Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH BIOTEKNOLOGI

“BIOTEKNOLOGI HEWAN”

Kelompok 6
Nama Anggota:
Aswinda Wardani
Liza Luhtfiah
Nadiatul Khairo
Rika Herlyana
Windi Febriatika

Dosen Pengampu:
Dr. Irdawati, S.Si, M.Si

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
A. Hewan sebagai Model dalam Penelitian Dasar
Riset ilmiah dalam bidang medis meliputi penelitian biomedik, epidemologi, sosial,
serta perilaku. Awalnya riset ilmiah dalam bidang medis dilakukan secara in vitro, yakni
memakai model matematik atau simulasi komputer. Jika hasil penelitian akan
dimanfaatkan untuk manusia, diperlukan penelitian lanjutan dengan menggunakan bahan
hidup (in vivo) seperti galur sel dan biakan jaringan. Walaupun demikian, untuk
mengamati, memahami dan menyimpulkan seluruh kejadian pada makhluk hidup secara
utuh diperlukan hewan percobaan. Hewan percobaan dalam penelitian disebut sebagai
semi final test tube. (Ridwan, 2013: 113)
Kegiatan riset ilmiah yang menggunakan hewan percobaan diperlukan untuk upaya
kemanusiaan. Salah satunya adalah upaya pengobatan untuk penyembuhan penyakit pada
manusia yang sebelumnya harus menempuh langkah uji coba. Dalam hal ini, untuk
memastikan keberhasilan suatu bahan uji coba (obat untuk kebutuhan makhluk hidup),
hewan percobaan digunakan sebagai semi final test tube untuk uji keamanan dan
kelayakan bagi kehidupan manusia.
Riset yang menggunakan hewan percobaan dengan dalih untuk kemajuan ilmu
tersebut terjadi di berbagai bidang, antara lain adalah dalam bidang kedokteran umum,
kedokteran hewan, kedokteran gigi, keperawatan, farmasi, ilmu biologi, pertanian, dan
bidang ilmu lainnya. Pengunaan hewan dilakukan jika uji kelayakan tersebut tidak
mungkin dilakukan kepada manusia, sehingga peran hewan sangat dibutuhkan. Hal
tersebut otomatis memerlukan hewan percobaan dengan jumlah sangat besar.
Selama ini, penelitian di berbagai bidang yang menggunakan hewan sebagai objek
percobaan telah menghabiskan sampai 70.000.000 hewan per tahun. Percobaan pada
hewan tersebut sering dilakukan dalam hal pembedahan makhluk hidup atau mutilasi,
yang kemudian banyak mengakibatkan kematian. Selain itu, dalam hal ini hewan juga
sering digunakan untuk kepentingan pendidikan ilmiah dan medis. Dalam kegiatan seperti
ini, hewan sengaja dilukai dalam beberapa hal untuk mengajarkan bagaimana untuk
memperbaiki luka, mengatur patah tulang, dan sebagainya (LaFollette dan Shanks, 1996:
Resnik, 2013: 123).
Meski demikian, terdapat suatu penolakan terhadap objektivitas riset ilmiah dalam
penggunaan hewan percobaan, bahwa dalam pelaksanaannya, riset
tersebut tidak sesuai dalam standar objektif ilmu. Di satu sisi, persoalan objektivitas ilmu
secara positivis memandang bahwa idealitas ilmu dapat dicapai dengan menekankan
unsur nilai epistemik ilmu, yakni langkah metodis dalam pemilihan teori. Di sisi lain,
perkembangan objektivitas ilmu di era kontemporer memandang bahwa objektivitas ilmu
tidak bisa lepas dari pengaruh sistem yang dibentuk oleh manusia, yakni keberadaan nilai
non-epistemik seperti agama, ekonomi, sosial-politik, budaya dan hidup kemasyarakatan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, ilmu dalam perkembangannya tidak dapat
terlepas dari pengaruh nilai epistemik maupun non-epistemik. Objektivitas ilmu dalam
penggunaan hewan percobaan bidang medis, dalam ranah internal maupun eksternal
memiliki problem nilai dalam pencapaiannya. Aspek metodologis ilmu dalam
pelaksanaanya, maupun persoalan independensi dan orientasi ilmu, adalah kunci
terwujudnya suatu objektivitas ilmu.

Manfaat Penelitian
a. Bagi Ilmu dan Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bagian dan menambah wawasan serta
pemikiran tentang perkembangan ilmu dalam dunia riset ilmiah melalui sudut pandang
filsafat. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi pemikiran
dalam studi filsafat keilmuan bagi kalangan intelektual dan Masyarakat Ilmiah. Kemudian
dikembangkan dan ditindak-lanjuti pada masa-masa yang akan datang.
b. Bagi Pembaca Awam atau Masyarakat Luas
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi positif serta memberikan
gambaran baru tentang eksistensi penggunaan hewan percobaan dalam riset ilmiah.
Kemudian, dapat mewujudkan kegiatan ilmiah yang bermartabat berdasarkan nilai
objektivitas ilmu.
c. Bagi Perkembangan Bidang Ilmu Filsafat
Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangsih terhadap aspek pengembangan keilmuwan
bidang aksiologi dalam filsafat ilmu. Terutama dapat dijadikan sumber referensi bagi
kalangan mahasiswa filsafat yang akan menyelesaikan karya ilmiah di perguruan tinggi
dengan objek formal atau material yang sama.
Hewan percobaan adalah hewan yang dapat digunakan untuk tujuan suatu penelitian yang
meliputi hewan laboratorium hingga hewan ternak. Penggunaan hewan percobaan dalam
berbagai penelitian biomedikal seperti penelitian toksikologi, nutrisi, mikrobiologi,
imunologi, dilakukan untuk pengembangan obat-obatan, vaksin serta bedah dan produk-
produk khusus misalnya; kosmetik, shampoo, dan pasta gigi. Hewan percobaan juga
digunakan untuk proses pembelajaran dalam dunia pendidikan. Hewan percobaan yang
paling sering digunakan untuk penelitian dapat digolongkon berdasarkan anatomi,
fisiologi, dan behaviour-nya, seperti; Rodensia dan Kelinci, Karnivora, Primata, Ungulata
dan Unggas (Kusumawati, 2004: 1-4).
“Beberapa alasan mengapa hewan percobaan tetap diperlukan dalam penelitian khususnya
di bidang kesehatan, pangan dan gizi antara lain: (1) keragaman dari subjek penelitian
dapat diminimalisasi, (2) variabel penelitian lebih mudah dikontrol, (3) daur hidup relatif
pendek sehingga dapat dilakukan penelitian yang bersifat multigenerasi, (4) pemilihan
jenis hewan dapat disesuaikan dengan kepekaan hewan terhadap materi penelitian yang
dilakukan, (5) biaya relatif murah, (6) dapat dilakukan pada penelitian yang beresiko
tinggi, (7) mendapatkan informasi lebih mendalam dari penelitian yang dilakukan karena
kita dapat membuat sediaan biologi dari yang maksimum untuk keperluan penelitian
simulasi, dan (9) dapat digunakan untuk uji keamanan, diagnostik dan toksisitas”
(Rustiawan dalam Ridwan, 2013: 114).

Penelitian kesehatan yang menggunakan model hewan menyepakati ahwa, hewan


percobaan yang menderita dan mati untuk kepentingan manusia perlu dijamin
kesejahteraannya serta diperlakukan secara manusiawi. Penelitian
yang menggunakan hewan percobaan, menerapkan prnsip 3R dalam protokol
penelitian, yaitu: (1) replacement, (2) reduction dan (3) refinement. Replacement
adalah pertimbangan pemanfaatan hewan percobaan dari pengalaman sebelumnya
maupun literatur dalam upaya menjawab pertanyaan penelitian kesehatan yang
tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.
Reduction adalah upaya pemanfaatan hewan sesedikit mungkin dalam penelitian
kesehatan, tetapi tetap menghasilkan hasil yang optimal. Refinement adalah
perlakuan secara manusiawi terhadap hewan percobaan, memelihara, tidak
menyakiti dan meminimalisir perlakuan yang menyakitkan pada hewan hingga
akhir penelitian. (Ridwan, 2013: 114-115)
Argumen dasar dalam penelitian hewan adalah bahwa manfaatnya untuk
manusia dalam banyak hal (Botting dan Morrison dalam Resnik, 2013: 124).
Hewan memainkan peran penting dalam penelitian dasar karena manusia dan
hewan memiliki banyak persamaan fisiologis, anatomi, biokimia, genetika, dan
persamaan perkembangan: pengetahuan tentang otak Tikus dapat membantu
dalam pemahaman tentang otak manusia. Meskipun ada beberapa alternatif untuk
model hewan, mereka memiliki aplikasi yang terbatas. Tanpa menggunakan
hewan dalam penelitian, manusia akan kekurangan makanan yang aman, obat-
obatan, dan kosmetik serta banyak pengetahuan medis dan biologi. Hewan
dikorbankan untuk memaksimalkan konsekuensi yang baik bagi manusia.
(Resnik, 2013: 125)
“Beberapa penelitian yang membutuhkan hewan percobaan bertujuan
untuk uji toksisitas atau untuk menentukan manfaat suatu bahan atau obat.
Penggunaan obat baru pada manusia akan menimbulkan efek-efek yang
diinginkan dan bermanfaat untuk beberapa kasus. Akan tetapi penggunaan obat
juga bisa menimbulkan efek yang tidak diinginkan, berbahaya dan berefek toksik.
Tujuan utama uji toksisitas adalah menentukan derajat dan macam-macam efek
yang merugikan sebelum obat dipakai secara luas untuk tujuan terapi di
masyarakat” (Kusumawati, 2004: 66).
Selain itu dalam keperluan ilmu kedokteran, penelitian untuk keperluan
terapeutik, profilaksis, diagnostik dan alat baru pada manusia harus aman dari
konsekuensi apapun. Syarat utama secara nasional maupun internasional maupun
nasional dalam kode etik penelitian pada manusia, zat atau alat baru tidak boleh
digunakan untuk pertama kali pada manusia, kecuali bila sebelumnya telah diuji
pada hewan dan diperoleh kesan yang cukup untuk keamanannya. (Isbagio, 1992:
18)
Akan tetapi, terdapat pula penolakan dalam penggunaan hewan percobaan.
Bahwa hewan memiliki hak moral berdasarkan kepentingan mereka. Hewan
memiliki kepentingan untuk tidak dibunuh, dirugikan, atau ditempatkan di
penangkaran, misalnya. Selama hewan memiliki hak, mereka tidak harus
dikerahkan dan dikorbankan di atas nama ilmu pengetahuan. Karena dalam hal
ini, hewan tidak memilih untuk menjadi objek dalam penelitian dan kita tidak bisa
membuat pilihan atas nama hewan, sehingga hampir semua eksperimen yang
melibatkan hewan harus dihentikan. (Regan dalam Resnik, 2013: 127)
Alasan lain terhadap penolakan eksperimen hewan percobaan adalah
terkait problem etis yang dilematis. Dewasa ini, semakin banyak orang yang
merasa sudah tidak etis lagi untuk mengorbankan kehidupan hewan demi
kesegaran manusia. Ada dua alasan utama yang mereka kemukakan, pertama
adalah bahwa membunuh merupakan kesalahan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Kedua, menyakiti atau menimbulkan penderitaan juga
merupakan kesalahan. Di Inggris, 49% dari sampel 888 orang dewasa berpendapat
bahwa eksperimen ilmiah yang menggunakan hewan uji, secara moral tidak bisa
diterima. Akan tetapi, 50% beranggapan bahwa eksperimen dengan menggunakan
embrio manusia lebih salah secara moral. Dipihak lain, hampir semua orang
termasuk yang menamakan dirinya sebagai pelindung hak hewan, menginginkan
adanya perbaikan dalam bidang kesehatan dan keamanan obat dan bahan kimia
lain serta prosedur medis (seperti teknis operasi atau bedah) yang diaplikasikan
pada manusia. (Gao, 2000: 63)

B. Clone vs Hewan Transgenik


1. Kloning
Kloning berasal dari kata “Clone” yang merupakan kata dari bahasa inggris berarti
“Potongan” biasanya digunakan untuk memperbanyak tanaman, untuk pertama kalinya
cloning muncul berkat usulan dari salah satu para ahli bernama Herbert Webber sekitar
tahun 1903 . dalam mengistilahkan dari sekelompok individu makhluk hidup yang di
lahirkan dari satu induk tanpa perlu melakukan proses seksual.
Pada setiap bagian Klon tersebut mempunyai berbagai susunan dan juga jumlah
gen yang sama serta memiliki kemungkinan yang besar fenotipnya pun sama. Klon
umumnya di gunakan pada 2 Pengertian di antaranya adalah :
a. Klon Sel
adalah sekelompok sel yang identik dari berbagai sifat genetiknya, yang
berasal dari satu sel.
b. Klon Gen
Disebut juga molekuler yang mana merupakan sekelompok salinan dari
Gen yang memiliki sifat identiknya direplikasi yakni dari satu gen yang di
masukan dalam sel inang.

Konsep dari cloning ini berdasarkan dari prinsip bahwasanya disetiap makhluk
hidup mempunyai kemampuan totipotensi, jadi pada setiap sel mempunyai kemampuan
menjadi suatu individu. Kloning pada hewan adalah proses duplikasi yang mengambil
seluruh informasi genetik yang berasal dari induk yang akan dikloning. Dalam kasus ini,
hasil kloning tersebut nantinya akan menghasilkan individu yang tentunya memiliki
informasi genetik yang sama dengan induknya, termasuk persamaan DNA, sifat, ciri dan
lain sebagainya. Pada umumnya, kasus kloning ini sebenarnya sudah dapat ditemukan di
alam, hanya saja terjadi pada beberapa makhluk hidup yang reproduksinya secara aseksual
saja.

Secara umum, kloning pada hewan melibatkan 2 pihak, yaitu pihak pendonor sel
somatis yang didapat dari sel tubuh dan pendonor ovum yang didapat dari sel gamet. Ketika
proses kloning terjadi, kehadiran dari sang induk merupakan sesuatu yang mutlak dan tidak
dapat dihindari. Akan tetapi pada proses kloning hewan tidak terjadi fertilisasi & DNA
rekombian gen yang berasal dari sang jantan dan betina seperti yang terjadi pada proses
kloning pada manusia.

2. Hewan Transgenik

Hewan transgenik adalah hewan dimana dengan sengaja telah dimodifikasi


genome-nya, gen disusun dari suatu organisme yang dapat mewarisi karakteristik tertentu.
Hewan transgenik dikembangkan dengan 3 cara, yaitu mikroinjeksi DNA, transfer gen
dengan media retrovirus dan transfer gen dengan media sel cangkokan embrionik.
Mikroinjeksi DNA dilakukan dengan melakukan injeksi langsung gen terpilih yang
diambil dari anggota lain dalam spesies yang sama ataupun berbeda ke dalam pronukleus
ovum yang telah dibuahi. Transfer gen dengan media retrovirus menggunakan retrovirus
sebagai vector, kemudian menginjeksikan DNA ke dalam sel inang. DNA dari retrovirus
berintegrasi ke dalam germ untuk bekerja. Transfer gen dengan media sel cangkokan
embrionik diaplikasikan dengan menggunakan sequence DNA yang diharapkan muncul ke
dalam kultur in vitro sel cangkokan embrionik. Sel cangkokan dapat menjadi organisme
lengkap. Sel kemudian berikatan dalam embrio pada tahap perkembangan blastosit.

Tujuan dari hewan transgenik adalah sebagai berikut :

 Meningkatkan produktivitas ternak

seperti konversi pakan, rataan, pertambahan berat badan, mereduksi kandungan lemak,
meningkatkan kualitas daging, susu, wool secara cepat sehingga dapat mengurangi biaya
produksi yang harus ditanggung konsumen.

 Meningkatkan kesehatan ternak


Aplikasi dari teknologi transgenik juga digunakan untuk memperbaiki kesehatan ternak.
Beberapa pendekatan dilakukan untuk meningkatkan resistensi ternak terhadap suatu
penyakit dan pembentukan antibodi.

 Bioreaktor untuk produk-produk biomedis


Ternak transgenik memegang peran panting dalam menghasilkan produk-produk untuk
pengobatan penyakit. Ribuan orang mengambil keuntungan dari produk-produk biomedik
yang dihasilkan. Dari ternak transgenik. Contoh : insulin untuk pengobatan penyakit
diabetes dan oksitoksin untuk merangsang kelahiran, dll.

C. Aplikasi Hewan Transgenik


Macam – Macam Bioteknologi Hewan
1. Hewan Transgenik
Hewan transgenik merupakan satu alat riset biologi yang potensial dan sangat menarik
karena menjadi model yang unik untuk mengungkap fenomena biologi yang spesifik
(Pinkert, 1994). Sedangkan hewan transgenik menurut Federation of European
Laboratory Animal Associations adalah hewan dimana dengan sengaja telah dimodifikasi
genome-nya, gen disusun dari suatu organisme yang dapat mewarisi karakteristik tertentu.
Dua alasan umum mengapa hewan transgenic tetap diproduksi :
v Beberapa hewan transgenic diproduksi untuk mempunyai sifat ekonomis spesifik.
Contoh, ternak transgenic diciptakan untuk memproduksi susu yang mengandung protein
khusus manusia, dimana mungkin dapat membantu dalam perawatan penyakit emphysema
pada manusia (penyakit pembengkakan paru-paru karena pembuluh darah).
v Hewan transgenic lainnya diproduksi sebagai model penyakit (secara genetic hewan
dimanipulasi untuk menunjukkan gejala penyakit sehingga perawatan efektif dapat
dipelajari). Contoh, ilmuwan Harvard membuat terobosan besar secar ilmiah ketika
mereka diterima sebuah paten U.S. untuk keahlian tikus secara genetic, dimana tikus
membawa gen yang mengembangkan variasi kanker manusia.
Kemampuan untuk mengintroduksi gen-gen fungsional ke dalam hewan menjadi alat
berharga untuk memecah proses dan sistem biologi yang kompleks. Transgenik mengatasi
kekurangan praktek pembiakan satwa secara klasik yang membutuhkan waktu lama untuk
modifikasi genetik. Aplikasi hewan transgenik melingkupi berbagai disiplin ilmu dan area
riset diantaranya:
1. Basis genetik penyakit hewan dan manusia, disain dan pengetesan terapinya;
2. Resistensi penyakit pada hewan dan manusia;
3. Terapi gen
Hewan transgenik merupakan model untuk pertumbuhan, immunologis, neurologis,
reproduksi dan kelainan darah);
4. Obat-obatan dan pengetesan produk;
5. Pengembangan produk baru melalui “molecular farming”
Introduksi gen ke dalam hewan atau mikroorganisme dapat merubah sifat dari hewan atau
organisme tersebut agar dapat menghasilkan produk tertentu yang diperlukan oleh
manusia seperti factor IX dan hemoglobin manusia.
Produksi peternakan
1) Ternak
Pemanfaatan teknologi transgenik memungkinkan diperolehnya ternak dengan
karakteristik unggul (Pinkert, 1994; Prather et al, 2003). Petani selalu menggunakan
peternakannya yang selektif untuk menghasilkan hewan yang sesuai dengan keinginan.
Misalnya meningkatkan produksi susu, meningkatkan kecepatan pertumbuhan.
Peternakan tradisional memakan waktu dan sulit memenuhi permintaan. Ketika teknologi
menggunakan biologi molekuler untuk mengembangkan karakteristik hewan dengan
waktu yang singkat dan tepat. Disamping itu, transenik hewan menyediakan cara yang
mudah untuk meningkatkan hasil.
2) Kualitas produksi
Sapi transgenic bisa memproduksi susu yang banyak dan rendah laktosa dan kolesterol,
babi dan unggas menghasilkan daging yang lebih banyak, dan domba yang memiliki wool
yang tebal. Di masa lampau, petani menggunakan hormone pertumbuhan untuk memacu
perkembangan hewan tetapi teknik ini bermasalah, khususnya sejak residu hormone masih
terkandung dalm produk.
3) Resistensi penyakit
Ilmuwan mencoba menghasilkan hewan yang resisten terhadap penyakit, seperti babi yang
resisten terhadap influenza, tetapi jumlah gen yang berperan masih terbatas jumlahnya.
Aplikasi Kesehatan
1) Pasien yang meninggal tiap tahun karena butuh pengganti jantung, hati, atau ginjal.
Contoh, sekitar 5000 organ dibutuhkan tiap tahun di UK. Babi transgenic menyediakan
transpalantasi organ yang dibutuhkan untuk meredakan. Xenotransplantation adalah
wadah yang diproduksi oleh protein babi yang dapat menyebabkan alergi pada penerima
donor, tetapi bisa dihindarkan dengan mengganti protein babi dengan protein manusia.
2) Suplement nutrisi dan Obat-obatan
Produk seperti insulin, hormone pertumbuhan, factor anti penggumpalan darah mungkin
terkandung dalam susu sapi, kambing, dan domba transgenic. Penelitian merupakan cara
untuk menghasilkan susu melalui transgenesis untuk penyembuhan penyakit seperti
phenylketonuria (PKU), penyakit pembengkakan paru-paru yang menurun, dan penyakit
kista.
Contoh : Pada tahun 1997, sapi transgenic pertama kali, memproduksi yang kaya akan
protein 2,4 gr per liter. Susu sapi transgenic ini lebih bernutrisi daripada susu sapi biasa.
Susu ini dapat diberikan pada bayi atau dan orang dewasa dengan gizi yang dibutuhkan
dan mudah dicerna. Karena mengandung gen alpha-lactalbumin.
3) Terapi Gen Manusia
Terapi gen manusia meliputi penambahan copyan gen normal pada genome orang yang
memiliki gen yang tidak normal. Perlakuan tersebut berpotensi pada 5000 penyakit genetic
yang besar dan hewan transgenic. Contoh, salah satu institute di finladia memproduksi
gen anak sapi mampu memacu pertumbuhan sel darah merah di manusia
(Margawati,2009).
Aplikasi industri
Pada tahun 2001, 2 ilmuwan di Canada menyambung gen laba-laba ke dalam sel penghasil
susu kambing. Kambing mulai menghasilkan strand seperti serabut sutra saat pemerahan
susu. Dengan mengekstrak polimer strand dari susu dan menenunnya menjadi benang,
kemudian ilmuwan membuatnya menjadi mengkilat, keras, dan fleksibel dan
diaplikasikan pada pembuatan kain, kasa steril, dan string raket tenis.
Hewan transgenic yang sensitive terhadap racun telah diproduksi untuk uji keamanan
kimia. Mikroorganisme telah dirancang untuk meproduksi varietas protein yang dapat
memproduksi enzim untuk mempercepat reaksi kimia pada industri.
Kualitas produk transgenic
Di masa yang akan datang hewan transgenik akan diproduksi dengan penyisipan gen pada
lokasi yang spesifik dalam genom. Teknik ini telah terbukti berhasil pada mencit tetapi
masih Iintensif diteliti pada hewan-hewan besar.
Kultur Sel Hewan
Kultur sel hewan adalah sisitem menumbuhkan sel manusia maupun hewan untuk tujuan
memproduksi metabolit tertentu. Pada saat sekarang aplikasi dari system ini banyak
digunakan untuk menghasilkan untuk menghasilkan produk-produk farmasi dan kit
diagnostik dengan kebanyakan jenis produk berupa molekul protein kompleks. Hal yang
paling mendorong kearah aplikasi ini adalah karena biaya operasionalnya yang tinggi,
terutama medium. Selain itu system metabolisme sel hewan tidak “seramai” pada system
metabolisme sel tanaman. Sekalipun demikian ada aplikasi yang berhubungan tidak
langsung dengan masalah pangan, misalnya: penetapan jenis kelamin dari embrio yang
akan ditanam, penentuan masa ovulasi dari sapid an fertilisasi in vitro untuk hewan.
Aadapun contoh-contoh produk yang biasa dihasilkan oleh sel hewan misalnya:
interferon, tissue plasminogen activator, erythroprotein, hepatitis B surface antigen.
Manfaat kultur sel :
a. Keuntungan hemat tempat, waktu, biaya & keturunan yang dihasilkan identik
b. Mengatasi keterbatasan jumlah sel dalam pembuatan vaksin
c. Sel hibridoma
d. Mempelajari kondisi fisiologi sel
Hormon BST (Bovine Somatotrophin)
Dengan rekayasa genetika dihasilkan hormon pertumbuhan dewan yaitu BST. Caranya
adalah:
a. Plasmid bakteri E.Coli dipotong dengan enzim endonuklease
b. Gen somatotropin sapi diisolasi dari sel sapi
c. Gen somatotropin disisipkan ke plasmid bakteri
d. Bakteri yang menghasilkan bovin somatotropin ditumbuhan dalam tangki fermentasi
e. Bovine somatotropin diambil dari bakteri dan dimurnikan.
Hormon ini dapat memicu pertumbuhan dan meningkatkan produksi susu. BST ini
mengontrol laktasi (pengeluaran susu) pada sapi dengan meningkatkan jumlah sel-sel
kelenjar susu. Jika hormon yang dibuat dengan rekayasa genetika ini disuntuikkan pada
hewan, maka produksi susu akan meningkat 20%.
Pemakaian BST telah disetujui oleh FDA (Food and Drug Administration), lembaga
pengawasan obat dan makanan di Amerika. Amerika berpendapat nsusu yang dihasilkan
karena hormon BST aman di konsumsi tapi di Eropa hal ini dilarang karena penyakit
mastitis pada hewan yang diberikan hormon ini meningkat 70%. Selain memproduksi
susu, hormon ini dapat memperbesar ukuran ternak menjadi 2 kali lipat ukuran normal.
Caranya dengan menyuntik sel telur yang akan dibuahi dengan hormon BST. Daging dari
hewan yang diberi hormon ini kurang mengandung lemak. Sehingga dikhawatirkan
hormon ini dapat mengganggu kesehatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Isbagio, Dyah Widyaningroem. 1992. Euthanisia Pada Hewan Percobaan. Media Lisbangkes.
II(01): 18-24.
Jaenisch, R. 1988. Transgenic Animals. Science. 240; 14681474.
Margawati, Endang Tri. 2009. Transgenic Animals: Their Benefits To Human. Jakarta: Erlangga.
Obe, Ruth Horison. 1987. Farm Animal Welfare What If Any Progrees. London: Pennant Press.
Resnik, David K. 1998. Ethics of Science. New York: Routlodge.

Anda mungkin juga menyukai