Anda di halaman 1dari 51

PRINSIP PENDIDIKAN KESEJAGATAN (UNESCO) TERKAIT SDGS

DAN ESD, SERTA LITERASI SAINS UNTUK SEMUA DALAM


APLIKASINYA DI INDONESIA

Makalah

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Problematika Pendidikan Biologi


Yang dibina oleh Dr. Ibrohim, M.Si dan Dr. Istamar Syamsuri, M.Pd.
Disajikan Pada Hari Selasa, Tanggal 30 Januari 2018

Disusun oleh:

Kelompok 1 Offering B 2017

1. Arfiatul Isnaini 170341864503


2. Nosi Qadariah 170341864565
3. Utaria Mutasam 170341864521

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

PASCASARJANA

PROGRAM STUDI S2 PENDIDIKAN BIOLOGI

Januari 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan dan
dan kemampuan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan makalah yang
berjudul “Prinsip Pendidikan Kesejagatan (Unesco) Terkait SDGs dan ESD, Serta
Literasi Sains untuk Semua dalam Aplikasinya Di Indonesia” dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu tugas matakuliah Problematika Pendidikan Biologi pada
Program Studi S2 Pendidikan Biologi Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Adapun kajian dalam makalah ini adalah untuk menganalisis keterkaitan
antara pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dengan konsep pendidikan
sepanjang hayat, dan 5 pilar pendidikan UNESCO, termasuk SDGs dan ESD serta
literasi sains. Hal ini merupakan bagian terpenting yang harus diketahui sebagai
calon Dosen/Guru.
Selanjutnya, kepada dosen pembimbing Dr. Ibrohim, M.Si. dan Dr.
Istamar Syamsuri, M.Pd., penulis mengucapkan terima kasih atas bimbingan dan
masukannya selama penulisan dan selama presentasi makalah ini berlangsung.
Akhirnya, masukan dan kritikan yang membangun demi menyempurnakan
makalah ini sangat diharapkan dari semua pihak. Semoga buah pikir dalam bentuk
makalah ini dapat memberikan kontribusi dan bermanfaat bagi yang
membutuhkan khususnya dalam dunia pendidikan.

Malang, Januari 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan pada dasarnya adalah proses komunikasi yang di dalamnya
mengandung transformasi pengetahuan, nilai dan keterampilan yang terjadi di
dalam dan di luar sekolah yang berlangsung sepanjang hayat, dari generasi ke
generasi. Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa hampir dari seluruh
kegiatan manusia yang bersifat positif dapat dianggap bahwa mereka telah
melakukan proses pendidikan. Tujuan pendidikan secara luas antara lain adalah
untuk meningkatkan kecerdasan, membentuk manusia yang berkualitas, terampil,
mandiri, inovatif, dan dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan. Oleh karena
itu, pendidikan sangat diperlukan oleh manusia untuk dapat melangsungkan
kehidupan sebagai makhluk individu, sosial dan beragama.
Saat sidang umum PBB, Indonesia berkomitmen mengikuti agenda
pembangunan global pada kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals/SDGs), yang di dalamnya terdapat 17 target dan
salah satunya adalah Pendidikan Berkualitas (Hamardi, 2016). Poin tersebut
berbunyi “Menjamin kualitas pendidikan inklusif dan adil dan mempromosikan
kesempatan belajar seumur hidup bagi semua (Antona, 2016).
Kecakapan hidup sebagai inti dari kompetensi dan hasil pendidikan adalah
kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problem hidup dan
kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan
kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya
(Permendiknas, 2006). Kecakapan hidup terdiri dari kecakapan hidup yang
bersifat umum (General live skills) dan kecakapan hidup yang bersifat khusus
(Specific live skills). Menurut Mahjuro (2007), kecakapan hidup yang bersifat
umum terdiri dari kecakapan personal dan sosial, sedangkan kecakapan hidup
yang bersifat spesifik terdiri dari kecakapan akademik dan vokasional. Kecakapan
hidup tersebut sesuai
dengan empat pilar pendidikan yang direkomendasikan oleh UNESCO. Melalui
jalur pendidikan UNESCO menetapkan prinsip pendidikan abad 21 adalah life
long education-life long learning, dan keempat pilar pendidikan (learning to
know, learning to do, learning to live together, learning to be) (Simanjuntak,
2008).
Urgensi berkembangnya belajar sepanjang hayat di Indonesia,
dilatarbelakangi oleh kondisi nyata masyarakatnya yang dihadapkan pada kian
banyaknya pengangguran, bertambahnya penduduk miskin, melemahnya standar
kehidupan dalam populasi penduduk yang makin bertambah, makin tajamnya
jurang antara yang kaya dan yang miskin, dan sebagainya. Kondisi tersebut
menjadi inspirasi kunci (key inspiration) bagi berkembangnya belajar sepanjang
hayat melalui pengembangan potensi manusia (the development of human
potential) (Hufad, dkk., 2010).
Literasi sains diambil sebagai ilustrasi spesifik disiplin di mana. Komponen
literasi diakui dan dihargai untuk peran fungsional dalam membangun
pemahaman, membujuk orang lain dari kebenaran ide-ide ini. Tindakan modern
pandangan ilmu pengetahuan, pembelajaran, dan pedagogi telah menyebabkan
kepastian literasi sains. Visi ini menekankan ilmu pengetahuan sebagai
penyelidikan, argumen, dan membangun pengetahuan klaim dan penjelasan dari
pola di alam dan kejadian alami; konstruktif, persuasif, dan komunikatif, fungsi
penting dari bahasa; persetujuan yang unik, tradisi, dan metabahasa di dalam
wacana ilmiah; dan fungsi bahasa dalam mengajar dan belajar ilmu pengetahuan.
Sehingga seorang murid akan mampu menggunakan pengetahuan sains dalam
rangka membuat keputusan berhubungan dengan alam dan perubahan yang
dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia.
Tingkat pendidikan di Indonesia masih dikatakan rendah, dengan adanya
prinsip pendidikan yang terkait dengan SDGs dan ESD serta literasi sains
diharapkan Indonesia dapat meminimalisir bahkan mengentaskan keseluruhan
masalah pendidikan. Sehingga banyak dibentuk program sesuai dengan target
SDGs. Hal ini penting diketahui oleh seluruh komponen masyarakat demi
terciptanya sinergisme untuk mencapai tujuan internasional yaitu menuju era
milenium.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah
dalam makalah ini sebagai berikut.
1. Bagaimanakah prinsip pendidikan kesejagatan (UNESCO) terkait dengan
SDGs?
2. Bagaimanakah prinsip pendidikan kesejagatan (UNESCO) terkait dengan
ESD?
3. Apakah yang dimaksud dengan literasi sains?
4. Bagaimanakah disiplin Literasi dalam Reformasi Ilmu Pendidikan?
5. Bagaimana turunan makna literasi sains?
6. Bagaimana pemahaman inti literasi sains dalam disiplin ilmu?
7. Bagaiamanakah hubungan sains, teknologi dan komunikasi?
8. Apa kesimpulan singkat tentang literasi sains?
9. Bagaimana kemampuan literasi sains siswa Indonesia?
10. Bagaimana rincian dimensi dalam literasi sains?
11. Bagaiamana penilaian literasi sains?
12. Bagaiamana upaya peningkatan literasi sains di Indonesia.

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka beberapa tujuan dari makalah
ini sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui prinsip pendidikan kesejagatan (UNESCO) terkait
dengan SDGs.
2. Untuk mengetahui prinsip pendidikan kesejagatan (UNESCO) terkait
dengan ESD.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan literasi sains.
4. Untuk mengetahui disiplin Literasi dalam Reformasi Ilmu Pendidikan.
5. Untuk mengetahui turunan makna literasi sains.
6. Untuk mengetahui pemahaman inti literasi sains dalam disiplin ilmu.
7. Untuk mengetahui hubungan sains, teknologi dan komunikasi.
8. Untuk mengetahui kesimpulan singkat tentang literasi sains.
9. Untuk mengetahui kemampuan literasi sains siswa Indonesia.
10. Untuk mengetahui rincian dimensi dalam literasi sains.
11. Untuk mengetahui penilaian literasi sains.
12. Untuk mengetahui upaya peningkatan literasi sains di Indonesia.
BAB II
ISI

A. Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) terkait dengan SDGs.


Pemerintah Indonesia berupaya memperbaiki kualitas pendidikan dan
memeratakan pendidikan sesuai dengan SDGs (Sustainable Development Goals
(SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) Nomor 4 yang bertujuan untuk
memastikan bahwa semua orang memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas
dan kesempatan untuk belajar seumur hidup. Melalui peningkatan jumlah
pendaftar sekolah, kemahiran lulusan, ketersediaan guru yang terlatih, dan
fasilitas sekolah yang memadai, tanpa dipungut biaya sepeserpun. Meskipun
kemajuan yang cukup besar dalam pendaftaran sekolah, banyak anak yang tidak
mendapatkan keterampilan dasar. Kualitas pendidikan terhambat oleh kurangnya
guru yang terlatih dan fasilitas yang kurang memadai (The SDGs Report, 2017).
Target dan indikator tujuan yang berhubungan dengan pendidikan dapat dilihat
pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Target dan Indikator SDGs no 4


4. Menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta mempromosikan kesempatan
belajar sepanjang hayat bagi semua
Target Indikator
4.1. Pada tahun 2030, memastikan bahwa semua 4.1.1 Proporsi anak-anak/anak muda: (a) pada
anak perempuan dan anak laki-laki menyelesaikan tingkat 2/3, (b) tingkat akhir SD/kelas 6, (c)
pendidikan dasar dan menengah tanpa dipungut tingkat akhir SMP/kelas 3 yang mencapai
biaya, adil, dan berkualitas, yang mengarah pada standar kemampuan minimum dalam: (i)
pembelajaran yang relevan dan efektif membaca, (ii) matematika, menurut jenis
kelamin
4.2. Pada tahun 2030, memastikan bahwa semua 4.2.1. Proporsi anak usia di bawah 5 tahun yang
anak perempuan dan anak laki-laki memiliki akses berkembang dengan baik dalam bidang
terhadap perkembangan anak usia dini yang kesehatan, pembelajaran, dan psikososial,
berkualitas, perawatan dan pendidikan anak usia menurut jenis kelamin
dini, sehingga mereka siap untuk menempuh 4.2.2. Tingkat partisipasi dalam pembelajaran
pendidikan dasar yang teroganisir (satu tahun sebelum usia
sekolah dasar), menurut jenis kelamin
4.3. Pada tahun 2030, menjamin akses yang sama 4.3.1. Tingkat partisipasi remaja dan dewasa
bagi semua wanita dan pria, terhadap pendidikan dalam pendidikan dan pelatihan formal dan non
teknis, kejuruan dan tersier yang berkualitas dan formal dalam 12 bulan terakhir, menurut jenis
terjangkau, termasuk universitas kelamin
4.4. Pada tahun 2030, Peningkatan secara bermakna 4.4.1. Proporsi remaja/dewasa dengan
jumlah remaja dan orang dewasa yang memiliki keterampilan teknologi informasi dan komputer
keterampilan yang relevan, termasuk keterampilan (TIK) menurut tipe keterampilan
teknis dan kejuruan, untuk pekerjaan, pekerjaan
yang layak dan kewirausahaan
4.5. Pada tahun 2030, menghilangkan disparitas 4.5.1. Indeks paritas (perempuan/laki-laki,
gender dalam pendidikan, dan menjamin akses urban/rural, sosek kuintil bawah/atas, kelompok
yang sama untuk semua tingkat pendidikan dan masyarakat adat dan korban konflik, sesuai
pelatihan kejuruan, bagi masyarakat rentan ketersediaan data)
termasuk penyandang cacat, masyarakat adat, dan
anak-anak dalam kondisi rentan
4.6. Pada tahun 2030, memastikan bahwa semua 4.6.1. Persentase remaja/dewasa pada kelompok
remaja dan proporsi kelompok dewasa tertentu, usia tertentu, paling tidak mahir/mampu pada
baik laki-laki dan perempuan, mampu membaca level tertentu dalam keterampilan (i) membaca
dan menghitung dan (ii) menghitung, menurut jenis kelami
4.7. Pada tahun 2030, memastikan semua peserta 4.7.1. Pengarusutamaan pada semua jenjeng
didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan pendidikan, (i) pendidikan kewargaan dunia, (ii)
yang diperlukan untuk mempromosikan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan
pembangunan berkelanjutan, termasuk antara lain termasuk kesetaraan gender dan hak asasi
pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan manusia pada (a) kebijakan pendidikan
gaya hidup yang berkelanjutan, hak asasi manusia, nasional, (b) kurikulum, (c) pendidikan guru, (d)
kesetaraan gender, promosi budaya damai dan non- penilaian siswa.
kekerasan, kewarganegaraan global dan
menghargai keanekaragaman budaya dan kontribusi
budaya untuk pembangunan berkelanjutan
4.a. Membangun dan meningkatkan fasilitas 4.a.1. Proporsi sekolah dengan akses ke: (a)
pendidikan yang ramah anak, penyandang cacat dan listrik (b) internet untuk tujuan pengajaran, (c)
gender, serta memberikan lingkungan belajar yang computer untuk tujuan pengajaran, (d)
aman, anti kekerasan, inklusif dan efektif bagi infrastruktur dan materi memadai bagi siswa
semua difabel, (e) air minum layak, (f) fasilitas sanitasi
dasar per jenis kelamin, (g) fasilitas cuci tangan
(terdiri air, sanitasi, dan higienis bagi semua
(WASH), definisi indikator)
4.b. Pada tahun 2020, Secara bermakna 4.b.1. Volume/jumlah aliran ODA untuk
menumbuhkan secara global, jumlah beasiswa bagi beasiswa menurut sector dan tipe studi
negara berkembang, khususnya negara LDCs, SIDS
dan negara-negara Afrika, untuk mendaftar di
pendidikan tinggi, termasuk pelatihan kejuruan,
TIK, teknis, program teknik dan ilmiah, di negara
maju dan negara berkembang lainnya
4.c. Pada tahun 2030, Secara bermakna 4.c.1. Proporsi guru di: (a) TK, (b) SD, (c)
meningkatkan pasokan guru yang berkualitas, SMP, (d) SMA, yang telah menerima
termasuk melalui kerjasama internasional untuk setidaknya pelatihan pre-service dan in-service
pelatihan guru di negara-negara berkembang, yang diperlukan untuk mengajar pada tingkat
khususnya LDCs dan SIDS relevan di negara tertentu
(Sumber: PPN/BAPPENAS, 2016)

UNESCO sebagai salah satu badan internasional yang berada di bawah PBB
merumuskan pendidikan abad ke 21 sebagai bentuk implementasi SDGs.
a. Life long education-life long learning (belajar sepanjang hayat).
Hukum yang mengatur kebijakan pendidikan di Indonesia adalah Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal-pasal
yang menjelaskan secara langsung istilah pendidikan sepanjang hayat tercantum
dalam Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 4, Ayat (3)
yang menyebutkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat”. Bagian lain yang membahas tentang ini adalah Bab IV, Bagian Kesatu
tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Pasal 5, Ayat (5) yang menjelaskan
bahwa ”Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan
pendidikan sepanjang hayat”. Jadi, pendidikan sepanjang hayat adalah proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Program belajar sepanjang hayat lebih sering diposisikan dalam kerangka
berfikir jalur pendidikan nonformal sesuai ruang lingkup dan pembatasan
penelitian. Pendidikan nonformal merupakan salah satu jalur pendidikan,
disamping pendidikan formal dan informal dalam kerangka sistem pendidikan
nasional (Pasal 13, Ayat 1). Secara pedagogis pendidikan sepanjang hayat adalah
suatu konsep tentang belajar terus menerus dan berkesinambungan (continuing-
learning) dari buaian sampai akhir hayat, sejalan dengan fase-fase perkembangan
yang terjadi dalam diri individu.

b. 4 Pilar Pendidikan
1) Learning to know (belajar mengetahui);
Learning to know adalah suatu proses pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan
cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya
sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu
untuk selalu mencari jawab atas masalah yang dihadapi secara ilmiah. Sasaran
terakhir dari penerapan pilar “learning to know” adalah lahirnya suatu generasi
yang mampu mendukung perkembangan IPTEK, yang menjadikan IPTEK
sebagai bahan dari kebudayaannya.
2) Learning to do (belajar berbuat);
Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda
yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan IPTEK. Proses
pembelajaran yang sifatnya “learning to do” memerlukan suasana atau situasi
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk
dipecahkan dengan menggunakan IPTEK yang secara teori telah dipelajari (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
3) Learning to live together (belajar hidup bersama);
Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh
Komisi diatas menuntut pendidikan ttidak hanya membekali generasi muda untuk
menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah,
melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda
dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah
tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik
memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah
beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Pendidikan untuk
mencapai tingkat kesadaran akan persamaan atar sesama manusia dan terdapat
saling ketergantungan satu sama lain, tidak dapat ditempuh dengan pendidikan
pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam
waktu yang relatif lama (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
4) Learning to be (belajar menjadi seseorang yang mempunyai jati diri)
Tiga pilar yaitu “learning to know”, “learning to do”, dan “learning to live
together” ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi
atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dan
memecahkan masalah secara cerdas dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa,
dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan
menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik, hasil
akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No.2
Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian mantap dan mandiri. Learning to
be mengarahkan seseorang yang memiliki “Emotional Intellegance” yaitu
manusia yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal
dirinya, yang dapat menegndalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki
rasa empati (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
Empat pilar belajar yang disarankan oleh Komisi Internasional untuk
Pendidikan Abad ke-21 UNESCO untuk menjadikan proses pendidikan dapat
mengembangkan karakter dan kecerdasan menghadapi abad ke-21. Agar
penyelenggaraan pendidikan nasional mampu mewujudkan terjadinya proses
pendidikan yang menerapkan empat pilar berlajar tesebut perlu dirancang suatu
sistem pendidikan yang meliputi:
1) Kurikulum;
2) Evaluasi dan promosi;
3) Pendidikan dan pembinaan guru;
4) Pembiayaan pendidikan
5) Model pengelolaan pendidikan secara nasional yang dirancang secara
sistematis dan dilaksanakan secara sinergik sehingga dapat memungkinkan
terjadinya proses pembelajaran sebagai proses pembudayaan (Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).

B. Prinsip Pendidikan Kesejagatan (UNESCO) terkait dengan ESD.


1. Sejarah Education for Sustainable Development (ESD)
Perkembangan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
telah berlangsung lama. Bermula dari dokumen Our Common Future (hari depan
bersama) dan dipublikasikan pada tahun 1987 oleh The World Commision on
Environmental and Development (WCED), suatu lembaga yang dibentuk oleh
Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB). Secara khusus, kerangka tugas dari majelis
PBB adalah (1) mengusulkan strategi lingkungan jangka panjang untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan mulai tahun 2000, dan (2) mengidentifikasi
bagaimana hubungan antar manusia, sumberdaya, lingkungan dan pembangunan
dapat diintegrasikan dalam kebijakan nasional dan internasional. Komisi tersebut
tediri dari banyak perwakilan dari negara maju dan berkembang, serta melakukan
pertemuan terbuka diberbagai negara (Mitchell, 2010 : 31).
Awal mula tercetusnya ESD (Education for Sustainable Development)
yaitu dari pendidikan lingkungan hidup yang menjadi isu global pada saat
konferensi perserikatan bangsa – bangsa (PBB). Konferensi tersebut membahas
mengenai Lingkungan Hidup Manusia” (The Human Environtment) di
Stockholm, Swedia, 1972, menjadi penggerak bagi manusia untuk memfokuskan
perhatian pada masalah lingkungan. Pada konferensi selanjutnya masyarakat
global menegaskan perlunya interrelasi antara lingkungan dan isu – isu sosial
ekonomi baik yang menyangkut kemiskinan maupun keterbelakangan dalam
pembangunan. Sejak tahun 1980-an tumbuh konsep pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development) sebagai respon terhadap kebutuhan untuk
menyeimbangkan kemajuan ekonomi dan sosial dengan perhatian pada
lingkungan dan pelestarian terhadap sumber daya alam, dan berlanjut pada
konferensi Satu dekade (1992) berikutnya PBB menggelar “The World Summit
on Sustainable Development” yang dilakukan di Johannesburg, 193 negara dan 58
organisasi internasional berpartisipasi. Akhirnya diputuskan untuk menegaskan
kembali hasil pertemuan di Rio De Janeiro (Eco-92) berupa komitmen yang
berkaitan pada interdepedensi dalam pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan
perlindungan lingkungan. Tujuan utamanya adalah untuk memberantas
kemiskinan, merubah pola yang tidak keberlanjutan dalam memproduksi,
mengkonsumsi sumber daya alam yang ada (Kemdiknas, 2010) (Soares, dkk,
2011).

2. Konsep ESD
Konsep pembangunan berkelanjutan pertama kali dikenalkan pada tahun
1987 oleh World Commission on Environment and Development (Brundtland
Commission) melalui melalui bukunya Our Common Future. Dalam buku inilah
dikenalkan istilah pembangunan berkelanjutan. Menurut Brundtland Report dalam
World Commission on Environment and Development (1987), pembangunan
berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip pada “pemenuhan
kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi
masa depan (…to meet the need of the present without sacrificing the ability of
the future to meet theirs)”. Dengan kata lain, pembangunan adalah esensial untuk
pemenuhan kebutuhan manusia dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Pada saat yang sama pembangunan harus berlandaskan pada efisiensi dan
penggunaan lingkungan yang bertangungjawab dari seluruh sumberdaya
masyarakat dengan tetap memperhatikan sisi ekonomi dan sosial tanpa melampaui
fungsi ekologis (lingkungan hidup). Pembangunan berkelanjutan tidak hanya
menitik beratkan pada salah satu aspek ekonominya saja namun juga sosial dan
lingkungan.
Menurut UndangUndang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlidungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan
aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan,
kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Pendidikan merupakan sarana untuk memperkenalkan konsep ini tentunya sebagai
upaya mengubah cara pandang, sikap, dan habit manusia terhadap lingkungan
hidup. Hal ini selaras dengan McKoewn (2002) yang dipertegas oleh UNESCO
(2005) bahwa pendidikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan.
Kemdiknas (2010) mengemukakan bahwa konsep ESD sebagai pendidikan
yang bermakna, berfungsi, dan bertujuan untuk 1) pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup generasi sekarang tanpa harus mengesampingkan
kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, 2)
meningkatkan mutu hidup manusia dengan tetap hidup di dalam daya dukung
ekosistem, dan 3) menguntungkan bagi semua makhluk di bumi (manusia dan
ekosistem) pada masa kini maupun di masa yang akan datang.
UNESCO (2009) menjelaskan bahwa ESD (education for sustainable
development) atau Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu
proses pembelajaran berdasarkan tujuan dan prinsip-prinsip yang mendasari
keberlanjutan dan berkaitan dengan semua tingkat dan jenis pendidikan. ESD
mendukung lima macam dasar belajar untuk menyediakan pendidikan yang
berkualitas dan membina manusia yang berkelanjutan yakni learning to know,
learning to be, learning to live together, learning to do, dan learning to transform
oneself and society.
1) Learning to know
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk menghargai dan mencari
pengetahuan dan kebijaksanaan.
a) Belajar untuk belajar
b) Mendapatkan rasa untuk belajar sepanjang hidup
c) Mengembangkan pemikiran kritis
d) Mendapatkan alat untuk memahami dunia
e) Memahami konsep dan isu keberlanjutan
Education for Sustainable Development
a) Mengakui sifat berkembang dari konsep keberlanjutan
b) Mencerminkan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat
c) Mengakui bahwa memenuhi kebutuhan lokal seringkali memiliki dampak dan
konsekuensi internasional.
d) Alamat konten, konteks, isu global dan prioritas lokal
2) Learning to be
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk pribadi dan kehidupan
keluarga yang lebih baik.
a) Melihat diri sebagai aktor utama dalam menentukan hasil positif untuk masa
depan
b) Dorong penemuan dan eksperimen
c) Memperoleh nilai bersama secara universal
d) Kembangkan kepribadian seseorang, diri sebenarnya, pengetahuan dan diri
dapat bertindak dengan otonomi, penilaian dan tanggung jawab pribadi yang
lebih besar.
Education for Sustainable Development.
a) Dibangun berdasarkan prinsip dan nilai yang mendasari pembangunan
berkelanjutan.
b) Berhubungan baik dengan lingkungan, masyarakat, dan ekonomi.
c) Berkontribusi pada pengembangan seseorang yang lengkap: pikiran dan
tubuh, kecerdasan, kepekaan, apresiasi estetika dan spiritualitas.
3) Learning to Live Together
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk internasional, antar
kebudayaan dan kerjasama masyarakat dan perdamaian
a) Berpartisipasi dan kerjasama dengan orang lain dalam masyarakat majemuk,
multi masyarakat budaya
b) Mengembangkan pemahaman tentang orang lain dan sejarah, tradisi,
kepercayaan, nilai dan budaya mereka
c) Toleransi, menghormati, selamat datang, merangkul, dan bahkan merayakan
perbedaan dan keragaman pada manusia
d) Menanggapi secara konstruktif keragaman budaya dan kesenjangan ekonomi
yang ditemukan di seluruh dunia
e) Mampu mengatasi situasi ketegangan, eksklusi, konflik, kekerasan, dan
terorisme
Education for Sustainable Development:
a) Bersifat interdisipliner. Tidak ada satu disipliner yang bisa mengklaim ESD
untuk kepentingannya sendiri, namun semua disiplin ilmu dapat berkontribusi
terhadapnya.
b) Membangun kapasitas sipil untuk masyarakat berdasarkan keputusan,
toleransi sosial, lingkungan, ketangkasan, tenaga kerja dan kualitas hidup
yang dapat disesuaikan.
4) Learning to do
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk keterlibatan aktif dalam
pekerjaan produktif dan rekreasi
a) Menjadi aktor sekaligus pemikir
b) Memahami dan bertindak dalam isu pembangunan berkelanjutan global dan
lokal
c) Memperoleh pelatihan teknis dan profesional
d) Terapkan pengetahuan terpelajar dalam kehidupan sehari-hari
e) Dapat bertindak kreatif dan bertanggung jawab di lingkungan seseorang
Education for Sustainable Development:
a) Relevan secara lokal dan sesuai budaya.
b) Harus menjadi kenyataan konkrit untuk semua keputusan dan tindakan
sehari-hari kita adalah tentang membantu membangun dunia yang lestari dan
aman bagi semua orang.
5) Learning to transform one self and society
Berupa pengetahuan, nilai dan keterampilan untuk mengubah sikap dan
gaya hidup
a) Bekerja menuju gender netral, non masyarakat yang diskriminatif
b) Mengembangkan kemampuan dan kemauan untuk mengintegrasikan gaya
hidup berkelanjutan bagi diri kita dan orang lain
c) Mempromosikan perilaku dan praktik yang meminimalkan ekologi disekitar
kita
d) Menjaga bumi Bumi dan kehidupan dalam segala keragamannya
e) Bertindak untuk mencapai solidaritas sosial
f) Mempromosikan demokrasi di masyarakat di mana perdamaian berlaku
Education for Sustainable Development
a) Mengintegrasikan nilai-nilai yang melekat dalam pembangunan berkelanjutan
ke dalam semua aspek pembelajaran
b) Mendorong perubahan perilaku untuk menciptakan masyarakat yang lebih
layak dan adil bagi semua orang
c) Mengajari orang untuk merefleksikan secara kritis komunitas mereka sendiri
d) Memberdayakan orang untuk memikul tanggung jawab menciptakan dan
menikmati masa depan yang berkelanjutan

Gambar 2.1. Lima Pilar menurut ESD

Diadaptasi dari Asia-Pacific regional report (UNESCO, 2009) menyebutkan


juga bahwa ESD dipandang sebagai suatu pendekatan dalam pendidikan untuk
mengembangkan nilai-nilai yang mendukung pembangunan berkelanjutan dengan
tujuan untuk membantu manusia belajar tentang pengetahuan yang relevan
dengan nilainilai, mengembangkan kebiasan yang sehat, dan gaya hidup yang
akan menyebabkan pembangunan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat. ESD
juga berkontribusi untuk akusisi dan praktek pengetahuan, nilai-nilai, dan
keterampilan yang memastikan keseimbangan antara ekonomi, sosial dan aspek
lingkungan dari pembangunan berkelanjutan sebagai upaya kemajuan dalam
hidup baik individu maupun masyarakat (UNESCO-Beirut, Regional Guiding
Framework of ESD for the Arab Region, 2008). Upaya reorientasi pendidikan
diperlukan untuk menunjang implementasi ESD dalam dunia pendidikan.
Reorientasi pendidikan dapat dilakukan melalui reorientasi kurikulum dengan
mengidentifikasi beberapa aspek yakni pengetahuan, isu-isu, perspektif,
keterampilan, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan
yang mengintegrasikan ketiga pilar utamanya yakni lingkungan, ekonomi, dan
sosial. Idealnya upaya reorientasi pendidikan harus didasarkan pada tujuan
keberlanjutan lokal maupun nasional. Sehingga reorientasi pendidikan tersebut
akan lebih relevan dengan kondisi lokal maupun nasional. Dari pengertian
tersebut dapat diketahui bahwa ESD merupakan sarana untuk mentransfer
pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan serta mengembangkan kapasitas
manusia terkait dengan isu-isu keberlanjutan sehingga mereka dapat menentukan
cara untuk mempertahankan hidupnya. Perlu digarisbawahi bahwa ESD
mengandung memiliki karakteristik yakni adanya penciptaan suatu kesadaran
(Creation of awareness), mengandung lokal dan visi global (Local and global
vision), belajar untuk bertanggungjawab (Learn to be responsible), belajar untuk
mengubah (Learning to change), adanya partisipasi (Participation), belajar
sepanjang hayat (Lifelong learning), adanya pemikiran kritis (Critical thinking),
menekankan pada pendekatan sistemik dan pemahaman kompleks (Systemic
approach and understanding complexity), pengambilan keputusan (Decision-
making), interdisipliner (Interdisciplinarity), pemecahan masalah (Problem-
solving), dan memuaskan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan generasi masa
depan (Satisfying the needs of the present without compromising future
generations) (UNESCO, 2009).

3. Perspektif ESD
Terdapat tiga perspektif dalam ESD yang menjadi pilar utamanya yakni
sebagai berikut: 1. Sosial budaya yakni berkaitan dengan isu-isu hak asasi
manusia, perdamaian dan keamanan manusia, kesetaraan gender, pemahaman
tentang keragaman budaya dan antarbudaya, kesehatan, HIV & AIDS, dan tata
kelola pemerintahan 2. Lingkungan yakni berkaitan dengan isu-isu sumber daya
alam (air, energi, pertanian, keanekaragaman hayati), perubahan iklim,
pembangunan pedesaan, urbanisasi yang berkelanjutan, pencegahan bencana dan
mitigasi 3. Ekonomi yakni berkaitan dengan isu-isu pengurangan kemiskinan,
tanggung jawab perusahaan, akuntabilitas dan reorientasi ekonomi pasar.
Berdasarkan ketiga perspektif tersebut dapat diketahui bahwa adanya keterkaitan
antar aspek yang tidak dapat saling terpisah dalam menunjang ESD. Hal ini
dimaksudkan bahwa dalam implementasi ESD tidak dapat mengutamakan hanya
satu aspek saja namun harus memperhatikan ketiga aspek tersebut yakni sosial
budaya, ekonomi, dan lingkungan. Gambar 2.2 menunjukkan ilustrasi keterkaitan
ketiga aspek tersebut.

Gambar 2.2 Perspektif ESD (sumber:


UNESCO, 2012)

4. Peran Guru Biologi dalam ESD


Hakikat pembelajaran adalah suatu proses perubahan tingkah laku anak
(Sagala, 2006), yaitu perubahan dari tidak baik menjadi baik, dari tidak bisa
mengerjakan sesuatu menjadi bisa mengerjakan sesuatu. Salah satu faktor
yang paling berpengaruh dalam perubahan tersebut adalah seorang guru.
Guru memiliki peran penting dalam berlangsungnya pembelajaran dikelas.
Guru dapat menjadi agent of change (agen perubahan) didalam sebuah
pembelajaran. Menurut Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang
SISDIKNAS dan Undang Undang No.14 tahun 2006 tentang Guru dan
Dosen, bahwa kedudukan, peran dan fungsi guru sangat sentral dalam
membangun kualitas pendidikan nasional. Merujuk pada beberapa peraturan
perundangan bidang pendidikan tersebut di atas, baik berupa Undang
Undang, Peraturan Pemerintah sampai Permendiknas, pada era sekarang dan
akan datang setiap guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yaitu
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan
kompetensi profesional. Dari keempat kompetensi tersebut, diharapkan guru
dapat menjadi seseorang yang mempunyai peranan penting dan dianggap
sebagai agen perubahan untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Peranan
guru dalam kegiatan belajar mengajar ada 9 peran guru yaitu informator,
organisator, motivator, pengarah atau director, inisiator, transmitter,
fasilitator, mediator, evaluator. Peran guru dalam ESD (Education of
Sustainable Development) melalui mata pelajaran biologi diharapkan dapat
mengajak siswa untuk lebih mengetahui mengenai apa itu pembangunan
berkelanjutan dan bagaimana pembangunan berkelanjutan yang ada di
Indonesia, yaitu salah satunya melalui materi biologi. Pembahasan
pembangunan berkelanjutan dapat dikaitkan dengan ketiga persepektif yang
dijabarkan dalam komponen ESD yaitu sosial-budaya lingkungan hidup, dan
ekonomi. Salah satunya, guru dapat berperan sebagai fasilitator, dengan
menciptakan suasana kegiatan pembelajaran yang kondusif, serasi dengan
perkembangan siswa, sehingga interaksi belajar mengajar berlangsung efektif
dan optimal.

5. ESD melalui Pembelajaran Biologi


Proses pembelajaran merupakan kegiatan interaksi antara guru siswa dan
komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan belajar. Interaksi dalam proses pembelajaran tidak sekedar
hubungan komunikasi antar guru dan siswa tetapi merupakan interaksi
edukatif yang tidak hanya penyampaian materi pelajaran melainkan juga
menanamkan sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar (Nuryani R.,
2005). Proses pembelajaran biologi merupakan sebuah sistem. Sistem berarti
terdapat satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara komponen-
komponennya. Hal serupa diperkuat oleh pernyataan Suhardi (2012: 1),
bahwa proses pembelajaran (belajar mengajar) biologi adalah sebagai suatu
sistem. Sistem tersebut terdiri dari empat komponen yang saling
mempengaruhi yaitu raw input (masukan mentah: peserta didik), instrumental
input (masukan instrumental), environment (lingkungan), dan out put (hasil
keluaran). Keempat komponen tersebut mewujudkan suatu sistem
pembelajaran biologi dimana prosesnya (proses pembelajaran) berada di
pusatnya. Komponen masukan instrumental sangat berpengaruh terhadap
proses pembelajaran biologi berupa kurikulum, guru, sumber belajar, media,
metode, dan sarana prasarana pembelajaran. ESD atau pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan secara tidak langsung sudah terdapat di dalam
kurikulum atau materi pelajaran di sekolah salah satunya dalam bidang studi
IPA khususnya mata pelajaran Biologi. Hal ini tentunya perlu adanya peran
guru biologi dalam pembelajaran Biologi untuk mengintegrasikan ESD dalam
pembelajarannya. Terkait dengan hal ini, maka tidak hanya guru yang
dituntut untuk berperan aktif dalam aktualisasi ESD dalam pembelajaran
namun dibutuhkan kerjasama yang baik pula dengan sekolah termasuk di
dalamnya guru dan warga sekolah, siswa, masyarakat, serta kondisi
lingkungan sekolah. UNESCO (2012) merumuskan beberapa aspek yang
berkaitan dengan implementasi ESD dalam proses pembelajaran di sekolah
seperti yang diilustrasikan pada gambar 3.

Gambar 2.3. Whole-School Approach to


Sustainability (sumber: UNESCO, 2012)
Berdasarkan gambar 3 tersebut dapat diketahui bahwa sekolah memiliki
kontribusi dalam implementasi ESD yakni: 1. Formal kurikulum yang terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, perspektif, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan
keberlanjutan. 2. Pembelajaran yang meliputi isu-isu dalam kehidupan nyata/ real-
life untuk meningkatkan motivasi belajar siswa 2.3. Sekolah memiliki etos
keberlanjutan yang dapat dilihat dalam perlakuan terhadap orang lain, sarana
prasarana, dan lingkungan sekolah. 4. Manajemen sekolah yang sesuai dengan
prinsip keberlanjutan misalnya pengadaan barang ramah lingkungan, penggunaan
air dan energi, dan pengelolaan limbah 5. Kebijakan sekolah yang
menggambarkan ketiga aspek pembangunan berkelanjutan yaitu sosial budaya,
lingkungan, dan ekonomi 6. Adanya interaksi yang baik antara masyarakat dan
sekolah 7. Pengadaaan kegiatan ekstrakulikuler dan kegiatan lainnya yang
menunjang keberlanjutan 8. Siswa berperan aktif dalam pengambilan keputusan
Untuk memperkenalkan ESD kepada siswa maka guru perlu melakukan analisis
kurikulum. Analisis kurikulum dilakukan dengan cara mengidentifikasi SK-KD
pada kurikulum KTSP dan KI-KD pada Kurikulum 2013. Dengan demikian guru
dapat menentukan materi – materi apa saja yang dapat disisipi konsep ESD.
Berikut adalah cakupan materi pada mata pelajaran biologi di SMA, yakni:
1). Ruang lingkup biologi, 2). Virus, 3). Bakteri (Archaebacteria dan Eubacteria),
4). Keanekaeragaman hayati, 5). Ekosistem, 6). Keseimbangan Lingkungan, dan
7). Bioteknologi. Dari materi – materi tersebut dapat dikaitkan dengan isu-isu
nyata yang ada di kehidupan sehari-hari, sehingga dapat menarik minat siswa
untuk belajar mengenai konsep ESD. Pokok bahasan yang tertuang di atas dapat
dikaji melalui pendekatan ESD dimana guru dapat mengintegrasikan strategi,
model, dan metode pembelajaran untuk menunjang pendidikan untuk
pembanguanan berkelanjutan. Dengan melihat prisip ESD maka kajian ilmu yang
disampaikan dalam pembelajarannya pun akan lebih kompleks dengan
menekankan prinsip interdisipliner. Pentingnya ESD dalam pembelajaran biologi
sangat erat kaitannya dengan bagaimana cara guru biologi mengintegrasikan
ketiga aspek yakni sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan untuk membahas isu-
isu yang dipelajari oleh siswa sehingga dapat memberikan pemahaman
pengetahuan, perspektif, keterampilan, dan nilai-nilai yang relevan untuk
kehidupannya.
C. Literasi Sains
1. Pengertian Literasi Sains
Secara harfiah literasi berasal dari kata literacy yang berarti melek
huruf/gerakan pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1993). Sedangkan
istilah sains berasal dari bahasa Inggris Science yang berarti ilmu pengetahuan.
Sains berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga
sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta,
konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Sains merupakan sekelompok pengetahuan tentang obyek dan
fenomena alam yang diperoleh dari pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang
dilakukan dengan keterampilan bereksperimen menggunakan metode ilmiah.
C.E.de Boer mengemukakan bahwa orang pertama yang menggunakan
istilah “Scientific Literacy” adalah Paul de Hart Hurt dari Stanford University
yang menyatakan bahwa Scientific Literacy berarti memahami sains dan
aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat. Literasi sains menurut National Science
Education Standards adalah “scientific literacy is knowledge and understanding of
scientific concepts and processes required for personal decision making,
participation in civic and cultural affairs, and economic produvtivity. Literasi
sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan proses
sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu keputusan
dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam hal kenegaraan,
budaya dan pertumbuhan ekonomi.
Literasi sains menurut PISA diartikan sebagai “ the capacity to use scientific
knowledge , to identify questions and to draw evidence-based conclusions in order
to understand and help make decisions about the natural world and the changes
made to it through human activity”. Literasi sains didefinisikan sebagai
kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan
menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta
membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan
terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang
literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap
pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman
peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran
akan betapa sains dan teknologi membentuk lingkungan material, intelektual dan
budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains, sebagai manusia
yang reflektif. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan
pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan belajar sains atau tidak
setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warga negara, bukan hanya
ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi
kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-
pertanyaan ilmiah dan teknologis.
Sesuai dengan pandangan di atas, penilaian literasi sains dalam PISA tidak
semata-mata berupa pengukuran tingkat pemahaman terhadap pengetahuan sains,
tetapi juga pemahaman terhadap berbagai aspek proses sains, serta kemampuan
mengaplikasikan pengetahuan dan proses sains dalam situasi nyata yang dihadapi
peserta didik, baik sebagai individu, anggota masyarakat, serta warga dunia.
National Teacher Association (1971) mengemukakan bahwa seorang yang
literat sains adalah orang yang menggunakan konsep sains, keterampilan proses,
dan nilai dalam membuat keputusan sehari-hari kalau ia berhubungan dengan
orang lain atau dengan lingkungannya, dan memahami interelasi antara sains,
teknologi dan masyarakat, termasuk perkembangan sosial dan ekonomi.
Pengetahuan yang biasanya dihubungkan dengan literasi sains adalah
Memahami ilmu pengetahuan alam, norma dan metode sains dan pengetahuan
ilmiah, memahami kunci konsep ilmiah, memahami bagaimana sains dan
teknologi bekerja bersama-sama, menghargai dan memahami pengaruh sains dan
teknologi dalam masyarakat, hubungan kompetensi-kompetensi dalam konteks
sains, kemampuan membaca, menulis dan memahami sistem pengetahuan
manusia, mengaplikasikan beberapa pengetahuan ilmiah dan kemampuan
mempertimbangkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Disiplin Literasi dalam Reformasi Ilmu Pendidikan
Berasarkan laporan yang beredar pada tahun 1979-1984 yang berjudul
“Science for Ecery Students: Educating Canadians for tomorrow’s World oleh
Science Council of Canada, menekankan bahwa penafsiran literasi sains fokus
pada semua murid, populasi terlayani, ilmu otentik dan teknologi, dan ilmu-
teknologi-masyarakat-lingkungan (STSE) masalah. Amerika Serikat dan negara-
negara berbahasa Inggris atau menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa
nasionalnya, dan Kanada menggunakan artikulasi literasi sains yang menganggap
peran interaktif bahasa, belajar, dan pemahaman dan mulai menguraikan
pengelompokan literasi dasar dan pengelompokan berdasarkan asalnya (Tan &
Kim, 2012)
Tabel 2.2 Interaksi literasi sains

Dasar Asal
Kemampuan kognitif dan metakognitif Memahami ide-ide besar dan pemersatu
konsep sains
Berpikir kritis/masuk akal penalaran Ilmu alam
Kebiasaan pikiran Penyelidikan ilmiah
Seni bahasa ilmiah (membaca, menulis, Disain teknologi
berbicara, mendengarkan, melihat, dan
mewakili dalam ilmu)
Teknologi informasi dan komunikasi Hubungan antara ilmu pengetahuan,
(TIK) teknologi, masyarakat, dan lingkungan
Sumber: (Tan & Kim, 2012)
Selain itu, pencapaian literasi sains memiliki fokus pada kewarganegaraan
yang menyebabkan partisipasi dalam debat publik tentang STSE atau masalah
ilmu sosial (SSI) dan menginformasikan solusi dan tindakan yang berkelanjutan.
Menurut Cross (1999) dalam Tan & Kim (2012) "Diakui oleh semua bahwa ini
hanya awal, dan warga akan, salah satu cara atau lain, terlibat dalam pendidikan
seumur hidup jika mereka ingin berpartisipasi dalam berkelanjutan perdebatan
tentang perubahan yang terjadi di masyarakat“. Visi III mengintegrasikan
kognitif, linguistik, pedagogi, dan filosofis
aspek ilmu pengetahuan dan keaksaraan disiplin dalam interpretasi konstruktivis
belajar dan mengajar dalam ilmu. Banyak kurikulum tidak secara eksplisit
menyebutkan literasi sain, tapi mereka menekankan fitur umum untuk analisa
kurikulum yang memberikan dasar implisit untuk menggunakan Visi III sebagai
dasar reformasi ilmu untuk generasi kedua. Pengelompokan pada Tabel 2.2
memiliki kekhususan, konsistensi, dan kejelasan dalam dokumen kurikulum
Negara berbahasa Inggris; namun kerangka ini menangkap materi dan praktek
ilmuwan dan disiplin adat dan tradisi tertanam dalam kegiatan ilmiah
kontemporer. Pembicaran yang bersifat penyelidikan, argumen, transformasi
representasi, menulis-untuk-belajar, dan membaca-untuk-belajar instruksi
memiliki pengaruh yang khas pada pemahaman ilmu pengetahuan; metakognisi
dan konten dan kinerja bahasa mempengaruhi pemahaman wacana dalam ilmu
(Tan & Kim, 2012).
Perlu digaris bawahi, visi dari literasi sain yang ditemukan di alam
(asumsi ontologis dan epistemologis keyakinan) dan fungsi komunikatif,
konstruktif, dan persuasif bahasa bagi para ilmuwan yang melakukan dan
siswa yang belajar sains. Bahasa tidak hanya digunakan untuk memberikan
pemahaman; dan proses publikasi (pengetahuan siklus konstruksi) membentuk
apa yang dikenal dan mengajak orang lain tentang keabsahan yang timbul dari
diskusi, negosiasi, dan argumentasi (Tan & Kim, 2012).
3. Turunan Makna Literasi Sains
Literasi sains digambarkan dalam tabel 2.1 yang cukup dipahami dan
diterima di dalam ilmu pendidikan, masyarakat dan dokumen-dokumen reformasi
pendidikan sains internasional untuk memahami prinsip-prinsip penting dan
dasar-dasar ilmu, ada beberapa kesepakatan pada dokumen reformasi, kurikulum
dan lainnya yang digunakan sebagai patokan. Perdebatan terus terjadi dalam
kurun waktu 50 tahun ini dan kemungkinan akan terus berlanjut, tapi setidaknya
itu tidak melenceng dari ide-ide besar yang telah disepakati (Tan & Kim, 2012).

(a) Menyatukan Konsep dan Ide-Ide Besar


Ide-ide besar dan konsep-konsep harus menjadi pemersatu yang memiliki
konten utama untuk dunia, khususnya yang meliputi ilmu-ilmu yang ada di
seluruh dunia, dan sebagai dasar dalam kerangka standar nasional atau kurikulum.
Contohnya Kerangka keilmuan sistem Pan-Canadian (dewan mentri pendidikan
kanada 1997) mengidentifikasi dan mempersatukan konsep ketetapan, perubahan,
energi, kesamaan dan keragaman, serta sistem interaksi, untuk dijadikan acuan
dalam pendidikan.Identifikasi standar pendidikan sains (NRC 1996) juga
mempersatukan konsep ketetapan, perubahan, energi, kesamaan dan keragaman,
serta sistem interaksi (Tan & Kim, 2012).
(b) Sifat Ilmu
Ilmu sangat dikaitkan dengan dunia pendidikan. Ilmu dikatakan sebagai
sarana penyelidikan namun juga dapat dikatakan sebagai argumen. Ilmu
menggunakan cara unik dalam eksplorasi dalam penyelidikan masalah, hypotesis,
dan argumentasi dan membangun hubungan antara hypotesis, latar belakang, data,
bukti, untuk menjelaskan suatu hal. Ilmu juga sebagai upaya sistematis untuk
mencari, menggambarkan dan menjelaskan, hal yang ada di alam untuk menjawab
sebab akibat dan dapat dibuktikan (Tan & Kim, 2012).
(c) Penyelidikan Ilmiah dan Desain Teknologi
Penyelidikan adalah proses kreatif, dinamis dan rekursif dengan metode
yang dapat diterima secara universal. desain teknologi adalah ide-ide desain yang
mengotak atik dan menggunakan pendekatan trial error untuk mengatasi masalah
yang ada dalam masyarakat (Tan & Kim, 2012).

D. Hubungan Antara Sains, Teknologi, dan Masyarakat


Sains, Teknologi, dan Masyarakat memiliki kaitan erat dimana sains,
teknologi dikembangkan untuk kemaslahatan umat manusia, perkembangan sains
dan teknologi akan diterima jika tidak merugikan ataupun membahayakan
masyarakat. Sehingga perkembangan sains dan teknologi harus
mempertimbangkan masyarakat. Sains teknologi dan masyarakat sekarang
berkembang menjadi SALINGTEMAS yang merupakan bentuk dari aplikasi
sains, teknologi, lingkungan, dan dampaknya bagi masyarakat yang memiliki
kaitan erat. Sehingga, dapat menghubungkan antara apa yang dipelajari dengan
komponen sains dan teknologi dalam kehidupan sehari-hari. Karena pentingnya
Salingtemas ini maka perlu dimasukkan kedalam pendidikan, dimana pendidikan
lingkungan sebagai suatu dimensi, di dalam pembelajarannya menggunakan
pendekatan lingkungan (Desmita, 2006).
Masalah yang dihadapi masyarakat modern melibatkan
kombinasi dari sains, teknologi, untuk menyelesaikannya. Sains-Lingkungan-
Teknologi-Masyarakat (Salingtemas/SETS) adalah sebuah gerakan pembaharuan
dalam bidang kajian IPA yang memiliki kaitan erat. Pembaharuan ini mula-mula
terjadi di Inggris dan Amerika, sekarang sudah merebak ke negara-negara lain.
Salingtemas dalam pendidikan IPA diyakini oleh pakar-pakar di Amerika sebagai
pendekatan yang tepat, sebab pendekatan ini berusaha untuk menjembatani materi
dengan situasi dunia nyata di luar yang menyangkut perkembangan teknologi dan
situasi sosial kemasyarakatan. Hal ini menggambarkan bahwa pendekatan
Salingtemas dijalankan untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi
masa depannya. Pendekatan ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan dalam
penentuan tujuan, perencanaan, pelaksanaan, cara mendapatkan informasi, dan
evaluasi pembelajaran. Adapun yang digunakan sebagai penata (organizer) dalam
pendekatan Salingtemas adalah isu-isu dalam masyarakat yang ada kaitannya
dengan Sains dan Teknologi (Nurohman, 2008).

E. Pemahaman Inti Literasi sains dalam Disiplin Ilmu


Arti dasar literasi sains dalam disiplin ilmu melibatkan kemampuan
memahami wacana yang berhubungan dengan hal ilmiah dan kemudian
membangun pemahaman dari wacana untuk diterapkan sebagai pengetahuan yang
bermakna. Literasi tidak hanya dari buku namun sekarang juga dikemas dengan
teknologi yang lebih modern. Literasi sains ini membuat peserta didik mampu
mengembangkan hal positif dengan budaya membaca yang memberikan
gambaran untuk praktek, penyelidikan, desain teknologi, memecahkan masalah
dan penguat argumentasi.
Literasi sains terbentuk dari 2 kata, yaitu literasi dan sains. Secara
harfiah literasi berasal dari kata Literacy yang berarti melek huruf/gerakan
pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1990). Sedangkan istilah sains
berasal dari bahasa inggris Science yang berarti ilmu pengetahuan. Sains
merupakan sekelompok pengetahuan tentang obyek dan fenomena alam yang
diperoleh dari pemikiran dan penelitian para ilmuwan yang dilakukan dengan
keterampilan bereksperimen menggunakan metode ilmiah”. Literasi sains adalah
kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk mengidentifikasi
permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti dalam rangka
memahami serta membuat keputusan tentang alam dan perubahan yang
dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (PISA, 2000). Literasi sains
menurut National Science Education Standards (1995) adalah: Scientific literacy
is knowledge and understanding of scientific concepts and processes
required for personal decision making, participation in civic and cultural affairs,
and economic productivity. It also includes specific types of abilities yang artinya
Literasi sains yaitu suatu ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai konsep dan
proses sains yang akan memungkinkan seseorang untuk membuat suatu
keputusan dengan pengetahuan yang dimilikinya, serta turut terlibat dalam
hal kenegaraan, budaya dan pertumbuhan ekonomi, termasuk di dalamnya
kemampuan spesifik yang dimilikinya. Literasi sains dapat diartikan sebagai
pemahaman atas sains dan aplikasinya bagi kebutuhan masyarakat (Firman,
2007).

1. Kemampuan Kognitif dan Metakognitif


Pembangunan pemahaman ilmiah melibatkan berbagai ontologis asumsi dan
prinsip-prinsip epistemologis yang mendefinisikan sifat ilmu pengetahuan dan
bagaimana para ilmuwan melakukan sesuatu berhubungan dengan ilmu
pengetahuan. Tindakan diterapkan dengan benar dan efektif menghasilkan klaim
pengetahuan dan penjelasan. Kemampuan kognitif dan metakognitif dan strategi
termasuk di dalamnya, tetapi tidak terbatas pada:
a. Peka terhadap perkembangan dunia, membangun serta mengawasi klaim
pengetahuan.
b. Analisis kritis mengenai klaim, prosedur, kesalahan pengukuran, data, dan
sebagainya.
c. Pembenaran data sebagai bukti atau terhadap klaim berdasarkan jaminan.
d. Perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pemecahan masalah, dan mengatur
(Tan & Kim, 2012).

2. Berpikir Kritis/Penalaran yang masuk akal


Memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan mengenai tantangan
merupakan pusat sebagian besar deskripsi berpikir kritis. Orang Ilmiah
dihadapkan dengan tantangan berharga, masalah, atau masalah yang layak
dipertimbangkan untuk melakukan pembahasan bukti, kriteria, dan opini untuk
membuat penilaian tentang apa yang harus dilakukan/percaya dan terbuka akan
membenarkan klaim/penghakiman. Pemikir kritisakan merefleksikan apa yang
sedang ia lakukan dan telah ia lakukan. Selain itu, berpikir kritis dari perspektif
metakognitif dapat dilihat sebagai berpikir tentang pemikiran Anda saat Anda
berpikir untuk meningkatkan kualitas pemikiran Anda (Tan & Kim, 2012).

3. Kebiasaan Berpikir
Kebiasaan berpikir berhubungan terhadap penyelidikan ilmu pengetahuan
dan teknologi desain mencerminkan sifat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kebiasaan berpikir ini (keyakinan, nilai-nilai, sikap, sikap kritis, proses, dan
keterampilan) mengenai sains meliputi disposisi, seperti skeptisisme,
kesementaraan, kepastian, kepercayaan, kesediaan untuk mencari solusi,
menopang klaim dengan bukti, mengevaluasi data, informasi, alasan, dan
argumen; dan melihat ilmu pengetahuan dan teknologi serius, yang tidak kategoris
antagonis atau tidak kritis; keterbukaan untuk membandingkan dan menghargai
peran kesempatan dan kesalahan dalam hubungan (Tan & Kim, 2012).

4. Bahasa Ilmiah
Orang Ilmiah berbicara-mendengar, menulis-membaca, dan mewakili-
menafsirkan menggunakan bahasa alami dan bahasa matematika; mengikuti
petunjuk; menyatakan tujuan untuk bertahap tata cara; menghasilkan argumen
yang meyakinkan, penjelasan suara, deskripsi yang jelas, atau ekspresi
matematika; dan menggunakan metabahasa ilmu dalam yang tepat dan
cara yang tepat yang mencerminkan pandangan yang diterima sains. Sebuah
sinergi ada antara ilmu pengetahuan dan pembelajaran bahasa. Integrasi tujuan
ilmu pengetahuan, bahasa, dan hasil retorika dalam pemahaman ilmu pengetahuan
dan bahasa di luar lingkup ketika salah digunakan secara terpisah. Konstruktif
/fungsi interpretatif bahasa (berbicara-mendengar, menulis-membaca, mewakili-
menafsirkan) adalah tugas yang membantu dalam memperoleh informasi,
membandingkan, mengklasifikasikan, dan menganalisis ide-ide, membujuk orang
laindan membangun bentuk pemahaman bahasa serta melaporkan apa yang kita
ketahui. Fungsi-fungsi ini mencerminkan proses sains, prosedur kognitif, dan
strategi metakognitif yang digunakan oleh para ilmuwan dalam melakukan ilmu
pengetahuan, menyadari dan mengakui pemahaman mereka, dan
mengkomunikasikan dan melaporkan ide-ide ini kepada orang lain (Tan & Kim,
2012).
5. Berbicara-Mendengarkan Ilmu Literasi
Bahasa adalah media utama melalui mana konsep-konsep ilmiah dipahami,
dibangun, dan dinyatakan. Berbicara tentang ilmu pengetahuan dengan teman
sebaya dan dengan guru memberikan siswa kesempatan untuk memahami
pemikiran mereka, mendengarkan ide-ide orang lain, menyadari berbagai
perspektif, memikirkan kembali ide, mengevaluasi ide-ide orang lain. Namun,
guru lebih sering mendominasi diskusi kelas dan melakukan sebagian besar
pembicaraan. Akibatnya, siswa tidak menghabiskan waktu yang cukup
menghasilkan bahasa dan berinteraksi dengan orang lain dalam pembicaraan
eksplorasi, yang memungkinkan mereka untuk memproses kedua bahasa dan
konten yang lebih mendalam dan bernegosiasi makna dan menyesuaikan bahasa
mereka agar dipahami oleh orang lain (Tan & Kim, 2012).
6. Menulis-Membaca Ilmu Literasi
Penelitian menunjukkan bahwa membaca tentang ilmu pengetahuan atau
dengan tidak membaca atau menulis adalah metode yang cukup untuk belajar
konseptual yang efektif. Sedangkan menulis tentang ilmu pengetahuan akan
menciptakan peluang untuk mengusulkan, memperkuat, dan merevisi konseptual
pengetahuan dan untuk memodelkan genre yang berbeda dalam menulis, sehingga
membangun fondasi pengalaman yang diperlukan untuk membaca berbagai
modus teks informasi (deskripsi, penyebab/efek, masalah/solusi, prosedur, dll).
Integrasi ilmu pengetahuan, menulis, dan membaca melalui penyelidikan otentik
memungkinkan untuk lebih menarik, tujuan, reflektif, efisien, dan efektif yang
meningkatkan pemahaman bacaan, pemahaman konseptual, dan menulis
akademik (Tan & Kim, 2012).
7. Penggambaran dan perwakilan Ilmu Literasi
Baru-baru ini, telah terjadi peningkatan pengakuan dan minat dalam cara
ide-ide ilmiah yang diwakili (misalnya, menggunakan pendekatan multimodal
atau modus lain daripada hanya dengan kata-kata). Penelitian menunjukkan
bahwa membangun beberapa representasi dan mengubah representasi antara
modus meningkatkan kompetensi representasional, kedalaman pengolahan, dan
pemahaman konseptual. Orang Ilmiah membangun dan menggunakan beberapa
representasi (termasuk sketsa, diagram, model, tabel, grafik, peta, gambar, dan
grafik), menggunakan tampilan visual dan tekstual untuk mengungkapkan
hubungan, mencari dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber tekstual dan
digital, memilih dan menggunakan kosakata yang tepat, menampilkan spasial,
operasi numerik, dan statistik (Tan & Kim, 2012).
8. Informasi Teknologi Komunikasi
Para ilmuwan memadukan ilmu dengan teknologi dan dibatasi oleh
teknologi yang tersedia. ICT memungkinkan para ilmuwan untuk bekerja sama
dan berbagi database dari kejauhan, membangun pengetahuan baru, dan
melaporkan hasil penelitian mereka tanpa berada di ruangan yang sama. Ilmuwan
dan siswa menggunakan dan membaca kalkulator, analog/meter digital, catatan
digital, kamera, dan video, memecahkan masalah umum, dan menentukan
penyebab potensial malfungsi. Mereka menggunakan ICT abad 21untuk
mengakses instruksional, pengolahan, pengelolaan, menafsirkan, dan
mengkomunikasikan informasi, memahami, mengelola, dan menciptakan yang
efektif lisan, tertulis, dan multimedia komunikasi, penalaran suara, menganalisis,
dan memecahkan masalah (Tan & Kim, 2012).

F. Kesimpulan Singkat Literasi Sains


1. Hubungan antara Bahasa dalam Memahami Ilmu dan Pengetahuan
Beberapa pertanyaan mendesak dan praktis muncul ketika Anda
menyarankan bahwa melek ilmu pengetahuan untuk semua atau menjadi melek
ilmu melibatkan pertimbangan serius keaksaraan dan komponen bahasa dan
bukan hanya mengetahui ilmu Anda. Orang tua, mahasiswa, profesor ilmu dan
guru sains mempunyai keprihatinan mengenai validitas klaim ilmu bahasa,
mereka ingin tahu mekanisme antara bahasa dan mengetahui bagaimana
penerimaan klaim bahasa-ilmu akan pengaruh instruksionalnya terhadap waktu
dan kelas praktik. Sebuah contoh praktis dari media potensi efek pada kesadaran
masyarakat dan pemahaman tentang ilmu pengetahuan dapat menggambarkan
proses ini seperti artikel di alam atau ilmu pengetahuan, pengumuman penerima
penghargaan nobel, laporan jurnalistik (JRV) tentang penemuan terhadap ilmu
populer, dan opini editorial di surat kabar yang dapat memberikan wawasan
banyak orangtua yang menjadi melek huruf di ilmu pengetahuan dan efek dari
media populer. Beberapa dari kita akan memahami seluk beluk fisika di charge-
coupled devices (CCD) yang merupakan dasar untuk Willard Boyle dan George
Smith Penghargaan Nobel Fisika 2009 dalam (Charles Kao juga dibagi dalam
hadiah ini untuk pengembangan optik efisiensi tinggi). Namun demikian, dengan
beberapa tingkat wawasan tentang bagaimana bahasa yang digunakan dalam ilmu
dan sifat pengetahuan, kita dapat menghargai penemuan elektronik pendeteksi
cahaya ini dan dampaknya terkait elektronik dan kamera digital. Jelas, waktu
antara penemuan (1969) dan aplikasi CCD kamera digital (1986) jauh lebih lama
daripada publikasi JRVs. Selain itu, kami menyadari bahwa banyak bukti,
eksplisit penalaran, dan ketidakpastian dilucuti dari televisi klip dan JRVs.
Namun, banyak pengetahuan siswa tidak menyadari perbedaan-perbedaan ini, dan
mereka meluaskan dan menganggap besar kepastian daripada yang dimaksudkan
oleh penulis atau pembenaran dengan bukti-bukti (Norris dan Phillips 1994;
Phillips dan Norris 1999).
Meremehkan pentingnya bahasa dalam melakukan sains secara kritis
menjadi penghalang untuk meyakinkan para ilmuwan dan guru sains dari nilai
komponen keaksaraan untuk semua di melek sains. Banyak ilmuwan dan guru
sains melihat fungsi bahasa hanya sebagai alat pelaporan untuk apa yang mereka
ketahui. Itu tugas yang jauh lebih sulit untuk meyakinkan mereka bahwa bahasa,
terutama ditulis bahasa, memiliki fungsi kognitif dan retorika dalam membangun
pemahaman dan membujuk orang lain dan bahwa pilihan bahasa dapat
membentuk apa yang kita tahu. Sejarah ilmu pengetahuan kaya dengan contoh
bagaimana memilih kata dan metafora berpengaruh dalam memahami ilmu
(menjelajahi bintang-bintang yang beku dan lubang hitam). Selain itu, diposisi
lain bahwa dalam budaya tanpa bentuk bahasa tertulis, pengetahuan tentang
kejadian-kejadian yang terjadi secara alami secara drastis akan berbeda dari
orang-orang budaya yang telah menulis bahasa (dahulu kala 2008).
2. Menjanjikan Kelas Praktik
Selama 20 tahun terakhir, banyak pendidik sains telah menyadari bahwa
hands-on kegiatan diperlukan, tetapi ketika digunakan sendirian tidak efisien
dalam mendukung pembelajaran siswa yang bermakna dalam pemahaman ilmu.
Aktivitas, berfikir kritis dengan tambahan hands-on serta pengalaman indrawi
secara otomatis mengarah pada pemahaman, telah memiliki kesadaran bahwa
pikiran pada pengalaman termasuk eksplorasi bicara, argumentasi, dan negosiasi
perlu rubrik hands-on kegiatan. Belajar analisis bahasa artikel dari jurnal
pengajaran ilmu menunjukkan tingginya ide-ide yang populer, tetapi kebanyakan
kekurangan rekomendasi teori yang mendukung lembaga dan bukti-bukti empiris
(Hand et al. 2010). Banyak generasi kedua melakukan program penyelidikan ilmu
telah mengadopsi sebuah siklus belajar atau pendekatan 5E yang terlibat yaitu
engages, explores, explains, extends, dan evaluates pembelajaran siswa dengan
melihat tugas atau instruksi yang berfokus pada pengetahuan konstruksi,
kemampuan yang diperlukan, dan metakognisi untuk meningkatkan pemahaman
dan mengembangkan disiplin-olah fungsi bahasa (Tan & Kim, 2012).
Romance dan Vitale (1992) melakukan salah satu program pertama untuk
mengeksplorasi integrasi sistematis seni bahasa dan ilmu instruksi dengan
mengganti membaca basal yang terpisah dan program ilmu dengan berbasis buku,
ilmu-konten program yang menekankan hands-on penyelidikan kegiatan, proses
ilmu pengetahuan, membaca dan pemahaman teks informasi. Mereka
menemukanbahwa menggabungkan instruksional untuk membaca dan
menggunakan program buku teks ilmu sains menyebabkan peningkatan membaca
dan ilmu uji nilai dan peningkatan afektif langkah-langkah mata pelajaran.
Penelitian saat ini mereka telah mengambil pekerjaan sebelumnya, memperluas
fokus termasuk ilmu menulis, dan skala usaha termasuk sekolah paling dasar dan
menengah di dua kecamatan sekolah sangat besar dengan efek menjanjikan yang
sama pada kinerja siswa (Romance dan Vitale 2006, 2008). Orang lain telah
menunjukkan nilai instruksi eksplisit membaca, melek tugas dan jenis teks dan
eksplisit pemahaman instruksi tertanam dalam program sains untuk meningkatkan
pemahaman membaca dan kesadaran metakognitif (Holden. 1996, Pearson et al.
2010; Shymansky et al. 2000; Spence et al. 1999).
Menanam instruksi keaksaraan dan tugas telah sukses dalam mengatasi
kebutuhan dan memanfaatkan sumber daya kognitif pelajar di SD, sekunder, dan
postsecondary pengaturan. Klentschydan Molina-De La Torre (2004) permintaan
terpadu ilmu pengetahuan dan melek kegiatan sekitar ilmu notebook melibatkan
sekolah dasar sosial ekonomi rendah dengan persentase yang tinggi dari bahasa
Inggris pelajar (ELL). Ilmu notebook yang digunakan oleh siswa untuk merekam
permintaan pengalaman; mengumpulkan dan menafsirkan data; proses dan
memproses ulang pengalaman, memaknai gambar, dan pernyataan; dokumen
pembangunan ide-ide dalam tulisan; dan monitor dan mengatur pemahaman
mereka. Mereka menemukan ungkapan tidak terdapat perbedaan antara siswa
yang berpartisipasi dan nonparticipating siswa dan ungkapan tidak terdapat
perbaikan untuk prestasi sains kelas 4 dan 6 dan kelas 6 menulis; kesenjangan
kinerja dalam membaca, menulis, dan ilmu antara bahasaInggris dan siswa ELL
menyempit dan menjadi nonsignifi setelah 5 tahun partisipasi (Klentschy et al.
tanpa tahun) . Revak dan Kuerbis (2008) memperluas pendekatan ini dengan
mengintegrasikan melek huruf dan matematika strategi (grafik, menulis,
membaca) denganpermintaan generasi kedua modul di distrik sekolah. Analisis
menunjukkan bahwa guru keyakinan, selfreported praktik-praktik kelas, dan
mengajar profi hanya mempunyai ungkapan efek pada kelas kinerja 5 siswa dalam
ilmu pengetahuan, matematika, membaca, dan menulis pada ujian Negara (Tan &
Kim, 2012).
Ilmu menulis Heuristic (SWH) pendekatan, orientasi teoritis yang muncul
dari penelitian menulis untuk belajar, pergeseran praktis dari laboratorium sebagai
replikasi dan produksi khas laporan pengalaman yang berfokus pada siswa dan
konstruksi pengetahuan yang terintegrasi sifat Sains, penyelidikan dan
argumentasi. Pendekatan ini mensyaratkan peserta didik untuk mengajukan
pertanyaan, membuat klaim didukung oleh bukti-bukti, berkonsultasi dengan ahli
pada perubahan pemikiran asli mereka. SWH menekankan peran pembelajaran
siswa (siswa template) dan peran Layanan instruktur untuk mendukung dan
perancah ini negosiasi (guru template). Manfaat yang diperoleh dalam hal kinerja
siswa dapat diringkas melalui tes standar. Selain itu, suatu meta-analisis studi
kuantitatif dan metasynthesis studi kualitatif menunjukkan secara konsisten bukti
positif untuk SWH pendekatan di topik Sains dan pendidikan tingkat (SD ke
Universitas) (Tan & Kim, 2012).
Penelitian terbaru pada peran menjanjikan representasional kompetensi
dalam belajar Sains telah difokuskan pada dua area yang luas: merancang dan
menafsirkan teks-teks yang efektif untuk pelajar dan mahasiswa yang dihasilkan
representasi sebagai dasar untuk belajar ilmu pengetahuan Penelitian di daerah
awalnya terstruktur di sekitar dual-coding model untuk cetak dan informasi visual,
tetapi Sekarang menjelajahi isu-isu baru mengenai perubahan dalam representasi
pilihan dengan ICT, sumber daya multimedia, dan out-of sekolah pengalaman
belajar siswa. Penelitian di kedua daerah ini memiliki identifikasi peningkatan
tuntutan guru pengetahuan dasar dan mereka mengajar, penilaian, dan identifikasi
tantangan dan peluang yang ditimbulkan oleh berbeda urutan, kombinasi, dan
integrasi representasi mode dalam topik. Selain itu, telah menjadi jelas bahwa ada
teori-teori dan model multimodal representasi tidak sepenuhnya memprediksi atau
menjelaskan semiotika, fungsi sistemik, kognisi, dan Metakognisi diamati atau
terlibat dibangun secara representasi (Tan & Kim, 2012).

3. Reformasi Generasi Kedua Ilmu Pendidikan


Kerangka baru untuk pendidikan sains di Amerika Serikat (NRC 2011)
mengusulkan organisasi baru melalui target dalam empat untaian yaitu
mengetahui, menggunakan dan menafsirkan ilmu teknologi, menghasilkan dan
mengevaluasi ilmu teknologi, memahami sifat dan pengembangan ilmu teknologi
dan kapasitas, dan berpartisipasi produktif dalam praktik dan wacana ilmu
pengetahuan dan teknik di seluruh disiplin ilmu, ide-ide dalam kehidupan, bumi-
ruang, fisika, teknologi dan teknik. Identifikasi dokumen ini merupakan konsep-
konsep yang menyediakan koneksi antara kehidupan, Ruang bumi dan fisika, dan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan teknik yaitu pola, kesamaan, dan keragaman,
penyebab dan efek seperti mekanisme dan prediksi, skala, proporsi, dan
kuantitas, sistem dan model sistem; energi dan materi seperti sejarah, siklus, dan
konservasi, bentuk dan fungsi, dan stabilitas dan perubahan. Upaya ini untuk
merevitalisasi reformasi pendidikan sains pada 1990-an adalah banyak
dibutuhkan dan mungkin meremajakan penerapan standar umum di seluruh
negara bagian K-12 yang beragam dan Kurikulum Sains lokal dan instruksi (Tan
& Kim, 2012).
Masih kecewa bahwa upaya ini tidak memanfaatkan hasil dan keadilan
sosial melek sains untuk semua dan bukti yang mendukung peran penting bahasa
(pelaporan, membangun, membujuk) dalam melakukan dan belajar sains kognitif
simbiosis antara dasar melek ilmu dan ilmu pemahaman, dan Kewarganegaraan
yang mengarah ke partisipasi yang lebih penuh dalam DEBAT publik tentang isu-
isu STSE. Bruce Alberts (2010), pemimpin redaksi ilmu pengetahuan, mantan
Presiden National Academy of Sciences, dan diakui secara internasional ahli
biokimia, menyatakan:
Dalam edisi khusus ini pada pendidikan, ilmu berfokus pada hubungan
antara belajar Sains di sekolah dan akuisisi keterampilan bahasa dan komunikasi,
menekankan acara mengajar ilmu pengetahuan dan keaksaraan dikelas sama bila
memungkinkan. Di Amerika Serikat, ini akan menjadi sebuah proposal yang
radikal. Sayangnya, sebagian besar diperbolehkan untuk ruang kelas sains yang
mana siswa menghafal fakta-fakta tentang alam dan, jika mereka beruntung,
melaksanakan percobaan atau di kelas seni bahasa, siswa umumnya membaca
fiksional literatur dan menulis tentang hal ini dalam format fosil, hal ini
membantu untuk membedakan antara faktual (atau informasi) dan teks fiksional
(atau cerita). Membaca ilmu dan menulis adalah sebagian besar jenis lama, dan ini
adalah teks faktual, informasi yang mendominasi pengetahuan di berbagai dunia
(Tan & Kim, 2012).
Visi III literasi untuk menyediakan kerangka kerja terpadu berbasis pada
sifat ilmu pengetahuan modern, konstruktivis model pembelajaran, dan praktis
kelas pedagogi yang bisa mengakibatkan peningkatan kinerja pelajar dan lebih
instruksi efektif oleh guru-guru generalis dan spesialis ilmu pengetahuan. Contoh
sangat baik dari sebuah program yang dirancang untuk menanamkan keaksaraan
tugas dan instruksi dalam ilmu penyelidikan dan memanfaatkan fungsi bahasa
dalam membangun pemahaman, pelaporan ide-ide, dan membujuk orang lain
tentang menggunakan ide-ide melalui pendekatan multimodal. Benih Sains
membaca menggunakan siklus yang menggabungkan penyelidikan dan olah tugas
melek huruf (lakukan, bicara, baca, menulis). Orang yang mencari untuk
merevitalisasi reformasi saat ini akan dilayani dengan baik untuk mengambil visi
III yang menjadi program serius (Tan & Kim, 2012).

G. Kemampuan Literasi Sains Siswa Indonesia


Kemampuan literasi sains siswa Indonesia dari hasil studi internasional
PISA tahun 2006 dalam Tjalla, diperoleh hasil bahwa:
1. Kemampuan literasi sains siswa Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari
57 negara. Skor rata-rata sains yang diperoleh siswa Indonesia adalah 393.
Skor rata-rata tertinggi dicapai oleh Finlandia (563) dan terendah dicapai oleh
Kyrgyzstan (322). Kemampuan literasi sains rata-rata siswa Indonesia tidak
berbeda secara signifikan dengan kemampuan literasi sains siswa dari
Argentina, Brazil, Colombia, Tunisia, dan Azerbaijan. Kemampuan literasi
sains rata-rata siswa Indonesia lebih tinggi secara signifikan dibandingkan
dengan kemampuan literasi sains siswa dari Qatar dan Kyrgyzstan. Dua
negara yang berada dua peringkat di atas Indonesia adalah Mexico dan
Montenegro.
2. Secara internasional skala kemampuan literasi sains dibagi menjadi 6 level
kemampuan. Berdasarkan level kemampuan ini, sebanyak 20,3% siswa
Indonesia berada di bawah level 1 (skor di bawah 334,94), 41,3% berada pada
level 1 (skor 334,94 – 409,54), 27,5% berada pada level 2 (skor 409,54 –
484,14), 9,5% berada pada level 3 (skor 484,14 – 558,73), dan 1,4% berada
pada level 4. Tidak ada siswa Indonesia yang berada pada level 5 dan level 6.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (41,3%) siswa Indonesia
memiliki pengetahuan ilmiah terbatas yang hanya dapat diterapkan pada
beberapa situasi yang familiar. Mereka dapat mempresentasikan penjelasan
ilmiah dari fakta yang diberikan secara jelas dan eksplisit. Sebanyak 27,5%
siswa Indonesia memiliki pengetahuan ilmiah yang cukup untuk memberikan
penjelasan yang mungkin dalam konteks yang familiar atau membuat
kesimpulan berdasarkan pengamatan sederhana. Siswa-siswa dapat
memberikan alasan secara langsung dan membuat interpretasi seperti yang
tertulis dari hasil pengamatan ilmiah yang lebih mendalam atau pemecahan
masalah teknologi.
3. Dibandingkan dengan kemampuan literasi sains gabungan, kompetensi siswa
Indonesia dalam mengidentifikasi masalah ilmiah lebih rendah (-0,4),
menjelaskan fenomena secara ilmiah lebih tinggi (1,1 poin), dan
menggunakan fakta ilmiah lebih rendah (-7,8). Sementara itu, pengetahuan
siswa Indonesia tentang sains lebih rendah (-6,4), bumi dan antariksa lebih
tinggi (8,3), sistem kehidupan lebih rendah (-2,5), dan sistem fisik lebih
rendah (-7,4). Hal ini menunjukkan bahwa siswa Indonesia memiliki
kompetensi paling tinggi dalam menjelaskan fenomena secara ilmiah dan
memiliki pengetahuan sains tertinggi dalam bumi dan antariksa.
4. Berdasarkan jenis kelamin, kemampuan literasi sains rata-rata siswa
Indonesia lakilaki (skor 399) lebih tinggi daripada kemampuan literasi sains
rata-rata siswa Indonesia perempuan (skor 387). Perbedaan skor rata-rata
siswa laki-laki dan perempuan adalah 12.
5. Dibandingkan dengan hasil studi PISA tahun 2000/2001 dan 2003,
kemampuan literasi sains siswa Indonesia pada tahun 2006 relatif stabil atau
tidak mengalami peningkatan. Skor literasi sains rata-rata siswa Indonesia
pada tahun 2000/2001 adalah 393 dan tahun 2003 adalah 395.
Hasil Studi PISA tahun 2009 menunjukkan tingkat literasi sains siswa
Indonesia yang tidak jauh berbeda dengan hasil studi tahun 2006. Tingkat literasi
sains siswa Indonesia berada pada peringkat ke 57 dari 65 negara peserta dengan
skor yang diperoleh 383 dan skor ini berada di bawah rata-rata standar dari PISA
(OECD, PISA 2009 Database). Lebih lanjut berdasarkan hasil PISA 2015
Indonesia masih berada pada peringkat sepuluh terbawah yaitu peringkat ke 69
dari 76 negara.

H. Dimensi Dalam Literasi Sains dan Rinciannya


Literasi sains merupakan salah satu ranah studi PISA. Dalam konteks PISA,
literasi sains didefinisikan sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains,
mengidentifikasi pertanyaaan dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti,
dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan
perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia (Firman,
2007). Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat
multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains,
melainkan lebih luas dari itu.
PISA 2000 dan 2003 menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam
pengukurannya, yakni kompetensi/proses sains, konten/pengetahuan sains dan
konteks aplikasi sains. Pada PISA 2006 dimensi literasi sains dikembangkan
menjadi empat dimensi, tambahannya yaitu aspek sikap siswa akan sains (OECD,
2007).
1. Aspek konteks
PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum pendidikan sains
di negara partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek umum kurikulum
nasional tiap negara. Penilaian PISA dibingkai dalam situasi kehidupan umum
yang lebih luas dan tidak terbatas pada kehidupan di sekolah saja. Butir-butir soal
pada penilaian PISA berfokus pada situasi yang terkait pada diri individu,
keluarga dan kelompok individu (personal), terkait pada komunitas (social), serta
terkait pada kehidupan lintas negara (global). Konteks PISA mencakup bidang-
bidang aplikasi sains dalam seting personal, sosial dan global, yaitu: (1)
Kesehatan; (2) sumber daya alam; (3) mutu lingkungan; (4) bahaya; (5)
perkembangan mutakhir sains dan teknologi.
2. Aspek konten
Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari sains yang diperlukan
untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam
melalui aktivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi
cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi kurikulum sains
sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang diperoleh melalui sumber-
sumber informasi lain yang tersedia. Kriteria pemilihan konten sains adalah
sebagai berikut:
a. Relevan dengan situasi nyata,
b. merupakan pengetahuan penting sehingga penggunaannya berjangka panjang,
c. sesuai untuk tingkat perkembangan anak usia 15 tahun.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka dipilih pengetahuan yang sesuai untuk
memahami alam dan memaknai pengalaman dalam konteks personal, sosial dan
global, yang diambil dari bidang studi biologi, fisika, kimia serta ilmu
pengetahuan bumi dan antariksa.
3. Aspek Kompetensi/Proses
PISA memandang pendidikan sains berfungsi untuk mempersiapkan
warganegara masa depan, yakni warganegara yang mampu berpartisipasi dalam
masyarakat yang semakin terpengaruh oleh kemajuan sains dan teknologi. Oleh
karenanya pendidikan sains perlu mengembangkan kemampuan siswa memahami
hakekat sains, prosedur sains, serta kekuatan dan limitasi sains. Siswa perlu
memahami bagaimana ilmuwan sains mengambil data dan mengusulkan
eksplanasi-eksplanasi terhadap fenomena alam, mengenal karakteristik utama
penyelidikan ilmiah, serta tipe jawaban yang dapat diharapkan dari sains.
PISA menetapkan tiga aspek dari komponen kompetensi/proses sains
berikut dalam penilaian literasi sains, yakni mengidentifikasi pertanyaan ilmiah,
menjelaskan fenomena secara ilmiah dan menggunakan bukti ilmiah. Proses
kognitif yang terlibat dalam kompetensi sains antara lain penalaran
induktif/deduktif, berfikir kritis dan terpadu, pengubahan representasi,
mengkonstruksi eksplanasi berdasarkan data, berfikir dengan menggunakan model
dan menggunakan matematika. Untuk membangun kemampuan inkuiri ilmiah
pada diri peserta didik, yang berlandaskan pada logika, penalaran dan analisis
kritis, maka kompetensi sains dalam PISA dibagi menjadi tiga aspek berikut:
a. Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah Pertanyaan ilmiah adalah pertanyaan
yang meminta jawaban berlandaskan bukti ilmiah, yang didalamnya
mencakup juga mengenal pertanyaan yang mungkin diselidiki secara ilmiah
dalam situasi yang diberikan, mencari informasi dan mengidentifikasi kata
kunci serta mengenal fitur penyelidikan ilmiah, misalnya halhal apa yang
harus dibandingkan, variabel apa yang harus diubah-ubah dan dikendalikan,
informasi tambahan apa yang diperlukan atau tindakan apa yang harus
dilakukan agar data relevan dapat dikumpulkan.
b. Menjelaskan fenomena secara ilmiah Kompetensi ini mencakup
pengaplikasikan pengetahuan sains dalam situasi yang diberikan,
mendeskripsikan fenomena, memprediksi perubahan, pengenalan dan
identifikasi deskripsi, eksplanasi dan prediksi yang sesuai.
c. Menggunakan bukti ilmiah Kompetensi ini menuntut peserta didik memaknai
temuan ilmiah sebagai bukti untuk suatu kesimpulan. Selain itu juga
menyatakan bukti dan keputusan dengan kata-kata, diagram atau bentuk
representasi lainnya. Dengan kata lain, peserta didik harus mampu
menggambarkan hubungan yang jelas dan logis antara bukti dan kesimpulan
atau keputusan.
4. Aspek Sikap
Untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan teknik dan sains, tujuan
utam dari pendidikan sains adalah untuk membantu siswa mengembangkan minat
siswa dalam sains dan mendukung penyelidikan ilmiah. Sikap-sikap akan sains
berperan penting dalam keputusan siswa untuk mengembangkan pengetahuan
sains lebih lanjut, mngejar karir dalam sains, dan menggunakan konsep dan
metode ilmiah dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, pandangan PISA akan
kemampuan sains tidak hanya kecakapan dalam sains, juga bagaimana sifat
mereka akan sains. Kemampuan sains seseorang di dalamnya memuat sikap-sikap
tertentu, seperti kepercayaan, termotivasi, pemahaman diri, dan nilai-nilai.

I. Penilaian Literasi sains


Literasi sains dapat dikembangkan melalui wacana dalam buku teks atau
buku pelajaran sains. Dalam contoh-contoh soal yang diberikan pada salah satu
bagian dari buku teks atau buku pelajaran dapat diketahui dimensi yang diukur
dalam soal-soal yang menyertai teks dan kegiatan pembelajarannya. Khusus
literasi dalam PISA dengssn tiga dimensinya sesungguhnya memiliki tuntutan
tinggi dalam soal-soalnya. Setiap soal mewakili ketiga dimensi (contoh-process-
context).
Terdapat dua hal yang diperlukan diperhatikan dalam menilai tingkatan
literasi sains siswa. Pertama, penilaian literasi sains siswa tidak ditujukan untuk
membedakan seseorang literasi atau tidak. Kedua, pencapaian literasi sains
merupakan proses yang kontinu dan terus meneruskan berkembang sepanjang
hidup manusia. Jadi, penilaian literasi sains selama pembelajaran di sekolah hanya
melihat adanya “benih-benih literasi” dalam diri siswa, bukan mengukur secara
mutlak tingkat literasi sains dan teknologi siswa.
Literasi sains dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan. Pertama, functional
literacy yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan
kebutuhan dasar manusia seperti pangan, kesehatan dan perlindungan. Kedua,
civic literacy yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk berpartisipasi
secara bijak dalam bidang sosial mengenai isu yang berkenaan dengan sains dan
teknologi, Ketiga, cultural literacy yang mencangkup kesadaran pada usaha ilmiah
dan persepsi bahwa sains merupakan aktivitas intelektual yang utama.
Lebih rinci dalam penilaian literasi sains dibedakan beberapa tingkatan
dalam literasi sains yang lebih cocok dinilai dan diterapkan selama pembelajaran
disekolah karena kemudahannya untuk diterapkan pada tujuan instruksional.
Beberapa tingkatan instruksional yang dimaksud adalah (a) scientific literacy (b)
nominal scientific literacy (c) functional scientific literacy (d) conceptual
scientific literacy (e) multidimensional scientific literacy. Dapat tidaknya siswa
mencapai tingkatan tertinggi literasi sains bergantung pada topik yang menarik
interes mereka. Aspek sikap ditambahkan kedalam domain literasi sains, serta
disarankan perlunya mengukur kemampuan menggunakan pengetahuan sains
dalam menganalisis teks atau artikel.
Pengembangan evaluasi untuk mengetahui pencapaian literasi sains merujuk
pada proses sains, yaitu proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu
pertanyaan atau memecahkan masalah, seperti mengidentifikasi dan
menginterpretasi bukti serta menerangkan kesimpulan. PISA (2006) menetapkan
lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu:
1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara
ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains.
2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini
melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang
diperlukan untuk memperoleh bukti itu.
3. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan
menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya
mendasari kesimpulan itu.
4. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara
tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia.
5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni
kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari
apa yang telah dipelajarinya.
Pengukuran terhadap pencapaian literasi sains berdasarkan standar PISA
yakni proses sains, konten sains, dan konteks aplikasi sains. Proses sains merujuk
pada proses mental yang terlibat ketika menjawab suatu pertanyaan atau
memecahkan masalah, seperti mengidenifikasi dan menginterpretasi bukti serta
menerangkan kesimpulan. Termasuk di dalamnya mengenal jenis pertanyaan yang
dapat dan tidak dapat dijawab oleh sains, mengenal bukti apa yang diperlukan
dalam suatu penyelidikan sains, serta mengenal kesimpulan yang sesuai dengan
bukti yang ada. Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci yang diperlukan
untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam
melalui akitivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi
cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi materi kurikulum
sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui
sumbersumber lain.
Penilaian PISA diadakan setiap 3 tahun sekali terhitung sejak tahun 2000.
PISA ini mengikutkan siswa yang berusia 15 tahun, sekarang terdiri dari 65
negara, negara maju dan negara berkembang. Kriteria penilaian PISA ini
mencakup kemampuan kognitif (knowledge) dan juga keahlian siswa di bidang
Reading, Matematika dan Scientific Literacy (Kemampuan Sains/Literasi
sains/melek sains). Literasi sains itu sendiri yang ditandai dengan kerja ilmiah,
dan tiga dimensi besar literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten
sains, proses sainns, dan konteks sains. Bagaimana kemampuan siswa Indonesia
berdasarkan penilaian PISA? Dapat dilihat pada Gambar 2.4. Berikut ini.
Gambar 2.4. Prestasi Indonesia berdasarkan kriteria yang ditetapkan
PISA

Peringkat Indonesia dari berbagai penilaian ini bisa mencerminkan


bagaimana sistem pendidikan Indonesia yang sedang berjalan saat ini. Skill
membaca, dari data terlihat bahwa budaya baca kita begitu rendah. Budaya baca
terkait dengan kemauan 'memaksa diri' untuk membeli buku dan kemauan
meluangkan waktu untuk membacanya. Kemampuan matematika sangat penting
karena kemampuan berhitung sangat menunjang disiplin ilmu manapun.
Kemampuan matematika juga akan berpengaruh terhadap logika dan sistematika
berpikir seseorang. Begitupun literasi sains, kemampuan problem solving dalam
sains, hal ini terkait juga dengan kemampuan riset , karena riset di dalamnya
mencakup kemampuan pemecahan masalah (problem solving).
Kemampuan riset yang dimiliki oleh siswa akan sangat berpengaruh pada
upaya melahirkan penemuan-penemuan baru yang datang dari dunia pendidikan.
Siswa-siswa Indonesia baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan
fakta sederhana. Mungkin guru-guru Indonesia masih belum bisa menerapkan
metode problem solving dan keahlian menganalisis terhadap suatu pelajaran pada
siswa serta budaya membaca dan menulis yang masih kurang ditanamkan pada
siswa.
Apabila kita melihat fakta di lapangan; para siswa kita sangat pandai
menghafal, tetapi kurang terampil dalam mengaplikasikan pengetahuan yang
dimilikinya. Hal ini mungkin terkait dengan kecenderungan menggunakan hafalan
sebagai wahana untuk menguasai ilmu pengetahuan, bukan kemampuan berpikir.
Tampaknya pendidikan sains di Indonesia lebih menekankan pada abstract
conceptualization dan kurang mengembangkan active experimentation, padahal
seharusnya keduanya seimbang secara proporsional.
Menurut Nur (1995) keterampilan proses merupakan keterampilan yang
diperlukan untuk menjadi atau bekerja sebagai ilmuwan (scientist). Antara
penguasaan pengetahuan dengan keterampilan proses adakaitan yang erat, konsep
dikuasai melalui pengembangan keterampilan proses. Penekanan belajar konsep
dengan pendekatan keterampilan proses dimaksudkan untuk tetap menekankan
penguasaan konsep melalui pengembangan jenis keterampilan proses. Dengan
demikian hakikat sains sebagai produk dan proses dapat dikembangkan dalam
belajar sains menurut Kurikulum.
Selanjutnya Nur (1995) menekankan bahwa cara penyajian produk saja
dalam buku pelajaran sains tidak cukup. Penyajian materi subyek dengan PKP
(Pendekatan Keterampilan Proses) tidak langsung memberikan jawaban atau
kesimpulan di dalam buku pelajaran. Siswa harus membangun sendiri
kemampuan berpikir, siswa harus menemukan sendiri dan metransformasikan
sendiri informasi kompleks, mengecek sendiri informasi baru dengan aturan-
aturannya.

J. Upaya Peningkatan Kemampuan Literasi Sains di Indonesia


Upaya peningkatan literasi sains dalam pembelajaran khususnya biologi
yaitu Kita harus meningkatkan semangat belajar para siswa terlebih dahulu agar
muncul kesadaran bahwa literasi sains sangat penting bagi kehidupan sehari-hari.
Memperbanyak tenaga pendidik biologi yang profesional sesuai dengan
bidangnya masing-masinng. Membawa siswa ke dalam kemandirian untuk
mengeksplor segala sesuatu yang berada disekelilingnya. Mengikuti
perkembangan zaman dan berpikir secara rasional dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan.Membuat strategi pembelajaran khususnya pembelajaran biologi.
Upaya peningkatan kemampuan literasi sains di Indonesia telah dimulai
oleh berbagai kalangan pendidik dan calon pendidik. Hal ini dapat terlihat dari
berbagai penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan literasi sains siswa.
Asyhari & Hartati (2015) menyatakan kemampuan literasi sains siswa sebelum
dan sesudah diterapkan pembelajaran saintifik tidak sama, atau dengan ungkapan
lain dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan
literasi sains siswa sebelum dan sesudah diterapkannya pembelajaran saintifik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran saintifik dapat
meningkatkan profil kemampuan literasi sains siswa pada aspek kompetensi dan
aspek pengetahuan pada materi pencemaran lingkungan. Penelitian lagi yang juga
berhubungan dalam peningkatan literasi sains yaitu perancangan pembelajaran
literasi sains berbasis inquiry pada kegiatan laboratorium. Rakhmawan, dkk
(2015) menyatakan desain penelitian yang digunakan adalah desain konterbalans
dengan pembelajaran eksperimen menggunakan pembelajaran literasi sains
berbasis inkuiri dan pembelajaran kontrol menggunakan pembelajaran inkuiri.
Instrumen penelitian berupa tes pilihan ganda untuk mengukur kemampuan
literasi sains, selain itu angket, lembar observasi, dan pedoman wawancara, serta
LKS sebagai pedoman pembelajarannya serta banyak penelitian lainnya.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut.
1. UNESCO sebagai salah satu badan internasional yang berada di bawah
PBB merumuskan pendidikan abad ke 21 sebagai bentuk implementasi
SDGs yaitu dengan Life long education-life long learning (belajar
sepanjang hayat) dan 4 Pilar pendidikan meliputi Learning to know,
Learning to do, Learning to Live Together dan Learning to be.
2. ESD (education for sustainable development) atau Pendidikan untuk
Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu proses pembelajaran
berdasarkan tujuan dan prinsip-prinsip yang mendasari keberlanjutan dan
berkaitan dengan semua tingkat dan jenis pendidikan. ESD mendukung
lima macam dasar belajar untuk menyediakan pendidikan yang
berkualitas dan membina manusia yang berkelanjutan yakni learning to
know, learning to be, learning to live together, learning to do, dan
learning to transform on self and society. implementasi ESD tidak dapat
mengutamakan hanya satu aspek saja namun harus memperhatikan ketiga
aspek tersebut yakni sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan.
3. Literasi sains merupakan dokumen dari ide-ide besar yang telah
disepakati dan dijadikan patokan dalam penyusunan dokumen-dokumen
reformasi pendidikan sains internasional untuk memahami prinsip-prinsip
penting dan dasar-dasar ilmu.
4. Literasi sains adalah kemampuan menggunakan pengetahuan sains untuk
mengidentifikasi permasalahan dan menarik kesimpulan berdasarkan
bukti-bukti dalam rangka memahami serta membuat keputusan tentang
alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas
manusia.
5. Turunan makna literasi sains dapat dijabarkan menjadi menyatukan
konsep dan ide-ide besar, sifat ilmu, penyelidikan ilmiah dan desain
teknologi serta hubungan sains teknologi dan masyarakat
6. Ilmu dikatakan sebagai sarana penyelidikan. Ilmu menggunakan cara unik
dalam eksplorasi dalam penyelidikan masalah, hypotesis, dan argumentasi
dan membangun hubungan antara hypotesis, latar belakang, data, bukti,
untuk menjelaskan suatu hal. Dasar dalam literasi sains meliputi
kemampuankognitifdanmetakognitif, berpikir kritis/penalaranyang masuk
akal, kebiasaan berpikir, bahasa ilmiah, dan informasiteknologi
komunikasi.
7. Informasi, teknologi dan komunikasi merupakan salah satu sarana yang
dapat membantu peningkatan literasi sains.
8. Terdapat beberapa kesimpulan penting tentang literasi sains yaitu
hubungan antara bahasa dalam memahami ilmu dan pengetahuan,
menjanjikan kelas praktik dan reformasi kdeua ilmu pendidikan.
9. Pada tahun 2006 hingga tahun 2015, siswa Indonesia masih menduduki
urutan no ke sepuluh terbawah apabila ditinjau dari aspek literasi sains
10. Literasi sains dalam PISA literasi sains mencangkup aspek konteks, aspek
konten, aspek kompetensi/proses dan aspek sikap.
11. Penilaian literasi sains di sekolah dilakukan untuk mengetahui benih
literasi, bukan mengukur secara mutlak tingkat literasi sains siswa.
12. Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan kemampuan literasi sains
siswa.
B. Saran
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini,
baik dari segi penyusunan maupun masih kurangnya sumber rujukan yang penulis
gunakan. Oleh karena itu, kritikan dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan.
DAFTAR RUJUKAN

Antona, S. 2016. Sustainable Development Goals (SDGs) Quality Education in


Indonesia. (Online)
(https://safutrarantona.wordpress.com/2016/03/17/sustainable-development-
goals-sdgs-quality-education-in-indonesia/) diakses 27 Januari 2018.

Asyahari, A. & Hartati, R. 2015. Peningkatan Literasi Sains Siswa melalui


Pembelajaran Sainstifik. Jurnal Pendidikan, DOI:
10.24042/jpifalbiruni.v4i2.91 di akses pada 28 Januari 2018.

Darajati, W. 2016. Upaya Pencapaian Target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan


(TPB) Indonesia. Kementrian PPN BAPPENAS. (Online)
(http://sdgcenter.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2016/07/Wahyuningsih-Darajati-Upaya-Pencapaian-
Target-SDGs.pdf), diakses 26 Januari 2018.

Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Echols, J.M dan Shadily, H. 1993. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia Indonesia-


Inggris. Jakarta: Gramedia.

Educational, Scientific and cultural Organization, (Online),


(http://www.rucastoolkit.edc.uoc.gr/module-1/infusing-sustainability/),
diakses 26 Januari 2018.

Firman, H. 2007. Analisis Literasi Sains Berdasarkan Hasil PISA Nasional


Tahun 2006. Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang
Depdiknas.

Hamardi, S. H. B. 2016. Sustainable Development Goals (SDGs)-Tujuan


Pembangunan Berkelanjutan. Kompas diterbitkan 20 Mei 2016. (Online)
(http://blhd.bantenprov.go.id/upload/005_SUSTAINABLE%20DEVELOP
MENT%20GOALS%202015-2030.pdf) diakses 27 Januari 2018.

Hufad, A. Pramudia, J.R. & Supariatna, S. 2010. Studi Tentang Implementasi


Program Belajar Sepanjang Hayat di Indonesia. Disajikan dalam Seminar
Internasional Pendidikan Luar Sekolah, Program Studi PLS-SPS UPI,
Bandung, 29 November.

Kemdiknas. 2010. Model Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan


(Education for Sustainable Development / ESD) melalui kegiatan
Intrakulikuler. Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang
Kemdiknas.

Kementerian PPN/BAPPENAS. 2016. Zero Draft Pedoman Teknis Penyusunan


Rencana Aksi Pembangunan Berkelanjutan. (Online)
(http://www.sdgsindonesia.or.id/index.php?option=com_bdthemes_sho
rtcodes&view=download&id=2.pdf) diakses 26 Januari 2018.
Mahjuro, K. 2007. Pilar-Pilar Pendidikan Rekomendasi UNESCO Dalam
Perspektif Islam. Semarang: Fakultas Tarbiyah.

Makrakis, V. Infusing sustainability Across the Curricula. United Nations.

McKoewn, R. 2002. Education for Sustainable Development Toolkit. Energy,


Environment and Resources Center University of Tennessee.(Online).
Diunduh dari http://www.esdtoolkit.org pada tanggal 27 Januari 2018.

Mitchell, B. 2010. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.

Permendiknas No 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. 2006. Jakarta: Depdiknas.

PISA. 2006. Science Competencies for Tomorrow’s World Volume 1-analysis.


OECD.(Online)(www.oecd.org/statistics/statlink), diakses pada 27
Januari 2018.

PISA. 2015. Result From PISA 2015. Online, https://www.oecd.org/pisa/PISA-


2015-Indonesia.pdf di akses pada tanggal 28 Januari 2018.

Rakhmawan, A., Setiabudi, A. & Mudzakir, A. 2015. Perancangan Pembelajaran


Literasi Sains Berbasis Inkuiro pada Kegiatan Laboratorium. Jurnal
Penelitian dan Pembelajaran, Vol 1, No1, hal 143-152.

Simanjuntak, C dan Boangmanalu, J. 2008. Pendidik, Misionaris, dan Motivator.


Jakarta: Gunung Mulia

Soares, Maria Lucia de Amorim & Petarnella, L. 2011. Schooling for Sustainable
Development in South America Policies, Actions and Educational
Experiences. Newyork : Springer.

Suhardi. 2012. Pengembangan Sumber Belajar Biologi. Yogyakarta : UNY Press.

Sutopo, A., Arthati, D.F., dan Rahmi, U.A. 2014. Kajian Indikator Sustainable
Development Goals (SDGs). Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Sagala, S. 2006. Konsep dan Makna Belajar. Bandung: CV. Alfabeta.

Tan, K. C. D. dan Kim, M., 2012. Issues and Challenges in Science Education
Research. New York: Springer.
The Sustainable Development Goals Report. 2017. New York: United Nation.
(Online) (http://www.un.org.lb/Library/Assets/The-Sustainable-
Development-Goals-Report-2017-Global.pdf) diakses 26 Januari 2018.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan.
Bandung: Imperial Bhakti Utama.

Tjalla, A. Potret Mutu Pendidikan Indonesia Ditinjau dari Hasil-hasil Study


Internasional. Artikel Pendidikan, http://repository.ut.ac.id/2609/ di
akses pada 28 Januari 2018.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


2003. Jakarta: Depdiknas.

UNESCO Education for Sustainable Development Toolkit. 2006. Diunduh dari


(http://www.unesco.org/education/desd) pada tanggal 27 Januari 2018.

UNESCO Review of Contexts and Structures for Education for Sustainable


Development 2009. Diunduh dari
http://www.unesco.org/education/justpublished_desd2009.pdf pada
tanggal 27 Januari 2018.

UNESCO Education for Sustainable Development Source Book. 2012. Diunduh


dari
https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/926unesco9.p
df pada tanggal 27 Januari 2018.

Anda mungkin juga menyukai