Anda di halaman 1dari 8

MODUL PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI II

TIM PENYUSUN:
apt.Humaira Fadhilah, M.Farm.
Nuri Hardiyanti,M.Farm
apt.Rian Hidayat, S.Far

PROGRAM STUDI D-III FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KHARISMA PERSADA
TA 2020-2021
PERATURAN LABORATORIUM

1. Syarat mengikuti praktikum adalah sebagai berikut:

 Mahasiswa yang telah mengikuti kuliah farmakologi dan toksikologi


 Mahasiswa telah mengisi kartu rencana studi untuk mengikuti praktikum
farmakologi dan toksikologi
 Menunjukkan salinan kartu rencana studi
 Pas foto berwarna ukuran 3x4 : 1 lembar

2. Praktikum dimulai sesuai jadwal yang telah di tetapka dan harus hadir 15 menit
sebelum praktikum dimulai.
3. Selama praktikum berlangsung, praktikan wajib memakai jas praktikum, sarung
tangan, masker, badge nama dan diwajibkan mengikuti tata cara berpakaian Stikes
Kharisma Persada.
4. Setiap kelompok bertanggung jawab atas penyediaan dan pemeliharaan hewan yang
digunakan selama praktikum.
5. Setiap kelompok bertanggung jawab atas kebersihan meja dan alat-alat paktikum
serta mengembalikan peralatan dalam keadaan bersih.
6. Data praktikum dinyatakan sah apabila telah ditandatangani oleh asisten yang
bertugas.
7. Laporan praktikum dibuat tertulis dan diserakan dua hari setelah praktikum
tersebut.
8. Apabila dalam laboratorium terjadi keadaan yang berbahaya, praktikan harus segera
melapor pada dosen/asisten yang bertugas, dan bila dalam praktikum menemui
kesulitan atau kesukaran mintalah petunjuk dosen/asisten yang bertugas.
9. Praktikan yang berhalangan hadir harus memberikan keterangan tertulis atau surat
keterangan dokter apabila sakit.
10. Praktikan yang tidak mengikuti praktikum diwajibkan melakukan kegiatan
praktikum di hari lainnya.

2
TUJUAN INSTRUKSIONAL

1. Umum
Setelah menyelesaikan praktikum ini Farmakologi 1, mahasiswa D3 Farmasi akan
dapat mengevaluasi aktivitas obat menggunakan berbagai metode eksperimen
farmakologi.
2. Khusus
1. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas obat berdasarkan Rute
Pemberian Obat
2. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas antipiretik Obat
3. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas antiinflamasi Obat
4. Mahasiwa dapat mengevaluasi aktivitas diuretik Obat
5. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktifitas obat Antidot
6. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktifitas obat antihiperurisemia
7. Mahasiswa dapat mengevaluasi aktifitas obat sedative

3
DAFTAR ISI

BAB 1. Aktivitas obat berdasarkan dosis, rute pemberian obat, dan variasi biologi... 5

BAB II. Aktivitas antipiretik obat/sediaan uji................................................................ 14

BAB III. Aktivitas antiinflamasi obat/sediaan uji ..........................................…...........19

BAB IV. Aktifitas diuretika obat/sediaan uji .................................................................24

BAB V. Aktifitas obat antidot.........................................................................................28

BAB VI. Aktifitas obat antihiperurisemia.......................................................................31

BAB VII. Aktifitas obat sedativ......................................................................................36

4
BAB 5

TERAPI ANTIDOT KERACUNAN AKUT PARASETAMOL

A. TUJUAN

Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, dan strategi terapi antidot,


berdasarkan contoh kemampuan N-acetylsistein menawaracunkan parasetamol.

B. DASARTEORI

Terapi antidot ialah suatu tata cara yang secara khusus ditujukan untuk membatasi
intensitas efek toksik zat kimia atau untuk menyembuhkan efek toksik yang
ditimbulkannya sehingga bermanfaat untuk mencegah bahaya selanjutnya. Dari takrif
tersebut terkandung makna bahwa tujuan terapi antidot ialah membatasi penyebaran
racun di dalam tubuh, sedang sasaran terapinya berupa penurunan atau penghilangan
intensitas efek toksik.

Intensitas efek toksik suatu senyawa bergantung pada keberadaan (besar kadar dan
lama tinggal) senyawa terkait di tempat aksinya. Di mana keberadaan tersebut
ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi senyawa terkait. Bila
demikian upaya membatasi penyebaran racun tentunya harus dikaitkan dengan ketiga
proses tersebut. Karena itu, strategi terapi antidot di antaranya melibatkan
penghambatan absorpsi dan distribusi, serta peningkatan eliminasi racun terkait.

Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgetik-antipiretik yang cukup


aman dalam dosis terapinya. Tapi jika dipakai dalam dosis besar bisa berbahaya
karena bagaimanapun juga, obat adalah racun. Karena relatif mudah diperoleh,
parasetamol merupakan salah satu obat yang sering disalahgunakan untuk bunuh diri.
Sebagian dari kasus kematian karena parasetamol disebabkan karena usaha bunuh
diri atau penyalahgunaan, selebihnya disebabkan karena ketidaksengajaan dan
biasanya karena digunakan bersama obat lain.

5
Overdosis parasetamol dapat terjadi pada penggunaan akut maupun penggunaan
berulang. Overdosis parasetamol akut dapat terjadi jika seseorang mengkonsumsi
parasetamol dalam dosis besar dalam waktu 8 jam atau kurang. Hepatotoksisitas akan
terjadi pada penggunaan 7,5-10 gram dalam waktu 8 jam atau kurang. Kematian bisa
terjadi (mencapai 3-4% kasus) jika parasetamol digunakan sampai 15 gram.

Pada dosis terapi (500-2 gram), 5-15% obat ini umunya dikonversi oleh enzim sitokrom
P450 di hati menjadi metabolit reaktifnya (aktivasi metabolik), yang disebut N-acetyl-p-
benzoquinoneimine (NAPQI). NAPQI berperan sebagai radikal bebas yang memiliki
lama hidup yang sangat singkat. Dalam keadaan normal, NAPQI akan didetoksikasi
secara cepat oleh enzim glutation dari hati. Pada paparan parasetamol overdosis, jumlah
dan kecepatan pembentukan NAPQI melebih kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi
ulang cadangan glutation yang diperlukan. NAPQI kemudian menyebabkan kerusakan
intraseluler diikuti nekrosis (kematian sel) hati.

Saat ini, pengatasan overdosis parasetamol adalah dengan penggunaan N- acetylcystein,


baik oral atau secara intravena. Antidot (antiracun) ini mencegah kerusakan hepar akibat
keracunan parasetamol dengan cara menggantikan glutation dan dengan
ketersediaannya sebagai prekursor. Rekomendasi regimen dosis untuk N- asetilcysteine
secara per-oral adalah dengan loading dose sebesar 140 mg/kg, diikuti dengan 70 mg/kg
BB setiap 4 jam untuk 17 kali dosis, dengan total durasi terapi adalah 72 jam.

C. TATA CARA PERCOBAAN

1. Bahan : Tikus putih, parasetamol, N-asetilcysteine, larutan fisiologis (salin 0,9%).

2. Alat : Spuit dan jarum injeksi, sonde oral, pengukur waktu, alat gelas, sarung
tangan tebal.

3. Pengelompokan dan perlakuan terhadap hewan uji. Kelas dibagi menjadi beberapa
kelompok, tiap kelompok mendapatkan lima ekor tikus, dengan perlakuan sebagai
berikut:

6
Tikus I Diberikan peroral suspensi parasetamol dalam CMC-Na 10% dengan dosis 150
mg. Kemudian catat saat mulainya timbul gejala sianosis, hilang kesadaran, kejang,
kegagalan pernapasan dan kematian.

Tikus II Diberikan peroral suspensi parasetamol seperti kelompok I. Kemudian pada


saat gejala sianosis mulai nampak, berikan suspensi N-acetylcistein dengan dosis 176
mg. Catat saat timbulnya kejang, kegagalan pernafasan dan kematian.

Tikus III Diperlakukan sama seperti Tikus II. Bedanya, pemberian suspensi N-
acetylcistein dilakukan pada saat gejala kejang mulai nampak. Kemudian catat saat
timbulnya kematian.

Catatan : gejala sianosis ditandai dengan timbulnya warna biru pada daerah sekitar
mulut, leher, pantat, mata, perut.

4. Analisis dan Evaluasi Hasil

Buatlah tabel yang berisi data purata waktu yang diperlukan untuk timbulnya gejala
sianosis, kejang, kegagalan pernafasan dan kematian setelah perlakuan masing-
masing kelompok. Perbedaan waktu untuk masing-masing gejala antar kelompok
perlakuan, hitung secara statistik mengikuti tata cara analisis varian dengan taraf
kepercayaan 95%. Bila memungkinkan analisis statistika dilanjutkan dengan uji
Tukey atau uji lain yang sejenis.

7
DAFTAR PUSTAKA

Analgesic and anti-inflammatory activity of a crude root extract


of Pfaffia glomerata (Spreng) Pedersen. Journal of Ethnopharmacology 96 (2005). pp.
87–91. Burn J.H, Finney D.J, Goodwin L.G. (1950). Chapter XIV: Antipyretics and
analgesic, In:

Biological Standarization. Oxford University Press. London. New York. pp. 312-9.
Neal, M.J.(2002). At a Glance Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Erlangga. hal. 64-5.

Parmar, N.S and Prakash, S. (2006). Screening methods in Pharmacology. Alpha


Science International Ltd. Oxford, U.K. pp. 211-238.

Parmar, N.S and Prakash, S. (2006). Screening methods in Pharmacology. Alpha


Science International Ltd. Oxford, U.K. pp. 211-238.

Tjay, H.T and Rahardja, K. (2008). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-
efek sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Halaman 310-319.

Tjay, H.T and Rahardja, K. (2008). Obat-obat penting khasiat, penggunaan, dan efek-
efek sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Halaman 310-319.

UGO BASILE BIOLOGICAL RESEARCH APPARATUS. p. 9.


Basto, J.K.(2004).

Anda mungkin juga menyukai