Anda di halaman 1dari 60

Kepemilikan dan pengelolaan BBT

1. Semua bahan biologikyang dikumpulkan untuk penelitian kesehatan adalah milik


lembaga penelitian
2.  kepala lembaga penelitian bertanggung jawab tentang penyimpanan, pemanfaatan
dan pemusnahan BBT
3. BBT tidak boleh dijual atau diperdagangkan
4.  perlu diangkat seorang pemelihara yang memenuhi persyaratan untuk
mengilustrasikan koleksi BBT, yang jika telah berkembang dapat dijadikan
repositorium BBT
 PSP untuk pemanfaatan BBT diperboleh dengan 3 cara, yaitu
1.  PSP sudah tercakup dalam PSP waktu bahan biologik dikumpulkan
2.  dimintakan PSP baru dengan menghubungi setiap manusia sumber BBT jika PSP
yang pertama tidak mencakup penggunaan BBT.
3.  pada keadaan menghubungi manusia sumber BBT tidak praktis  dilaksanakan,
dapat diminta perkecualian dari KEPK
Etik penggunaan hewan percobaan 
Sebagai penelitian biomedik dapat diselesaikan di laboratorium dengan cara kerja In Vitro
Atau dengan menggunakan bahan hidup, seperti Galur sel dan  biakan jaringan. pada tahap
berikutnya seringkali diperlukan penelitian dengan menggunakan makhluk hidup kutu
agar keseluruhan Interaksi yang terjadi dalam tubuhnya dapat diamati dan dikaji.
keamanan dan khasiat obat mi misalnya, perlu diteliti dengan menggunakan hewan
percobaan sebelum penelitian layak dilanjutkan dengan mengikutsertakan relawan
manusia. sia obat baru tidak dapat digunakan untuk pertama kali langsung pada manusia,
sekalipun tanpa uji coba pada hewan percobaan setelah dapat diduga dengan wajar
keamanannya.
Hewan percobaan akan mengalami berbagai keadaan luar biasa yang
menyebabkan penderitaan, seperti rasa nyeri ketidaknyamanan, ketidaksenangan dan pada
akhirnya kematian. sebagai bangsa yang beradab hewan percobaan yang menderita untuk
kebaikan manusia, usia wajib dihormati hak asasinya dan diperlakukan secara manusiawi
 Penelitian kesehatan dengan menggunakan hewan percobaan secara etis hanya dapat
dipertanggungjawabkan , jika:
1.  tujuan penelitian dinilai cukup bermanfaat
2.  desain penelitian dapat menjamin bahwa penelitian akan mencapai tujuannya.
3.   tujuan penelitian tidak dapat dicapai dengan menggunakan subjek atau prosedur
alternatif
4.  manfaat yang akan diperoleh jauh lebih berarti dibandingkan dengan penderitaan
yang dialami hewan percobaan.
 beberapa prinsip dasar adalah sebagai berikut.
1. Untuk kemajuan pengetahuan biologi dan pengembangan cara lebih baik dalam
melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia diperlukan percobaan pada
berbagai spesies hewan yang utuh. ini dilakukan setelah pertimbangan yang
sesama karena jika layak, harus digunakan metode seperti mode  matematika,
simulasi komputer dan sistem invitro
2.  hewan yang dipilih untuk penelitian harus sesuai spesies dan mutunya, serta
jumlahnya hendak sekecil mungkin, namun hasil penelitian atas secara ilmiah.
3.  peneliti dan tenaga kerja lainnya harus memperlakukan hewan percobaan sebagai
makhluk perasa,  memperhatikan pemeliharaan dan pemanfaatan serta memahami
cara mengurangi penderitaan nya
4.  peneliti harus menganggap bahwa prosedur yang menimbulkan rasa nyeri pada
manusia, juga menimbulkan rasa nyeri pada spesies bertulang belakang termasuk
primata.
5.  pada akhir penelitian bahkan pada waktu dilakukan percobaan hewan yang
menderita nyeri hebat atau terus-menerus atau menjadi cacat yang tidak dapat
dihilangkan harus dimatikan tanpa rasa nyeri
6.  hewan yang akan dimanfaatkan untuk penelitian hendaknya dipelihara dengan
baik termasuk kandang, makanan, air, transportasi, dan cara menangani sesuai
tingkah laku dan kebutuhan biologis setiap spesies
7.  Pimpinan lembaga yang memanfaatkan hewan percobaan bertanggung jawab
penuh atas segala hal yang tidak mengikuti etika pemanfaatan hewan percobaan di
lembaga sebaliknya pimpinan wajib menjaga keselamatan dan kesehatan para
pengelola, dengan cara:
a.  Pemeriksaan kesehatan setiap tahun sekali dan memberikan imunisasi
terhadap penyakit penyakit yang mungkin ditularkan akibat pekerjaannya
b.  Menyediakan alat perlindungan seperti masker, sarung tangan, sepatu
karet/ pelindung sepatu tutup kepala pelindung mata, dan jas laboratorium.
c.  Menyediakan fasilitas fisik baik keuangan maupun peralatan yang
memenuhi persyaratan keamanan kerja sehingga mengurangi kemungkinan
terjadinya kec
d.  penanganan limbah yang baik dan benar untuk mencegah terjadinya
pencemaran
 dalam hal pemanfaatan percobaan untuk penelitian kesehatan digunakan prinsip 3R yaitu
Replacement, reduction, dan refinement.( hume and Russel, 1957)
1. Replacement
Ada dua alternatif untuk  Replacement, yaitu:
a.  Replacement relatif, yaitu tetap memanfaatkan hewan percobaan sebagai
donor organ jaringan dan sel
b.  Replacement Absolut yaitu tidak memerlukan bahan dari hewan melainkan
memanfaatkan Galur sel( Cell line)  atau program komputer
        2.   reduction
Mengurangi pemanfaatan jumlah hewan percobaan Anda sedikit mungkin dengan bantuan
ilmu  statistik program komputer dan teknik-teknik biokimia serta tidak mengulangi
penelitian dengan hewan percobaan apabila tidak perlu
3. Refinement
Mengurangi ketidaknyamanan yang diderita oleh hewan percobaan sebelum selama dan
setelah penelitian, misalnya dengan pemberian analgetik.

Etik penelitian epidemiologi


Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari frekuensi distribusi dan determinan suatu
masalah yang sedang berlangsung di masyarakat dan juga mempelajari aplikasi untuk
menyelesaikan, memecahkan, mengendalikan masalah tersebut (Bambang Sutrisna, 1997)
 epidemologi banyak berjasa meningkatkan kondisi kesehatan masyarakat, melalui:
1.  penelitian epidemiologi yang meningkatkan pemahaman tentang bahaya akibat
pengaruh buruk lingkungan fisik, ideologi, sosial dan perilaku terhadap kesehatan
2.  perubahan kebiasaan dan perilaku individu yang berkaitan dengan kesehatan
seperti merokok, diet, dan olahraga yang berpengaruh terhadap penyakit jantung,,
dan pemakaian sabuk pengaman yang berkaitan dengan cedera dan kematian
akibat kecelakaan lalu lintas
 penelitian epidemiologi terdiri atas
1.  penelitian eksperimental
 umumnya pada penelitian eksperimental ini subjek penelitian ditetapkan secara
acak, menjadi kelompok dan kelompok kontrol, hasil penelitian kedua kelompok
dibandingkan biasanya secara  Analisis statik.
 subjek penelitian eksperimental harus dimintakan PSP
2.  penelitian observasional
Penelitian epidemiologi observasional umumnya:
1.  memiliki risiko rendah terhadap subjek penelitian.
2.  tidak menggunakan interpretasi yang bercahaya
3.  sering hanya menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, dan
penunjang( pemeriksaan rontgen atau uji laboratorium)
 penelitian epidemiologi observasional ada tiga jenis yaitu
a. cross sectional (potong lintang)
Penelitian ini bertujuan menilai aspek kesehatan penduduk atau uji hipotesis
tentang penyebab penyakit atau faktor resiko yang dicurigai peneliti ini
memerlukan PSP.
b.   case control study
 pada penelitian ini, jika terjadi kontak langsung antara peneliti dengan  subjek
penelitian,  diperlukan PSP. jika penelitian dilakukan melalui peninjauan RM atau
data lain yang telah tersedia tidak diperlukan PSP
c.   cohort study
cohort study Disebut juga long Tun dinal atau property study. penelitian ini
biasanya melibatkan sejumlah besar subjek penelitian waktu penelitian nya lama
dan memerlukan biaya yang besar. oleh karena itu pada penelitian ini tidak
diperlukan PSP.
 pengecualian dan ketentuan-ketentuan diatas harus ditentukan oleh KPEK

Etik penelitian genetik


 proyek genom manusia telah menghancurkan berbagai temuan yang berkaitan dengan
informasi genetik, namun sehingga saat ini masih terdapat celah yang cukup lebar antara
penemuan dalam bidang genetik itu dengan kemampuan untuk mencegah penyakit dan
meningkatkan taraf kesehatan. Oleh karena itu penelitian berbasis populasi mengenai
peran variasi genetik dan interaksi gen/ lingkungan terhadap berbagai penyakit perlu terus
ditingkatkan( Yusuf 2007)
penelitian genetik dapat memberikan informasi mengenai kepekaan seseorang
terhadap penyakit dan dapat melakukan reduksi terhadap kemungkinan untuk menderita
penyakit di kemudian hari dengan upaya pencegahannya
setiap aktivitas penelitian genetik baik pada individu, keluarga ataupun populasi
dihadapkan pada masalah etik, hukum, Sosial dan agama mulai dari desain penelitian,
pengumpulan data, dan publikasi hasil penelitian, dari segi etik penelitian genetik
mempunyai ruang lingkup khusus 
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaporkan hasil penelitian genetik, yaitu:
1.  itu penelitian harus mempertimbangkan antara manfaat dan kerugian dalam
melaporkan hasil genotip kepada subjek
2.  perhatian khusus harus diberikan bila melaksanakan Penelitian pada keluarga,
lebih-lebih dalam hal memberikan informasi mengenai penyakit misalnya penyakit
yang diderita istri kepada suami
 penelitian genetika antara lain adalah:
1.  analisis   pedigree ( asal usul)
 analisis pedigree diperlukan untuk melihat insiden dan perjalanan penyakit dalam
keluarga. resiko berupa Informasi yang tidak diharapkan dapat menyebabkan stress
sosial dan psikologis stigma sosial dan diskriminasi di tempat kerja atau Oleh
ansuransi Oleh karena itu kerahasiaannya harus betul-betul dijaga.
2. Analisis lokasi dan fungsi gen yang menyebabkan penyakit dapat melihat analisis
pedigree atau analisis risiko spesifik pada populasi Masalah kerahasiaan
merupakan hal yang penting untuk mencegah beban psikososial
2.  penapisan genetik( genetik screening)
 penapisan genetik bertujuan untuk mencari individu Dalam populasi yang
mempunyai risiko atau kepekaan untuk menderita penyakit genetik( pembawa
sifat) sehingga beresiko untuk memperoleh anak yang menderita penyakit genetik
4.  uji prenatal
a.  uji prenatal hanya dilakukan untuk alasan medis yang kuat baik untuk anak
maupun untuk ibu. uji  prenatal tidak boleh dilakukan hanya untuk menyeleksi
jenis kelamin, kecuali bila ada kelainan kromosom X
b.  uji prenatal dapat dilakukan untuk mempersiapkan orang tua secara psikologis
bahwa anak yang lahir mungkin cacat untuk menderita penyakit.
 pada beberapa kasus uji prenatal dapat dilakukan untuk melindungi kesehatan ibu,
terutama kesehatan mental pada korban perkosaan

27
Penulisan ilmiah kedokteran kesehatan
Tujuan instruksional khusus
1.  menyebutkan kerangka dan unsur-unsur makalah ilmiah kedokteran/ atau
kesehatan 
2. mengurangi isi tiap-tiap unsur pada makalah ilmiah atau  aspek  etiknya
3.  menyebutkan Aspek etik pada publikasi makalah  ilmiah
 pokok bahasan
1.  penulisan makalah ilmiah kedokteran/ kesehatan.
2.  publikasi makalah ilmiah kedokteran/ kesehatan.
sub pokok bahasan
1.  Tujuan penulisan makalah ilmiah dan publikasi.
2.  kerangka dan unsur-unsur makalah ilmiah  kedokteran/ kesehatan, serta Aspek
etik nya.
3.  Aspek etik publikasi ilmiah
4.  contoh cara-cara penulisan rujukan

 timbulnya ilmu pengetahuan yang sangat pesat dewasa ini adalah berkat
akumulasi hasil-hasil riset yang dipublikasikan serta kontribusi ilmuwan ilmuwan
sebelumnya. setiap penelitian berkewajiban membuat publikasi hasil hasil risetnya
sehingga dapat dimanfaatkan oleh ilmuwan-ilmuwan lain serta masyarakat luas
.Selain itu, penelitian akan memperoleh umpan balik untuk memperbaiki atau
menyempurnakan riset sekaligus menguji pendapat atau buah pikirannya.
etik merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang disepakati oleh suatu
kelompok tertentu masyarakat, umumnya kelompok profesi. etik ditetapkan
berdasarkan ajaran agama, pandangan Tokoh-tokoh  atau para pakar dalam
bidangnya dan lazim berkaitan dengan nilai moral. bukan lah hal yang mudah
untuk seseorang menganggap suatu hal dapat diterima secara etik karena dapat
terjadi bahwa seseorang menganggap suatu bertentangan dengan etik. Walaupun
demikian, masyarakat ilmiah agak sepakat bahwa dalam penelitian dan publikasi
ilmiah perlu diperhatikan butir-butir dalam kode etik
yang dimaksud dalam tulisan ilmiah kodokteran/ kesehatan ialah laporan
hasil penelitian makalah ilmiah yang dipresentasikan pada pertemuan pertemuan
ilmiah atau akan dipublikasikan dalam majalah majalah kedokteran atau kesehatan
 kerangka dan unsur-unsur tulisan ilmiah
 kerangka tulisan ilmiah lazimnya sesuai dengan kerangka usul penelitian, laporan
penelitian lebih lengkap dan lebih panjang dari makalah ilmiah.
dalam suatu majalah ilmiah profesi kedokteran/ kesehatan makalah
biasanya disajikan dengan urutan sebagai berikut:
1. judul
2.  nama penulisan
3.  nama institusi/ Tempat penelitian
4.  abstrak
5.  pendahuluan
6.  bahan/ pasien dan cara kerja
7.  hasil
8.  diskusi
9. ringkasan
10.  kesimpulan
11.  ucapan terima kasih
12.  daftar rujukan
 segi etik dalam unsur-unsur tulisan ilmiah
1.  judul tulisan
judul tulisan ilmiah harus singkat,  tepat logic dan informatif mencakup penelitian
yang telah dilaksanakan. jumlah kata dalam judul paling banyak 12 kata, kalau
perlu dapat dipakai anak judul tidaklah etis membesar-besarkan judul,
mencantumkan judul yang umum dan sangat lu, padahal penelitian sangat terbatas
dan spesifik, misalnya, judul yang dicantumkan adalah masalah KB susuk di
Indonesia sedangkan penelitian Hanya berupa pengalaman KB susuk di RSU
Lubuk Pakam
2 .  nama penulisan
 penulisan dapat terdiri dari 1 orang atau lebih. jika lebih dari satu orang perlu ditetapkan
Siapa penulis utama dan Siapa penulis penyerta. penulis utama ialah seorang yang
Mencetuskan ide reset memiliki andil besar dalam riset itu, dan yang paling bertanggung
jawab dalam menyusun laporan atau makalah nya. jadi bukan seorang yang senior dalam
jabatan pangkat atau umur. penulis Pak Yola seorang yang turut melakukan riset dan
membantu dalam menyusun laporan atau pembuatan makalah, atau seseorang yang
bertindak sebagai supervisor, pembimbing penelitian jadi tidaklah etis jika direktur, kepala
bagian atau profesor/ dosen senior ingin dijadikan penulis utama sedangkan perannya
kecil. keikutsertaan seorang ilmuwan terkenal kadangkala diperlukan untuk menjamin
mutu riset apalagi jika penelitian masih muda dan belum mempunyai reputasi namun
tidaklah layak ilmuwan terkemuka tersebut dijadikan sebagai penulis utama sedangkan
fungsinya hanya sebagai konsultan. kejujuran sangat penting diperhatikan dalam
pencantuman nama-nama penulisan sehingga setiap orang namanya tertera sebagai
penulis, benar-benar mempunyai peranan dalam karya ilmiah tersebut untuk laporan kasus
dianjurkan agar penulis dibatasi 4 orang
3.  nama institusi/ Tempat penelitian 
Nama institusi yang dicantumkan biasanya tempat penulisan bekerja yang dapat
digabungkan dengan tempat riset. misalnya, fakultas kedokteran USU /RS Dr. pringadi
Medan. jika penulisan lebih dari 1 orang dan berbeda tempat bekerjanya, masing-masing
dicantumkan nama institusi/ tempat bekerjanya. ini biasanya pada proyek riset kolaboratif
antara berbagai perguruan tinggi/ lembaga penelitian.
4.  abstrak
 dibuat dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan maksimal 200 kata
abstrak berisi secara singkat seluruh unsur makalah terdiri dari judul nama-nama
penulis, nama institusi, tujuan penelitian, desain penelitian, bahan atau pasien cara hasil
dan kesimpulan secara singkat dapat dikatakan bahwa komponen abstrak terdiri dari
IMRAD (  introduction, methods, results, and discussion).
 dibawa abstrak biasanya dicantumkan kata kunci yaitu beberapa kata yang paling
penting dan menonjol dalam makalah itu untuk membantu penyusunan indeks.
5. Pendahuluan
Dalam pendahuluan makalah dicantumkan latar belakang masalah, termasuk tinjauan
pustaka, rumusan masalah dan hipotesis jika ada semuanya secara ringkas. pada laporan
riset yang lengkap bagian-bagian ini dibuat dalam Bab tersendiri. dalam tinjauan pustaka
harus diperhatikan agar kutipan-kutipan dari penulis lain disertai rujukan. penulisan
memiliki kewajiban moral untuk memberikan penghargaan terhadap hasil-hasil riset orang
lain sebelumnya yang dipakai untuk membantu reset sendiri. mengutip buah pikiran atau
pandangan peneliti lain tanpa mencantumkan sumbernya apalagi jika kutipannya panjang
dan kata-katanya sama benar hal ini berarti plagiat( membajak) menurut undang-undang
RI Nomor 6 Tahun 1982 tentang hak cipta, pengutipan ciptaan pihak lain hanya sampai
sebanyak 10% saja Yang Tidak Dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.
6. bahan/ pasien dan cara kerja
 dalam bagian ini diuraikan secara terinci bahan-bahan yang dipakai dalam riset atau
pasien-pasien yang dimasukkan dalam reset itu. dalam uraian tentang cara mencantumkan
dengan jelas Tahap demi tahap riset itu beserta produk prosedur nya  nya. untuk suatu
teknik pemeriksaan laboratorium yang telah beku cukup dicantumkan nama alat yang
digunakan dan metode yang telah dikenal oleh para ilmuwan kedokteran pada umumnya,
misalnya penentuan HB dengan metode sahli untuk metode yang tidak lazim dituliskan
secara rinci berikut rujukan metode tersebut. cara-cara pengambilan sampel dan
pengelolaan data metode statistik dan maknanya,  perlu pula dicantumkan dengan jelas
agar dapat dinilai Apakah kesimpulan yang diambil telah benar
7.  hasil
 data yang disajikan di bagian ini hendaklah relevan mendukung tujuan riset dan hipotesis,
serta tidak menyimpang dari judul, penulisan hendaknya bersikap jujur dan objektif dalam
mengajukan datanya, menggunakan data yang benar, jangan mengarang-ngarang atau
membuat data yang tidak ada seolah-olah ada dengan tujuan tertentu dan jangan
mengubah data agar sesuai dengan keinginan keinginan peneliti atau sesuai dengan
hipotesis. tidaklah pula etis melaporkan hal-hal yang tidak dilakukan dalam riset atau
mengubah data untuk menyenangkan dan menarik simpati para sponsor reset. singkat-
singkatan yang dibuat haruslah sesuai dengan anjuran  style manual for biological
sciences, misalnya mm ( milimeter),m(meter)mg(miligram)kg(kilogram) jangan memulai
kalimat dengan suatu bilangan numerik, tetapi tulisan dengan huruf, misalnya  84% tulis
delapan puluh empat persen
tabel harus diketik 2 spasi. nomor tabel berurutan sesuai dengan urutan
penyebutan dalam teks setiap tabel diberikan judul dan setiap kolom diberikan subjudul
singkat penjelasan ditempatkan pada catatan kaki seperti singkat dalam tabel dan hasil
statistik.
8.  diskusi
 dalam bagian diskusi dibahas hasil-hasil riset penulis dibanding dengan hasil hasil
penelitian lain perlu diperhatikan agar diskusi tidak menentukan hal-hal yang tidak
berkaitan dengan masalah tujuan riset dan hipotesis yang diajukan rujukan sumber
informasi harus dicantumkan setiap kali mengutip hasil riset atau pendapat penulis lain.
dalam mengajukan pendapatnya nya, penulisan datanya tidak menonjolkan hasil riset
sendiri dan menganggap rendah hasil riset orang lain hal ini dapat dihindarkan dengan
menggunakan kalimat kalimat pasif dan tidak memakai kalimat kalimat aktif
9 . ringkasan
 ringkasan berisi pokok-pokok informasi tulisan ilmiah telah dibahas secara singkat. kalau
abstrak bermanfaat bagi para pembaca yang belum membaca tulisan lengkap, ringkasan
mengutarakan kembali secara ringkas apa yang telah ditelaah dalam tulisan lengkapnya
tidak semua tulisan ilmiah membuat ringkasan.
10.  kesimpulan
 kesimpulan yang diambil pada akhir tulisan ilmiah, hendaklah didukung oleh data konkret
hasil riset penulisan sendiri. jangan menarik kesimpulan berdasarkan hasil riset orang lain
atau hasil tinjauan pustaka kesimpulan itu harus pula berkaitan erat dengan penyelesaian
masalah tegas menyatakan mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan
11. Ucapan terima kasih
 bagian ini memuat pernyataan terima kasih kepada orang atau instansi yang telah
memungkinkan dilaksanakan riset dan penulisan laporan atau makalah nya. tidaklah etis
bila tidak menghargai bantuan pikiran, waktu, tenaga, sarana, peralatan, bahan, dan dana
dari pihak lain untuk riset penulisan
12.  daftar rujukan
 apa yang diuraikan dalam laporan riset atau makalah ilmiah yang berasal dari sumber
informasi hasil riset orang lain haruslah dicantumkan rujukannya yang akurat tidak etis
jika pendapat seorang dikutip di dalam teks laporan atau makalah tetapi tidak ada
penulisan atau sumber lain dalam daftar rujukan. begitu pula sebaliknya tidak jika sumber
informasi terdapat dalam daftar rujukan tetapi tidak terdapat kutipan ataupun dari yang
bersangkutan di dalam teks sewajarnya pula rujukan yang dicantumkan itu relevan dengan
isi tulisan ilmiah yang disajikan dan benar didalamnya tidak etis mencantumkan  begitu
banyak  rujukan yang ternyata tidak terkait, bahkan tidak dibaca sama sekali. apabila jika
hanya menyalin daftar rujukan dari makalah penulisan lain yang makalahnya digunakan
sebagai rujukan
daftar rujukan yang ditulis pada bagian akhir di tulis ilmiah itu hendaknya sesuai
dengan pedoman yang berlaku pada waktu ini terdapat empat cara penulisan rujukan, yaitu
sistem nomor, sistem nama dan tahun publikasi, sistem kombinasi alfabet dan nomor, dan
sistem vancover  yang banyak digunakan dewasa ini ialah sistem Vancouver karena cara
penulisannya lebih ringkas, yaitu tidak menaruh titik dibelakang inisial nama penulisan
dan setelah singkat nama jurnal serta: setelah nama penulisan rujukan diberikan nomor
urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks bukan menurut abjad. 
Nama penulis dimulai dengan nama keluarganya, misalnya nama orang tua pada suku
Jawa,  nama marga, nama ayah, nama suami, atau nama tunggal, gelar kesarjanaan tidak
perlu dituliskan jika diminta oleh sponsor atau majalah ilmiah yang bersangkutan.
nama-nama majalah ilmiah kedokteran sebagai referensi ditulis dengan singkatan
sesuai standar yang l
azim digunakan index medicus, misalnya:
1.  Am Heart J adalah singkatan dari American Heart journal
2. Br J Plast Surg Adalah singkatan dari British journal of plastic surgery
3. Can J microbiol singkatan dari Canadian journal of microbiology
4. Eur J Clin Pharmacol Adalah singkatan Euro Pan journal of clinical pharmacology
5.   Int JCancer adalah singkatan dari international journal of Cancer
6.  Majo bstet gynecol Indones Adalah singkatan dari majalah obstetri dan ginekologi
Indonesia
7. Postrad Mad J adalah singkatan Prosedur audit medical journal
setelah majalah dicantumkan tahun penerbitan, nomor volume halaman awal dan
akhir setiap makalah
 berikut adalah contoh-contoh cara menuliskan berbagai macam tulisan rujukan sesuai
dengan Vancouver.
1) Artikel standar
Linjakumpu T, Harti Kainen S, Klaukka T . USe oifmedtbahbn: andpolgharmaqt are
t:ncreasing among eIderly. J of Chn ical Epidemio Iog 2 002 ; 5 5 :8 09- 1 6.Bila
jurnlah penulis lebih dari 6 orang, tulis nama 6 penulis pertama diikuti et al, misalnya:
Parkin DM, Clapon D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood
leuhcmia m Eurrpe alher Chemohyl: 5 yearfollou up. Br J Cancer 1996;73:1006
2) Organisasi sebagai penulis
American Society for Reproductive Medicine. Reaised Classtfcahbn of Endometnbstj.
Fertil Sten| 1997 ;67 :819 -20.
3) Tannpa nama penulis
Cancer in South Africa (Editorial) S Afr Med J 1994; B4:I5
4) Buku yang dihrlis oleh:
a. Perseoranga.
Amir A. IImu Kedokteran Forensih Edisi III, cetakan III, Penerbit Ramadhan,
Medan,2004.
b. Editor
Norman IJ, Redfern SJ, Editors. Mental Heahh Care 1fir Elderly Petple,New
Yorh Churchill Livingstone; 1996
c. Organisasi
WHO Study Group.The hypertensive disorders in pregnancy In: WHO Technical
Report Series No. 758. World Health Organization, Geneva1987.
5) Bab dalam buku
Hanafiah MJ. Haid dan siklusnya, dalam Wiknyosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadi
T (Editor) Ilmu Kandungan, Edisi kedua,Jakarta Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardj o, 1999 :t03-24
6) Prosiding dalam konferensi
Said U, Prarriono H, Dewata L. Dismenorea di lingkungan siswi SPK dan bidan di
Surabaya, dalam Saifuddin AB, Moeloek FA. Prosiding PIT POGI I,Jakarta 28-27
Juni 1981:333-8.
7) Makalah dalam konferensi
Suwondo A. Gambaran klinik tuberkulosis paru pada manula. Simposium
Tuberkulosis pada manula, FKUI, Pendidikan Berkesinambungan Ilmu Penyakit
Dalam,Jakarta, 13 Oktober 1990.
8) Disertasi
Jacoeb TZ.Faktor imunoendokrinologis dan seluler lingkungan mikro zalir peritoneal
yang berperan pada infertilitas idiopatik wanita. Disertasi. Jakarta, Universitas
Indonesia, 8 Agustus 1990.
9) Artikel dalam Koran
Lee G. Hospitalizahlon h'ed to ozone pollution: study eshmates 50.000 annually,Tlte
Washr:ngton Post 1996 Jun 21, Secl A:3 (C01.5)
10) Materi elektronikClarke AM, Heck AM . A Duease ofDiagnostic and Therapeuhlc
Contrsaersy (on Iine), http:/ /www.uspharmacis t.com./ ce/ stevepsjohnson
4esson.cfrn diakses tanggal 23 Maret2004.
11) Untuk materi yang belum diterbitkan, dirujuk sebagai unpublished obser oahbn.
12) Makalah yang telah diterima untuk publikasi, tetapi belum terbit, dapat dituliskan "in
presf', misalnya Leshner AL Molecu/ar mechanisms o1f cocatne addicnbn. N Engl J
Med. In press 1996
13) Komunikasi pribadi Q2ersonal communication) harus disebutkan nama sumber dan
tanggal komunikasi.
14) Materi audiovisual
HIV + AIDS: the facts and the future (videocassette). St Louis (MO): Mosby-Year
Book, 1995
15) Jika pernyataanseorang peneliti dikutip dari makalah penulis lain, selayaknya
dituliskan sebagai rujukannya, "dalam X" atau "dikutip dari X" dalam tanda kurung,
16) Abstrak
Jika hanya'labstrak" suatu makalah yang diperoleh, selayaknya dicantumkan
kata'Abstrak" dalam tanda kurung

publikasi

Salah satu prinsip dalam pengembangan Iptek adalah adanya penyebarluasan hasil-hasil
penelitian melalui presentasi di pertemuan-pertemuan ilmiah yang diikuti selanjutnya dengan
publikasi. Peneliti wajib berbagi informasi dengan sejawat-sejawatnya sekaligus memberi
kesempatan dikritik oleh peneliti lain, sehingga dapat menguji pendapat sendiri dan
menghargai pendapat orang lain. Umpan balik yang diberikan para sejawatnya merupakan
sumbangan yang b erharga untuk memperbaiki riset atau laporan,/makalah yang telah dibuat.

Dalam mempublikasikan hasil-hasil riset, hendaknya diperhatikan aspek etik berikut.

1. Sebaiknya hasil riset dipresentasikan lebih dahulu di forum ilmiah untuk mem-
peroleh tanggapan, pembahasan, kritik dan saran-saran perbaikan sebelum
dipublikasikan.
2. Pemuatan ilustrasi, seperti gambar, tabel, atau grafik ying dikutip dari penulis lain,
sebaiknya minta izin dari pemiliknya jika dipersyaratkan demikian.
3. Pemuatan foto wajah seseorang haruslah seizin yang bersangkutan dan bagian
matanya harus ditutup, agar tidak dikenali.Jika yang ingin ditunjukkan penyakit di
sekitar bagian mata, tidak perlu ditampilkan seluruh wajahnya.
4. Pemuatan foto bayi, anak, dan orang dewasa yang menderita penyakit jiwa harus ada
izin orang tua/wali atau keluarganya.
5. Pada foto yang dimuat tidak dicantumkan nama pasien, baik lengkap maupun
singkatan dan nomor pendaftarannya.
6. Manusluip tidak dikirimkan ke lebih dari satu majalah sekaligus. Demikian pula
halnya dengan tulisan yang telah dimuat pada satu majalah, tidak dikirimkan lagi ke
majalah lain untuk dipublikasikan kembali.
1. Ameln F. Korelasi Hukum Kesehatan, Etik Kesehatan dan Kode Etik Kedokteran,
Majalah Gema No.25, 1981.
2. Ameln F, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya,l99l.
3. Amir A. Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Fakultas Kedoktean USU Medan
1 995.
4. Assi Ba'i ZA. Dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta
1991.
5. Aswin S. Etika dalam Penelitian, dalam ljokronegoro A. Utama B, dan
Rukmono B. (Ed.) Dasar-Dasar Metodologi Riset Ilmu Kedokteran, Dep. P
dan K Konsorsium. Ilmu Kedoktera4 J akarta !9 81.
6. Azwar A. Profesi Kedokteran, Thntangan dan Harapan, Ikatan Dokter
Indonesia, Jakarta 19 9 l.
7. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pedoman Cara Uji l(inik yang Baik
(CUKB) di Indonesia, Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial,Jakarta 2001
8. Bagian Neurologi dan Psikiatri Fakultas Kedokteran UNAIR. Seksi Psikiater Etika
dan Moral Kedokteran, Rangkaian Ceramah, $urabaya, 1967.
9. Bagian Hukum, Organisasi dan Humas Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik,
Departemen Kesehatan R..I, Himpunan Peraturbn Perundang-undangan di Bidang
Pelayanan Medik, Jakart a, 200 6
10. Beauchamp TL, Children JF. Principles of Biomedical Ethics, Oxford University
Press, New York, Oxford 1979.
11. Bertens K. Perspektif Etika, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,200l.
12. Bertens K. Aborsi Sebagai Masalah Etika, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia,Jakarta, 2002
13. . Biben A. Alternatif: Bentuk Informed Consent Dalam Praktik Penelitian
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS dr. Hasan Sadikin,
Bandung 2005.
14. Budiyanto A, Sudiono S, Purwadianto A, Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal
Gangguan Psikoseksual
15. Budiyanto A, WidiatmakaW, Sudiono S dkk.Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi
Cetakan Kedua, bagian Kedokteran Forensik FKUI,Jakarta,1997.
16. Chellilah DES. Legal Implication of Medical Practice. A Legal View dalam Current
Problem in Legal Medicine, A Publication ofThe Medicolegal Society ofSingapore,
1981.
17. Cheng CT. Legal Implications of Medical Practicb. A medical View, dalam Current
Problem in Legal Medicine, A Publication ofThe Medicolegal Society ofSingapore,
1981.
18. Council of International Organization of Medical Science International. Guidelines
for Etical Review of Epidemiological studies, Geneve, 1991.
19. Council for International Organization of Medical Sciences (CIOMS) in
collaboration with the World Health Organization 0A,TIO) International Ethicals
Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects, Geneva, 1993.
20. Council for International Organizations of Medical Sciences (CIOMS) International
Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human
21. Hukum Kesehatan Kedokteran (Sudut pandang Praktikus), Editor Suharto G dan
Prasetyo A, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Diponegoro, Semarang 2004
22. Darmadiputra MS. Kajian Bioetik 2005, Cetakan 1, Unit Bioetik Fakultas Kedokteran
Univ. Airlangga, Surabaya, 2005
23. Departemen Kesehatan RI Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Thhun 1995 Tentang
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, J akarta 199 B
24. Departemen Kesehatan RI, Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. Pedoman
Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Jakarta 2005.
25. Departemen Kesehatan RI, Himpunan Peraturan. Perundang-undangan Bidang
Kesehatan, Buku I, II, III, ry, V,Jakarta, 2006.
26. Departemen Kesehatan RI, Di{en PPM dan PLP. Petunjuk Pelaksanaan Undang-
undang Wabah (Himpunan Peraturan Perundang-undangEr Tentang Penanggulangan
KLB/W'abah Penyakit Menular), Edisi I, Jakart a 1991.
27. Departemen Kesehatan RI, Dirjen PPM dan SLP. Petunjuk Pelaksanaan Undang-
undang Wabah (Himpunan Peraturan perundang-undangan Tentang Penanggulangan
KLB,/W'abah Penyakit Menular), Edisi II, Jakart a 799 4.
28. Dirjen Pelayanan Medis. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Rekam Medis Rumah
Sakit. Depkes. RI,Jakarta 1990
29. Dewan Pelindung Susila Kedokteran (Hanafiah MA, Ketua). Naskah Susila
Kedokteran, J akarta 19 69.
30. Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM dan
PLM), Laporan Hasil Kegiatan Thhun 1995/l996,Jakarra,1996.
31. Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM dan
PLM), Petunjuk Pelaksanaan Proyek-Proyek Daerah di Lingkungan Thhun 199 6 /
1997, Jakarta 199 6.
32. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. ProceedingPertemuan Nasional IVJBHKI
(faringan Bioetika dan Humaniora Kesehatan Indonesia), Airlangga University Press,
2006.
33. Fuady M, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum MalpraktikDokter), PT, Citra Aditya
Bakti, Bandung 2005.
34. Gunawan, Memahami Etika Kedokteran, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,1992.
35. GuwandiJ. Dokter dan Hukum. Monella,Jakarta 1988.
36. GuwandiJ. Dokter dan Rumah Sakit. Fakultas Kedokteran Ul,Jakarta 1991.
37. Guwandi J. Etika dan Hukum Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 1991.
38. GuwandiJ. Malpraktik Medik. Balai Penerbit Fakulas Kedokteran UlJakarta 1993.
39. Guwandi J. Kelalaian Medik (Medical Negligence), Edisi II, Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Ul, J^karta L99 4.
40. GuwandiJ. 208 TanyaJawab Persetujuan Tindakan Medik (In1frnned Consen), Edisi
II. Fakulas Kedokteran Ul,Jakarta t994
41. Guwandi J. Merangkai Hospital Bylazus Rumah Sakit Anda dengan HBL versi
Indonesia, Fakultas Kedokteran UI,2004
42. Guwandi J, Hukum Rumah Salat (Hospital law), Fakultas Kedokteran
UI,Jakarta2005.
43. GuwandiJ. Mediml Ermrdan Hukum Medis, Fakultas Kedokteran Ul,Jakarta,2005
44. Hamdani N. Ilmu Kedokteran Kehakiman, Edisi Kedua, Cetakan I, PI
Gramedia,Jakafta L992.
45. Hanafiah MJ. Etik Penelitian Kesehatan, Penataran Tenaga Peneliti Tingkat Lanjut,
Universitas Sumatera Utara, Medan 3-8 Maret 1986.
46. Hanafiah MJ. Bunga Rampai Etika Kedokteran. USU Press, Medan 1991.
47. Hanafiah MJAmir A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Edisi 3, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999.
48. Hanafiah MJ. Sanksi Pelanggaran Etik dan Etikolegal Profesi Kedokteran, PIT XI
POGI, Semarang 1999.
49. Hanafiah MJ. Keterkaitan aspek etik, hukum dan sosial dengan aborsi, bayi tabung
dan adopsi. Seminar Ikatan Bidan Indonesia, Medan 2000,
50. Hanafiah MJ. Unsur bisnis memasuki profesi kedokteran. Quo Vadis Etika
kedokteranl Seminar Etika, l]ltah RS Santa Elisabeth Medan, 7 Oktober 2000.
51. Hanafiah MJ. Kedudukan, fungsi dan komponen Komite Etik Penelitian Kesehatan,
Seminar Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran USU, Medan 2001.
52. Hanafiah MJ, Amir A, Syamsul Bahri T dan Suwarto. Abortus ditinjau dari sudut
pandang Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Seminar "Abortus yang Tidak
Aman", Medan 24Maret200l.
53. Hanafiah MJ. Pembinaan Kerja Sama Tim Kesehatan Berlandaskan Etika Profesi,
Seminar Kolegialitas dalam Pelayanan Kesehatan, HUT Fakultas Kedokteran USU
ke-50, Medan 9 Agustus, 2002.
54. Hanafiah MJ, Kurikulum Bioetika, Hukum Kesehatan dan Humaniora Flakultas
Kedokteran USU, Pertemuan Nasional ll Bioetika dan Humaniora, Bandung 31
Oktober- 2 Nopember 2002.
55. Hanafiah MJ, Beberapa Isu Bioetika dalam Obstetri dan Ginekologi, Pidato Ilmiah
Purnabakti Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran USU, Medan 2003.
56. Hanafiah MJ. Aspek Etik Penelitian Kerja Sama Internasional Bidang Kesehatan,
Rakernas Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Jakarta, 2005.
57. Hanafiah N4J, Etika Terapan Profesi Kedokteran, Seminar "Medical Ethics
incorporate with Medical Law, Health and Human Right," Medan, 22 Juli 2006.
58. Hanafiah N4J. Sekali lagi: Pentingnya Irformed Consent dalam Penelitian Kesehatan,
Pertemuan Nasional IV Bioetika dan Humaniora, Surabaya, 29 Nopember - 2
Desember 2006.
59. Hanafiah MJ. Tingkat Perkembangan Pendidikan dan Pengajaran Etika Kedokteran
Saat ini, Seminar Etik Ilmu Pengetahuan, Komisi Ilmu Kedokteran; Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta 2006.
60. Hasil Seminar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan, PORMIKI Daerah Sumatera
Utara, Medan 1990,
61. . Herkutanto. Penerapan Etik dan Aspek Medikolegal di Rumah Sakit, Dirjen
Pelayanan Medik, Depkes, RI, 1994.
62. Heuken A, Ensiklopedi Etika Medis. Yayasan Cipta toka Caraka, Jakarta 1979
63. Husein K. Segi-segi Etis dan Yuridis lrfonncd ConsenL Pustaka Sinar
Harapan,Jakarta 1993,
64. Ikatan Dokter Indonesia Pengurus Besar. Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia No. 221/PB /A.4/ 0 4/2002 tentang Penerapan Kode Etik
Kedokteran Indonesia, MKEK IDI,Jakarta, 2002.
65. Isfandyarie A. Malpraktik dan Risiko Medik dalam Kajian Hukum Pidana Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta 2005.
66. . Isfandyarie A. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Buku Prestasi
Pustaka Publisher, Jakarta 2006.
67. Isfandyarie A, Afandi F, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter,Buku II,
Prestasi Pustaka Publisher,Jakarta 2006.
68. Jonsen AR, Siegler M, Winslade WJ, Clincal Ethics. Third edition. McGraw-Hill,
Inc, New York, 1992.
69. KansilCTS. Pengantar Hukum Kesehatan Indonesia. Rinekaapta 1991.
70. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI), Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia,2001
71. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan RL Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan, Suplemen I, Etik Pemanfaatan Bahan Biologik Tersimpan
@BT),Jakarta2006
72. Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan RL Pedoman Nasional Etik Penelitian
Kesehatan, Suplemen II, Etik Penggunaan Hewan Percobaan, Jakarta2006
73. Laporan Hasil Rakernas I dan Kumpulan Makalah Seminar Nasional I dan Rakernas I
PORMIKI.Jakarta, Agustus 1993.
74. LeiboJ. Bunga Rampai Hukum dan Profesi Kedokteran Dalam Masyarakat Indonesia.
Liberty, Yogyakarta 1985.
75. Loisell DW. and Williams H. Medical Malpractice Vol. I Matthew Bender, New
York 1986.
76. Lubis HR, Amir A, Lubis K, Dalimunthe F, (Ed.) tansplantasi Organ Tubuh Manusia.
PERHUKI Wilayah Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Medan 1992.
77. Maertens G, de Wachter M, Bone E, Harvey SC, Bertens K. Bioetika, Refleksi atas
Masalah Etika Biomedis, Penerbit PT. Gramedia,Jakarta.
78. Mardiono M, Loedin AA, Rukmono B, Husin DM, Hanafiah MJ. Pandangantentang
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kedokteran Indonesia, AkademiIlmu Pengetahuan
Indonesia, Komisi Bidang Ilmu Kedokteran, Jakarta, 1995.
79. Martowg-ono dkk., Informed Consent. Forum Diskusi R.S. PertaminaJakarta bekerja
sama dengan Fak. Hukum Ul,Jakarta 1991.
80. Menteri Kesehatan R.I. Keputusan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor
1333,/Menke s/ SK/X/2002 tentang Persetujuan Penelitian KesehatanTerhadap
Manusia.
81. Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia. Kode Etik Dokter Kesehatan
Indonesia, Prigen, 16 Nopember 1995.
82. Perhimpunan Profesional Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Indonesia
(PORMIKI), Laporan Hasil Keputusan Kongres l,Jakafia 1992.
83. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Kode Etik POGI, Jakarta 2002.
84. Pertemuan Ilmiah Tentang Hukum Kedokteran, diselenggarakan oleh PERHUKI.
IDl, dan PERSI, Medan 1986.
85. PraktiknyaAW., Sofro ASM.Islam, Etika dan Kesehatan, CV. EkoJaya,Jakarta 1986.
86. Purwanto AP, Hadijanto BT, Wijaya I. Pedoman Penyelenggaraan Praktik Dokter,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 2006.
87. Samil, RS., Kode Etik Kedokteran Indonesia. Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta 1980.
88. Samil RS. Rekomendasi dan Pandangan mengenai etik terutama dalambidang-bidang
reproduksi manusia. Makalah Mimbar 1985, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Ujung Pandang, TJuli 1985.
89. Samil RS. Etika Kedokteran Indonesia, edisi kedua, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Jakarta 200t. .
90. Samil RS. Masalah Bioetik dalam Rekayasa Genetika Kedokteran,
PertemuanNasional II Bioetika dan Humaniora. Bandung 31 Oktober - 2 Nopember
2002.
91. Samsuhidayat S.S. Review Peraturan Perundang-undangan Mengenai Etik
Kesehatan, Raker VI Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan, Jakarta, ll Mei
2005.
92. Sastroasmoro S. Logika dalam Kedokteran: Dari Hippocrates, Ibnu Sina, hingga
Wacana "Evidence Base Medicine", Pidato pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru
Besar Tetap dalam Ilmu Kesehatan Anak pada Fakultas Kedokteran Univ. Indonesia,
Jakarta 2000.
93. Sastrowi;'oto S, Padmawati RS, Mahardinata NA, Sasongko TH (ed). Proceeding
Bioethics 2000. an International Exchange, First Edition Center for Bioethics and
Medical Humanities, Yogy?ka;rta,2002
94. Satrio. TitikrTitik Terang dalam Profesi Kedokteran di Indonesia, Cermin Dunia
Kedokteran, 1980.
95. . Senoaji O. Tbnggung Jawab Dokter dan Aspek Hukum. Temu Ilmiah V PERHUKI
Wilayah Sumatera Utara Medan.
96. . Shannon TA. An Intoduction to Bioethics (Pengantar Bioetika); diterjemahkan oleh
Bertens K. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2}AL
97. . Sing KT, Rahasia Pekel'aan Dokter dan Advokat, PT Gramedia, Jakarta t978.
98. Soekanto S. Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, dalam Kerangka Hukum
Kesehatan, Mandar Maju, Bandung, 1990.
99. Sri Oeniijati dkk., Pedoman Penelitian Kedokteran Indonesia, Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta 1987.
100.Oemyati dkk. Kode Etik Penelitian Kedokteran, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta
1982.
101.Subiyanto. Etika dalam Teknologi Reproduksi Buatan. Pertemuan Nasional II
Bioetika dan Humaniora, Bandung, 31 Okt - 2 Nov. 2002.
102.. Subpokja Pengobatan dan Perawatan Komite Nasional Penanggulan gm HN / AIDS,
Pedoman penatalaksanaan, Perawatan, Pengobatan dalam Rangka Penanggulangan
AIDS. Depkes. F.I, Jakarta 1997.
103.Suma'mur P.K. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Ke{a. CV. Haji Masagung, Jakarta
1992.
104.Suparto P, Hariadi R, Daeng HB, Sukanto H, Annaningsih HA. Etik dan Hukum di
Bidang Kesehatan, Komite Etik Rumah Sakit, RSUD Dr. Sutomo,Surabaya 2001
105.Supriadi. Hukum Lingkungan di Indonesia, Sebuah Pengantar, Sinar
Grafika,Jakarta,2004.
106..Syamsul Bahri T, Beberapa Aspek Hukum dari tansaksi Terapetik antara Pasien dan
Dokter, Pertemuan Ilmiah Tentang Hukum Kedokteran, Medan 1986.
107. Tirhir T, Medical Ethics, Manual Praktis Etika Kedokteran untuk Mahasiswa, Dokter
dan Tenaga Kesehatan, PT, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta2\\3
108.Tengker F, Mengapa Eutanasia?, Kemampuan Medis dan Konsekuensi Yuridis,
Penerbit Nova, Bandung1990.
109. The American College ofObstetricians and Gynecologists. Ethics in Obstetrics and
Gynecology, Washington DC, 2002.
110.Tjokronegoro A, Baziad A. (Ed.) Penelitian Obat tadisional, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakafta, 1992,
111.Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, CV EkoJaya, Jakarca
L992.
112.Undang-undang Republik Indonesia No. 29 Thhun 2004 tentang PraktikKedokteran,
2004.
113.Van der Mijn WB.Issues on Health Law. Temu Ilmiah PERHUKI dan IDI
BPHN,Jakarta 1986.
114.Vaux K. Biomedical Ethics, Morality for the New Medicine, Harper and Row
Publishers, New York, 1976.
115.Vayena E, Rowe PJ, Griffin PD (ed). Current Practices and Controversies In
116.Assisted Reproduction, World Health Organization, Geneva, 2002. 116.WalterJK,
Klein EP (Editors);The Story ofBioethics, Georgetown UniversityPress, Washington
DC, 2003.
117.Wasisto B. Etika dalam Pemanfaatan/Terapan IImu Kedokteran, RapatLengkap
Akademi IImu Pengetahuan Indonesia Komisi Bidang IImuKedokeran, J akarta, 2
Desember 2 005
118.Wibisana W. Etika Dokter Kesehatan Kerja, PDKI,Jakarta'
119.Widjaya G, Yani A. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta 2000.
120.Wikonyosastro H. Segi-segi Etika Kedokteran dan Beberapa Aspek Hukum,
Khususnya di Bidang Obstetri dan Ginekologi, Makalah Mimbar '1985,Yayasan Bina
Pusaka Sarwono Prawirohardjo, Ujung Pandang 7Juli, 1985.
121.World Health Organization. Indigenous People dan Participatory Health Research,
Planning dan Management, Preparing research agreements, Geneve,2005.
122..World Health Organization. Operational Guidelines for Ethics Committeethat
Review Biomedical Research, Geneva 2000. .
123.Yusuf I. Etik Riset Genetik, Raker Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta, 2007.
CONTOH SOAL-SOAL UJIAN

ETIKA KEDOKTERAN DAN HUKUM KESEHATAN

I. Pilihlah satu jawaban yang benar dengan mencanturnkan satu huruf abjad di lembar
jawaban.

1. Etika kedokteran mempunyai ciri-ciri berikut, KECUALI:

A. Tidak jelas benar mana yang boleh dan mana yang tidak boleh
B. Berlaku untuk umum
C. Tidak tercantum dalam undang-undang
D. Jika terjadi pelanggaran, sanksi formilnya belum ada
E. . Bukti-bukti tentang pelanggaran etik, sering susah sekali diajukan,

2. Yang TIDAK merupakan kewajiban dokter terhadap pasien ialah;

A. Kewajiban melindungi hidup makhluk insani


B. Kewajiban memegang teguh rahasia jabatan
C. C, Kewajiban memperlakukan teman sejawat sebagaimana diri sendiri ingin
diperlakukan
D. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi medik
E. Semua yang disebut di atas benar

3. Seorang dokter dapat memberikan surat keterangan berikut ini kepada pasien, KECUA|,I:

A. Suratkelahiran/kematian
B. Vsum et Repertum
C. Surat kesehatan untuk nikah
D. Surat keterangan cuti hamil
E. Bukan salah satu yang disebut di atas

4. Pernyataan tentang pengguguran kandungan (tgrminasi kehamilan) atas indikasi medik


terdapat dalam:

A. Deklarasi Geneva (1948)


B. Deklarasi Helsinki (1964)
C. Kode Neurenberg (1947)
D. Deklarasi Oslo (1970)
E. Deklarasi Sydney (1968)

5. Pernyataan tentang riset klinik dicantumkan dalam:

A. Deklarasi ry'atikan
B. Deklarasi Helsinki
C. Deklarasi Tokyo
D. Deklarasi Sydney
E. Deklarasi Geneva

6. Hak-hak pasien adalah semua tersebut di bawah ini, KECUALI:

A. Memperoleh pelayanan yang manusiawi


B. Memperoleh penjelasan tentang diagnosis dan terapi terhadapnya
C. Dirujuk kepada dokter spesialis jika ada indikasi
D. Semua mengenai penyakitnya diperlakukan sebagai rahasia pekery'aan .dokter
E. .Menolak untuk ikut dalam penelitian.

7. Blla dokter telah mendapat surat izin praktik, pada waktu menerima pasien dan menyetujui
untuk mengobatinya secara hukum sesungguhnya telah terjadi:

A. Persetujuan perikatan
B. Perjanjian hubungan pasien
C. tansaksi terapeutik
D. Ikatan hubungan dokter-pasien
E. Semua yang disebut di atas benar

8. Beberapa hak yang dimiliki dokter antara lain:

A. Memperoleh informasi yang benar dan lengkap dari pasien


B. Menolak tindakan medik yang bertentangan dengan hukum, aga,ma dan etik
C. Ketentraman dalam bekerja
D. Mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan
E. Semua yang disebut di atas benar

9. Undang-undang RI No. 23 Tirhun 1992 adalah undang-undang tentang:

A. Malpraktik
B. Rekam Medis
C. Persetujuan Tindakan Medik
D. Kesehatan
E. Bukan salah satu yang disebut di atas

10. Dalam pelayanan kesehatan dokter harus belpegang pada:

A. Kode etik profesi


B. Lafal sumpah dokter
C. Ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku di bidang kesehatan
D. Jalinan komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga
E. Semua yang disebut di atas benar

11. Prinsip mendahulukan kepentingan pasien dari kepentingan diri sendiri di bidang
kesehatan dikenal sebagai:

A. Beneficence
B. Primum non-nocere
C. Altruism
D. Autonom
E. Justice

12. Seorang dikatakan menjalankan suatu profesi bila mempunyai ciri-ciri,

KECUALI:

A. Mendapatkan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan yang


A. intensifdan ekstensif
B. Mempunyai kode etik profesi
C. Para anggotanya bergabung dalam ikatan profesi
D. Berpegang teguh pada prinsip efektif dan efisien
E. Semua yang disebut di atas benar

13. Tujuan riset kedokteran adalah yang termasuk di bawah ini, KECUALI:

A. Menemukan obat/alat kedokteran baru


B. Menguji kebenaran suatu teori
C. Mengembangkan penatalaksanaan perawatan/pengobatan
D. Memenuhi kepentingan sponsor
E. Mengembangkan alat-alat kedokeran

14. Pengertian sehat dalam Undang-undang RI No. 23 tahun 1992 tentang

Kesehatan adalah, KECUALI:

A. Bebas dari penyakit


B. Bebas dari gangguan jiwa
C. Dapat bergaul baik dengan masyarakat
D. Dapat hidup produktif secara ekonomi
E. Bukan salah satu yang disebut di atas

15. Dalam rangka mewujudkan kesehatan yang optimal bagi masyarakat, pe- merintah
menerbitkan beberapa ketentuan hukum, antara lain:

A. Undang-undang RI. No. 23 Thhun 1992 tentang Kesehatan


B. Permenkes No. 585 Thhun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik
C. Permenkes No 749a Thhun 1989 tentang Rekam Medis
D. Undang-undang RI. No. 29 Thhun 2004 tentang Praktik Kedokteran
E. Semua yang disebut di atas benar

16. Undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditujuk4n

untuk:

A. Memberikan perlindungan kepada penerima pelayanan kesehatan


B. Memberikan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan,
A. dokter dan dokter gigi
B. Memberdayakan organisasi profesi
C. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan '
D. Semua yang disebut di atas benar

17. Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:

A. Memberikan perlindungan kepada penerima pelayanan medis


B. Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh
tenaga kesehatan
C. Memberikan kepastian hukum kepada penerima dan penyelenggara pelayanan medis
D. Hanya A dan B yang benar
E. Semua yang disebut di atas benar

18. Konsil Kedokteran memiliki tugas-tugas tersebut di bawah ini, KECUALI:

A. Melakukan registrasi tenaga medis


B. Melakukan penapisan terhadap Iptek kedokteran baru yang akan di-terapkan di
Indonesia
C. Menetapkan standar profesi kedokteran
D. Melakukan pembinaan terhadap penyelenggara praktik kedokteran
E. Semua yang disebut di atas benar

19. Wewenang Konsil Kedokteran Indonesia adalah yang disebut di bawah ini,

KECUALI:

A. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi


B. Menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi
C. Menjatuhkan sanksi hukum kepada dokter dan atau dokter gigi
D. Mengesahkan standar kompetensi dokter dan doker gigi
E. Mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi

20. Pernyataan yangbenar mengenai Surat lzin Praktik adalah yang disebut di bawah ini,
KECUALI:

A. A, Setiap dokter dan doker grgr yang melakukan praktik kedokterdn di Indonesia
harus mempunyai surat izin praktik
B. Dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialisasi tidak memerlukan izin praktik
C. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan badan yang berwenang setelah
memenuhi persyaratan
D. Surat izin praktik hanya dapat dilaksanakan untuk 3 tempat prakti( termasuk di rumah
sakit/puskesmas
E. Semua yang disebut di atas benar
21. Dalam Undang-undang Praktik Kedokteran, mengenai Rekam Medis diatur hal sebagai
berikut, KECUALI:

A. Setiap praktik harus memiliki rekam medis


B. Setiap catatan dalam Rekam Medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan
dokter yang memberikan pelayanan atau tindakan.
C. Rekam Medis dapat diisi sesudah dokter mempunyai waktu untukmenulisnya.
D. Isi Rekam Medis merupakan milik pasien
E. Semua yang disebut di atas benar.

22. Prinsip etika kedokteran adalah semua tersebut di bawah ini, KECUALI:

A. Berbuat yang terbaik (bmeficencQ


B. Tidak merugikan (non malefcence)
C. Keadilan
D. Menghormati otonomi dokter
E. Bukan salah satu yang disebut di atas

23. Peran dan tanggungjawab Komisi Etik Penelitian Kesehatan adalah sebagai

berikut, KECUALI:

A. Melindungi martabat, hak, keselamatan dan kesejahteraan subjek pe-nelitian


B. Memenuhi [einginan sponsor dan pimpinan lembaga
C. Menelaah protokol, risiko, kerahasiaan dan privacy subjek
D. Memantau dan mengevaluasi waktu penelitian sedang berjalan
E. Tidak seperti tersebut di atas

24. Prinsip memperoleh persetujuan setelah peqjelasan pada penelitian kesehatan sebagai
berikut, KECUALI:

A. Telah mendapat penjelasan dalam bahasayangdimengerti calon subjek tanpa dipaksa


dan diintimidasi
B. Telah diberi cukup waktu untuk mengambil keputusan
C. Yang memberi penjelasan mengerti penelitian dan sebaiknya seorangpeneliti
D. Diberikan lisan atau tertulis dan tidak memerlukan saksi
E. Perlu diulangi, kalau terjadi perubahan atau penelitian berjangkapanjang.

25. Penelitian kesehatan pada hewan perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip

berikut, KECUALI:

A. Prinsip Reduction, RelZnenment, atau Replacement (3R)


B. Cara pembunuhan yang manusiawi, dengan mengurangi rasa nyeri dan kesusahan
C. Sembarang hewan boleh digunakan asal mudah didapat
D. Keseimbangan manfaat dan risiko
E. Bukan salah satu yang disebut di atas
26. Malpraktik medik, mengandung salah satu unsur berikut, KECUALI:

A. Dokter melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.


A. B, Dokter melakukan tindakan medik di bawah standar.
B. Pasien cacat ataumeninggal dunia
C. Dokter melakukan kelalaian ringan
D. Dokter melakukan kesalahan prosedur operasional yang mengakibatkan kerugian

27. Tenaga medis yang telah melakukan registrasi mempunyai wewenang

sebagi berikut, KECUALI:

A. Memeriksa fisik dan mental pasien


B. Menulis resep dan menyerahkan semua obatnya
C. Melakukan tindakan medis
D. Menggunakan alat kesehatan
E. Menerbitkan surat-surat keterarigan tentang sehat, sakit atau kecacatan fisik

28. Pengungkapan rahasia pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan:

A. Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.


B. Perintah hakim di sidang pengadilan
C. Kepentingan umum
D. Persetujuan pasien
E. Semua tersebut di atas benar

29. Alasan pasien atau keluarga mengajukan tuntutan terhadap tenaga medis

karena dugaan malpraktik adalah:

A. Melakukan perbuatan asusila


B. Melakukan aborsi tidak atas persetujuan pasien
C. Menolak menolong pasien tanpa alasan yangjelas
D. Dokter pengganti tidak memiliki SIP
E. Semua tersebut di atas benar

30. Upaya menghindari malpraktik adalah sebagai berikut

A. Bekea profesional berlandaskan etik profesi


B. Mematuhi peraturan perundang-undangan
C. Berpedoman pada standar pelayanan medik
D. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien
E. Semua yang disebut di atas benar.

31. Ten4ga kesehatan perlu memahami hukum kesehatan agar:

A. Mengetahui aspek hukum dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan- nya


B. Memperkuat benteng terhadap tuntutan yang mungkin timbul
C. Lebih yakin diri dalam menjalankan profesi
D. Menjalankan proGsi sesuai peraturan dan ketentuan hukum
E. Semua yang disebut di atas benar

32. Hal-hal yang tersebut di bawah ini adalah kewajiban dokter, KECUALI:

A. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi medik


B. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien
C. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial dari pemeliharaan kesehatan
D. Kewajiban melakukan semua pelayanan kesehatan sesuai permintaanpasien
E. Bukan salah satu yang disebut di atas

33. Rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk hal-hal berikut, KECUALI:

A. Memenuhi permintaan aparatur penegak hukum


B. Kepentingan kesehatan pasien
C. Menjalankan ketentuan perundang-undangan
D. Memenuhi permintaan Perusahaan Asuransi Kesehatan setelah disetufui pasien
E. Untuk pendidikan kedokteran walaupun pasien tidak setuju

34. Pernyataan mana tentang RM yang tidak benar:

A. Pemaparan isi RM hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dan seizin
pasien
B. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas rusak dan pemalsuan
RM
C. Pimpinan sarana kesehatan dapat memaparkan isi RM tanpaizinpasien berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
D. Pembetulan kesalahan dapat dilakukan dengan mencoret bagian yang salah dan
memberi paraf
E. Kesalahan isi RM dapat dibaiki dengan melakukan penghapusan.

35. Setiap kasus di klinik yang kental aspek etiknya perlu dipertimbangkan hal-

hal berikut dalam mengambil keputusan tindakan mediknya

A. Indikasi medik.
B. Pilihan pasien
C. Kualitas hidup
D. Gambaran kontekstual
E. Semua yang disebut di atas benar

36. Standar pelayanan medik adalah:

A. Menyangkut aspek prosedur


B. Mengatur prosedur operasional yang dibakukan organisasi profesi
C. Tetap berlaku di sarana pelayanan kesehatan selamalamanya.
D. Untuk melindungi masyarakat dari praktik di bawah standar
E. Pedoman pengawasan dan peningkatan mutu.

English Section

37. Which statement with regard to ethics is {blse

A. Ethics and law share the same purpose i'e peace and harmony in society
B. The word ethics originates from word "ethos" which means upliftment of the spirit
C. Ethics constitute professional norms in providing service to society
D. Medical ethics is the oldest form of professional ethics in the world
E. Not any of the above

38. All the below are patient's rights, except:

A. The right to receive humane treatment


B. The right to receive information regarding the diagnosis and treatment
C. The right to be referred to specialists as indicated
D. All things regarding his illness are considered a secret matter
E. The right to refuse in research

39. A doctor has the responsibilities written bellow, except:

A. To make the health of his patient his prime concern


B. Should be careful in announcing new findings in the field of medicine
C. Places importance on truth and honesty
D. Do not need to give a complete medical treatment
E. Understand the teamwork involved in working with other related bodies.

40. Informed Consent given by the patient from his behavior (following doctor's

advice) is

A. Directly giving consent


B. Inderectly giving consent
C. Express consent
D. Implied consent
E. Not one ofthe above

II. Tuliskan S jika pernyataan Salah; B jika" pernyataan Benar

41. Dalam tiap-tiap Negara ada Undang-undang yang melarang melakukan abortus.
42. Pasien TIDAK berhak memperoleh penjelasan tentang diagnosis, prosedur
pengobatan dan prognosis penyakitnya, karena jika diketahuinya, pasien akan gelisah.
43. Pasien harus mengikuti uji coba klinik, karena hasil penelitian tersebut akan
dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
44. Seorang dokter dapat dituntut di depan pengadilan jika tejadi sesuatu kom, plikasi
pada pasiennya, walaupun ia telah memeriksa pasiennya dengan teliti dan sesuai
dengan prosedur.
45. Rekam medis seorang pasien merupakan rahasia yang perlu dilindungi.
46. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan.
47. KODEK diabarkan dari Sumpah Hippokrates, Deklarasi Geneva (1948) dan Lafal
Sumpah Dokter Indonesia (1960).
48. Hukum bertujuan untuk ketertiban dan ketenteraman masyarakat, sedang- kan etika
kedokteran hanya untuk ketertiban dan ketentraman hubungan dokter dengan pasien.
49. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) adalah suatu badan bertanggungjawab langsung
kepada Presiden.
50. KKI memutuskan melakukan pencatatan atau tidak terhadap tenaga medis yang
dikenakan sanksi oleh organisasi profesi karena melanggar ketentuan etika profesi.
51. Untuk Sertifikasi dan Registrasi Tenaga Medis diperlukan f'azah dokter.
52. Karena pasien mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self
deterwmatnn), ia berhak untuk memilih dilakukan eutanasia.
53. Eutanasia aktif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan kehidupan manusia.
54. Bila pasien menjadi cacat atau meninggal dalam pelayanan kesehatan, itu merupakan
indikasi telah terjadi suatu malpraktik.
55. Pengungkapan rahasia pasien dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien,jika ada
perintah hakim di sidang pengadilan.
56. Yang dimaksud dengan Persetujuan Tindakan Medik hanyalah persetujuan tertulis
seperti yang terdapat dalam Surat Izin Operasi (SIO).
57. Dokter boleh merujuk pasien kepada dokter lain tanpa persetujuan pasien atau
keluarga, untuk kepentingan pasien.
58. Untuk menyelamatkan jiwa pasien yang tidak sadar tanpa keluarga, tidak diperlukan
PTM
59. Menurut UUPK tahun 2004 kasus dugaan malpraktik dapat diadukan ke MKDKI,
boleh langsung ke Penyidik atau kepada kedua badan ini.
60. Unsur bisnis yang merusak profesi kedokteran akhir-akhir ini merupakan tindakan
tidak etis karena pada hakikatnya honorarium dokter diterima dengan rasa penuh
kehormatan (ltonorable).
61. Salah diagnosis tidak merupakan malpraktik medik jika prosedur dan standar
pelayanan kedokteran dalam suatu kasus telah dilakukan dengan seksama.
62. Etik klinik merupakan etika terapan untuk mengenal, menganalisis dan
menyelesaikan masalah etik dalam pelayanan klinik.
63. Dalam menangani kasus-kasus di klinik setiap dokter harus berupaya dengan
sungguh-sungguh untuk mempertahankan hidup insani, tanpa memper- hitungkan
kualitas hidup (gualiry ofhfr) pasien seterusnya.
64. Dokter dapat menggunakan hak undur diri sebagai saksi ahli di sidang pengadilan bila
berkaitan dengan rahasia pasien yang perlu dilindunginya.
65. Orang dikatakan telah mati bila dapat dibuktikan telah terjadi mati batang otak yang
dibuktikan {engan pemeriksaan elektroensefalografi dan tidak terjadi denyut jantung
dan pernapasan spontan.
66. Dalamrangka transplantasi tubuh manusia, saat mati donor dapat ditentukan oleh
dokter yang merawat pasien.
67. Penelitian kesehatan pada hewan tidak memerlukan persetujuan Komisi Etik.
68. Pada masa sekarang tenaga kesehatan perlu memahami hukum kesehatan supaya
dapat menghindari malpraktik.
69. Peraturan internal Rumah Sakit harus dibuat oleh tiap-tiap Rumah Sakit.

III. Cocokkan soal-soal berikut ini dengan jawaban yang tercantum di bawahnya

A. Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pasal 11
B. Hukum Kesehatan
C. Malpraktik Perdata
D. Malpraktik Etik
E. Peraturan Pemerintah No. 10 Thhun 1966.
70. Pelanggaran terhadap KUH Perdat
71. Tidak merlukan surat izin operasi
72. . Pelanggaran KODEKI dan lafal sumpah dokter
73. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pelayanankesehatan
74. Peraturan pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
A. Tindakan kriminal
B. Tiansaksi terapetik
C. MKEK,/P3EK
D. Malpraktik Pidana
E. Sanlai pelanggaran KODEKI
75. Tindakan dokter di bawah standar
76. Diberi tuntunan dan kalau perlu tindakan administratif
77. Hubungan dokter dengan pasien dalam upaya penyembuhan
78. Menangani kasus-kasus diduga pelanggaran etika kedokteran
79. Memerlukan bukti fisik

IV. Tulis jawaban menurut petunjuk ini:

A. Bila yang benar No. 1, 2, dan 3


B. Bila yang benar No. 1 dan 3
C. Bila yang benar No. 2 dan 4
D. Blla yang benar No. 4
E. Bila semua benar

80. Dalam menjalankan profesi kedokteran, dokter bertanggung jawab ter-

hadap:
1. Pelayanan kesehatan dalam bidang kurati{ preventi{ promotif dan rehabilitatif

2. Mutu pelayanan sesuai standar medik

3. Gugatan hukum yang mungkin datang dari pasien

4. Hasil akhir pengobatan yang baik

81. Seorang dokter memberi cuti berulang-ulang kepada seorang saksi di sidang pengadilan,
padahal orang tersebut mampu menghadiri sidang pengadilan.

1. Pelanggaran etika kedokteran (KODEKI)


2. Pelanggaran tata tertib
3. Pelanggaran ketentuan KUHP pasal267
4. Pelanggaran hukum perdata

82. Jika suatu operasi tertunda akibat kelalaian dokter pada suatu kasus gawat

darurat di suatu rumah sakit, maka dokter dapat dikenakan sanksi etik dan hukum
berdasarkan:

1. Kode Etik Kedokteran Bab II pasal 10

2. Lafal sumpah dokter

3. KUHP pasal304

4. KUHP pasal306

83. Ti.rgas P3EK, suatu badan dalam Departemen Kesehatan, antara lain:

1. Menjatuhkan sanksi hukum pidana pada pelanggaran ketentuan hukum

2. Menangani kasus-kasus malpraktik etik yang tidak dapat ditanggulangi oleh MKEK

3. Menjatuhkan sanksi hukum perdata

4 Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat berwenang.

84. Yang termasuk dalam lafal sumpah dokter:

1. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara terhormat dan ber- susila

2. Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima
kasih yang selayaknya

3. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pem- buahan

4. Teman sejawat saya akan saya perlakukan sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan.
85. Lembaga dalam UUPK yang disebut Majelis Kehormatan Disiplin Ke- dokteran
Indonesia (MKDKI) berfungsi:

1. Menentukan adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter/dokterctct.

2. Memberikan sanksi bila dokter/dokter $g1 telah melakukan kesalahan dalam praktik."

3. Merupakan lembaga otonom dari KKI

4. Bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan.

86. Yang mana pernyataan benar mengenai Hukum Kesehatan:

1. Yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan yang
menyangkut pelayanan medis.

2. Hukum kedokteran adalah bagian dari hukum kesehatan

3. Semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan peme-


llharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik dari
perseorangan dan segenap lapisan masyarakat se- bagai penerima pelayanan kesehatan
maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan.

4. Yang dimaksud dengan hukum kedokteran adalah bagian dari hukum pidana yang
menyangkut pelayanan medis

87. Dalam menjalankan profesi kesehatan, dokter bertanggngjawab terhadap:

1. Pelayanan kesehatan dalam bidang preventif, kuratif dan rehabilitatif


2. Mutu tertinggi pelayanan kesehatan
3. Gugatan hukum yang mungkin datang dari pasien
4. Hasil akhir pengobatan yang baik

88. Sesuatu yang dapat dituntut itu dinamakan "prestasi" yang menurut undang- undang dapat
berupa:

1. Melakukan sesuatu yang terbaik


2. Melakukan suatu perbuatan
3. Mencapai sesuatu target
4. Tidak melakukan suatu perbuatan.

89. Ketentuan yang mengatur tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran

adalah:

1. Sumpah kedokteran
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia
3. Pasal322 KUHP
4. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966
90. Beberapa kewajiban yang dimiliki pasien adalah sebagai berikut.

1. Kewajiban memberi informasi yang sebenarnya kepada tenaga ke-sehatan

2. Kewajiban mematuhi nasihat dokter yang menolongalya

3. Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang mengobatinya

4. Kewajiban untuk memberikan imbalan,/honorium sejumlah yang di-kehendaki


pasien,/keluarga

91. Kegunaan Rekam Medis adalah:

1. Untuk perencanaan pengobatan

2. Sebagai alat bukti bila te{adi perkara medik

3. Dipakai sebagai sarana untuk penelitian

4. Melihat mutu pelayanan kesehatan di suatu institusi pelayanan ke-sehatan

92. Pemuatan foto seseorang dalam penelitian kesehatan seharusnya memenuhi

aspek:

1. Persetujuan yang bersangkutan

2. Bagian mata harus ditutup

3. Pada bayi dan anak harus seizin orang tua atau wali

4. Izin penasihat hukum

93. The roles played by the Ethics Committee in Indonesia Health Departemen (P3EK) are:

1. .Persecutes in court of law all form of violation

2. Handles all cases of ethical malpractice which can not be handled by Indonesian
Medical Asociation's Council of Ethics (MKBK)

3. Persecutes all violation's Oarth, 1960

4. .Give consult and suggestion to related organization

94. The framework of Indonesia Medical Ethics is base on:

1. Geneva Declaration, 1948

2. the Indonesian Doctor's Oarth, 1960

3. The Indonesian Medical Ethics Code, 1983


4. The Indonesian Medical Association's Conference (IDI) held inJakarta 1988

V. Analisislah kasus berikut ini dari segi etik dan hukum kesehatan dan apakah kasus
tersebut cenderung kepada malpraktik atau tidak:

95. Seorang wanita berusia 37 tahun, G3P2 AbO, datang ke sebuah klinik swasta SpOG
dengan keluhan haid telah terlambat 3 hari. Ia belum siap untuk hamil lagi karena
anak terkecil baru berusia 11 bulan. SpOG melakukan dilatasi dan kerokan (D dan K)
dengan anestesi induksi yang diberikan oleh perawat. Sepuluh menit kemudian pasien
menjadi sianosis dan meninggal dunia.
96. Seorang petinju jatuh KO dan tidak sadarkan diri. Ia segera dilarikan ke Rumah Sakit.
DSB menegakkan diagrrosis perdarahan otak dan harus segera dioperasi. Keluarga
tidak berada di tempat untuk menandatangani Surat Izin. Operasi tertunda dan baru
dilakukan 5 jam kemudian. Pasien meninggal dunia.
97. Seorang anak lakilaki berusia 2 tahun dirawat di ICU bagian anak dengan suhu tinggi
dan sedikit kejang-kejang pada kaki dan tangannya. Satu minggu setelah dirawat
dapat dipastikan diagnosanya meningo-ensefalitis tuber- kulosa. Harapan hidup anak
ini kecil dan kalaupun ia sembuh kualitas hidupnya diperkirakan sangat rendah, tidak
mampu berkomunikasi danbersosialisasi. Orang tua anak tersebut kurang mampu dan
harus meminjam uang kesana-kemari untuk biaya perawatan dan pengobatan
anaknya. Pada suatu hari dokter menjelaskan kepada orang tua anak tersebut tentang
diagnosis dan prognosis anaknya, yang walaupun masih ada harapan menyelamatkan
jiwanya, tetapi kualitas hidupnya bermasalah. Orang tua anak tersebut memutuskan
membawa pulang anak tersebut dan t hari kemudian meninggal dunia.

Pertanyaan:

a) Seberapa jauh dokter harus mgmpertahankan kehidupan seorang pasien?


b) Apakah kasus ini dapat digolongkan dalam eutanasial Aktif atau pasif?
c) Seberapa jauh faktor kualitas hidup dan kemampuan finansial dapat ") dipakai
sebagai justifikasi moral untuk menghentikan pengobatan?

98. Salah satu prinsip dasar dalam Etika Biomedis adalah berkeadilan (Jtuhbe).Di negara-
negara berkembang banyak sekali kasus dilematis, yang me-merlukan keb!'aksanaan
petugas pelayanan kesehatan,/kedokteran. Misalnya,dalam pelayanan gtrzi di
Puskesmas, tersedia hanya 100 paket makananyang memerlukannya 200 pasien
kurang gizi (malnutnlh'on). Di unit renal dialisis hanya ada 2 (dua) alat dialisis,
sedang- kan penderita gagal ginjal yang memerlukan pelayanan pada hari itu ada 12
orang.Hanya ada 1 (satu) alat ventilator, sedangkan pasien di ICU yang memerlukan
alat ini ada 3 orang, yang satu berumur 30 tahun, yang lainnya50 dan 80 tahun.
Uraikan pertimbangan-pertimbangan saudara pada kasus- kasus seperti tersebut di
atas untuk menegakkan rasa adil terhadap pasien- pasien.

VI. Esai
99. Buatlah uraian singkat tentang syarat-syarat, unsur yang perlu diperhatikan dan
pentingnya Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) pada penelitian ke-sehatan yang
melibatkan manusia sebagai subjek.
100. Jelaskan kegunaan isi dan informasi Rekam Medis berkaitan dengan
aspekhukum

LAMPIRAN 1
THE HIPPOCRATIC OATH (B.C)

I swear by Apollo Physician and Asclepius and Hygieia and Panaceia and all the
godesses,'maljng them my witnesses, that I will fulfil according to my ability and
judgement this oath and this covenant:

To hold him who has taught me this art as equal to my parents and to live my life in
partnership with him, and if he is in need of money to give him a share of mine, and to regard
his offspring as equal to my brothers in male lineage and to teach them this art-if they desire
to learn it-without fee and covenant; to give a share of precepts and oral instruction and all
the other learning to my sons and to be sons ofni- who has instructed me and to pupils who
have signed the covenant and have taken an oath according to the medical law, but to no one
else.
I will apply dietetic measures for the benefit of the sick according to my ability and
judgement; I will keep from harm and in justice.
I will neither give a dladly drug to anybody if asked for it, nor will I make a
suggestion to this effect. Similarly I will not give to woman an abortive remedy' In
purity and holiness I will guard my life and my art.
I will not use the knife, not even on sufferers from stone, but will withdraw in favor of
such men as are engaged in this work.
What ever houses I may visit, I will come for the benefit of the sich remaining free of
all intentional injustice, of all mischief and in particular of sexual relations with both female
and male persons, be the free or slaves'
What I may see or hear in the course of the treatment or even outside of the treatment
in regard to the life of men, which on no account one must spread abroad, I will keep to my
self holding such things shameful to be spoken about.
If I fulfiI this oath -d do not violate it, may it be granted to me to enjoy life and art,
being honored with fame among all men for all time to come; if I transgress it and swear,
may the opposite of all this be my lot.
Lampiran 2
NUREMBERG CODE (1947)

1. The voluntary consent of the human subject is absolutely essential.


2. The experiment should be such as to yield fruitful result for the good of society,
unprocurable by other means or methods of study and not random and unnecessary in
nafure.
3. The experiment should be so designed and based on the results of animal
experimentation and a knowledge of the natural history of the disease or other
problem under study that the anticipated result will justify the performance of the
experiment.
4. The experiment should be so conducted as to avoid all unnecessary physical and
mental suffering and injury.
5. No experiment should be conducted where there is an a priori reason to believe that
death or disabling injury will occur; except, perhaps, in.those experiments where the
experimental physicians also serve as subjects.
6. The degree of risk to be taken should never exceed that determined by the
humanitarian importance of the problem to be solved by the experiment.
7. Proper preparations should be made and adequate facilities provided to protect the
experimental subject againts even remote possibilities of injury.
8. The experiment should be conducted only by scientifically qualified persons. The
highest degree of skill and care shouid be required through all stages of the
experiment of those who conduct or engage the experiment.
9. During the course of the experiment the human subject should be at Iiberty state
where continuation of experiment seems to him to be impossible.
10. During the course of the experiment the scientist in charge must be prepared to
terminate the experiment at any stage, if he has probable cause to believe, in the
exercise of the good faith, superior skill, and careful judgment required of him that a
continuation of the experimental is likely to result in injury, disability or death to the
experimental subject.

Lampiran 3
THE WORLD MEDICAL ASSOCIATION:
DECLARATION OF GANEVA (1948)
Phyrician’ oath
At the time ofbeing admitted as a member of the medical profession:
I solemnly pledge myself to consecrate my life to service of humanity;
I will give to my teacher the respect and gratitude which is their due;
I will practice my profession with conscience and dignity; the health of my patient will be my
first consideration;
I will respect the secrets which are confined in me, even after the patient has died;
I will maintain by all means in my power, the honor and the noble traditions ofthe
medical profession; my colleagues will be my brothers;
I will not permit consideration of my religion, nationality , race, par\t politics or social
standing to intervene between my duty and my patient;
I will maintain the utmost respect for human life from the time of conception, even under
threat, I will not use my medical knowledge contrary to the laws of humanity;
I make these promises solemnly, freely and upon my honor
(Adopted by General Assembly of the WMA, Geneve, September 1948 and amended by the
22nd World Medical Assembly, Sydney, August 1968.)

Lampiran 4
INTERNATIONAL CODE O MEDICAL ETHICS(1949)

Duties o Doctors in General


A doctor must always maintain the highest standards of professional conduct. A doctor must
practice his profession uninfluenced by motives of profit.
The following practices are deemed unethical:
a. Any selfadvertisement except such as is expressly authorized by the national code of
medial ethics.
b. Collaborate in any forms of medical service in which the doctor does not have
professional independence.
c. Receiving any money in connection with service rendered to patient other .than a
proper professional fee, even with the knowledge of patient.
Any act, or advice which could weaken physical or mental resistance of a human being may
be used only of his interest.
A doctor is advised to use great caution in divulging discoveries or new techniques or
treatment.
A doctor should certify or testify only to that which he has personally verified.
Duties of Doctor to The sick
A doctor must always bear in mind the obligations on preserving human life.
A doctor ows to his patient complete Ioyalty and all the resources of his science. 'Whenever
an examination or treatment is beyond his capacity he should summon another doctor who
has the necessary ability.
A doctor shall preserve absolute secrecy on all he knows about his patient even after the
patient has died, because ofthe confidence entrusted in him.
A doctor must give emergency care as humanitarian duty unless he assured that others are
willing and able to give such care.
Duties of Doctor to Each Other
A doctor thought to behave to his colleagues as he would have them behave to him.
A doctor must not entice patients from his collegues.
A doctor must observe the principles of the "Declaration of Geneve" approved by the World
Medical Association.

(Adopted by the Third General Assembly of the World Medical Association, e"dand,
October 1949. Amended by The Twenty second World Medical Assembly, Sydney, August
1968)

Lampiran5
WORLD Medical ASSOCIATION (WMA)
DELARATION OF HELSINKI

Adtpted by the l9tlt WMA General,4ssembly, Helsmhi, Finland, June 1964,


and amended by
the 29th WMA General Assembly, Tokyo. Japan, October 1975
35th WMZ General Assembly, Ventlce. Italy, October 1983
41st WMA General Assembly, Hong Kong, Septenber 1989
48th WMA General Assembly, Somerset West,
Repoblic of south Afrika, October1996
And the52nd WMA General assembly edinburgh,scotland october2000
Note of Clanfcahbn on Paragraph 29 added by
the WMA General Assembly, Washington 2002
Note ofClanfcah'on on Paragraph 30 added by
the WMA General Assenbly. Tohyo 2004
A.INTRODUCTION
1. The World Medical Association has developed the Declaration ofHelsinki as a
statement of ethical principles to provide guidance to physicians and other
participants in medical research involving human subjects. Medical research
involving human subjects includes research on identifiable human material or
identifiable data.
2. It is the duty of the physician to promote and safeguard the health of the people. The
physician's knowledge and conscience are dedicated to the fulfillment of this duty.
3. The Declaration of Geneva of the World Medical Association binds the physician
with the words, "The health of my patient will be my first consideration," and the
International Code ofMedical Ethics declares that, 'A physician shall act only in the
patient's interest when providing medical care which might have the effect
ofweakening the physical and mental condition of the patient".
4. Medical progress is based on research which ultimately must rest in part on
experimentation involving human subjects.
5. In medical research on human subjects, considerations related to the well- being of the
human subject should take precedence over the interests of science and society.
6. The primary purpose of medical research involving human subjects is to improve
prophylactic, diagnostic, and therapeutic procedures and the understanding of the
aetiology and pathogenesis of disease. Even the best proven prophylactic, diagnostic,
and therapeutic methods must continuously be challenged through research for their
effectiveness, efficiency, accessibility and quality.
7. In current medical practice and in medical research, most prophylactic, diagnostic,
and therapeutic procedures involve risks and burdens.
8. Medical research is subject to ethical standards that promote respect for all human
beings and protect their health and rights. Some research populations are wrlnerable
and need special protection. The particular needs of the economically and medically
disadvantaged must be recognized. Special attention is also required for those who
cannot give or refuse consent for . themselves, for those who may be subject to giving
consent under duress, for those who will not benefit personally from the research and
for those fo'r whom the research is combined with care.
9. Research Investigators should be aware of the ethical, legal and regulatory
requirements for research on human subjects in their own countries as well as
applicable international requirements. No national ethical, legal or regulatory
requirement should be allowed to reduce or eliminate any of the protections for
human subjects set forth in this Declaration.
B. BASIC PRINCIPLES FOR ALL MEDICAL RESEARCH
1. It is the duty of the physician in medical research to protect the life, health, privary,
and dignity ofthe human subject.
2. Medical research involving human subjects must conform to generally accepted
scientific principles, be based on a thorough knowledge of the scientific literature,
other relevant sources of information, and on adequate laboratory and, where
appropriate, animal experimentation.
3. Appropriate caution must be exercised in the conduct ofresearch which may affect the
environment, and the welfare of animals used for research must be respected.
4. The design and performance of each experimental procedure involving human
subjects should be clearly formulated in an experimental protocol. This protocol
should be submitted for consideration, comment, guidance, and where appropriate,
approval to a specially appointed ethical review committee, which must be
independent of the investigator, the sponsor or any other kind ofundue influence. This
independent committee should be in conformity with the laws and regulations ofthe
country in which the research experiment is performed. The committee has the right
to monitor on going trials. The researcher has the obligation to provide monitoring
information to the committee, especially any serious adverse events. The researcher
should also submit to the committeb, for review, information regarding funding
sponsors, institutional affiliations, other potential conflicts of interest and incentives
for subjects.
5. The research protocol should always contain a statement of the ethical considerations
involved and should indicate that there is compliance with the principles enunciated in
this Declaration.
6. Medical research involving hpman subjects should be conducted only by scientifically
qualified persons and under the supervision of a clinically competent medical person.
The responsibility for the human subject must always rest with a medically qualified
person and never rest on the subject of the research, even though the subject has given
consent.
7. Every medical research project involving human subjects should be preceded by
careful assessment of predictable risks and burdens in comparison with foreseeable
benefits to the subject or to others. This does not preclude the participation of healthy
volunteers in medical research. The design of all studies should be publicly available.
8. Physicians should abstain from engaging in research projects involving human
subjects unless they are confident that the risks involved have been adequately
assessed and can be satisfactorily managed. Physicians should cease any investigation
if the risks are found to outweigh the potential benefits or if there is conclusive proof
of positive and beneficial results.
9. Medical research involving human subjects should only be conducted if the
importance of the objective outweighs the inherent risks and burdens to the subject.
This is especially important when the human subjects are healthy volunteers.
10. Medical research is only justified if there is a reasonable likelihood that the
populations in which the research is carried out stand to benefit from the results ofthe
research.
11. The subjects must be volunteers and informed participants in the research project.
12. The right of research subjects to safeguard their integrity must always be respected.
Every precaution should be taken to respect the privacy ofthe subject, the
confidentiality of the patient's information and to minimize the impact ofthe study on
the subject's physical and mental integrity and on the personality of the subject
13. In any research on human beings, each potential subject must be adequately informed
of the aims, methods, sources of funding any possible conflicts of interest,
institutional affiliations ofthe researcher, the anticipated benefits and potential risks of
the study and the discomfort it may entail. The subject should be informed of the right
to abstain from participation in the study or to withdraw consent to participate at any
time without reprisal. After ensurineg that the subject has understood the information,
the physician should then obtain the subject's freely-given informed consent,
preferably in writing. Ifthe consent cannot be obtained in writing, the non-written
consent must be formally documented and witnessed.
14. When obtaining informed consent for the research project the physician should be
particularly cautious if the subject is in a dependent relationship with the physician or
may consent under duress. In that case the informed consent should be obtained by
awell-informed physician who is not engagedin the investigation and who is
completely independent of this relationship.
15. For a reisearch subject who is legally incompetent, physically or mentally incapable
of giving consent or is a legally incompetent minor, the investigator must obtain
informed consent from the legally authorized representative in accordance with
applicable law. These groups should not be included in research unless the research is
necessary to promote the health of the population represented and this research cannot
instead be performed onIegally competent persons.
16. When a subject deemed legally incompetent, such as a minor child, is able to
give assent to decisions about participation in research, the investigator must obtain
that assent in addition to the consent of the legally authorized representative.
17. Research on individuals from whom it is not possible to obtain consent, including
proxy or advance consent, should be done only if the physical,/ mental condition that
prevents obtaining informed consent is a necessary characteristic of the research
population.'Ihe specific reasons for involving research subjects with a condition that
renders them unable to give informed consent should be stated in the experimental
protocol for consideration and approval of the review committee. The protocol should
state that consent to remain in the research should be obtained as soon as possible
{iom the individual or a legally authorized surrogate.
18. Both authors and publishers have ethical obligations. In publication of the results
ofresearch, the investigators are obliged to preserve the accuracy of the results.
Negative as well'as positive results should be published or otherwise publicly
available. Sources of funding institutional afiliations and any possible conflicts
ofinterest should be declared in the publication. Reports of experimentation not in
accordance with the principles laid down in this Declaration should not be accepted
for publication.

C. ADDITIONAL PRINCIPLE' FOR MEDICAL RE'EARCH COMBINED WITH


MEDICAL CARE

1. The physician may combine medical research with medical care, only to the extent
that the research isjustified by its potential prophylactic, diagnostic or therapeutic
value. When medical research is combined with medical care, additional standards
apply to protect the patients who are research subjects.
2. The benefits, risks, burdens and effectiveness of a new method should be tested
against those of the best current prophylactic, diagnostic, and therapeutic methods.
This does not exclude the use of placebo, or no treatment, in studies where no proven
prophylactic, diagnostic or therapeutic method exists. See footnote
3. At the conclusion ofthe study, every patient entered into the study should be assured
ofaccess to the best proven prophylactic, diagnostic and therapeutic methods
identified by the study. See footnote
4. The physician should fully inform the patient which aspects of the care are related to
the research. The refusal of a patient to participate in a study must never interfere
with the patient- physician relationship.
5. In the treatment of a patient, where proven prophylactic, diagnostic and therapeutic
methods do not exist or have been ineffective, the physician, with informed consent
from the patient, must be free to use unprovcn or new prophylactic, diagnostic and
therapeutic measures, if in the physician's judgement it offers hope of saving life, re-
establishing health or alleviating sulfering. Where possible, these measures should be
made the object of research, designed to evaluate their safety and efficary. In all
cases, new information shouldbe recorded and, where appropriate, published. The
other relevant guidelines of this Declaration should be followed.

Note of clqrificqtion on polqgroph 29 of


the WMA Declsrqtion of Hekinhi
The WMA hereby reafirms its position that extreme care must be taken in making use of a
placebo-controlled trial and that in general this methodology should only be used in the
absence of existing proven therapy. However, a placebo-controlled trial may be ethically
acceptablb, even if proven therapy is available, under the following circumstances :
- Where for compelling and scientifically sound methodological reasons its use is
necessary to determine the efficacy or saGty of a prophylactic, diagnostic or
therapeutic method; or
- Where a prophylactic, diagnostic or therapeutic method is being investigated for a
minor condition and the patients who receive piacebo will not be subject to any
additional risk of serious or irreversible harm.

All other provisions of the Declaration of Helsinki must be adhered to, especially the need for
appropriate ethical and scientific review.

Note of clqrificqtion on polcgrEph 30 of


the WMA Declqrqtion of Hebinhi
The WMA hereby reaffirms its position that it is necessary durineg the study planning
process to identify post-trial access by study participants to prophylactic, diagnostic and
therapeutic procedures identified as beneficial in the study or access to other appropriate care.
Post-trial access arrangements or other care must be described in the study protocol so the
ethical review commiffee may consider such arrangements durineg its review.
The Declaration of Helsinki (Document 17.C) is an official policy document of the
World Medical Association, the global representative body for physicians. It was first
adopted in 1964 ftIelsinki, Finland) and revised ln 1975 (Tokyo, Japan), 1983 ffenice, ft"ly),
1989 (Hong Kong), 1996 (Somerset-West, South Africa) and 2000 (Edinburgh, Scotland).
Note of clarification on Paragraph 29 added by the WMA General Assembly, Washington
2002. 9.10.2004

Lampiran 6

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1966 Tentang Wajib Simpan Rahasia


Kedokteran
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
Bahwa perlu ditetapkan peraturan tentang wajib simpan rahasia kedokteran.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Pasal I0 ayat (4) Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara tahun 1960 No. 131);
3. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter
(Lembaran Negara tahun 1960 No. 69).
MEMUTUSKAN
Mendengar:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG WAJIB SIMPAN RAHASIA
KEDOKTERAN
Pasal 1
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekel'aannya
dalam lapangan kedokteran.
Pasal 2
Pengetahuan tersebut pasal t harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam
pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada
Peraturan Pemerintah ini menentukan lain.
Pasal 3
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tbnaga Kesehatan
(Lembaran Negara tahun 1963 No. 78);
b. mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, peng-
, obatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri Ke- sehatan.
Pasal 4
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang tidak
atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana. Menteri Kesehatan dapat melakukan tindakan administratifberdasarkan
pasal 11 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 5
Apabila pelanggaran yang dimaLsud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang disebut
dalam pasal 3 hurufb, maka Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan berdasarkan
wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 6
Dalam pelaksanaan peraturan ini Menteri Kesehatan dapat mendengar Dewan Pelindung
Susila Kedokteran dan/atau badan-badan lain bilamana perlu.
Pasal 7
Peraturan ini dapat disebut "Peraturan Pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteranl'
Pasal 8
Peraturan ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah


ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1966 NO. 21

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 1O TAHUN 1966


TENTANG WAIIB SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN UMUM

Setiap orang harus dapat meminta pertolongan kedokteran dengan perasaan aman
dan bebas. Ia harus dapat menceritakan dengan hati terbuka segala keluhan yang
mengganggunya, baik bersifat jasmaniah maupun rohaniah, dengan keyakinan bahwa hak.itu
berguna untuk menyembuhkan dirinya. Ia tidak boleh merasa khawatir bahwa segala sesuatu
mengenai keadaannya akan disampaikan kepada orarig lain, baik oleh dokter maupun oleh
petugas kedokteran yang beke{a sama dengan dokter tersebut.
Ini adalah syarat utama untuk hubungan baik antara dokter dengan penderita. Pada
waktu menerima !'azah seorang dokter bersumpah:
"Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya dan karena keilmuan saya sebagai dokterl'
Dan sebagai pemangku suatu jabatan ia wajib merahasiakan apa yang dike-
tahuinya karena jabatannya, menurut pasa|322 KUHP yang berbunyi:
"Barang siapa dengan sengaja membuka suatu rahasia yang ia wajib menyimpan oleh
karena jabatan atau peke4'aannya baik yang sekarang maupun yang dahulu,
dihukum dengan penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak- banyaknya
enam ratus rupiahl'
‘‘Jika kejahatan ini dilakukan terhadap seorang yang tertentu maka ini hanya dituntut
atas pengaduan orang itu.’’
Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk mereka yang melakukan perbuatan-
perbuatan pelanggaran rahasia kedokeran yang tidak dapat dipidana menurut pasal 322
KUHP tersebut atau pasal 112 KUHP tentang pengrahasiaan sesuatu yang bersifat umum.

PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Dengan kata-kata, "segala sesuatu yang diketahui," dimaksud:
Segala fakta yang didapat dalam pemeriksaan penderita, interpretasinya untuk me-
negakkan diagnose dan melakukan pengobatan: dari anamnese, pemeriksaanjasmaniah,
pemeriksaan dengan alat-alat kedokteran d4n sebagainya.Juga termasuk fakta yang
dikumpulkan oleh pembantu-pembantunya. Seorang ahli obat dan mereka yang beke{a
dalam apotik harus pula merahasiakan obat dan khasiatnya yang diberikan dokter pada
pasiennya. Merahasiakan resep dokter adalah sesuatu yang penting dari etika pejabat yang
bekerja dalam Apotik
Pasal 2
Berdasarkan pasal ini orang (selain dari pada tenaga kesehatan) yang dalam pekeq'aannya
berurusan dengan orang sakit atau mengetahui keadaan si sakit, baik yang tidak maupun
yang belum mengucapkan sumpah jabatan, berkewajiban menjunjung tinggi rahasia
mengenai keadaan si sakit.
Dengan demikian, para mahasiswa kedokteran, kedokteran glg1, ahli farmasi, ahli
laboratorium, ahli sinar, bidan, para pegawai, murid para medis, dan sebagainya termasuk
dalam golongan yang diwajibkan menyimpan rahasia. Menteri Kesehatan

dapat menetapkan, baik secara umum, maupun secara insidentil, orang-orang yang wajib
menyimpan rahasia kedokteran, misalnya pegawai tata-usaha pada rumah-rumah sakit dan
laboratorium-laboratorium.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Berdasarkan pasal322 KUHP, maka pembocoran rahasiajabatan, dalam hal ini rahasia
kedokteran, adalah suatu tindak pidana yang dituntut atas penga.duan (klachdelict),
apabila kejahatan itu ditujukan pada seseorang tertentu. Demi kepentinga.n umum Menteri
Kesehatan dapat bertindak terhadap pembocoran rahasia kedokteran, meskipun tidak ada
suatu pengaduan.
Sebagai contoh:
Seorang pejabat kedokteran berulang kali mengobrolkan di depan orang banyak
tentang keadaan dan tingkah laku pasien yang diobatinya. Dengan demikian, ia
merendahkan martabatjabatan kedokteran dan mengurangi kepercayaan orang kepada
pejabatpejabat kedokteran.
Pasal 5
Berdasarkan pasal ini Menteri Kesehatan dapat meminta kepada instansi yang berwenang
(umpama untuk mahasiswa kepada Departemen P.T,I.P. dan sebagarnya) agar mengambil
tindakan administratif yang wajar bila mana melanggar wajib simpan rahasia kedokteran
ini.
Pasal 6
Menteri Kesehatan membentuk Dewan Pelindung Susila Kedokteran justru untuk
mendapat nasihat dalam soal-soal susila kedokteran.
Pasal 7 dan 8
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 2803

Lampiran 7
DECLERATION OF SYDNEY
A STATEMENT OF DEATH

Adapted by the 22th world medical asembly, sydney,


august, 1968
The determination ofthe time of death is in most countries the legal responsibility of the
physician and should remain so. Usually he will be able without special assistance to decide
that a person is dead, employing the classical criteria known to all physicians.
The modern practices in medicine, however, have made it necessary to study question
of the time of death further:
1. the ability to maintain by artificial means the circulation of oxygenated blood
through tissues of the body which may have been irreversibly injured and
2. The use of cadaver organs such as heart or kydneys for transplantation.
A complication is that death is gradual process at the cellular level with tissues varying in
their ability to withstand deprivation of isolated cells but in the fate of a person. Here the
point ofdeath ofthe different cells and organs is not important as ihe certainty suscitation that
may be employed. This determination will be based on clinical enjudgment.supplemented if
necessary by a number of diagnostic aids ofwhich the electro-encephalograph is currently
most helpfirl. However, no single technological criterion is entirely satisfactory in the present
state of medicine nor can any one technological procedure be substituted for the'overall
judgment ofthe physician. If transplantation of an organ is involved, the decision that death
exists should be made by two or more physicians and the phyisicians determine the moment
ofdeath shouldin nowaybe immediately concerned with the performance of the
transplantation.
Determination of the point of death of the person makes countries where the law
permits, to remove organs from the cadaver provided that prevailing legal requirements of
consent have been firlfilled.

Lampiran 8
CONSTITUTION OF
THE WORLD HEALTH ORGANIZATION (1976)

The States Parties of this Constitution declare, in comformity with the Charter of the United
Nations, that the following principles are basic to the happiness, harmonious relations and
security of all peoples.
Health is a state on complete physical, mental and social well-being and not merely the
absence of disease or infirmity.
The enjoyment of the highes attainabee standard of health is one of the fundamental
rights of every human being without distinction of race, religion, political believe, economic
or social condition.
The health ofall peoples is fundamental to the attainment ofpeace and security and is
dependent upon the fullest co-operation of individuals and States.
The achievement of any State in the promotion and protection of health is of value to
all.
Unequal development in the different countries in the promotion of health and control
disease, especially communicable disease, is a common danger.
Healthy development of the child is a basic importance; the ability to live harmoniously
in a changing total enviromental is essential to such development.
The extention to all peoples ofthe benefits ofmedical, psychological and related
knowledge is essential to the fullest attainment of health.
Informed opinion and active co-operation on the part of the public are the utmost
importance in the improvement of the health ofthe people.
Government have responsibility for the health of their peoples which can be fi.rlfied
only by the provision of adequate health and social measures.
Accepting of these principles, and for the purpose of co-operation among themselves
and with others to promote protect the health of all peoples, the Contracting Parties agree to
the present Constitution and hereby establish the World Health Organization as a specialized
agency within the terms ofArticles 57 of the Charter of the United Nations.
(World Health Organization: Basic Documents, 26th ed., Geneve, 1976.)

Lampiran 9
PERATURAN PEMERINTAH RI NO. 18 TAHUN1981
TENTANG BEDAH MAYAT KLINIS DAN
BEDAH MAYAT ANATOMIS SERTA TRANSPLANTASI
ALAT DAN/ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA

Presiden republik indonesia


Menirnbang:
a. bahwa dalam pengembangan usaha kesehatan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat, perlu adanya berbagai upaya agar usaha
tersebut di atas diselenggarakan dengan baik, antara lain dengan kegiatan melakukan
bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau
jaringan tubuh manusia yang bertujuan untuk keselamatan umat manusia maupun
meningkatkan ilmu kesehatan dan kedokteran pada umumnya,
b. bahwa untuk melaksanakan maksud tersebut pada huruf a di atas, perlu diadakan
ketentuan-ketentuan tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta
transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dengan Peraturan Pemerintah.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat Q) Undang-undang Dasar 1945;
2. undang-undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1960 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No.2068);
3. Undang-undang No. 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggr (Lembaran Negara
Tahun 1961 No. 302, Tambahan Lembaran Negara No.236);
4. Undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah (Lembaran Negara Tahun 1962
No.12, Tambahan Lembaran Negara No, 2390 jo Undang- undang No. 7 Tahun 1968
tentang Perubahan Pasal 3 Undang-undang No. 6 Thhun 1962 (Lembaran Negara
Tahun 1968 No.38, Tambahan Lembaran Negara No. 2863);

5. Undang-undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara


Tahun 1963 No. 79, Tambahan Lembaran Negara No' 2576);
6. Staatsblad Tahun 1927 No.245

MEMUTUSKAN
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BEDAH MAYAT KLINIS DAN BEDAH
MAYAT ANATOMIS SERTA. TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU
JARINGAN TUBUH MANUSIA
BAB I
KETENTUANUMUM
Pasal 1
Dalam Peraturin Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
a. Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan
terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi
sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan.
b. Bedah mayat anatomis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan
terhadap mayat untuk keperluan pendidikan di bidang ilmu kedokteran; .
c. Alat tubuh manusia adalah kumpulan jaringan-jaringan tubuh yang di bentuk oleh
beberapa jenis sel dan -"-pnnyui bentuk serta faal (fungsi) tertentu untuk tubuh
tersebut;
d. Jaringan adalah kumpulan sel-sel yang mempunyai bentuk dan faal (fungsi) yang
sama dan tertentu;
e. tansplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat dan
atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka
pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi
dengan baik.
f. Donor adalah orang yang menyrrmbangkan alat dan ataujaringan tubuhnya kepada
orang lain untuk keperluan kesehatan;
g. Meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang
berwenang bahwa fungsi otalq pernapasan, dan atau dennrt jantung seseorang telah
berhenti;
h. Ahli urai adalah dokter atau sarjana kedokteran yang diakui telah memperoleh
keahlian ilmu urai:
i. museum anatomi dan patologi adalah tempat menfmpan jaringan dan alat tubuh
manusia yang sehat dan yang sakit yang diawetkan untuk tujuan pendidikan ilmu
kedokteran;
j. Bank alat dan jaringan tubuh adalah suatu unit kedokteran yang bertugas untuk
pengambilan, penyimpanan, dan pengawetan jaringan dan alat tubuh manusia untuk
transplantasi dan penggantian (substitusi) dalam rangka pemulihan kesehatan.
BAB II
BEDAH MAYAT KLINIS
Pasal 2
Bedah mayat klinis hanya boleh dilakukan dalam keadaan sebagai berikut.
a. Dengan persefujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah
penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan
dengan pasti;
b. Timpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita
menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya.
c. Tanpa persetujuan penderita atau keluargany yang terdekat, apabila ddam jangka waku
2x24 (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal
dunia datang ke rumah Sakit.
Pasal 3
Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang disediakan.
untuk keperluan itu.
Pasal 4
Perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilaksanakan sesuai
dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tirhan Yang Maha Esa, dan
diatur oleh Menteri Kesehatan.
BAB III
BEDAH MAYAT ANATOMIS
Pasal 5
Untuk bedah mayat anatomis diperlukan mayat yang diperoleh dari rumah sakit dengan
memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan c.
Pasal 6
Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan dalam bangsal anatomis suatu fakultas
kedokteran.
Pasal 7
Bedah mayat anatomis dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Sa{ana
Kedokteran di bawah pimpinan dan tanggungjawab langsung seorang ahli urai.
Pasal 8
Perawatan mayat sebelum, selama dan sesudah bedah mayat anatomis dilaksanakan
sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan diatur oleh Menteri Kesehatan.
BAB IV
MUSEUM ANATOMIS DAN PATOLOGI
Pasal 9
Untuk kepentingan pendidikan, penyelidikan penyakit, dan pengembangan ilmu
kedokteran diadakan museum anatomis dan patologi yang diatur oleh Menteri
Kesehatan.

BAB V
TRANSPLANTASI ALAT DAN ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA

Pasal 10
(1) Tlansplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhati-
kan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b.
(2) Tata cara transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diatur oleh Menteri
Kesehatan.
Pasat 11
(1) tansplantasi alat dan atau jaririgan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh
dokter yang beke4'a pada sebuah rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Ke-
sehatan.
(2) tansplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh
dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Pasal 12
Dalam rangka transplantasi penentuan saat mati ditentukan oleh 2 (dua) orang dokter
yang tidak ada sangkut-paut medik dengan dokter yang melakukan transplantasi.
Pasal 13
Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, Pasal 14 dan Pasal 15
dibuat di atas kertas bermaterai dengan 2 (dua) orang saksi.

BAB VI
PENGAMBILAN ALAT DAN/ATAU
JARINGAN TUBUH MANU'IA KORBAN KECELAKAAN

Pasal 14
Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau
Bank Mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan persefujuan
tertulis keluarga yang terdekat.

BABVII
DONOR

Pasal 15
(1) Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia
diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dulu di-
beri tahu oleh dokter yang merawathya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat
-operasi, akibat, dan kemungkinan yang dapat te4'adi.
(2) Dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) harus yakin benar, bahwa calon donor
yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut.
Pasal 16
Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas sesuatu kompensasi
material apapun sebagai imbalan transplantasi.

BAB VIII
PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 17
Dilarang mempeq'ual belikan alat dan atau jaringan tubuh manusia.
Pasal 18
Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam semua
bentuk ke dan dari luar negeri.
Pasal 19
Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 tidak berlaku untuk
keperluan penelitian ilmiah dan keperluan lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 20
(1) Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII, dan Bab
VIII, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp. 7.5 00,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Di samping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) dapat pula
diambil tindakan administratif.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1981 NO.23

PENJELASAN ATAU PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NO. 18 TAHUN 1981
TENTANG BEDAH MAYAT KLINS DAN BEDAH MAYAT ANATOMIS SERTA
TRANSPLANTASI ALAT DAN/ATAU JARINGAN TUBUH MANUSIA

UMUM

A. Bedah-Mayat Klinis
Ilmu kedokteran selalu berkembang berkat ketekunan ahli-ahli yang sudah dapat
menyusun penyakit-penyakit dalam bentuk gejala, perubahan-perubahan yang terjadi
akibat penyakit serta pengobatannya baik secara anatomi fisiologi dan biokimia. Namun,
selalu terdapat di dalam rumah sakit, penyakit-penyakit yang belum jelas sebab
musababnya dan perubahan yang terjadi umpamanya seorang menderita penyakit demam
yang mungkin gejalanya menyerupai tifus abdominalis, namun pada waktu pengobatan dia
tidak memberikan reaksi sebagaimana diharapkan, sampai ia meninggal dunia, maka
bedah mayat klinislah yang akan memberikan jawaban terhadap rahasia ini.
Bedah mayat klinis diperlukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan klinis dan
ilmu pengobatan.
Untuk itu diperlukanmayat penderita yang meninggal dunia di rumah sakit yang
pembedahannya memerlukan kesediaan atau izin dari penderita atau keluarganya.
Bedah mayat klinis juga mernerlukan Peraturan'Pemerintah yang menjamin perlakuan
dan penghormatan terhadap jenazah, demikian pula terhadap peng- ambilan sebagian alat
tubuh yang memperlihatkan kelainan seperti kanker, dan lainlain, yang akan disimpan
dalam suatu museum, sebagai alat peraga baik untuk mahasiswa, maupun penelitian di
bidang ilmu kedokteran.

B. Bedah Mayat Anatomis


Mahasiswa fakultas kedokteran untuk menjadi dokter harus diberi pelajaran ilmu urai baik
secara makroskopis, yang disebut ilmu urai tubuh (anatomis) maupun secara mikroskopis
yang disebut ilmu jaringan tubuh (histologi). Ilmu urai tubuh memberikan kepada
mahasiswa ilmu pengetahuan tentang alat tubuh serta letaknya di dalam tubuh, serta otot,
tulang belulang hati, jantung dan lainlainnya, sedangkan ilmu uraijaringan tubuh
memberikan pengetahuan kepada mahasiswa tentang susunan sel-sel berbagai alat tubuh
(organ).
Tanpa pelajaran ilmu anatomi dan histologi tidaklah mungkin seorang dokter
mengetahui tentang susunan tubuh manusia yang sehat, walaupun ada ilat-alat peraga
tubuh manusia yang dibuat dari bahan tiruan. Namun, hal ini tidak memberikan kesan
yang sebenarnya.
Semua agama dan kepercayaankepadaTuhanYangMaha Esa pada dasarnya tidak
melarang pemakaian mayat seorang dengan ketentuan bahwa mayat tersebut diperlukan
sesuai menurut tiap-tiap agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, diperlukan suatu Peraturan Pemerintah yang menjamin perlakuan
yang baik dan terhormat terhadap mayat sejak manusia meninggal dunia sampai ia
dikuburkan atau diselesaikan dengan cara sebagaimana yang ditentukan oleh agama atau
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dianut oleh mayat tersebut.

C. Tiansplantasi Alat dan/ataruJaringan Tubuh Manusia


Transplantasi alat dan atau jaringan tubuh rnanusia ialah pemindahan alat dan atau
jarir,rgan tubuh yang masih mempunyai daya fildrrp dan sehat untuk menggantikan alat
dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Kita mengenal berbagai macam
transplantasi seperti transplantasi kulit akibat kebakaran yang berasal dari tubuh penderita
sendiri yang disebut "auto transplantasi", transplantasi kornea, yaitu pemindahan selaput
bening mata yang merupakan bagian dari permukaan bola mata kepada seorang buta
akibat kerusakan kornea (karena luka bakar, kemasukan benda halus) dan trakoma,
transplantasi ginjal jantung dan lainJain. Pada umumnya transplantasi alat tubuh diambil
dari orangyangbaru meninggal dunia dan transplantasi itu harus dilakukan tidak lama
sesudah penderita meninggal dunia. Sebab kalau sudah lama meninggal dunia maka alat
dan atau jaringan tubuh ikut mati dan tidak dapat dipergunakan lagi.
Tiansplantasi ginjal dapat juga dilakukan dengan ginjal yang diambil dari tubuh
manusia yang masih hidup.
Semua agamadan kepercayaan kepada Tirhan Yang Maha Esa pada dasar- nya tidak
melarang transplantasi ini, asal penentuan saat mati dan penyeleng- garaan jenazah
terjamin sehingga tidak terjadi penyalahgunaan. Dengan transplantasi, ilmu kedokteran
membuktikan bahwa manusia yang meninggal
duniapun masih dapat berbuat amal saleh terhadap saudara-saudarunya yang sedang
menderita penyakit. Jelaslah bahwa transplantasi berfungsi sebagai usaha pengobatan.
Adanya Peraturan Pemerintah ini diperlukan untuk menjamin bahwa pengambilan alat
dan atau jaringan tubuh manusia yang akan dipindahkan, betJl-betul untuk maksud
pengobatan untuk menolong penderita. Peraturan Pemerintah ini diperlukan juga untuk
memberikan perlindungan hukum kepada pelaksana bedah mayat anatomis, bedah mayat
klinis dan pelaksana trans- plantasi.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 Cukupjelas
Pasal 2
Huruf a
Persetujuan tertulis dapat berasal dari:
- Penderita sendiri, yang diberikan sebelum ia meninggal dunia tanpa sepengetahuan
keluarganya yang terdekat, dan keluargany^ yafig terdekat ikut menyetujuinya
pula;
- Keluarganya yang terdekat dengan pertimbangan untuk kepentingan ilmu ke-
dokteran sehingga dapat diketahui sebab kematian penderita yang bersangkutan. Yang
dimaksud dengan keluarga terdekat ialah isteri, suami, ibu, bapah atau saudara seibu-
sebapak (sekandung) dari penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak yang telah
dewasa dari penderita.

Huruf b
Meskipun tanpa persetujuan tertulis dari penderita atau keluarganya yang terdekat,
berdasarkan pertimbangan untuk melindungi masyarakat dari penyakit yang diderita oleh
penderita dan yang menyebabkan kematiannya, maka bedah mayat klinis dapat dilakukan.

Huruf c
Apabila rumah sakit tempat penderita dirawat dan meninggal dunia setelah memberikan
jangka waktu sampai 2 x 24 (dta kali dua puluh empat) jam tidak ada keluargatyayang
terdekat datang ke Rumah Sakit, bedah mayat klinis dapat dilakukan.

Pasal 3 Cukupjelas
Pasal 4
Untuk bedah mayat klinis pelaksanaan penyelenggaraan mayat agak berbeda sedikit dari
penyelenggar^an mayat untuk bedah mayat anatomis karena pengambilan alat dan atau
jaringan tubuh haruslah dike{akan secepat-cepatnya sesudah penderita meninggal dunia.
Artinya pengambilan alat dan atau jaringan tubuh dapat dilakukan terlebih dahulu,
sebelum penyelenggaraan mayat dilakukan seperti yang dilakukan pada bedah mdyat
anatomis.
Untuk hal tersebut akan diatur oleh Menteri Kesehatan agar supaya teq'amin
pelaksanaannya.

Pasal 5, 6, 7, 8,9, 10, 11, Cukup jelas


Pasal 12
Penentuan saat meninggal dunia seorang di rumah sakit yang sudah modem tidak lagi
dilakukan dengan cara lama yaitu seseorang dianggap meninggal dunia apabila pernapasan
dan peredaran darahnya sudah berhenti, akan tetapi dengan menggunakan alat yang
disebut elektroencepalograf (alat yang mencatat aktivitas otak). Meskipun dengan
elektroencepalograf menunjukkan seseorang telah meninggal dunia, namun ada alat dan
atau jaringan tubuh yang masih hidup secara fisiologi dalam jangka waktu tertentu,
sehingga dapat dilakukan pengambilan dan pemindahan alat dan ataujaringan tubuh untuk
keperluan transplantasi. Untuk menjamin penentuan saat meninggal dunia seorang secara
obyekti{ maka penentuan ini dilakukan oleh dokter lain, yang tidak melaksanakan
transplantasi.

Pasal 13 Cukupjelas

Pasal 14
Korban kecelakaan adakalanya dalam keadaan gawat dan tidak sadar. Apabila korban
tersebut menderita luka berat hingga tidak mungkin ia diajak bicara untuk mengizinkan
pengambilan alat dan atau jaringan tubuhnya apabila ia sudah meninggal dunia, maka. izin
pengambilan hanya dilakukan dengan persetujuan keluarga terdekat, yaitu isterV
suami./ibu./bapak atau saudara seibu-sebapak dan saudara ibu dan bapak dan anak yang
telah dewasa.
Sebelum pengambilan alat dan ataujaringan tubuhnya dilakukan maka dalamjangka
waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat)jam sejak ia meninggal dunia keluarganya yang
terdekat harus diberitahu. Apabila dalam jangka waktu tersebut tidak ada keluarga yang

Lompiron 249
datang mengambil atau mengurus jenazah maka haruslah pengambilan alat dan atau
jaringan tubuhnya boleh dilakukan.

Pasal 15 Cukupjelas
Pasal 16 Cukupjelas

Pasal 17
Alat dan atau jaringan tubuh manusia sebagai anugerah Tirhan Yang Maha Esa kepada
setiap insan tidaklah sepantasnya di1'adikan obyek untuk mencari keuntungan.

Pasal 18 dan Pasal 19


Pengiriman alat dan atau jaringan rubuh manusia ke dan dari luar negeri haruslah dibatasi
dalam rangka penelitian ilmiah, ke{a sama dan saling menolong dalam keadaan tertentu.

Pasal 20
Ancaman pidana tersebut ditetapkln berdasarkan ketentuan Staatsllad Tahun 1927 No. 346
yang menetapkan bahwa kecuali apabila dengan ordonansi ditetapkan lain, maka dalam
"peraturan pelaksanaan" dapat ditetapkan sebagi hukuman kurungan tehadap pelanggar
peraturan selama-lamanya 3 (tiga) bulan btau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,-
(tujuh ribu limaratus rupiah) dengan disertai perampasan barang tertentu ataupun tidak,
bagi pelanggar ketentuan da.lam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab \rII dan Bab VIII
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 21 Cukup jelas


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 3195.

Lampiran 10

PERATURAN MENTRI KESEATAN RI


NO. 554/MENKES/PER/XII/1982
TENTANG PANITIA PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN
ETIKA KEDOKTERAN

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONE'IA


Menimbang:
a. bahwa tugas proGsional dokter dan dokter gigi dalam pengabdiannya makin
bertambah berat sesuii dengan perkembangan ilmu kedokteran modern, sehingga
setiap dokter dan dokter gigi menghayati dan mengamalkan Kode Etika kedokteran
yang berlaku sebagai salah satu unsur peran serta aktif dalam rangka mencapai tujuan
pembangunan Nasional dan pembangunan kesehatan pada khususnya;
b. bahwa Peraturan.Menteri Kesehatan RI No. 02,2 Birhukmas/I /75 tentang Panitia
Pertimbangan dan Pembinaan etika kedokteran sudah tidak memadai untuk
menampung hal-hal sebagaimana dimaksud huruf a di atas, oleh karena itu perlu
diganti.
Mengingat:
1. Undang-undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
(Lembaran Negara Thhun 1960 No. 131, Tambahan Lembaran Negara No.
2068);
2. Undang-undang No. 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Thhun 1963 No. T9,Tambahan Lembaran Negara No. 2576);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 44 dan No. 45 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok dan Susunan Organisasi Departemen;
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. L2SAY/KAB/ BU
/l9TStentangSusunan Organisasi dan Thta Kery'a Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,
5. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 275/Menkes/SK/Vll/79 tentang
Susunan Organisasi dan Thta Keq'a Kantor Wilayah Departemen Kesehatan
Kabupaten Kotamadya.
Memperhatikan:
1. Hasil Musyawarah Kel'a Nasional Etika kedokteran ke II yang di-
selenggarakan pada tanggal 14-17 Desember 1981 diJakarta.
2. Hasil Musyawarah Kerja Nasional Etika kedokteran Gigi tanggal 11 Agustus 1979 dan
tanggal2l Nopember 1979 diJakarta.

MEMUTUSKAN

Menetapkan:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK IND ONESIA TENTANG PANITIA
PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN ETIKA KEDOKTERAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

1. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini yang dimaksud dengan:Etika kedokteran ialah
norma yang berlaku bagi dokter dan dokter gigi dalam menjalankan profesinya sebagai
tercantum dalam kode etik masing-masing yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
2. DirekturJenderal adalah DirekturJenderal yang bertanggung jawab di bidang pelayanan
kesehatan.
3. Menteri adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

BAB II
PANITIA PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN
ETIKA KEDOKTERAN PUSAT

BAGIAN PERTAMA

Pembentukan panitia

Pasal 2
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika kedokteran Pusat (selanjutnya disebut P3EK)
terdiri dari unsur-unsur Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan c.q. Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Gigi, Pengurus Besar Ikatan
Dokter Indonesia, dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
Pasal 3
P3EK Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
Pasal 4
(1) Personalia P3EK Pusat dibentuk dan diangkat oleh Menteri.
(2) P3EK Pusat diangkat untuk masa jabatan 1 (satu) tahun dan selanjutnya dapat
diangkat kembali.
Pasal 5
(1) Personalia P3EK Pusat terdiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang dan selanyak-
banyaknya 9 (sembilan) orang dokter dan dokter gigi dengan susunan sebagai berikut.
a. Kefua merangkap anggota;
b. Wakil Ketua merangkap anggota;
c. Sekretaris merangkap anggota;
d. Anggota.
(2) Administrasi Sekretariat P3EK Pusat diselenggarakan oleh Sub Direktorat Rehabili-
tasi Medis dan Kedokteran Sosial Direktorat Rumah Sakit atau Satuan Kerja yang
ditunjuk oleh Direktorat Jenderal.
Pasal 6
Apabila ada anggota mengundurkan diri atau meninggal dunia, Menteri mengangkat
penggantinya dengan memperhatikan pasal 2

BAGIAN KEDUA
Tugas dan wewenang
Pasal 7
P3EK Pusat berrugas:
a. memberi pertimbangan tentang Etika kedokteran kepada.Menteri.
b. membina dan mengembangkan secara aktif Kode Etik Kedokteran Indonesia dan
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia dengan bekerja sama dengan Ikatan Dokter
Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
c. memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang
kesehatan.
d. menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh P3EK Provinsi.
e. menerima rujukan terakhir dalam permasalahan pelanggaran Etika kedokteran atau
Etika kedokteran Gigi.
f mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang
berkaitan.
Pasal 8
P3EK Pusat dalam persoalan Etika kedokteran dan khususnya dalam menangani
pelanggaran Kode Etik masing-masing bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia
atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
Pasal 9
Wilayah wewenang (teritorial) P3EK Pusat adalah:
a. Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia
b. Wilayah lain yang tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia.
Pasal 10
(1) P3EK Pusat atas nama Menteri berwenang memanggil mereka yang dirujuk dalam
suatu persoalan Etika kedokteran untuk diminta keterangannya.
(2) Biaya pemanggilan dimaksud dalam ayat (1) dibebankan pada Anggaran Belanja
Departemen Kesehatan c.q. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan.
Pasal 11
Biaya P3EK Pusat dibebankan kepada Anggaran Belanja Departemen Kesehatan c.q.
Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan.

BAB III
PANITIA PERTIMBANGAN DAN PEMBINAAN
ETIKA KEDOKTERAN PROVINS
BAGIAN PERTAMA
Pembentukan Peneliti
Pasal 12
Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika kedokteran Provinsi (selanjutnya disebut
P3EK Provinsi) terdiri dari unsur Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi,
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Tingkat I, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran
gigi (ika ada), Ikatan Dokter Indonesia Provinsi dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia
Provinsi.
Pasal 13
P3EK Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi.
Pasal 14
(1) P3EK Provinsi dibentuk dan diangkat oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kesehatan Provinsi setelah berkonsultasi dengan Gubernur Kepala Daerah Tingkat
I
(2) P3EK Provinsi diangkat untuk masa jabatan 1 (satu) tahun dan selanjutnya dapat
diangkat kembali.
Pasal 15
(1) P3EK Provinsi terdiri sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya
7 (tujuh) orang dokter dan dokter gigi dengan susunan sebagai berikut.
a. Ketua merangkap anggota;
b. Wakil Ketua merangkap anggota
c. Sekretaris merangkap anggota
d. Anggota.
(2) Adminsitrasi Sekretariat P3EK Provinsi berkedudukan di Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Provinsi.
Pasal 16
Apabila ada anggota yang mengundurkan diri atau meninggal . dunia, Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi megangkat penggantinya dengan
memperhatikan pasal 12.

BAGIAN KEDUA
Tugas dan Wewenang
Pasal 17
(1) P3EK Provinsi bertugas dan berwenang:
a. Menerima dan memberi peftimbangan tentang persoalan dalam bidang Etika
kedokteran dan Etika kedokteran Gigi di Wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Provinsi.
b. Mengawasi pelaksanaan Kode Etik Kedokteran dan Kode Etik Kedokteran Gigi
dalam wilayahnya.
c. Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hukum dan instansi lain yang
berkaitan dalam tingkat provinsi.
d. Memberi nasihat kepada dokte.r dan dokter gigi.
e. Membina dan mengembangkan secara efektif Kode Etik Kedokteran Indonesia dan
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
f. Memberi pertimbangan-pertimbangan dan usul-usul kepada pejabat yang berwenang
di bidang kesehatan dalam wilayah Provinsi.
(2) P3EK Provinsi atas nama Kepala Kantor Wilayah Kesehatan Provinsi berwenang
memanggil mereka yang bersangkutan dalam suatu persoalan Etika kedokteran dan Etika
kedokteran g1g1 untuk diminta keterangannya, dengan pemberitahuan kepada Kepala
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pasal 18
Wilayah wewenang P3EK Provinsi ialah Wilayah Daerah Tingkat I Provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 19
(1) Untuk keperluan tersebut dalam pasal 17 ayat (2) P3EK Provinsi jika perlu dapat
membentuk Panitia Ad Hoc untuk Daerah Kabupaten./Kotamadya Daerah Tingkat
II.
(2) P3EKProvinsiberdasarkanhasilpemeriksaanyangdirnaksud adilahayat (1) dapat
menyatakan bersalah.
Pasal 20
P3EK Provinsi dalam persoalan Etika kedokteran dan khususnya dalam menangani
pelanggaran Kode Etik masing-masing bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia
Provinsi atau Persatuan Dokter Gigi Indonesia Provinsi dan cabang-cabangnya.
Pasal 21
Biaya P3EK Provinsi dibebankan pada Anggaran Belanja Departemen Kesehatan cq
Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi.
Pasal 22
1) P3EK Provinsi dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasall9 ayat (2)
mengusulkankepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi untuk
mengambil tindakan yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang
bersangkutan.
2) Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi dapat mengambil tindakan
berupa peringatan atau tindakan administratif terhadap dokter atau dokter gigisesuai
dengan berat ringannya pelanggaran.
3) Keputusan Kepala Kantor Wilayah yang dimaksud dalam ayat Q)
disampaikankepada dokter atau dokter gigi yang bersangkutan dengan tembusan
kepada MenteriKesehatan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, P3EK Brovinsi, dan
P3EK Pusat
4) Dalam hal dokter atau dokter grgr yang melakukan pelanggaran berstatus Pegawai
Negeri Sipil yang diperbantukan pada Daerah, kepada yang bersangkutan akan
diambil tindakan administratif, yang sebelumnya perlu dikonsultasikan dengan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Pasal 23
1) Apabila dokter dan dokter gigi bersangkutan sebagaimana dimaksud dalampasd,22
berkeberatan terhadap keputusan bersalah yang dinyatakan oleh pihak yang
berwenang, yang bersangkutan dapat mengajukan banding dalam waktu 20 (dua
puluh) hari ke P3EK Pusat.
2) Pernyataan banding dalarn ayat (1) disampaikan ke P3EK Pusat melalui P3EK
Provinsi.
3) P3EK Provinsi meneruskan banding tersebut dalam ayat (2) dalam waktu selambat-
lambatnya 7 (tujuh).hari terhitung sejak tanggal diterimanya banding.
4) Apabila dokter.atau dokter gigi dalam waktu 20 (duapuluh) hari tidak mengajukan
banding dokter atau dokter gigi yang bersangkutan dianggap telah menerima
keputusan yang dimaksud dalam pasal22.
5) Kepah Kantor Wilayah Kesehatan Provinsi belum diperkenankan menjalankan
keputusan dimaksud dalam pasal 22 apabila yang bersangkutan mengajukan banding.
Pasal24
1) P3EK Pusat setelah menerima berkas banding segera memeriksa dan mengambil
keputusan banding.
2) P3EK Pusat meyampaikan keputusan kepada Menteri untuk mengambil tindakan
yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
3) Keputusan Menteri baik berupa peringatan atau tindakan administratif disampaikan
kepadadokter atau doker gigi dengan tembusan ke instansi yang bersangkutan.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
1) Pelaksanaan Peraturan Menteri yang bersifat teknis diatur lebih lanjut oleh Direktur
Jenderal.
2) Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, Peraturan Menteri Kesehatan No. 022
Birhukmas/I/75 tentang Panitia Pertimbangan dan Pembinaan Etika kedokteran
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia'
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. 14 TAHUN 1983
Lampiran 11
FAKULTAS SUMATERA UTARA
Surat Bukti Sumpah/JanJi *) Dokter Fakultas Kedokteran USU Di Medan
Menerangkan bahwa

Lahir di
Pada Tanggal

Telah mengucapkan sumpa dokter pada


Tanggal menurut aturan agamanya

Medan

Saksi
Pembantu Dekan I Dekan

LAFAL SUMPAH DOKTER


Berdasarkan
SK. MENKES No. 434,M enkes/ SK/X/ 1983
Potret, tanda tangan, dan No. pendaftaran fakultas dari pemilik
(Sesudah ditempelkan, potret harus dicap dengan cap fakultas)

DEMI ALLAH SAYA BERSUMPAH BAHWA:


Saya akan membaktikan hidup saya, guna kepentingan perikemanusiaan.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga, martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila,
sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
Saya akan menjalankan tugas saya, dengan mengutamakan kepentingan
masyarakat.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya,
dan karena keilmuan saya sebagai dokter.
Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya, untuk sesuatu
yang bertentangan dengan perikemanusiaan sekalipun diancam.
Saya akan menghormati setiap hidup insani, mulai dari saat pembuahan.
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh, supaya saya tidak terpengaruh
oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, perbedaan kelamin, politik
kepartaian, atau kedudukan sosial, dalam menunaikan kewajiban ter- hadap penderita.
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya, penghormatan dan pernyataan terima kasih
yang selayaknya.
Saya akan perlakukan teman sejawat saya, sebagaimana saya sendiri ingin
diperlakukan.
Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh, dan dengan mempertaruhkan
kehormatan diri saya.

Lampiran 12
PERYATAAN IDI TENTANG
REKAM MEDIS/KESEHATAN (MEDICAL RECORD)
(LAMPIRAN SK PB IDI NO315/PB/A4/88)

1. Rekam medis kesehatan adalah rekam dalam bentuk tulisan atau gambaran 'akivitas
pelayanan yang diberikan oleh pemberi pelayanan medis,/kesehatankepada seorang
pasien.
2. Rekam medis,/kesehatan meliputi: identitas lengkap pasien, catatantentang penyakit
(diagnosis, terapi, pengamatan perjalanan penyakit), catatan dari pihak ketiga, hasil
pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, pemeriksaan USG, dan lain-lain serta
resume.
3. Rekam medis,/kesehatan harus dibuat segera dan dilengkapi seluruhnya paling lambat
48 jam setelah pasien pulang atau meninggal.
4. Perintah dokter melalui telepon untuk suatu tindakan medis, harus diterima oleh
perawat senior. Perawat senior yang bersangkutan harus membaca ulang catatannya
tentang perintah tersebut dan dokter yang bersangkutan.men- dengarkan pembacaan
ulang itu dengan seksama serta mengoreksi bila ada kesalahan. Dalam waktu paling
lambat 24 jam, dokter yang memberi perintah harus menandatangani catatan tersebut.
5. Perubahan terhadap rekam medis,/kesehatan harus dilakukan dalam lembar khusus
yang harus diy'adikan satu denga.n dokumen untuk rekam medis,/ kesehatan lainnya.
6. Rekam medis,/kesehatan harus ada untuk mempertahankan kualitas pelayan- an
profesional yang tinggi, untuk melengkapi kebutuhan informasi locumtennens, untuk.
kepentingan dokter pengganti yang meneruskan perawatan pasien, untuk referensi
masa datang, serta diperlukan karena adanya hak untuk melihat dari pasien.
7. Berdasarkan butir 6 di atas, rekam medis,/kesehatan wajib ada di rumah sakit,
Puskesmas atau balai kesehatan dan praktik dokter pribadi atau praktik berkelompok.
8. Berkas rekam medis,/kesehatan adalah milik rumah sakit, fasilitas kesehatan lain atau
dokter praktik pribadi./kelompok. Oleh karena itu, rekam medis,/ kesehatan hanya
boleh disimpan di rumah sakit, fasilitas kesehatan lainnya dan dokter prakik prib;adi/
kelompok.
9. Pasien adalah pemilik kandungan isi rekam medis,/kesehatan yang bersangkut- an,
maka dalam hal pasien tersebut menginginkannya dokter yang merawat harus
mengutarakannyabaik secara lisan maupun terfulis.

Anda mungkin juga menyukai