentobarbital Natriurn adalah 45-60 mg/kg untuk cara pemberian intraperitoneal, dan 35
mg/kg (hal 33 diktat A ITB 1999 : Fenobarbital Na 75 mg/kg BB: Amital Natrium 35 mg/kg
1313) untuk cara pemberian intravena. Sedangkan dosis Heksobarbital Natrium adalah 75
mg/kg untuk pemberian intraperitoneal dan 47 mg/kg untuk pemberian intravena.
4. Uretan (Etilkarbamat)
Diberikan dengan dosis 1000-1250 mg/kg secara intraperitoneal, sebagai larutan 25% dalam
air.
1. Alat suntik
a. Tabung dan jarum suntik harus steril jika akan digunakan pada kelinci, marmot dan anjing.
Tetapi tidak perlu steril melainkan sangat bersih untuk tikus dan mencit.
b. Setelah penyuntikan, cuci tabung dan jarum suntik tersebut, semprotkan cairan ke dalam
gelas beker, dan jarum suntik dipegang erat-erat. Ulangi cara ini tiga kali.
2. Pemberian obat
9
a. Pemberian per-oral
Pemberian obat-obatan dalam bentuk suspensi, larutan atau emulsi, kepada tikus dan
rnencit dilakukan dengan pertolongan jarum suntik yang ujungnya tumpul (bentuk
bola/kanulla). Kanulla ini dimasukan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan dimasukan
melalui tepi langit-langit ke belakang sampai esophagus.
b. Pemberian secara intraperitoneal
Peganglah tikus/mencit pada ekornya dengan tangan kanan, biarkan mereka
mencengkeram anyaman kawat dengan kaki depannya. Dengan tangan kiri jepitlah tengkuk
tikus/mencit diantara jari telunjuk dan jari tengah (bisa juga dengan jari telunjuk dan ibu
jari). Pindahkan ekor tikus/mcncit dari tangan kanan ke jari kelingking tangan kiri sehingga
kulit abdomennya menjadi tegang.
Pada saat penyuntikan, posisi kepala mencit lebih rendah dari abdomennya. Jarum
disuntikan dengan membentuk sudut 45 dengan abdomen. Agak menepi dari garis tengah,
untuk menghindari terkenanya kandung kencing. Jangan pula terlalu tinggi agar tidak
rnengenai hati.
Volume penyuntikan untuk mencit umumnya adalah 1 ml/l00 g bobot badan dan untuk
tikus terbaik adalah 0,2-0,3 m1/100 g bobot badan. Kepekatan larutan obat yang disuntikan,
disesuaikan dengan volume yang dapat disuntikan tersebut.
c. Subkutan
Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen, seluruh jarum
langsung ditusukan ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.
d. Intravena
Penyuntikan dilakukan pada vena ekor menggunakan jarum nomor 24. Mencit
dimasukan ke dalam pemegang (dari kawat/bahan lain) dengan ekornya menjulur keluar.
Sebelum penyuntikan, ekor dicelupkan ke dalam air hangat atau digosok dengan pelarut
organic seperti aseton atau eter untuk mendilatasi vena guna mempermudah penyuntikan.
Bila jarum suntik tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat sekitar daerah
penyuntikan memutih dan bila piston alat suntik ditarik, tidak ada darah yang mengalir ke
dalamnya. Dalam keadaan dimana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan
dimulai dari daerah distal ekor.
e. Intramuskular
Larutan obat disuntikan ke dalam otot sekitar gluteus maximus atau ke dalam otot
paha lain dari kaki belakang; Kalau perlu di cek, apakah jarum tidak masuk ke dalam vena,
dengan menarik kembali piston alat suntik.
Tabel 2.3. merupakan panduan volume maksimum dan cara pemberian dosis pada binatang
10
dan tabel 2.4. dapat digunakan untuk konversi dosis berdasarkan perbandingan luas
permukaan binatang.
Volume Maksimum Larutan yang Bisa Diberikan Pada Binatang
20 g
1,0 7,0 12,29 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
mencit
Tabel 2.4. Konversi Dosis Berdasarkan Perbandingan Luas Permukaan Binatang, Pharmacometrics,1964.
11
terlebih dulu dosis absolute pada anjing (12 kg) yaitu 12 kg x 10 mg/kg = 120 mg. Kemudian
mengambil faktor konversi 3,1 dari tabel, diperoleh dosis untuk manusia 120 x 3,1= 372 mg.
Dengan demikian dapat diramalkan efek farmakologi suatu obat yang timbul pada manusia
dengan dosis 372 mg/70 kg BB adalah sama dengan yang timbul pada anjing dengan dosis
120 mg/l2 kg BB dari suatu obat yang sama.
Pengorbanan binatang sering dilakukan apabila terjadi rasa sakit yang hebat atau lama akibat
suatu eksperimen, ataupun rasa sakit sebagian dari suatu eksperimen. Apabila binatang mengalami
kecelakaan, menderita penyakit atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan,
juga dilakukan etanasi terhadap binatang.
Cara etanasi (kematian tanpa rasa sakit) dipilih sedemikian rupa sehingga binatang
mengalami penderitaan seminimal mungkin. Dalam memilih cara mengorbankan binatang perlu
juga ditinjau dari tujuan binatang dikorbankan. Pada dasarnya cara fisik merupakan cara yang
paling cepat dilaksanakan, mudah, dan paling berperikemanusiaan.
Mencit
1. Cara terbaik untuk membunuh mencit ialah dengan menggunakan karbondioksida dalam wadah
khusus.
2. Injeksi natrium pentobarbital 135-180 mg/kg.
3. Dengan cara fisik dapat dilakukan dislokasi leher. Binatang dipegang pada ekornya kemudian
ditempatkan pada permukaan yang bisa dijangkaunya. Dengan demikian ia akan meregangkan
badannya, dan pada tengkuknya kemudian ditempatkan suatu penahan, misalnya sebatang
pensil yang dipegang dengan satu tangan. Tangan yang lain kemudian menarik ekornya dengan
keras sehingga lehernya akan terdislokasi dan mencit akan terbunuh.
Tikus
1. Cara kimia dengan menggunakan karbondioksida, eter dan pentobarbital dengan dosis yang
sesuai
2. Cara fisik dapat dilakukan dengan meletakan tikus pada sehelai kain, kemudian bungkuslah
badan tikus termasuk kedua kaki depannya, bunuhlah dengan salah satu cara sebagai berikut:
a. Pukullah bagian belakang telinganya dengan tongkat.
b. Peganglah tikus dengan perutnya menghadap ke atas kemudian pukulkan bagian belakang
kepalanya kepada permukaan yang keras seperti meja atau permukaan logam dengan sangat
12
keras.
Binatang mati kemudian dimasukan kedalam kantong plastik dan dibungkus lagi dengan
kertas, diletakan di dalam tas plastik, ditutup dan disimpan dalam almari pendingin atau
langsung diabukan (insinerasi).
13
BAB III
PERATURAN PRAKTIKUM
A. Persyaratan Praktikum
B. Kegiatan Praktikum
1. Peserta telah membuatjurnal praktikum yang akan dilakukan.
2. Peserta telah responsi awal/pre tes dengan dosen/instruktur masing-masing materi.
3. Peserta memakai jas lab.
4. Laporan praktikum dikumpulkan seminggu berikutnya (pada saat praktikum berikutnya).
C. Inhal
1. Inhal hanya untuk mahasiswa yang tidak masuk praktikum dengan alasan sakit, menikah atau
melayat saudara meninggal.
2. Inhal dilaksanakan setelah semua kegiatan praktikum berakhir.
D. Penilaian
Komponen Nilai: nilai laporan ( 15 %), nilai presentasi (15 %), praktikum harian ( 40 % ), nilai
UAS ( 30 %).
E. Format Jurnal
I. Pendahuluan
I.1 Tujuan
I.2 Latar Belakang dan Dasar Teori
II. Metodologi Kerja
II.1 Bahan dan Alat
II.2 Perhitungan Dosis
II.3 Prosedur Kerja
III. Hasil Percobaan
15
BAB IV
MATERI PRAKTIKUM
1. Tujuan
Mengenal, mempraktekan dan membandingkan cara-cara pemberian obat terhadap kecepatan
absorpsinya, menggunakan data farmakologi sebagai tolak ukur.
2. Pendahuluan
Untuk mencapai efek farmakologis seperti yang di inginkan, obat dapat diberikan dengan
berbagai cara. Diantaranya melalui oral, subkutan, intra muskular, intra peritoneal, rektal, dan
intra vena. Masing-masing cara pemberian ini memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu
senyawa atau obat mungkin efektif jika diberikan melalui cara lain. Perbedaan ini salah satunya
dapat disebahkan oleh adanya perbedaan dalam hal kecepatan absorpsi dan berbagai cara
pemberian tersebut, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap efek atau aktivitas
farmakologinya.
3. Cara Percobaan
Percobaan ini terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
Bagian I para mahasiswa melihat peragaan cara pemberian
Bagian 11 para mahasiswa mengerjakan sendiri percobaan yang sama.
4. Bahan
a. Luminal atau Natrium Pentobarbital 10.0% atau Natrium Tiopental, Natrium
Heksobarbital. Luminal 10% : 100 mg/ ml. Encerkan 10 x (1 ml ad 10 ml labu takar stok :
10 mg/ml
b. Alcohol 70%.
5. Alat Catatan khusus
a. Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml )
b. Jarum berujung tumpul (untuk per oral)
30 mg x 0,0026
c. Sarung tangan = 0,078 mg
d. Stop watch 15 mg ad 10 ml
6. Hewan uji
Mencit atau Tikus 0,078 mg x 10 ml = 0,052 ml
15 mg
16
7. Cara kerja
a. Tiap kelas dibagi 3 kelompok.
b. Masing-masing kelompok mendapat 5 mencit atau tikus.
c. Berturut-turut kelompok I, II, III, mengerjakan percobaan oral, subkutan, intra muskular,
intra peritoneal, dan intra vena di dalam satu kelompok.
d. Mencit atau tikus ditimbang, dan diperhitungkan volume sodium pentobarbital yang akan
diberikan, dengan dosis 100 mg/kg BB
e. Luminal / Sodium pentobarbital diberikan pada hewan uji dengan cara pemberian sesuai
dengan masing-masing kelompok.
1) Oral, melalui mulut dengan jarum ujung tumpul.
2) Subkutan, masukkan sampai dibawah kulit pada tengkuk hewan uji dengan jarum
injeksi.
3) Intra muskular, suntikkan ke dalam otot pada daerah otot gluteus maximus
4) Intra peritoneal, suntikkan ke dalam rongga perut. Hati-hati jangan sampai masuk
kedalam usus
5) Intra vena, suntikkan kedalam vena lateralis pada ekor hewan uji.
8. Pengumpulan data
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu hilangnya
reflek balik badan ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk membalikan badan
dari keadaan terlentang. Hitung onset dan durasi waktu tidur sodium pentobarbital dari masing-
masing kelompok percobaan, dan bandingkan hasilnya menggunakan uji statistik "analisa
varian pola searah" dengan taraf kepercayaan 95%.
17
9. Bahan Bacaan
a. Holck. H.G.O., 1959, Laboratory Guide in Pharmacology, Burgess Publishing Company:
Minesota, 1-3.
b. Levine, R.R. 1978, Pharmacology Drug Actions and Reactions, 2nd edition, Little, Brown
& Comparny, Boston.
Pertanyaan
1. Apakah faktor-faktor yang dapat mempengaruhi absorpsi obat dari saluran cerna?
2. Jelaskan bagaimana cara pemberian obat dapat mempengaruhi onset dan durasi obat!
3. Jelaskan keuntungan dan kerugian masing-masing cara pemberian obat!
Jawaban
.
18
.
1. Tujuan
Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tatacara pelaksanaan, luaran dan
manfaat uji ketoksikan akut sesuatu obat.
2. Pendahuluan
Dimaksud dengan ketoksikan akut adalah derajat efek toksik sesuatu senyawa yang
terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat
disini adalah rentang waktu selama 24 jam setelah pemberian senyawa. Bi1a demikian, uji
ketoksikan akut dapat ditakrifkan sebagai uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan atau
dipejankan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama
masa 24 jam.
Tujuan utama uji ketoksikan akut sesuatu obat ialah untuk menetapkan potensi
ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait, pada satu jenis hewan
uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul,
adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai kematian hewan uji.
Jadi dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan
kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud
dan mekanisme efek toksik).
Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis
19
letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD 50) atau dosis toksik tengah (TD50).
Yakni suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan dosis tunggal suatu
senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti 50%
hewan uji.
Terdapat tiga metode yang paling sering digunakan untuk menghitung harga LD 50, yakni
metode aritmatik Reed & Muench (1938), metode kertas grafik probit logaritma Miller dan
Tainer (1944), dan metode aritmatik Karber (1931), yang pada dasarnya didasarkan pada
kekerabatan antara peringkat dosis dan % hewan yang menunjukkan respons.
Pada dasarnya, uji ketoksikan akut suatu obat, merupakan salah satu mata rantai uji
toksikologi, dalam kaitannya dengan penilaian keamanan obat terkait bila digunakan oleh
manusia. Jadi, hasil uji ketoksikan akut, terutama potensi ketoksikannya (LD 50), bersama-sama
dengan hasil uji potensial keefektifannya (ED50), bermanfaat sekali untuk mengevaluasi batas
aman atau indeks terapi ((LD50) / (ED50) obat terkait. Selain itu, pengetahuan tentang potensi
ketoksikan akut, juga dapat dimanfaatkan untuk merancang uji ketoksikan subkronis/kronis,
maupun untuk memperkirakan dosis awal atau dosis terapi penelitian yang lain(5-10% LD50).
Berikut ini para rnahasiswa akan akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan baku uji
ketoksikan akut suatu obat.
21
d. Pentotal
Temasuk hipnotik sedang, awal kerja 0,5 jam, lama kerja 2-4 jam, dosis hipnotik 100
200 mg. Dosis hipnotik manusia bila dikonversi ke mencit = 0,0026 x 100 = 0,26 mg/20 x
1000 = 13 mg-26 mg/kg BB.
Namun karena pada percobaan sebelumnya pada dosis ip 100 mg/kg BB tidak ada
yang mati dan pada ip 200 mg/kg BB baru terjadi kematian 60%, maka dicoba dicari dosis
baru dengan range 60 sampai 245,8 mg, 4 dosis berfaktor 1,6.
e. Pengamatan
Setelah hewan uji mendapat perlakuan, amati dengan cermat dan catat waktu
hilangnya reflex balik badan ditandai dengan hilangnya kemampuan hewan uji untuk
membalikkan badan dari keadaan terlentang. Masa pengamatan dilakukan selama 24 jam,
kecuali pada kasus-kasus tertentu dapat selama 7-14 hari.
Kriteria pengamatan meliputi:
1) Pengamatan fisik terhadap gejala-gejala klinis (Tabel 4.2.): hipotermia (menggigil),
hipoksia, asidosis, syok, hipotensi, lesi melepuh pada jari-pantat-lutut, pernapasan
dangkal mula-mula dipercepat kemudian diperlambat, peristaltik lambung menurun,
kematian karena insufisiensi sirkulasi, kelumpuhan pernapasan atau udem paru-paru.
2) Perubahan berat badan,
3) Jumlah hewan yang mati pada masing-masing kelompok uji, dan
4) Histopatologi seluruh organ.
f. Analisis dan evaluasi hasil
Data-data gejala klinis yang nampak pada fungsi vital, secara kualitatif dipakai untuk
mengevaluasi mekanisme penyebab kematian. Data hasil pemeriksaan histopatologi
digunakan untuk mengevaluasi spectrum efek toksik. Data jumlah hewan yang mati pada
masing-masing kelompok, secara kuantitatif digunakan untuk menghitung LD 50 mengikuti
salah satu tata cara yang telah disebutkan dalam pendahuluan.
Bila sampai dengan batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji,
dosis yang diberikan tidak menimbulkan kematian hewan uji (sering ditemukan pada
pengujian obat tradisional). maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu
(LD0).
Dari harga LD50 yang diperoleh, selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat
digolongkan menjadi:
sangat tinggi bila Id50 = < 1 mg/kg
tinggi = 1-50 mg/kg
sedang = 50-500 mg/kg
sedikit toksis = 500-5000 mg/kg
hampir tidak toksis = 5-15 g/kg
22
relative tidak berbahaya > 15 g/kg
23
Contoh Cara Perhitungan LD50 Menurut Metode Reed-Muench
log A B Ratio %
Dosis Mati Hidup () () A+B
dosis Kematian Kematian
25 1.3979 0 3 0 3 3 0 0
50 1.699 0 3 0 3 3 0 0
100 2 1 2 1 3 4 0.25 25
Keterangan:
A = Akumulasi Mati
B = Akumulasi Hidup
Ratio Kematian = A/(A+13)
Jarak proporsional = (50-25) / (75-25) = 25/50 = 0.5
Penambahan dosis = log dosis besar : dosis kecil
= 1og 75/25 = log3 = 0.4771
0.5 x 0.4771 = 0.2386
Catatan khusus
24
Pemeriksaan Fisik Dalam Uji Ketoksikan Akut Pada Roden
Pengamatan dan
Sistem organ Tanda-tanda umum ketoksikan
Pemeriksaan
SSP & Somatomotor Perilaku Perubahan sikap terhadap pengamat,
vokalisasi luar biasa, gelisah.
Gerakan Kedutan, tremor, ataksia, katatonia,
paralysis, konvulsi, keterpaksaan
gerak
f. Analisis basil
Hitung LD50 berdasar metode Reed-Muench. Bahas selengkap mungkin eksperimen
ini, hasil-hasil serta kesimpulan dan komentar saudara.
25
Latihan
1. Hitunglah berapa mg phenobarbital natrium harus ditimbang untuk dosis 150 mg/kg BB per mencit
2. Berapa mg NaCl harus ditimbang untuk membuat 20 ml larutan NaCl fisiologis.
3. Apa kemanfaatannya menghitung nilai LD 50 suatu obat atau bahan kimia ?
Rangkuman
Uji ketoksikan akut sesuatu obat dipakai untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni
kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait, juga dapat untuk menilai berbagai gejala klinis yang
timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai kematian hewan uji. Metoda
Reed-Muench merupakan salah satu cara untuk menghitung LD50.
26
C. PENGARUH INDUKSI DAN INHIBISI METABOLISME OBAT
1. Tujuan
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme obat
dengan mengukur efek farmakologisnya.
2. Pendahuluan
Metabolisme obat sekarang juga disebut biotransformasi. Walaupun antara keduanya juga
sering dibedakan. Sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme hanya diperuntukan
bagi perubahan-perubahan biokimiawi/kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa
endogen sedang biotransformasi peristiwa yang sama bagi senyawa eksogen (xenobiotika).
Pengetahuan tentang metabolisme obat menempati posisi penting dalam evaluasi
keamanan dan kemanfaatan suatu obat. Selain untuk mengetahui bagaimana obat dimetabolisir
dan dideaktivasi, juga untuk mengenal jalur dan kecepatan distribusi dan eliminasi obat serta
metabolitnya.
Reaksi-reaksi yang terjadi selarna proses metabolisme dapat dibagi menjadi dua, yakni:
reaksi fase I meliputi reaksireaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis; dan fase II atau reaksi
konjugasi tabel I. Reaksi-reaksi enzimatik yang berperan dalam proses tersebut sebagian besar
terjadi di dalam sel-sel hepar, dan sisanya terjadi di organ-organ lain seperti saluran cerna, paru,
ginjal, dan darah. Mikroflora gastrointestinal lebih berperan dalam reduksi daripada oksidasi,
dan hidrolisis dari pada konjugasi.
Tempat terjadinya reaksi-reaksi oksidasi sebagian besar di dalam retikulum endoplasmik
sel. Namun proses tersebut juga bias dikatalisir oleh enzim-enzim yang berada di dalam sitosol
ataupun mitokondria. Sedangkan reaksi fase II, konjugasi umumnya terjadi di dalam sitosol,
kecuali reaksi glukuronidasi.
Jalur metabolisme obat oleh enzim hepar:
a. Reaksi Fase I
1) Oksidasi
Hidrolisasi
Dealkilasi
Pembentukan Oksida
Desulfurasi
Dehalogenasi
Deaminasi
2) Reduksi
Reduksi Aldehida
Reduksi Azo
Reduksi Nitro
27
3) Hidrolisis
Deesterifikasi
b. Reaksi Fase II
1) Konjugasi glukuronida
2) Asilasi (termasuk asetilasi)
3) Metilasi
4) Pembentukan asam merkapturat
5) Konjugasi sulfat
Banyak obat-obatan yang mengalami deaktivitas dengan reaksi konjugasi, yaitu suatu
biosintesa dengan penempelan senyawa endogen (asam glukuronat, gugus-gugus sulfat, metil
dan asetil), Jika molekul obat sangat larut dalam lipid dan tidak mempunyai gugus aktif untuk
konjugasi, maka berbagai biotransformasi (oksidasi, reduksi, dan hidrolisis) akan terjadi terlebih
dahulu.
Dalam konjugasi dengan asam glukuronat (reaksi fase II yang paling lazim), koenzim
antara (Uridine Diphosphoglucuronic Acid; UDPGA) bereaksi dengan obat dengan adanya
enzim glukuronil-tranferase untuk memindahkan glukuronida ke atom 0 pada alkohol, phenol,
atau asam karbosilat, atau atom S pada senyawa tiol, atau senyawa N pada senyawa-senyawa
amina dan sulfonamida. Dalam konjugasi obat-obat dengan asam-asam amino (misal: glisin dan
glutamin), terjadi reaksi antara obat yang mempunyai gugus karbosilat dan telah diaktifasi
dengan koenzim A. Dalam konjugasi dengan glutation, epoksida atau aren oksida yang sangat
reaktif berreaksi dengan glutation, dan kemudian dimetabolisir lebih lanjut menjadi asam-asam
merkapurat (nontoksik).
Enzim-enzim mikrosom hepar, mukosa usus dan jaringan lain, berperan dalam oksigenasi
xenobiotika dan senyawa-senyawa endogen (asam-asam lemak, kolesterol dan hormon-hormon
steroid). Dalam hidrosilasi, satu atom 0 akan berkaitan dengan atom-atom C, N dan S dari
molekul obat. Reaksi ini dikatalisis oleh sekelompok enzim retikulum endoplasmik hepar
(Mixed Function Oxidases System = MFO) yang melibatkan sitokrom P-450 dan reduktase
NADPH-sitokrom-C.
28
meningkatkan kecepatan beberapa reaksi metabolisme seperti deetilasi fenasetin, demetilasi
aminopirin, 4 hidroksilasi bifenil dan hidroksilasi heksobarbital.
Pengaruh induksi dan penghambat enzim terhadap efek farmakologik dan toksisitas
cukup besar, sehingga perlu diperhatikan oleh para praktisi. Sehingga contoh pemberian
fenobarbital bersama-sama dengan warfarin akan mengurangi efek anti koagulansianya.
Demikian pula pemberian simetidina suatu antagonis reseptor H-2, akan menghambat aktivitas
sitokrom P-450 dalam memetabolisis obat-obat lain. Induksi enzim menunjukan variasi yang
besar antara spesies, dan bahkan antar keturunan dalarn satu spesies. Selain itu variasi juga
terjadi antara jaringan satu dengan yang lain di dalam tubuh binatang.
Pengetahuan tentang pengaruh induktor dan inhibitor enzim terhadap laju, metabolisme
obat akan sangat membantu dalarn memperkirakan perubahan-perubahan yang terjadi pada efek
farmakodinamikanya.
4. Cara Percobaan
a. Bahan dan alat
1) Induktor enzim: fenobarbital
2) Penghambat enzim: citemidin
3) Jarum suntik oral (ujung tumpul)
4) Stop watch
b. Hewan Uji
Mencit
c. Cara kerja :
1) Hewan uji dibagi dalam 4 kelompok
2) Kelompok I (kontrol): hewan uji sebagai kontrol negative diinduksi dengan disuntik
intraperitonial larutan asam asetat 1% dengan dosis 300 mg/ kg BB, 5 menit berikutnya
diberikan analgesik (paracetamol 80 mg/Kg) secara peroral.
3) Kelompok II: perlakuan sama dengan kelompok I tetapi jam sebelumnya diberikan
praperlakuan fenobarbital 80 mg/kg peroral.
4) Kelompok III : perlakuan sama dengan kelompok I tetapi 1/2 jam sebelumnya diberikan
praperlakuan cimetidin peroral.
5) Amati mula kerja obat dengan melihat geliat mencit ( perut kejang dan kaki ditarik ke
belakang ) dan jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit selama
60 menit. Hitung daya analgesiknya.
5. Hasil Percobaan
29
Dimana P : jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi obat analgesic
K : jumlah kumulatif geliat mencit kontrol
6. Bahan Bacaan
La Du, B.N., Mandel, H.G. dan Waym E. L., 1971, Fundamentals of Drug Ametabilism anda
Drug Disposition, The Williams & Wilkins Company, Baltimore, pp 149-578.
Pertanyaan
1. Sebutkan senyawa-senyawa yang dapat menginduksi dan menghambat enzim-enzim yang berperan
dalam metabolisme obat!
2. Jelaskan mekanisme induksi dan inhibisi enzim!
3. Jelaskan hubungan antara induksi dan inhibisi enzim dengan efek farmakologi dan toksisitas.
4. Jelaskan pengaruh kekurangan konsumsi asam-asam amino terhadap kapasitas enzim, yang
berperan dalam metabolisme obat!.
30
D. UJI ANALGETIKA
1. Tujuan
Mengenal, mempraktekkan dan membandingkan daya analgetik asetosal dan parasetamol
menggunakan metode rangsang kimia.
2. Pendahuluan
Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit
atau nyeri. Secara umum analgetika dibagi ke dalam dua golongan, yakni anagetika non
narkotik atau inlegumental analgesics (misalnya: asetosal, parasetamol) dan anagetika narkotika
dan visceral analgesics (misalnya: morfin).
Analgetika yang diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia dan fisis. Rasa nyeri tersebut terjadi akibat
terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya: bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang
rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung syaraf parifer ataupun di tempat lain.
Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteeks serebri
oleh syaraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan talamus.
Berdasarkan atas rangsang nyeri yang dipergunakan, maka terdapat berbagai metode
penetapan daya analgetik suatu obat. Salah satu diantaranya menggunakan rangsang kimia
sebagai penimbul rasa nyeri, seperti yang akan dipraktekkan di sini.
3. Cara Percobaan
a. Bahan
1) Suspensi asetosal
2) Suspensi parasetamol
3) Larutan asam asetat 1 %
b. Hewan uji
Mencit betina, umur 40-60 hari, berat 20-30 g
a. Alat
1) Spuit injeksi (0,1 - 1 ml)
2) Jarum oral (ujung tumpul)
3) Beaker glass
4) Stop watch
b. Cara kerja
1) Mencit 15 ekor dibagi menjadi 3 kelompok
2) Mencit kelompok I (kontrol), diberikan melalui oral dengan volume sama dengan
larutan pembawa obat pada kelompok tikus perlakuan
3) Mencit kelompok II diberi suspensi parasetamol melalui oral.
4) Mencit kelompok III, diberi suspense asetosal melalui oral.
31
c. Pengumpulan Data
Setelah ketiga kelompok hewan uji mendapat perlakuan, I5 menit kemudian,
seluruh hewan disuntik intra peritonial larutan steril asam asetat 1% v/v dengan dosis 30
mg/kg BB. Beberapa menit kemudian mencit akan menggeliat (perut kejang dan kaki ditarik
ke belakang).
Cacat jumlah kumulatif geliat yang timbul setiap selang waktu 5 menit sampai 60
menit. Hitung persen daya analgetik dengan rumus :
Dimana:
P = Jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi obat analgetika
K= Jumlah kumulatif geliat mencit yang diberi tilosa (kontro1)
d. Analisis Hasil
Bandingkan daya analgetik asetosal dan parasetamol dengan uji t, tarif kepercayaan
95%.
4. Bahan Bacaan
Domerm F. R. 1971, Animal eexperiment in pharmacological Analsys,1st ed., Charles. Thomas
Publisher, Illinois, 275-316
Pertanyaan
1. Apakah analgetika itu?
2. Mengapa analgetika kadang-kadang perlu diberikan kepada penderita?
3. Bagaimana terjadinya rasa nyeri?
4. Bagairnana mekanisme daya analgetik parasetamol dan asetosal?
32
E. UJI ANTI INFLAMASI
1. Tujuan
Mempelajari daya anti inflamasi obat pada binatang dengan radang buatan.
2. Pendahuluan
Meskipun kejadiannya merupakan gabungan proses yang kompleks inflamasi mempunyai
tanda-tanda dan gejala yang bersifat umum yaitu bengkak kernerahan, nyeri dan panas, tidak
peduli sebabnya karena bahan kimia atau mekanis.
Obat-obat anti radang dibagi menjadi dua golongan utarna, golongan kortikosteroid dan
nonsteroid. Argumen yang dewasa ini diterima mengenai mekanismee kerja obat-obat tersebut
ialah bahwa aksi obat-obat anti radahg berkaitan dengan penghambatan metabolisme asam
arakhidonat (Higgs dan Whittle, 1980).
Seperti diketahui asam arakhidonat adalah substart untuk enzim-enzim siklooksigenase
dan lipooksigenase. Siklooksigenase mensitesa siklik endoperoksida (prostaglandin G-2 dan H-
2) yang kemudian akan diubah menjadii prostaglandin stabil, tromboksan, atau prostasiklin.
Ketiga produk ini berasal dari leukosit, dan senyawa-senyawa itu dijumpai pada keadaan
raadang. Di dalam leukosit, asam arakhidonat oleh lipooksigenase akan diubah menjadi asam-
asam mono dan di-hidroksi (HETE) yang merupakan prekursor dari leukotrien (senyawa yang
dijumpai pada keadaan anafilaksis). Dengan adanya rangsangg mekanis atau kimia, produksi
enzim lipooksigenase akan dipacu sehingga meningkatkan produksi leukotrien dari asam
arakhidonat.
Obat-obat yang dikenal menghambat siklooksigenase secara spesifik (indometasin dan
salisilat) mampu mencegah produksi mediator inflamasi; PGE-2 dan prostasiklin. Karena
prostaglandin bersifat sinergiki deengan mediator inflamasi Iainnya (yakni bradikinin dan
histamin) maka bradikinin dan histamin. Ibuprofen dan aspirin mampu berkaitan dengan
siklooksigeenase, dan bersifat kompetitif terhadap arakhidonat.
Secara in vivo kortikosteroid mampu menghambat pengeluaran prostaglandin pada tikus,
kelinci dan marmot. Penghambatan pengeluaran asam arakhidonat dari fosfolipida juga akan
mengurangii produk-produk siklooksigenase dan lipooksigenase sehingga mengurangi mediator
peradangan. Kedua enzim tersebut dapat dihambat oleh benoksaprofen.
3. Cara Percobaan
a. Bahan
1) Karagenin 1% daIam NaCl Fisiologis
2) Prednison 0,1% 1 mg/ml
3) Na diklofenak 1 mg/ml
33
4) As mefenamat 0,1% 1 mg/ml
5) Binatang percobaan (tikus jantan 200-300 gr/Wistar)
b. Alat
1) Pletismograf
2) Alat suntik ( I ml_)
c. Cara percobaan
1) Tikus ditimbang dan kedua kaki belakang diberi tanda di atas lutut,
2) Tikus kontrol (n=3)
Telapak kaki kanan, disuntik dengan karagenin 0,1 nil dun ukurlah segera bvolume
udem dengan mencelupkan telapak kaki (sampai ke tanda) ke dalam air raksa pada
alat pletismograp. Pengukurand iulangi pada 3 jam kemudian.
Telapak kaki kiri, disunti.k dengan 0,1 ml tlilosa 1% dan diukur volume telapak kaki
seperti di atas.
3) Tikus Perlakuan
a) Tikus dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing sebanyak 3 ekor. Tiap kelompok
diberi obat intra periteoneal dengan dosis 20 mg / kg BB, seperti berikut :
Prednisone dosis 20 mg / kg BB
Na. diklofenak 0,1% dosis 20 mg / kg BB
As. Mefenamat 0,1% dosis 20 mg / kg
b) 30 menit sesudah pemberian obat, tikus disuntik dengan karagenin seperti di atas
(pada c.2). Pengukuran volume udem dilakukan segera dan 3 jam setelah pemberian
karagenin
4) Tugas Praktikan
Hitung persen penghambatan inflamasi untuk tiap obat pada tiap dosis uji.
Jika daya anti inflamasi kurkumin murni 60 mg/kg BB diberi skor I (absolut),
hingga potensi relatif tiap obat pada tiap dosis.
4. Bahan Bacaan
a. Chang, JC dan Malone, MH. 1971, J. Pharm, Sci, 60, 416-419
b. Lands, WEM., 1981, Treend Pharmacil, Sci. 2, 78-80
c. Higgss, R.A., dan Whittle, B.J.R. 1980. The Therapeutic and toxic efects of antiinflamatory
drugs which interference with arachidonic acid metabolism. Dalam Turner, P (ed), Clinical
Pharmacology and Therapeutics, Macmillan Pub, London, 277287.
34
Pertanyaan
1. Setelah pemberian karagenin, kenapa pengukuran volume udern diulangi 3 jam kemudian.
2. Tentukan obat yang paling poten dalam menghambat peradangan karena karagenin. Jelaskan
jawaban saudara
4. Mengapa obat- obat kortikosteroid aktivitas inflamasinya lebih kuat dibandingkan dengan
NSAID?
35
F. UJI DIURETIKA
1. Tujuan
Memahami kerja farmakologi dari berbagai obat diuretik, memperoleh gambaran tentang
cara evaluasi efek diuretic.
2. Pendahuluan
Diuretik adalah obat-obat yang dapat meningkatkan produksi dan ekskresi urin,
sehingga dapat menghilangkan cairan berlebihan yang tertimbun di jaringan, misalnya pada
udem.
Dengan demikian dapat memulihkan keseimbangan elektrolit (kin beberapa metabolit, jika
ginjal sendiri tidak sanggup memelihara homeostasis. Selain itu beberapa diuretic, misalnya
klorotiazida, sifat diuretiknya dapat digunakan oleh penderita tekanan darah tinggi / hipertensi,
dengan sasaran untuk mempertahankan tekanan darah yang wajar, mungkin karena
memodilikasi metabolisme natrium, sehingga akhirnya dipertahankan resistensi perifer yang
rendah (tekanan darah = output jantung x resistensi perifer total).
Diuretik umumnya dikelompokan dalam 3 kelompok besar. Diuretik pengasam yang
mengubah keadaan fisika atau kimia dari darah dan jaringan, hingga terjadi pembebasan cairan
interstisial dan cairan selular untuk diekskresikan sehagai urin. Diuretik osmotic yang menarik
air dari jaringan kedalam darah dan kemudian menghambat reabsorpsi air sehagai urin. Diuretik
renal menstimulasi aktivitas ginjal dengan berbagai cara, misalnya meningkatkan filtrasi
melalui glomerulus dan menghambat reabsorpsi natrium dan air: menstimulasi sistem enzim
atau ion natrium; ion hydrogen atau poly transfer atau penyerapan kembali atau sebagai
antagonis kompetitif dari aldoateron.
Pada dasarnya volum dan komposisi urin tergantung pada tiga proses dalam lisiologi
ginjal yaitu liltrasi melalui glomerulus, reabsorpsi di tubulus ginjal dan sekresi oleh tuhulus
ginjal. Sampai sekarang ada kesepakatan bahwa diuretic berefek karena pengaruhnya terhadap
fungsi tubulus ginjal dan tidak seberapa karena efeknya terhadap fungsi glomerulus ginjal.
3. Cara Percobaan
a. Bahan
1) Larutan furoscmid natriurn dalam air, dibuat dengan melarutkan furosemid kadar yang
sesuai dalam air, dengan meneteskan kedalam campuran larutan NaOH sampai
furosemid larut, kemudian larutan dinetralkan dengan HCI 0,1 N atau sediaan jadi
injeksi furosemid 20 mg/ml.
2) Dosis furosemid natrium manusia: 40 mg dan 80 mg dikonversi ke dosis mencit.
36
3) Larutan NaCl fisiologik 0,9%
4) kertas indikator untuk mengukur pH urin
b. Hewan uji
9 ekor mencit putih jantan , usia sekitar 2 bulan,.berat 25-35 g
c. Alat
1) Timbangan hewan
2) Spuit injeksi (1,0 ml-3m1-5 ml )
3) Beacker glass, vial 10 ml, gelas ukur 10 mj, sudip, kapas, tabung ependorff 2,5 cc untuk
menampung urin.
4) Stop watch
5) Kandang khusus untuk pengamatan uji diuretik
d. Cara kerja
1) Semua mencit dipuasakan makan selama lebih kurang 16 jam, minum tetap
diberikan.
2) Mencit dikelompokan secara rawu dalam 3 kelompok, masing-masing terdiri
dari 3 ekor mencit, menurut dosis obat yang tersedia.
3) Kepada semua mencit diberikan air hangat secara oral sebanyak 1 m1/25 g
mencit.
4) Masing-masing kelompok mencit disuntik intraperitoneal (ip) furosemid (dosis
manusia 40 mg dan 80 mg) atau NaCl fisiologik. Volum yang disuntikan dibuat sama
(+0,5 ml).
5) Tempatkan masing-masing mencit dalam kandang khusus yang tersedia dan
tampung urin yang diekskresikannya : catat jumlah urin kumulatip setiap kurun 30 menit
selama 4 jam.
e. Pengumpulan data
Tabelkan data yang diperoleh saat mulai muncul efek; volume urin kumulatip & pH.
Vol
Vol Mulai
Berat Perla ml urin tiap 30` ke Kum pH
No. Perlakuan air Berkemih
kuan
(g) (ml) (ml) () 1 2 3 4 5 6 7 8
1. NaCl
2. F40
3. F80
4. NaCl
5. F40
6. F80
7. NaCl
8. F40
9. F80
Mulai berkemih = saat mulai berkemih - saat disuntik
37
f. Analisis hasil
Hitung untuk masing-masing tikus presentase volum kumulatif urin yang dieksresikan
sebagai:
Gunakan kriterium efek positip jika presentase melebihi 75% dari volum air yang
disediakan. Hitung jumlah hewan berefek.
4. Bahan Bacaan
a. Sumardji, Andreanus A. 1999. Modul Laboratorium Praktikum Farmakologi (Organ &
Sistem). Bandung. Jurusan Farmasi FMIPA ITB.
b. Donatus, Imono Argo. 2000. Pelunjuk Praktikum Toksikologi. Edisi 11. Yogyakarta.
Fakultas Farmasi UGM.
c. Balazs, T. 1970. Measurement in Acute Toxicity. In Paget, G.E.(Ed.). Methods in
Toxicology. Oxford. Blackwell Scientific Publications.
d. Turner, R.A. Screening Methods in Pharmacology (chapter 5). Academic Press : New York
e. Weil, C.S. 1952. Tables for Convenient Calculation o/'Median Efli'eiive Dose ((h!) or
.j
ED5o) and Instruction in Their use. Biometrics: 8, 249-262
f. World Health Organization (WHO). 1966. Principal for Preclinical Testing of Drug safety.
Geneva. WHO Technical series. No 341. WHO.
g. World Health Organization. 1978. Environlinenlal lleallh('rileria 6: Principles and Methods
for Evaluating The Toxicity of Chemicals (chapter 3). Part 1. WHO: Geneva.
h. Tanu, Ian dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta. Bagian Farmakologi FKUI.
i. Raharia, Kirana dan Tan Iloan 'I'jay. 2002. Ohai-obat l'enting. Edisi ke-5. Jakarta. Elex
Media Komputindo Glosarry
3. SIKAP 10 %
- KEMAMPUAN
BERKOMUNIKASI
- SIKAP DLM
PENYAJIAN
MAKALAH
TOTAL / NILAI
AKHIR
39