Anda di halaman 1dari 12

1.

Uji Pra Klinik


1.1. Definisi
Uji praklinik merupakan penelitian eksperimental yang dapat dikerjakan secara
in vivo maupun in vitro dengan menggunakan berbagai spesies hewan coba. Setiap
jenis uji praklinis hanya dapat dibenarkan untuk dikerjakan jika ada petunjuk bahwa
uji praklinik dimaksud dapat terselesaikan secara tuntas oleh pelaku dan fasilitas
yang kompeten. (Kementerian Kesehatan, 2000)
Uji pra klinik bisa disebut juga studi/ pengembangan/ penelitian praklinik/ non-
klinik, yaitu tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada
manusia. Uji pra klinik dilakukan dengan menggunakan senyawa yang baru
ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu harus diuji dengan
serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum obat baru ini dapat dicobakan
pada manusia dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat
farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari dilakukannya uji pra klinik pada pengembangan obat baru adalah :
a. Memprediksi efek farmakologi obat terhadap manusia
b. Memprediksi efek toksikologi obat terhadap manusia
c. Memprediksi efek farmakokinetika obat terhadap manusia
d. Skrining awal untuk penentuan dosis dan formulasi obat
1.3. Prinsip
Dalam pelaksanan uji pra klinik harus membuat dan menyesuaikan protokol dengan
prinsip standar yang berlaku secara ilmiah dan etik penelitian kesehatan.
a. Respect
Menghormati hak dan martabat makhluk hidup, kebebasan memilih dan
berkeinginan, serta bertanggung jawab terhadap dirinya, termasuk di dalamnya
hewan coba.
b. Beneficiary
Bermanfaat bagi manusia dan makhluk lain, manfaat yang didapatkan harus lebih
besar dibandingkan dengan risiko yang diterima.
c. Justice
Bersikap adil dalam memanfaatkan hewan percobaan. Contoh sikap tidak adil,
antara lain hewan disuntik/ dibedah berulang untuk menghemat jumlah hewan,
memakai obat euthanasia yang menimbulkan rasa nyeri karena harga yang lebih
murah. (World Medical Association Declaration of Helsinki, 2008)
2. Ethical Clearence Terkait Hewan Coba
2.1. Definisi
Ethical Clearance (EC) atau kelayakan etik adalah keterangan tertulis yang
diberikan oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) untuk riset yang
melibatkan makhluk hidup yang menyatakan bahwa suatu proposal riset layak
dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Dilain pihak, persetujuan dari
Komisi Ethical Clearance dalam suatu penelitian sangat diperlukan dalam publikasi
jurnal ilmiah nasional ataupun international.
Penelitian yang membutuhkan Ethical Clearance (EC) pada dasarnya adalah
seluruh penelitian/riset yang menggunakan makhluk hidup sebagai subyek
penelitian, baik penelitian yang melakukan pengambilan spesimen ataupun yang
tidak melakukan pengambilan spesimen. Penelitian/riset yang dimaksud adalah
penelitian biomedik yang mencakup riset pada farmasetik, alat biologik serta
penelitian epidemiologik, sosial dan psikososial. (Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Keperawatan UNAIR)
2.2. Fungsi
a. Bagi subjek penelitian
 Untuk kepastian perlindungan hak
b. Bagi peneliti
 Menghindari pelanggaran etik
 Publikasi ilmiah di jurnal internasional
 Pencairan dana penelitian
2.3. Prinsip
a. Replacement
Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah
diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur
untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh mahluk
hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. Replacement terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: relatif (mengganti hewan perco-baan dengan memakai
organ/jaringan hewan dari rumah potong, hewan dari ordo lebih rendah) dan
absolut (mengganti hewan percobaan dengan kultur sel, jaringan, atau program
komputer).
b. Reduction
Reduction diartikan sebagai pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit
mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Jumlah minimum biasa
dihitung menggunakan rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) >15, dengan n adalah
jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan.
Kelemahan dari rumus itu adalah semakin sedikit kelompok penelitian, semakin
banyak jumlah hewan yang diperlukan, serta sebaliknya. Untuk mengatasinya,
diperlukan penggunaan desain statistik yang tepat agar didapatkan hasil
penelitian yang sahih.
c. Refinement
Refinement adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi
(humane), memelihara hewan dengan baik, tidak menyakiti hewan, serta
meminimalisasi perlakuan yang menyakitkan sehingga menjamin kesejahteraan
hewan coba sampai akhir penelitian. (Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan Depkes RI, 2006)
2.4. Prosedur Pengajuan
2.4.1. Pemberian Ethical Clearance
Penelitian yang membutuhkan Ethical Clearance berupa :
a. Semua penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, juga
hewan serta bahan biologik tersimpan (BBT)
b. Penelitian dalam bidang farmasetik, radiofarmasi, tanaman obat, rekam medis,
perilaku sosial, psikososial, dan penelitian sejenisnya di bidang sosial dan alam.
3. Hewan Uji Pra Klinik
3.1. Etika Penanganan Hewan Coba
Pengujian dengan hewan coba harus memperhatikan aspek perlakuan yang
manusiawi terhadap hewan-hewan tersebut, sesuai dengan prinsip 5F (Freedom) :
1. Freedom from Hunger and Thirst
Bebas dari rasa lapar dan haus dengan memberikan akses makanan dan air
minum yang sesuai dengan jumlah yang memadai baik jumlah dan komposisi nutrisi
untuk kesehatannya. Makanan dan air minum memadai dari kualitas, dibuktikan
melalui analisa proximate makanan, analisis mutu air minum, dan uji kontaminasi
secara berkala. Analisis pakan hewan untuk mendapatkan komposisi pakan,
menggunakan metode standar. (Ridwan, 2013)
2. Freedom from Discomfort
Bebas dari rasa tidak nyaman disediakan lingkungan bersih dan paling sesuai
dengan biologi hewan percobaan yang dipilih, dengan perhatian terhadap: siklus
cahaya, suhu, kelembaban lingkungan, dan fasilitas fisik seperti ukuran kandang
untuk kebebasan bergerak, kebiasaan hewan untuk mengelompok atau menyendiri.
(Ridwan, 2013)
3. Freedom from Injury, Pain, and Diseases
Bebas dari rasa nyeri, trauma, dan penyakit dengan menjalankan program
kesehatan, pencegahan, dan peman-tauan, serta pengobatan tehadap hewan
percobaan jika diperlukan. Penyakit dapat diobati dengan catatan tidak mengganggu
penelitian yang sedang dijalankan. Bebas dari nyeri diusahakan dengan memilih
prosedur yang memini-malisasi nyeri saat melakukan tindakan invasif, yaitu dengan
menggunakan analgesia dan anesthesia ketika diperlukan. Euthanasia dilakukan
dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih untuk meminimalisasi atau
bahkan meniadakan penderitaan hewan coba. (Ridwan, 2013)
4. Freedom from Fear and Distress
Bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang ,dengan menciptakan lingkungan
yang dapat mencegah stress, misalnya memberikan masa adaptasi/aklimatisasi,
mem-berikan latihan prosedur penelitian untuk hewan. Semua prosedur dilakukan
oleh tenaga yang kompeten, terlatih, dan berpengalaman dalam
merawat/memperlakukan hewan percobaan untuk meminimalisasi stres. (Ridwan,
2013)
5. Express Natural Behaviour
Bebas mengekspresikan tingkah laku alami dengan memberikan ruang dan
fasilitas yang sesuai dengan kehidupan biologi dan tingkah laku spesies hewan
percobaan. Hal tersebut dilakukan dengan memberikan sarana untuk kontak sosial
(bagi spesies yang bersifat sosial), termasuk kontak sosial dengan peneliti;
menempatkan hewan dalam kandang secara individual, berpasangan atau
berkelompok; memberikan kesempatan dan kebebasan untuk berlari dan bermain.
(Ridwan, 2013)
3.2. Kriteria Hewan Uji
Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji harus dipertimbangkan
berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan manusia,
kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan
percobaan. Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang memenuhi persyaratan
tersebut diatas, sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang
digunakan harus sehat; asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta berat badan
harus jelas. Biasanya digunakan hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak
lebih dari 20%. Adapun kriteria hewan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kriteria hewan uji yang digunakan dalam uji toksisitas

No Jenis Hewan Bobot Minimal Rentang Umur


1 Mencit 20 g 6 – 8 minggu
2 Tikus 120 g 6 – 8 minggu
3 Marmut 250 g 4 – 5 minggu
4 Kelinci 1800 g 8 – 9 bulan

(PerKBPOM RI, 2014)


3.3. Kondisi Ruangan dan Pemeliharaan Hewan Uji
Ruangan yang digunakan untuk percobaan hendaknya memenuhi persyaratan
suhu, kelembaban, cahaya dan kebisingan yang sesuai dengan kebutuhan hidup
hewan uji, yaitu suhu ruangan diatur menjadi 22° ± 3° C, dengan kelembaban relatif
30–70%, dan penerangan 12 jam terang 12 jam gelap. Ruangan harus selalu dijaga
kebersihannya. Hewan diberi pakan yang sesuai standar laboratorium dan diberikan
tanpa batas (ad libitum).
Hewan dipelihara dalam kandang yang terbuat dari material yang kedap air, kuat
dan mudah dibersihkan, ruang pemeliharaan bebas dari kebisingan.
Luas area kandang per ekor hewan menurut Cage Space Guidelines For Animals
Used In Biomedical Research (2008) sebagai berikut:
a. Mencit (berat 15 – 25 g) : luas alas kandang 77,4 cm2, tinggi 12,7 cm
b. Tikus (berat 100 – 200 g) : luas alas kandang 148,4 cm2 , tinggi 17,8 cm
c. Kelinci (berat 2 – 4 kg) : luas alas kandang 270 cm2 , tinggi 40,64 cm
d. Marmut (berat 300 – 350 g) : luas alas kandang 387 cm2, tinggi 17,18 cm.
(PerKBPOM RI, 2014)
3.4. Cara Mengorbankan Hewan Uji
Ada beberapa cara mengorbankan hewan uji pada uji toksisitas; pada prinsipnya
hewan uji dikorbankan sesuai dengan kaidah-kaidah cara dan teknik pengorbanan
hewan sesuai dengan ethical clearence deklarasi Helsinki serta tidak mempengaruhi
hasil uji toksisitas.
a. Eutanasi
Sebelum hewan uji dikorbankan, dilakukan anestesi terlebih dahulu. Hewan
dipegang secara hati-hati tanpa menimbulkan rasa takut, lalu hewan di korbankan
dengan salah satu teknik mengorbankan hewan di suatu tempat terpisah dan dijaga
agar tidak ada hewan hidup di sekitarnya.
b. Teknik mengorbankan hewan uji ada beberapa cara antara lain :
1) Cara dislokasi leher untuk hewan kecil seperti mencit, tikus.
2) Cara anestesi secara inhalasi atau penyuntikan.
3) Cara pengeluaran darah melalui vena jugularis atau arteri karotis. (PerKBPOM
RI, 2014)
3.5. Cara Penandaan Hewan Uji
Penandaan hewan uji dilakukan dengan cara memberikan larutan asam pikrat
10% dalam alkohol. Penandaan dilakukan dengan tujuan membedakan antara hewan
satu dengan yang lainnya. Penandaan biasanya dilakukan seperti pada Gambar 1 dan
Tabel 2.

Tabel 2. Tempat Penandaan Hewan Uji


No Tanda Tempat
Hewan
1 A Kepala
2 B Punggung
3 C Ekor
4 A dan B Kepala dan punggung
5 A dan C Kepala dan ekor
6 B dan C Punggung dan ekor
7 A, B dan C Kepala, punggung dan ekor
8 D Kaki kanan depan
9 E Kaki kiri depan
10 F Kaki kanan belakang
11 G Kaki kiri belakang
12 - Tidak diberi tanda apapun
(PerKBPOM RI, 2014)
3.6. Cara Memegang (Handling) Hewan Uji
Cara memegang hewan uji jenis rodensia berbeda antara tikus dan mencit pada
saat pemberian sediaan uji secara oral. Pemegangan yang benar sangat diperlukan
sewaktu pemberian sediaan uji, karena pemegangan yang salah dapat berakibat fatal.
Cara pemegangan yang salah dapat menyebabkan antara lain: sediaan uji yang
diberikan tidak dapat masuk kedalam lambung tetapi masuk kedalam paru-paru,
sehingga mengakibatkan kematian hewan uji. Disisi lain, pemegangan yang salah
juga dapat mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja seperti tergigit oleh hewan.
Cara pemegangan hewan yang benar dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4.
(PerKBPOM RI, 2014)
4. Macam Uji Pra Klinik
4.1. Uji Toksisitas
4.1.1. Definisi
Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem
biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data
yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya
sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan
dosis penggunaannya demi keamanan manusia.
Uji toksisitas menggunakan hewan uji sebagai model berguna untuk melihat
adanya reaksi biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu
sediaan uji. Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak untuk
membuktikan keamanan suatu bahan/ sediaan pada manusia, namun dapat
memberikan petunjun adanya toksisitas relatif dan membantu identifikasi efek toksik
bila terjadi pemaparan pada manusia. (PerKBPOM, 2014)
4.2. Uji Farmakologi
4.2.1. Uji Farmakokinetik
a. Definisi
Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari
tentang kinetik absorbsi, distribusi, dan eliminasi (yakni ekskresi dan
metabolisme) obat. (Shargel, 2012)
b. Proses Farmakokinetik
1. Absorbsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah
saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Absorpsi
obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh, melalui jalurnya
hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. (Gunawan, 2009)
2. Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik
kejaringan dan cairan tubuh. Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung
beberapa faktor:
 Aliran darah
 Permeabilitas kapiler
 Ikatan protein
3. Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi
obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh. Obat
dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
 Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
 Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dan bisa
dimetabolisme lanjutan.
4. Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar
obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang
melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan
taraktusintestinal.
4.2.2. Uji Farmakodinamik
Istilah farmakodinamik merujuk pada hubungan antara konsentrasi obat
pada site aksi atau reseptor dan respon farmakologis, termasuk efek biokimia dan
fisiologis yang memepengaruhi interaksi obat dengan reseptor. (Shargel, 2012)
Tahap ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui secara lugas pengaruh
farmakologik pada berbagai sistem biologik. Bila diperlukan , penelitian
dikerjakan pada hewan coba yang sesuai, baik secara invitro atau invivo.
(Menkes RI, 1992)
5. Konversi Dosis Pemakaian
Dosis uji harus mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan yang
lazim pada manusia. Dosis lain meliputi dosis dengan faktor perkalian tetap yang
mencakup dosis yang setara dengan dosis penggunaan lazim pada manusia
sampai mencapai dosis yang dipersyaratkan untuk tujuan pengujian atau sampai
batas dosis tertinggi yang masih dapat diberikan pada hewan uji
(PerKBPOM, 2014)
Tabel 6. Konversi Dosis Obat
Dicari Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
Diketahui 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 1,5 kg 4 kg 12 kg 70 kg

Mencit 1,0 7,0 12,23 27,80 29,7 64,10 124,20 387,9


20 g
Tikus 0,14 1,0 1,74 3,9 4,20 9,20 17,80 56,0
200 g
Marmut 0,08 0,57 1,0 2,25 2,40 5,20 10,20 31,50
400 g
Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,40 4,50 14,20
1,5 kg
Kucing 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,20 4,10 13,0
1,5 kg
Kera 0,016 0,11 0,19 0,42 0,43 0,1 1,9 6,1
4 kg
Anjing 0,008 0,06 0,l0 0,22 1,24 0,52 1,0 3,10
12 kg
Manusia 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
70 kg
(Laurence & Bacharach, 1964)
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. Komisi Etik Penelitian Kesehatan.
Jakarta : Balitbankes-IT.
Bertram, G. alih bahasa Brahm U. dkk. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 12.
Jakarta: EGC.
BPOM. 2014. Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik IndonesiaNomor 7 Tahun 2014. Pengawas
Obat dan Makanan Indonesia Republik Indonesia.
Gunawan, Gan Sulistia. 2007. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan Departemen RI. 2006. Pedoman Nasional Etik
Penelitian Kesehatan Suplemen II Etik Penggunaan Hewan Coba. Jakarta :
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Meles, Dewa Ketut. 2010. Peran Uji Praklinik dalam Bidang Farmakologi. Surabaya:
Perpustakaan Universitas Airlangga.
Ridwan, Endi. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan.
Jakarta : Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Shargel, Leon. alih bahasa Fasich, Budi Suprapti. 2012. Biofarmasetika dan
Farmakonkinetika Terapan. Surabaya : Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas
Airlangga.
World Medical Association Declaration of Helsinki. 2008. Recommendation Guiding
Physicians in Biomedical Research Involving Human Subject; Juni 1964; Helsinki,
Finlandia; Amanded by 59th WMA. Seoul : WMA General Assembly.
.

Anda mungkin juga menyukai