Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM 1

PEMILIHAN HEWAN COBA

BLOK FARMAKOKINETIKA

FARMASI B

KELOMPOK 4

SYAFINA AYU NURIL IMAMA (19930057)

FIFI ALAYDA YAHYA (19930058)

ALMAY ABIDZAR ELPASHA (19930060)

ELSA IFTITA AININA (19930061)

SHA SHA NABILA WALLY (19930062)

FARAH FIKIRIANTI (19930063)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2020

1
DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………………………1

Daftar Isi…………………………………………………………………………….2

Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………..3

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………..3

1.2 Tujuan……………………………………………………...……………3

Bab II Tinjauan Pustaka……………………………………………………………..4

Bab III Metode Percobaan…………………………………………………………..8

3.1 Alat dan Bahan Percobaan………………………………………………8

3.2 Hewan Percobaan…………………………………………………….….8

3.3 Cara Kerja……………………………………………………………….8

Bab IV Hasil Percobaan……………………………………………………………..9

Bab V Pembahasan………………………………………………………………….10

5.1 Analisa Prosedur……………………………………………………...…10

5.2 Analisa Hasil…………………………………………………………….10

Kesimpulan……………………………………………………………….………….11

Daftar Pustaka…………………………………………………………………….....12

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut metode yang sistematik untuk
menemukan suatu informasi baru atau membuktikan teori atau hipotesis disebut dengan
penelitian. Untuk mendapatkan penelitian dan hasil penelitian yang baik, maka semua
akses penelitian harus dirancang dan direncanakan dengan seksama. Pada salahsatu
penelitian biologik terdapat uji invivo yang dilakukan pada organisme utuh atau
organisme hidup normal. Pada uji invivo ini bisa menggunakan hewan coba maupun pada
manusia . Namun, uji invivo pada manusia baru boleh dilakukan setelah terbukti
keamanannya ketika sudah dilakukan uji invivo pada hewan. Guna mengetahui efek suatu
obat dan efek dari suatu treatment pada tubuh manusia, para peneliti banyak menggunakan
hewan coba tertentu, karena dinilai mempunyai karakteristik genetik, biologis, dan
perilaku yang sangat mirip dengan manusia. Banyak juga gejala kondisi manusia yang
dapat dipreplikasi pada hewan coba.
Uji invivo pada hewan harus memperhatikan termasuk dalam pemilihan hewan
percobaan, penting untuk memastikan bahwa penggunaan hewan percobaan merupakan
pilihan terakhir dimana tidak terdapat cara lain yang bisa menggantikannya. Pada uji
invivo dengan hewan coba, ada beberapa hewan uji yang sering digunakan, yakni tikus,
kelinci,dan primata. Uji invivo pada hewan tersebut, harus sesuai dengan kriteria, sehingga
hewan uji dapat dikatakan sesuai untuk fungsi atau penyakit yang di jadikan obyek
penelitian. Peneliti harus memperhatikan kesehatan, dan sifat fisik yang ada pada hewan,
karena faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi mekanisme kerja penelitian dan hasil
penelitian.
Penggunaaan hewan coba tidaklah mudah dan tidak bisa sembarangan, karena ada
aturan mengenai animal ethic dan animal walfare. Peneliti harus mengetahui kode etik
yang harus diperhatikan ketika menggunakan uji pada organisme hidup, seperti hewan.
Sebab, peneliti bertanggun jawab penuh atas kesejahteraan hewan coba. Rendahnya tingkat
pengetahuan peneliti akan kesejahteraan hewan dapat menimbulkan penderitaan dan
ketidaknyamanan pada hewan coba.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengukur tingkat kesehatan hewan uji
mencit (Mus musculus) dengan metode BCS (Body Condition Scoring).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hewan Percobaan

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah objek hewan sebagai bentuk
tiruan dari manusia ataupun spesies lain yang digunakan untuk menyelidiki fenomena
biologis atau patobiologis. Hewan percobaan atau hewan laboratorium dikenal sebagai
hewan yang dengan sengaja dipelihara dan diternakan untuk dimanfaatkan sebagai hewan
model untuk mengembangkan berbagai macam bidang ilmu yang dapat digunakan dalam
proses penelitian atau pengamatan laboratorium. (Hau & Hoosier Jr., 2003).

Di dalam Laboratorium untuk pendidikan, terdapat beberapa mata kuliah dalam


kurikulum program studi farmasi yang membutuhkan hewan percobaan atau hewan
penelitian untuk menunjang proses pembelaajaran. Penggunaan hewan percobaan hidup ini
dianggap penting untuk memperjelas teori yang ada dan fenomena yang terjadi dalam mata
kuliah yang dipelajari. Begitu pula dalam hal penelitian, penelitian adalah kegiatan yang
dilakukan berdasarkan kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh
informasi, data, dan keterangan dari subjek terkait, dengan pemahaman teori dan
pembuktian asumsi dan/atau hipotesis. Hasil yang akan didapatkan dari penelitian yang
dilakukan adalah sebuah kesimpulan yang dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan
tambahan bagi kemajuan bidang ilmu pengetahuan. Meskipun hanya sebatas hewan
percobaan, dalam kegiatan yang dilakukan harus tetap memperhatikan dan menghormati
setiap subjek yang digunakan.

Agar tujuan Dari percobaan tercapai dengan baik, secara efektif dan efisien maka di dalam
memilih hewan percobaan penting untuk mempertimbangkan beberapa faktor berikut:

a. Apakah hewan percobaan tersebut memiliki fungsi fisiologi, metabolik dan prilaku serta
proses penyakit yang sesuai dengan subyek manusia atau hewan lain dimana hasil
penelitian tersebut akan digunakan

b. Apakah Dari sisi karakteristik biologi maupun perilaku hewan tersebut cocok dengan
rencana penelitian atau percobaan dilakukan (misalnya cara penanganan, lama hidup,
kecepatan berkembang biak, tempat hidup dsb.). Hal ini sangat berguna dalam pelaksanaan
penelitian atau percobaan dengan hewan

4
c. Apakah tinjauan kritis

Dari literatur ilmiah menunjukkan spesies tersebut telah memberikan hasil terbaik untuk
penelitian sejenis atau termasuk hewan sering digunakan untuk penelitian sejenis.

d. Apakah spesimen organ atau jaringan akan digunakan dalam penelitian itu mencukupi
pada hewan tersebut dan dapat diambil dengan prosedur yang memungkinkan.

e. Apakah hewan akan digunakan dalam penelitian memiliki standar tinggi baik secara
genetik maupun mikrobiologi.

Didalam penelitian, beberapa hewan uji sering digunakan, yakni tikus, kelinci, dan
primata. Permasalahannya adalah tidak sembarang hewan uji bisa digunakan untuk
penelitian. Hewan hewan uji tersebut harus memenuhi beberapa kriteria sehingga hewan
ujidapat dikatakan sesuai untuk fungsi atau penyakit di jadikan obyek penelitian
kita.Berikut beberapa spesies hewan uji beserta karakteristiknya serta seringnya peneliti
menggunakannya.

1. placental (binatang pengerat)

Hewan pengerat digolongkan sebagai tikus, telah digunakan sebagai hewan laboratorium
selama lebih 100 tahun. Beberapa, jenis tikus telah mengalami perubahan genetik untuk
meminimalkan dan mengendalikan variabel asing dapat mengubah hasil penelitian dan
untuk keperluan penelitian. tikus juga merupakan hewan reproducible sehingga tersedia
dalam jumlah cukup untuk penelitian principle memerlukan banyak hewan coba. Terdapat
berbagai macam jenis tikus diantaranya :

a. Tikus Biobreeding

b. Tikus Putih Galur Sprague Dawley

c. Tikus Putih Galur Wistar

d. Tikus Mungil Alias Mencit

2. Kelinci

Kelinci juga merupakan hewan uji sering digunakan selain tikus. Hewan ini biasanya
digunakan untuk uji iritasi mata karena kelinci memiliki air mata lebih sedikit dari pada
hewan lain dan sedikitnya pigmen dimata karena warna albinonya menjadikan efek

5
dihasilkan mudah untuk diamati. Selain itu, kelinci juga banyak digunakan untuk
menghasilkan protein poliklonal.

B. Body Condition Scoring (BCS)


Komite Penanganan Hewan Universitas McGill (UACC) merekomendasikan
penggunaan Penilaian Kondisi Tubuh (BCS) untuk menilai termination klinis hewan. BCS
merupakan penilaian cepat, non-invasif dan efektif dalam menilai kondisi fisik hewan.
Dalam banyak kasus, BCS adalah titik akhir klinis lebih baik daripada berat badan.
Penggunaan berat badan saja tidak dapat membedakan antara lemak tubuh atau simpanan
otot. Berat badan hewankurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya
pertumbuhan tumour, akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada kondisi
traditional (misalnya kehamilan). selain itu jika suatu hewan telah kehilangan berat badan
lebih namun berdasarkan penilaian BCS kondisinya masih di nilai tiga (BCS 3) maka
mungkin belum perlu dilakukaan euthanasia segera. Dengan demikian, BCS adalah
penanda lebih komprehensif dan akurat untuk kesehatan hewan dibandingkan kehilangan
berat badan.
C. Etik Penelitian Pada Hewan Coba
Menurut The American Physiological Society etik penelitian pada hewan coba
terdiri dari:

1. Hewan diperoleh secara legal


2. Pemeliharaan dan penggunaan sesuai perundangan yg berlaku
3. Memperhatikan kenyamanan fisik, diperlakukan dg baik, makanan memadai,
lingkungan memenuhi syarat sanitasi
4.Anestesi yang memadai untuk tindakan operatif setelah lepas anestesi, tetap
diupayakan mengurangi rasa sakit yang memadai
5.Relaksan otot bukan merupakan anestesi. Harus digunakan bersama dengan obat
yg menimbulkan analgesia
6.Bila binatang coba tak perlu dibangunkan kembali, harus dibunuh secara
manusiawi
7.Perawatan pasca percobaan, hendaknya menghindari rasa tidak senang dan sakit,
sesuai dengan aturan di kedokteran hewan
8.Penggunaan hewan oleh mahasiswa, harus dibawah supervisi langsung oleh
pengajar / peneliti yang berpengalaman.

6
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan Percobaan


3.1.1 Alat Percobaan
Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:
1. Sarung tangan
2. Kandang mencit
3. Alat pelindung diri
4. Tissue
3.1.2 Bahan Percobaan
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah:
1. Mencit 20 g – 30 g berumur antara 6 – 8 minggu
3.2 Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan pada praktikum ini adalah mencit (Mus
musculus).
3.3 Cara Kerja

Disiapkan 5 ekor mencit

Diletakkan satu ekor mencit di atas kandang yang terbuat dari kawat

Dibiarkan mencit dalam kondisi istirahat

Diamati kondisi tulang belakang mencit hingga ke tulang dekat kemaluan (bokong)

Secara perlahan-lahan disentuh (diraba) bagian tulang belakang hingga ke tulang bokong

Dicatat hasil pengamatan dan perabaan serta diulangi untuk 4 mencit yang lain
7
BAB IV
HASIL PERCOBAAN

4.1 Tabel Hasil Percobaan


No. Berat Hasil
Mencit Badan Pengamatan Perabaan Nilai Keputusan
Mencit BCS
(gram)
1 21,22 gram Tingkah laku - 2 Hewan tidak digunakan
gelisah, untuk penelitian
postur tubuh dikarenakan mencapai
membungkuk. salah satu endpoint
klinis berupa postur
tubuh yang
membungkuk.

2 25,12 gram Tingkah aktif Tulang pelvic 3 Hewan digunakan


bergerak. dorsal sedikit untuk penelitian
teraba. dikarenakan masih
belum mencapai
endpoint dan nilai BCS
yang standar.
3 27,31 gram Tingkah laku Tulang sulit 4 Hewan digunakan
tenang. untuk dirasa. untuk penelitian
dikarenakan dalam
keadaan yang tenang
dan senang, tulang sulit
untuk dirasa
menandakan BCS
diatas 3.
4 23,01 gram Mata terlihat Lemak tidak 1 Hewan tidak digunakan
layu, bentuk terasa. untuk penelitian karena
tulang nilai BCS dibawah 3
terlihat. dan mata terlihat layu,
lesu yang diprediksi
sudah mencapai
endpoint klinis.
5 21,72 gram Mata terlihat Lemak terasa. 3 Hewan berada pada
cekung. nilai BCS yang baik
namun tidak digunakan
karena terlihat mata
yang cekung tanda dari
endpoint klinis.

8
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Analisa Prosedur
Pada praktikum ini digunakan 5 sampel mencit yang mana masing masing
dari mencit memiliki karakteristik yang berbeda. Setelah didapatkan 5 ekor mencit,
dikeluarkan 1 ekor mencit-mencit tersebut dari kandang sehingga mencit dapat
berjalan-jalan hingga nanti akan sampai pada fase mencit dalam keadaan istirahat.
Pada saat keadaan inilah mencit dapat diamati, yang perlu diamati yaitu kondisi
tulang belakang mencit hingga ke tulang dekat ekor (Pelvis dorsal).
Cara untuk mengamati tulang mencit yakni dengan meraba secara perlahan
lahan bagian tulang belakang hingga tulang dekat ekor (Pelvis dorsal) sehingga
dapat ditentukan mencit tersebut termasuk BCS nilai keberapa. Selain itu juga
dilakukan pengamatan visual dari tingkah laku mencit hingga didapatkan
kesimpulan mencit tersebut dapat digunakan atau tidak untuk penelitian. kemudian
dicatat hasil pengamatan dan perabaan serta diulangi lagi langkah-langkah ini untuk
4 mencit yang lain.
5.2 Analisa Hasil
Body Condition Scoring (BCS) merupakan penilaian yang cepat, non-
invasif dan efektif dalam menilai kondisi fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS
adalah titik akhir klinis yang lebih baik daripada berat badan. Penggunaan berat
badan saja tidak dapat membedakan antara lemak tubuh atau simpanan otot. Berat
badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya
pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada
kondisi normal (misalnya kehamilan) (Stevani, 2016).
Penilaian keputusan pemilihan mencit didasarkan oleh nilai BCS, dimana
nilai BCS yang kondisinya di nilai 3 adalah nilai yang terbaik untuk digunakan
sebagai hewan uji, selain itu BCS 4 juga masih digolongkan sebagai hewan masih
cukup layak untuk digunakan. Mencit dengan nilai BCS 5 digunakan pada kondisi
tertentu semisal untuk penelitian terhadap jaringan lemak dan segala hal yang
berkaitan dengan ketebalan daging juga lemak.
Endpoint klinis juga menjadi salah satu landasan pertimbangan digunakan
atau tidaknya suatu hewan uji. Endpoint klinis dapat dilaporkan seperti penurunan
perilaku eksplorasi, keengganan untuk bergerak, postur tubuh yang membungkuk,
rambut berdiri, dehidrasi sedang hingga berat ditandai dengan mata cekung dan
lesu, dan nyeri tak henti-hentinya (Stevani, 2016).
Pada mencit pertama dengan berat 21,22 gram diperoleh hasil pengamatan
visual berupa tingkah laku yang gelisah dan fisik yang membungkuk. Pada mencit
satu, diputuskan tidak digunakan untuk penelitian dikarenakan tikus sudah
mencapai endpoint klinis berupa postur tubuh yang membungkuk. Nilai BCS dari
mencit nomor 1 tidak diketahui karena dari data tidak disebutkan adanya perabaan
sehingga tidak diketahui nilainya. Namun, nilai BCS mencit nomor satu
diperkirakan adalah nilai BCS-2 karena postur tubuh yang membungkuk secara
visual dapat mengindikasikan tulang terlihat agak jelas.

9
Mencit nomor dua dengan berat 25,12 gram diputuskan untuk digunakan
dalam penelitian karena dinilai masih belum mencapai endpoint klinis dan
memenuhi nilai BCS. Endpoint klinis yang belum tercapai ditandai dengan
keinginan hewan untuk melakukan eksplorasi dengan bergerak aktif. Perabaan yang
dilakukan mengakibatkan tulang pelvis dorsal sedikit teraba yang menandakan ciri
dari mencit nilai BCS 3.
Mencit nomor tiga dengan berat 27,31 gram diputuskan untuk digunakan
dalam penelitian karena dinilai masih memenuhi syarat. Ciri yang ditunjukkan
secara visual yaitu mencit tampak tenang menandakan bahwa tikus dalam suasana
senang dan tidak jenuh, sedangkan dari segi indra peraba dirasakan tulang yang
agak sulit dirasa menandakan bahwa mencit berada dalam nilai BCS ke 4.
Mencit nomor empat dengan berat 23,01 gram diputuskan untuk tidak
digunakan karena syarat tidak terpenuhi. Nilai BCS dari mencit nomor 4 adalah 1
karena tidak ada terasa lemak dan daging pada tubuh mencit sehingga akan sulit
dilakukan injeksi pada mencit. Parameter endpoint klinis juga menunjukkan mata
yang layu juga menandakan kemungkinan terjadi dehidrasi sedang hingga berat
pada mencit.
Mencit nomor lima dengan berat 21,72 gram memenuhi nilai BCS, namun
berdasarkan parameter lainnya mencit nomor 5 tidak digunakan. Hal ini
dikarenakan mencit mengalami ciri berupa mata yang cekung yang merupakan ciri
dari mencit yang mengalami dehidrasi dan ciri dari endpoint klinis. Dengan adanya
ciri tersebut, dapat diputuskan bahwa mencit tidak memenuhi persyaratan.

Kesimpulan

Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja


dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model, dan juga untuk
mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala
penelitian atau pengamatan laboratorium.
Pemilihan hewan coba berdasarkan pada nilai BCS dan endpoint klinis.
Hewan coba dengan BCS yang kondisinya di nilai 3 adalah nilai yang terbaik untuk
digunakan sebagai hewan uji, selain itu BCS 4 juga masih digolongkan sebagai
hewan masih cukup layak untuk digunakan. Mencit dengan nilai BCS 5 digunakan
pada kondisi tertentu semisal untuk penelitian terhadap jaringan lemak dan segala
hal yang berkaitan dengan ketebalan daging juga lemak.Endpoint klinis juga
menjadi salah satu landasan pertimbangan digunakan atau tidaknya suatu hewan
uji. Endpoint klinis dapat dilaporkan seperti penurunan perilaku eksplorasi,
keengganan untuk bergerak, postur tubuh yang membungkuk, rambut berdiri,
dehidrasi sedang hingga berat ditandai dengan mata cekung dan lesu, dan nyeri tak
henti-hentinya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan, SuplemenII Etik

Hau, J. & Hoosier, G. L. V., 2003.Handbook of Laboratory AnimalScience 2th.


London. P. 300

Hewan Percobaan.Komisi Nasional EtikPenelitian Kesehatan, Departemen


Kesehatan RI. Jakarta. 2011.

Stevani, Hendra. 2016. Praktikum Farmakologi. Jakarta : Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai