Anda di halaman 1dari 3

Ilmu pengetahuan dan ilmu kesehatan di dunia semakin maju seiring

berkembangan zaman sehingga mendorong meningkatnya penggunaan hewan coba


sebagai objek penelitian biomedis. Perlakuan khusus terhadap hewan coba
tergantung dari tujuan masing-masing penelitiannya. Selama masa Penelitian
biomedis tersebut, sudah pasti peneliti memberikan perlakuan khusus, dalam
pemeliharaan hewan coba, standarisasi dan penghilangan faktor-faktor pengganggu
seperti patogen adalah prinsip utama. Faktor eksternal tersebut merupakan aspek
yang dapat memengaruhi kesejahteraan hewan coba (Mutiarahmi dkk, 2020).
Kesejahteraan hewan coba mencakup dua masalah utama, yaitu pemeliharaan
umum dan penanganan selama prosedur eksperimental. Masalah utama tersebut
berkaitan dengan perlakuan yang diberikan oleh peneliti sejak awal hewan coba
diterima hingga penelitian berakhir. Penerapan prinsip kesejahteraan hewan harus
konsisten selama penelitian berlangsung agar kebutuhan hewan coba terpenuhi.
Hewan laboratorium yang menderita stres atau sakit dapat memengaruhi hasil
penelitian, dengan kata lain perlakuan peneliti terhadap hewan coba sangat
memengaruhi kualitas hewan coba yang dapat menentukan validitas pada hasil
akhir penelitian. Hewan pengerat dapat merasakan nyeri dan mengekspresikannya
seperti manusia namun, sangat disayangkan, karena tidak semua peneliti yang sadar
akan pentingnya penerapan prinsip kesejahteraan hewan (Mutiarahmi dkk, 2020).
Penggunaan hewan sebagai model dalam penelitian biomedis adalah sebuah
praktek yang tak terhindarkan dalam upaya memahami penyakit dan
mengembangkan terapi yang efektif. Percobaan langsung pada manusia dianggap
tidak etis karena menghadirkan risiko yang serius bagi kesehatan, termasuk
kemungkinan gangguan fisik dan psikologis yang parah, bahkan kematian. Oleh
karena itu, untuk menjaga integritas etika, diperlukan pendekatan yang berfokus
pada model hewan yang mampu merepresentasikan fisiologi manusia secara
relevan. Dengan demikian, penelitian ini dapat memberikan wawasan yang
berharga tanpa mengorbankan prinsip-prinsip etika yang mendasari kegiatan ilmiah
(Fitria dkk, 2019).
Tikus merupakan hewan yang paling sering digunakan sebagai model hewan
pada penelitian biomedik dan tingkah laku karena tikus memiliki sifat seperti masa
gestasi singkat, masa hidup relatif singkat, jinak dan memiliki latar belakang
kesehatan dan genetik yang sudah diketahui. Selain itu, ukuran tikus juga cukup
besar untuk dilakukan pembedahan atau transplantasi organ. Genom tikus memiliki
kedekatan homologi dengan genom manusia sehingga manipulasi pada genom tikus
dapat menghasilkan model hewan yang fenotipnya mirip dengan penyakit pada
manusia. Tikus Laboratorium yang lazim digunakan adalah Rattus norvegicus yang
merupakan ordo Rodentia dan famili Muridae. Genus Rattus terdiri atas 56 spesies
namun dua spesies yang digunakan untuk penelitian adalah Norway rat (Rattus
norvegicus) dan Black rat (Rattus rattus). Saat ini Norway rat sudah secara umum
digunakan (Husna dkk, 2019).
Dalam penggunaan hewan coba, terutama mencit, ada sejumlah aspek yang
harus diperhatikan secara serius oleh para peneliti. Meskipun terkadang terlihat
sepele karena yang digunakan hanyalah hewan, namun hal ini justru seringkali
terabaikan; bahwa hewan juga memiliki hak untuk tidak menderita dan bebas dari
penyiksaan. Oleh karena itu, jika penggunaan hewan coba memang tidak bisa
dihindari, perlu dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian agar
hewan tersebut tidak mengalami penderitaan yang tidak perlu. Prinsipnya,
penggunaan hewan harus sehemat mungkin tanpa mengurangi kualitas hasil
penelitian. Selain itu, kita juga harus memastikan bahwa waktu penyiksaan
terhadap hewan coba tidak diperpanjang lebih dari yang diperlukan untuk tujuan
penelitian, karena hal ini bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan etika
dalam penelitian biomedis (Putri, 2018).
Ketrampilan menguasai hewan coba bukan kemampuan yang diperoleh
dalam waktu singkat. Diperlukan waktu yang cukup lama (jam, hari, minggu,
bulan) untuk dapat menguasai satu jenis hewan saja Prinsip penanganan hewan
coba meliputi dua hal, yaitu handling, merupakan upaya memegang atau tindakan-
tindakan lain untuk menguasai hewan coba, dan restraint, merupakan tindakan
mengekang hewan coba dengan membatasi gerak hewan agar hewan dapat
diberikan tindakan-tindakan tertentu yang dikehendaki. Handling dapat dilakukan
dengan memegang hewan sedemikian rupa sehingga tidak mencederai atau
membuat hewan stress dan handler (pawang) dapat melakukan tindakan yang
diperlukan, serta tidak membahayakan bagi kesehatan hewan coba tersebut
(Kasiyati dan Tana, 2020).
Standar penanganan hewan coba yang baik dan etis merupakan fondasi yang
tidak dapat diabaikan dalam memastikan kesejahteraan hewan serta keabsahan hasil
penelitian. Sejumlah negara dan lembaga telah menetapkan pedoman dan regulasi
yang ketat untuk mengatur penggunaan hewan dalam penelitian. Meskipun
demikian, tantangan dalam penerapan standar ini secara konsisten di seluruh dunia
tetap ada. Oleh karena itu, menjadi krusial bagi para mahasiswa farmasi untuk
memahami dengan baik bagaimana cara menangani hewan coba dengan tepat,
sesuai dengan prinsip-prinsip etis dan peraturan yang berlaku.
Daftar Pustaka
Fitria, L., Lukitowati, F., & Kristiawati, D. (2019). Nilai rujukan untuk evaluasi
fungsi hati dan ginjal pada tikus (Rattus norvegicus Berkenhout, 1769) Galur
Wistar. Jurnal Pendidikan Matematika dan IPA, 10(2), 243-258.
Husna, F., Suyatna, F. D., Arozal, W., & Purwaningsih, E. H. (2019). Model hewan
coba pada penelitian diabetes. Pharmaceutical Sciences and Research, 6(3),
1.
Kasiyati & Silvana, T. (2020). Penanganan Hewan Coba. Semarang: Undip Press.
Mutiarahmi, C. N., Hartady, T., & Lesmana, R. (2020). Kajian Pustaka: Penggunaan
Mencit sebagai hewan coba di laboratorium yang mengacu pada prinsip
kesejahteraan hewan. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus, 10(1), 134-145.
Putri, F. M. S. (2018). Urgensi etika medis dalam penanganan mencit pada
penelitian farmakologi. Jurnal Kesehatan Madani Medika (JKMM), 9(2),
51-61.

Anda mungkin juga menyukai