Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

HANDLING TIKUS DAN MENCIT


Dosen Pengampu : HERMANUS EHE HURIT , S.Si, M.Farm, Apt.

Disusun Oleh :

1. Muhammad Afifudin al zam zami (20210311031)


2. Haniah Dwi lestari Nuralisa (20210311013)
3. Dilla Agustin (20210311013)
4. Isda kana (20210311102)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
TANGERANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur Tim Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Tim Penulis rahmat dan berkat-Nya sehingga Tim Penulis dapat menyelesaikan
makalah Praktikum Farmakologi tepat pada waktunya. Penyajian laporan praktikum ini
disusun berdasarkan informasi yang didapat selama melaksanakan pembelajaran
Farmakologi. Dengan awal pengetahuan dan keterampilan yang Tim Penulis miliki serta
adanya bimbingan dari berbagai pihak sehingga Tim Penulis dapat memperoleh tambahan
ilmu pengetahuan dan pengalaman. Maka pada kesempatan kali ini Tim Penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa selalu memberikan kekuatan, kesabaran serta
rezeki yang berlimpah.
2. Orang tua Tim Penulis yang telah senantiasa mendoakan dan mendukung Tim Penulis
dalam segala hal.
3. Bapak HERMANUS EHE HURIT , S.Si, M.Farm, Apt. selaku dosen pengampu mata
kuliah Praktikum Farmakologi di Universitas Esa Unggul yang telah membantu dan
memberikan pengarahan serta kepercayaan kepada Tim Penulis selama melaksanakan
pembelajaran Praktikum Farmakologi.
4. Seluruh peserta mata kuliah Praktikum Farmakologi yang saling mendukung satu
sama lain akan kewajiban yang harus sama-sama dilaksanakan.

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Tujuan Praktikum..................................................................................1
1.2 Landasan Teori......................................................................................1
BAB II METODE KERJA.............................................................................4
2.1 Alat dan Bahan.....................................................................................4
2.2 Cara Kerja.............................................................................................4
2.3 Hasil dan Pembahasan..........................................................................5
BAB III PENUTUP.........................................................................................8
3.1 Kesimpulan...........................................................................................8
3.2 Saran ....................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Tujuan Praktikum


1. Untuk membentuk sikap mampu menangani hewan percobaan tikus (Rattus
Norvegicus) dan mencit (Mus Musculus).
2. Untuk mengetahui sifat-sifat hewan percobaan.
1.2. Landasan Teori
Pada praktikum farmakologi, percobaan dilakukan pada hewan coba. Penanganan
pada hewan coba yang digunakan pada praktikum ini adalah mencit dan tikus.
Penanganan terhadap hewan coba adalah cara memperlakukan hewan dengan baik selama
masa pemeliharaan maupun selama percobaan/praktikum.
Rattus (tikus) merupakan binatang percobaan yang umum dipakai dalam penelitian
ilmiah. Hewan ini sudah diketahui sebagian besar sifat-sifatnya, mudah dipelihara, dan
merupakan hewan yang relatif cocok untuk berbagai penelitian (Arrington, 1972). Tikus
berukuran lebih besar dan lebih cerdas daripada mencit. Tikus yang sering digunakan
adalah tikus putih, yang bersifat lebih tenang dan mudah dikerjakan beberapa intervensi,
tidak terlalu takut terhadap cahaya, serta tidak begitu cenderung berkumpul sesama jenis.
Aktivitasnya tidak begitu terganggu oleh kehadiran manusia di sekitarnya. (Kemp, 2000).
Tikus memiliki kesamaan dengan manusia dalam sistem reproduksi, sistem saraf,
penyakit (kanker dan diabetes), dan kecemasannya. Hal ini terjadi karena adanya
kesamaan organisasi DNA dan ekspresi gen di mana 98% gen manusia memiliki gen
sebanding dengan gen tikus. Berikut diuraikan klasifikasi sistem orde tikus.
1) Kingdom : animalia
2) Filum : chordate
3) Kelas : mamalia
4) Ordo : rodentia
5) Famili : murinane
6) Genus : rattus
7) Spesies : rattus norvegicus
Tikus memiliki nilai-nilai fisiologi normal yang dapat dijadikan patokan dalam
menentukan kriteria inklusi penelitian dan pemberian intervensi perlakuan penelitian.
1) Suhu tubuh 99,9°F (37,3°C)
2) Denyut jantung 300–500 bpm
3) Respirasi 70–150 kali per menit
4) Berat lahir 5–6 gram
5) Berat dewasa 267–500 gram (jantan) 225–325 gram (betina)
6) Masa hidup 2–3 tahun (tikus betina dapat hidup lebih lama)
7) Maturitas seksual 37–75 hari
8) Target suhu lingkungan 50–68oF (18–26°C)
9) Target kelembapan lingkungan 40–70%
10) Gestasi 20–22 hari

1
11) Penyapihan 21 hari 12.
12) Minum 22–33 ml/hari.
Mencit, mencit termasuk dalam genus Mus, sub famili murinae, famili
muridae, order rodentia. Mencit yang sudah dipelihara di laboratorium sebenarnya
masih satu famili dengan mencit liar. Sedangkan mencit yang paling sering dipakai
untuk penelitian biomedis adalah Mus musculus. Hewan ini memiliki karakter lebih
aktif pada malam hari daripada siang hari. Diantara spesies-spesies hewan lainnya,
mencit yang paling banyak digunakan untuk tujuan penelitian medis (60-80%) karena
murah dan mudah berkembang biak (Kusumawati, 2004).
Data Biologi Mencit
1) Berat badan (jantan) : 20-40 gram
2) Lama hidup : 1-3 tahun
3) Temperature tubuh : 36.5 °C
4) Kebutuhan air : Ad libtum
5) Kebutuhan makan : 4-5 g/hari
6) Pubertas : 28-49 hari
7) Glukosa : 62,8-176 mg/dL
8) Kolesterol : 26,0-82,4 mg/dL
9) SGOT : 23,2-48,4 IU/I
10) SGIT : 2,10-23,8 IU/I
Mencit dipilih menjadi subyek eksperimental sebagai bentuk relevansinya
pada manusia. Walaupun mencit mempunyai struktur fisik dan anatomi yang jelas
berbeda dengan manusia, tetapi mencit adalah hewan mamalia yang mempunyai
beberapa ciri fisiologi dan biokomia yang hampir menyerupai manusia terutama
dalam aspek metabolisme glukosa melalui perantaraan hormon insulin. Disamping itu,
mempunyai jarak gestasi yang pendek untuk berkembang biak (Syahrin, 2006).
Untuk meminimalkan trauma, baik pada peneliti maupun tikus, dibutuhkan
teknik handling yang baik. Karantina diperlukan untuk kepentingan monitor
kesehatan, stabilisasi tikus terhadap lingkungan baru, dan aklimasi terhadap prosedur
atau perlengkapan baru dibutuhkan binatang untuk memberikan hasil optimal sebagai
model penelitian.
Karantina bagi binatang penting dilakukan, berkaitan dengan pengiriman
binatang ke tempat penelitian, masa inkubasi virus dan bakteri, dan riwayat kesehatan.
Selanjutnya, stabilisasi dilakukan pada tikus selama 3–5 hari untuk mengurangi
stressor yang didapatkan tikus karena perbedaan lingkungan baru di tempat penelitian
dan lingkungan sebelumnya. Tikus perlu dibiasakan untuk kontak dengan operator
atau handler secara gentle pada awal-awal masa hidupnya. Selain mengurangi stressor
handling, hal ini juga mempermudah tikus bereaksi terhadap stimulus yang digunakan
pada penelitian. Tiga hari masa aklimasi merupakan waktu minimal yang dibutuhkan
tikus untuk beradaptasi, walaupun beberapa binatang percobaan kadang memerlukan
masa aklimasi yang lebih panjang, disesuaikan dengan prosedur penelitian, dan sistem
organ atau parameter fisiologi yang diteliti (Conour, 2006).
Dalam melakukan penelitian dengan hewan diperlukan pengetahuan dan
keterampilan tentang penanganan hewan coba agar penelitian dapat berjalan lancar

2
sesuai dengan rencana. Oleh karena itu jika hendak melakukan penelitian dengan
hewan coba peneliti perlu memperhatikan hal-hal dibawah ini:
1. Bekerja dengan tenang, hilangkan perasaan takut atau tegang, karena jika merasa
takut atau tegang kita dapat menjadi gugup atau ragu-ragu sehingga timbul
kesulitan.
2. Cara menangani hewan coba yang tidak benar dapat berakibat cidera fisik pada
peneliti, hewan coba, kerusakan alat atau dapat menimbulkan stress pada hewan
coba. Oleh karena itu perlu dipahami cara memelihara dan memperlakukan
hewan coba yang benar.
3. Setiap langkah tidak boleh secara terburu-buru. Dianjurkan untuk tidak memberi
perlakuan apapun jika hewan coba belum tenang.
4. Hewan coba harus diperlakukan dengan kasih sayang dan jangan disakiti. Untuk
melindungi tangan dari gigitan hewan coba dapat digunakan kaos tangan dari
kulit atau karet yang cukup tebal.

3
BAB II
METODE KERJA

2.1 Alat dan Bahan


2.1.1. Alat
 Kotak P3K
 Handscoon
 Sarung tangan woll
 Wadah pakan
 Botol minum
 Kandang
2.1.2. Bahan
 Tikus putih
 Mencit
 Bahan bedding/sekam
 Pakan pellet/roti/jagung

2.2 Cara Kerja


 Handling Tikus

Gambar 1. Teknik Pegang Tikus

1. Cara Pertama
1) Tikus putih harus dipegang dengan cara menggenggamnya pada daerah
bahu dengan telunjuk dan jari tengah berada di bagian depan dan
telapak tangan berada di daerah punggung tikus.
2) Sementara itu tiga jari lainnya melingkar pada bagian perut. Posisi jari
demikian diperkuat dengan cara menempatkan leher di bawah dagu.
2. Cara Kedua
1) Pertama kali tikus diambil dengan tangan kiri dan posisi kepala ditahan
dengan ibu jari pada daerah dagu sedemikian rupa sehingga kepala
tikus itu tidak dapat bergerak untuk menggigit.
2) Dengan memanfaatkan kelonggaran kulit di bagian tengkuk, kulit
daerah ini dijepit dengan ibu jari dan jari telunjuk. Sisa jari lainnya
digunakan untuk memegang kulit pada bagian punggung.

4
 Handling Mencit

Gambar 2. Teknik Pegang Mencit

1. Mencit ditaruh di atas suatu permukaan yang kasar (anyaman kawat) pada
keempat kakinya. Tangan kanan memegang ekornya.
2. Sembari tetap memegang ekor dengan tangan kanan, pegang kulit yang
longgar pada tengkuk dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kiri.
3. Angkat mencit menggunakan 1 tangan dengan ibu jari dan jari telunjuk
memegang tengkuk, tubuh diletakkan di atas jari manis dan jari
kelingking menahan ekor.

2.3 Hasil dan Pembahasan

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah di bidang kedokteran atau


biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan
pembangunan keselamatan manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki,yang
dihasilkan oleh Sidang Kesehatan Dunia ke-16 di Helsinki, Finlandia, pada tahun 1964.
Deklarasi tersebut merupakan rekomendasi kepada penelitian kedokteran, yaitu tentang
segi etik penelitian yang melibatkan manusia sebagai obyek penelitian. Disebutkan,
perlunya dilakukan percobaan pada hewan sebelum percobaan di bidang biomedis
maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia. Hewan sebagai
model atau sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan- persyaratan tertentu,
antara lain persyaratan genetis/ keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, di samping faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu
memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia. (Sulaksono, M.E.,
1987) Ditinjau dari segi sistem pengelolaannya atau cara pemeliharaannya, di mana
faktor keturunan dan lingkungan berhubungan dengan sifat biologis yang
terlihat/karakteristik hewan percobaan, maka ada 4 golongan hewan, yaitu :

Hewan liar.

Hewan yang konvensional, yaitu hewan yang dipelihara secara terbuka.

Hewan yang bebas kuman spesifik patogen, yaitu hewan yang dipelihara dengan
sistim barrier (tertutup).

Hewan yang bebas sama sekali dari benih kuman, yaitu hewan yang dipelihara
dengan sistem isolator. Sudah barang tentu penggunaan hewan percobaan tersebut di
atas disesuaikan dengan macam percobaan biomedis yang akan dilakukan. Semakin

5
meningkat cara pemeliharaan, semakin sempurna pula hasil percobaan yang dilakukan.
Dengan demikian, apabila suatu percobaan dilakukan terhadap hewan percobaan
yang liar, hasilnya akan berbeda bila menggunakan hewan percobaan konvensional
ilmiah maupun hewan yang bebas kuman. (Sulaksonono, M.E., 1987)

Jenis-jenis Hewan percobaan:

No Jenis hewan percobaan Spesies

1. Mencit (Laboratory mince) Mus musculus

2. Tikus (Laboratory Rat) Rattus norvegicus

3. Golden (Syrian) Haruster Mescoricetus auratus

4. Chinese Haruster Cricetulus griseus

5. Marmut Cavia porcellus (Cavia cobaya)

6. Kelinci Oryctolagus cuniculus

7. Mongolian gerbil Meriones unguiculatus

8. Forret Mustela putorius furo

9. Tikus kapas (cotton rat) Sigmodon hispidus

10. Anjing Canis familiaris

11. Kucing Fells catus

12. Kera ekor panjang (Cynomolgus) Macaca fascicularis (Macaca irus)

13. Barak Macaca nemestrina

14. Lutung/monyet daun Presbytis ctistata

15. Kera rhesus Macaca mulata

16. Chimpanzee Pan troglodytes

17. Kera Sulawesi Macaca nigra

18. Babi Sus scrofa domestica

19. Ayam Gallus domesticus

20. Burung dara Columba livia domestica

21. Katak Rana sp.

22. Salamander Hynobius sp.

23. Lain-lain

6
tubuhnya hampir mirip dengan struktur organ yang ada di dalam tubuh manusia.
Sehingga hewan-hewan tersebut biasa digunakan untuk uji praklinis sebelum nantinya
akan dilakukan uji klinis yang dilakukan langsung terhadap manusia.

Sebelum melakukan percobaan, terlebih dahulu praktikan harus mengetahui volume


pemberian obat pada hewan percobaan. Volume cairan yang diberikan pada setiap jenis
hewan percobaan tidak boleh melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan. Karena
kalau melebihi batas maksimal kemungkinan hewan percobaan akan mengalami efek
farmakologis yang dapat membahayakannya. Berikut adalah daftar volume maksimal
pemberian obat.

BB = bobot badab
i.v = Intra Vena
i.m = Intra Muscular
i.p = Intra Peritoneal
s.c = Sub Kutan
p.o = Per Ora

Untuk bahan senyawa aktif yang tidak larut air dapat di berikan dalam bentuk suspensi
menggunakan gom sebagai suspensi dan dapat diberikan secara oral atau
intraperitoneal.
Pada hewan percobaan ini ada faktor-faktor yang dapat memperngaruhi hasil
percobaan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal

Faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah variasi
biologik (usia, jenis kelamin), ras dan sifat genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot
tubuh, dan luas permukaan.

Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada hasil percobaan karena pada usia yang tepat pada
fase hidup hewan tersebut, efek farmakologi yang dihasilkan akan lebih baik. Beda
hasilnya jika usia hewan tersebut masih bayi. Jenis kelamin juga berpengaruh di lihat
dari literature bobot badan hewan akan berbeda. Hal ini berpengaruh pada dosis yang
akan di gunakan pada hewan percobaan tersebut.

Begitu juga dengan ras dan sifat genetik, berpengaruh karena jika menggunakan hewan
percobaan dengan ras dan sifat genetik yang berbeda-beda, maka hasil percobaannya
juga akan berbeda. Hal ini karena gen pada setiap individu berbeda. Dengan gen yang
berbeda-beda dan karakteristik yang berbeda pula, maka masing- masing memiliki
perbedaan dalam perilaku, kemampuan imunologis, infeksi penyakit, kemampuan
dalam memberikan reaksi terhadap obat, kemampuan reproduksi dan lain sebagainya.

7
Status kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil percobaan karena efek yang
dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan berlangsung cepat efek yang
di hasilkan.

Selain itu, bobot tubuh dan luas permukaan tubuh juga berpengaruh dalam hasil
percobaan. Bobot dan luas permukaan tubuh hewan yang besar akan lebih
membutuhkan lebih banyak dosis dibandingkan dengan yang memiliki bobot dan luas
permukaan tubuh yang kecil untuk mendapatkan data kuantitatif yang akurat pada efek
farmakologis yang terjadi.

Faktor eksternal

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah
pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru,
pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti
suhu, kelembaban udara, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan), suplai
oksigen, pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk
percobaan.

Meningkatnya kejadian penyakit infeksi pada hewan percobaan, disebabkan karena


kondisi lingkungan yang jelek di mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya
kejadian penyakit infeksi dan disertai dengan keadaan nutrisi yang

jelek pula, akan berakibat resistensi tubuh menurun, sehingga akan berpengaruh
terhadap hasil suatu percobaan.

Jadi, untuk menghasilkan hasil percobaan yang baik, faktor eksternal tersebut harus
disesuaikan dengan karakteristik hewan percobaan agar hewan tersebut tidak stres.
Karena kalau hewan tersebut stres akan menghambat percobaan.

Masih dalam rangka pengelolaan hewan percobaan secara keseluruhan, cara memegang
hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang
hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat
hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam caranya akan
dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi hewan (ini akan
menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah, misalnya) dan juga
bagi orang yang memegangnya. (Sulaksono, M.E., 1992)

8
Mencit

Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam
laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah
ditangani dan bersifat penakut, fotofobik, cenderung bersembunyi. Aktivitasnya di
malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya

Mencit dapat dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, Biarkan
menjangkau / mencengkeram alas yang kasar (kawat kandang). Kemudian tangan kiri
dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit tengkuknya seerat / setegang mungkin.
Ekor dipindahkan dari tangan kanan, dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan
kiri. Dengan demikian, mencit telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi
perlakuanberkumpul sesamanya dan Jika cara penanganan mencit tidak sesuai,
biasanya mencit akan buang air besar atau buang air kecil. Hal ini terjadi karena mencit
merasa stres dan ketakutan. Selain itu, juga merupakan pertahanan diri untuk
melindungi dirinya dengan mengeluarkan fesesnya. Begitu juga apabila hewan-hewan
lain seperti tikus, kelinci, dan marmut akan melakukan hal yang sama jika mereka
merasa terancam.

Tikus

Tikus berukuran lebih besar daripada mencit dan lebih cerdas. Umumnya tikus putih ini
tenang dan demikian mudah digarap. Tidak begitu bersifat fotofobik dan tidak begitu
cenderung berkumpul sesamanya seperti mencit. Aktivitasnya tidak begitu terganggu
oleh kehadiran manusia di sekitarnya. Bila diperlakukan kasar atau mengalami defisiensi
makanan, tikus akan menjadi galak dan sering dapat menyerang si pemegang.

Seperti halnya pada mencit, tikus dapat ditangani dengan memegang ekornya dengan
menarik ekornya bagian pangkal, biarkan kaki tikus mencengkeram alas yang kasar
(kawat kandang), kemudian secara hati–hati luncurkan tangan kiri dari belakang ke arah
kepalanya seperti pada mencit tetapi dengan kelima jari, kulit tengkuk dicengkeram.
Cara lain yaitu selipkan ibu jari dan telunjuk menjepit kaki kanan depan tikus sedangkan
kaki kiri depan tikus di antara jari tengah dan jari manis. Dengan demikian tikus akan
terpegang dengan kepalanya di antara jari telunjuk dan jari tengah. Pemegangan tikus
ini dilakukan dengan tangan kiri sehingga tangan kanan kita dapat melakukan perlakuan.

9
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Penggunaan hewan percobaan sangat penting dalam penelitian ilmiah di
bidang kedokteran/biomedis.
 Volume cairan obat yang diberikan pada hewan percobaan tidak boleh
melebihi batas maksimal yang telah ditetapkan.
 Untuk memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies
hewan
 percobaan, diperlukan data penggunaan dosis dengan menggunakan
perbandingan luas permukaan tubuh setiap spesies.
 Terdapat faktor internal dan eksternal pada hewan percobaan yang
dapat
 memperngaruhi hasil percobaan.
 Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.

3.2 Saran
Pada praktikum selanjutnya disarankan agar lebih teliti dalam beberapa hal,
terutama pada saat mengendalikan tikus dan mencit agar tidak terjadi hal yang tidak
diinginkan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Putri, A. A. (2022). Pengaruh Pemberian Ekstrak Teh Alga Hijau-Biru (Nostoc commune)
Terhadap Indesk Aterogenik pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diabetes (Doctoral
dissertation, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta).
Anonym. (2009). Modul Praktikum Penanganan Hewan Coba. Diakses pada tanggal 2 April
2023.
Widiyani, T., & Listyawati, S. (2022). Handbook Penggunaan Hewan Laboratorium dalam
Uji in Vivo. Nas Media Pustaka.
Aprilita Rina Yanti, Irvani Rakhmawati, Nissa Aggastya Fentami. (2015). Petunjuk
Praktikum Farmakologi. Jakarta; Universitas Esa Unggul.
Shintia Kusuma Dewi. (2017). Penanganan Hewan Percobaan. Bogor; Sekolah Tinggi
Teknologi Industri dan Farmasi.
Arrington, L.R. (1972). Introductory Laboratory Animal Science, the Breeding, Care and
Management of Experimental Animal. Denville: The Interstate Printers and Publisers,
Inc.
Conour, L.A., Murray, K.A. & Brown, M.J. (2006). Preparation of Animals for Research—
Issues to Consider for Rodents and Rabbits. ILAR Journal. 47(4): 283-293.
Kemp, R.W. (2000). Housing and maintenance Handling and Restraint. The Handbook of
Experimental Animals. London: NCB.
Kusumawati, Diah. (2004). Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Putri, A. A. (2022). Pengaruh Pemberian Ekstrak Teh Alga Hijau-Biru (Nostoc commune)
Terhadap Indeks Aterogenik Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Diabetes (Doctoral
dissertation. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta).
Syahrin, Ahmad. (2006). Kesan Ekstrak Etanol Andrographis Paniculata (burm. F.) Nees ke
atas Tikus betina diabetik aruhan streptozotosin. Malaisia: Universiti Sains Malaysia.
Skripisi.

11

Anda mungkin juga menyukai