Anda di halaman 1dari 41

METODE FARMAKOLOGI

Tim Penyusun
Ihwan., S.Si., M.Kes., Apt
Khildah Khaerati., S.Si., M.Si., Apt

LABORATORIUM FARMAKOLOGI-BIOFARMASETIKA
JURUSAN FARMASI UNIVERSITAS TADULAKO
KATA PENGANTAR

yukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME, penuntun praktikum Metode


S Farmakologi telah disusun sebagai bentuk pelengkap dari teori yang tidak
dapat dipisahkan dengan matakuliah dengan 3 sks yang disajikan pada semeter
Genap setiap tahun ajaran yang berjalan. Penuntun ini dibuat untuk dijadikan
panduan bagi mahasiswa Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Tadulako
dalam melaksanakan praktikum Metode Farmakologi.

Penuntun ini memuat gambaran sederhana yang mudah dipahami mahasiswa dalam
melaksanakan praktek di laboratorium Metode Farmakologi biofarmasetika
sehingga out put yang diharapkan dalam pencapaian praktikum dapat dipenuhi
dengan baik yaitu mahasiswa dapat mengsingkronisasikan antara teori yang
diperoleh dengan pelaksanaan praktikum dilaboratorium, sehingga pemahaman
tentang pencapaian mutu pembelajaran Metode Farmakologi oleh mahasiswa dapat
tercapai dengan baik.

Penuntun ini diharapkan dapat dijadikan sebagai buku panduan praktikum Metode
Metode Farmakologi yang dapat dijadikan acuan oleh dosen, peneliti, mahasiswa
dan laboran, namun dalam penyusunannya masih perlu perbaikan untuk
penyempurnaan, olehnya itu demi penyempurnaan penuntun ini dimohon pihak-
pihak yang ingin membantu diharapkan masukan kritik dan saran sifatnya
membangun untuk perbaikan dan peyempurnaan penuntun Metode Farmakologi
yang nantinya dapat dimanfaatkan sebagai acuan oleh berbagai kalangan untuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Palu, 14 Februari 2020

Tim Penulis
DAFTAR ASISTEN DAN MATERI PERCOBAAN

JUDUL KEGIATAN PRAKTIKUM ASISTEN PENANGGUNG JAWAB


I Standard Operating Procedure (SOP) Muhammad Yoga Auliyah
Penanganan Tikus
II Pengaruh Rute Dan Dosis Pemberian Christine Eriska Timang
Terhadap Efek Metode Farmakologi
III Analgesik Moh. Agung Pratama
IV Antipiretik Sonia Wiranti Mallisa
V Diuretika Novianti Batti
VI Efek Kolinergik Dan Antikolinergik
VII Uji Aktivitas Antidiare Ni Gusti Ayu Kadek Sri Handayani
VIII Sedatif Hipnotik
IX Antelmentikum Andi Ratih Sekarningrum Siradje
X Uji Toksisitas Akut Berniawan Wijaya Kusuma

2
PETUNJUK KERJA LABORATORIUM METODE FARMAKOLOGI

Sebelum memulai bekerja perlu mempelajari serta memahami petunjuk dan


prosedur percobaan.
1. Tiga hal yang perlu diperhatikan selama bekerja di laboratorium Metode
Farmakologi
a. Kebersihan
Selama bekerja, laboratorium selalu dijaga kebersihannya dan pakailah jas
praktikum yang bersih, masker, dan handscoon. Demikian pula alat-alat yang
dipakai untuk praktikum.
Setelah selesai melakukan percobaan, bersihkan dan keringkan alat-alat, cuci wadah
binatang dan kembalikan ke tempat semula, kertas-kertas atau benda-benda lain
yang tidak berguna dimasukkan kedalam keranjang sampah dan tinggalkan
laboratorium dalam keadaan bersih, rapi seperti pada waktu anda memasukinya.
Dalam beberapa hal mungkin perlu pembersihan dengan desinfektansia. Sampah
biologis seperti sisa jaringan, sampel darah atau hewan mati, perlu dibungkus
plastik untuk selanjutnya diinsinerasi (diabukan) atau dikubur.

b. Ketepatan
Ketepatan yang harus diperhatikan :
a. Ketepatan dalam menimbang.
b. Ketepatan dalam mengukur volume larutan, suspensi atau sediaan obat
lain yang akan diberikan.
c. Ketepatan dalam menentukan dosis obat yang akan diberikan.
d. Ketepatan cara pemberian obat.

c. Pengamatan
Percobaan akan memberikan hasil yang baik jika pengamatan dilakukan sesuai
panduan. Setiap proses yang terjadi harus segera dicatat.

1. Peserta praktikum harus datang 15 menit sebelum praktikum dilaksanakan. Bagi


yang berhalangan hadir, wajib memberikan keterangan yang jelas.
2. Setiap praktikum akan diadakan tes/kuis untuk masing-masing percobaan.
3. Tidak diadakan praktikum ulang. Jika kehadiran tidak mencukupi 75%, maka
tidak diperkenankan mengikuti ujian praktikum.
4. Peserta praktikum tidak boleh meninggalkan laboratorium selama praktikum
berlangsung, kecuali dengan izin khusus dari asisten praktikum.
5. Praktikan akan dibagi beberapa kelompok, setiap kelompok bertanggung jawab
atas peralatan yang dipakai. Semua percobaan perlu ada pembagian tugas dalam
suatu kelompok, misalnya : sebagian menyiapkan alat-alat dan obat-obatan,
mencatat dosis yang digunakan dan menetapkan kadar obat dalam sampel
biologis. Sebagian lain, menyiapkan binatang percobaan dan memberikan obat
pada binatang tersebut, sisanya melakukan pengamatan dan mencatat hasil
pengamatan.
6. Laporan praktikum telah disetujui oleh asisten dan diserahkan sebelum
melakukan percobaan berikutnya.
7. Setiap kerusakan atau gangguan harus dilaporkan secepatnya.
8. Sebelum memulai percobaan, alat-alat yang diperlukan di cek.

3
9. Hewan percobaan diperlakukan dengan kasih sayang. Hal ini akan membantu
praktikan dalam melakukan percobaan, dan mengurangi pengaruh yang tidak
dikehendaki yang disebabkan karena takut dan sebagainya. Binatang jangan
disakiti.
10. Perlakuan terhadap hewan coba yang terampil akan menyebabkan hewan coba
nyaman dan mengurangi variasi biologis sehingga pengamatan data menjadi
Iebih homogen.
11. Pada akhir praktikum akan diadakan diskusi dengan asisten.

4
BAB I

STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP)


PENANGANAN TIKUS/MENCIT

CARA BEKERJA DENGAN HEWAN PERCOBAAN


1. Cara memperlakukan hewan percobaan :
a. Kelinci dan marmot : jangan sekali-kali memegang telinga kelinci / marmot
karena sangat syaraf pembuluh darah dapat terganggu
b. Tikus dan mencit
Peganglah pada ekornya, tetapi hati-hati jangan sampai hewan tersebut
membalikkan tubuh dan menggigit. Karena itu selain ekornya pegang juga bagian
leher belakang dekat kepala dengan ibu jari dan telunjuk. Gunakan kaos tangan dari
kulit atau karet yang cukup tebal untuk melindungi tangan dari gigitan hewan. Akan
tetapi bagi yang sudah terbiasa akan lebih baik tanpa kaos tangan karena kontak
langsung dengan hewan akan memudahkan mengontrol gerakan
binatang.Menggunakan kembali binatang yang telah dipakai.

2. Untuk menghemat biaya, bila memungkinkan diperbolehkan memakai hewan


percobaan lebih dari satu kali. Walaupun demikian jika hewan tersebut telah
digunakan dalam suatu periode dan obat yang digunakan pada percobaan
sebelumnya masih berada di dalam tubuh hewan, maka hewan tersebut baru
boleh digunakan untuk percobaan berikutnya setelah selang waktu minimal 14
hari dari percobaan sebelumnya.

LUKA GIGITAN HEWAN UJI


Imunisasi tetanus disarankan bagi semua orang yang bekerja dengan hewan
percobaan. Luka yang bersifat abrasif atau luka yang agak dalam karena gigitan
hewan ataupun karena alat-alat yang telah digunakan untuk percobaan hewan,
harus diobati secepatnya menurut cara-cara pertolongan pertama pada kecelakaan.
Apabila korban gigitan belum pernah mendapat kekebalan terhadap tetanus, la
harus mendapatkan imunisasi profilaksis.

MEMUSNAHKAN HEWAN UJI


1. Cara terbaik untuk membunuh hewan uji adalah dengan memberikan anestetik
over dosis. Injeksi barbiturate (Na pentobarbital 300 mg/ml) secara iv untuk
anjing dan kelinci, secara intraperitoneal untuk marmot, tikus dan mencit atau
dengan inhalasi menggunakan kloroform, karbondioksida, nitrogen dan lain-lain
di dalam wadah tertutup untuk semua hewan tersebut diatas.
2. Hewan disembelih, dimasukkan ke dalam kantong plAstik dan dibungkus lagi
dengan kertas, diletakkan dalam tas plastic, ditutup dan disimpan dalam almari
pendingin atau langsung diabukan.

PENANGANAN HEWAN UJI


Penanganan hewan uji adalah tata cara memperlakukan hewan uji, baik selama
masa pemeliharaan maupun selama uji berlangsung. Dalam hal ini melibatkan
berbagai macam teknik yakni pengambilan hewan dari kandang, pemegangan,
penandaan, pemberian senyawa, pengorbanan dan pengambilan cuplikan hayati.

5
Karakteristik mencit
Dalam laboratorium mencit mudah ditangani, ia bersifat penakut, fotofobic,
cenderung berkumpul sesamanya, mempunyai kecenderungan untuk bersembunyi
dan lebih aktif pada malam hari. Kehadiran manusia akan menghambat mencit. Suhu
tubuh normal : 37,4°C. Laju respirasi normal 163 tiap menit.

Karakteristik tikus
Relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih pada umumnya
tenang dan mudah ditangani, tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit
serta kecenderungan untuk berkumpul sesamanya juga tidak begitu besar. Aktifitas
tidak begitu terganggu dengan adanya manusia di sekitarnya. Suhu tubuh normal :
37,50C. Laju respirasi normal 210 tiap menit. Bila diperlakukan kasar atau
mengalami defisiensi nutrisi, tikus menjadi galak dan sering menyerang si
pemegang.

Mencit
1. Pengambilan mencit dari kandang harus dilakukan dengan hati-hati karena
mencit merupakan hewan yang selalu berusaha untuk menggigit dan mampu
meloncat sampai beberapa meter bila tersentuh. Pertama kali buka kandang
dengan hati-hati. Buka penutup kandang cukup untuk tangan masuk saja.
Berikutnya angkat mencit dengan cara memegang ekor mencit (3-4 cm dari
ujung) sehingga mencit dapat dipindahkan ke tempat lain (gambar 1). Bila perlu
mencit diletakkan pada telapak tangan guna pengamatan atau pemeriksaan lebih
jauh (gambar 2)
2. Pemegangan mencit dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Letakkan mencit pada lembaran kawat, biarkan keempat kakinya
mencengkeram kawat atau alas kasar lain (gambar 3). Dalam keadaan
demikian mencit dapat diberi tanda dengan spidol atau asam pikrat
sebagaimana mestinya.
b. Dengan tangan kiri, jepit tengkuk diantara telunjuk dan ibu jari (gambar 4)
c. Pindahkan ekor dari tangan ke antara jari manis dan jari kelingking tangan
kiri, sampai mencit dapat dipegang dengan erat (gambar 5). Mencit siap
mendapat perlakuan

Tikus
1. Pengambilan tikus dari kandang sebaiknya tidak dilakukan dengan memegang
ekor seperti halnya mencit karena tikus dapat menjadi stress dan mengalami
luka. Biasanya bila tikus diangkat dengan memegang ekornya, tikus akan
berputar-putar di udara. Hal ini dapat diatasi dengan memegang pangkal ekor
atau langsung menggenggamnya diseputar bahu (gambar 6)
2. Pemegangan tikus dapat dilakukan dengan cara :
a. Angkat tikus dari kandang pada pangkal ekornya dengan tangan kanan
b. Biarkan tikus mencengkeram alas kasar atau kawat
c. Luncurkan tangan kiri dari belakang tubuh / punggungnya kearah kepala.
Selipkan antara jari tengah dan telunjuk pada tengkuk tikus sedang ibu jari,
jari manis dan kelingking selipkan disekitar perut (gambar 7)
d. Cara lain pemegangan tikus seperti pada gambar 8

6
Memberikan Makan Hewan Uji Untuk Mengurangi Variasi Biologis

7
1. Hewan percobaan biasanya memberikan hasil dengan deviasi yang lebih benar
dibandingkan dengan percobaan in vitro, karena adanya variasi biologis. Maka
untuk menjaga supaya variasi tersebut minimal, hewan yang mempunyai spesies
dan strain yang sama, usia yang sama, jenis kelamin yang sama, dipelihara pada
kondisi yang sama pula.
2. Hewan percobaan harus diberi makan sesuai dengan makanan standar untuknya
dan diberi minum ad libitum.
3. Lebih lanjut untuk mengurangi variasi biologis, hewan harus dipuasakan
semalam sebelum percobaan dimulai. Dalam periode ini hewan hanya
diperbolehkan minum ad libitum.
Cara Memberi Kode Hewan Uji
Dosis obat yang diberikan pada hewan dinyatakan dalam mg atau g per g bobot
tubuh hewan. Karena itu perlu diketahui berat dari tiap-tiap hewan yang akan
digunakan dalam percobaan dan tiap hewan diberi tanda (titik/garis) menggunakan
pewarna untuk mengidentifikasinya. Tabel 1 menunjukan penandaan pada ekor
berupa garis melintang, sejajar atau tanda (+), yang dirumuskan atau dibaca sebagai
angka (nomor hewan) dimulai dari pangkal ekornya. Gunakan spidol tidak tercuci
air, berujung kecil atau dengan larutan asam pikrat
Tabel 1. Penandaan hewan percobaan pada ekornya (tikus dan mencit), dibaca
mulai dari pangkal ekornya.

Dibaca sebagai nomor


Tanda pada ekor
hewan
Satu garis melintang 1
Dua garis melintang 2
3
Satu garis melintang dan satu garis sejajar 4
Satu garis sejajar 5
Satu garis sejajar dan garis melintang 6
7
8
Satu garis melintang dan satu tanda (+) 9
Satu tanda (+) 10
Satu tanda (I) dan melintang 11
12
13
Satu tanda (+), garis sejajar dan melintang 14
15
16
17
18
19
Dua tanda (++) 20
dst

8
Pemberian Sediaan Uji / Pemejanan Pada Hewan

1. Pemberian per-oral
Dilakukan dengan cara memegang hewan uji seperti pada gambar 5. Pemberian
obat-obatan dalam bentuk suspensi, larutan atau emulsi, kepada tikus dan mencit
dilakukan dengan pertolongan jarum suntik yang ujungnya tumpul (bentuk
bola/kanulla). Kanulla ini dimasukan ke dalam mulut, kemudian perlahan-lahan
dimasukkan melalui tepi langit-langit ke belakang sampai esophagus.

2. Pemberian secara intraperitoneal


Dilakukan cara memegang hewan uji seperti gambar 5, dengan kulit punggung
dijepit sehingga daerah perut terasa tegang. Basahi daerah perut dengan kapas
beralkohol. Tusukkan jarum suntik sejajar dengan salah satu kaki hewan uji apad
daerah perut, kurang lebih 1 cm diatas kelamin (gambar 10). Semprotkan senyawa
uji. Setelah selesai pemberian tarik pelan-pelan jarum suntik, tekan tempat suntikan
dengan kapas beralkohol. Hati-hati jangan sampai terkena hati, kandung kencing
dan usus.

3. Subkutan
Dikerjakan dengan cara memegang hewan uji seperti gambar 3 atau 4. Penyuntikan
biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen; seluruh jarum langsung
ditusukan ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.

4. Intravena
Mencit dimasukan ke dalam pemegang (dari kawat/bahan lain) seperti gambar 9
dengan ekornya menjulur keluar. Sebelum penyuntikan, ekor dicelupkan ke dalam
air hangat atau digosok dengan pelarut organic seperti aseton atau eter untuk
mendilatasi vena guna mempermudah penyuntikan. Setelah vena mengalami dilatasi
pegang ekor dengan kuat pada posisi vena berada di permukaan sebelah atas.
Tusukkan jarum dengan ukuran yang sesuai ke dalam vena sejajar dengan vena. Bila
jarum suntik tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat sekitar daerah
penyuntikan memutih dan bila piston alat suntik ditarik, tidak ada darah yang
mengalir ke dalamnya. Dalam keadaan dimana harus dilakukan penyuntikan
berulang, penyuntikan dimulai dari daerah distal ekor.

5. Intramuskular
Dilakukan dengan cara memegang hewan seperti gambar 5. Usap daerah otot paha
posterior dengan kapas beralkohol. Larutan obat disuntikan ke dalam otot sekitar
gluteus maximus atau ke dalam otot paha lain dari kaki belakang (gambar 11); Kalau
perlu dicek, apakah jarum tidak masuk ke dalam vena dengan menarik kembali
piston alat suntik. Setelah selesai cabut pelan-pelan jarum suntik dan tekan daerah
suntikan dengan kapas beralkohol.

9
Volume Maksimum Larutan Obat Yang Diberikan Pada Hewan Uji
Cara pemberian dan voluem maksimum (ml)
Hewan
i.v i.m i.p s.c p.o
1. mencit (20-30g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0* 1,0
2. tikus (100g) 1,0 0,1 2,0-5,0 2,0-5,0* 5,0
3. hamster (50g) - 0,1 1,0-5,0 2,5 2,5
4. marmot (250g) - 0,25 2,0-5,0 5,0 10,0
5. merpati (300g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
6. kelinci (2,5kg) 5,0-10,0 0,5 10,0-20,0 5,0-10,0 20,0
7. kucing (3 kg) 5,0-10,0 1,0 10,0-20,0 5,0-10,0 50,0
8. anjing (5 kg) 10,0-20,0 5,0 20,0-50,0 5,0-10,0 100,0
*Volume yang diberikan adalah ½ dari volume maksimum yang diberikan pada
hewan

10
Tabel Konversi Perhitungan Dosis Antar Jenis Hewan

Hewan dan Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
BB rata-rata 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg

Mencit 1,0 7,0 12,29 27,8 28,7 64,1 124,2 387,9


20 g
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 60,5
200 g
Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
400 g
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,06 2,4 4,5 14,2
1,5 kg
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0
2 kg
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
4 kg
Anjing 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
12 kg
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,76 0,16 0,32 1,0
70 kg

Contoh Soal Perhitungan Dosis


Suatu penelitian menggunakan mencit yang akan diberi zat aktif murni parasetamol
500 mg/70 kg (dosis manusia) yang belum dikonversikan ke dalam dosis untuk
mencit. Mencit yang akan digunakan mempunyai berat badan 25 g. Buatlah stok
untuk 5 mencit dengan berat badan 20-30 g beserta cara penimbangan dan volume
pemberiannya.
Diket : zat aktif PCT 500 mg, V max p.o mencit bobot 20-30 g = 1 ml, fk = 0,0026
Dit : stok ?
Peny :
Stok = dosis x BB / ½ V max
Konversi = 500 mg/70 kg x 0,0026 = 1,3 mg/20 g
Stok = 1,3 mg/20 g x 30 g / ½ x 1 ml = 3,90 mg/ml
Dibuat stok untuk 5 mencit = 5 x ½ ml =2,5 ml = 9,75 mg/2,5 ml
dijadikan 19,5 mg/5 ml
Penimbangan :
Ditimbang serbuk parasetamol murni sebanyak 19,5 mg dilarutkan dalam larutan
CMC Na ad 5 ml
Volume pemejanan = dosis x BB / stok
= 1,3 mg/20 x 25 g / 3,90 mg/ml = 0,41 ml

11
BAB II

PENGARUH RUTE DAN DOSIS PEMBERIAN


TERHADAP EFEK METODE FARMAKOLOGI

1. Tujuan

Setelah menyelesaikan percobaan ini maka mahasiswa akan mempunyai kemahiran


spesifik meliputi :
a. Mengenal, mempraktekan dan membandingkan cara-cara pemberian obat
terhadap kecepatan absorpsinya, menggunakan data Metode Farmakologi
sebagai tolok ukurnya
b. Mengenal, mempraktekan dan membandingkan pengaruh dosis pemberian obat
terhadap efek Metode Farmakologi
c. Membuat rancangan untuk percobaan menggunakan hewan utuh dengan
pengamatan efek spesifik berdasarkan rute pemberian
d. Mengetahui kondisi eksperimen yang harus dikontrol meliputi kondisi hewan
uji (fisiologi, patologi, kualitas hewan uji)
e. Kemampuan membuat larutan stok, menghitung dosis dan volume yang sesuai
untuk masing-masing hewan uji
f. Memahami tentang protocol eksperimental dan hubungannya dengan waktu
untuk menjamin reprodusibel hasil
g. Mampu mengkuantifikasi hasil yang didapatkan dan menyajikan dengan jelas
dalam grafik
h. Analisis statistika dengan benar

2. Dasar Teori
Untuk mencapai efek Metode Farmakologis seperti yang diinginkan, obat dapat
diberikan dengan berbagai cara. Diantaranya melalui oral, subkutan, intra muscular,
intra peritoneal, rectal dan intravena. Masing-masing cara pemberian ini
mempunyai keuntungan dan manfaat tertentu serta kekurangan.
Suatu senyawa atau obat mungkin efektif jika diberikan melalui salah satu
pemberian tetapi tidak atau kurang efektif jika diberikan melalui cara lain.
Perbedaan ini salah satunya dapat disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal
kecepatan absorpsi dari berbagai cara pemberian tertentu, yang selanjutnya akan
berpengaruh terhadap efek atau aktivitas Metode Farmakologinya.Absorpsi obat
akan mempengaruhi mula kerja dan durasi efek obat. Absorpsi obat dipengaruhi
oleh cara pemberian obat dan dosis.

3. Alat dan Bahan


Alat : spoit injeksi dan jarumnya, spoit oral (kanula/sonde oral), timbangan hewan,
labu takar, gelas beker, Erlenmeyer, pengaduk, pipet volume
Bahan : Na pentobarbital 75 mg/kg BB dan 150 mg/kg BB, NaCl 0,9%, etanol 70%,
kapas
Spesies : mencit jantan dewasa dengan BB 20-30 g. Hewan uji dipuasakan selama
satu malam dan tetap diberi minum dengan air ad libitum

12
4. Cara Kerja
Metode yang digunakan adalah pentobarbitone induced sleeping time .
a. Sebanyak 15 ekor hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok (masing-masing
terdiri dari 5 ekor mencit)
b. Berturut-turut kelompok 1, 2 dan 3 mengerjakan percobaan oral dan ip
dengan dosis berbeda.
c. Mencit diberi tanda lalu ditimbang dan diperhitungkan volume natrium
pentobarbital yang akan diberikan.
d. Kelompok perlakuan dengan dosis 75 mg dan 150 mg/kb BB baik per oral
maupun ip, diberikan larutan pentobarbital natrium dengan kadar yang
direncanakan sehingga volume penyuntikan mendekati 0,2 ml per 20 g berat
badan.
e. Kelompok kontrol (normal) mendapat larutan NaCI 0.9% 0,2 ml per 20 g
berat badan
f. Stopwatch dihidupkan setelah pemberian Na pentobarbital (dihitung
sebagai menit ke-0
g. Dicatat mulai terjadinya sleeping time (onset), yaitu hilangnya kemampuan
hewan uji untuk membalikkan badan jika ditelentangkan (selama 30 detik)
h. Kembalinya reflek balik badan berarti dianggap sudah bangun
f. Dicatat waktu bangun tidur yang ditandai dengan reflek balik badan (mulai
timbulnya onset dan kembali bangun disebut dengan durasi/lama sleeping time)
g. Hitung onset dan durasi waktu tidur Na pentobarbital dari masing-masing
kelompok percobaan, dan dibandingkan hasilnya menggunakan uji statistik "analisa
varian pola searah" dengan taraf kepercayaan 95%.

13
BAB III
ANALGESIK

1. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini maka mahasiswa akan mempunyai kemahiran
spesifik meliputi :
a. Membuat rancangan percobaan menggunakan hewan uji dengan pengamatan
efek spesifik berupa analgesic
b. Mengenal beberapa metode pengujian analgesic dan obat-obat analgesic
c. Mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat grafik
respon time vs waktu pengamatan pada metode stimulasi panas
d. Mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan dengan membuat tabel dan
grafik jumlah geliatan vs waktu pengamatan pada metode siegmund

2. Dasar Teori
Analgesik adalah obat yang dapat mengurangi atau menekan rasa sakit tanpa
memiliki efek anestesi umum. Jadi yang dipengaruhi oleh obat ini hanyalah rasa
sakit. Berdasarkan kerjanya analgesic dibedakan menjadi 2 macam yaitu analgesic
opioid dan non opioid.
Analgesic opioid merupakan golongan obat pengurang rasa nyeri yang berasal dari
golongan opiate atau derivatnya yang memiliki sifat mirip morfin. Ada beberapa tipe
reseptor opiat yaitu mu (µ), kappa (ҡ), sigma (Ԑ) dan delta (δ). Efek Metode
Farmakologi tertentu yang muncul tergantung pada interaksi antara opiod dengan
reseptor tersebut.
Reseptor mu dan kappa berkaitan dengan efek analgesic. Resptor sigma berkaitan
dengan efek disforia atau efek psikomimetik. Reseptor delta berperan pada
perubahan tingkah laku atau afektif. Secara normal reseptor-reseptor ini terpacu
oleh peptioda opiod endogen (endorphin, enkefalin, dan dimorfin) yang berfungsi
mengatasi nyeri.
Analgesic non opiod adalah analgesic antipiretika dan antiinflamasi non steroid
(AINS/NSAID). Kelompok ini sangat heterogen tetapi memiliki kesamaan efek
Metode Farmakologi dan efek sampingnya. Hal ini disebabkan efek obat ini
berdasarkan penghambatan biosintesis prostaglandin yang berperan dalam
patofosiologi nyeri (terutama nyeri karena inflamasi)

Uji Analgesik
Banyak metode yang telah ditemukan untuk mendeteksi aktivitas analgetika
narkotik, tetapi masih sulit untuk menemukan teknik biologi dalam mengevaluasi
aktivitas analgetika non narkotik. Meskipun demikian penggunaan metode yang
berbeda dari stimulasi yang menghasilkan sakit memberikan teknik yang dapat
digunakan untuk membedakan antara analgetika yang telah ditemukan dan
digunakan dalam mengevaluasi kelompok aktivitas adalah : mekanik, listrik, kimia
dan panas. Metode kimia, mekanik dan listrik digunakan untuk mengevaluasi
analgetika non narkotik, sedangkan metode induksi panas digunakan untuk
mengevaluasi aktivitas analgetika narkotik.

14
a. Stimulasi kimia
Stimulasi kimia biasanya disebut juga metode induksi cara kimia atau metode
Siegmund. Obat uji dalam metode tersebut dinilai kemampuannya dalam menekan
atau menghilangkan rasa nyeri setelah diinduksi secara kimia dengan pemberian zat
yang dapat digunakan sebagai perangsang nyeri seperti : larutan 0,02% fenilquinon
dalam etanol 95%, asam asetat, kalsium klorida 1,8%, klorobutanol, 5-
hidroksitripton, magnesium sulfat 2%. Pemberian zat tersebut dilakukan secara
intraperitonial pada hewan uji mencit. Gejala sakit pada mencit sebagai akibat
induksi secara kimia adalah: adanya kontraksi dari dinding perut, kepala dan kaki
ditarik ke belakang sehingga abdomen menyentuh dasar dari ruang yang
ditempatinya, gejala ini dinamakan geliat (writhing). Frekuensi gerakan ini dalam
waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya.
b. Stimulasi panas
Hewan percobaan ditempatkan di atas plat panas (hot plate) dan suhu tetap sebagai
stimulus nyeri akan memberikan respon dalam bentuk mengangkat atau menjilat
telapak kaki depan atau meloncat. Selang waktu antara pemberian stimulasi nyeri
dan terjadinya respon, yang disebut dengan waktu reaksi dapat diperpanjang
dengan pemberian obat-obat analgetika. Perpanjangan waktu reaksi ini selanjutnya
dijadikan sebagai ukuran dalam mengevaluasi aktivitas analgetika. Metode
pengujian nyeri ini lebih sesuai untuk mengevaluasi obat analgetika kuat. Cara ini
untuk obat golongan analgetika narkotik.
c. Stimulasi mekanik
Stimulasi mekanik merupakan stimulasi tertua yang digunakan untuk eksperimen
pada hewan. Ekor hewan uji diletakkan pada tempat tertentu kemudian diberi
tekanan tertentu. Rangsang nyeri didasarkan pada gerakan meronta dan suara
hewan uji setelah diberi obat dengan sebelum diberi obat. Cara ini cocok untuk obat
golongan analgetika non narkotik.
d. Stimulasi listrik
Metode ini telah digunakan untuk menimbulkan rasa nyeri. Prinsip kerja metode ini
adalah ekor hewan diletakkan pada tempat yang dapat dialiri listrik, kemudian
diberi aliran listrik. Rangsang nyeri didasarkan pada gerakan tersentak dan
melompat. Efek analgetika dinyatakan sebagai selisih tegangan yang didapat antara
hewan uji setelah diberi obat dengan sebelum diberi obat. Cara ini cocok diberikan
untuk obat golongan analgetika non narkotik.

3. Alat dan Bahan


Alat : spoit injeksi dan jarumnya, spoit oral (kanula/sonde oral), timbangan hewan,
labu takar, gelas beker, Erlenmeyer, pengaduk, pipet volume
Bahan : asam asetat 0,5%, ibuprofen, parasetamol, kodein HCl, Na CMC
Spesies : mencit jantan dewasa dengan BB 20-30 g. Hewan uji dipuasakan selama
satu malam dan tetap diberi minum dengan air ad libitum

4. Cara Kerja
Metode yang digunakan adalah metode geliat (Writhing test) dan metode pelat
panas (Hot Plate)

15
Metode geliat (Writhing test)
a. Sebanyak 16 ekor hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 4 ekor mencit)
b. Setiap angggota diberikan pada tiap kelompok dengan :
• Kelompok 1 diberi larutan aquabides 30 ml/kg BB
• Kelompok 2 diberi suspensi parasetamol (500 mg/kg, p.o)
• Kelompok 3 diberi suspensi ibuprofen (100 mg/kg, p.o)
• Kelompok 4 diberi larutan kodein HCl 0,2% (30 mg/kg, p.o)
c. Setelah seluruh hewan uji mendapat masing-masing perlakuan, 5 menit
kemudian seluruh hewan uji diberi suntikan i.p dengan larutan asam asetat
0,5% v/v, dosis 25 mg/kg BB
d. Setelah beberapa menit kemudian mencit mulai mengeliat (perutnya kejang
dan kaki ditarik ke belakang)
e. Dicatat jumlah geliat kumulatif yang timbul pada menit ke-15, 30, 60, 90 dan
120
f. Dibuat kurva t (menit) vs frekuensi geliat
g. Dihitung luas daerah dibawah kurva (AUC) dari kurva tersebut
h. Hitung persen daya analgesic :
% daya analgesic = 1 – (AUC perlakuan/AUC control) x 100%

Metode Pelat panas (Hot Plate)


a. Sebanyak 16 ekor hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 4 ekor mencit)
b. Setiap angggota diberikan pada tiap kelompok dengan :
• Kelompok 1 diberi larutan aquabides 30 ml/kg BB
• Kelompok 2 diberi suspensi parasetamol (500 mg/kg, i.p)
• Kelompok 3 diberi suspensi ibuprofen (100 mg/kg, i.p)
• Kelompok 4 diberi larutan kodein HCl 0,2% (30 mg/kg, i.p)
c. Hewan uji diletakkan diatas waterbath dengan suhu 550C. Rasa nyeri panas
pada kaki hewan uji menyebabkan respon mengangkat kaki depan dan dijilat.
Rata–rata hewan uji akan memberikan respon dengan metode ini dalam
waktu 3-6 detik.
d. Sebelum pemberian obat dicatat waktu yang diperlukan hewan uji untuk
mengangkat dan menjilat kakinya sebagai waktu respon. Pengamatan
dilakukan 2 kali dan hasil pengamatan dirata-ratakan
e. Disuntikkan obat secara intraperitoneal dan diletakkan lagi hewan uji diatas
waterbath 550C
f. Dibiarkan selama 15 menit untuk memberikan mula kerja obat
g. Dicatat waktu responnya pada menit ke-15, 30, 45, 60 dan 90 menit setelah
pemberian obat
h. Dibuat kurva hasil pengamatan (waktu pengamatan vs respon time) masing-
masing obat analgesic yang diuji.
i. Dibandingkan data yang diperoleh dari control negative terhadap masing-
masing kelompok uji

16
BAB IV
ANTIPIRETIK

1. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini maka mahasiswa akan mempunyai kemahiran
spesifik meliputi :
a. Membuat rancangan percobaan menggunakan hewan uji dengan pengamatan
efek antipiretik
b. Mengenal obat antipiretika dan cara kerjanya
c. Mempelajari cara pengolahan data hasil percobaan

2. Dasar Teori
Demam adalah suatu bagian penting dari mekanisme pertahanan tubuh melawan
infeksi. Demam adalah kenaikan suhu tubuh di atas normal. Bila diukur pada rektal
>38°C (100,4°F), diukur pada oral >37,8°C, dan bila diukur melalui aksila >37,2°C.
Kebanyakan bakteri dan virus yang menyebabkan infeksi pada manusia hidup subur
pada suhu 370C. Meningkatnya suhu tubuh beberapa derajat dapat membantu tubuh
melawan infeksi. Demam akan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk
membuat lebih banyak sel darah putih, membuat lebih banyak antibodi dan
membuat lebih banyak zat-zat lain untuk melawan infeksi.
Suhu tubuh normal bervariasi tergantung masing-masing orang, usia dan aktivitas.
Rata-rata suhu tubuh normal adalah 370C. Suhu tubuh kita biasanya paling tinggi
pada sore hari. Suhu tubuh dapat meningkat disebabkan oleh aktivitas fisik, emosi
yang kuat, makan, berpakaian tebal, obat-obatan, suhu kamar yang panas, dan
kelembaban yang tinggi. Ini terutama pada anak-anak. Suhu tubuh orang dewasa
kurang bervariasi. Tetapi pada seorang wanita siklus menstruasi dapat
meningkatkan suhu tubuh satu derajat atau lebih.
Yang mengatur suhu tubuh kita adalah hipotalamus yang terletak di otak.
Hipotalamus ini berperan sebagai thermostat. Thermostat adalah alat untuk
menyetel suhu seperti yang terdapat pada AC. Hipotalamus kita mengetahui berapa
suhu tubuh kita yang seharusnya dan akan mengirim pesan ke tubuh kita untuk
menjaga suhu tersebut tetap stabil. Pada saat kuman masuk ke tubuh dan membuat
kita sakit, mereka seringkali menyebabkan beberapa zat kimiawi tertentu beredar
dalam darah kita dan mencapai hipotalamus. Pada saat hipotalamus tahu bahwa ada
kuman, maka secara otomatis akan mengeset thermostat tubuh kita lebih tinggi.
Misalnya suhu tubuh kita harusnya 370C, thermostat akan berkata bahwa karena
ada kuman maka suhu tubuh kita harusnya 38,9 0C. Ternyata dengan suhu tubuh
yang lebih tinggi adalah cara tubuh kita berperang dalam melawan kuman dan
membuat tubuh kita menjadi tempat yang tidak nyaman bagi kuman.
Mekanisme Demam
Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel-sel
Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen IL-
1(interleukin 1), TNF α (Tumor Necrosis Factor α), IL-6 (interleukin 6), dan INF
(interferon) yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk
meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus mempertahankan suhu di titik
patokan yang baru dan bukan di suhu normal. Sebagai contoh, pirogen endogen
meningkatkan titik patokan menjadi 38,9°C, hipotalamus merasa bahwa suhu
normal prademam sebesar 37° C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanisme-
mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh. Rangsangan endogen

17
seperti eksotoksin dan endotoksin menginduksi leukosit untuk mengeluarkan
pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNFα, selain IL-6 dan
IFN. Sebagai respon terhadap sitokin tersebut maka terjadi sintesis prostaglandin,
terutama prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2
(cyclooxygenase 2), dan menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal
aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1 (machrophage
inflammatory protein-1) ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik. Menggigil
ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara
vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran
panas. Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian,
pembentukan demam sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah
sesuatu yang disengaja dan bukan disebabkan oleh kerusakan mekanisme
termoregulasi.
Cara kerja obat demam adalah dengan menurunkan set-point di otak dan membuat
pembuluh darah kulit melebar sehingga pengeluaran panas ditingkatkan. Beberapa
golongan antipiretik murni, dapat menurunkan suhu bila anak demam namun tidak
menyebabkan hipotermia bila tidak ada demam, seperti: asetaminofen, asetosal,
ibuprofen.
Antipiretika adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam.
Antipiretik mempunyai suatu efek pada termostat hipotalamus yang berlawanan
dengan zat pirogen. Penurunan demam oleh antipiretik seringkali melalui
pengurangan pembuangan panas daripada pengurangan produksi panas.
Sintesis PGE2 tergantung pada peran enzim siklooksigenase. Asam arakhidonat
merupakan substrat siklooksigenase yang dikeluarkan oleh membran sel.
Antipiretik berperan sebagai inhibitor yang poten terhadap siklooksigenase. Potensi
bermacam-macam obat secara langsung berkaitan dengan inhibisi siklooksigenase
otak.

3. Alat dan Bahan


Alat : spoit injeksi dan jarumnya, spoit oral (kanula/sonde oral), timbangan hewan,
labu takar, gelas beker, Erlenmeyer, pengaduk, pipet volume, thermometer digital
Bahan : Ibuprofen, parasetamol, asetosal, Na CMC, pepton 15%, Aqua pi/NaCl 0,9%
Spesies : Tikus putih jantan dewasa dengan BB 100-200 g. Hewan uji dipuasakan
selama 12 jam dan tetap diberi minum dengan air ad libitum
Parameter : penurunan suhu rectal
Cara Kerja
Metode yang digunakan adalah metode induksi dengan pepton
a. Sebanyak 16 ekor hewan uji dibagi menjadi 4 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 4 ekor tikus putih)
b. Dilakukan pengukuran suhu rectal (thermometer dimasukkan ±2 cm ke
dalam rectal) untuk mengetahui suhu awal sebelum induksi
c. Semua hewan uji diinduksi demam dengan pepton 15% dosis 125 mg/kg BB
secara subkutan
d. Setiap 30 menit setelah induksi dilakukan pengukuran suhu rectal. Apabila
terjadi peningkatan suhu tubuh lebih dari 0,60C dari suhu awal maka
diberikan perlakuan pada masing-masing kelompok
1. Kelompok 1 diberi suspensi Na CMC 0,5%
2. Kelompok 2 diberi suspensi parasetamol

18
3. Kelompok 3 diberi suspensi ibuprofen
4. Kelompok 4 diberi suspensi asetosal
e. 30 menit setelah perlakuan, suhu rectal diukur kembali sampai percobaan
pada menit ke 180
f. Data berupa suhu awal (T0), suhu setelah induksi pepton dan suhu selang
setiap 30 menit setelah perlakuan dianalisis secara statitik untuk
mengetahui pengaruh obat antipiretik terhadap penurunan suhu rectal
hewan uji yang diinduksi dengan pepton.

19
BAB V
DIURETIKA

1. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini maka mahasiswa akan mempunyai kemahiran
spesifik meliputi :
a. Mengetahui efek berbagai dosis diuretika
b. Mengetahui kerja Metode Farmakologi berbagai kelompok diuretic
c. Dapat mengevaluasi efek diuretic

2. Dasar Teori
Diuretik adalah obat-obat yang dapat meningkatkan produksi dan ekskresi urin
dengan cara meningkatkan ekskresi ion Na +, atau Cl- atau HCO3- atau menurunkan
reabsorpsi elektrolit diatas pada tubulus ginjal. Sehingga dengan demikian dapat
menghilangkan cairan berlebihan yang tertimbun di jaringan misalnya pada udem,
dan dapat memulihkan keseimbangan elektrolit dan beberapa metabolit, jika ginjal
sendiri tidak sanggup memelihara homeostasis.
Diuretik umumnya dikelompokan dalam 3 kelompok besar. Diuretik pengasam yang
mengubah keadaan fisika atau kimia dari darah dan jaringan hingga terjadi
pembebasan cairan interstisial dan cairan selular untuk diekskresikan sebagai urin.
Diuretik osmotic yang menarik air dari jaringan kedalam darah dan kemudian
menghambat reabsorpsi air sebagai urin. Diuretik renal menstimulasi aktivitas ginjal
dengan berbagai cara, misainya: meningkatkan filtrasi melalui glomerulus dan
menghambat reabsorpsi natrium dan air; menstimulasi system enzim atau ion
natrium; ion hydrogen atau pola transfer atau penyerapan kembali atau sebagai
antagonis kompetitif dari aldosteron.
Diuretika mempengaruhi tiga proses fisiologis transport elektrolit yaitu filtrasi
glomerulus, reabsorpsi di tubulus ginjal dan sekresi oleh tubulus ginjal.
3. Alat dan Bahan
Alat : spoit injeksi dan jarumnya, spoit oral (kanula/sonde oral), timbangan hewan,
labu takar, gelas beker, Erlenmeyer, pengaduk, pipet volume, tabung berskala untuk
penampungan urin, kandang khusus untuk pengamatan, kertas indicator universal
Bahan : Furosemid Na 1%, NaCl fisiologik 0,9%, aquades
Spesies : tikus putih jantan, usia kurang lebih 2 bulan. Hewan uji dipuasakan selama
satu malam dan tetap diberi minum dengan air ad libitum
4. Cara Kerja
a. Sebanyak 12 ekor hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 4 ekor mencit)
b. Setiap angggota diberikan pada tiap kelompok dengan :
• Kelompok 1 diberi larutan NaCl fisiologik 0,9%, i.p
• Kelompok 2 diberi larutan furosemid Na 40 mg/kg, i.p
• Kelompok 3 diberi larutan furosemid Na 80 mg/kg, i.p
c. Hewan uji diberikan air hangat secara oral sebanyak 50 ml/kg BB
d. Masing-masing kelompok hewan uji disuntik secara intraperitoneal (ip)
furosemid (dosis manusia 40 mg dan 80 mg) atau NaCl fisiologik. Volum
yang disuntikan dibuat sama (+ 0,5 ml)
e. Tempatkan masing-masing hewan uji dalam kandang khusus yang tersedia
dan tampung urin yang diekskresikannya : catat jumlah urin kumulatif setiap
kurun 30 menit selama 3 jam.

20
f. Tabelkan data yang diperoleh saat mulai muncul efek; frekuensi urinasi;
volume urin kumulatif; warna; kejernihan dan pH.
g. Hitung untuk masing-masing hewan uji persentase volume kumulatif urin
yang dieksresikan sebagai :
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒𝑢𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑒𝑘𝑠𝑘𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛 (𝑗𝑎𝑚)
x 100 %
𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒𝑎𝑖𝑟𝑦𝑎𝑛𝑔𝑑𝑖𝑏𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑛𝑝𝑒𝑟𝑜𝑟𝑎𝑙
gunakan kriteria efek positip jika persentase melebihi 75% dari volume air yang
disediakan.

21
BAB VI
EFEK KOLINERGIK DAN ANTIKOLINERGIK

1. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini maka mahasiswa akan mempunyai kemahiran
spesifik meliputi :
a. Mengetahui efek obat kolinergik pada kelenjar ludah
b. Mengetahui efek obat antikolinergik pada kelenjar ludah
2. Dasar Teori
Pemberian zat antikolinergik pada hewan menyebabkan salvias dan hipersalivasi
yang dapat dihambat oleh zat antikolinergik. Eksperimen dapat digunakan sebagai
landasan untuk mengevaluasi aktivitas obat yang dapat berfungsi sebagai
antagonism. Hewan yang dapat digunakan adalah kelinci dan mencit.
Pilokarpin adalah suatu parasimpatomimetik kuat yang bekerja pada organ-organ
yang diinervasi oleh sistem saraf kolinergik post ganglion. Pilokarpin tidak
memperkuat kerja asetilginin; pilokarpin merangsang sekresi kelenjar ludah,
bronchi, lambung dan usus.
Penambahan aktivitas dari kelenjar menyebabkan lancarnya peredaran darah pada
kelenjar itu sendiri, sebagai akibat aktivitas kelenjar-kelenjar itu sendiri, sebagian
oleh pengaruh pilokarpin yang memiliki efek dilatasi terhadap pembuluh-pembuluh
darah kelenjar. Pilokarpin dipakai untuk merangsang pembentukan (pengeluaran)
saliva pada penderita yang mengeluh mulut kering selama pengobatan dengan
ganglion bloker.
3. Alat dan Bahan
Alat : spoit injeksi dan jarumnya, timbangan hewan, labu takar, gelas beker,
Erlenmeyer, pengaduk, pipet volume, kaca pembesar, kertas saring (dicampur
metilen blue)
Bahan : Fenobarbital Na 5% (80 mg/kg BB, i.p), Pilokarpin Nitrat 0,2% (5 mg/kg BB,
i.m), Atropin Sulfat 0,1% (0,25 mg/kg BB, i.p), aquades
Spesies : mencit jantan dewasa dengan BB 20-30 g. Hewan uji dipuasakan selama
satu malam dan tetap diberi minum dengan air ad libitum
4. Cara Kerja
a. Sebanyak 9 ekor hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 3 ekor mencit)
b. Setiap angggota diberikan pada tiap kelompok dengan :
• Kelompok 1 diberi aquadest (i.p) sebagai kontrol negatif
• Kelompok 2 diberi Pilokarpin Nitrat 0,2% (5 mg/kg BB, i.m)
• Kelompok 3 diberi Atropin Sulfat 0,1% (0,25 mg/kg BB, i.p)
Mencit disedasikan dengan pentobarbital Na (i.p) ± 30 menit sampai tertidur
c. Suntikkan larutan pilokarpin (i.m). Dicatat waktu penyuntikkan
d. Tidurkan mencit pada kertas saring yang telah dicampur dengan serbuk
metilen blue
e. Saliva yang diekskresikan akan keluar dari mulut mencit dan membasahi
kertas saring (catat saat muncul efek saliva) selama 5 menit
f. Ukur luas area saliva mencit
g. Kemudian segera suntikkan atropine sulfat (i.p)
h. Tidurkan mencit di kertas saring yang baru selama 5 menit
i. Ukur luas area saliva setelah pemberian atropine dan bandingkan dengan
area saliva sebelumnya

22
BAB VII
UJI AKTIVITAS ANTIDIARE

1. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini maka mahasiswa akan mempunyai kemahiran
spesifik meliputi :
a. Mengetahui kerja Metode Farmakologi obat antidiare
b. Dapat mengevaluasi efek obat antidiare
2. Dasar Teori
Diare adalah suatu keadaan dimana frekuensi defekasi melebihi frekuensi normal
dengan konsistensi feses yang encer. Diare dapat bersifat akut atau kronis, dan
penyebabnya bermacam-macam. Diare akut dapat disebabkan oleh infeksi bakteri
seperti E.coli, Shigella sp, Salmonella sp, Vibrio cholera, virus, amuba seperti E.
histolytica, Giardia lamblia, dapat pula disebabkan oleh toksin bakteri seperti
Staphylococcus aureus, C. welchii yang mencemari makanan. Sedangkan diare kronis
mungkin berkaitan dengan berbagai gangguan gastrointestinal. Ada pula diare yang
berlatar belakang kelainan psikomatik, alergi oleh makanan atau obat tertentu,
kelainan pada sistem endokrin dan metabolism, kekurangan vitamin dan sebagai
akibat radiasi.
Diare yang berkepanjangan sangat melemahkan penderitanya karena tubuh
kehilangan banyak energi cairan dan elektolit tubuh, sehingga memerlukan terapi
pengganti cairan dan elektrolit serta kalori, obat antibakteri atau antiamuba
tergantung penyebab diare, maupun obat lain yang bekerja memperlambat usus,
menghilangkan spasme dan nteri atau menenangkan.
Pengujian aktivitas antidiare pada percobaan ini terbatas pada aktivitas obat yang
dapat memperlambat peristaltis usus sehingga mengurangi frekuensi defekasi dan
memperbaiki konsistensi feses.
3. Alat dan Bahan
Alat : spoit injeksi dan jarumnya, spoit oral (kanula/sonde oral), timbangan hewan,
labu takar, gelas beker, Erlenmeyer, pengaduk, pipet volume
Bahan : Loperamid HCl 1 mg/kg BB, oleum ricini, CMC Na 1%
Spesies : mencit jantan dewasa dengan BB 20-30 g.
4. Cara Kerja
Metode yang digunakan adalah metode proteksi diare yang disebabkan oleh Oleum
Ricini.
a. Sebanyak 6 ekor hewan uji dibagi menjadi 2 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 3 ekor mencit)
b. Mencit dikelompokkan secara acak menjadi 2 kelompok
• Kelompok 1 : kelompok control yang diberi larutan CMC Na 1%
• Kelompok 2 : kelompok yang diberi loperamid HCl 1 mg/kg BB
c. Satu jam sebelum percobaan dimulai mencit dipuasakan.
d. Sesuai dengan kelompok perlakuannya, tiap mencit diberikan secara oral 1
ml/20 g BB larutan CMC Na 1% atau suspensi loperamid HCl 1 mg/kg BB
e. Kemudian mencit ditempatkan dalam bejana individual beralaskan kertas
saring untuk pengamatan
f. Satu jam setelah perlakuan (d), semua mencit diberi secara oral oleum ricini
0,75 ml/ekor mencit
g. Respon yang terjadi pada tiap 30 menit sampai 4 jam. Kemudian selang 1 jam
sampai 6 jam setelah pemberian oleum ricini.

23
h. Parameter yang diamati meliputi waktu terjadinya diare, frekuensi diare,
konsistensi, dan jumlah/bobot feses serta jangka waktu terjadinya diare.
i. Data hasil pengamatan dianalisis secara statistic dengan metode Anava pada
tingkat kepercayaan 95%

24
BAB VIII
SEDATIF HIPNOTIK

1. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini maka mahasiswa akan mempunyai kemahiran
spesifik meliputi :
a. Mampu membedakan efek obat sedative dan hipnotik pada hewan uj
b. Dapat mengevaluasi efek obat sedative dan hipnotik pada hewan uji

2. Dasar Teori
Sedatif adalah obat yang dapat mengurangi kecemasan dan menimbulkan efek
menenangkan tanpa menimbulkan gangguan pada fungsi mental maupun motorik.
Derajat depresi yang ditimbulkan oleh sedative harus sesuai dengan efektivitas yang
diharapkan.
Hipnotik adalah obat yang dapat menimbulkan dan mempertahankan keadaan tidur
seperti tidur yang alami (diawali dengan rasa kantuk). Depresi yang ditimbulkan
lebih kuat daripada sedative. Pada umumnya obat sedative dapat menimbulkan efek
hipnotik dengan meningkatkan dosis pemberian.
Barbiturat adalah salah satu golongan obat sedative hipnotik. Pada dosis sedang
barbiturate akan mempengaruhi bagian otak yang memiliki sistem koordinasi paling
tinggi yaitu neurokorteks. Apabila dosis ditingkatkan efek obat akan menyebar ke
bagian sistem saraf pusat yang lebih rendah sampai pusat medulla dan sumsum
tulang belakang. Efek depresi barbiturate pada pernapasan adalah yang palin mudah
terlihat pada hewan uji. Barbiturat juga dapat menghambat ganglion otonom
sehingga tekanan darah dan denyut jantung menurun namun tidak sampai rendah
dari keadaan istirahat atau tidur pada umumnya. Cara kerja barbiturate pada tingkat
molecular adalah dengan memfasilitasi kerja GABA (inhibitor SSP) pada banyak
tempat di SSP yaitu dengan meningkatkan durasi pembukaan GABA gated channel
pada reseptor GABA.

3. Alat dan Bahan


Alat : spoit injeksi dan jarumnya, timbangan hewan, labu takar, gelas beker,
Erlenmeyer, pengaduk, pipet volume, platform
Bahan : Fenobarbital Na 5%
Spesies : Mencit jantan dewasa dengan BB 20-30 g. Hewan uji dipuasakan selama
satu malam dan tetap diberi minum dengan air ad libitum
4. Cara Kerja
a. Sebanyak 9 ekor hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok (masing-masing
kelompok terdiri dari 3 ekor mencit)
b. Mencit dikelompokkan secara acak menjadi 3 kelompok
• Kelompok 1 : kelompok control yang diberi aquadest, i.p
• Kelompok 2 : kelompok yang diberi fenobarbital Na 40 mg/kg BB, i.p
• Kelompok 3 : kelompok yang diberi fenobarbital Na 80 mg/kg BB, i.p
c. Disuntikkan masing-masing dosis sesuai kelompok
d. Diamati aktifitas terhadap SSP pada menit ke 10, 20, 30, 60, 90 dan 120 yang
meliputi : hilangnya righting reflex, paralisis kaki, ptosis palpebra, catalepsy,
relaxation, hipoactivity, iritabilitas negatif, passivity, narcosis, ataxia, stereo typies,
tremor, convulsion, dan straub tail.
e. Mengukur waktu induksi tidur dan waktu tidur

25
f. Data hasil pengamatan dianalisa secara statistic dengan metode anava pada
tingkat kepercayaan 95%

Catatan :
• Waktu induksi tidur adalah interval waktu antara pemberian obat hingga
hilangnya righting reflex.
• Waktu tidur adalah interval waktu saat hilangnya righting reflex hingga kembali
normal
• Righting reflek adalah reaksi tubuh pada hewan untuk kembali ke posisi semula
sehingga kuku dan kakinya menempel ke tanah setelah sebelumnya diposisikan
pada posisi terlentang.
• Paralisis kaki adalah hilangnya fungsi motorik yang disebabkan oleh lesi
mekanisme saraf atau otot.
• Ptosis palpebra adalah turunnya kelopak mata atas.
• Catalepsy adalah keadaan dipertahankannya postur tubuh tetap untuk waktu
yang lamanya tidak ditentukan.
• Relaxation adalah hilangnya atau berkurangnya ketegangan otot.
• Hipoactivity adalah berkurangnya aktivitas secara abnormal.
• Iritabilitas negatif adalah hilangnya respon terhadap rangsang mekanis.
• Passivity adalah kondisi menjadi tidak aktif, tidak bergerak.
• Narcosis adalah penurunan fungsi sistem saraf pusat yang ditandai dengan
insensibilitas.
• Ataxia adalah tidak teraturnya gerakan otot.
• Stereo typies adalah pengulangan tindakan yang tidak ada gunanya secara
menetap.
• Tremor adalah gerakan atau gigilan involunter.
• Convulsion adalah kontraksi involunter hebat atau serentetan kontraksi otot-otot
volunter.
• Straub tail adalah kondisi dimana ekor hewan lurus vertikal atau mendekati
vertical

26
BAB IX
PERCOBAAN ANTELMENTIKUM
I. Tujuan
✓ Dapat merancang dan melakukan eksperimen sederhana untuk menguji
aktivitas antelmintik (anti cacing) suatu bahan uji secara in vitro.
✓ Dapat menjelaskan perbedaan paralisis spastic dan flasid yang terjadi
pada cacing setelah kontak dengan antelmintik (anti cacing)

II. Pendahuluan
Antelmintik atau obat cacing adalah obat-obat yang dapat
memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Yang tercakup dalam
istilah ini adalah semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran
cerna maupun obat-obat sistemis yang membasmi cacing maupun larvanya
yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh.
Banyak antelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan
cacing, jadi tidak mematikannya. Guna mencegah jangan sampai parasit
menjadi aktif lagi atau sisa–sisa cacing mati dapat menimbulkan reaksi alergi,
maka harus dikeluarkan secepat mungkin (Tjay dan Rahardja, 2002:185)

Contoh zat aktif antelmintik yang lazim digunakan, diantaranya:

1. Piperazin

Efektif terhadap A.lumbricoides dan E.vermicularis. Mekanisme


kerjanya menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap asetilkolin _
paralisis dan cacing mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Absorpsi melalui
saluran cerna, ekskresi melalui urine. (Anonim.2010)
Piperazin pertama kali digunakan sebagai antelmintik oleh Fayard
(1949). Pengalaman klinik menunjukkan bahwa piperazin efektif sekali
terhadap A. lumbricoides dan E. vermicularis sebelumnya pernah dipakai untuk
penyakit pirai. Piperazin juga terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung
44% basa. Juga didapat sebagai garam sitrat, kalsium edetat dan tartrat.
Garam-garam ini bersifat stabil non higroskopis, berupa kristal putih yang
sangat larut dalam air, larutannnya bersifat sedikit asam. (Anonim.A)

a. Efek antelmintik
Piperazin menyebabkan blokade respon otot cacing terhadap
asetilkolin sehinggga terjadi paralisis dan cacing mudah dikeluarkan
oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah
pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing
itu. Cacing yang telah terkena obat dapat menjadi normal kembali bila
ditaruh dalam larutan garam faal pada suhu 37°C. (Anonim.A)
Diduga cara kerja piperazin pada otot cacing dengan
mengganggu permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang
berperan dalam mempertahankan potensial istirahat, sehingga
menyebabkan hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai
paralisis. (Anonim.A)

27
Pada suatu studi yang dilakukan terhadap sukarelawan yang
diberi piperazin ternyata dalam urin dan lambungnya ditemukan suatu
derivat nitrosamine yakni N-monistrosopiperazine dan arti klinis dari
penemuan ini belum diketahui. (Anonim.A)

b. Farmakokinetik
Penyerapan piperazin melalui saluran cerna, baik. Sebagian obat
yang diserap mengalami metabolisme, sisanya diekskresi melalui urin.
Menurut, Rogers (1958) tidak ada perbedaan yang berarti antara garam
sitrat, fosfat dan adipat dalam kecepatan ekskresinya melalui urin.
Tetapi ditemukan variasi yang besar pada kecepatan ekskresi antar
individu. Yang diekskresi lewat urin sebanyak 20% dan dalam bentuk
utuh. Obat yang diekskresi lewat urin ini berlangsung selama 24 jam.
(Anonim.A)

c. Efek nonterapi dan kontraindikasi


Piperazin memiliki batas keamanan yang lebar. Pada dosis terapi
umumnya tidak menyebabkan efek samping, kecuali kadang-kadang
nausea, vomitus, diare, dan alergi. Pemberian i.v menyebabkan
penurunan tekanan darah selintas. Dosis letal menyebabkan konvulsi
dan depresi pernapasan. Pada takar lajak atau pada akumulasi obat
karena gangguan faal ginjal dapat terjadi inkoordinasi otot, atau
kelemahan otot, vertigo, kesulitan bicara, bingung yang akan hilang
setelah pengobatan dihentikan. Piperazin dapat memperkuat efek
kejang pada penderita epilepsi. Karena itu piperazin tidak boleh
diberikan pada penderita epilepsi dan gangguan hati dan ginjal.
Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia berat, perlu
mendapatkan pengawasan ekstra. Karena piperazin menghasilkan
nitrosamin, penggunaannya untuk wanita hamil hanya kalau benar-
benar perlu atau kalau tak tersedia obat alternatif. (Anonim.A)

d. Sediaan dan posologi


Piperazin sitrat tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan sirop
500 mg/ml, sedangkan piperazin tartrat dalam tablet 250 mg dan 500
mg. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 g sekali sehari. Dosis pada
anak 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 g) sekali sehari. Obat diberikan 2
hari berturut-turut. Untuk cacing kremi (enterobiasis) dosis dewasa
dan anak adalah 65 mg/kgBB (maksimum 2,5 g) sekali sehari selama 7
hari. Terapi hendaknya diulangi sesudah 1-2 minggu. (Anonim.A)

2. Pirantel Pamoat

28
Untuk cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Mekanisme
kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan
frekuensi imfuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus
tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine.
(Anonim.2010)
Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing
tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya
berdasarkan perintangan penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing
dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik
usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah
keluar dari tubuh, cacing akan segera mati. Di samping itu pirantel pamoat
juga berkhasiat laksans lemah. . (Tjay dan Rhardja, 2002:193)
Resorpsinya dari usus ringan kira – kira 50% diekskresikan dalam
keadaan utuh bersamaan dengan tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan
melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan yaitu berupa mual, muntah,
gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala. (Tjay dan Rhardja,
2002:193). Dosis terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus 2-3 tablet
dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg). (Tjay dan Rhardja,
2002:193). Dosis tunggal pirantel pamoat 10mg/kg Bb (ISO, 2009 : 81).

Cacing yang digunakan, yaitu:


Cacing Tanah

Kerajaan : Animalia
Filum : Annelida
Kelas : Clitellata
Ordo : Haplotaxida
Famili : Lumbricoides
Jenis : Lumbricoides terrestris

Annelida (dalam bahasa latin, annulus = cincin) atau cacing gelang


adalah kelompok cacing dengan tubuh bersegmen. Berbeda dengan
Platyhelminthes dan Nemathelminthes, Annelida merupakan hewan
tripoblastik yang sudah memiliki rongga tubuh sejati (hewan selomata).
Namun Annelida merupakan hewan yang struktur tubuhnya paling sederhana.
(Anonim.B)

29
Annelida memiliki panjang tubuh sekitar 1 mm hingga 3 m.Contoh
annelida yang panjangnya 3 m adalah cacing tanah Australia. Bentuk tubuhnya
simetris bilateral dan bersegmen menyerupai cincin. (Anonim.B)

Annelida memiliki segmen di bagian luar dan dalam tubuhnya. Antara


satu segmen dengan segmen lainya terdapat sekat yang disebut septa.
Pembuluh darah, sistem ekskresi, dan sistem saraf di antara satu segmen
dengan segmen lainnya saling berhubungan menembus septa. Rongga tubuh
Annelida berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan
sekaligus melibatkan kontraksi otot. (Anonim.B)

Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang


(longitudinal). Sistem pencernaan annelida sudah lengkap, terdiri dari mulut,
faring, esofagus (kerongkongan), usus, dan anus. Cacing ini sudah memiliki
pembuluh darah sehingga memiliki sistem peredaran darah tertutup.
Darahnya mengandung hemoglobin, sehingga berwarna merah. Pembuluh
darah yang melingkari esofagus berfungsi memompa darah ke seluruh tubuh.
(Anonim.B)

Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali. Ganglia otak
terletak di depan faring pada anterior. Ekskresi dilakukan oleh organ ekskresi
yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor. Nefridia (tunggal–
nefridium) merupakan organ ekskresi yang terdiri dari saluran. Nefrostom
merupakan corong bersilia dalam tubuh. Nefrotor merupaka npori permukaan
tubuh tempat kotoran keluar. Terdapat sepasang organ ekskresi tiap segmen
tubuhnya. (Anonim.B)

Sebagian besar annelida hidup dengan bebas dan ada sebagian yang
parasit dengan menempel pada vertebrata, termasuk manusia. Habitat
annelida umumnya berada di dasar laut dan perairan tawar, dan juga ada yang
segaian hidup di tanah atau tempat-tempat lembap. Annelida hidup di
berbagai tempat dengan membuat liang sendiri. (Anonim.B)

Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembantukan


gamet. Namun ada juga yang bereproduksi secara fregmentasi, yang kemudian
beregenerasi. Organ seksual annelida ada yang menjadi satu dengan individu
(hermafrodit) dan ada yang terpisah pada individu lain (gonokoris).
(Anonim.B)

Annelida dibagi menjadi tiga kelas, yaitu Polychaeta (cacing berambut


banyak), Oligochaeta (cacing berambut sedikit), dan Hirudinea. (Anonim.B)

30
III. Alat dan bahan
Alat Bahan
• Cawan petri(diameter 20 • Lumbricus terrestris
cm) • pirantel pamoat
• Batang pengaduk kaca • piperazin sitrat
• Gelas piala 1 L • NaCl 0.9% b/v
• Pinset • Air suling
• Sarung tangan • Air suhu 500C
• Thermometer
• Incubator
• Pinset

IV. Prosedur
Paragraf pasif
Di aktifkan cacing terlebih dahulu pada suhu 370C. Di siapkan larutan
uji (pirantel pamoat dan piperazin sitrat) serta control (NaCl) dengan
konsentrasi masing-masing 5%, 20% dan 0,9%. Di tuangkan larutan uji
masing-masing ke dalam tiap cawan petri dengan pola sebagai berikut:

- Cawan petri I : Pirantel pamoat


- Cawan petri II : piperazin sitrat
- Cawan petri III : NaCl fisiologis (kontrol)
Di tempatkan cawan petri yang telah berisi larutan uji ke dalam
incubator pada suhu 370C. Di letakkan satu pasang Ascaris suum yang
masih aktif ke dalam masing-masing cawan, lalu di catat waktunya

Diagram alir

Di aktifkan terlebih dahulu cacing pada suhu 370C

Di siapkan larutan uji (pirantel dan piperazin sitrat) serta


control (NaCl) dengan konsentrasi masing-masing 5%,
20% dan 0,9%

Di tuangkan larutan uji masing-masing ke dalam cawan


petri dengan pola:

Cawan petri I : Pirantel pamoat


Cawan petri II : piperazin sitrat
Cawan petri III : NaCl fisiologis
31
Di tempatkan cawan petri yang telah berisi larutan uji ke
dalam incubator pada suhu 370C

Di letakkan satu pasang Ascaris suum yang masih aktif


ke dalam masing-masing cawan

Di catat waktunya

Data pengamatan

Nama EFEK
Sediaan DOSIS 1 (1,5 ml) DOSIS 2 (2,5 ml)
Uji 15 30 45 60 75 90 105 120 15 30 45 60 75 90 105 120
Pirantel N Ps Ps M M M M M N N Ps M M M M M
Pamoat
Piperazin N Pf M M M M M M Pf M M M M M M M
Sitrat
NaCl N N N N N N N N - - - - - - - -
Fisiologis

Keterangan :

N = Normal Ps= Paralisis Spastik Pf= Paralisis Flasid M= Mati

32
BAB X
UJI TOKSISITAS SENYAWA OBAT

Uji toksisitas akut merupakan bagian dari uji praklinik yang dirancang untuk
mengukur efek toksik suatu senyawa. Toksisitas akut mengacu pada efek toksik
yang terjadi setelah pemberian oral dosis tunggal dalam selang waktu 24 jam. Dosis
Letal tengah atau LD50 adalah tolak ukur statistik setelah pemberian dosis tunggal
yang sering dipergunakan untuk menyatakan tingkatan dosis toksik sebagai data
kuantitatif. Sedangkan gejala klinis, gejala fisiologis dan mekanisme toksik sebagai
data kualitatifnya (Jenova, 2009).
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat
pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari
sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi
mengenai bahaya yang timbul apabila sediaan uji tersebut terpapar pada
manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaan yang tepat. Uji
toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat
adanya reaksi biokimia, fisiologi dan patologi pada manusia terhadap suatu
sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan atau sediaan pada manusia, namun
dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relatif dan membantu
identifikasi efek toksik bila terjadi pemaparan pada manusia. Faktor-faktor
yang menentukan hasil uji toksisitas secara in vivo dapat dipercaya adalah:
pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan; cara pemberian
sediaan uji; pemilihan dosis uji; efek samping sediaan uji; teknik dan
prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan selama percobaan.
Pengujian toksisitas umum terbagi menjadi tiga yaitu uji toksisitas kronis,
subkronis dan akut. Uji toksisitas kronis oral adalah suatu pengujian untuk
mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji secara
berulang sampai seluruh umur hewan. Uji toksisitas subkronis oral adalah
suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah
pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral
pada hewan uji selama sebagian umur hewan, tetapi tidak lebih dari 10%
seluruh umur hewan (BPOM, 2014).

Metode Thompson-Weil menggunakan daftar perhitungan LD50 merupakan metode


yang sering digunakan dalam penentuan tingkat ketoksikan suatu senyawa. Dipilih
metode ini dikarenakan mempunyai tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, hasil
yang akurat, dan tidak memerlukan hewan coba yang cukup banyak.

LD50 adalah dosis yang dapat membunuh 50% dari sekelompok hewan
percobaan. LD50 ditentukan dengan memberikan obat dalam dosis yang
bervariasi (bertingkat) kepada sekelompok hewan percobaan. Setiap
hewan diberikan dosis tunggal. Setelah jangka waktu 24 jam, sebagian
hewan percobaan ada yang mati, dan presentase hewan yang mati

33
dimasukkan kedalam grafik yang menyatakan hubungan dosis dan
presentase hewan yang mati (Anonim, 2008).

Pengujian LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa


yang akan terjadi dalam waktu yang singkat dengan takaran tertentu.
Pada pengujian toksisitas akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan
yang dapat menyebabkan kematian hewan percobaan. Gejala ketoksikan
yang timbul berbeda dalam tingkat kesakitan pada hewan (Supriyono,
2007).

Kisaran nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu


zat. Semakin besar kisaran LD50 semakin besar pula kisaran
toksisitasnya. Suatu toksikan akan mengalami proses librasi yaitu
penghancuran sediaan di saluran pencernaan. Toksikan kemudian akan
diabsorbsi oleh darah dan limfe serta didistribusikan ke seluruh tubuh.
Toksikan akan mengalami proses toksikodinamik didalam sel.
Toksikodinamik adalah proses reaksi antara toksikan dan reseptor.
Biotransformasi terjadi setelah terjadinya reaksi toksikan dengan
reseptor. Biotransformasi akan menghasilkan zat baru. Zat baru yang
dihasilkan dapat bersifat lebih toksik atau kurang toksik dari
sebelumnya. Zat baru yang kurang toksik dari sebelumnya
mengakibatkan terjadinya detoksikasi sedangkan zat baru yang lebih
toksik dapat menimbulkan gangguan fungsi sel (Mutschler, 1991).

Secara umum, semakin kecil nilai LD50, semakin toksik senyawa tersebut.
Begitu pula sebaliknya, semakin besar nilai LD 50, semakin rendah
toksisitasnya. Hasil yang diperoleh (dalam mg/kgBB) dapat digolongkan
menurut potensi ketoksikan akut senyawa uji menjadi beberapa kelas,
seperti yang terlihat pada tabel berikut :

Tabel II.4 Kriteria penggolongan sediaan uji (BPOM, 2014).


Tingkat Toksisitas LD50 oral Klasifikasi
(pada tikus)
1 ≤ 1 mg/kg Sangat toksik
2 1-50 mg Toksik
3 50-500 mg Toksik sedang
4 500-5000 mg Toksik ringan
5 5-15 g Praktis tidak toksik
6 ≥ 15 g Relatif tidak
membahayakan
Kriteria penggolongan tersebut digunakan untuk penentuan kategori toksisitas akut
obat tradisional.

34
Hubungan kurva dosis-efek untuk efek terapi obat yang menghasilkan
efek tertentu pada 50% populasi disebut dosis efektif median effective
dose 50 (ED50) dan kurva dosis yang mematikan 50% populasi disebut
dosis letal median lethal dose (LD50). Perbandingan LD50 terhadap ED50
merupakan nilai indeks terapi (therapeutic index = TI) yang
menunujukkan seberapa selektif obat dalam menghasilkan efek yang
diinginkan dibandingkan dengan efek yang merugikan. Semakin tinggi
nilai indeks terapi, maka semakin aman obat tersebut digunakan
sebagaimana disajikan dalam gambar 4.2 (Goodman and Gilmans, 2012).

Gambar II.5 Hubungan LD50 dengan indeks terapi

(Goodman and Gilmans, 2012).

II.4.1 Metode Penentuan LD50


1. Cara aritmatik Reed dan Muench
Cara ini menggunakan harga kumulatif sebagai dasarnya. Harga
kumulatif diperoleh dari asumsi bahwa hewan uji yang mati
pada suatu dosis, tentu akan mati oleh dosis yang lebih besar,
dan hewan uji yang tidak mati atau tetap hidup pada suatu
dosis, tentu juga tidak akan mati oleh karena dosis yang lebih
kecil. Angka kumulatif diperoleh dari menjumlahkan kematian
hewan uji pada dosis terbesar yang menyebabkan kematian
100% hewan uji dengan jumlah hewan uji yang mati pada dosis
dosis yang lebih kecil. Angka kumulatif survivor (hidup)
diperoleh dari menjumlahkan hewan uji yang tetap hidup pada
dosis terkecil yang tidak menyebabkan kematian (100%
hewan uji tetap hidup) dengan jumlah hewan uji yang tetap
hidup pada dosis-dosis diatasnya. Persentase survival pada
dosis di bawah LD50 dengan LD50, kemudian dibagi dengan
selisih persentase survival pada dosis di atas dan di bawah
LD50. Proporsi jarak ini jika kemudian dikalikan dengan dengan

35
logaritma rasio di atas terhadap dosis di bawah LD50, didapat
harga antilog LD50 (Fanani, 2009).

2. Thomson dan Weil


Dalam mencari harga LD50 diperlukan ketepatan atau jika
dilihat dari taraf kepercayaan tertentu, harga tersebut hanya
sedikit sekali bergeser dari harga sebenarnya, atau berada pada
rentang atau interval yang sempit. Untuk mencapai tujuan,
digunakan tabel yang dibuat oleh Thomson dan Weil. Pada
penggunaan tabel, percobaan harus memenuhi beberapa syarat
(Fanani, 2009).

3. Cara Farmakope Indonesia III


Untuk menghitung LD50 berdasarkan FI III, uji harus memenuhi
syarat-syarat seperti (Fanani, 2009) :

1) Menggunakan seri dosis atau konsentrasi yang berkelipatan


tetap
2) Jumlah hewan percobaan tiap kelompok harus sama

3) Dosis harus diatur sedemikian rupa supaya memberikan


respon dari 0 - 100% dan hitungan dibatasi direntang
tersebut.
Rumus perhitungan LD50 adalah :

m = a – b (Σ pi – 0,5)

m = log LD50
a = logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan
jumlah kematian 100% tiap kelompok.
b = beda log dosis yang berurutan
pi = jumlah hewan yang mati

4. Cara aritmatik dari Karber


Pada cara ini interval rata-rata jumlah kematian pada tiap kelompok
digunakan dalam perhitungan sebagaimana pada perbedaan dosis dari
interval yang sama. LD50 diperoleh dari selisih dosis terkecil yang
menyebabkan seluruh kematian hewan uji dengan angka yang diperoleh dari
pembagian hasil dengan jumlah hewan uji tiap kelompok (Fanani, 2009).

36
PENAGAMATAN GEJALA KETOKSIKAN

A. General Observations
Efek zat uji pada hewan dinilai dengan menggunakan skala 0 - 8.
Pengamatan dilakukan pada saat terjadi efek puncak. Nilai dasar untuk
tanda atau efek normal adalah 4, nilai untuk tanggapan subnormal
adalah < 4, dan nilai untuk supernormal adalah > 4. Nilai dasar untuk
tanda abnormal adalah 0, dan nilai maksimal adalah 8. Pada kategori di
bawah nilai dasar diberikan dalam tanda kurung. Kategorinya dibagi
menjadi tiga bagian yaitu perilaku, neurologis, dan otonom.
B. Behavioral Profile
1. Awareness, yaitu sikap waspada yang ditunjukkan. Pada tikus seperti
gerakan mencari kepala, berputar-putar, menggigit diri sendiri,
berjalan ke belakang, dan menjilati bibir. Ini menunjukkan stimulasi
sentral atau depresi sentral.
2. Motor Activity, yaitu aktivitas spontan. Tikus akan bergerak kesana
kemari, naiknya spontan dengan terlihat berjalan cepat atau
terkadang berlari dengan kecepatan tinggi.

C. Neurological Profile

Melihat respon Straub, tremor dan kejang dari tikus.


1. Central Excitation
a. Straub respons (respon ketegangan), suatu keadaan ekor yang
tegang. Kekakuan ini disebabkan adanya stimulasi SSP, khususnya
sumsum tulang belakang. Sehingga dapat menyebabkan ekor
terlihat kaku dan tegak lurus dengan lantai.

37
b. Tremor (gemetar), tikus terlihat gemetar adanya stimulasi pada
SSP.
c. Convulsion (kejang), tikus terlihat kejang – kejang adanya stimulasi
pada SSP.

2. Motor Incoordination
Posisi tubuh dan posisi anggota badan.
a. Atoksia (sempoyongan), cara berjalan abnormal dapat
mengindikasikan relaksasi otot.
b. Tes jungkir balik (reaksi refleks), kesanggupan tikus untuk
membalikkan dirinya apabila diletakkan dengan punggung sebagai
dasar berpijak. Ketidakmampuan membalikkan dirinya
menunjukkan depresi pada susunan syaraf pusat karena pengaruh
trangulilizer, dapat juga karena miorelaksan atau blockade sinaptik.
3. Muscle Tone (bentuk otot)
Melihat kekuatan pegangan dan ketegangan otot. Kekuatan pegangan
juga diukur dengan membiarkan hewan itu menangkap pensil pada
posisi horizontal.
4. Reflexes
Uji refleks pinna dilakukan dengan cara menyentuh bagian tengah
pinna dengan rambut atau instrumen halus lainnya. Tikus yang tidak
terpengaruh akan menarik diri dari benda tersebut. Jika nilai
pengamatan menunjukkan penurunan refleks, zat uji mungkin aktif
dalam menghalangi beberapa bagian saraf sensoris, sinapsis tulang
belakang, atau jalur eferen.

D. Autonomic Profile
1. Optical Signs (perubahan alat optik)
a. Pupil size (besarnya pupil), melebarnya pupil atau midriasis adanya
tanda efek adrenergik simpatomimetik atau parasimpatolitik,
sebaliknya penyempitan atau miosis adanya tanda
parasimpatomimetik atau kolinergik.
b. Palpebra position (posisi palpebral), kelopak mata biasanya terbuka,
bila terbuka sempit atau ptosis ini merupakan tanda adanya efek
trangulizer atau sedasi dan sebaliknya jika pupil melebar merupakan
tanda adanya efek rangsangan simpatik.
c. Eksotalamus merupakan adanya tanda efek stimulasi simpatik.
2. Secretory Signs
a. Urinari, pengeluaran air seni berlebihan merupakan adanya sifat
muskarinik atau adanya sifat iritasi pada saluran air seni.
b. Salivasi, merupakan pengeluaran air liur yang banyak adanya tanda –
tanda muskarinik.
3. General Signs

38
a. Writhing (menggeliat), suatu tanda adanya iritasi pada peritoneum
atau tenunan pada reseptor sensorik. Hewan merapatkan perutnya
pada dasar tempat berpijak karena kesakitan.
b. Piloerection (piloereksi), merupakan keadaan berdirinya bulu sebagai
kompensasi adanya hawa dingin, menunjukkan efek adrenergik atau
adrenalin.
c. Skin colour (warna kulit), merupakan keadaan kulit pucat yang
menunjukkan efek adrenergik atau adanya vasokontriksi sedangkan
kemerahan adanya vasodilatasi.

39
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1991, Assistant Laboratory Animal Technician AALAS Training Manual


Series, Volume 1, USA
BPOM. (2014). Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

Goodman & Gilmans. (2012). Dasar Farmakologi Terapi Ed ke-10. EGC.


Jakarta.
Nodine, JH & Siegler PE, 1964, Animal and Clinical : Pharmacologic Techniques in
Drug Evaluation, Year Book Medical Publisher Inc, Philadelphia

Penman, L, D.V.M., and Snitgen, C, L.A.T.G., 1997, Training and Information Manul
Animal Care And Use, Oakland University, USA

Turner RA., 1965, Anticolvusant in : Screening Methods in Pharmacology, RA Turner


editor, New York and London, Academic Press.
Vogel, 2002, Drug Discovery and Evaluation, Pharmacological Assays, Springer-Verlag
Berlin Heidelberg, New York

40

Anda mungkin juga menyukai