PENDAHULUAN
1.4 Tujuan
a. Untuk membentuk sikap mampu menangani hewan percobaan mencit untuk
percobaan farmakologi
b. Untuk mengenal Karakteristik dan penanganan dosis dan volume obat pada hewan
coba
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Mencit merupakan salah satu hewan pengerat dan mudah berkembang biak yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
A. Mencit (Mus musculus ).
Lama Hidup : 1- 2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Lama Bunting : 19 -21 hari
Umur Disapih : 21 hari
Umur Dewasa : 35 hari
Siklus Kelamin : poliestrus
Siklus Estrus : 4-5 hari
Lama Estrus : 12-24 jam
Berat Dewasa : 20-40 g jantan;18-35 g betina
Berat Lahir : 0,5-1,0 gram
Jumlah anak : rata-rata 6, bisa 15
Suhu ( rektal ) : 35-39˚C( rata-rata 37,4˚C )
Perkawinan Kelompok: 4 betina dengan 1 jantan
Aktivitas : Nokturnal (malam)
Sifat-sifat mencit :
1. pembauannya sangat peka yang memiliki fungsi untuk mendeteksi akan, deteksi
predator dandeteksi signal (feromon).
2. penglihatan jelek karena sel konus sedikit sehingga tidak dapat melihat warna.
3. Sistem sosial: berkelompok
4. Tingkah laku:
* jantan dewasa + jantan dewasa akan berkelahi
* Betina dewasa + jantan dewasa damai
* Betina dewasa + betina dewasa damai
B. Tikus putih (Rattus norvegicus)
Lama hidup : 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun.
Lama Bunting : 20-22 hari.
Kawin sesudah beranak : 1 sampai 24 jam.
Umur disapih : 21 hari.
Umur dewasa : 40-60 hari.
Umur dikawinkan : 10 minggu (jantan dan betina).
Siklus estrus (birahi) : 4-5 hari.
Lama estrus : 9-20 jam.
Perkawinan : Pada waktu estrus.
Ovulasi : 8-11 jam sesudah timbul estrus.
Jumlah anak : Rata-rata 9-20.
Perkawinan kelompok: 3 betina dengan 1 jantan
Tabel 1.1 Ukuran dan alat yang digunakan untuk pemberian obat pada hewan percobaan.
Hewan IV IP SC IM Oral
Jarum Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
Mencit 27,5 g 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
1/2inci ¼ inci ¼ inci ¾ inci 2 inci
Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
Jarum
Tikus 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
25 g
1 inci 1 inci 1 inci 2 inci
Jarum Jarum Jarum Jarum
Kateter karet
Kelinci 25 g 21 g 25 g 25 g
no. 9
1 inci 1¼ inci 1 inci 1 inci
Jarum Jarum Jarum
Marmut - 25 g 25 g 25 g -
1 inci 1 inci ¾ inci
Jarum Jarum Jarum
Kucing - 21 g 25 g 25 g -
1½ inci 1 inci 1 inci
Tabel 1.2 Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia.
Hewan Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
Percobaan 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mencit
1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
20 g
Tikus
0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
200 g
Marmut
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
400 g
Kelinci
0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
1,5 kg
Kucing
0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,2
2 kg
Kera
0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
4 kg
Anjing
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
12 kg
Manusia
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
70 kg
Tabel 1.3 Volume maksimum larutan/padatan yang dapat diberikan pada hewan
Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian
Hewan
IV IM IP SC PO
Mencit 20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2-5,0 0,5-5,0 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1-2,0 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2-5,0 5,0 10,0
Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (2,5 kg) 5-10,0 0,5 10-20,0 5-10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5-10,0 1,0 10-20,0 5-10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10-20,0 5,0 20-50,0 10,0 100,0
(Harmita,2008: 67)
Macam-macam Rute Pemberian Obat
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Aquadest
2. Menit 6 ekor
1. Persiapan Hewan
a) Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada
kawat kasa kandang.
b) Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri.
c) Ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu
dapat dipegang dengan sempurna.
d) Mencit siap untuk diberikan perlakuan.
Pada praktikum kali ini, mempraktikkan tentang cara - cara penanganan hewan
percobaan dengan benar. Hewan percobaan untuk praktikum farmakologi ini ada berbagai
jenis, di antaranya ada kelinci, marmut, katak, tikus dan mencit. Namun karena hewan yg
paling banyak di gunakan dalam percobaan di laboratorium adalah mencit, maka hewan
itulah yang digunakan dalam praktikum ini.
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam
laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani
dan bersifat penakut fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi.
Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya.
Cara penanganan hewan percobaan ini pun berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya
hewan. Pada saat praktikum kita tidak boleh membuat mencit dan tikus tersebut depresi /
stres, karena mereka akan lebih agresif bila sedang merasa terganggu. Dan bila mereka
merasa stres, maka mereka dapat memberontak atau malah dapat menggigit tangan kita
hingga terluka. Kita harus membuat mereka nyaman sehingga kita mudah untuk melakukan
pengamatan. Kita juga harus belajar cara memegang mencit yg baik.
Mula-mula hewan coba Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga
hewan coba dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari
pada jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna.
Cara memegang mencit yang baik adalah letakkan mencit di kawat atau permukaan yg
kasar tujuannya agar mencit bisa mencengkram bagian kawat kemudian pegang ekornya
menggunakan tangan kiri, kemudian tarik sebagian kulit punggung dari mencit lalu
balikkan badannya sehingga wajahnya menghadap ke kita.
Sebelum diberi perlakuan, dilakukan perhitungan dosis obat terlebih dahulu dengan caa
melihat table konversi untuk hewan coba (Mencit), sehingga dapat diperoleh dosis yang
tepat untuk hewan percobaan tersebut. Kemudian untuk mengetahui volume obat yang
diperlukan dapat dihitung dengan cara mengalihkan jumlah dosis obat dengan jumlah
hewan coba dan ditambahkan dengan pembawa. Dalam hal ini hitung dosis dan volume
pemberian obat dengan tepat. Karena obat bisa bersifat menyembuhkan, tetapi juga bisa
bersifat racun. Obat bertindak sebagai penyembuh jika digunakan dengan dosis dan waktu
yang tepat dan bila digunakan dalam pengobatan atau dengan kelebihan dosis akan
menimbulkan keracunan. Jika dosisnya kecil maka tidak diperoleh efek penyembuhan.
Hewan coba siap untuk diberikan perlakuan. Tetapi dalam percobaan ini kita hanya
menggunakan aquadest tidak menggunakan obat.
Metode yang dilakukan dalam penanganan hewan coba mencit yaitu secara Per oral.
Mencit diletakkan di atas ram kawat, ekor ditarik. Jarum suntik yang sudah disolder
dimasukkan ke dalam mulut mencit namun harus diperhatikan proses masuknya jarum agar
tidak melukai organ dalam mencit. Setelah selesai, tarik kembali jarum tersebut secara
perlahan.
Kemudian hal-hal yg harus di perhatikan bila ingin memegang hewan-hewan percobaan
ini adalah harus menggunakan sarung tangan dan masker. Tujuan menggunakan sarung
tangan adalah untuk mengurangi kontaminasi langsung dengan mencitnya. Karena
ditakutkan adanya bakteri pada tubuh hewan tersebut, kemudian untuk menjaga agar bila
mencitnya menggigit tidak langsung terkena kulit tangan kita, akan tetapi terkena sarung
tangannya lebih dahulu.
Kita harus mempelajari cara-cara menangani dan memegang hewan-hewan percobaan
ini agar mempermudah untuk pemberian obat pada praktikum-praktikum selanjutnya.
Setelah melakukan praktikum tersebut, praktikan wajib membersihkan tangan dengan
antibakteri (hand sanitizer) atau langsung mencuci tangan dengan sabun. Agar kuman atau
bakteri yang ada pada mencit dan tikus tidak masuk ke dalam tubuh.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Mencit adalah hewan yang secara fisiologi hampir menyerupai dengan manusia
dan hewan mamalia lainnya sehingga memungkinkan untuk dijadikan hewan
percobaan.
2. Pemberian perlakuan pada hewan coba mencit dilakukan mula-mula dengan
cara handling yang benar kemudian diberikan perlakuan sesuai prosedur yang
ditentukan.
3. Menghitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat.
Daftar Pustaka
- Anief, Moh. 2007. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
- Susanti, Adriani, Nofri Hendri Sandi, Wewen Sista M. 2013. Pengaruh Ekstrak
Etanol Daun Tampak Badak ( Vacanga foetida (BI.) K Schum) Terhadap Klirens
Kreatinin Mencit putih ( Mus Musculus L.) Jantan. 2013. Jurnal Penelitian
Farmasi Indonesia I (2) Maret : 52-56.
1.8 Tujuan
1. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat.
2. Menyadari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul.
3. Mampu memberikan obat secara peroral dan parenteral dengan dosis yang sesuai
pada mencit atau tikus.
4. Mampu menerangkan perbedaan efek obat pada mencit atau tikus akibat pemberian
Oral, IV, IM,IP dan SK.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat
yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur)
dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuscular, subkutan, dan
intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian
secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan
intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran
darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain
adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses
penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan
atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan. (Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui.
Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan
dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi
hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah,
misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. (Katzung, B.G, 1989).
Ketepatan cara pemberian obat bisa menjadi faktor penentu keberhasilan suatu
pengobatan, karena cepat lambatnya obat sampai ditempat kerjanya (site of action)
sangat tergantung pada cara pemberian obat. Cara pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap onset dan durasi obat.
Onset adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk menimbulkan efek. Onset
dihitung mulai saat pemberian obat hingga munculnya efek pada pasien atau hewan
percobaan. Durasi adalah lamanya obat bekerja di dalam tubuh. Durasi dapat diamati
mulai saat munculnya efek hingga hilangnya efek pada pasien atau hewan percobaan.
Onset terkait dengan kecepatan absorbsi di mana semakin cepat waktu onset, maka
semakin cepat pula proses absorbsi obat. Hal ini karena transfer obat dari tempat
pemberian telah mengikuti aliran darah dan mencapai sel target hingga timbul efek.
Sedangkan durasi berhubungan dengan metabolisme obat. Semakin cepat durasi obat,
maka semakin cepat obat tersebut dimetabolisme yang ditandai dengan hilangnya efek
obat karena sebagian obat telah tereliminasi.
2. Intramuskular
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air
yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan
juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan
obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi:
semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi).
Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya
di otot pantat atau paha.
Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi
pembawa air untuk minyak.
Larutan sebaiknya isotonis.
Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan.
Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan
kedalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke
dalam otot-otot lain.
3. Subkutan
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi,
determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi
penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi
obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan) (Joenoes, 2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui
bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit;
volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml.
Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa
nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada
sediaan suspensi.
Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat
terjadinya penyerapan.
Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke
dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba
menetap di jaringan dan membentuk abses.
Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama
Hipodermoklise.
4. Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
(Anonim, 1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek
yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena
obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.
5. Per Oral
Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian
melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum
karena mudah digunakan, relatif aman, murah dan praktis (dapat dilakukan
sendiri tanpa keahlian dan alat khusus). Kerugian dari pemberian obat secara
peroral adalah efeknya lama, mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat
tidak teratur, tidak 100% obat diserap. Tidak diserapnya obat secara 100%
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
Jumlah makanan dalam lambung
Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim
gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan secara peroral akan
dirusak oleh enzim proteolitik dari saluran gastrointestinal
Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak dapat diabsorpsi
Dikehendaki kerja awal yang cepat
Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari suatu
dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian
obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Masing-masing cara pemberian ini mempunyai keuntungan dan manfaat
tertentu. Suatu senyawa obat mungkin efektif bila diberikan dengan cara lain.
Perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal kecepatan
absorbsi dari berbagai cara pemberian, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap
efek dan aktivitas farmakologinya.
Waktu yang diperlukan suatu obat mulai dari diberikan sampai menimbulkan efek
meliputi:
a. Onset
Adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat diberikan sampai dengan obat
menimbulkan efek.
b. Durasi
Adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat menimbulkan efek sampai d
engan obat tersebut tidak berefek lagi.
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
3. Alkohol
4. Phenobarbital 200mg/2ml
5. Menit 5 ekor
3.3 Perhitungan Dosis Obat
26 gram
x 0,0026 mg = 0,18 mg
20 gram
0,18 mg
x 2 ml = 0,0072 ml
5 mg
0,016 𝑚𝑔
x 2 ml = 0,0064 ml
5 𝑚𝑔
26 gram
x 0,013 mg = 0,016 mg
20 gram
0,016 𝑚𝑔
x 2 ml = 0,0064 ml
5 𝑚𝑔
4.2 Pembahasan
· Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji
diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill
· Injeksi yang salah sehingga dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan
yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari
yangseharusnya. Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk
tidak sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi
sistemik.
· Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda.
Hewan percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi
lebih cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan percobaan walaupun
diberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.
Sedangkan pada pengamatan durasi kerja obat. Durasi adalah waktu lamanya
efek sampai efek obat tersebut hilang.Berdasarkan litelatur durasi paling cepat adalah
peroral, intravena, intraperitonial, intramuscular, subkutan.
Dari hasil pengamatan kelompok 2 urutan cepat yang dihasilkan adalah SC-PO-
IP-IM-IV
Hal ini terjadi karena :
SC yang seharusnya paling lama menjadi paling cepa, karena sc terdapat lapisan
lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama dibanding IM
Durasi paling lama dari cara pemberian adalah subkutan, hal ini karena dibawah kulit
terdapat banyak lemak, sehingga Phenobarbital yang bersifat lipofil akan mudah
berikatan dengan lemak dan menyebabkan obat tersimpan lebih lama dalam jaringan.
Dari pengamatan yang dilakukan didapatkan fakta bahwa mencit yang telah
kehilangan reflek balik badan, kadang bangun dan melanjutkan aktivitasnya namun
kemudian tidur kembali. Hal inilah yang disebut dengan proses redistribusi obat dalam
tubuh, yaitu proses dimana obat dari tempat kerjanya menuju ke jaringan – jaringan
yang lain merupakan salah satu faktor yang dapat menghentikan kerja obat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum diatas dapat disimpulkan bahwa cara pemberian dapat
mempengaruhi absorbsi suatu obat. Pada pemberian obat secara oral lebih lama
menunjukkan onset of action dibanding secara Intravena, hal ini dikarenakan Intravena
tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh darah. Sementara
pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu
masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek, jadi urutan onset paling cepat adalah
intravena, intraperitonial, intramuscular, subkutan dan peroral. Sedangkan duration of
action dari rute pemberian obat secara subkutan lebih panjang (lama) dibandingkan rute
pemberian obat secara oral, urutan durasi paling cepat adalah peroral, intravena,
intraperitonial, intramuscular, subkutan. Obat yang ideal adalah obat yang memiliki
onset cepat dan durasi yang lama.
Daftar Pustaka
1.12 Tujuan
- Memperoleh kurva hubungan dosis obat vs respon
- Memperoleh DE50 dan DL50
- Memahami konsep indeks terapi dan implikasinya
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Obat biasanya di berikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis ini terlalu besar shingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif (Ganiswara et. al.
1995).
Hampir semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek toksis dan
pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (dosis toksis = TD dan dosis letal = LD).
Takaran pada mana obat menghasilkan efek yang diinginkan disebut dosis terapeutik.
Untuk menilai keamanan dan efek suatu obat, dalam laboratorium farmakologi dapat
dilakukan percobaan-percobaan binatang dan yang ditentukan adalah khususnya
DE50 dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan efek pada 50% dari jumlah binatang
dan dosis yang mematikan 50% dari jumlah binatang. Perbandingan antara kedua dosis
ini dinamakan indeks terapi yang merupakan suatu ukuran untuk keamanan obat;
semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan obat tersebut. Akan tetapi,
hendaknya diperhatikan bahwa indeks terapi ini tidak dengan begitu saja dapat
dikorelasikan terhadap manusia, seperti halnya dengan semua hasil dari percobaan
binatang berhubung perbedaan-perbedaan metabolisme.
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika
dosis yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan didapatkan
efek. Respon tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis mungkin akan
meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat
ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperature badan
dan tekanan darah dapat diukur.
Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas
indivdu yang sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan
efek yang sama kemungkina dibitihkan dosis yang berbeda pada individu yang berbeda.
Variasi individu dalam sensitifitas secara khusus mempunyai efek “semua atau tak
satupun” sama.
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu
sebagai suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi
kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian)
diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan
titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah
memberikan respon. Range dosis meliputi hubungan dosis-frekuensi memcerminkan
variasi sensitivitas pada individi terhadap suatu obat.
1. Efiksasi (efficacv)
Respon maksimal yang di hasilkan suatu obat. Efiksasi tergantung pada jumlah
kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang di aktifkan dalam
menghasilkan suatu kerja seluler.
2. Potensi
Potensi yang disebut juga konsentrasi dosis efektif adalah suatu ukuran berapa banyak
obat di butuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah dosis yang
di butuhkan, untuk suatu respon yang di berikan, makin poten obat tersebut. Potensi
paling sring di nyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50% dari respon
maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan
ED50 yang lebih besar.
Bervariasi dari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang curam, menunjukan bahwa
suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan yang besar
(Katzung, 1989).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
6. Alkohol
7. Diazepam 20mg/100ml
8. Mencit jantan 12 ekor
3.2 Perhitungan Dosis Obat
Kelompok 3
11) Amati selama 45 menit, catat waktu pemberian dan waktu saat timbulnya efek.
12) Efek yang diamati yaitu :
a. Sangat Resisten : tidak mengalami efek
b. Resisten : tikus tidak tidur tetapi mengalami ataksia
c. Efek sesuai : tikus tidur tetapi tegak kalau diberi rangsang nyeri
d. Peka :tikus tidur,tidak tegak meskipun diberi rangsangan nyeri
e. Sangat peka : mati.
Pengamatan
5 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:00 15:03 Sesuai
BB manusia
5 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:05 15:12 Resisten
BB manusia
10 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:33 15:34 Sesuai
BB manusia
10 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:31 15:35 Resisten
BB manusia
20 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:00 15:01 Peka
BB manusia
20 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:57 15:05 Sesuai
BB manusia
40 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:19 15:19 Peka
BB manusia
40 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 14:57 15:20 Sesuai
BB manusia
80 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:00 15:01 Peka
BB manusia
80 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:10 15:51 Peka
BB manusia
160mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:42 15:43 Peka
BB manusia
160mg/70kg
Mencit Diazepam IP 14:55 15:01 Peka
BB manusia
a. tabel untuk menentukan DE50
1600mg/ 70 kgBB
- - 0%
manusia
Pada paktikum kali ini, hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih.
Percobaan dosis respon obat dan indeks terapi ini bertujuan untuk memperoleh (LD50)
dan (ED50) serta memahami konsep indeks terapi pada hewan percobaan, yaitu mencit
dengan berat sekitar 26-39 g. Sementara obat yang diujikan indeks terapinya
adalah Diazepam.
Dalam praktikum ini digunakan injeksi Diazepam 20 mg/ 100ml yang diberikan
pada hewan percobaan (mencit) untuk mengetahui onset dan durasi
obat. Benzodiazepin menghambat aktivitas SSP dengan efek utama pada manusia
sedasi, hypnosis, pengurangan ansietas, relaksasi otot dan antikonvulsi. Diazepam
bekerja mempersiapkan untuk tidur (hipnogen) dari hipnotik, mempunyai pengaruh
yang kecil pada berbagai fase tidur dan pada dosis tinggipun tidak mengakibatkan
narkosis. Diazepam tidak mengakibatkan pembiusan total, meskipun pada penggunaan
jangka panjang dapat pula terjadi kebiasaan dan ketergantungan fisik dan psikis.
Mekanisme kerja Diazepam yaitu Bekerja pada sistem GABA, dengan
memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh
sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak
frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini,
benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas
farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan
adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat,
dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran
ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk
ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel
bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.
Diazepam merupakan turunan bezodiazepin. Kerja utama diazepam yaitu potensiasi
inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator pada
sistim syaraf pusat. Dimetabolisme menjadi metabolit aktif yaitu N-desmetildiazepam
dan oxazepam.
Untuk memperoleh nilai setengah, tidak bisa hanya menggunakan 1 hewan coba
untuk tiap dosis. Dari tabel ini dapat ditentukan ED50 dan LD50 pada hewan coba mencit
yang disuntikan diazepam dengan 6 dosis berbeda. Masing-masing dosis disuntikkan
pada 12 hewan coba berbeda, untuk mempermudah penghitungan 50% hewan coba
yang menimbulkan efek, baik efek yang diinginkan (ED50), maupun LD50 . Dengan
demikian, akan diperoleh hasil ED50 dan LD50 sebagai tujuan dari percobaan ini.
Dosis yang diberikan kepada setiap mencit meningkat. Variasi dosis yang
digunakan sama pada semua kelompok mencit sehingga terdapat 12 mencit yang diberi
perlakuan obat. Setelah didapatkan jumlah dosis yang akan disuntikkan, maka
keempat mencit yang telah diketahui berat badannya disuntik secara Peroral.
Pada hasil pengamata setiap kelompok terdapat variasi pemberian dosis obat
yaitu 5 mg, 10 mg, 20mg, 40mg, 80mg dan 160 mg efek obat sudah terlihat.
Hal ini tidak sesuai secara teori seharusnya efek obat meningkat seiring dengan
peningkatan pemberian dosis, tetapi hasil percobaan tidak menunjukkan seperti itu. Hal
ini dapat terjadi karena pada saat pemberian obat, suspensi obat tidak dikocok terlebih
dahulu sehingga dosis dalam obat tidak tersebar merata. Selain itu respon obat masing-
5.1 Kesimpulan
Kee, Joyce L dan Evelyn R. Hayes. 1994. Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Schmitz, Gary Hans Lepper dan Michael Heidrich. 2003. Farmakologi dan Toksikologi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Staff Pengajar Farmakologi FK Unsri. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC.
BAB I
PENDAHULUAN
1.16 Tujuan
- Mengamati respon geliat atau writhing reflex pada mencit akibat induksi kimia.
- Mengetahui mula kerja obat (onset of action), lama kerja obat (duration of action)
dan saat obat mencapai efek yang maksimum.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini.
b. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti
pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni :
a. Parasetamol
b. salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
c. penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
d. derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
e. derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol
f. lainnya : benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).
Nyeri merupakan mekanisme untuk melindungi tubuh terhadap suatu gangguan
dan kerusakan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dan kejang otot
dengan pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin, bradikinin, serotonin,
histamin, ion kalium dan asetilkolin (Mutschler, 1991; Guyton, 1995; Tjay dan
Rahardja, 2002).
Nyeri permukaan dapat terjadi apabila ada rangsangan secara kimiawi, fisik,
mekanik pada kulit, mukosa, dan akan terasa nyeri di daerah rangsang. Nyeri pertama
terbentuk setelah tertusuk pada kulit dan cepat hilang setelah berakhirnya rangsang
dengan pembebasan mediator nyeri yaitu bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium
dan asetilkolin. Nyeri kedua bersifat membakar yang lambat hilang dengan pembebasan
prostaglandin sebagai mediator yang spesifik untuk nyeri yang berlangsung lama
(Satyanegara, 1978; Mutschler, 1991).
Nyeri pertama dihantarkan oleh serabut nyeri jenis A delta yaitu serabut saraf
dengan pembungkus lapisan bermielin, garis tengah 2-5 µm. Serabut nyeri jenis A delta
ini menghantarkan isyarat nyeri lebih cepat dari saraf perifer ke medula spinalis karena
terjadi penghantaran rangsang secara saltatoris (gaya melompat) yaitu dari satu nodus
Ranvier ke nodus Ranvier lain, antar nodus-nodus ini dilewati oleh garis aliran listrik
dan dengan penghantaran saltatoris ini dimungkinkan suatu laju penghantaran
yang lebih cepat sampai dengan 120 m/det (Satyanegara, 1978; Mutschler, 1991;
Guyton, 1995).
Reseptor nyeri di dalam kulit dan jaringan lainnya merupakan ujung saraf bebas.
Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan-jaringan
dalam tertentu (Guyton, 1994). Reseptor lainnya yang sensitif terhadap suhu panas atau
dingin yang ekstrem disebut reseptor nyeri termosensitif yang meneruskan nyeri
kedua melalui serabut C yang tak bermielin. Reseptor ini mempunyai respon terhadap
suhu dari 30oC-45o C dan pada suhu diatas 45oC, mulai terjadi kerusakan jaringan dan
sensasinya berubah menjadi nyeri (Mutschler, 1991; Guyton, 1994; Tjay dan Rahardja,
2002). Prostaglandin merupakan hormon lokal yang disintesis di berbagai organ dan
bekerja di tempat itu juga. Prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah dengan cepat
saat terjadi kerusakan jaringan. Prostaglandin terlibat pada terjadinya nyeri yang
berlangsung lama, proses peradangan dan timbulnya demam (Mutschler, 1991;
Nogrady, 1992; Tjay dan Rahardja, 2002).
Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan percobaan
mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat pemberian
perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat
(writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi)
dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini
dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test
(Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat
nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
9. Alkohol
10. CMC-Na
11. Asam Mefenamat 1g/100ml
12. Parasetamol 1g/100ml
13. Mencit jantan 12 ekor
3.4 Prosedur Kerja
13) Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-
masing mencit.
14) Mencit dibagi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor
mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2):
Kelompok I,II : CMC Na 1% secara Per Oral
Kelompok III, IV : Asam Mefenamat 500mg/70 kgBB manusia secara PO
Kelompok V, VI : Parasetamol 500Mg/ 70 kgBB manusia secara PO
15) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
16) Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu waktu
pemberiannya.
17) Setelah ditunggu 15-30 menit, kemudian diberi penginduksi nyeri asama asetat
glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP.
18) Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.
Efek Geliat
Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mengenal dan mempraktikkan
pengujian daya analgesik dengan menggunakan metode rangsangan kimia.
Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf secara selektif.
Digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran.
Nyeri yang diinduksikan kepada hewan uji dilakukan menggunakan metode rangsang
kimia. Iritan kimia yang digunakan adalah steril asam asetat yang diberikan secara intra
peritoneal terhadap hewan uji yaitu mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia
digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang
digunakan untuk penetapan daya analgetika (Katzung, 1986).
Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit,
selaput lendir,dan jaringan, lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan syaraf pusat
(SSP) melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke pusat nyeri di otak besar
(rangsangan sebagai nyeri). Sehingga timbul rasa nyeri yang dapat dilihat terjadi pada
hewan uji dengan adanya geliat-geliat yang menandakan mencit merasakan kesakitan
(Ganiswara, 1995).
Semua obat analgetik non opioid, termasuk Paracetamol dan asam mefenamat yang
digunakan pada percobaan ini, bekerja melalui penghambatan siklooksigenase.
Pada praktikum ini analgetik yang digunakan adalah analgetik non narkotik yaitu
Paracetamol dan asam mefenamat. Dengan kontrol menggunakan CMC 1%. Praktikum
ini menggunakan metode rangsangan kimia. Rangsangan kimia pada praktikum ini
diberikan dengan pemberian steril asam acetat 1% (SAA). Selain itu dalam praktikum
ini hewan uji yang digunakan yaitu mencit. Mencit digunakan sebagai hewan uji
karena mudah disimpan dan dipelihara serta bisa beradaptasi baik dengan lingkungan
baru. Selain itu mencit percobaan hampir identik secara genetis. Genetik mereka,
karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip manusia, dan banyak gejala kondisi
manusia dapat direplikasi pada tikus.
Pada percobaan ini pemberian cairan pada mencit harus disesuaikan dosis serta
volumenya, hal ini dilakukan supaya supaya tidak terjadi overdosis dan pemberian
volume yang berlebihan kepada hewan uji. Konversi dosis pada praktikum ini yaitu
dosis manusia kepada hewan uji yaitu mencit.
Konversi dosis manusia ke mencit dikalikan 0,0026 dari dosis manusia 70kg ke mencit
20g yang kemudian disesuaikan dengan berat badan mencit.
Pada praktikum ini konversi dosis Paracetamol dari manusia sebesar 500 - 1000mg.
Pemberian ini tidak boleh melebihi volume maksimal larutan yang bisa diberikan pada
mencit dalam hal ini adalah per oral dan intra peritonial yang maksimum volume
pemberiannya sebesar 1,0ml.
Karena sediaan yang dimiliki sebesar 1g/100ml sehingga pemberian Paracetamol
pada mencit sebesar 0,5ml sampai 1ml. Terdapat 3 tahap uji, tahap pertama yaitu
pada mencit kelompok I dan II, disuntik secara per oral dengan larutan CMC 1%
sebanyak 0,5 ml kemudian mencit kelompok III dan IV secara per oral diberi suspensi
Asama Mefenamat dan pada mencit kelompok V dan VI secara per oral diberi
suspensi parasetamol. Setelah 5 menit pemberian kemudian mencit diinjeksi secara
intra peritonial dengan larutan Steril asam asetat (SAA) 1% sebanyak konversi dosis
yang telah dihitung terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengamatan pada ketiga
mencit dilihat dari geliatan mencit dan dicatat kumulatif geliatan mencit setiap selang
waktu 5 menit selama 30 menit.
Asam asetat diberikan secara IP supaya dapat menimbulkan efek yang cepat, serta
agarefek rasa nyeri terjadi di perut sehingga praktikan dapat mengamati peregangan
tubuh. Dengan kombinasi pemejanan antara PO pada obat dan IP pada asam asetat
diharapkanwaktu rasa nyeri muncul , efek analgesik juga muncul (sudah mencapai
onset). Seandainya obat dan asam asetat diberikan dalam waktu bersamaan
dikhawatirkan ketika rasa nyerimuncul, obat masih berasa di bawah KEM sehingga
tidak muncul efek analgesik. Bahan yang digunakan yaitu Steril asam asetat (SAA)
1% yang berfungsi sebagai pemberi rasa nyeri pada mencit atau disebut sebagai
penginduksi nyeri dan suspensi asam mefenamat, paracetamol yang berfungsi sebagai
analgetik. SAA dapat memberikan suasana asam dengan melepas ion H+ yang
berperan sebagai mediator nyeri yang mempengaruhikerja sistem saraf, sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini dapat dilihat melalui gejala menggeliat pada
mencit. Gejala sakit pada mencit sebagai akibat pemberian SAA secara IP yaitu
adanya kontraksi dari dinding perut, kepala, dan kaki ditarik ke belakang sehingga
abdomen menyentuh dasar dari ruang yang ditempati yang disebut geliat.
Hasil pengamatan menunjukkan mencit kelompok VI yang diberi Paracetamol
memiliki aktivitas geliat lebih sedikit dibandingkan dengan asam mefenamat tetapi
pada pecobaan kelompok V menunjukkan bahwa parasetamol memiliki aktivitas geliat
yang lebih banyak dibandingkan Asam Menafat dan CMC. Secara teori bahwa Asam
mefenamat mempunyai daya analgesik lebih besar/efek yang kuat dibandingkan
parasetamol dan CMC tidak mempunyai daya analgesic. Secara teori obat analgetik
yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi adalah
parasetamol sebanyak 17,98% dimana Parasetamol yang merupakan derivat-asetanilida
adalah metabolit dari fenasetin. Asam mefenamat seharusnya diberikan melalui
subkutan tetapi dalam percobaan dilakukan peroral karena asam mefenamat yang
disiapkan tidak larut sempurna dalam air.
Asam mefenamat dan parasetamol mempuyai mekanisme kerja yang sama
yaitu mengurangi rasa nyeri dengan cara menghambat enzim siklooksigenase, karena
enzimnya terhambat maka prostaglandin semakin sedikit yang terbentuk sehingga nyeri
yang timbul berkurang. Berbeda dengan mencit yang diberikan CMC sebagai kontrol
memilki geliat yang lebih banyak.
Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit selama 30 menit. Pada 5 menit
pertama memilki geliat sedikit lama-lama geliat bertambah dan geliat menurun pada
pada menit-menit akhir. Kemudian pada durasi efek geliat yang didapt dari hasil
pengamatan bahwa durasi yang didapatkan sangat menyimpang secara teori, pada
kelompok II mendapatkan rata-rata durasi efek geliat yang pendek dibandingkan
parasetamol dan asam mefenamat. Dan rata-rata durasi efek geliat pada asam
mefenamat dan parasetamol hanya memiliki perbedaan durasi 1- 9menit. Data
pengamatan ini tidak sesuai secara teori, seharusnya durasi geliat yang paling lama
yaitu pada CMC karena larutan ini tidak mempunyai daya analgesic untuk menghambat
siklooksigenase sehingga membuat mencit merasakan rasa nyeri yang lebih
dibandingkan asam mefenamat dan parasetamol. Sedangkan asam mefenamat efek
durasinya lebih lama dibandingkan dengan parasetamol karena parasetamol
menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat yang berarti memeliki durasi yang cepat
untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut.
Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu
tinggi yaitu Paracetamol karena Paracetamol merupakan derivat-asetanilida adalah
metabolit dari fenasetin. Paracetamol berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik,
Paracetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, oleh karena itu obat ini
lebih dipilih dalam percobaan ini.
Adapun pada Asam Mefenamat, Asetosal atau Aspirin mekanisme nyerinya sama
sebagaimana Paracetamol sebagai analgetik AINS namun afek samping berupa iritasi
lambung lebih tinggi resikonya daripada Paracetamol sehingga, Paracetamol dan Asam
Mefenamat dipilih dalam pengujian efek analgetik pada percobaan ini.
Mekanisme kerja Asam mefenamat merupakan kelompok anti inflamasi non
steroid, bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh
dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti
inflamasi dan antipiretik. Sedangkan mekanisme kerja Paracetamol yaitu
menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Paracetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat, inilah yang menyebabkan
Paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan
panas. Paracetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah
yang menyebabkan Paracetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Paracetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa Paracetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat
pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang
ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula
peningkatan suhu oleh sebab lain.
Hasil yang didapat diuji dengan menggunakan tabel pengamatan yang kemudian
didapatkan hasil. Di sini menunjukkan bahwa data yang dihasilkan memiliki perbedaan,
tetapi jika diuji secara statistik data perbandingan tersebut tidak memiliki perbedaan
jauh. Data praktikum kali ini dianggap menyimpang karena seharusnya hasil yang
didapat sesuai dengan teori. Penyimpangan ini dapat terjadi karena beberapa faktor,
antara lain faktor penyuntikan yang salah atau kurang tepat sehingga volume obat yang
disuntikan tidak tepat. Dapat juga dikarenakan factor fisiologis dari mencit, mengingat
hewan percobaan ini telah mengalami beberapa kali percobaan sehingga dapat terjadi
kemungkinan hewan percobaan yang stress dan juga kelelahan karena mengingat
mencit sebelumnya telah dipuasakan terlebih dahulu. Penyimpangan pengambilan data
juga dapat terjadi karena pengamatan praktikan yang kurang seksama sehingga ada data
geliat mencit yang mungkin terlewat tidak diamati atau bahkan sulit membedakan
antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa
kesakitan akibat penyuntikan IP pada perut mencit. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi hasil dan perhitungan yang dibuat.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Metode yang dipakai adalah metode rangsangan kimia dengan prinsip memberikan
rasa nyeri dengan menginjeksi cairan kimia berupa asam asetat dari luar. Mean
kumulatif geliat yang diperoleh dari setiap kelompok :
1. CMC : 92
2. Asam Mefenamat : 48
3. Parasetamol : 69,5
Dan Mean kumulatif durasi efek geliat yang diperoleh dari setiap kelompok :
1. CMC : 46 menit
2. Asam Mefenamat : 52 menit
3. Parasetamol : 47 menit 5 detik
Asam mefenamat dan parasetamol memiki efek analgesik. %daya analgesic Asam
mefenamat > parasetamol. Dan durasi efek geliat CMC lebih besar dari pada asam
mefenamat da parasetmaol.
Daftar Pustaka
Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Satyanegara, M.D. 1978. Teori dan Terapi Nyeri. Jakarta: Pantja Simpati.
Turner, R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New York: Academic Press.
Kelompok Kerja Phyto Medica. 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan
Pengujian Klinis. Jakarta: Yayasan Phytomedica. hal. 3-6.
Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika
Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
Falkultas Indonesia Press.
BAB I
PENDAHULUAN
1.20 Tujuan
- Memahami efek lokal dari berbagai obat/senyawa kimia terhadap kulit dan
membrane mukosa berdasarkan cara kerja masing-masing, serta dapat
diaplikasikan dalam praktek dan dampaknya sebagai dasar keamanan penanganan.
- Memahami sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membrane mukosa
dari berbagai obat yang berkerja lokal.
- Menyimpulkan persyaratan farmakologi untuk obat yang di pakai secara lokal.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja
merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat
(SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal,
rasa panas atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi
impuls saraf. Obat bius lokal / anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah
obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar yang cukup. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu,
anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari
beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP,
ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan semua jaringan otot.
Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari daun
suatu tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah tahun 1892,
perkembangan anastetik meningkat pesat hingga ditemukan prokain dan benzokain, dan
derivat-derivat lainnya seperti tetrakain dan cinchokain.
Anastesi bekerja dengan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan
tranmisi impuls melalui sel saraf dan ujungnya. Anastetik lokal juga dapat menghambat
penerusan impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas sel saraf untuk ion natrium.
Beberapa kireteria yang harus dipenuhi suatu jenis obat yang digunakan sebagai
anestetika lokal :
a. Tidak merangsang jaringan
b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf
c. Toksisitas sistemik rendah.
d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir
e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut
dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan
(sterilisasi).
Selain anestesi, obat-obatan yang digunakan melalui transdermal pun mayoritas
menggunakan prinsip efek lokal yang hanya mengobati/mencegah rasa yang tidak
nyaman pada bagian yang diolesi/ditempelkan obat.
Transdermal merupakan salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan
farmasi/obat berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan kulit,
namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (trans = lewat,
dermal = kulit).
Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa-senyawa
kaustik, misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas atau
uap pada saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada sel-sel
hidup.
Efek obat yang akan timbul pada membrane dan kulit mukosa tergantung pada
jumlah obat yang dapat diserap pada permukaan kulit dan membrane serta kelarutan obat
dalam lemak karena pada epidermis kulit merupakan sawar lemak. Pada kulit yang
terkelupas/ luka maka absorpsi jauh lebih mudah. Obat yang digunakan di sini dapat
memberikan efek menggugurkan bulu korosif. Fenol serta adstrigen obat tersebut obat
tersebut dapat memberikan efek local pada membrane dan kulit mukosa.
Fenol ( C6H5OH )
Fenol mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 100,5 % C6H5OH
dihitung terhadap zat anhidrat dapat mengandung stabilisator yang sesuai. Fenol
merupakan suatu hablur bentuk jarum/ massa hablur, tidak berwarna/ putih/ merah
jambu, bau khas, mencair dengan penghangatan dan dengan penambahan 10 % air.
Mendidih pada lebih 182oC, uapnya mudah membakar pada konsentrasi 0,5 – 1 %
dalam larutan digunkan sebagai anestetik local. Larutan 5 % digunkan sebagai
desinfektan.
Veet cream
Komposisi : water, glearil alcohol, potassium, thioglikolate, calcium hidrixide, sodium
magnesium silicate, fragrance, PPG – 15, steryl ether, Mg trisilicate, titanium dioxide,
propylene glikol, capolymer, mineral oil, sweet almond oil, sodium glikonate, pigmen
red 5.
AgNO3
AgNO3 di samping bekerja bakterisid juga mempunyai sifat adstrigen dan korosif.
Larutan AgNO3 1 % digunakan untuk perlindungan terhadap blenorea pada bayi yang
baru lahir ( profilaksis Lrede ). Larutan AgNO3 P / batang AgNO3 digunakan sebagai
korosif. Lama kerja serta dalamnya penetrasi dibatasi oleh ion klorida jaringan, yang
dengan AgNO3 membentuk endapol mengandung tian AgCl. Garam peram
sulfonamide, sulfadiazine, sulfadiazine perak, Flamazine, terutama digunakan untuk
luka baker, senyawa perak protein asetilanat ( targesin ) dalam betuk tetes mata
berfungsi pada penanganan konjungtivitas.
Etanol
Etanol mengandung tidak kurang dari 92.3% b/b dan tidak lebih dari 93,8% b/b, setara
dengan tidak kurang dari 94,9% dan tidak lebih dari 96,0% v/v C6H5OH pada suhu
15,56o. Cairan mudah menguap, jernih dan tidak berwarna. Bau khas dan menyebabkan
seperti rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan
mendidih pada suhu 78o, mudah terbakar.
Efek local obat terjadi akibat penggabungan langsung antara molekul obat
dengan reseptor, sehingga akan terobservasi timbulnya perubahan dari fungsi organ
tergantung pada daerah lokasi. Oleh karena itu, timbullah suatu efek obat. Adapun
factor – factor yang mempengaruhi efek local obat ini diketahui jika efek terapi telah
diketahui dan dicapai.
Mukosa yang tervaskularisasi baik, yaitu rongga mulut dan rongga tenggorokan
( rute local, sublingual ), memilliki sifat absorpsi yang baik untuk senyawa yang tidak
terionisasi lipofil. Yang menguntungkan pada bentuk pemakaian ini ialah munculnya
kerja yang cepat, di samping tak ada kerja cairan pencernaan dari saluran cerna dan
bahan obat tidak harus melewati hati segera setelah diabsorpsi. Karena permukaan
absorpsi yang relative kecil, rute bukal/ sublingual hanya mungkin untuk senyawa yang
dapat diabsorpsi dengan mudah dan selain itu tidak mudah rasa tidak enak. Indikasi
penting ialah pengobatan serangan angina pectoris dengan nitrogliserol dalam kapsul
kunyah/ sebagai aerosol.
Pada pecobaan efek obat pada membrane mukosa ini digunakan berbagai reagen
yang dibuat seperti H2SO4(p), HCL (p), NAOH, Tanin, AgNO3, Fenol 5 % dalam
gliserin, Fenol 5 % dalam minyak lemak dan veet cream.
H2SO4 pekat
Asam sulfat mengandung tidak kurang dari 95,0 %, dan tidak lebih dari 98 % b/b
H2SO4. Asam sulfat merupakan suatu cairan jernih, seperti minyak, tidak berwarna, bau
sangat tajam dan korosif. Asam sulfat jika bercampur dengan air dapat menimbulkan
panas yang berlebih.
HCl pekat
Asam klorida merupakan cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang, jika
diencerkan dengan 2 bagian volume air, asap hilang. Asam klorida mengandung tidak
kurang dari 36,5 % bdak b/b dan tidak lebih dari 38,0 % b/b HCl.
NaOH
NaOH merupakan suatu serpihan/ batang atau bentuk lain, keras, rapuh dan
menunjukkan pecahan hablur, berwarna putih/ praktis putih, massa melebur, berbentuk
pellet. NaOH bersifat basa kuat dan korosif. NaOH mengandung tidak kurang dar 95,0
% dan tidak lebih dari 100,5 % alkali jumlah dihitung sebagai NaOH mengandung
Na2CO3 tidak lebih 30 %.
Bila dibiarkan di udara akan cepat menguap karbon dioksida dan lembab. Hati-hati
dalam pemakaian NaOH karma merusak jaringan dengan cepat.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
14. Veet Cream
15. Larutan NaOH 20%
16. Larutan Ha2S 20%
17. Larutan AgCl2 5%
18. Larutan Fenol 5%
19. Larutan NaOH 10%
20. Larutan H2SO4 pekat
21. Larutan HCl pekat
22. Larutan Fenol
23. Larutan AgNO3 1%
24. Tikus
3.4 Prosedur Kerja
1. Menggugurkan Bulu
2. Korosif
a. Celupkan empat jari tangan selama 5 menit kedalam larutan fenol yag tersedia.
b. Rasakan jenis sensasi yang dialami jari tangan (rasa tebal, dingin, panas).
c. Jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, angkat segera dan bilas dengan etanol.
d. Catat dan tabelkan pengamatan.
BAB IV
Efek
3.(wangi) 3. (6 menit)
1.(Amis) 1. (2 detik)
3.(menyengt) 3. (2 menit)
2. Korosif
Efek
Obat
Percobaan Bahan Sifat Korosif Kerusakan pada jaringan
1. (membengkak agak
1.(korosif) menyusut)
1.sgt korosif
1.melunak
2.korosif mengembang
Larutan AgNO 1% 2.pucat kuning
3.korosif mengembang
3.menipis
1.keriput pucat,bau
Larutan Fenol 5%
2.rasa tebal,putih pucat,bau dan keriput
dalam air
Fenol
dalam Jari 3.rasa tebal, pucat dan sangat keriput
berbagai Tangan 1.dingin,keriput dan bau menyengat
pelarut
Larutan Fenol 5%
2.dingin, keriput, baumenyengat
dalam etanol
3.dingin, pucat nyeri
4.2 Pembahasan
Pada percobaan efek menggugurkan bulu pada kulit tikus dengan larutan NaOH
20%, Na2S 20% dan veet cream diperoleh bahwa dalam waktu yang relatif sama
menghasilkan rontoknya bulu. Pada saat obat sebelum diberikan berbau amis tetapi
sesudah diberikan obat tidak berbau amis bahkan bulu sampai rontok dan kulit ada yang
kenyal saat diberikan obat veet cream sedangkan kulit ada yang lembek saat diberikan
obat larutan NaOH 20%. Namun efek lainnya terlihat bahwa kulit tikus yang diberi
larutan NaOH 20% menjadi lebih lembek. Hal ini terjadi karena garam natrium
hidroksida bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada keratin kulit, sehingga bulu
akan rusak dan mudah gugur. Namun yang diberi veet cream menjadi kenyal.
Dikarenakan perbedaan pH pada kedua bahan obat yang diberikan pada kulit sehingga
mempengaruhi tektur kulit tikus yang diamati.
Pada percobaan efek korosif pada usus tikus dengan larutan raksa (II) klorida
5%, larutan fenol 5%, larutan natrium hidroksida 20%, asam sulfat pekat, asam klorida
pekat, , dan larutan perak nitrat 1% menunjukkan sifat korosif yang berbeda sehingga
mengakibatkan kerusakan pada jaringan yang berbeda. Korosif dapat menyebabkan
kerusakan pada mata, kulit, sistem pernapasan, dan banyak lagi. Yang mana
menggunakan usus tikus. Hal ini disebabkan Asam sulfat adalah bahan yang paling
dikenal memiliki sifat korosif kuat. Senyawa asam dan basa lain sebagian besar
memiliki sifat korosif terutama asam dan basa kuat, contoh asam adalah Asam klorida
(HCl) sedangkan untuk korosif basa adalah natrium hidroksida (NaOH) dan basa alkali
lain. Selain bersifat korosif, asam sulfat juga sangat eksotermik dengan air. Air
memiliki massa jenis yang lebih rendah daripada asam sulfat dan cenderung
mengapung di atasnya, sehingga apabila air ditambahkan ke dalam asam sulfat pekat,
ia akan dapat mendidih dan bereaksi dengan keras.
Asam sulfat pekat merupakan senyawa yang sangat berbahaya bila terpapar
pada tubuh, baik cairannya ataupun uapnya bila masuk ke system pernafasan, untuk itu
selalu lakukan pekerjaan dengan asam sulfat didalam ruang asam. Lakukan prosedur
yang benar dalam memperlakukan asam sulfat pekat contohnya pada proses
pengenceran, dengan selalu menambahkan asam sulfat ke dalam air sedikit demi sedikit
melalui media yang mengalir bukan dengan diteteskan langsung. Prosedur keselamatan
kerja ini untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul.
Pada percobaan efek lokal fenol 5% dalam berbagai pelarut (air dan etanol) pada
jari tangan menimbulkan efek berbeda. Dikarenakan perbedaan reaksi yang terjadi
dengan berbagai pelarut tersebut sehingga timbul efek yang berbeda pada jari tangan
terasa menjadi nyeri. Fenol 5% + aquades akan menyebabkan iritasi berupa kebas,
pucat, kerut, dan panas pada lokasi yang terkena. Hal ini terjadi karena air merupakan
pelarut yang efektif, sehingga pencampuran air dan fenol tidak akan mengurangi reaksi
dari fenol. Sedangkan Fenol 5% + etanol akan menyebabkan iritasi berupa keriput,
dingin, pucat dan nyeri. Etanol merupakan senyawa yang bersifat toksik, dan memiliki
kelarutan yang rendah. Fenol dan etanol sama-sama memiliki gugus OH, sehingga
apabila fenol direaksikan dengan etanol akan terbentuk ester etil etanoat.
Pada percobaan praktek tersebut disimpulkan bahwa dari percobaan efek obat
pada kulit mukosa dan membrane menimbulkan efek berlainan yang dipengaruhi oleh
bahan obat pada larutan obat yang diberikan pada setiap bahan percobaan. Jadi efek
yang di timbulkan bermacam-macam.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
Mutschler E., Dinamika obat, Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi, ITB : Bandung
Guyton, A.C & Hall, J. E. Buku ajar fisiologi Kedokteran . Jakarta : EGC
Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, DEPKES RI, Jakarta.
Katzung, B.G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya
sekresi insulin, gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan
merupakan patogen melainkan secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan
metabolisme. Gejala umum diabetes adalah hiperglikemia, poliuria, polidipsia,
kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan kekurangan insulin sampai pada
infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan sindrom hiperosmolar dan kekurangan
insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia kronik menyebabkan kerusakan jangka
panjang, disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ. Komplikasi
jangka panjang diabetes adalah macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy,
katarak, diabetes kaki dan diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).
Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak
selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul
dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita
diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu
(Tjoktoprawiro, 1998).
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus meningkat,
bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan ini jumlah
insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah (Kee dan Hayes,1996;
Tjokroprawiro, 1998).
Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam
pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam sel
β, tetapi stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma (hiperglikemia).
Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah aksi,
termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot, dan jaringan adipose (Katzung,
2002).
Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel β
pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada waktu
makan. Sel-sel β memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat (ATP)
intraselular. Saat glukosa darah meningkat, lebih banyak glukosa memasuki sel β dan
metabolismenya menyebabkan peningkatan ATP intraselular yang menutup kanalATP.
Depolarisasi sel Depolarisasi sel β yang diakibatkannya mengawali influks ion Ca 2+
melalui kanal Ca2+ yang sensitif tegangan dan ini memicu pelepasan insulin (Katzung,
2002).
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
25. Na-CMC 1%
26. Glukosa 5%
27. Glibenklamid 5mg/70 KgBB secara manusia secara PO
28. Metformin 500mg/70KgBB secara manusia secara PO
29. Mencit
3.4 Prosedur Kerja
1. Puasakan mencit selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2. Cek kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian glukosa pada menit ke-0 dengan
cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung
strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terihat pada monitor glukometer.
Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah puasa (GDP).
3. Berikan larutan glukosa 1 g/kgBB mencit.
4. Cek kadar glukosa darah mencit stelah pemberian glukosa pada menit ke-5 dengan
cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung
strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer.
Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah setelah pembebanan.
5. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan:
Kelompok I : CMC-Na 1% Secara PO
Kelompok II&III : Glibenklamid 5 mg/70 kgBB manusia secara PO
Kleompok IV&V : Metformin 500 mg/ 70 kgBB manusia sacara PO
6. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.
7. Berikan larutan obat sesuai kelompok maisng-masing pada menit ke-10.
8. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit ke- 2, 40’,
60’, 80’, 100’ & 120’.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis kanan dan
bermakna perbedaan kadar darah antara kelompok kontrol negatif, positif dan
kelompok uji kemudian dianalisis menggunakan student’s t-test. Data disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik
BAB IV
4.2 Pembahasan
Diabetes melitus adalah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin
relativ maupun absolute. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa kedalam sel
terhambat serta metabolismenya terganggu. Jika telah berkembang penuh secara klinis,
maka diabetes melitus ditandai dengan hiprglikemia puasa dan postprandial,
aterosklerotik dan penyakit vaskuler mikroangiopati, dan neuropati.
Kadar glukosa serum puasa normal (teknik autoanalisis) adalah 70-110
mg/dl. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari
110 mg/dl. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hamper semuanya diabsorpsi
oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dl.
Jika konsentrasi tubulus naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan keluar bersama
urine, dan keadaan ini disebut sebagai glikosuria. Kadar gula darah mencit berkisaran
antara 62-175 mg/dL. (Nicholas 2003)
Pada praktikum ini akan dilakukan penentuan penurunan kadar glukosa darah
dan penentuan efek obat antidiabetes terhadap Mencit (Mus Muculus). Dan obat yang
digunakan yaitu metformin, glibenklamid, dan Na-CMC 1%. Tujuan dilakukan
percobaan ini ialah untuk menentukan efek farmakologi dari pemberian obat
antidiabetes hipoglikemik oral yaitu metformin dan glibenklamid dan Na-CMC sebagai
obat pembanding pada hewan coba mencit (Mus musculus) yang sebelumnya
didinduksi dengan glukosa 5% untuk meningkatkan kadar glukosa darah mencit dengan
interval waktu 5’ dan 40’ setelah pemberian obat secara peroral. Semua hewan coba
mencit diinduksi dengan glukosa 5 %. Alasan diinduksi glukosa 5% untuk
menigkatkan kadar glukosa darah mencit. Kemudian hewan uji yang digunakan yaitu
mencit jantan, hal ini disebabkan karena mencit betina mengalami fase estrus dimana
pada fase ini terjadi peningkatan hormone estrogen dan hormone pertumbuhan yang
akan mempengaruhi sekresi insulin. Semua mencit diukur kadar glukosa darahnya lagi
agar dapat diketahui kadar glukosa hewan coba mencit pada saat kadar glukosanya
meningkat. Untuk mengukur kadar glukosa dari mencit, digunakan alat yaitu
seperangkat alat ukur yang terdiri dari glukometer dan strip pembaca glukosa darah
yang terpasang pada bagian atas glukometer. Dalam strip terdapat enzim
glukooksigenase yang mana jika sampel darah mengenai strip, maka akan langsung
terbaca oleh glukometer. Alasan penggunaan alat glukometer sebagai alat yang
otometik memudahkan dalam memperoleh hasil glokosa darah, periksaan dengan
menggunakan alat ini memerlukan waktu yang reltif singkat, akurat, waktu tesnya
minimal 30 detik. Kemudian perkelompok dibagi-bagi dengan diberi obat per oral yaitu
ketiga mencit diberi Metformin, ketiga mencit diberi glibenklamid dan ketiga mencit
diberi Na-CMC 1%. Diukur kadar glukosa mencit pada menit 5’ dan 40’ agar diketahui
penurunan kadar glukosa pada hewan coba.
Pada percobaan kali ini dilakukan dengan membandingkan efek dari obat-obat anti
diabetes melitus golongan sulfonilurea yaitu Glibenklamin, golongan biguanid yaitu
Metformin, dan kontrol negative yaitu Na-CMC 1%.
Adapun hasil dari rata-rata penurunan setelah induksi pada obat glibenklamid yang
di uji dengan 2 kelompok menghasilkan Glibenklamid pada kelompok-1 yaitu sebesar
174 mg/dL dan kelompok-2 sebesar 188 mg/dL kemudian pada Metformin yang
diberikan pada 2 kelompok menghasilkan antara Metformin kelompok-1 sebesar 38,5
mg/dL dan Metformin kelompok-2 didapat hasil penurunan setelah induksi sebesar
34,3 mg/dL sedangkan pada Na-CMC 1% yaitu 58 mg/dL.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
.
Daftar Pustaka
Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba
Medika. Jakarta.
Tan, H.T. dan K. Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi Keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia. Hal. 742.
Yosef. (2007). Terapi Kombinas Antidiabetika Oral Metformin Dan Glibenklamid Untuk
Diabetes Melitus Tipe-2.
ISFI(2008).Informasi Spesialite Obat Indonesia. Volume 43. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi sistem
saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat neuron
dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau sensorik dan
neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke sistem saraf pusat,
dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari
otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur
eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf simpatis dan saraf
parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi
menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis (keseimbangan).
Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis dapat berupa
respon yang merangsang atau menekan.
Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya dengan
farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat yang
akan mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri.
1.28 Tujuan
- Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian vegetatif tubuh
- Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktifitas obat kolinergik dan antikolinergik
pada neuefektor parasimpatis.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Kolinergik (Parasimpatomimetik)
1. Kolinoseptor
1) Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pila
muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu.
Sebalikya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap
nikotin.
2) Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal
nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin
memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyerap
reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat, medula
adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular.
2. Obat yang bekerja pada kolinergik
1) Parasimpatomimetik langsung
Mekanisme: bekerja agonis terhadap reseptor kolinergik (M,N)
Klasifikasi berdasarkan struktur kimia :
Ester cholin (asetilkolin, karbakol, metakolin) => (M,N)
Alkaloida (muskarin, pilokarpin (M), nikotin, cytisine, labeline (N)).
2) Parasimpatomimetik tidak langsung
Mekanisme:menghambat kolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi
asetilkolin endogen disekitar kolinoseptor.
Dibagi 2:
Reversibel : mengikat kolineterase dalam waktu tertentu.
Irreversibel : mengikat kolineterase secara permanen.
3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi
pembuluh darah, meningkatnya kontraksi otot polos saluran GI, kontriksi
kandung kemih, meningkatkan saliva, meningkatkan motilitas usus.
B. Antikolinergik (Parasimpatolitik)
1. Mekanisme : antagonis kompetitif asetilkolin di reseptor muskarin ->
menghambat aktivitas sistem saraf parasimpatik -> semua efek asetilkoin
diperlemah.
2. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi pembuluh
darah, relaksasi otot polos saluran GI, relaksasi kandung kemih, relaksasi
uterus.
A. Adrenergik (Simpatomimetik)
1. Simpatomimetik langsung
Pada reseptor :
Alfa-1 : mengaktivasi organ-organ efektor seperti otot-otot polos
(vasokontriksi) dan sel-sel kelenjar dengan efek bertambahnya sekresi ludah
dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf adrenergik
dengan efek turunnya tekanan darah.
Beta-1 : memperkuat data dan frekuensi kontraksi jantung.
Beta-2 : bronkodilatasi dan stimulatasi dan stimulasi metabolisme glikogen
dan lemak.
1) Simpatomimetik Nonspesifik Langsung
Mekanisme : bekerja antagonis pada sistem saraf simpatik, aktivasi
adrenoseptor
2) Simpatomimetik Alfa Langsung
Penggunaan sistemik (nonselektif) : alfa-1 dan alfa-2
Penggunaan lokal (selektif) : alfa-1 atau alfa-2
3) Simpatomimetik Beta Langsung
Nonselektif :kerja pada beta-1 dan beta-2
Selektif beta 2
2. Simpatomimetik Tidak Langsung
Mekanisme : melepaskan noradrenalin dan atau menghambat penguraian atau
menghambat uptake noradrenalin.
3. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi
pembuluh darah, relaksasi GI, relaksasi otot kandung kemih, relaksasi uterus.
B. Antiadrenergik (Simpatolitik)
Simpatolitik Alfa
1) Simpatolitik alfa (alfa bloker) nonselektif
Derivat haloalkilamin
Mekanisme: bentuk basa->kehilangan gugus beta halogen -
>membentuk cincin etilenimonium->membentuk ion karbonium yang
sangat reaktif+gugus sulfidril, amino -> ikatan kovalen yang stabil
dangan adrenoseptor alfa.
Derivat imidazolin
Mekanisme : menghambat reseptor alfa, dan agonis reseptor
muskarinik
Derivat alkaloid ergot
Mekanisme : antagonis parsial pada reseptor alfa adrenergik, dopamin
dan serotonin.
2) Simpatolitik alfa-1 selektif
3) Simpatolitik alfa-2 selektif
Mekanisme : memblok reseptor alfa-2 pascasinaps, menyebabkan
peningkatan aktivitas neuron adrenergik sentral, meningkatkan pelepasan
NE dari ujung saraf adrenergik di perifer, akibatnya tekanan darah
meningkat.
Jenis Obat
1. Atropin
Sediaan : Cendotropine mengandung Atropina-sulfat 5mg/ml tts mata. In : Sebagai
medriatikum dan siklopentolat.
Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Hambatan oleh atropin bersifat
reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan
atau pemberian antikolineterase.
Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh
lebih kuat terhadap eksogen.
Kepekaann reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ. Pada
dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya atropin hanya menekan sekresi air liur,
mukus bronkus dan keringat, belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis yang
lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan
penghambatan N.vagus sehingga terlihat takikardi.
Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan
berlangsung lama sekali (7-12 hari), karena atropin sukar dieliminasi dari cairan
bola mata.
2. Pilokarpin
Sediaan : Miokar mengandung Pilokarpin HCL 10mg/ml. In: untuk pupil;
mengendalikan tekanan intraokular. Ds: dua tts, topikal pada mata sehari 3-4 kali
atau menurut petunjuk dokter.
Kerja obat agonis pada reseptor muskarinik.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
30. Fenobarbital
31. Nacl 0,9%
32. Triptofan SO4
33. Pilokarpin HCl
34. Kelinci 1 ekor
3.4 Prosedur Kerja
A. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva
20) Siapkan kelinci.
21) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat pada kelinci.
22) Disuntikkan pilokarpin HCl pada kelinci sebanyak 50mg/BB kelinci secara IM
23) Catat waktu saat kelinci memberikan efek saliva akibat pilokarpin HCl dan
tampung saliva yang di ekskresikan ke dalam beaker glass selama 5 menit dan
ukur volume yang ditampung.
25) Catat waktu pengamatan mulai timbul/efek saliva akibat triptofan SO4 dan
tampung saliva yang disekresikan pada beaker glass selama 5 menit.
Ukur volume saliva yang ditampung.
Pilokarpin HCl
Dosis Pilokarpin HCl 5mg/kg BB Kelinci
Pilokarpin HCl sediaan 2g/100ml
Jawab
Berat Kelinci = 1,859 kg
Dosis = 1,859kg X 5 mg/kg
=9,295 mg ~ 9,3 mg
9,3 mg
Volume = X 100ml
2000 mg
= 0,465 ml ~ 0,4 ml
Atropin SO4
Dosis Atropin SO4 0,25mg/kg BB Kelinci
Atropin SO4 sediaan 1g/100ml
Jawab
Berat Kelinci = 1,859 kg
Dosis = 1,859kg X 0,25 mg/kg
=0,465mg ~ 0,47 mg
0,47 mg
Volume = X 100ml
1000 mg
= 0,047 ml ~ 0,05 ml
BAB IV
Pilokarpin
5 ml
HCL(2)
Efek obat
sistem saraf 2,1 ml
Atropin SO4 (2)
otonom pada Volume
kelenjar saliva Pilokarpin HCl (3) saliva yang 1,5 ml
ditampung
Kelinci Atropin SO4 (3) 0.21 ml
selama 5
Pilokarpin HCl (4) menit (ml) 8,2 ml
Efek
Diamet
Perbedaan Bahan Obat 1 2 3 4 5 6
er Pupil
Mata
Cahaya
0,9cm 1cm 1cm 1cm 1,3cm 0,5cm
suram
Cahaya
0,8cm 0,8cm 0,7cm 0,8cm 0,9cm 0,4cm
Senter
Setelah
Pember
ian 0,6cm 0,7cm 0,6cm 0,5cm 0,6cm 0,6cm
Mata fisotig
Pilokarpin
Kanan min
HCl
Kelinci
Respon
Efek obat Berkedi
refleks berkedip berkedip berkedip berkedip kotoran
p
sistem
mata
saraf
otonom Setelah
pada mata pember
ian 0,7cm 0,7cm 0,7cm 0,7cm 0,9cm 0,4
atropin
S04
Cahaya
0,8cm 1cm 1cm 1cm 1,3cm 0,5cm
suram
Mata Cahaya
Atropin 0,7cm 0,8cm 0,8cm 0,8cm 0,7cm 0,4cm
Kiri Senter
SO4
Kelinci
Setelah
Pember 0,7cm 0,6cm 0,6cm 0,6cm 0,5cm 0,7cm
ian
Pilokar
pin
(cm)
Respon
refleks berke Berke
berkedip berkedip berkedip berkedip
mata dip dip
(cm)
Setelah
pember
ian
0,8cm 0,7cm 0,7cm 0,7cm 0,8cm 0,4cm
atropin
S04
(cm)
4.2 Pembahasan
Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat
kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem
syaraf otonom pada Kelinci. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf
tak sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara
otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum
tulang belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang
mengatur kegiatan organ-organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar
keringat, otot polos sistem pencernaan dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh
berbagai obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh
dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada
neoroefektor parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai
cara pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf
otonom. Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang
akan di gunakan dalam percobaan.
Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu Kelinci. Kelinci yang
telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan Kelinci ini dilakukan dengan meletakkan
seekor Kelinci yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang
menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui
perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang
memiliki berat badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda,
mengingat berat badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
pemberian jumlah dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal
yang berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali kelinci baik pada saat
pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan terhadap percobaan.
Selanjutnya kelinci disuntikkan obat kolinergik pilokarpin sebanyak 5 ml secara
intra muscular. Hasil yang diperoleh adalah ekskresi air liur dari kelinci sebanyak 1,5
ml selama 5 menit. Kelinci mengalami hipersalivasi setelah penyuntikan pilokarpin.
Setelah 5 menit penyuntikan pilokarpin, kelinci kembali disuntikkan obat atropine
sebanyak 0,05 ml. Diperoleh hasil berupa eksresi air liur kelinci sebanyak 0,01 ml.
Disuntikkan kelinci dengan Pilokarpin HCl secara IM selama 5 menit dan
terjadi pengeluaran air liur kelinci sebanyak 1,5 ml setelah penyuntikkan pilokarpin.
Hal ini membuktikan bahwa pemberian obat kolinergik pilokarpin dapat meningkatkan
kelenjar saliva kelinci untuk mengeluarkan air liur karena pilokarpin memberikan efek
muskarinik dan efek nikotinik. Pilokorpin dapat menyebabkan rangsangan terhadap
kelenjar ludah yang terjadi karena perangsangan langsung (efek muskarinik) dan
sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik). Sedangkan pemberian obat
atropine sulfat dapat menghambat eksresi kelenjar saliva dengan pengurangan
pengeluaran air liur kelinci sebanyak 0,01 ml. Atropin sulfat merupakan antikolinergik
golongan anti muskarinik yaitu golongan yang menyekat sinaps muskarinik saraf
parasimpatis secara selektif. Pada percobaan, atropin memperlihatkan efek hambatan
terhadap saraf parasimpatis dan rangsangan terhadap saraf simpatis yaitu mukosa mulut
kering (saliva berkurang).
Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik
dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar
dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem
saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika
diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu
obat simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Pilokarpin yang diberikan kepada kelinci bertujuan agar kelinci tersebut dapat
mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari
hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya,
senyawa ini ternyata sangat lemah.
Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik
yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan
kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik adalah
sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau
menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya
hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh kelinci menjadi lebih
banyak karena pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat
pada kelenjar saliva.
Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji
dengan diberikan pada kelinci untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada
sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik
atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja
memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum
dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur,
sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa
mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik
lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik
lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem
syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis
histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini
dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.
Selanjutnya pada praktikum, menggunakan obat tetes mata berupa pilokarpin
HCl dan Atropin SO4. Setiap kelinci diukur terlebih dahulu diameter mata kanan dan
kiri yaitu 0,7cm yang digunakan sebagai pembanding ketika telah ditetesi obat. Pada
kelinci, mata kanan dan kiri ditetesi pilokarpin sebanyak 3 tetes lalu ditutup masing-
masing kelopak mata selama 1 menit. Kemudian pada praktikum mengalami miosis
pada kedua mata. Semakin lama pupilnya semakin mengecil yaitu 0,4 cm. Hal ini
disebabkan karena pilokarpin merupakan obat kolinergik kerja langsung, yaitu kerja
obat ini berikatan dengan reseptor kolinergik pada mata. Lalu ditetesi Nacl 0,9% untuk
menetralkan mata kemudian kedua mata ditetesi Atropin SO4 sabanyak 3 tetes dan
masing-masing kelopak mata selama 1 menit. Dan terjadi perubahan diameter pupil
sebesar 0,3 cm pada mata kanan dan kiri. Pada praktikum ini hasil pengamatan yang
diperoleh tidak sesuai dengan litelatur, yang seharusnya diameter pupil pada kedua
mata kelinci lebih besar saat diteteskan oleh Atropin SO4 di bandingkan dengan
Pilokarpin HCl.
1. Kolinergik dan Antikolinergik pada kelenjar saliva pada obat Pilokarpin HCl
mengeluarkan saliva lebih banyak dibandingkan Atropin SO4.
2. Kolinergik dan Antikolinergik pada mata, diameter pupil mata saat ditetesi
Pilokarpin HCl lebih besar dibandingkan Atropin SO4
Daftar Pustaka
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum.
Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.
Gunawan, Sulistra Gan., dkk.20212. Farmakologi dan terapi. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
Struktur dasar anastetika lokal pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yakni
suatu gugus amio hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus-aromatis lipofil. Semakin panjang gugus
alkoholnya, semakin besar daya kerja anastetiknya, tetapi toksisitasnya juga meningkat.
(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007).
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium,
sehingga terjadidepolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Mekanisme utama aksianestetik lokal adalah memblokade “voltage-gated sodium
channels”. Membrane akson saraf,membrane otot jantung, dan badan sel saraf memiliki
potensial istirahat -90 hingga -60 mV.Selama eksitasi, lorong sodium terbuka, dan
secara cepat berdepolarisasi hingga tercapai potensial equilibrium sodium (+40 mV).
Akibat dari depolarisasi,, lorong sodium menutup(inaktif) dan lorong potassium
terbuka. Aliran sebelah luar dari repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium
potassium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi mngembalikan lorong sodiumke fase
istirahat. Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium. Fluks ionic
inisama halnya pada otot jantung, dan dan anestetik local memiliki efek yang sama di
dalam jaringan tersebut (Rochmawati dkk, 2009).
Fungsi sodium channel bisa diganggu oleh beberapa cara. Toksin biologi
seperti batrachotoxin, aconitine, veratridine, dan beberapa venom kalajengking
berikatan pada reseptor diantara lorong dan mencegah inaktivasi. Akibatnya terjadi
pemanjangan influx sodium melaluilorong dan depolarisasi dari potensial istirahat.
Tetrodotoxin (TTX) dan saxitoxin memblok lorong sodium dengn berikatan kepada
chanel reseptor di dekat permukan extracellular. Serabutsaraf secara signifikan
berpengaruh terhadap blockade obat anestesi local sesuai ukuran danderajat mielinisasi
saraf. Aplikasi langsung anestetik local pada akar saraf, serat B dan C yangkecil diblok
pertama, diikuti oleh sensasi lainnya, dan fungsi motorik yang terakhir
diblok (Rochmawati dkk, 2009)
a. Anestesi permukaan
Digunakan pada mukosa / permukaan luka Dari sana berdifusi ke organ akhir
sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada epidermis yang utuh (tidak terluka),
maka anestetik lokal hampir tidak berkhasiat karena anestetik lokal hampir tidak
menembus lapisan tanduk.
b. Anestesi infiltrasi
c. Anestesi konduksi
Disuntikkan di sekitar saraf tertentuyang dituju dan hantarn rangsang pada tempatini
diputuskan.Contoh :
anestesi spinal, dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesic local ke dalam ruang
sub-arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5 anestesi
peridural anestesi paravertebral.
Aliran darah ke dalam dan ke luar dihentikan dengan mengikat dengan bantuan
pengukur tekanan darah dan selanjutnya anestetik lokal yang disuntikkan berdifusi ke
luar dari vena danmenuju ke jaringan di sekitarnya dan dalam waktu 10-15 menit
menimbulkan anestesi.Pengosongan darah harus dipertahankan minimum 20-30 menit
untuk menghindari aliran ke luar,sejumlah besar anestetik lokal yang berpenetrasi, yang
belum ke jaringan. Pada akhir pengosongan darah, efek anestetik lokal menurun dalam
waktu beberapa menit (Rochmawatidkk, 2009).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
35. NaCl 0,9%
36. Lidokain HCl 2%
37. Lidokain HCl + Adrenalin
38. Kelinci 1 ekor
39. Mencit
30) Cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-5,
10, 15, 20, 30, 49,60.
31) Catat dan tabelkan pengamatan.
32) Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis Nacl 0,9% pada
kedua mata kelinci.
c. Jumlah respon refleks okuler negative dimulai dari menit ke-8 hingga menit
ke-60, jumlah ini menunjukkan angka regnier dimana efek anastetika lokal
dicapai pada angka regnier minimal 13 dan maksimal 800.
7) Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis Nacl 0,9% pada
mata kanan dan kiri kelinci.
8) Catat dan tabelkan pengamatan.
Percobaan 0 5 10 15 20 30 45 60
Percobaan 0 8 15 20 25 30 40 50 60
Percobaan Bahan 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60
Lidokain
+ - - - - - - + + + +
HCl 2%
Lidokain
Mata Kiri
HCL 2% + - - + + + + + + + +
Kelinci
+Adrenalin
+ + + + + + + + + +
Nacl 0,5% + + + + + + + + + +
+ + + + + + + + + +
Anastesi + + + + + + + - - -
lokal Lidokain
Mencit + - - - - - - - - -
metode HCl 2%
Konduksi + - - - - - - - - -
+ - + + + + + + + +
Lidokain
HCL 2%
+Adrenalin
4.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan percobaan efek anestesi menggunakan metode Anastesi
lokal yaitu Metode Permukaan, Metode Regnier, Metode Infiltrasi dan Metode Konduksi.
Obat yang dipergunakan adalah lidokain. Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang
kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi
lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh
prokain. Lidokain merupakan aminoetilamid. Lidokain dapat menghambat sinyal nyeri sel
saraf dengan mengeblok kanal Natrium dalam sel sehingga dapat menginaktivasi sel saraf.
Dan NaCl sebagai kontrol negative.
Percobaan kelompok 1 yaitu Anastesi Lokal Metode Permukaan dengan tetes mata
untuk mengetahui ada/tidaknya respon refleksi okuler pada mata kanan dan kiri pada menit
ke 0’,5’,10’,15’,20’,30’,45’,60’. Untuk mata kiri Lidokain HCl. Dari hasil data yang
diperoleh pada mata kiri yang diberi Lidokain HCl 2% pada mencit kel.1 saat kornea mata
dikenai aplikator pada menit ke-5 sampai menit ke-60 menujukkan tidak adanya refleksi
okuler dimana efek pada obat Lidokain HCl tidak bereaksi. Hal ini tidak sesuai dengean teori
karena lidokain mempunyai efek anestetika lokal dan mempunyai onset pada tetes mata 20
detik – 5menit serta durasi 5 - 30menit.
Dari hasil data yang diperoleh pada kelompok 3 Sedangkan Lidokain HCl pada menit
ke-0 sampai 20’ tetap memperoleh jumlah sentuhan 56 kemudian pada menit ke-25 efek obat
mulai berkurang sehingga jumlah sentuhan mulai berkurang. Pada kel.3 memperoleh total
angka regnier 108. Pada metode ini dengan menggunakan obat Lidokain HCl menentukan
bahwa Lidokain HCl dapat digunakan sebagai obat anastesi lokal yang dapat menghilangkan
rasa nyeri serat memberikan efek anastesi yang lebih cepat dan bertahan lama.
Pada kelompok 2,4, dan 6 menggunakan Metode Anastesi Lokal Metode Konduksi
untuk mengetahu ada/tidaknya Respon Haffer ( refleks mencit yang apabila ekornya dijepit,
maka terjadi respon angkat ekor/mencit bersuara) dan metode ini dilakukan secara IV. Obat
yang digunakan yaitu NaCl, Lidokain HCl dan Lidokain HCl+Adrenalin. Pada Obat NaCl
tidak memberikan efek/respon haffer karena NaCl tidak akan memberikan efek anastesi lokal
dan NaCl hanya sebagai Kontrol negative. Obat Lidokain HCl menimbulkan efek ke-10
sampai 25’ hanya selama 5 menit efek berkerja. Sedangkan pada Lidokain HCl + Adrenalin
memberikan efek pada menit ke-5 sampai 30’. Hal ini sesuai dengan litelatur bahwa obat
Lidokain HCl + Adrenalin memberikan efek kerja lama dibandingkan lidokain. Mekanisme
kerja Lidokain HCl akan masuk ke dalam sitoplasma dalam bentuk yang belum diubah.
Liodkain bekerja dengan menghambat kanal sodium sehingga menstabilkan membran
neuron. Akibatnya, tidak terjaid potensial aksial dan konduksi implus saraf menjadi
terganggu. Dan penambahan Adrenalin hanya untuk meningkatkan masa kerja obat agar
memberikan efek yang lama kerja.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Metode Anastesi Lokal Permukaan memberikan efek refleks okuler pada mata
dengan menggunakan obat Lidokain HCl.
2. Metode Anastesi Lokal Regnier mendapat Total angka regnier sebesar 458&408
pada obat Lidokain HCl.
3. Metode Anastesi Lokal Infiltrasi menimbulkan getaran otot punggung pada
kelinci pada obat Lidokain HCl dan Lidokain HCl+Adrenalin
4. Metode Anastesi Lokal Konduksi yaitu menimbulkan efek/respon haffner yang
lama pada obat Lidokain HCl + Adrenalin dibandingkan Lidokain HCl.
Daftar Pustaka