Makalah
Disusun oleh:
PASCASARJANA
Januari 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan
dan kemampuan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan makalah yang
berjudul “Prinsip Pendidikan Kesejagatan (Unesco) Terkait SDGs dan ESD, Serta
Literasi Sains untuk Semua dalam Aplikasinya Di Indonesia” dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu tugas matakuliah Problematika Pendidikan Biologi pada
Program Studi S2 Pendidikan Biologi Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Adapun kajian dalam makalah ini adalah untuk menganalisis keterkaitan
antara pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dengan konsep pendidikan
sepanjang hayat, dan 5 pilar pendidikan UNESCO, termasuk SDGs dan ESD serta
literasi sains. Hal ini merupakan bagian terpenting yang harus diketahui sebagai
calon Dosen/Guru.
Selanjutnya, kepada dosen pembimbing Dr. Ibrohim, M.Si. dan Dr.
Istamar Syamsuri, M.Pd., penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan
masukannya selama penulisan dan selama presentasi makalah ini berlangsung.
Akhirnya, masukan dan kritikan yang membangun demi menyempurnakan
makalah ini sangat diharapkan dari semua pihak. Semoga buah pikir dalam bentuk
makalah ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi yang
membutuhkan khususnya dalam dunia pendidikan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka beberapa tujuan dari makalah
ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui prinsip pendidikan kesejagatan (UNESCO) terkait
dengan SDGs.
2. Untuk mengetahui prinsip pendidikan kesejagatan (UNESCO) terkait
dengan ESD.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan literasi sains.
4. Untuk mengetahui disiplin Literasi dalam Reformasi Ilmu Pendidikan.
5. Untuk mengetahui turunan makna literasi sains.
6. Untuk mengetahui pemahaman inti literasi sains dalam disiplin ilmu.
7. Untuk mengetahui hubungan sains, teknologi dan komunikasi.
8. Untuk mengetahui kesimpulan singkat tentang literasi sains.
9. Untuk mengetahui kemampuan literasi sains siswa Indonesia.
10. Untuk mengetahui rincian dimensi dalam literasi sains.
11. Untuk mengetahui penilaian literasi sains.
12. Untuk mengetahui upaya peningkatan literasi sains di Indonesia.
BAB II
ISI
UNESCO sebagai salah satu badan internasional yang berada di bawah PBB
merumuskan pendidikan abad ke 21 sebagai bentuk implementasi SDGs.
a. Life long education-life long learning (belajar sepanjang hayat).
Hukum yang mengatur kebijakan pendidikan di Indonesia adalah Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal-pasal
yang menjelaskan secara langsung istilah pendidikan sepanjang hayat tercantum
dalam Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4, Ayat (3)
yang menyebutkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat”. Bagian lain yang membahas tentang ini adalah Bab IV, Bagian Kesatu
tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Pasal 5, Ayat (5) yang menjelaskan
bahwa ”Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat”. Jadi, pendidikan sepanjang hayat adalah proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Program belajar sepanjang hayat lebih sering diposisikan dalam kerangka
berfikir jalur pendidikan nonformal sesuai ruang lingkup dan pembatasan
penelitian. Pendidikan nonformal merupakan salah satu jalur pendidikan,
disamping pendidikan formal dan informal dalam kerangka sistem pendidikan
nasional (Pasal 13, Ayat 1). Secara pedagogis pendidikan sepanjang hayat adalah
suatu konsep tentang belajar terus menerus dan berkesinambungan (continuing-
learning) dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-fase perkembangan
yang terjadi dalam diri individu.
b. 4 Pilar Pendidikan
1) Learning to know (belajar mengetahui);
Learning to know adalah suatu proses pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan
cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya
sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu
untuk selalu mencari jawab atas masalah yang dihadapi secara ilmiah. Sasaran
terakhir dari penerapan pilar “learning to know” adalah lahirnya suatu generasi
yang mampu mendukung perkembangan IPTEK, yang menjadikan IPTEK
sebagai bahan dari kebudayaannya.
2) Learning to do (belajar berbuat);
Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda
yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan IPTEK. Proses
pembelajaran yang sifatnya “learning to do” memerlukan suasana atau situasi
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk
dipecahkan dengan menggunakan IPTEK yang secara teori telah dipelajari (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
3) Learning to live together (belajar hidup bersama);
Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh
Komisi diatas menuntut pendidikan ttidak hanya membekali generasi muda untuk
menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah,
melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda
dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah
tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik
memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah
beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Pendidikan untuk
mencapai tingkat kesadaran akan persamaan atar sesama manusia dan terdapat
saling ketergantungan satu sama lain, tidak dapat ditempuh dengan pendidikan
pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam
waktu yang relatif lama (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
4) Learning to be (belajar menjadi seseorang yang mempunyai jati diri)
Tiga pilar yaitu “learning to know”, “learning to do”, dan “learning to live
together” ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi
atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dan
memecahkan masalah secara cerdas dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa,
dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan
menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik, hasil
akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No.2
Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian mantap dan mandiri. Learning to
be mengarahkan seseorang yang memiliki “Emotional Intellegance” yaitu
manusia yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal
dirinya, yang dapat menegndalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki
rasa empati (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
Empat pilar belajar yang disarankan oleh Komisi Internasional untuk
Pendidikan Abad ke-21 UNESCO untuk menjadikan proses pendidikan dapat
mengembangkan karakter dan kecerdasan menghadapi abad ke-21. Agar
penyelenggaraan pendidikan nasional mampu mewujudkan terjadinya proses
pendidikan yang menerapkan empat pilar berlajar tesebut perlu dirancang suatu
sistem pendidikan yang meliputi:
1) Kurikulum;
2) Evaluasi dan promosi;
3) Pendidikan dan pembinaan guru;
4) Pembiayaan pendidikan
5) Model pengelolaan pendidikan secara nasional yang dirancang secara
sistematis dan dilaksanakan secara sinergik sehingga dapat memungkinkan
terjadinya proses pembelajaran sebagai proses pembudayaan (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
2. Konsep ESD
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun
1987 oleh World Commission on Environment and Development (Brundtland
Commission) melalui melalui bukunya Our Common Future. Dalam buku inilah
dikenalkan istilah pembangunan berkelanjutan. Menurut Brundtland Report dalam
World Commission on Environment and Development (1987), pembangunan
berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip pada “pemenuhan
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi
masa depan (…to meet the need of the present without sacrificing the ability of
the future to meet theirs)”. Dengan kata lain, pembangunan adalah esensial untuk
pemenuhan kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Pada saat yang sama pembangunan harus berlandaskan pada efisiensi dan
penggunaan lingkungan yang bertangungjawab dari seluruh sumberdaya
masyarakat dengan tetap memperhatikan sisi ekonomi dan sosial tanpa melampaui
fungsi ekologis (lingkungan hidup). Pembangunan berkelanjutan tidak hanya
menitik beratkan pada salah satu aspek ekonominya saja namun juga sosial dan
lingkungan.
Menurut UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pendidikan merupakan sarana untuk memperkenalkan konsep ini tentunya sebagai
upaya mengubah cara pandang, sikap, dan habit manusia terhadap lingkungan
hidup. Hal ini selaras dengan McKoewn (2002) yang dipertegas oleh UNESCO
(2005) bahwa pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan.
Kemdiknas (2010) mengemukakan bahwa konsep ESD sebagai pendidikan
yang bermakna, berfungsi, dan bertujuan untuk 1) pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup generasi sekarang tanpa harus mengesampingkan
kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, 2)
meningkatkan mutu hidup manusia dengan tetap hidup di dalam daya dukung
ekosistem, dan 3) menguntungkan bagi semua makhluk di bumi (manusia dan
ekosistem) pada masa kini maupun di masa yang akan datang.
UNESCO (2009) menjelaskan bahwa ESD (education for sustainable
development) atau Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu
proses pembelajaran berdasarkan tujuan dan prinsip-prinsip yang mendasari
keberlanjutan dan berkaitan dengan semua tingkat dan jenis pendidikan. ESD
mendukung lima macam dasar belajar untuk menyediakan pendidikan yang
berkualitas dan membina manusia yang berkelanjutan yakni learning to know,
learning to be, learning to live together, learning to do, dan learning to transform
oneself and society.
1) Learning to know
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk menghargai dan mencari
pengetahuan dan kebijaksanaan.
a) Belajar untuk belajar
b) Mendapatkan rasa untuk belajar sepanjang hidup
c) Mengembangkan pemikiran kritis
d) Mendapatkan alat untuk memahami dunia
e) Memahami konsep dan isu keberlanjutan
Education for Sustainable Development
a) Mengakui sifat berkembang dari konsep keberlanjutan
b) Mencerminkan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat
c) Mengakui bahwa memenuhi kebutuhan lokal seringkali memiliki dampak dan
konsekuensi internasional.
d) Alamat konten, konteks, isu global dan prioritas lokal
2) Learning to be
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk pribadi dan kehidupan
keluarga yang lebih baik.
a) Melihat diri sebagai aktor utama dalam menentukan hasil positif untuk masa
depan
b) Dorong penemuan dan eksperimen
c) Memperoleh nilai bersama secara universal
d) Kembangkan kepribadian seseorang, diri sebenarnya, pengetahuan dan diri
dapat bertindak dengan otonomi, penilaian dan tanggung jawab pribadi yang
lebih besar.
Education for Sustainable Development.
a) Dibangun berdasarkan prinsip dan nilai yang mendasari pembangunan
berkelanjutan.
b) Berhubungan baik dengan lingkungan, masyarakat, dan ekonomi.
c) Berkontribusi pada pengembangan seseorang yang lengkap: pikiran dan
tubuh, kecerdasan, kepekaan, apresiasi estetika dan spiritualitas.
3) Learning to Live Together
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk internasional, antar
kebudayaan dan kerjasama masyarakat dan perdamaian
a) Berpartisipasi dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat majemuk,
multi masyarakat budaya
b) Mengembangkan pemahaman tentang orang lain dan sejarah, tradisi,
kepercayaan, nilai dan budaya mereka
c) Toleransi, menghormati, selamat datang, merangkul, dan bahkan merayakan
perbedaan dan keragaman pada manusia
d) Menanggapi secara konstruktif keragaman budaya dan kesenjangan ekonomi
yang ditemukan di seluruh dunia
e) Mampu mengatasi situasi ketegangan, eksklusi, konflik, kekerasan, dan
terorisme
Education for Sustainable Development:
a) Bersifat interdisipliner. Tidak ada satu disipliner yang bisa mengklaim ESD
untuk kepentingannya sendiri, namun semua disiplin ilmu dapat berkontribusi
terhadapnya.
b) Membangun kapasitas sipil untuk masyarakat berdasarkan keputusan,
toleransi sosial, lingkungan, ketangkasan, tenaga kerja dan kualitas hidup
yang dapat disesuaikan.
4) Learning to do
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk keterlibatan aktif dalam
pekerjaan produktif dan rekreasi
a) Menjadi aktor sekaligus pemikir
b) Memahami dan bertindak dalam isu pembangunan berkelanjutan global dan
lokal
c) Memperoleh pelatihan teknis dan profesional
d) Terapkan pengetahuan terpelajar dalam kehidupan sehari-hari
e) Dapat bertindak kreatif dan bertanggung jawab di lingkungan seseorang
Education for Sustainable Development:
a) Relevan secara lokal dan sesuai budaya.
b) Harus menjadi kenyataan konkrit untuk semua keputusan dan tindakan
sehari-hari kita adalah tentang membantu membangun dunia yang lestari dan
aman bagi semua orang.
5) Learning to transform one self and society
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk mengubah sikap dan
gaya hidup
a) Bekerja menuju gender netral, non masyarakat yang diskriminatif
b) Mengembangkan kemampuan dan kemauan untuk mengintegrasikan gaya
hidup berkelanjutan bagi diri kita dan orang lain
c) Mempromosikan perilaku dan praktik yang meminimalkan ekologi disekitar
kita
d) Menjaga bumi Bumi dan kehidupan dalam segala keragamannya
e) Bertindak untuk mencapai solidaritas sosial
f) Mempromosikan demokrasi di masyarakat di mana perdamaian berlaku
Education for Sustainable Development
a) Mengintegrasikan nilai-nilai yang melekat dalam pembangunan berkelanjutan
ke dalam semua aspek pembelajaran
b) Mendorong perubahan perilaku untuk menciptakan masyarakat yang lebih
layak dan adil bagi semua orang
c) Mengajari orang untuk merefleksikan secara kritis komunitas mereka sendiri
d) Memberdayakan orang untuk memikul tanggung jawab menciptakan dan
menikmati masa depan yang berkelanjutan
3. Perspektif ESD
Terdapat tiga perspektif dalam ESD yang menjadi pilar utamanya yakni
sebagai berikut: 1. Sosial budaya yakni berkaitan dengan isu-isu hak asasi
manusia, perdamaian dan keamanan manusia, kesetaraan gender, pemahaman
tentang keragaman budaya dan antarbudaya, kesehatan, HIV & AIDS, dan tata
kelola pemerintahan 2. Lingkungan yakni berkaitan dengan isu-isu sumber daya
alam (air, energi, pertanian, keanekaragaman hayati), perubahan iklim,
pembangunan pedesaan, urbanisasi yang berkelanjutan, pencegahan bencana dan
mitigasi 3. Ekonomi yakni berkaitan dengan isu-isu pengurangan kemiskinan,
tanggung jawab perusahaan, akuntabilitas dan reorientasi ekonomi pasar.
Berdasarkan ketiga perspektif tersebut dapat diketahui bahwa adanya keterkaitan
antar aspek yang tidak dapat saling terpisah dalam menunjang ESD. Hal ini
dimaksudkan bahwa dalam implementasi ESD tidak dapat mengutamakan hanya
satu aspek saja namun harus memperhatikan ketiga aspek tersebut yakni sosial
budaya, ekonomi, dan lingkungan. Gambar 2.2 menunjukkan ilustrasi keterkaitan
ketiga aspek tersebut.
Dasar Asal
Kemampuan kognitif dan metakognitif Memahami ide-ide besar dan pemersatu
konsep sains
Berpikir kritis/masuk akal penalaran Ilmu alam
Kebiasaan pikiran Penyelidikan ilmiah
Seni bahasa ilmiah (membaca, menulis, Disain teknologi
berbicara, mendengarkan, melihat, dan
mewakili dalam ilmu)
Teknologi informasi dan komunikasi Hubungan antara ilmu pengetahuan,
(TIK) teknologi, masyarakat, dan lingkungan
Sumber: (Tan & Kim, 2012)
Selain itu, pencapaian literasi sains memiliki fokus pada kewarganegaraan
yang menyebabkan partisipasi dalam debat publik tentang STSE atau masalah
ilmu sosial (SSI) dan menginformasikan solusi dan tindakan yang berkelanjutan.
Menurut Cross (1999) dalam Tan & Kim (2012) "Diakui oleh semua bahwa ini
hanya awal, dan warga akan, salah satu cara atau lain, terlibat dalam pendidikan
seumur hidup jika mereka ingin berpartisipasi dalam berkelanjutan perdebatan
tentang perubahan yang terjadi di masyarakat“. Visi III mengintegrasikan
kognitif, linguistik, pedagogi, dan filosofis
aspek ilmu pengetahuan dan keaksaraan disiplin dalam interpretasi konstruktivis
belajar dan mengajar dalam ilmu. Banyak kurikulum tidak secara eksplisit
menyebutkan literasi sain, tapi mereka menekankan fitur umum untuk analisa
kurikulum yang memberikan dasar implisit untuk menggunakan Visi III sebagai
dasar reformasi ilmu untuk generasi kedua. Pengelompokan pada Tabel 2.2
memiliki kekhususan, konsistensi, dan kejelasan dalam dokumen kurikulum
Negara berbahasa Inggris; namun kerangka ini menangkap materi dan praktek
ilmuwan dan disiplin adat dan tradisi tertanam dalam kegiatan ilmiah
kontemporer. Pembicaran yang bersifat penyelidikan, argumen, transformasi
representasi, menulis-untuk-belajar, dan membaca-untuk-belajar instruksi
memiliki pengaruh yang khas pada pemahaman ilmu pengetahuan; metakognisi
dan konten dan kinerja bahasa mempengaruhi pemahaman wacana dalam ilmu
(Tan & Kim, 2012).
Perlu digaris bawahi, visi dari literasi sain yang ditemukan di alam
(asumsi ontologis dan epistemologis keyakinan) dan fungsi komunikatif,
konstruktif, dan persuasif bahasa bagi para ilmuwan yang melakukan dan
siswa yang belajar sains. Bahasa tidak hanya digunakan untuk memberikan
pemahaman; dan proses publikasi (pengetahuan siklus konstruksi) membentuk
apa yang dikenal dan mengajak orang lain tentang keabsahan yang timbul dari
diskusi, negosiasi, dan argumentasi (Tan & Kim, 2012).
3. Turunan Makna Literasi Sains
Literasi sains digambarkan dalam tabel 2.1 yang cukup dipahami dan
diterima di dalam ilmu pendidikan, masyarakat dan dokumen-dokumen reformasi
pendidikan sains internasional untuk memahami prinsip-prinsip penting dan
dasar-dasar ilmu, ada beberapa kesepakatan pada dokumen reformasi, kurikulum
dan lainnya yang digunakan sebagai patokan. Perdebatan terus terjadi dalam
kurun waktu 50 tahun ini dan kemungkinan akan terus berlanjut, tapi setidaknya
itu tidak melenceng dari ide-ide besar yang telah disepakati (Tan & Kim, 2012).
3. Kebiasaan Berpikir
Kebiasaan berpikir berhubungan terhadap penyelidikan ilmu pengetahuan
dan teknologi desain mencerminkan sifat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kebiasaan berpikir ini (keyakinan, nilai-nilai, sikap, sikap kritis, proses, dan
keterampilan) mengenai sains meliputi disposisi, seperti skeptisisme,
kesementaraan, kepastian, kepercayaan, kesediaan untuk mencari solusi,
menopang klaim dengan bukti, mengevaluasi data, informasi, alasan, dan
argumen; dan melihat ilmu pengetahuan dan teknologi serius, yang tidak kategoris
antagonis atau tidak kritis; keterbukaan untuk membandingkan dan menghargai
peran kesempatan dan kesalahan dalam hubungan (Tan & Kim, 2012).
4. Bahasa Ilmiah
Orang Ilmiah berbicara-mendengar, menulis-membaca, dan mewakili-
menafsirkan menggunakan bahasa alami dan bahasa matematika; mengikuti
petunjuk; menyatakan tujuan untuk bertahap tata cara; menghasilkan argumen
yang meyakinkan, penjelasan suara, deskripsi yang jelas, atau ekspresi
matematika; dan menggunakan metabahasa ilmu dalam yang tepat dan
cara yang tepat yang mencerminkan pandangan yang diterima sains. Sebuah
sinergi ada antara ilmu pengetahuan dan pembelajaran bahasa. Integrasi tujuan
ilmu pengetahuan, bahasa, dan hasil retorika dalam pemahaman ilmu pengetahuan
dan bahasa di luar lingkup ketika salah digunakan secara terpisah. Konstruktif
/fungsi interpretatif bahasa (berbicara-mendengar, menulis-membaca, mewakili-
menafsirkan) adalah tugas yang membantu dalam memperoleh informasi,
membandingkan, mengklasifikasikan, dan menganalisis ide-ide, membujuk orang
laindan membangun bentuk pemahaman bahasa serta melaporkan apa yang kita
ketahui. Fungsi-fungsi ini mencerminkan proses sains, prosedur kognitif, dan
strategi metakognitif yang digunakan oleh para ilmuwan dalam melakukan ilmu
pengetahuan, menyadari dan mengakui pemahaman mereka, dan
mengkomunikasikan dan melaporkan ide-ide ini kepada orang lain (Tan & Kim,
2012).
5. Berbicara-Mendengarkan Ilmu Literasi
Bahasa adalah media utama melalui mana konsep-konsep ilmiah dipahami,
dibangun, dan dinyatakan. Berbicara tentang ilmu pengetahuan dengan teman
sebaya dan dengan guru memberikan siswa kesempatan untuk memahami
pemikiran mereka, mendengarkan ide-ide orang lain, menyadari berbagai
perspektif, memikirkan kembali ide, mengevaluasi ide-ide orang lain. Namun,
guru lebih sering mendominasi diskusi kelas dan melakukan sebagian besar
pembicaraan. Akibatnya, siswa tidak menghabiskan waktu yang cukup
menghasilkan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain dalam pembicaraan
eksplorasi, yang memungkinkan mereka untuk memproses kedua bahasa dan
konten yang lebih mendalam dan bernegosiasi makna dan menyesuaikan bahasa
mereka agar dipahami oleh orang lain (Tan & Kim, 2012).
6. Menulis-Membaca Ilmu Literasi
Penelitian menunjukkan bahwa membaca tentang ilmu pengetahuan atau
dengan tidak membaca atau menulis adalah metode yang cukup untuk belajar
konseptual yang efektif. Sedangkan menulis tentang ilmu pengetahuan akan
menciptakan peluang untuk mengusulkan, memperkuat, dan merevisi konseptual
pengetahuan dan untuk memodelkan genre yang berbeda dalam menulis, sehingga
membangun fondasi pengalaman yang diperlukan untuk membaca berbagai
modus teks informasi (deskripsi, penyebab/efek, masalah/solusi, prosedur, dll).
Integrasi ilmu pengetahuan, menulis, dan membaca melalui penyelidikan otentik
memungkinkan untuk lebih menarik, tujuan, reflektif, efisien, dan efektif yang
meningkatkan pemahaman bacaan, pemahaman konseptual, dan menulis
akademik (Tan & Kim, 2012).
7. Penggambaran dan perwakilan Ilmu Literasi
Baru-baru ini, telah terjadi peningkatan pengakuan dan minat dalam cara
ide-ide ilmiah yang diwakili (misalnya, menggunakan pendekatan multimodal
atau modus lain daripada hanya dengan kata-kata). Penelitian menunjukkan
bahwa membangun beberapa representasi dan mengubah representasi antara
modus meningkatkan kompetensi representasional, kedalaman pengolahan, dan
pemahaman konseptual. Orang Ilmiah membangun dan menggunakan beberapa
representasi (termasuk sketsa, diagram, model, tabel, grafik, peta, gambar, dan
grafik), menggunakan tampilan visual dan tekstual untuk mengungkapkan
hubungan, mencari dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber tekstual dan
digital, memilih dan menggunakan kosakata yang tepat, menampilkan spasial,
operasi numerik, dan statistik (Tan & Kim, 2012).
8. Informasi Teknologi Komunikasi
Para ilmuwan memadukan ilmu dengan teknologi dan dibatasi oleh
teknologi yang tersedia. ICT memungkinkan para ilmuwan untuk bekerja sama
dan berbagi database dari kejauhan, membangun pengetahuan baru, dan
melaporkan hasil penelitian mereka tanpa berada di ruangan yang sama. Ilmuwan
dan siswa menggunakan dan membaca kalkulator, analog/meter digital, catatan
digital, kamera, dan video, memecahkan masalah umum, dan menentukan
penyebab potensial malfungsi. Mereka menggunakan ICT abad 21untuk
mengakses instruksional, pengolahan, pengelolaan, menafsirkan, dan
mengkomunikasikan informasi, memahami, mengelola, dan menciptakan yang
efektif lisan, tertulis, dan multimedia komunikasi, penalaran suara, menganalisis,
dan memecahkan masalah (Tan & Kim, 2012).
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. UNESCO sebagai salah satu badan internasional yang berada di bawah
PBB merumuskan pendidikan abad ke 21 sebagai bentuk implementasi
SDGs yaitu dengan Life long education-life long learning (belajar
sepanjang hayat) dan 4 Pilar pendidikan meliputi Learning to know,
Learning to do, Learning to Live Together dan Learning to be.
2. ESD (education for sustainable development) atau Pendidikan untuk
Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu proses pembelajaran
berdasarkan tujuan dan prinsip-prinsip yang mendasari keberlanjutan dan
berkaitan dengan semua tingkat dan jenis pendidikan. ESD mendukung
lima macam dasar belajar untuk menyediakan pendidikan yang
berkualitas dan membina manusia yang berkelanjutan yakni learning to
know, learning to be, learning to live together, learning to do, dan
learning to transform on self and society. implementasi ESD tidak dapat
mengutamakan hanya satu aspek saja namun harus memperhatikan ketiga
aspek tersebut yakni sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan.
3. Literasi sains merupakan dokumen dari ide-ide besar yang telah
disepakati dan dijadikan patokan dalam penyusunan dokumen-dokumen
reformasi pendidikan sains internasional untuk memahami prinsip-prinsip
penting dan dasar-dasar ilmu.
4. Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan
bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan tentang
alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas
manusia.
5. Turunan makna literasi sains dapat dijabarkan menjadi menyatukan
konsep dan ide-ide besar, sifat ilmu, penyelidikan ilmiah dan desain
teknologi serta hubungan sains teknologi dan masyarakat
6. Ilmu dikatakan sebagai sarana penyelidikan. Ilmu menggunakan cara unik
dalam eksplorasi dalam penyelidikan masalah, hypotesis, dan argumentasi
dan membangun hubungan antara hypotesis, latar belakang, data, bukti,
untuk menjelaskan suatu hal. Dasar dalam literasi sains meliputi
kemampuankognitifdanmetakognitif, berpikir kritis/penalaranyang masuk
akal, kebiasaan berpikir, bahasa ilmiah, dan informasiteknologi
komunikasi.
7. Informasi, teknologi dan komunikasi merupakan salah satu sarana yang
dapat membantu peningkatan literasi sains.
8. Terdapat beberapa kesimpulan penting tentang literasi sains yaitu
hubungan antara bahasa dalam memahami ilmu dan pengetahuan,
menjanjikan kelas praktik dan reformasi kdeua ilmu pendidikan.
9. Pada tahun 2006 hingga tahun 2015, siswa Indonesia masih menduduki
urutan no ke sepuluh terbawah apabila ditinjau dari aspek literasi sains
10. Literasi sains dalam PISA literasi sains mencangkup aspek konteks, aspek
konten, aspek kompetensi/proses dan aspek sikap.
11. Penilaian literasi sains di sekolah dilakukan untuk mengetahui benih
literasi, bukan mengukur secara mutlak tingkat literasi sains siswa.
12. Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kemampuan literasi sains
siswa.
B. Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini,
baik dari segi penyusunan maupun masih kurangnya sumber rujukan yang penulis
gunakan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan.
DAFTAR RUJUKAN
Soares, Maria Lucia de Amorim & Petarnella, L. 2011. Schooling for Sustainable
Development in South America Policies, Actions and Educational
Experiences. Newyork : Springer.
Sutopo, A., Arthati, D.F., dan Rahmi, U.A. 2014. Kajian Indikator Sustainable
Development Goals (SDGs). Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Tan, K. C. D. dan Kim, M., 2012. Issues and Challenges in Science Education
Research. New York: Springer.
The Sustainable Development Goals Report. 2017. New York: United Nation.
(Online) (http://www.un.org.lb/Library/Assets/The-Sustainable-
Development-Goals-Report-2017-Global.pdf) diakses 26 Januari 2018.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.
Bandung: Imperial Bhakti Utama.