FARMAKOLOGI DASAR
Penyusun:
apt. Rifda Naufa Lina, M. Farm.
VISI
“Menjadi Perguruan Tinggi Kesehatan yang unggul di Tingkat
Internasional pada Tahun 2047”
MISI
1. Melaksanakan kegiatan pendidikan berdasarkan standar
keilmuan terkini
2. Meningkatkan dan mengembangkan penelitian serta
menggunakan hasil-hasil penelitian dalam pembelajaran
3. Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat berdasarkan hasil
penelitian , perkembangan IPTEK, dan kearifan lokal
4. Mengembangkan jejaring kerjasama yang luas di tingkat
nasional maupun internasional untuk pelaksanaan tri
dharma.
5. Menerapkan manajemen akademik, sumberdaya
manusia, keuangan, dan penjaminan mutu berbasis
perencanaan dan teknologi informasi.
VISI DAN MISI PRODI S-1 FARMASI
Penyusun
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar........................................................... 1
Daftar Isi.....................................................................2
BAB I..........................................................................3
Standart Penanganan Hewan Uji
BAB II....................................................................... 8
Rute Pemberian Obat terhadap Hewan Uji
BAB III......................................................................13
Perhitungan Dosis Konversi
BAB IV ....................................................................16
Pengaruh Pemberian Obat Terhadap Absorbsi
BAB V.......................................................................19
Metabolisme Obat
BAB VI......................................................................25
Efek Obat Sedatif-Hipnotik
BAB VII.....................................................................28
Efek Obat Diuretik
BAB VIII....................................................................32
Efek Obat Analgesik
BAB IX......................................................................35
Efek Obat Antiinflamasi
DAFTAR PUSTAKA...............................................38
2
BAB I
STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP)
PENANGANAN HEWAN UJI
A. Tujuan
Mahasiswa mampu melakukan penanganan
terhadap hewan uji sesuai dengan standard
operating procedure (SOP)
B. Pendahuluan
Penanganan hewan uji adalah tata cara untuk
memperlakukan hewan uji, baik selama masa
pemeliharaan maupun selama masa uji berlangsung.
Dalam hal ini melibatkan berbagai macam teknik, yakni
pengambilan hewandari kandang, pemegangan,
penandaan, pemberian senyawa, pengorbanan dan
pengambilan cuplikan hayati.
CARA BEKERJA DENGAN HEWAN UJI
1. Pengguna Laboratorium, baik praktikan maupun
peneliti yang bekerja di laboratorium
menggunakan hewan uji sebaiknya memahami
cara memelihara dan menggunakan binatang
percobaan.
2. Hewan uji diperlakukan dengan kasih sayang dan
jangan disakiti.
3. Cara memperlakukan hewan uji:
a. Kelinci dan marmot
Jangan sekali-kali memegang telinga kelinci
karena syaraf dan pembuluh darah dapat
terganggu.
b. Tikus dan mencit
- Peganglah pada ekor dan juga bagian leher
belakang dekat kepala dengan ibu jari dan
telunjuk , tetapi hati-hati jangan sampai
3
binatang tersebut membalikkan tubuh dan
menggigit anda.
- Gunakan kaos tangan dari kulit atau karet
yang cukup tebal untuk melindungi tangan
dari gigitan binatang.akan tetapi bagi yang
sudah terbiasa lebih baik tanpa kaos
tangan, karena kontak langsung dengan
hewan uji akan memudahkan mengontrol
gerakan hewan tersebut. Teknik
memegang tersaji pada gambar 1.
4
pemberian induktor dan inhibitor enzim. Hewan
yang telah digunakan untuk percobaan, baru boleh
digunakan lagi untuk percobaan berikutnya
setelah selang wakt minimal 14 hari.
5
mendapat kekebalan terhadap tetanus, maka harus
diberikan imunisasi profilaksis.
6
D. Data Hasil Percobaan
Percobaan yang sudah dilakukan oleh mahasiswa,
hasil di dokumentasikan dan diisikan pada data
hasil percobaan.
Data Hasil Percobaan
No Jenis Hewan Uji Dokumentasi Percobaan
7
BAB II
RUTE PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN
UJI
A. Tujuan
Mahasiswa mampu mengetahui, menjelaskan
dan mempraktekkan bagaimana pemberian
obat terhadap hewan uji sesuai dengan rute
pemberian obat yang benar
B. Pendahuluan
1. Alat suntik
a. Spuit dan jarum suntik harus steril jika
akan digunakan pada kelinci, marmot, dan
anjing. Spuit dan jarum tidak perlu steril
melainkan sangat bersih untuk tikus dan
mencit.
b. Volume cairan atau larutan yang dapat
diberikan pada hewan uji tidak
diperbolehkan melebihi volume
maksimum (Tabel I) yang diperbolehkan.
Pemberian larutan diatas volume tersebut
dapat bersifat toksik dan menyakiti hewan
uji. Disarankan pemberian cairan larutan
sebesar separuh (0,5x) volume maksimal.
c. Setelah penyuntikan, cucilah spuit dan
jarum suntik tersebut, semprotkan cairan
ke dalam gelas beker, dan jarum suntik
dipegang erat-erat. Ulangi cara ini tiga
kali.
8
Tabel I. Volume maksimum larutan yang bisa diberikan
pada hewan uji
Hewan Volume maksimum (mL)
Cara pemberian
i.v i.m i.p s.c p.o
1. Mencit 0,5 0,05 1,0 0,5- 1,0
(20-30 g) 1,0 1,0 2,0- 1,0 5,0
2. Tikus 0,1 5,0 2,0- 2,5
(100g) 0,25 1,0- 5,0 10,0
3. Hamster 2,0 0,5 5,0 2,5 10,0
(50 g) 5,0-10,0 0,5 2,0- 5,0 20,0
4. Marmot 5,0-10,0 1,0 5,0 2,0 50,0
(250 g) 10,0-20,0 5,0 2,0 5,0- 100,0
5. Merpati 10,0- 10,0
(300 g) 20,0 5,0-
6. Kelinci 10,0- 10,0
(2,5 kg) 20,0 5,0-
7. Kucing (3 20,0- 10,0
kg) 50,0
8. Anjing (5
kg)
2. Heparinisasi
a. Heparin dosis 10 unit/mL digunakan untuk
mencegah penggumpalan darah.
b. Penggumpalan darah di dalam spuit injeksi
dicegah dengan cara sebelum dipakai spuit
dan jarum suntik dicuci dahulu dengan
larutan jenuh natrium oksalat steril.
3. Pemberian Obat
a. Pemberian per-oral
Tikus, mencit
Pemberian cairan obat haruslah dalam
bentuk larutan, emulsi, atau suspensi.
9
Pemberian larutan pada tikus dan mencit
per oral dilakukan dengan bantuan jarum
suntik yang ujungnya tumpul atau bulat
(sonde) (gambar 3a atau disebut juga
dengan “jarum per-oral”. Teknik
pemberian per oral (gambar 3b) relatif
rumit. Sangat perlu diperhatikan pada saat
memasukkan jarum per-oral kedalam
lambung agar cairan obat tidak masuk ke
saluran pernafasan yang dapat
mengakibatkan kematian pada hewan uji.
A B
10
diputar pelan-pelan sehingga ‘bevel’ menghadap
ke bawah. Jarum yang digunakan panjangnya 0,5
inci dengan ukuran 26 gauge. Setelah penyuntikan
bekas suntikan ditekan dengan kapas bersih
dengan pertolongan penjepit.
c. Pemberian secara intraperitoneal
Tikus, mencit
Tikus atau mencit dipegang pada ekornya dengan
tangan kanan dan dibiarkan mencengkram
anyaman kawat dengan kaki depannya. Tangan
kiri digunakan untuk menjepit tengkuk
tikus/mencit diantara jari telunjuk dan jari tengah.
Ekor tikus dipindahkan dari tangan kanan ke jari
kelingking tangan kiri. Tikus atau mencit siap
diinjeksi pada pada area abdominal. Ukuran jarum
yang digunakan adalah jarum 5/8 inchi 24 gauge.
Pemberian obat secara dengan berbagai rute tersaji pada
gambar 4.
A B
11
C D
C. Cara kerja
1. Mahasiswa bekerja sesuai kelompok
2. Mahasiswa mempraktekkan pemberiaan obat
kepada mencit sesuai dengan Rutenya
a. Peroral
b. intramuscular
c. Subkutan
d. Intraperitoneal
e. Intramuscular
D. Data Hasil Percobaan
Percobaan yang sudah dilakukan oleh mahasiswa, hasil di
dokumentasikan dan diisikan pada data hasil percobaan.
Data Hasil Percobaan
No Jenis Hewan Uji Dokumentasi Percobaan
Apa Saja yg Dokumentasi
dilakukan
12
BAB III
PERHITUNGAN DOSIS KONVERSI
A. Tujuan
Mahasiswa mampu menghitung dosis konversi
untuk pemberian obat baik manusia ke hewan uji
atau sebaliknya dengan benar
B. Pendahuluan
Perhitungan dosis konversi sangat diperlukan
dalam pemberian dosis obat yang tepat untuk
pasien. Ada 6 hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian dosis obat :
1. Klien (pasien) yang benar
2. Obat yang benar
3. Dosis yang benar
4. Waktu yang benar
5. Rute pemberian obat yang benar
6. Dosis pemberian obat yang benar
Tabel 2. Konversi Dosis Hewan Uji
13
Contoh soal perhitungan dosis:
Suatu penelitian menggunakan mencit yang akan diberi
zat aktif murni parasetamol 500 mg/70 kg (dosis manusia)
yang belum dikonversikan ke dalam dosis untuk mencit.
Mencit yang akan digunakan mempunyai berat badan 25
g. buatlah stok untuk 5 mencit dengan berat badan 20-30
g beserta cara penimbangan dan volume pemberiannya.
Diket: zat aktif parasetamol 500 mg, Vmak p.o mencit
bobot 20-30 gr = 1 ml, fk = 0,0026!
Jawaban
Diketahui:
Dosis parasetamol yang belum
dikonfersikan = 500 mg/70 kg
BB mencit = 25 g dengan range 20-30 g
Ditanya: stok?
Stok = Dosis x BB
½ vmak
Konversi = 500 mg/70 kg x 0,0026 = 1,3 mg/
20 g
Stok = 1,3 mg/20 g x 30 g
½ x 1 ml
= 3,90 ml
Dibuat stok untuk 5 mencit = 5 x ½ ml (1/2
vol.maks p.o) = 2,5 ml
= 9,75 mg/2,5
ml dijadikan 19,5 mg/5ml
C. Cara Kerja
1. Mahasiswa berkelompok sesuai
kelompoknya
14
2. Mahasiswa membuat 3 soal atau kasus terkait
perhitungan dosis konversi
3. Presentasikan di kelas
15
BAB IV
PENGARUH CARA PEMBERIAN TERHADAP
ABSORBSI OBAT
A. Tujuan
Untuk mengenal, mempraktekkan dan
membandingkan pengaruh cara pemberian pada
hewan uji terhadap kecepatan absorbsi obat
menggunakan data farmakologi sebagai tolok
ukur.
B. Pendahuluan
Cara pemberian obat dapat dilakukan
dengan berbagai cara seperti per oral, subkutan,
intramuskular, intraperitoneal, per rektal dan
intravena untuk mencapai efek farmakologis yang
diinginkan. Masing- masing cara pemberian
tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian
tertentu. Contohnya suatu obat atau senyawa akan
efektif jika diberikan dengan cara pemberian
tertentu. Hal tersebut disebabkan salah satunya
yaitu dengan adanya perbedaan kecepatan
absorbsi dari suatu obat atau senyawa tertentu jika
diberikan dengan pemberian tertentu yang
selanjutnya menimbulkan efek atau aktivitas
farmakologi.
C. Cara Percobaan
a. Bahan
Luminal/Natrium pentobarbital 3,5%/Natrium
thiopental, Alkohol 70% dan Sarung tangan
16
b. Alat
Spuit injeksi dan jarum (1-2 ml), Spuit dan jarum
peroral, Stop watch dan Holder mencit
c. Hewan uji: Mencit
d. Cara kerja
1) Tiap kelas dibagi 5-6 kelompok
2) Masing-masing kelompok mendapat 3
mencit
3) Masing-masing kelompok mengerjakan
percobaan yang berbeda (peroral,
subkutan, intra muskular, intraperitoneal
dan intravena)
4) Mencit ditimbang kemudian hitung
volume natrium pentobarbital yang akan
diberikan, dengan dosis 75mg/kgBB.
5) Natrium pentobarbital diberikan pada
hewan uji dengan cara pemberian sesuai
yang didapat tiap kelompok
a) Oral melalui mulut dengan sonde
(jarum peroral)
b) Subkutan, masukkan sampai
bawah kulit pada tengkuk hewan
uji dengan jarum injeksi
c) Intra muskular,suntikkan ke otot
pada daerah oto gluteus maximus
d) Intra peritoneal, suntikkan ke
dalam rongga perut. Hati-hati
jangan sampai masuk kedalam
usus
e) Intra vena, suntikkan kedalam vena
lateralis pada ekor hewan uji.
17
e. Data Hasil Percobaan
1) Lakukan pengamatan terhadap efek obat
yang terjadi yaitu berupa hilangnya
kesadaran sampai kesadarannya
kembali.hilangnya kesadaran ditandai
dengan hilangnya reflek balik badan.
Kesadaran kembali ditandai dengan
kembalinya reflek balik badan
2) Data berupa onset obat (waktu yang
dibutuhkan mulai dari pemberian obat
sampai hilangnya reflek balik badan) dan
durasi atau lama kerja obat (waktu yang
dibutuhkan dari hilangnya reflek balik
badan sampai kembalinya kesadaran).
Data hasil percobaan tersaji dalam Tabel I.
Tabel I. Data hasil percobaan
No. Cara Waktu Onset Durasi
Hew Pember Pemb Reflek balik badan (menit) (menit)
an ian erian Hilang Kembali
18
BAB V
METABOLISME OBAT
A. Tujuan
Untuk mempelajari pengaruh beberapa
senyawa kimia terhadap enzim pemetabolisme
obat dengan mengukur efek farmakologinya.
B. Pendahuluan
Metabolisme obat biasa disebut dengan
biotransformasi, meskipun diantara keduanya
masih dibedakan. Sebagian ahli mengatakan
bahwa istilah metabolisme hanya digunakan
dalam perubahan-perubahan biokimiawiatau
kimiawi yang dilakukanoleh tubuh terhadap
senyawa endogen, sedangkan biotransformasi
merupakan peristiwa yang sama bagi senyawa
eksogen (xenobiotika).
Pengetahuan tentang metabolisme obat
menempati posisi yang penting dalam evaluasi
keamanan dan kemanfaatan suatu obat. Selain
untuk mengetahui proses metabolisme dan
dideaktivasi, juga untuk mengenal jalur dan
kecepatan distribusi serta eliminasi obat dan
metabolitnya.
Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses
metabolisme dapat dibagi menjadi dua; yaitu
reaksi fase I yang meliputi reaksi-raksi oksidasi,
reduksi dan hidrolisis, reaksi faseII atau reaksi
konjugasi. Reaksi-reaksi enzimatik yang berperan
dalam proses tersebut sebagian besar terjadi di
dalam sel-sel hepar dan sisanya terjadi di organ-
organ lain seperti saluran cerna, paru, ginjal dan
19
darah. Mikroflora gaestrointestinal lebih berperan
dalam reduksi daripada oksidasi dan hidrolisis dari
pada konjugasi.
Tempat terjadinya reaksi-reaksi oksidasi
sebagian besar di dalam retikulum endoplasmik
sel. Proses tersebut juga bisa dikatalisir oleh
enzim-enzim yang berada di dalam sitosol ataupun
mitokondria. Reaksi fase II umumnya terjadi di
sitosol, kecuali reaksi glukuronidasi.
Banyak obat-obatan yang mengalami
deaktivitasi dengan reaksi konjugasi, yaitu suatu
biosintesa dengan penempelan senyawa endogen
(asam glukuronat, gugus-gugus sulfat, metil dan
asetil). Jika molekul obat sangat larut dalam lipid
dan tidak mempunyai gugus aktif untuk konjugasi,
maka berbagai biotransformasi (oksidasi, reduksi
dan hidrolisis) akan terjadi terlebih dahulu.
Dalam konjugasi dengan asam glukuronat
(reaksi fase II yang paling lazim), koenzim antara
(uridine diphosphoglucuronic acid atau UDPGA)
bereaksi dengan obat dengan adanya enzim
glukurunil-transferase untuk memindahkan
glukuronida ke atom O pada alkohol, phenol, atau
asam karboksilat, atau atom S pada senyawa tiol,
atau senyawa N pada senyawa-senyawa amina dan
sulfonamida. Dalam konjugasi obat-obat denga
asam-asam amino (misal: glisin dan glutamin)
terjadi reaksi antara obat yang mempunyai gugus
karboksilat dan telah diaktifasi dengan koenzim A.
dalam konjugasi dengan glutation, epoksida atau
aren oksida yang sangat reaktif bereaksi dengan
glutation, kemudian dimetabolisir lebih lanjut
20
menjadi asam-asam merkapturat yang bersifat non
toksik.
Induksi dan Penghambatan Enzim
Banyak obat mampu menaikkan kapasitas
metabolismenya sendiri dengan induksi enzim
(meningkatkan kecepatan sintesis enzim).
Kenaikan aktivitas enzim metabolisme ini
menyebabkan metabolisme lebih cepat. Induksi
enzim umumnya merupakan proses deaktivasi
obat sehingga mengurangi kadar obat di dalam
plasma dan memperpendek waktu paro obat,
sehingga intensitas dan durasi efek
farmakologinya berkurang. Heksobarbital,
pentobarbital, alobarbital dan fenobarbital
menaikkan kadar sitokrom P-450, serta
meningkatkan kecepatan beberapa reaksi
metabolisme seperti deetilasi fenasetin,demetilasi
aminopirin, hidroksilasi bifenil dan hidroksilasi
heksobarbital.
Pengaruh induksi dan penghambat enzim
terhadap efek farmakologik dan toksisitas cukup
besar, sehingga perlu diperhatikan oleh para
praktisi. Pemberian fenobarbital bersama-sama
dengan warfarin akan mengurangi efek
antikoagulansianya. Demikian pula pemberian
simetidin yang merupakan antagonis reseptor H-
2, akan menghambat aktivitas sitokrom P-450
dalam memetabolisme obat-obat lain. Induksi
enzim menunjukkan variasi yang besar antara
spesies, bahkan antar keturunan dalam satu
spesies. Selain itu variasi juga terjadi antara
21
jaringan satu dengan yang lain di dalam tubuh
hewan.
C. Cara Percobaan
1. Bahan
a. Induktor enzim: rifampisin
b. Inhibitor enzim: simetidin
c. Luminal
2. Alat
a. Jarum peroral (sonde)
b. Stop watch
3. Hewan uji: mencit
4. Cara kerja
a. Tiap kelompok mendapatkan 3 ekor
mencit dengan perlakuan sebagai berikut:
- 1 ekor mencit diberi pra perlakuan dengan
rifampisin selama 3 hari berturut-turut
dengan jeda 24 jam
- 1 ekor mencit diberi pra perlakuan dengan
simetidin
- 1 ekor mencit untuk kontrol positif.
b. Pra perlakuan dengan rifampisin
- Mencit ditimbang
- Hitung dosis dan volume pemberian
rifampisin. Dosis rifampisin adalah 110
mg/kgBB. Kadar larutan stok rifampisin
adalah 0,5%
- Rifampisisn diberikan secara per oral.catat
waktu pemberian rifampisin
- Pemberian rifampisin diulangi kembali
keesokan hari dan lusa pada jam yang sama
dengan poin diatas
22
- Pada saat praktikum hitung dosis dan
volume pemberian luminal
- Luminal diberikan secara i.p dan catat
waktu pemberiannya
- Lakukan pencatatan waktu hilangnya
reflek balik badan dan kembalinya reflek
balik badan
c. Pra perlakuan dengan simetidin
- Mencit ditimbang
- Hitung dosis dan volume pemberian
simetidin. Dosis simetidin adalah 80
mg/kgBB. Kadar larutan stok rifampisin
adalah 1%
- Simetidin diberikan secara peroral. Catat
waktu pemberian simetidin
- Hitung dosis dan volume pemberian
luminal
- Satu jam setelah pemberian simetidin,
luminal diberikan secara intraperitoneal,
kemudian dicatat waktu pemberiannya
- Lakukan pencatatan waktu hilangnya
reflek balik badan dan kembalinya reflek
balik badan
d. Kontrol positif
- Mencit ditimbang
- Hitung dosis dan volume pemberian
luminal
- Luminal diberikan secara intraperitoneal,
kemudian catat waktu pemberiannya
- Lakukan pencatatan waktu hilangnya
reflek balik badan dan kembalinya reflek
balik badan
23
e. Data hasil percobaan
- Data berupa onset obat (waktu yang
dibutuhkan mulai dari pemberian obat
sampai hilangnya reflek balik badan) dan
durasi atau lama kerja obat (waktu yang
dibutuhkan dari hilangnya reflek balik
badan sampai kembalinya kesadaran).
Data hasil percobaan tersaji dalam Tabel
II.
Tabel II. Data hasil percobaan
Perlakuan Mencit Waktu Reflek balik Durasi
No. pemberian badan
hexobarbital Hilang Kembali
Induksi 1
enzim 2
Rata-rata
Inhibisi 1
enzim 2
Rata-rata
Kontrol 1
2
Rata-rata
24
BAB VI
EFEK OBAT SEDATIF-HIPNOTIK
A. Tujuan
Untuk mempelajari pengaruh obat penekanan
susunan saraf
B. Pendahuluan
Obat-obat sedatif-hipnotik memiliki efek
farmakologik yang mirip dengan anestetik umum.
Jika obat- obat tersebut diberikan dalam dosis
yang lebih besar, efeknya sama dengan anestesi
umum. Kedua jenis obat tersebut mempunyai
mekanisme yang sama dalam menekan susunan
syaraf pusat (Meyers dkk,1974).
Obat-obat penenang (antipsikotik) berbeda
pengaruhnya dengan hipnotik sebab tidak
menimbulkan efek anestetik.klorpromasin dan
reserpin menekan susunan saraf pusat tidak begitu
dalam sehingga hanya menimbulkan efek sedasi.
Efek sedatif dapat mempengaruhi kemampuan
koordinasi motorik hewan uji. Besar kecilnya
pengaruh terhadap koordinasi motorik tersebut
dapat menggambarkan besar kecilnya efek sedasi.
Efek sedatif dapat diamati melalui
eksperimen dengan hewan uji menggunakan
parameter rotarod, daya cengkram, reflek kornea,
dan diameter pupil mata.
Klorfeniramin adalah preparat antihistamin tetapi
memiliki efek samping sedatif yang mirip
denganobat penenang. Sifat sedatif obat ini
disebutkan tidak ada kaitannya dengan
25
kemampuannya mengantagonis histamin (Meyers
dkk,1974).
C. Cara percobaan
1. Bahan
a. Luminal/fenobarbital
b. Klorpromasin
c. Kloralhidrat/meprobamat/diazepam
2. Alat
a. Rotarod
b. Jarum suntik peroral untuk mencit
3. Hewan uji: Mencit
4. Cara kerja
a. Mencit (n=12) ditimbang, dan dibagi menjadi 4
kelompok. Masing-masing 3 ekor. Sebelum
pemberian obat, hewan tersebut diletakkan di atas
rotarod selama 5 menit untuk adaptasi.
b. Binatang diberi obat-obat berikut secara peroral
1) Kelompok kontrol : 0,9% garam fisiologis
2) Luminal 80 mg/kgBB
3) Klorpromasin 40 dan 100 mg/KgBB
4) Kloralhidrat/ meprobamat/diazepam 20-50
mg/kgBB
c. Pada menit-menit ke 15, 30, 60, dan 120 mencit
diletakkan diatas rotarod selama 2 menit.
d. Catat berapa kali binatang terjatuh dari rotarod
e. Selama eksperimen berlangsung amati:
1) Refleks balik badan dan kornea
2) Daya cengkram (pada kawat kasa)
3) Perubahan diameter pupil mata
26
5. Data hasil pengamatan
a. Berdasarkan data rotarod, tentukan obat
yang paling poten
b. Jika daya sedativ klorpromasin 100 mg/kg
BB diberi skor =1 (absolut), tentukan
potensi relative obat-obat yang diuji.
27
BAB VII
EFEK OBAT DIURETIK
A. Tujuan
Mahasiswa mampu menentukan efek obat diuretik
yaitu furosemid dan spironolakton pada hewan
coba tikus putih (Rattus norvegicus) berdasarkan
pengukuran parameter volume urine.
B. Pendahuluan
Diuretik ialah obat yang dapat menambah
kecepatan pembentukan urin.Istilah diuresis
mempunyai dua pengertian, pertama
menunjukkan adanya penambahan volume urin
yang diproduksi yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air
(Gunawan, 2007).
Diuretik dapat menambah kecepatan
pembentukan urin. Dimana istilah diuresis
mempunyai dua pengertian, pertama
menunjukkan adanya penambahan volume urin
yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan
jumlah pengeluaran ( kehilangan ) zat- zat terlarut
dan air. (sunaryo, 1995).
Fungsi utama diuretik adalah untuk
memobilisasi cairan udem, yang berarti
mengubah keseimbangan cairan
sedemikianrupa sehingga volume cairan
ekstrasel kembali menjadi normal. (sunaryo,
1995)
Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi
respon diuretik ini. Pertama, tempat kerja diuretik
di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang
28
reabsorbsi natrium sedikit, akan memberi efek
yang lebih kecil bila dibandingkan dengan diuretik
yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium
banyak. Kedua, status fisiologi dari organ.
Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati,
gagal ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan
respon yang berbeda terhadap diuretik. Ketiga,
interaksi antara obat dengan reseptor.
Sebagaimana umumnya diketahui, diuretik
digunakan untuk merangsang terjadinya diuresis.
Penggunaan diuretik sudah demikian luas
(Siregar, 2008).
Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat
terlarut penting artinya untuk menentukan tempat
kerja diuretik dan sekaligus untuk meramalkan
akibat penggunaan suatu diuretik. Secara umum
diuretik dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
(sunaryo, 1995) :
1. Diuretik osmotic
2. Penghambat mekanisme transport elektrolit
Dan secara khusus, obat diuretik yang
dapat menghambat transport elektrolit di tubuli
ginjal terdiri atas (sunaryo, 1995) :
1. Penghambat karbonik anhidrase.
2. Benzotiadiazid
3. Diuretik hemat kalium
4. Diuretik kuat
Sebagian besar diuretika bekerja pada
segmen anatomis tunggal dari nefron ginjal.
Karena segmen ini punya fungsi- fungsi transport
yang khusus. Kerja dari setiap diuretik paling
dapat dimengerti dengan baik dalam hubungan
29
antara titik tangkap kerjanya pada nefron dan
fisiologi normal dari segmen tersebut ( Katzung,
G, 2001).
C. Cara Krja
Alat yang Digunakan
kanula tikus, spoit 3 mL; 5 mL; labu takar, gelas ukur,
kandang fisiologis/metabolisme.
Bahan yang Digunakan
Adapun bahan yang digunakan saat praktikum adalah
aquadest, obat furosemid, obat spironolakton, Na
CMC.
Prosedur Kerja
A. Pembuatan Bahan
a. Larutan Na CMC
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditimbang Na CMC diatas kertas
perkamen
3. Dipanaskan (distirer) aquadest
sebanyak 100 mL didalam gelas kimia
4. Dimasukkan Na CMC sedikit demi
sedikit kedalam gelas kimia kemudian
ditambahkan aqua dest yang telah
dipanaskan sambil diaduk, hingga tidak
terbentuk terdapat gumpalan pada
larutan Na CMC
5. Dinginkan larutan Na CMC
b. Furosemide
1. Disiapkan alat dan bahan yang
digunakan
2. Ditimbang furosemide diatas kertas
perkamen
30
3. Dimasukkan kedalam labu takar 10 mL
4. Dimasukkan larutan Na CMC sebanyak
10 mL, dihomogenkan
5. Diberikan etiket.
c. Spironolakton
1. Disiapkan alat dan bahan yang
digunakan
2. Ditimbang spironolakton diatas kertas
perkamen
3. Dimasukkan dalam labu takar 10 mL
4. Dimasukkan larutan Na CMC sebanyak
10 mL, dihomogenkan
5. Diberikan etiket
B. Perlakuan Hewan Coba
1. Disiapkan 3 tikus putih yang akan digunakan
dalam praktikum
2. Ditimbang berat badan tikus putih
3. Dihitung volume pemberian masing-masing
tikus putih
4. Setelah itu diinjeksikan obat furosemide dan
spironolakton (oral) pada masing-masing
tikus dan 1 tikus tidak diinjeksikan obat
5. Dimasukkan masing-masing tikus putih
kedalam kandang fisiologis/metabolisme
untuk diamati volume urinenya.
D. Data Hasil Percobaan
No Hewan Perlakuan Volume
Uji urin
31
BAB VIII
ANALGETIK
A. Tujuan
Untuk mengenal, mempraktekkan dan
membandingkan daya analgetik asetosal dan
parasetamol menggunakan metode rangsang
kimia.
B. Pendahuluan
Analgetika adalah obat yang dapat
mengurangi atau menekan rasa sakit tanpa
memiliki efek anesthesia umum. Jadi yang
dipengaruhi oleh obat ini hanyalah rasa sakit.
Berdasarkan kerjanya analgetika dibedakan
menjadi 2 macam yaitu analgetika narkotika dan
non narkotika. Analgetika narkotika merupakan
golongan obat pengurang nyeri yang berasal dari
golongan opiat atau derifatnya yang memiliki sifat
mirip morfin. Ada beberapa tipe reseptor opiat,
yaitu mu (µ), kappa (K), sigma (E) dan delta
(S).efek farmakologi tertentu yang muncul
tergantung pada interaksi antara opioid dengan
reseptor-reseptor ini. Reseptor mu (µ) dan kappa
(K) berkaitan dengan efek analgesik. Reseptor
sigma (E) berkaitan dengan efek disforia atau efek
psikomimetik. Reseptor delta (S) berperan pada
perubahan tingkah laku atau afektif. Secara
normal reseptor-reseptor ini terpacu oleh peptida
opioid endogen (endorfin, enkefalin dan dimorfin)
yang berfungsi mengatasi nyeri.
Analgetika nonnarkotika adalah analgetika
antipiretika dan anti inflamasi nonsteroid
32
(AINS/NSAID). Kelompok ini sangat heterogen
tetapi memiliki kesamaan efek farmakologi dan
efek sampingnya. Hal ini disebabkan efek obat ini
berdasarkan penghambatan biosintesis
prostaglandin (PG), yang berperan dalam
patofisiologi nyeri (terutama nyeri karena
inflamasi).
Beberapa metode dapat digunakan untuk
menentukan efek analgetik suatu senyawa
berdasarkan jenis rangsang nyeri. Nyeri dapat
ditimbulkan oleh rangsang nyeri, rangsang tekan,
rangsang listrik dan rangsang zat kimia.
C. Cara percobaan
1. Bahan
Larutan CMC-Na 0,5%, Suspensi paracetamol
300 mg/kgBB dalam tilosa 1% dan Larutan steril asam
asetat 1%
2. Alat
Spuit injeksi (0,1-1 ml), Jarum peroral
(sonde), Beaker glass, Stop watch, Randal-selitto
analgesimeter dan Hot plate
3. Hewan uji: mencit, umur 40-60 hari, berat 20-
30 g.
4. Cara kerja
a. Mencit 16 ekor dibagi menjadi 3 kelompok
b. Kelompok I (kontrol): mencit diberi
larutan tilosa 1% melalui oral dengan
volume sama dengan larutan pembawa
obat pada kelompok perlakuan
33
c. Kelompok 2: mencit diberi suspense
paracetamol 45 mg/kgBB dalam tilosa 1 %
secara peroral (metode rangsang kimia)
d. Kelompok 3: mencit diberi suspense
paracetamol 300 mg/kgBB dalam tilosa
1% secara peroral (metode Randall selitto)
e. Kelompok 4: mencit diberi suspense
paracetamol 300 mg,kgBB dalam tilosa
1% secara peroral (metode hot plate)
5. Data hasil percobaan
a. Metode rangsang kimia
- Setelah kelompok 1 mendapat
perlakuan, 5 menit kemudian seluruh
hewan uji di suntik intra peritoneal
(i.p) dengan larutan steril asam asetat 1
%v/v dengan dosis 300 mg/kgBB.
Beberapa menit kemudian mencit akan
menggeliat (perut kejang dan kaki
ditarik ke belakang)
- Catat jumlah kumulatif geliat yang
timbul setiap selang waktu 5 menit
selama 60 menit. Hitung persen daya
analgetik dengan rumus:
% daya analgetik = 100- (P/K x 100)
Dimana P = jumlah kumulatif geliat
mencit yang diberi obat analgetik
K = jumlah kumulatif geliat
mencit yang diberi tilosa (kontrol)
34
BAB IX
ANTIINFLAMASI
A. Tujuan
Untuk mempelajari daya anti inflamasi obat pada
hewan dengan radang buatan
B. Pendahuluan
Inflamasi merupakan gabungan proses
yang kompleks dengan tanda gejala yang bersifat
umum yaitu bengkak, kemerahan, nyeri dan
panas. Obat-obat anti radang dibagi menjadi dua
golongan utma yaitu golongan kortikosteroid dan
non steroid. Mekanisme kerja obat-obat tersebut
ialah penghambatan metabolisme asam
arakhidonat (Higgs dan Whittle, 1980). Obat-obat
golongan AINS biasanya bersifat asam lemah,
dengan mekanisme kerja dan efek samping yang
serupa. Obat golongan ini adalah derivat asam
salisilat (aspirin, salisilamida), derivat asam
fenamat (asam mefenamat, meklofenamat),
derivat propionat (ibuprofen, naproxen,
ketoprofen), derivat pirazolon (fenil butazon,
dipiron), asam asetat (diklofenak dan
indometazin), dan derivat oksikam (piroksikam,
tenoksikam).
Tempat aksi utama dari antiinflamasi
adalah enzim siklooksigenase (Cox), yang
mengkatalisis perubahan asam arakhidonat
menjadi prostaglandin dan endoperoksida. Dua
isoform dari enzim cox telah diidentifikasi. Cox-1
diekspresikan pada banyak jaringan dan ini akan
memprotek mukosa dan lambung. Cox-2
35
diekspresikan di dalam otak dan ginjal dan
diinduksi pada tempat inflamasi.
Secara in vivo kortikosteroid mampu
menghambat pengeluaran prostaglandin pada
tikus, kelici dan marmot. Penghambatan
pengeluaran asam arakhidonat dari fosfolipida
juga akan mengurangi produk-produk
siklooksigenase dan lipooksigenase sehingga
mengurangi mediator peradangan. Kedua enzim
tersebut dapat dihambat oleh benoksaprofen.
C. Cara percobaan
1. Bahan
Karagenin 1% dalam tilosa 1%, Indometasin
1%, Klorpromasin HCL 1% dan Kurkumin (murni)
1% dalam tilosa
2. Alat
Plestimograph dan Alat suntik (±1 ml)
3. Hewan uji: Hewan uji (tikus jantan 200-300
gr/wistar)
4. Cara kerja
a. Tikus ditimbang dan kedua kaki belakang
diberi tanda diatas lutut
b. Tikus kontrol (n=3)
1) Telapak kaki kiri kanan, disuntik dengan
karagenin 0,1 ml dan ukurlah segera
volume udem dengan mencelupkan
telapak kaki (sampai ke tanda) ke dalam air
raksa pada alat plestimograph. Pengukuran
di ulangi pada 3 jam kemudian.
36
2) Telapak kaki kiri, disuntik dengan 0,1 ml
tilosa 1% dan diukur volume telapak kaki
seperti di atas
c. Tikus perlakuan
1) Tikus dibagi menjadi 3 kelompok, masing-
masing sebanyak 3 ekor. Tiap kelompok
diberi obat intra peritoneal dengan volume
suntikan 40 ml/kgBB, seperti berikut:
- Kurkumin murni 60 mg/kgBB
- Indometasin 12,5 mg/KgBB
- Klorpromasin HCl 40 mg/KgBB
2) Satu jam sesudah pemberian obat, tikus
disuntik dengan karagenin seperti diatas
(4.b). pengukuran volume udem dilakukan
segera dan 3 jam setelah pemberian
karagenin.
5. Data hasil percobaan
a. Hitung persen penghambat inflamasi
untuk tiap obat pada tiap dosis uji
b. Jika daya antiinflamasi kurkumin murni 60
mg/kgBB diberi skor 1 (absolut), hitung
potensi relative tiap obat tiap dosis.
37
DAFTAR ISI
- Anas, Y., 2016. Petunjuk Praktikum
Farmakologi, UWH: Semarang
- Endra, P., dkk. 2016. Petunjuk Praktikum
Farmakologi, STIKESCENTAMA: Kudus
- Holek, H. G. O., 1959, Laboratory Guide in
Pharmacology, Burgess Publishing Company:
Minnesotta, 1-3.
- Levine, R. R., 1978, Pharmacology: drug
Action and Reaction, 2nd edition, Little, Brown
&Company, Boston.
- La Du, B. N., Mandel, H. G dan Waym E. L.,
1971, Fundamentals of Drug Metabolism and
Drug Disposition, The Williams& Wilkins
Company, Baltimore, pp 149-578
- Mayers FH, Jawetz E, Goldfien A, (1974),
Review of medical pharmacology, 4th ed.,
Lange medical pvubl. Calif.
38