BLOK FARMAKOKINETIKA
FARMASI B
KELOMPOK 4
2020
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………………………1
Daftar Isi…………………………………………………………………………….2
Bab I Pendahuluan…………………………………………………………………..3
1.2 Tujuan……………………………………………………...……………3
Bab V Pembahasan………………………………………………………………….10
Kesimpulan……………………………………………………………….………….11
Daftar Pustaka…………………………………………………………………….....12
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hewan Percobaan
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah objek hewan sebagai bentuk
tiruan dari manusia ataupun spesies lain yang digunakan untuk menyelidiki fenomena
biologis atau patobiologis. Hewan percobaan atau hewan laboratorium dikenal sebagai
hewan yang dengan sengaja dipelihara dan diternakan untuk dimanfaatkan sebagai hewan
model untuk mengembangkan berbagai macam bidang ilmu yang dapat digunakan dalam
proses penelitian atau pengamatan laboratorium. (Hau & Hoosier Jr., 2003).
Agar tujuan Dari percobaan tercapai dengan baik, secara efektif dan efisien maka di dalam
memilih hewan percobaan penting untuk mempertimbangkan beberapa faktor berikut:
a. Apakah hewan percobaan tersebut memiliki fungsi fisiologi, metabolik dan prilaku serta
proses penyakit yang sesuai dengan subyek manusia atau hewan lain dimana hasil
penelitian tersebut akan digunakan
b. Apakah Dari sisi karakteristik biologi maupun perilaku hewan tersebut cocok dengan
rencana penelitian atau percobaan dilakukan (misalnya cara penanganan, lama hidup,
kecepatan berkembang biak, tempat hidup dsb.). Hal ini sangat berguna dalam pelaksanaan
penelitian atau percobaan dengan hewan
4
c. Apakah tinjauan kritis
Dari literatur ilmiah menunjukkan spesies tersebut telah memberikan hasil terbaik untuk
penelitian sejenis atau termasuk hewan sering digunakan untuk penelitian sejenis.
d. Apakah spesimen organ atau jaringan akan digunakan dalam penelitian itu mencukupi
pada hewan tersebut dan dapat diambil dengan prosedur yang memungkinkan.
e. Apakah hewan akan digunakan dalam penelitian memiliki standar tinggi baik secara
genetik maupun mikrobiologi.
Didalam penelitian, beberapa hewan uji sering digunakan, yakni tikus, kelinci, dan
primata. Permasalahannya adalah tidak sembarang hewan uji bisa digunakan untuk
penelitian. Hewan hewan uji tersebut harus memenuhi beberapa kriteria sehingga hewan
ujidapat dikatakan sesuai untuk fungsi atau penyakit di jadikan obyek penelitian
kita.Berikut beberapa spesies hewan uji beserta karakteristiknya serta seringnya peneliti
menggunakannya.
Hewan pengerat digolongkan sebagai tikus, telah digunakan sebagai hewan laboratorium
selama lebih 100 tahun. Beberapa, jenis tikus telah mengalami perubahan genetik untuk
meminimalkan dan mengendalikan variabel asing dapat mengubah hasil penelitian dan
untuk keperluan penelitian. tikus juga merupakan hewan reproducible sehingga tersedia
dalam jumlah cukup untuk penelitian principle memerlukan banyak hewan coba. Terdapat
berbagai macam jenis tikus diantaranya :
a. Tikus Biobreeding
2. Kelinci
Kelinci juga merupakan hewan uji sering digunakan selain tikus. Hewan ini biasanya
digunakan untuk uji iritasi mata karena kelinci memiliki air mata lebih sedikit dari pada
hewan lain dan sedikitnya pigmen dimata karena warna albinonya menjadikan efek
5
dihasilkan mudah untuk diamati. Selain itu, kelinci juga banyak digunakan untuk
menghasilkan protein poliklonal.
6
BAB III
METODE PERCOBAAN
Diletakkan satu ekor mencit di atas kandang yang terbuat dari kawat
Diamati kondisi tulang belakang mencit hingga ke tulang dekat kemaluan (bokong)
Secara perlahan-lahan disentuh (diraba) bagian tulang belakang hingga ke tulang bokong
Dicatat hasil pengamatan dan perabaan serta diulangi untuk 4 mencit yang lain
7
BAB IV
HASIL PERCOBAAN
8
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Analisa Prosedur
Pada praktikum ini digunakan 5 sampel mencit yang mana masing masing
dari mencit memiliki karakteristik yang berbeda. Setelah didapatkan 5 ekor mencit,
dikeluarkan 1 ekor mencit-mencit tersebut dari kandang sehingga mencit dapat
berjalan-jalan hingga nanti akan sampai pada fase mencit dalam keadaan istirahat.
Pada saat keadaan inilah mencit dapat diamati, yang perlu diamati yaitu kondisi
tulang belakang mencit hingga ke tulang dekat ekor (Pelvis dorsal).
Cara untuk mengamati tulang mencit yakni dengan meraba secara perlahan
lahan bagian tulang belakang hingga tulang dekat ekor (Pelvis dorsal) sehingga
dapat ditentukan mencit tersebut termasuk BCS nilai keberapa. Selain itu juga
dilakukan pengamatan visual dari tingkah laku mencit hingga didapatkan
kesimpulan mencit tersebut dapat digunakan atau tidak untuk penelitian. kemudian
dicatat hasil pengamatan dan perabaan serta diulangi lagi langkah-langkah ini untuk
4 mencit yang lain.
5.2 Analisa Hasil
Body Condition Scoring (BCS) merupakan penilaian yang cepat, non-
invasif dan efektif dalam menilai kondisi fisik hewan. Dalam banyak kasus, BCS
adalah titik akhir klinis yang lebih baik daripada berat badan. Penggunaan berat
badan saja tidak dapat membedakan antara lemak tubuh atau simpanan otot. Berat
badan hewan yang kurang dapat tertutupi oleh kondisi abnormal (misalnya
pertumbuhan tumor, akumulasi cairan ascetic, dan pembesaran organ) atau pada
kondisi normal (misalnya kehamilan) (Stevani, 2016).
Penilaian keputusan pemilihan mencit didasarkan oleh nilai BCS, dimana
nilai BCS yang kondisinya di nilai 3 adalah nilai yang terbaik untuk digunakan
sebagai hewan uji, selain itu BCS 4 juga masih digolongkan sebagai hewan masih
cukup layak untuk digunakan. Mencit dengan nilai BCS 5 digunakan pada kondisi
tertentu semisal untuk penelitian terhadap jaringan lemak dan segala hal yang
berkaitan dengan ketebalan daging juga lemak.
Endpoint klinis juga menjadi salah satu landasan pertimbangan digunakan
atau tidaknya suatu hewan uji. Endpoint klinis dapat dilaporkan seperti penurunan
perilaku eksplorasi, keengganan untuk bergerak, postur tubuh yang membungkuk,
rambut berdiri, dehidrasi sedang hingga berat ditandai dengan mata cekung dan
lesu, dan nyeri tak henti-hentinya (Stevani, 2016).
Pada mencit pertama dengan berat 21,22 gram diperoleh hasil pengamatan
visual berupa tingkah laku yang gelisah dan fisik yang membungkuk. Pada mencit
satu, diputuskan tidak digunakan untuk penelitian dikarenakan tikus sudah
mencapai endpoint klinis berupa postur tubuh yang membungkuk. Nilai BCS dari
mencit nomor 1 tidak diketahui karena dari data tidak disebutkan adanya perabaan
sehingga tidak diketahui nilainya. Namun, nilai BCS mencit nomor satu
diperkirakan adalah nilai BCS-2 karena postur tubuh yang membungkuk secara
visual dapat mengindikasikan tulang terlihat agak jelas.
9
Mencit nomor dua dengan berat 25,12 gram diputuskan untuk digunakan
dalam penelitian karena dinilai masih belum mencapai endpoint klinis dan
memenuhi nilai BCS. Endpoint klinis yang belum tercapai ditandai dengan
keinginan hewan untuk melakukan eksplorasi dengan bergerak aktif. Perabaan yang
dilakukan mengakibatkan tulang pelvis dorsal sedikit teraba yang menandakan ciri
dari mencit nilai BCS 3.
Mencit nomor tiga dengan berat 27,31 gram diputuskan untuk digunakan
dalam penelitian karena dinilai masih memenuhi syarat. Ciri yang ditunjukkan
secara visual yaitu mencit tampak tenang menandakan bahwa tikus dalam suasana
senang dan tidak jenuh, sedangkan dari segi indra peraba dirasakan tulang yang
agak sulit dirasa menandakan bahwa mencit berada dalam nilai BCS ke 4.
Mencit nomor empat dengan berat 23,01 gram diputuskan untuk tidak
digunakan karena syarat tidak terpenuhi. Nilai BCS dari mencit nomor 4 adalah 1
karena tidak ada terasa lemak dan daging pada tubuh mencit sehingga akan sulit
dilakukan injeksi pada mencit. Parameter endpoint klinis juga menunjukkan mata
yang layu juga menandakan kemungkinan terjadi dehidrasi sedang hingga berat
pada mencit.
Mencit nomor lima dengan berat 21,72 gram memenuhi nilai BCS, namun
berdasarkan parameter lainnya mencit nomor 5 tidak digunakan. Hal ini
dikarenakan mencit mengalami ciri berupa mata yang cekung yang merupakan ciri
dari mencit yang mengalami dehidrasi dan ciri dari endpoint klinis. Dengan adanya
ciri tersebut, dapat diputuskan bahwa mencit tidak memenuhi persyaratan.
Kesimpulan
10
DAFTAR PUSTAKA
11