Anda di halaman 1dari 110

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Judul Praktikum : Handling Hewan Coba

1.2 Judul Percobaan


- Pengenalan Karakteristik dan Penanganan Hewan Coba
- Perhitungan Dosis dan Volume Obat pada Hewan Coba

1.3 Latar Belakang

Hewan coba atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan


yang khusus diternakkan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan laboratorium
tersebut digunakan sebagai mdel untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat
pada manusia. Penggunaan hewan percobaan terus berkembang hingga kini.
Kegunaan hewan percobaaan tersebut antara lain sebagai pengganti dari subyek
diinginkan, sebagai model, disamping itu di bidang farmasi juga digunakan sebagai
alat untuk mengukur besaran kualitas suatu obat sebelum diberikan kepada manusia.

Penggunaan hewan percobaan dalam penelitian ilmiah dibidang kedokteran


atau biomedis telah berjalan puluhan tahun yang lalu. Hewan sebagai model atau
sarana percobaan haruslah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain
persyaratan genetis atau keturunan dan lingkungan yang memadai dalam
pengelolaannya, disamping factor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu
memberikan reaksi biologis yang mirip kejadiannya pada manusia. (Tjay,T.H dan
Rahardja,K, 2002).

1.4 Tujuan
a. Untuk membentuk sikap mampu menangani hewan percobaan mencit untuk
percobaan farmakologi
b. Untuk mengenal Karakteristik dan penanganan dosis dan volume obat pada hewan
coba
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Hewan coba/hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium adalah hewan
yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik. Hewan percobaan
digunakan untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Peranan
hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun
yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional,
dalam rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki.
Deklarasi ini berisi tentang segi etik percobaan yang menggunakan manusia (1964)
antara lain dikatakan perlunya diakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di
bidang biomedis maupun riset lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia,
sehingga dengan demikian jelas hewan percobaan mempunyai mission di dalam
keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat manusia melalui suatu
penelitian biomedis (Sulaksono,1992:321).
Penanganan hewan percobaan hendaklah dilakukan dengan penuh rasa kasih sayang
dan berprikemanusiaan. Di dalam menilai efek farmakologis suatu senyawa bioaktif
dengan hewan percobaan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain
(Malole,1989:475)
1. Faktor internal pada hewan percobaan sendiri: umur, jenis kelamin, bobot badan, ke
adaan kesehatan, nutrisi, dan sifat genetik.
2. Faktor-faktor lain yaitu faktor lingkungan, keadaan kandang, suasana kandang,
populasi dalam kandang, keadaan ruang tempat pemeliharaan, pengalaman hewan
percobaan sebelumnya, suplai oksigen dalam ruang pemeliharaan, dan cara
pemeliharaan.
3. Keadaan faktor-faktor ini dapat merubah atau mempengaruhi respon hewan
percobaan terhadap senyawa bioaktif yang diujikan. Penanganan yang tidak wajar
terhadaphewan percobaan dapat mempengaruhi hasil percobaan, memberikan penyim
pangan hasil.
Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula
diketahui. Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-
beda dan ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya.
Kesalahan dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa
sakit bagi hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau
pengambilan darah, misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. (Katzung, B.G,
1989).

Karakteristik Hewan Coba

Mencit merupakan salah satu hewan pengerat dan mudah berkembang biak yang
memiliki karakteristik sebagai berikut :
A. Mencit (Mus musculus ).
Lama Hidup : 1- 2 tahun, bisa sampai 3 tahun
Lama Bunting : 19 -21 hari
Umur Disapih : 21 hari
Umur Dewasa : 35 hari
Siklus Kelamin : poliestrus
Siklus Estrus : 4-5 hari
Lama Estrus : 12-24 jam
Berat Dewasa : 20-40 g jantan;18-35 g betina
Berat Lahir : 0,5-1,0 gram
Jumlah anak : rata-rata 6, bisa 15
Suhu ( rektal ) : 35-39˚C( rata-rata 37,4˚C )
Perkawinan Kelompok: 4 betina dengan 1 jantan
Aktivitas : Nokturnal (malam)
Sifat-sifat mencit :
1. pembauannya sangat peka yang memiliki fungsi untuk mendeteksi akan, deteksi
predator dandeteksi signal (feromon).
2. penglihatan jelek karena sel konus sedikit sehingga tidak dapat melihat warna.
3. Sistem sosial: berkelompok
4. Tingkah laku:
* jantan dewasa + jantan dewasa akan berkelahi
* Betina dewasa + jantan dewasa damai
* Betina dewasa + betina dewasa damai
B. Tikus putih (Rattus norvegicus)
Lama hidup : 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun.
Lama Bunting : 20-22 hari.
Kawin sesudah beranak : 1 sampai 24 jam.
Umur disapih : 21 hari.
Umur dewasa : 40-60 hari.
Umur dikawinkan : 10 minggu (jantan dan betina).
Siklus estrus (birahi) : 4-5 hari.
Lama estrus : 9-20 jam.
Perkawinan : Pada waktu estrus.
Ovulasi : 8-11 jam sesudah timbul estrus.
Jumlah anak : Rata-rata 9-20.
Perkawinan kelompok: 3 betina dengan 1 jantan

C. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)


Masa hidup : 5 - 10 tahun
Masa produksi : 1 - 3 tahun
Masa bunting : 28-35 hari (rata-rata 29 - 31 hari)
Masa penyapihan : 6-8 minggu
Umur dewasa : 4-10 bulan
Umur dikawinkan : 6-12 bulan
Siklus kelamin : Poliestrus dalam setahun 5 kali hamil
Siklus berahi : Sekitar 2 minggu
Ovulasi : Terjadi kawin (9 - 13 jam kemudian)
Fertilitas : 1 - 2 jam sesudah kawin
Jumlah kelahiran : 4 - 10 ekor (rata-rata -8)
Volume darah : 40 ml/kg berat badan
Bobot dewasa : tergantung pada ras, jenis kelamin.
Definisi obat adalah suatu zat yang digunakan unutk diagnose, pengobatan,
melunakkan, penyembuhan, atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada
hewan. Obat bisa bersifat menyembuhkan, tetapi juga bisa bersifat racun. Obat
bertindak sebagai penyembuh jika digunakan dengan dosis dan waktu yang tepat dan
bila digunakan dalam pengobatan atau dengan kelebihan dosis akan menimbulkan
keracunan. Jika dosisnya kecil maka tidak diperoleh efek penyembuhan (Anief,
2007).
Perencanaan pembuatan dosis ini dapat ditentukan dengan menghitung volume
dan ministrasi obat (VOA) dalam ml dengan rumus berat badan dalam kilogram dikali
dengan dosis obat dalam mg per kilogram berat badan lalu dibagi dengan konsentrasi
obat dalam mg per ml. (Susanty, dkk, 2013).

Tabel 1.1 Ukuran dan alat yang digunakan untuk pemberian obat pada hewan percobaan.
Hewan IV IP SC IM Oral
Jarum Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
Mencit 27,5 g 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
1/2inci ¼ inci ¼ inci ¾ inci 2 inci
Jarum Jarum Jarum Ujung tumpul
Jarum
Tikus 25 g 25 g 25 g 15 g/16 g
25 g
1 inci 1 inci 1 inci 2 inci
Jarum Jarum Jarum Jarum
Kateter karet
Kelinci 25 g 21 g 25 g 25 g
no. 9
1 inci 1¼ inci 1 inci 1 inci
Jarum Jarum Jarum
Marmut - 25 g 25 g 25 g -
1 inci 1 inci ¾ inci
Jarum Jarum Jarum
Kucing - 21 g 25 g 25 g -
1½ inci 1 inci 1 inci
Tabel 1.2 Konversi perhitungan dosis untuk berbagai jenis hewan dan manusia.
Hewan Mencit Tikus Marmut Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
Percobaan 20 g 200 g 400 g 1,5 kg 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
Mencit
1,0 7,0 12,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,9
20 g
Tikus
0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0
200 g
Marmut
0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
400 g
Kelinci
0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
1,5 kg
Kucing
0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,2
2 kg
Kera
0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1
4 kg
Anjing
0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1
12 kg
Manusia
0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0
70 kg

Tabel 1.3 Volume maksimum larutan/padatan yang dapat diberikan pada hewan
Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian
Hewan
IV IM IP SC PO
Mencit 20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0
Tikus (100 g) 1,0 0,1 2-5,0 0,5-5,0 5,0
Hamster (50 g) - 0,1 1-2,0 2,5 2,5
Marmut (250 g) - 0,25 2-5,0 5,0 10,0
Merpati (300 g) 2,0 0,5 2,0 2,0 10,0
Kelinci (2,5 kg) 5-10,0 0,5 10-20,0 5-10,0 20,0
Kucing (3 kg) 5-10,0 1,0 10-20,0 5-10,0 50,0
Anjing (5 kg) 10-20,0 5,0 20-50,0 10,0 100,0
(Harmita,2008: 67)
Macam-macam Rute Pemberian Obat

Rute penggunaan obat dapat diperlihatkan sebagai berikut:


No. Cara Pemberian Letak masuk dan jalan absorpsi obat
1. Per oral Melalui mulut masuk saluram intestinal (lambung),
penyerapan obat melalui membran mukosa pada lambung
dan usus memberi efek sistemik
2. Subkutan Rute pemberian secara subkutan adalah rute pemberian
obat melalui bawah kulit. Jarum suntik yang digunakan
pada rute pemberian ini adalah jarum suntik yang
ujungnya runjing, hal ini dilakukan agar jarum suntik
dapat menembus kulit.
3 Intravena Pemberian obat dengan cara memasukkan obat melalui
pembuluh darah vena secara langsung. Pembuluh darah
vena yang dapat digunakan diantaranya vena mediana
cubiti/cephalika/basilica (lengan), vena saphenous
(tungkai), vena jugularis (leher), vena frontalis/temporalis
(kepala).
4. Intramuskular Intra muskular (IM) adalah penyuntikan yang dilakukan ke
dalam jaringan otot. Pada percobaan pada mencit ini
penyuntikan dilakukan di pangkal paha bagian dalam
karena di tempat tersebut terdapat banyak jaringan otot
mencit dan tidak terdapat banyak pembuluh darah dan
syaraf.
5. Intraperitoneal Pemberian obat dilakukan dengan cara menyuntikkan
pada daerah abdomen sampai agak menepi dari garis
tengah. Posisi jarum suntik sepuluh derajat dari abdomen
berlawanan arah dengan kepala (arah jarum ke bagian
perut). Jarum disuntikkan dari abdomen yaitu, pada daerah
yang menepi dari garis tengah, agar jarum suntik tidak
terkena kandung kemih dan tidak terlalu tinggi supaya
tidak terkena penyuntikan pada hati.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


1. Kawat kandang
2. Alat suntik & Jarum Suntik
3. Sonde
4. Timbangan hewan
5. Wadah dan tempat pengamatan
6. Koran
7. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
8. Sarung tangan & Masker
9. Beaker Glass

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Aquadest
2. Menit 6 ekor

3.3 Perhitungan Dosis Obat

1. Diketahui : Dosis phenobarbital 100mg/kg bb (70kg) manusia


Ditanya : Dosis phenobarbital pada tikus 250 gram?
Jawab
Konversi manusia tikus (250 gram) = 0,018
Maka dosis phenobarbital pada tikus gram
= 0,018 x 100 mg
= 1,8 mg
2. Diketahui : Dosis phenobarbital pada tikus 200 gram = 2 gram
Ditanya : Dosis phenobarbital pada mencit 25 gram?
Jawab
Konversi tikus mencit (20 kg) = 0,14
Maka dosis phenobarbital pada mencit 25 g
= 0,14 x 2 mg
= 0,28 mg

3.3 Prosedur Kerja

1. Persiapan Hewan
a) Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada
kawat kasa kandang.
b) Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari
telunjuk dan ibu jari tangan kiri.
c) Ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu
dapat dipegang dengan sempurna.
d) Mencit siap untuk diberikan perlakuan.

2. Cara pemberian secara oral.


a. Ambil mencit
b. Siapkan Sonde oral
c. Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang pada alat suntik
berisi Phenobarbital, diselipkan dekat langit – langit tikus dan diluncurkan masuk
ke esofagus. Larutan diberikan dengan menekan spuit pendorong sambil badan
spuit ditahan agar ujung jarum oral tidak melukai esofagus.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada praktikum kali ini, mempraktikkan tentang cara - cara penanganan hewan
percobaan dengan benar. Hewan percobaan untuk praktikum farmakologi ini ada berbagai
jenis, di antaranya ada kelinci, marmut, katak, tikus dan mencit. Namun karena hewan yg
paling banyak di gunakan dalam percobaan di laboratorium adalah mencit, maka hewan
itulah yang digunakan dalam praktikum ini.
Mencit adalah hewan percobaan yang sering dan banyak digunakan di dalam
laboratorium farmakologi dalam berbagai bentuk percobaan. Hewan ini mudah ditangani
dan bersifat penakut fotofobik, cenderung berkumpul sesamanya dan bersembunyi.
Aktivitasnya di malam hari lebih aktif. Kehadiran manusia akan mengurangi aktivitasnya.
Cara penanganan hewan percobaan ini pun berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya
hewan. Pada saat praktikum kita tidak boleh membuat mencit dan tikus tersebut depresi /
stres, karena mereka akan lebih agresif bila sedang merasa terganggu. Dan bila mereka
merasa stres, maka mereka dapat memberontak atau malah dapat menggigit tangan kita
hingga terluka. Kita harus membuat mereka nyaman sehingga kita mudah untuk melakukan
pengamatan. Kita juga harus belajar cara memegang mencit yg baik.
Mula-mula hewan coba Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki
depan terpaut pada kawat kasa kandang. Kulit kepala dipegang sejajar dengan telinga
hewan coba dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari tangan kiri. Ekor dijepit dari
pada jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang dengan sempurna.
Cara memegang mencit yang baik adalah letakkan mencit di kawat atau permukaan yg
kasar tujuannya agar mencit bisa mencengkram bagian kawat kemudian pegang ekornya
menggunakan tangan kiri, kemudian tarik sebagian kulit punggung dari mencit lalu
balikkan badannya sehingga wajahnya menghadap ke kita.
Sebelum diberi perlakuan, dilakukan perhitungan dosis obat terlebih dahulu dengan caa
melihat table konversi untuk hewan coba (Mencit), sehingga dapat diperoleh dosis yang
tepat untuk hewan percobaan tersebut. Kemudian untuk mengetahui volume obat yang
diperlukan dapat dihitung dengan cara mengalihkan jumlah dosis obat dengan jumlah
hewan coba dan ditambahkan dengan pembawa. Dalam hal ini hitung dosis dan volume
pemberian obat dengan tepat. Karena obat bisa bersifat menyembuhkan, tetapi juga bisa
bersifat racun. Obat bertindak sebagai penyembuh jika digunakan dengan dosis dan waktu
yang tepat dan bila digunakan dalam pengobatan atau dengan kelebihan dosis akan
menimbulkan keracunan. Jika dosisnya kecil maka tidak diperoleh efek penyembuhan.
Hewan coba siap untuk diberikan perlakuan. Tetapi dalam percobaan ini kita hanya
menggunakan aquadest tidak menggunakan obat.
Metode yang dilakukan dalam penanganan hewan coba mencit yaitu secara Per oral.
Mencit diletakkan di atas ram kawat, ekor ditarik. Jarum suntik yang sudah disolder
dimasukkan ke dalam mulut mencit namun harus diperhatikan proses masuknya jarum agar
tidak melukai organ dalam mencit. Setelah selesai, tarik kembali jarum tersebut secara
perlahan.
Kemudian hal-hal yg harus di perhatikan bila ingin memegang hewan-hewan percobaan
ini adalah harus menggunakan sarung tangan dan masker. Tujuan menggunakan sarung
tangan adalah untuk mengurangi kontaminasi langsung dengan mencitnya. Karena
ditakutkan adanya bakteri pada tubuh hewan tersebut, kemudian untuk menjaga agar bila
mencitnya menggigit tidak langsung terkena kulit tangan kita, akan tetapi terkena sarung
tangannya lebih dahulu.
Kita harus mempelajari cara-cara menangani dan memegang hewan-hewan percobaan
ini agar mempermudah untuk pemberian obat pada praktikum-praktikum selanjutnya.
Setelah melakukan praktikum tersebut, praktikan wajib membersihkan tangan dengan
antibakteri (hand sanitizer) atau langsung mencuci tangan dengan sabun. Agar kuman atau
bakteri yang ada pada mencit dan tikus tidak masuk ke dalam tubuh.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum kali ini adalah :

1. Mencit adalah hewan yang secara fisiologi hampir menyerupai dengan manusia
dan hewan mamalia lainnya sehingga memungkinkan untuk dijadikan hewan
percobaan.
2. Pemberian perlakuan pada hewan coba mencit dilakukan mula-mula dengan
cara handling yang benar kemudian diberikan perlakuan sesuai prosedur yang
ditentukan.
3. Menghitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat.
Daftar Pustaka

- Anief, Moh. 2007. Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
- Susanti, Adriani, Nofri Hendri Sandi, Wewen Sista M. 2013. Pengaruh Ekstrak
Etanol Daun Tampak Badak ( Vacanga foetida (BI.) K Schum) Terhadap Klirens
Kreatinin Mencit putih ( Mus Musculus L.) Jantan. 2013. Jurnal Penelitian
Farmasi Indonesia I (2) Maret : 52-56.

- Malole, M.M.B, Pramono. 1989. Penggunaan Hewan – Hewan Percobaan


Laboratorium. Bogor : IPB. DitJen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas
Bioteknologi.
- Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.
BAB I
PENDAHULUAN

1.5 Judul Praktikum : Rute Obat

1.6 Judul Percobaan


- Pengaruh Rute Pemberian terhadap Obat Sedatif Hipnotik

1.7 Latar Belakang


Dalam perkembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang kesehatan, berbagai
produk kesehatan mulai di buat sedemikian rupa sehingga dapat memaksimalkan fungsi
dan perannya dalam kesehatan. Hal ini juga berdampak pada perkembangan obat dan
cara penggunaan obat. Sebagai seorang farmasis, sudah seharusnya mengetahui hal-hal
yang berkaitan dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik,
farmakokinetik, dan juga dari segi farmakologi.
Namun hal lain yang tidak kalah penting adalah rute pemberian obat, hal ini
dimaksudkan untuk memaksimalkan efek obat yang akan digunakan. Selain itu dengan
memahami rute pemberian obat seoran\g farmasis dapat menentukan cara tebaik yang
dapat di gunakan untuk pemberian obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien
apakah menggunakan obat peroral, parenteral, tropical, vaginal atau dengan cara lain
yang dianggap dapat memberikan hasil maksimal.
Abrobsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian kedalam
darah. Bergantungpada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. (Farmakologi dan
Terapi edisi revisi 5, 2007)

1.8 Tujuan
1. Mengenal cara-cara pemberian obat melalui berbagai rute pemberian obat.
2. Menyadari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang timbul.
3. Mampu memberikan obat secara peroral dan parenteral dengan dosis yang sesuai
pada mencit atau tikus.
4. Mampu menerangkan perbedaan efek obat pada mencit atau tikus akibat pemberian
Oral, IV, IM,IP dan SK.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori

Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan
biokimia yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda
karena jumlah suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang
terdapat di lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat
yang dapat mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung
dari rute pemberian obat (Katzug, B.G, 1989).

Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur)
dan parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuscular, subkutan, dan
intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian
secara parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan
intraseberal, tidak melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran
darah dan kemudian menuju sisi reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain
adalah inhalasi melalui hidung dan secara setempat melalui kulit atau mata. Proses
penyerapan dasar penting dalam menentukan aktifitas farmakologis obat. Kegagalan
atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan memperngaruhi aktifitas obat dan
menyebabkan kegagalan pengobatan. (Siswandono dan Soekardjo, B., 1995).

Cara memegang hewan serta cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui.
Cara memegang hewan dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan
ditentukan oleh sifat hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan
dalam caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi
hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan darah,
misalnya) dan juga bagi orang yang memegangnya. (Katzung, B.G, 1989).
Ketepatan cara pemberian obat bisa menjadi faktor penentu keberhasilan suatu
pengobatan, karena cepat lambatnya obat sampai ditempat kerjanya (site of action)
sangat tergantung pada cara pemberian obat. Cara pemberian obat sangat berpengaruh
terhadap onset dan durasi obat.

Onset adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk menimbulkan efek. Onset
dihitung mulai saat pemberian obat hingga munculnya efek pada pasien atau hewan
percobaan. Durasi adalah lamanya obat bekerja di dalam tubuh. Durasi dapat diamati
mulai saat munculnya efek hingga hilangnya efek pada pasien atau hewan percobaan.
Onset terkait dengan kecepatan absorbsi di mana semakin cepat waktu onset, maka
semakin cepat pula proses absorbsi obat. Hal ini karena transfer obat dari tempat
pemberian telah mengikuti aliran darah dan mencapai sel target hingga timbul efek.
Sedangkan durasi berhubungan dengan metabolisme obat. Semakin cepat durasi obat,
maka semakin cepat obat tersebut dimetabolisme yang ditandai dengan hilangnya efek
obat karena sebagian obat telah tereliminasi.

Macam-macam rute pemberian obat


1. Intravena
Intravena (IV) (Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena,
“onset of action” cepat, efisien, bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang
menyebabkan iritasi kalau diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus
kontinu untuk obat yang waktu-paruhnya (t1/2) pendek).
Intravena (i.v), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Larutan dalam
volume kecil (di bawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan
volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris.
a. Tidak ada fase absorpsi, obat langsung masuk ke dalam vena, onset of
action segera.
b. Obat bekerja paling efisien, bioavilabilitas 100%
c. Obat harus berada dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak
tidak boleh lebih besar dari ukuran partikel eritrosit, sediaan suspensi
tidak banyak terpengaruh
d. Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat, sehingga sel-sel darah
tidak banyak berpengaruh.
e. Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh darah, sehingga
menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol.
f. Sediaan yang diberikan umumnya sediaan sejati.
g. Adanya partikel dapat menyebabkan emboli.
h. Pada pemberian dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus
bebas pirogen.
Keuntungan rute ini adalah:
a. Jenis-jenis cairan yang disuntikkan lebih banyak dan bahkan bahan
tambahan banyak digunakan IV daripada melalui SC
b. Cairan volume besar dapat disuntikkan relatif lebih cepat
c. Efek sistemik dapat segera dicapai
d. Level darah dari obat yang terus-menerus disiapkan
e. Kebangkitan secara langsung untuk membuka vena untuk pemberian
obat rutin dan menggunakan dalam situasi darurat disiapkan.
Kerugiannya adalah meliputi:
a. Gangguan kardiovaskuler dan pulmonar dari peningkatan volume
cairan dalam sistem sirkulasi mengikuti pemberian cepat volume cairan
dalam jumlah besar
b. Perkembangan potensial thrombophlebitis
c. Kemungkinan infeksi lokal atau sistemik dari kontaminasi larutan atau
teknik injeksi septik, dan
d. Pembatasan cairan berair.

2. Intramuskular
Intramuskular (IM) (“Onset of action” bervariasi, berupa larutan dalam air
yang lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan
juga obat dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan
obat yang sangat tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi:
semakin kecil partikel, semakin cepat proses absorpsi).
 Intramuskular (i.m), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya
di otot pantat atau paha.
 Sediaan dalam bentuk larutan lebih cepat diabsorpsi daripada susupensi
pembawa air untuk minyak.
 Larutan sebaiknya isotonis.
 Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel
 Sediaan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
 Zat aktif bekerja lambat (preparat depo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan.
 Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat disuntikkan
kedalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke
dalam otot-otot lain.

3. Subkutan
Subkutan (SC) (“Onset of action” lebih cepat daripada sediaan suspensi,
determinan dari kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan dimana terjadi
penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal sehingga difusi
obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat dengan menambahkan
hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida dari matriks
jaringan) (Joenoes, 2002).
Subkutan atau di bawah kulit (s.c) yaitu disuntikkan kedalam tubuh melalui
bagian yang sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit;
volume yang diberikan tidak lebih dari 1 ml.
 Larutan sebaiknya isotonis dan isohidris
 Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapt menimbulkan rasa
nyeri atau nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal.
 Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih cepat dari pada
sediaan suspensi.
 Determinan kecepatan absorpsi ialah total luas permukaan tempat
terjadinya penyerapan.
 Bila ada infeksi, maka bahayanya lebih besar dari pada penyuntikkan ke
dalam pembuluh darah karena pada pemberian subkutan mikroba
menetap di jaringan dan membentuk abses.
 Zat aktif bekerja lebih lambat dari pada secara i.v
 Pemberian s.c dalam jumlah besar dikenal dengan nama
Hipodermoklise.
4. Intraperitonial
Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada manusia karena bahaya
(Anonim, 1995).Disini obat langsung masuk ke pembuluh darah sehingga efek
yang dihasilkan lebih cepat dibandingkan intramuscular dan subkutan karena
obat di metabolisme serempak sehingga durasinya agak cepat.
5. Per Oral
Pemberian obat yang rutenya melalui saluran pencernaan dan pemberian
melalui mulut. Cara ini merupakan cara pemberian obat yang paling umum
karena mudah digunakan, relatif aman, murah dan praktis (dapat dilakukan
sendiri tanpa keahlian dan alat khusus). Kerugian dari pemberian obat secara
peroral adalah efeknya lama, mengiritasi saluran pencernaan, absorpsi obat
tidak teratur, tidak 100% obat diserap. Tidak diserapnya obat secara 100%
dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
 Jumlah makanan dalam lambung
 Kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam lambung atau enzim
gastrointestinal, misalnya insulin yang harus diberikan secara peroral akan
dirusak oleh enzim proteolitik dari saluran gastrointestinal
 Pada keadaan pasien muntah-muntah sehingga obat tidak dapat diabsorpsi
 Dikehendaki kerja awal yang cepat
 Ketersediaan hayati yaitu persentase obat yang diabsorpsi tubuh dari suatu
dosis yang diberikan dan tersedia untuk memberi efek terapeutik
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam
darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna (mulut sampai dengan rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Cara pemberian
obat yang berbeda-beda melibatkan proses absorbsi obat yang berbeda-beda pula.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses absorbsi akan mempengaruhi efek obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
Masing-masing cara pemberian ini mempunyai keuntungan dan manfaat
tertentu. Suatu senyawa obat mungkin efektif bila diberikan dengan cara lain.
Perbedaan ini salah satunya disebabkan oleh adanya perbedaan dalam hal kecepatan
absorbsi dari berbagai cara pemberian, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap
efek dan aktivitas farmakologinya.
Waktu yang diperlukan suatu obat mulai dari diberikan sampai menimbulkan efek
meliputi:
a. Onset
Adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat diberikan sampai dengan obat
menimbulkan efek.
b. Durasi
Adalah waktu yang diperlukan mulai dari obat menimbulkan efek sampai d
engan obat tersebut tidak berefek lagi.

(Tim Farmakologi-Toksikologi, 2015)


BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


10. Kawat kandang
11. Alat suntik & Jarum Suntik
12. Sonde
13. Timbangan hewan
14. Wadah dan tempat pengamatan
15. Stopwatch
16. Spidol
17. Koran
18. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
19. Sarung tangan & Masker
20. Beaker Glass

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
3. Alkohol
4. Phenobarbital 200mg/2ml
5. Menit 5 ekor
3.3 Perhitungan Dosis Obat

Dosis phenobarbital 100mg/70kg BB manusia

Phenobarbital sediaan 200 mg/2ml

Konversi manusia mencit (20 gram) : 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg

A. Mencit rute Oral (28 gram)

26 gram
x 0,0026 mg = 0,18 mg
20 gram

0,18 mg
x 2 ml = 0,0072 ml
5 mg

Volume Penyuntikan 0,0072 ml x 10 = 0,064 ml

B. Mencit rute Intra Vena (26 gram)


26 gram
x 0,013 mg = 0,016 mg
20 gram

0,016 𝑚𝑔
x 2 ml = 0,0064 ml
5 𝑚𝑔

Volume Penyuntikan 0,0064 ml x 10 = 0,064 ml

C. Mencit rute Intra Muscular (26 gram)

26 gram
x 0,013 mg = 0,016 mg
20 gram

0,016 𝑚𝑔
x 2 ml = 0,0064 ml
5 𝑚𝑔

Volume Penyuntikan 0,0064 ml x 10 = 0,064 ml

D. Mencit rute Intra Peritoneal (26 gram)


26 gram
x 0,013 mg = 0,016 mg
20 gram
0,016 𝑚𝑔
x 2 ml = 0,0064 ml
5 𝑚𝑔
Volume Penyuntikan 0,0064 ml x 10 = 0,064 ml
E. Mencit rute SubKutan (28 gram)
28 gram
x 0,0013 mg = 0,018 mg
20 gram
0,018mg
x 2 ml = 0,0071 ml
5 mg
Volume Penyuntikan 0,0071 ml x 10 = 0,0072 ml
3.4 Prosedur Kerja

1) Pemberian secara oral


d. Ambil mencit
e. Siapkan Sonde oral
f. Tikus dipegang pada tengkuknya, jarum sonde yang telah dipasang
pada alat suntik berisi Phenobarbital, diselipkan dekat langit – langit
tikus dan diluncurkan masuk ke esofagus. Larutan diberikan dengan
menekan spuit pendorong sambil badan spuit ditahan agar ujung jarum
oral tidak melukai esofagus.
g. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya
2) Pemberian secara Intraperintonial (IP)
a. Ambil mencit
b. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
c. Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen
lebih tinggi dari kepala, obat Phenobarbital disuntikkan pada bagian
perut sebalah kanan bawah tepat dibawah jantung diatas rongga hati.
d. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya
3) Pemberian secara Intramuscular (IM)
a. Ambil mencit
b. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
c. Suntikkan pada bagian paha mencit
d. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya
4) Pemberian secara subkutan
a. Ambil mencit
b. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
c. Lalu suntikkan dilakukan dibawah kulit tengkuk
d. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya
5) Pemberian secara Intravena (IV)
a. Ambil mencit
b. Siapkan alat suntik lengkap dengan jarum suntik yang berisi obat
c. Tikus dimasukkan ke dalam alat khusus yang memungkinkan ekornya
keluar sebelum disuntikkan. Sebaiknya pembuluh balik vena pada ekor
didilatasi dengan penghangatan atau pengolesan memakai pelarut
organik seperti alkohol. Penyuntikkan dimulai dari bagian distal ekor.
d. Amati kelakuan mencit dan catat waktunya.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan
Pengamatan

Waktu Waktu Onset Durasi


Waktu
Hewan Obat Dosis Rute Pemberian hilang kembali Kerja Kerja
Righting Righting Obat Obat
Obat (menit) (menit)
Reflex Reflex
(menit)
(menit) (menit)

100mg/70kg 15.35 15.41 15.55 6 14


Mencit Phenobarbital PO
BB manusia 15.00 15.09 15.19 9 10

100mg/70kg 15.18 15.50 16.07 32 57


Mencit Phenobarbital SC
BB manusia 14.35 14.56 18.02 21 6

100mg/70kg 15.29 15.44 16.04 15 20


Mencit Phenobarbital IV
BB manusia 14.40 14.42 15.45 2 31

100mg/70kg 15.06 15.27 15.37 21 25


Mencit Phenobarbital IP
BB manusia 15.38 15.50 16.02 12 12

100mg/70kg 15.16 15.33 16.13 17 40


Mencit Phenobarbital IM
BB manusia 15.32 15.37 15.59 15 22

4.2 Pembahasan

Pada praktikum kali ini mempelajari tentang rute-rute pemberian obat


dan pengaruh cara pemberian obat terhadap absorpsi obat dalam tubuh. Masing-
masing cara pemberian memiliki keuntungan dan manfaat tertentu. Suatu senyawa
obat mungkin efektif jika diberikan dengan cara tertentu namun kurang efektif dengan
cara lain karena faktor sifat fisikakimia obat dan kondisi biologis tubuh. Perbedaan ini
akan berpengaruh pada kecepatan absorbsi yang berpengaruh pula pada efektifitas
obat.

Phenobarbital yang merupakan golongan barbiturat, yang memiliki efek


hipnotik-sedativa, jadi obat dinyatakan mengalami absorbsi dan menimbulkan efek
tercepat bila mencit tertidur secara pulas yang ditandai dengan hilangnya reflek balik
badan. Phenobarbital secara selektif menekan neuron abnormal menghambat
penyebaran dan menekan firing ( rangsangan depolarisasi ) dari neuron focus.
Phenobarbital bekerja pada reseptor GABA sehingga menyebabkan inhibisi sinaptik
hal tersebutlah yang menyebabkan adanya efek terangkatnya ambang kejang.
Phenobarbital juga dapat menghambat saluran kalsium (Cl),
mengakibatkan penurunan pengeluaran transmitter yang memiliki fungsi untuk
merangsang. Selain itu juga menyekat respon eksi tatorik yang diinduksi oleh
glutamate, terutama yang diprakasi oleh aktivitas reseptor AMPA.

Pada percobaan ini mencit diberikan penomoran sehingga dapat memberikan


kemudahan untuk mengetahui perbedaan hewan satu dengan yang lainnya, dapat
menggunakan dengan spidol permanen. Metode yang dipakai untuk mengetahui
pengaruh absorbsi obat yang diberikan pada mencit yaitu peroral, intravena,
intraperintonial, intramuskular,dan subkutan.
Dari hasil pengamatan kelompok II diperoleh onset yang sedikit berbeda. Onset
merupakan waktu mulai timbulnya efek setelah pemberian obat. Hasil pengamatan data
kelompok II, urutan kecepatan waktu onset adalah IV-IM-PO-IP-SC sedangkan pada
literatur dijelaskan bahwa onset paling cepat adalah IV-IP-IM-SC-PO. Kesalahan
terjadi pada injeksi intravena yang seharusnya memiliki waktu tercepat karena langsung
ke pembuluh darah yang tidak mengalami fase absorpsi sedangkan Intra peritoneal
yaitu Obat disuntikkan dalam rongga peritonium yang mengalami absorpsi dengan
cepat karena dalam rongga peritonium banyak mengandung pembuluh darah, sehingga
reaksi obat akan cepat terlihat. dan urutan selanjutnya sesuai dengan litelatur yag ada.
Selain itu sudah jelas diketahui bahwa pemberian obat secara :
a. intra vena tidak mengalami proses absorbsi, melainkan langsung masuk ke
pembuluh darah.
b. Intra peritonial “Onset of action” bervariasi, mengandung banyak pembuluh darah
sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
c. Intra muscular mengandung lapisan lemak yang cukup kecil sehingga obat akan
terhalang oleh lemak sebelum terabasorbsi.
d. Subkutan mengandung lemak yang cukup banyak.
e. Peroral disini obat akan mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor
karena melalui saluran cerna yang memiliki banyak factor penghambat seperti
protein plasma.
Kesalahan hasil percobaan ini dikarenakan antara lain :

· Mekanisme injeksi yang kurang benar. Hal ini dikarenakan setiap hewan uji
diperlakukan oleh praktikan yang berbeda-beda dengan skill
· Injeksi yang salah sehingga dapat mengakibatkan obat terakumulasi dalam jaringan
yang salah sehingga absorbsi dan distribusi obat menjadi berbeda dari
yangseharusnya. Injeksi yang salah juga bisa mengakibatkan dosis obat yang masuk
tidak sesuai dengan yang diharapkan atau bahkan obat tidak masuk ke sirkualsi
sistemik.
· Tingkat resistensi dari hewan percobaan yang berbeda-beda.

Hewan percobaan yang lebih resisten tentu mengakibatkan onset dan durasi obat menjadi
lebih cepat dari pada seharusnya atau tidak timbul efek pada hewan percobaan walaupun
diberikan injeksi sesuai dosis yang telah ditentukan.

Sedangkan pada pengamatan durasi kerja obat. Durasi adalah waktu lamanya
efek sampai efek obat tersebut hilang.Berdasarkan litelatur durasi paling cepat adalah
peroral, intravena, intraperitonial, intramuscular, subkutan.
Dari hasil pengamatan kelompok 2 urutan cepat yang dihasilkan adalah SC-PO-
IP-IM-IV
Hal ini terjadi karena :
SC yang seharusnya paling lama menjadi paling cepa, karena sc terdapat lapisan
lemak yang paling banyak sehingga durasi lebih lama dibanding IM
Durasi paling lama dari cara pemberian adalah subkutan, hal ini karena dibawah kulit
terdapat banyak lemak, sehingga Phenobarbital yang bersifat lipofil akan mudah
berikatan dengan lemak dan menyebabkan obat tersimpan lebih lama dalam jaringan.
Dari pengamatan yang dilakukan didapatkan fakta bahwa mencit yang telah
kehilangan reflek balik badan, kadang bangun dan melanjutkan aktivitasnya namun
kemudian tidur kembali. Hal inilah yang disebut dengan proses redistribusi obat dalam
tubuh, yaitu proses dimana obat dari tempat kerjanya menuju ke jaringan – jaringan
yang lain merupakan salah satu faktor yang dapat menghentikan kerja obat.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum diatas dapat disimpulkan bahwa cara pemberian dapat
mempengaruhi absorbsi suatu obat. Pada pemberian obat secara oral lebih lama
menunjukkan onset of action dibanding secara Intravena, hal ini dikarenakan Intravena
tidak mengalami fase absorpsi tapi langsung ke dalam pembuluh darah. Sementara
pemberian secara oral, obat akan mengalami absorpsi terlebih dahulu lalu setelah itu
masuk ke pembuluh darah dan memberikan efek, jadi urutan onset paling cepat adalah
intravena, intraperitonial, intramuscular, subkutan dan peroral. Sedangkan duration of
action dari rute pemberian obat secara subkutan lebih panjang (lama) dibandingkan rute
pemberian obat secara oral, urutan durasi paling cepat adalah peroral, intravena,
intraperitonial, intramuscular, subkutan. Obat yang ideal adalah obat yang memiliki
onset cepat dan durasi yang lama.
Daftar Pustaka

- Tim Departemen Farmakologi FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta :


FKUI

- Bruciton,L.L.,2011. Gooman and Gilsman’s The Fharmakological Basis of


Therapeutics,12 editions, USA : McGraw Hill Companies
- Katzung, B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Hal. 351.
- Siswandono dan Soekardjo, B, 1995, Kimia Medisinal. Surabaya: Airlangga
Press.
BAB I
PENDAHULUAN

1.9 Judul Praktikum : Eksperimen Dasar

1.10 Judul Percobaan


- Hubungan Dosis Obat vs Respon

1.11 Latar Belakang


Obat di definisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah,
mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi
tertentu, misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangkaselama
pembedahan (Ganiswara et. al. 2007).
Dosis suatu obat yang di perlukan untuk penghasilkan efek tertentu pada
seseorang individu disebut “individual effective dose”. Sementra itu, dosis obat yang
diperlukan untuk menghasilkan efek tertentu pada 50% individu pada suatu populasi
disebut “median lethal dose” yang disingkat menjaddi ED50 . Apabila hasil akhir yang
diobservasi adalah kematian binatang percobaan, dosis dapat di sebut “ median lethal
dose”(LD50) yaitu dosis yang diperlukan untuk menyebabkan kematian 50% binatang
percobaan.
Dosis obat yang harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang
diharapkan tergantung dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, jenis
kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya penyakit dan keadaan si pasien.
Efek terapeutik obat dan efek toksik obat adalah hasil dari interaksi obat tersebut
dengan molekul di dalam tubuh pasien. Sebagian besar obat bekerja melalui
penggabungan dengan makromolekul khusus dengan cara mengubah aktivitas biokimia
dan biofisika makromolekul. Hal ini dikenal dengan istilah reseptor (Katzung. 1989).

1.12 Tujuan
- Memperoleh kurva hubungan dosis obat vs respon
- Memperoleh DE50 dan DL50
- Memahami konsep indeks terapi dan implikasinya
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Variasi dalam berbagai factor farmakokinetik dan farmakodinamik ini berasal dari
perbedaan individual dalam kondisi fisiologik, kondisi patologik, factor genetic,
interaksi obat dan toleransi. Fasefarmakokinetik berkaitannya dengan masuknya zat
aktif ke dalam tubuh. Pemasukan in vivo tersebut secara keseluruhan merupakan
fenomena fisiko-kimia yang terpadu di dalam organ penerima obat. Fase
farmakokinetik ini merupakan salah satu unsur penting yang menentukan profil
keberadaan zat aktif pada tingkat biofase dan yang selanjutnya menentukan aktivitas
terapetik obat.

Obat biasanya di berikan dalam dosis biasa atau dosis rata-rata yang cocok untuk
sebagian besar pasien. Untuk pasien lainnya, dosis ini terlalu besar shingga
menimbulkan efek toksik atau terlalu kecil sehingga tidak efektif (Ganiswara et. al.
1995).

Hampir semua obat pada dosis yang cukup besar menimbulkan efek toksis dan
pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian (dosis toksis = TD dan dosis letal = LD).
Takaran pada mana obat menghasilkan efek yang diinginkan disebut dosis terapeutik.
Untuk menilai keamanan dan efek suatu obat, dalam laboratorium farmakologi dapat
dilakukan percobaan-percobaan binatang dan yang ditentukan adalah khususnya
DE50 dan DL50 yaitu dosis yang menghasilkan efek pada 50% dari jumlah binatang
dan dosis yang mematikan 50% dari jumlah binatang. Perbandingan antara kedua dosis
ini dinamakan indeks terapi yang merupakan suatu ukuran untuk keamanan obat;
semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan obat tersebut. Akan tetapi,
hendaknya diperhatikan bahwa indeks terapi ini tidak dengan begitu saja dapat
dikorelasikan terhadap manusia, seperti halnya dengan semua hasil dari percobaan
binatang berhubung perbedaan-perbedaan metabolisme.
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika
dosis yang diberi dibawah titik ambang (subliminsal dosis), maka tidak akan didapatkan
efek. Respon tergantung pada efek alami yang diukur. Kenaikan dosis mungkin akan
meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti obat antipiretik atau hipotensi dapat
ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperature badan
dan tekanan darah dapat diukur.
Hubungan dosis efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitivitas
indivdu yang sedang menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan
efek yang sama kemungkina dibitihkan dosis yang berbeda pada individu yang berbeda.
Variasi individu dalam sensitifitas secara khusus mempunyai efek “semua atau tak
satupun” sama.
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitifitas pada individu
sebagai suatu rumusan yang ditunjukan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi
kumulatif (total jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian)
diplotkan dalam logaritma maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan
titik pada kurva berada pada keadaan dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah
memberikan respon. Range dosis meliputi hubungan dosis-frekuensi memcerminkan
variasi sensitivitas pada individi terhadap suatu obat.

Hubungan dosis dan respon

1. Efiksasi (efficacv)
Respon maksimal yang di hasilkan suatu obat. Efiksasi tergantung pada jumlah
kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang di aktifkan dalam
menghasilkan suatu kerja seluler.
2. Potensi
Potensi yang disebut juga konsentrasi dosis efektif adalah suatu ukuran berapa banyak
obat di butuhkan untuk menghasilkan suatu respon tertentu. Makin rendah dosis yang
di butuhkan, untuk suatu respon yang di berikan, makin poten obat tersebut. Potensi
paling sring di nyatakan sebagai dosis obat yang memberikan 50% dari respon
maksimal (ED50). Obat dengan ED50 yang rendah lebih poten daripada obat dengan
ED50 yang lebih besar.

3. Slope kurva dosis-respons.

Bervariasi dari suatu obat ke obat lainnya. Suatu slope yang curam, menunjukan bahwa
suatu peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan yang besar
(Katzung, 1989).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


21. Kawat kandang
22. Alat suntik & Jarum Suntik
23. Timbangan hewan
24. Wadah dan tempat pengamatan
25. Stopwatch
26. Spidol
27. Koran
28. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
29. Sarung tangan & Masker
30. Beaker Glass

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
6. Alkohol
7. Diazepam 20mg/100ml
8. Mencit jantan 12 ekor
3.2 Perhitungan Dosis Obat

Dosis Diazepam 10mg/70kg BB manusia

Phenobarbital sediaan 20 mg/100ml

Konversi manusia mencit (20 gram) : 0,0026 x 100 mg = 0,26 mg

Kelompok 3

F. Mencit (35 gram)


5 mg x 0,0026 = 0,013
35 gram
x 0,013 mg = 0,022 mg
20 gram
0,022 𝑚𝑔
x 2 ml = 0,008 ml x 10 = 0,088 ~ 0,09
5 𝑚𝑔
G. Mencit (28 gram)
10 mg x 0,0026 = 0,026
28 gram
x 0,026 mg = 0,036 mg
20 gram
0,036mg
x 2 ml = 0,014 ml
5 mg
H. Mencit (24 gram)
20 mg x 0,0026 = 0,052
24 gram
x 0,052 mg = 0,062 mg
20 gram
0,62mg
x 2 ml = 0,024 ml
5 mg

I. Mencit (31 gram)


40 mg x 0,0026 = 0,104
31 gram
x 0,104 mg = 0,1612 mg
20 gram
0,1612mg
x 2 ml = 0,064 ml
5 mg
J. Mencit (41 gram)
80 mg x 0,0026 = 0,206
41 gram
x 0,206 mg = 0,426 mg
20 gram
0,426mg
x 2 ml = 0,170 ml
5 mg

K. Mencit (36 gram)


160 mg x 0,0026 = 0,416
36 gram
x 0,416 mg = 0,748 mg
20 gram
0,748mg
x 2 ml = 0,299 ml ~ 0,3 ml
5 mg

3.3 Prosedur Kerja


6) Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-
masing mencit.
7) Mencit dibagi 6 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2 ekor
mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2).
Kelompok I : Diazepam 5 mg/ 70 kgBB manusia secara Per Oral
Kelompok II : Diazepam 10 mg/ 70 kgBB manusia secara Per Oral
Kelompok III : Diazepam 20 mg/ 70 kgBB manusia secara Per Oral
Kelompok IV : Diazepam 40 mg/ 70 kgBB manusia secara Per Oral
Kelompok V : Diazepam 80 mg/ 70 kgBB manusia secara Per Oral
Kelompok VI : Diazepam 160 mg/ 70 kgBB manusia secara Per Oral
8) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
9) Berikan larutan Diazepam 20 mg/ 70 kgBB manusia secara Per Oral dan catat
waktu pemberiannya.
10) Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.

11) Amati selama 45 menit, catat waktu pemberian dan waktu saat timbulnya efek.
12) Efek yang diamati yaitu :
a. Sangat Resisten : tidak mengalami efek
b. Resisten : tikus tidak tidur tetapi mengalami ataksia
c. Efek sesuai : tikus tidur tetapi tegak kalau diberi rangsang nyeri
d. Peka :tikus tidur,tidak tegak meskipun diberi rangsangan nyeri
e. Sangat peka : mati.

8) Buat gambar hubungan dosis obat vs respon pada kertas grafik

Sumbu absis : Dosis obat yang digunakan


Sumbu ordinat : Persentase hewan yang memberikan efek (righting reflex
hilang/ kematian pada dosis yang digunakan).
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan

Pengamatan

Hewan Obat Dosis Rute


Waktu Waktu saat
Pemberian Timbul Efek yang
Obat Efek Obat Diamati
(menit) (menit)

5 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:00 15:03 Sesuai
BB manusia

5 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:05 15:12 Resisten
BB manusia

10 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:33 15:34 Sesuai
BB manusia

10 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:31 15:35 Resisten
BB manusia

20 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:00 15:01 Peka
BB manusia

20 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:57 15:05 Sesuai
BB manusia

40 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:19 15:19 Peka
BB manusia

40 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 14:57 15:20 Sesuai
BB manusia

80 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:00 15:01 Peka
BB manusia

80 mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:10 15:51 Peka
BB manusia

160mg/70kg
Mencit Diazepam IP 15:42 15:43 Peka
BB manusia

160mg/70kg
Mencit Diazepam IP 14:55 15:01 Peka
BB manusia
a. tabel untuk menentukan DE50

Mencit yang Mengalami


Hilangnya Righting Reflex % Indikasi yang
Dosis Diazepam
Berespon
Kelompok3 Kelompok4

100 mg/ 70 kgBB manusia + + 100%

200 mg/ 70 kgBB manusia + + 100%

400 mg/ 70 kgBB manusia + + 100%

800 mg/ 70 kgBB manusia + + 100%

1600 mg/ 70 kgBB


+ + 100%
manusia

3.200 mg/ 70 kgBB


+ + 100%
manusia

b. tabel untuk menentukan LD50

Mencit yang Mengalami


Hilangnya Righting Reflex % Indikasi yang
Dosis Diazepam
Berespon
1 2

100 mg/ 70 kgBB manusia - - 0%

200 mg/ 70 kgBB manusia - - 0%

400 mg/ 70 kgBB manusia - - 0%

800 mg/ 70 kgBB manusia - + 50%

1600mg/ 70 kgBB
- - 0%
manusia

3.200 mg/ 70 kgBB ma - - 0%


4.2 Pembahasan

Pada paktikum kali ini, hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih.
Percobaan dosis respon obat dan indeks terapi ini bertujuan untuk memperoleh (LD50)
dan (ED50) serta memahami konsep indeks terapi pada hewan percobaan, yaitu mencit
dengan berat sekitar 26-39 g. Sementara obat yang diujikan indeks terapinya
adalah Diazepam.
Dalam praktikum ini digunakan injeksi Diazepam 20 mg/ 100ml yang diberikan
pada hewan percobaan (mencit) untuk mengetahui onset dan durasi
obat. Benzodiazepin menghambat aktivitas SSP dengan efek utama pada manusia
sedasi, hypnosis, pengurangan ansietas, relaksasi otot dan antikonvulsi. Diazepam
bekerja mempersiapkan untuk tidur (hipnogen) dari hipnotik, mempunyai pengaruh
yang kecil pada berbagai fase tidur dan pada dosis tinggipun tidak mengakibatkan
narkosis. Diazepam tidak mengakibatkan pembiusan total, meskipun pada penggunaan
jangka panjang dapat pula terjadi kebiasaan dan ketergantungan fisik dan psikis.
Mekanisme kerja Diazepam yaitu Bekerja pada sistem GABA, dengan
memperkuat fungsi hambatan neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh
sistem saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak
frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini,
benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas
farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan
adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat,
dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran
ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk
ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel
bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang berkurang.
Diazepam merupakan turunan bezodiazepin. Kerja utama diazepam yaitu potensiasi
inhibisi neuron dengan asam gamma-aminobutirat (GABA) sebagai mediator pada
sistim syaraf pusat. Dimetabolisme menjadi metabolit aktif yaitu N-desmetildiazepam
dan oxazepam.
Untuk memperoleh nilai setengah, tidak bisa hanya menggunakan 1 hewan coba
untuk tiap dosis. Dari tabel ini dapat ditentukan ED50 dan LD50 pada hewan coba mencit
yang disuntikan diazepam dengan 6 dosis berbeda. Masing-masing dosis disuntikkan
pada 12 hewan coba berbeda, untuk mempermudah penghitungan 50% hewan coba
yang menimbulkan efek, baik efek yang diinginkan (ED50), maupun LD50 . Dengan
demikian, akan diperoleh hasil ED50 dan LD50 sebagai tujuan dari percobaan ini.
Dosis yang diberikan kepada setiap mencit meningkat. Variasi dosis yang
digunakan sama pada semua kelompok mencit sehingga terdapat 12 mencit yang diberi
perlakuan obat. Setelah didapatkan jumlah dosis yang akan disuntikkan, maka
keempat mencit yang telah diketahui berat badannya disuntik secara Peroral.

Pada hasil pengamata setiap kelompok terdapat variasi pemberian dosis obat
yaitu 5 mg, 10 mg, 20mg, 40mg, 80mg dan 160 mg efek obat sudah terlihat.
Hal ini tidak sesuai secara teori seharusnya efek obat meningkat seiring dengan
peningkatan pemberian dosis, tetapi hasil percobaan tidak menunjukkan seperti itu. Hal
ini dapat terjadi karena pada saat pemberian obat, suspensi obat tidak dikocok terlebih
dahulu sehingga dosis dalam obat tidak tersebar merata. Selain itu respon obat masing-

masing individu berbeda-beda, ada empat mekanisme umum yang mempengaruhi

kemampuan merespon suatu obat :


1. Perubahan konsentrasi obat yang mencapai reseptor.
2. Variasi dalam konsentrasi suatu ligan reseptor endogen.
3. Perubahan dalam jumlah / fungsi reseptor – reseptor.
Kemudian setelah data mengenai jumlah mencit yang memberikan efek didapat,
data yang dinyatakan dengan angka tersebut dinyatakan dalam persentase dan
dimasukkan kedalam grafik dosis respon. Grafik dosis-respon digambarkan, dengan
cara pada kertas grafik log pada ordinat persentase hewan yang memberikan efek
(hilang righting reflex atau kematian) pada dosis yang digunakan. Grafik dosis-respon
digambarkan menurut pemikiran paling representative untuk fenomena yang diamati
dengan memperhatikan sebesar titik-titik pengamatan. Obat yang ideal menimbulkan
efek terapi pada semua penderita tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang
penderita pun. Oleh karena itu,
Indeks terapi = dan untuk obat ideal.
Pada umumnya intensitas efek obat akan meningkat jika diberi dosis yang meningkat.
Dari hasil percobaan terlihat bahwa semakin tinggi dosis obat yang diberikan, efek yang
ditimbulkan obat semakin meningkat. Pada dosis 5 mg terdapat 1 mencit yang
memperlihatkan efek obat. Pada dosis 20 mg terdapat 2 mencit yang memperlihatkan
efek obat. Pada dosis 40 mg terdapat 1 mencit yang memperlihatkan efek obat setelah
3 menit pemberian obat dan 1 mencit mengalami kematian dengan waktu detik. Pada
dosis 160 mg terdapat 1 mencit yang memperlihatkan efek obat setelah 5 menit
pemberian obat.
Grafik yang di dapat menunjukkan bahwa seiring dengan penambahan dosis, maka
rentang keefektifan obat makin tinggi dan mendekati efek toksik. Karena, dilihat dari
hasil pengamatan, dapat dianggap bahwa dosis keempat (40 mg/Kg) merupakan batas
efektivitas obat (ED50), namun belum dapat dipastikan dengan benar nilai pasti
ED50 nya karena belum sempat diuji spesifikkan terhadap dosis spesifik. Selain itu, dari
data yang didapat, batas toksik obat diperkirakan ada pada dosi keempat (40 mg/Kg)
karena pada dosis tersebut menimbulkan 50% kematian. Dari hasil pengamatan yang
didapat, dapat diambil kesimpulan bahwa batas efektifitas obat berada pada dosis 40
mg/Kg dan rentang keamanan obat cukup pendek. Kemudian, dilihat dari segi waktu
kehilangan righting reflex hewan uji yang lama, kemungkinan hal itu terjadi karena
obat yang diberikan kurang merata, karena saat mengambil obat dengan suntikan, obat
tidak dikocok terlebih dahulu sehinga penyebarannya kurang merata dan
mengakibatkan efek obat berlangsung lama.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil praktikum diatas dapat disimpulkan bahwa


- Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit jantan karena mencit jantan tidak
memiliki siklus menstruasi seperti mencit betina. Sehari sebelum praktikum
dilakukan, mencit harus dipuasakan terlebih dahulu agar sistem / saluran
pencernaannya kosong sehingga tidak akan mempengaruhi absorpsi obat.
- Percobaan pemberian dosis obat terhadap hewan percobaan yaitu
mencit, LD50 dan ED50 tidak diperoleh karena datanya tidak mencukupi.
- Semakin besar pemberian dosis diazepam akan memberikan efek yang semakin
besar pula.
- Diazepam memberikan efek mulai dari dosis 5mg/70kgBB manusia terhadap 12
mencit percobaan dan mecapai efek maksimal pada dosis 40mg/70kgBB
menyebabkan kematian terhadap hewan percobaan .
Daftar Pustaka

Katzung.1989. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3. Jakarta.EGC.

Ganiswara, S.G., Setiabudi, R., Suyatna, F.D., Purwantyastuti, Nafrialdi.1995. Farmakologi


dan Terapi. Edisi 4. Jakarta.Bagian Farmakologi FK UI.

Kee, Joyce L dan Evelyn R. Hayes. 1994. Farmakologi, Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Schmitz, Gary Hans Lepper dan Michael Heidrich. 2003. Farmakologi dan Toksikologi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Staff Pengajar Farmakologi FK Unsri. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC.
BAB I
PENDAHULUAN

1.13 Judul Praktikum : Obat Sistem Saraf Pusat

1.14 Judul Percobaan


- Uji Analgesik Akibat Induksi Kimia Dengan Metode Geliat

1.15 Latar Belakang


Nyeri didefiniskan oleh Asosiasi Internasional Studi Nyeri sebagai pengalaman
sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan potensi kerusakan
jaringan atau actual (Sweetman,2009).
Analgetik adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi rasa
sakit atau nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Kesadaran akan perasaan sakit terdiri
dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-
reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Analgetik diberikan kepada
penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapatditimbulkan oleh berbagai rangsang
mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatunilai ambang tertentu (nilai ambang
nyeri). Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama
denganmempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik
menekanreaksi-reaksi psychis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit.
Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :
a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini.
b. analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti
pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).

1.16 Tujuan
- Mengamati respon geliat atau writhing reflex pada mencit akibat induksi kimia.
- Mengetahui mula kerja obat (onset of action), lama kerja obat (duration of action)
dan saat obat mencapai efek yang maksimum.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Obat analgetik merupakan kelompok obat yang memiliki aktivitas mengurangi rasa
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Pengujian aktivitas analgetik dilakukan dengan
dua metode yaitu induksi nyeri cara kimiawi dan induksi nyeri cara termik. Daya kerja
analgetik dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri
yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan
terhadap stimulus nyeri (Sirait dkk., 1993).

Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni :

a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat
narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini.
b. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti
pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).
Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni :
a. Parasetamol
b. salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
c. penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll
d. derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin
e. derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol
f. lainnya : benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).
Nyeri merupakan mekanisme untuk melindungi tubuh terhadap suatu gangguan
dan kerusakan di jaringan seperti peradangan, infeksi jasad renik dan kejang otot
dengan pembebasan mediator nyeri yang meliputi prostaglandin, bradikinin, serotonin,
histamin, ion kalium dan asetilkolin (Mutschler, 1991; Guyton, 1995; Tjay dan
Rahardja, 2002).

Nyeri permukaan dapat terjadi apabila ada rangsangan secara kimiawi, fisik,
mekanik pada kulit, mukosa, dan akan terasa nyeri di daerah rangsang. Nyeri pertama
terbentuk setelah tertusuk pada kulit dan cepat hilang setelah berakhirnya rangsang
dengan pembebasan mediator nyeri yaitu bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium
dan asetilkolin. Nyeri kedua bersifat membakar yang lambat hilang dengan pembebasan
prostaglandin sebagai mediator yang spesifik untuk nyeri yang berlangsung lama
(Satyanegara, 1978; Mutschler, 1991).
Nyeri pertama dihantarkan oleh serabut nyeri jenis A delta yaitu serabut saraf
dengan pembungkus lapisan bermielin, garis tengah 2-5 µm. Serabut nyeri jenis A delta
ini menghantarkan isyarat nyeri lebih cepat dari saraf perifer ke medula spinalis karena
terjadi penghantaran rangsang secara saltatoris (gaya melompat) yaitu dari satu nodus
Ranvier ke nodus Ranvier lain, antar nodus-nodus ini dilewati oleh garis aliran listrik
dan dengan penghantaran saltatoris ini dimungkinkan suatu laju penghantaran
yang lebih cepat sampai dengan 120 m/det (Satyanegara, 1978; Mutschler, 1991;
Guyton, 1995).

Reseptor nyeri di dalam kulit dan jaringan lainnya merupakan ujung saraf bebas.
Reseptor ini tersebar luas pada permukaan superfisial kulit dan juga di jaringan-jaringan
dalam tertentu (Guyton, 1994). Reseptor lainnya yang sensitif terhadap suhu panas atau
dingin yang ekstrem disebut reseptor nyeri termosensitif yang meneruskan nyeri
kedua melalui serabut C yang tak bermielin. Reseptor ini mempunyai respon terhadap
suhu dari 30oC-45o C dan pada suhu diatas 45oC, mulai terjadi kerusakan jaringan dan
sensasinya berubah menjadi nyeri (Mutschler, 1991; Guyton, 1994; Tjay dan Rahardja,
2002). Prostaglandin merupakan hormon lokal yang disintesis di berbagai organ dan
bekerja di tempat itu juga. Prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah dengan cepat
saat terjadi kerusakan jaringan. Prostaglandin terlibat pada terjadinya nyeri yang
berlangsung lama, proses peradangan dan timbulnya demam (Mutschler, 1991;
Nogrady, 1992; Tjay dan Rahardja, 2002).

Rangsang nyeri yang berupa kimiawi dan termik menyebabkan kerusakan


membran sel berarti kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan diikuti dengan
pembebasan mediator nyeri yang merangsang reseptor nyeri dalam kulit dan jaringan
dalam untuk diteruskan ke dalam radiks dorsalis medula spinalis melalui serabut saraf
aferen. Pada tempat ini terjadi refleks pertahanan Serabut-serabut saraf aferen tersebut
berakhir dalam formasio retikularis yang merupakan suatu jaringan neuron yang
berhubungan satu sama lain dalam batang otak dari formasio retikularis, impuls nyeri
dihantarkan ke talamus opticus, kemudian ke korteks serebri untuk dapat diketahui
tempat terjadinya nyeri, dari sini impuls nyeri juga dikirimkan ke serebellum. Serebrum
dan serebellum bersama-sama melakukan reaksi pertahanan dan perlindungan yang
terkoordinasi (Mutschler, 1991). Pengujian aktivitas analgetik suatu bahan uji pada
induksi nyeri cara kimiawi yang responnya berupa geliat harus ditentukan daya
analgetiknya. Daya analgetik merupakan perbandingan antara jumlah geliat rata-rata
kelompok perlakuan dengan jumlah geliat rata-rata kelompok kontrol. Daya analgetik
untuk mengetahui besarnya kemampuan bahan uji tersebut dalam mengurangi rasa
nyeri kelompok kontrol. Dari daya analgetik dapat dijadikan dasar untuk perhitungan
efektifitas analgetik yang dibandingkan dengan pembanding analgetik untuk
mengetahui keefektifan bahan uji yang diduga berfungsi sebagai analgetik (Turner,
1965; Kardoko dan Eleison, 1999; Pudjiastuti dkk., 2000).

Metode Pengujian Aktivitas Analgetik


Metode-metode pengujian aktivitas analgesik dilakukan dengan menilai
kemampuan zat uji untuk menekan atau menghilangkan ras nyeri yang diinduksi pada
hewan percobaan (mencit, tikus, marmot), yang meliputi induksi secara maknik,
termik, elekrik, dan secara kimia. Metode pengujian dengan induksi nyeri secara
mekanik atau termik lebih sesuai untuk mengevaluasi obat-obat analgetik kuat. Pada
umumnya daya kerja analgetika dinilai pada hewan dengan mengukut besarnya
peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka
waktu ketahanan hewan terhadap stimulasi nyeri atau juga peranan frekuensi respon
nyeri (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).

Metode geliat
Obat uji dinilai kemampuannya dalam menekan atau menghilangkan rasa nyeri yang
diinduksi secara (pemberian asam asetat secara intraperitonial) pada hewan percobaan
mencit (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993). Manifestasi nyeri akibat pemberian
perangsang nyeri asam asetat intraperitonium akan menimbulkan refleks respon geliat
(writhing) yang berupa tarikan kaki ke belakang, penarikan kembali abdomen (retraksi)
dan kejang tetani dengan membengkokkan kepala dan kaki belakang. Metode ini
dikenal sebagai Writhing Reflex Test atau Abdominal Constriction Test
(Wuryaningsih,1996). Frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat
nyeri yang dirasakannya (Kelompok Kerja Phytomedica, 1993).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


31. Kawat kandang
32. Alat suntik & Jarum Suntik
33. Sonde
34. Timbangan hewan
35. Wadah dan tempat pengamatan
36. Stopwatch
37. Spidol
38. Koran
39. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
40. Sarung tangan & Masker
41. Beaker Glass

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
9. Alkohol
10. CMC-Na
11. Asam Mefenamat 1g/100ml
12. Parasetamol 1g/100ml
13. Mencit jantan 12 ekor
3.4 Prosedur Kerja
13) Siapkan mencit. Sebelum pemberian obat, amati kelakuan normal masing-
masing mencit.
14) Mencit dibagi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor
mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan (faktor perkalian 2):
Kelompok I,II : CMC Na 1% secara Per Oral
Kelompok III, IV : Asam Mefenamat 500mg/70 kgBB manusia secara PO
Kelompok V, VI : Parasetamol 500Mg/ 70 kgBB manusia secara PO
15) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
16) Berikan larutan obat sesuai kelompok masing-masing dan catat waktu waktu
pemberiannya.
17) Setelah ditunggu 15-30 menit, kemudian diberi penginduksi nyeri asama asetat
glasial 3% sebanyak 0,5 ml secara IP.
18) Tempatkan mencit ke dalam bejana untuk pengamatan.

19) Amati, catat dan tabelkan pengamatan respon geliat mencit.


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Efek Geliat

Percobaan Hewan Obat Jumlah


geliat
Respon dalam Rata-rata
No.
Awal periode geliat
15-60
menit

Mencit 1 15:02 76 kali 4kali

Mencit 2 15:48 81 kali 7 kali


CMC NA
159
Mencit Secara PO 1 14:41 5 kali
kali
8 kali
Mencit 2 16:03 50 kali
Uji Mencit 1 15:26 50 kali 5 kali
Analgesik Asam
Akibat Mencit Mefenamat 2 15:20 60 kali 3 kali
Induksi 500mg/70kg
Kimia Mencit BB manusia 1 15:31 43 kali 7 kali
Dengan secara PO
Mencit 2 15:25 38 kali 4 kali
Metode
Geliat 115
Mencit 1 15:40
kali 4 kali
Parasetamol
100 5 kali
Mencit 500mg/70kg 2 15:38
kali
BB manusia
Mencit Secara PO 1 15:46 31 kali 6 kali

Mencit 2 15:48 30 kali 4 kali


4.2 Pembahasan

Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mengenal dan mempraktikkan
pengujian daya analgesik dengan menggunakan metode rangsangan kimia.
Analgetik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf secara selektif.
Digunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran.
Nyeri yang diinduksikan kepada hewan uji dilakukan menggunakan metode rangsang
kimia. Iritan kimia yang digunakan adalah steril asam asetat yang diberikan secara intra
peritoneal terhadap hewan uji yaitu mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia
digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang
digunakan untuk penetapan daya analgetika (Katzung, 1986).
Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit,
selaput lendir,dan jaringan, lalu dialirkan melalui saraf sensoris ke susunan syaraf pusat
(SSP) melalui sumsum tulang belakang ke talamus dan ke pusat nyeri di otak besar
(rangsangan sebagai nyeri). Sehingga timbul rasa nyeri yang dapat dilihat terjadi pada
hewan uji dengan adanya geliat-geliat yang menandakan mencit merasakan kesakitan
(Ganiswara, 1995).

Semua obat analgetik non opioid, termasuk Paracetamol dan asam mefenamat yang
digunakan pada percobaan ini, bekerja melalui penghambatan siklooksigenase.

Pada praktikum ini analgetik yang digunakan adalah analgetik non narkotik yaitu
Paracetamol dan asam mefenamat. Dengan kontrol menggunakan CMC 1%. Praktikum
ini menggunakan metode rangsangan kimia. Rangsangan kimia pada praktikum ini
diberikan dengan pemberian steril asam acetat 1% (SAA). Selain itu dalam praktikum
ini hewan uji yang digunakan yaitu mencit. Mencit digunakan sebagai hewan uji
karena mudah disimpan dan dipelihara serta bisa beradaptasi baik dengan lingkungan
baru. Selain itu mencit percobaan hampir identik secara genetis. Genetik mereka,
karakteristik biologi dan perilakunya sangat mirip manusia, dan banyak gejala kondisi
manusia dapat direplikasi pada tikus.
Pada percobaan ini pemberian cairan pada mencit harus disesuaikan dosis serta
volumenya, hal ini dilakukan supaya supaya tidak terjadi overdosis dan pemberian
volume yang berlebihan kepada hewan uji. Konversi dosis pada praktikum ini yaitu
dosis manusia kepada hewan uji yaitu mencit.
Konversi dosis manusia ke mencit dikalikan 0,0026 dari dosis manusia 70kg ke mencit
20g yang kemudian disesuaikan dengan berat badan mencit.
Pada praktikum ini konversi dosis Paracetamol dari manusia sebesar 500 - 1000mg.
Pemberian ini tidak boleh melebihi volume maksimal larutan yang bisa diberikan pada
mencit dalam hal ini adalah per oral dan intra peritonial yang maksimum volume
pemberiannya sebesar 1,0ml.
Karena sediaan yang dimiliki sebesar 1g/100ml sehingga pemberian Paracetamol
pada mencit sebesar 0,5ml sampai 1ml. Terdapat 3 tahap uji, tahap pertama yaitu
pada mencit kelompok I dan II, disuntik secara per oral dengan larutan CMC 1%
sebanyak 0,5 ml kemudian mencit kelompok III dan IV secara per oral diberi suspensi
Asama Mefenamat dan pada mencit kelompok V dan VI secara per oral diberi
suspensi parasetamol. Setelah 5 menit pemberian kemudian mencit diinjeksi secara
intra peritonial dengan larutan Steril asam asetat (SAA) 1% sebanyak konversi dosis
yang telah dihitung terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengamatan pada ketiga
mencit dilihat dari geliatan mencit dan dicatat kumulatif geliatan mencit setiap selang
waktu 5 menit selama 30 menit.
Asam asetat diberikan secara IP supaya dapat menimbulkan efek yang cepat, serta
agarefek rasa nyeri terjadi di perut sehingga praktikan dapat mengamati peregangan
tubuh. Dengan kombinasi pemejanan antara PO pada obat dan IP pada asam asetat
diharapkanwaktu rasa nyeri muncul , efek analgesik juga muncul (sudah mencapai
onset). Seandainya obat dan asam asetat diberikan dalam waktu bersamaan
dikhawatirkan ketika rasa nyerimuncul, obat masih berasa di bawah KEM sehingga
tidak muncul efek analgesik. Bahan yang digunakan yaitu Steril asam asetat (SAA)
1% yang berfungsi sebagai pemberi rasa nyeri pada mencit atau disebut sebagai
penginduksi nyeri dan suspensi asam mefenamat, paracetamol yang berfungsi sebagai
analgetik. SAA dapat memberikan suasana asam dengan melepas ion H+ yang
berperan sebagai mediator nyeri yang mempengaruhikerja sistem saraf, sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini dapat dilihat melalui gejala menggeliat pada
mencit. Gejala sakit pada mencit sebagai akibat pemberian SAA secara IP yaitu
adanya kontraksi dari dinding perut, kepala, dan kaki ditarik ke belakang sehingga
abdomen menyentuh dasar dari ruang yang ditempati yang disebut geliat.
Hasil pengamatan menunjukkan mencit kelompok VI yang diberi Paracetamol
memiliki aktivitas geliat lebih sedikit dibandingkan dengan asam mefenamat tetapi
pada pecobaan kelompok V menunjukkan bahwa parasetamol memiliki aktivitas geliat
yang lebih banyak dibandingkan Asam Menafat dan CMC. Secara teori bahwa Asam
mefenamat mempunyai daya analgesik lebih besar/efek yang kuat dibandingkan
parasetamol dan CMC tidak mempunyai daya analgesic. Secara teori obat analgetik
yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu tinggi adalah
parasetamol sebanyak 17,98% dimana Parasetamol yang merupakan derivat-asetanilida
adalah metabolit dari fenasetin. Asam mefenamat seharusnya diberikan melalui
subkutan tetapi dalam percobaan dilakukan peroral karena asam mefenamat yang
disiapkan tidak larut sempurna dalam air.
Asam mefenamat dan parasetamol mempuyai mekanisme kerja yang sama
yaitu mengurangi rasa nyeri dengan cara menghambat enzim siklooksigenase, karena
enzimnya terhambat maka prostaglandin semakin sedikit yang terbentuk sehingga nyeri
yang timbul berkurang. Berbeda dengan mencit yang diberikan CMC sebagai kontrol
memilki geliat yang lebih banyak.
Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit selama 30 menit. Pada 5 menit
pertama memilki geliat sedikit lama-lama geliat bertambah dan geliat menurun pada
pada menit-menit akhir. Kemudian pada durasi efek geliat yang didapt dari hasil
pengamatan bahwa durasi yang didapatkan sangat menyimpang secara teori, pada
kelompok II mendapatkan rata-rata durasi efek geliat yang pendek dibandingkan
parasetamol dan asam mefenamat. Dan rata-rata durasi efek geliat pada asam
mefenamat dan parasetamol hanya memiliki perbedaan durasi 1- 9menit. Data
pengamatan ini tidak sesuai secara teori, seharusnya durasi geliat yang paling lama
yaitu pada CMC karena larutan ini tidak mempunyai daya analgesic untuk menghambat
siklooksigenase sehingga membuat mencit merasakan rasa nyeri yang lebih
dibandingkan asam mefenamat dan parasetamol. Sedangkan asam mefenamat efek
durasinya lebih lama dibandingkan dengan parasetamol karena parasetamol
menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat yang berarti memeliki durasi yang cepat
untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut.
Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dengan presentasi yang tidak terlalu
tinggi yaitu Paracetamol karena Paracetamol merupakan derivat-asetanilida adalah
metabolit dari fenasetin. Paracetamol berkhasiat sebagai analgetik dan antipiretik,
Paracetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, oleh karena itu obat ini
lebih dipilih dalam percobaan ini.
Adapun pada Asam Mefenamat, Asetosal atau Aspirin mekanisme nyerinya sama
sebagaimana Paracetamol sebagai analgetik AINS namun afek samping berupa iritasi
lambung lebih tinggi resikonya daripada Paracetamol sehingga, Paracetamol dan Asam
Mefenamat dipilih dalam pengujian efek analgetik pada percobaan ini.
Mekanisme kerja Asam mefenamat merupakan kelompok anti inflamasi non
steroid, bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam jaringan tubuh
dengan menghambat enzim siklooksigenase, sehingga mempunyai efek analgesik, anti
inflamasi dan antipiretik. Sedangkan mekanisme kerja Paracetamol yaitu
menghambat siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi
prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase secara berbeda.
Paracetamol menghambat siklooksigenase pusat lebih kuat, inilah yang menyebabkan
Paracetamol menjadi obat antipiretik yang kuat melalui efek pada pusat pengaturan
panas. Paracetamol hanya mempunyai efek ringan pada siklooksigenase perifer. Inilah
yang menyebabkan Paracetamol hanya menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri
ringan sampai sedang. Paracetamol tidak mempengaruhi nyeri yang ditimbulkan efek
langsung prostaglandin, ini menunjukkan bahwa Paracetamol menghambat sintesa
prostaglandin dan bukan blokade langsung prostaglandin. Obat ini menekan efek zat
pirogen endogen dengan menghambat sintesa prostaglandin, tetapi demam yang
ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin tidak dipengaruhi, demikian pula
peningkatan suhu oleh sebab lain.
Hasil yang didapat diuji dengan menggunakan tabel pengamatan yang kemudian
didapatkan hasil. Di sini menunjukkan bahwa data yang dihasilkan memiliki perbedaan,
tetapi jika diuji secara statistik data perbandingan tersebut tidak memiliki perbedaan
jauh. Data praktikum kali ini dianggap menyimpang karena seharusnya hasil yang
didapat sesuai dengan teori. Penyimpangan ini dapat terjadi karena beberapa faktor,
antara lain faktor penyuntikan yang salah atau kurang tepat sehingga volume obat yang
disuntikan tidak tepat. Dapat juga dikarenakan factor fisiologis dari mencit, mengingat
hewan percobaan ini telah mengalami beberapa kali percobaan sehingga dapat terjadi
kemungkinan hewan percobaan yang stress dan juga kelelahan karena mengingat
mencit sebelumnya telah dipuasakan terlebih dahulu. Penyimpangan pengambilan data
juga dapat terjadi karena pengamatan praktikan yang kurang seksama sehingga ada data
geliat mencit yang mungkin terlewat tidak diamati atau bahkan sulit membedakan
antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa
kesakitan akibat penyuntikan IP pada perut mencit. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi hasil dan perhitungan yang dibuat.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Metode yang dipakai adalah metode rangsangan kimia dengan prinsip memberikan
rasa nyeri dengan menginjeksi cairan kimia berupa asam asetat dari luar. Mean
kumulatif geliat yang diperoleh dari setiap kelompok :
1. CMC : 92
2. Asam Mefenamat : 48
3. Parasetamol : 69,5
Dan Mean kumulatif durasi efek geliat yang diperoleh dari setiap kelompok :
1. CMC : 46 menit
2. Asam Mefenamat : 52 menit
3. Parasetamol : 47 menit 5 detik
Asam mefenamat dan parasetamol memiki efek analgesik. %daya analgesic Asam
mefenamat > parasetamol. Dan durasi efek geliat CMC lebih besar dari pada asam
mefenamat da parasetmaol.
Daftar Pustaka

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.

Satyanegara, M.D. 1978. Teori dan Terapi Nyeri. Jakarta: Pantja Simpati.

Turner, R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology. New York: Academic Press.

Kelompok Kerja Phyto Medica. 1993. Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia dan
Pengujian Klinis. Jakarta: Yayasan Phytomedica. hal. 3-6.

Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika

Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit
Falkultas Indonesia Press.
BAB I
PENDAHULUAN

1.17 Judul Praktikum : Efek Lokal Obat

1.18 Judul Percobaan


- Pengaruh obat terhadap membran dan kulit mukosa

1.19 Latar Belakang


Obat merupakan zat yang digunakan untuk mendiagnosis, mengurangi rasa
sakit, serta mengobati ataupun mencegah penyakit pada manusia dan hewan (Ansel,
1985). Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 193/Kab/B.VII/71,
obat merupakan suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang dimaksudkan untuk
digunakan dalam menetapkan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan,
menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, atau kelainan badaniah dan rohaniah
pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian
badan manusia.
Anastetika lokal atau yang dikenal dengan zat penghilang rasa setempat adalah
obat yang pada penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls saraf
ke SSP dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal,
rasa panas atau dingin. Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang
diperoleh dari daun suatu tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah
tahun 1892, perkembangan anastetik meningkat pesat hingga ditemukan prokain dan
benzokain, dan derivat-derivat lainnya seperti tetrakain dan cinchokain.

1.20 Tujuan
- Memahami efek lokal dari berbagai obat/senyawa kimia terhadap kulit dan
membrane mukosa berdasarkan cara kerja masing-masing, serta dapat
diaplikasikan dalam praktek dan dampaknya sebagai dasar keamanan penanganan.
- Memahami sifat dan intensitas kemampuan merusak kulit dan membrane mukosa
dari berbagai obat yang berkerja lokal.
- Menyimpulkan persyaratan farmakologi untuk obat yang di pakai secara lokal.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Efek lokal itu artinya pengaruh obat pada tubuh yang bersifat lokal, misalnya
hanya mempengaruhi daerah kulit yang dioleskan obat. Efek sistemik adalah pengaruh
dari obat yang (biasanya) diberikan melalui sistem fisiologis tubuh, misalnya obat
penurun panas yang diminum per oral (lewat mulut). Efek teratogen adalah efek
samping obat yang dapat menimbulkan kecacatan tubuh. Plasebo merupakan sediaan
yang tidak mengandung bahan aktif obat. Permeasi kurang lebih berarti daya tembus
suatu zat.

Obat bius lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja
merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat
(SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal,
rasa panas atau rasa dingin. Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi
impuls saraf. Obat bius lokal / anestesi lokal atau yang sering disebut pemati rasa adalah
obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar yang cukup. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu,
anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari
beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP,
ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan semua jaringan otot.

Anastetika pertama adalah kokain, yaitu suatu alkaloid yang diperoleh dari daun
suatu tumbuhan alang-alang di pegunungan Andes (Peru). Setelah tahun 1892,
perkembangan anastetik meningkat pesat hingga ditemukan prokain dan benzokain, dan
derivat-derivat lainnya seperti tetrakain dan cinchokain.
Anastesi bekerja dengan menghindarkan untuk sementara pembentukan dan
tranmisi impuls melalui sel saraf dan ujungnya. Anastetik lokal juga dapat menghambat
penerusan impuls dengan jalan menurunkan permeabilitas sel saraf untuk ion natrium.

Beberapa kireteria yang harus dipenuhi suatu jenis obat yang digunakan sebagai
anestetika lokal :
a. Tidak merangsang jaringan
b. Tidak mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf
c. Toksisitas sistemik rendah.
d. Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lendir
e. Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama dan dapat larut
dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap pernapasan
(sterilisasi).
Selain anestesi, obat-obatan yang digunakan melalui transdermal pun mayoritas
menggunakan prinsip efek lokal yang hanya mengobati/mencegah rasa yang tidak
nyaman pada bagian yang diolesi/ditempelkan obat.
Transdermal merupakan salah satu cara administrasi obat dengan bentuk sediaan
farmasi/obat berupa krim, gel atau patch (koyo) yang digunakan pada permukaan kulit,
namun mampu menghantarkan obat masuk ke dalam tubuh melalui kulit (trans = lewat,
dermal = kulit).
Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan cedera pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Efek lokal ini dapat diakibatkan oleh senyawa-senyawa
kaustik, misalnya pada saluran pencernaan, bahan korosif pada kulit, serta iritasi gas atau
uap pada saluran napas. Efek lokal ini menggambarkan perusakan umum pada sel-sel
hidup.
Efek obat yang akan timbul pada membrane dan kulit mukosa tergantung pada
jumlah obat yang dapat diserap pada permukaan kulit dan membrane serta kelarutan obat
dalam lemak karena pada epidermis kulit merupakan sawar lemak. Pada kulit yang
terkelupas/ luka maka absorpsi jauh lebih mudah. Obat yang digunakan di sini dapat
memberikan efek menggugurkan bulu korosif. Fenol serta adstrigen obat tersebut obat
tersebut dapat memberikan efek local pada membrane dan kulit mukosa.
 Fenol ( C6H5OH )
Fenol mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 100,5 % C6H5OH
dihitung terhadap zat anhidrat dapat mengandung stabilisator yang sesuai. Fenol
merupakan suatu hablur bentuk jarum/ massa hablur, tidak berwarna/ putih/ merah
jambu, bau khas, mencair dengan penghangatan dan dengan penambahan 10 % air.
Mendidih pada lebih 182oC, uapnya mudah membakar pada konsentrasi 0,5 – 1 %
dalam larutan digunkan sebagai anestetik local. Larutan 5 % digunkan sebagai
desinfektan.
 Veet cream
Komposisi : water, glearil alcohol, potassium, thioglikolate, calcium hidrixide, sodium
magnesium silicate, fragrance, PPG – 15, steryl ether, Mg trisilicate, titanium dioxide,
propylene glikol, capolymer, mineral oil, sweet almond oil, sodium glikonate, pigmen
red 5.
 AgNO3
AgNO3 di samping bekerja bakterisid juga mempunyai sifat adstrigen dan korosif.
Larutan AgNO3 1 % digunakan untuk perlindungan terhadap blenorea pada bayi yang
baru lahir ( profilaksis Lrede ). Larutan AgNO3 P / batang AgNO3 digunakan sebagai
korosif. Lama kerja serta dalamnya penetrasi dibatasi oleh ion klorida jaringan, yang
dengan AgNO3 membentuk endapol mengandung tian AgCl. Garam peram
sulfonamide, sulfadiazine, sulfadiazine perak, Flamazine, terutama digunakan untuk
luka baker, senyawa perak protein asetilanat ( targesin ) dalam betuk tetes mata
berfungsi pada penanganan konjungtivitas.
 Etanol
Etanol mengandung tidak kurang dari 92.3% b/b dan tidak lebih dari 93,8% b/b, setara
dengan tidak kurang dari 94,9% dan tidak lebih dari 96,0% v/v C6H5OH pada suhu
15,56o. Cairan mudah menguap, jernih dan tidak berwarna. Bau khas dan menyebabkan
seperti rasa terbakar pada lidah. Mudah menguap walaupun pada suhu rendah dan
mendidih pada suhu 78o, mudah terbakar.

Efek local obat terjadi akibat penggabungan langsung antara molekul obat
dengan reseptor, sehingga akan terobservasi timbulnya perubahan dari fungsi organ
tergantung pada daerah lokasi. Oleh karena itu, timbullah suatu efek obat. Adapun
factor – factor yang mempengaruhi efek local obat ini diketahui jika efek terapi telah
diketahui dan dicapai.

Mukosa yang tervaskularisasi baik, yaitu rongga mulut dan rongga tenggorokan
( rute local, sublingual ), memilliki sifat absorpsi yang baik untuk senyawa yang tidak
terionisasi lipofil. Yang menguntungkan pada bentuk pemakaian ini ialah munculnya
kerja yang cepat, di samping tak ada kerja cairan pencernaan dari saluran cerna dan
bahan obat tidak harus melewati hati segera setelah diabsorpsi. Karena permukaan
absorpsi yang relative kecil, rute bukal/ sublingual hanya mungkin untuk senyawa yang
dapat diabsorpsi dengan mudah dan selain itu tidak mudah rasa tidak enak. Indikasi
penting ialah pengobatan serangan angina pectoris dengan nitrogliserol dalam kapsul
kunyah/ sebagai aerosol.

Pada pecobaan efek obat pada membrane mukosa ini digunakan berbagai reagen
yang dibuat seperti H2SO4(p), HCL (p), NAOH, Tanin, AgNO3, Fenol 5 % dalam
gliserin, Fenol 5 % dalam minyak lemak dan veet cream.

 H2SO4 pekat
Asam sulfat mengandung tidak kurang dari 95,0 %, dan tidak lebih dari 98 % b/b
H2SO4. Asam sulfat merupakan suatu cairan jernih, seperti minyak, tidak berwarna, bau
sangat tajam dan korosif. Asam sulfat jika bercampur dengan air dapat menimbulkan
panas yang berlebih.
 HCl pekat
Asam klorida merupakan cairan tidak berwarna, berasap, bau merangsang, jika
diencerkan dengan 2 bagian volume air, asap hilang. Asam klorida mengandung tidak
kurang dari 36,5 % bdak b/b dan tidak lebih dari 38,0 % b/b HCl.
 NaOH
NaOH merupakan suatu serpihan/ batang atau bentuk lain, keras, rapuh dan
menunjukkan pecahan hablur, berwarna putih/ praktis putih, massa melebur, berbentuk
pellet. NaOH bersifat basa kuat dan korosif. NaOH mengandung tidak kurang dar 95,0
% dan tidak lebih dari 100,5 % alkali jumlah dihitung sebagai NaOH mengandung
Na2CO3 tidak lebih 30 %.

Bila dibiarkan di udara akan cepat menguap karbon dioksida dan lembab. Hati-hati
dalam pemakaian NaOH karma merusak jaringan dengan cepat.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


42. Kandang tikus
43. Gunting bedah
44. Koran
45. Spidol
46. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
47. Sarung tangan & Masker
48. Kaca arloji
49. Kertas Saring

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
14. Veet Cream
15. Larutan NaOH 20%
16. Larutan Ha2S 20%
17. Larutan AgCl2 5%
18. Larutan Fenol 5%
19. Larutan NaOH 10%
20. Larutan H2SO4 pekat
21. Larutan HCl pekat
22. Larutan Fenol
23. Larutan AgNO3 1%
24. Tikus
3.4 Prosedur Kerja
1. Menggugurkan Bulu

a. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan


b. Ambil kulitnya lalu dibuat tiga potongan masing-masing berukuran 2,5x2,5
cm.
c. Letakkan potongan-potongan kulit tersebut di atas gelas arloji yang telah di
alasi kertas saring.
d. Catat bau asi/awal dari obat yang digunakan.
e. Oleskan/teteskan larutan obat pada bagian atas ptongan kulit tikus tersebut.
f. Amati selama 30 menit efek menggugurkan bulu setelah pemberian obat
dengan bantuan batang pengaduk.
g. Catat dan tabelkan pengamatan.

2. Korosif

a. Siapkan tikus yang terlebih dahulu dikorbankan


b. Ambil ususnya lalu diberi enam potongan, masing-masing berukuran 4-3 cm.
c. Letakkan potongan usus tersebut diatas gelas arloji yang telah diberi alas
kertas saring.
d. Teteskan larutan obat pada potongan usus tikus tersebut higga terendam .
e. Rendam selama 30 menit.
f. Setelah 30 menit, amati efek korosif/kerusakan jaringan seteah pemberian
obatdengan bantuan batang pengaduk.
g. Catat dan tabelkan pengamatan.

3. Efek lokal Fenol

a. Celupkan empat jari tangan selama 5 menit kedalam larutan fenol yag tersedia.
b. Rasakan jenis sensasi yang dialami jari tangan (rasa tebal, dingin, panas).
c. Jika jari terasa nyeri sebelum 5 menit, angkat segera dan bilas dengan etanol.
d. Catat dan tabelkan pengamatan.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


1. Menggugurkan Bulu

Efek

Percobaan Bahan Obat Bau Awal Gugur Bulu

(catat waktu) (catat waktu)

1. (Amis) 1. (30 detik )

Veet Cream 2. (wamgi) 2. (30 detik)

3.(wangi) 3. (6 menit)

1.(khas) 1. (16 detik)


Menggurkan Kulit
Larutan NaOH 20% 2. (khas) 2. (16 detik)
Bulu Tikus
3.(tdk bau) 3. (6 menit)

1.(Amis) 1. (2 detik)

Larutan Na2S 20% 2.(menyengt) 2. (2 deti)

3.(menyengt) 3. (2 menit)

2. Korosif

Efek
Obat
Percobaan Bahan Sifat Korosif Kerusakan pada jaringan

korosif Usus tikus 1.(Korosif) 1.(Lunak)


Larutan Fenol 5%
2.(korosif) 2.(Menciut melembek)
3.(korosif) 3.(mengeluarkan cairan)

1. (membengkak agak
1.(korosif) menyusut)

Larutan NaOH 10% 2.(korosif) 2.(bengkak


kuningkehitaman)
3.(korosif)
3. (putih pucat)

1.(korosif) 1.menyusut pucat

Larutan H2SO4 Pekat 2.(sngt korosif) 2.menciut membengkak

3.(sngt korosif) 3.mengerut

1.sangat korosif 1.pucat menyusut

Larutan HCl Pekat 2.sangat korosif 2.mengerut pucat

3.sangat korosif 3.ucat mengerut

1.sgt korosif
1.melunak
2.korosif mengembang
Larutan AgNO 1% 2.pucat kuning
3.korosif mengembang
3.menipis

3. Efek lokal Fenol

Efek sensasi jari tangan (terasa Tebal, Dingin,


Percobaan Bahan Obat
Panas)

1.keriput pucat,bau
Larutan Fenol 5%
2.rasa tebal,putih pucat,bau dan keriput
dalam air
Fenol
dalam Jari 3.rasa tebal, pucat dan sangat keriput
berbagai Tangan 1.dingin,keriput dan bau menyengat
pelarut
Larutan Fenol 5%
2.dingin, keriput, baumenyengat
dalam etanol
3.dingin, pucat nyeri
4.2 Pembahasan

Pada percobaan efek menggugurkan bulu pada kulit tikus dengan larutan NaOH
20%, Na2S 20% dan veet cream diperoleh bahwa dalam waktu yang relatif sama
menghasilkan rontoknya bulu. Pada saat obat sebelum diberikan berbau amis tetapi
sesudah diberikan obat tidak berbau amis bahkan bulu sampai rontok dan kulit ada yang
kenyal saat diberikan obat veet cream sedangkan kulit ada yang lembek saat diberikan
obat larutan NaOH 20%. Namun efek lainnya terlihat bahwa kulit tikus yang diberi
larutan NaOH 20% menjadi lebih lembek. Hal ini terjadi karena garam natrium
hidroksida bekerja dengan cara memecah ikatan S-S pada keratin kulit, sehingga bulu
akan rusak dan mudah gugur. Namun yang diberi veet cream menjadi kenyal.
Dikarenakan perbedaan pH pada kedua bahan obat yang diberikan pada kulit sehingga
mempengaruhi tektur kulit tikus yang diamati.

Pada percobaan efek korosif pada usus tikus dengan larutan raksa (II) klorida
5%, larutan fenol 5%, larutan natrium hidroksida 20%, asam sulfat pekat, asam klorida
pekat, , dan larutan perak nitrat 1% menunjukkan sifat korosif yang berbeda sehingga
mengakibatkan kerusakan pada jaringan yang berbeda. Korosif dapat menyebabkan
kerusakan pada mata, kulit, sistem pernapasan, dan banyak lagi. Yang mana
menggunakan usus tikus. Hal ini disebabkan Asam sulfat adalah bahan yang paling
dikenal memiliki sifat korosif kuat. Senyawa asam dan basa lain sebagian besar
memiliki sifat korosif terutama asam dan basa kuat, contoh asam adalah Asam klorida
(HCl) sedangkan untuk korosif basa adalah natrium hidroksida (NaOH) dan basa alkali
lain. Selain bersifat korosif, asam sulfat juga sangat eksotermik dengan air. Air
memiliki massa jenis yang lebih rendah daripada asam sulfat dan cenderung
mengapung di atasnya, sehingga apabila air ditambahkan ke dalam asam sulfat pekat,
ia akan dapat mendidih dan bereaksi dengan keras.

Asam sulfat pekat merupakan senyawa yang sangat berbahaya bila terpapar
pada tubuh, baik cairannya ataupun uapnya bila masuk ke system pernafasan, untuk itu
selalu lakukan pekerjaan dengan asam sulfat didalam ruang asam. Lakukan prosedur
yang benar dalam memperlakukan asam sulfat pekat contohnya pada proses
pengenceran, dengan selalu menambahkan asam sulfat ke dalam air sedikit demi sedikit
melalui media yang mengalir bukan dengan diteteskan langsung. Prosedur keselamatan
kerja ini untuk menghindari kecelakaan yang mungkin timbul.

Pada percobaan efek lokal fenol 5% dalam berbagai pelarut (air dan etanol) pada
jari tangan menimbulkan efek berbeda. Dikarenakan perbedaan reaksi yang terjadi
dengan berbagai pelarut tersebut sehingga timbul efek yang berbeda pada jari tangan
terasa menjadi nyeri. Fenol 5% + aquades akan menyebabkan iritasi berupa kebas,
pucat, kerut, dan panas pada lokasi yang terkena. Hal ini terjadi karena air merupakan
pelarut yang efektif, sehingga pencampuran air dan fenol tidak akan mengurangi reaksi
dari fenol. Sedangkan Fenol 5% + etanol akan menyebabkan iritasi berupa keriput,
dingin, pucat dan nyeri. Etanol merupakan senyawa yang bersifat toksik, dan memiliki
kelarutan yang rendah. Fenol dan etanol sama-sama memiliki gugus OH, sehingga
apabila fenol direaksikan dengan etanol akan terbentuk ester etil etanoat.
Pada percobaan praktek tersebut disimpulkan bahwa dari percobaan efek obat
pada kulit mukosa dan membrane menimbulkan efek berlainan yang dipengaruhi oleh
bahan obat pada larutan obat yang diberikan pada setiap bahan percobaan. Jadi efek
yang di timbulkan bermacam-macam.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang dilakukan dapat diketahui bahwa:


1. Efek menggugurkan rambut dengan Natrium Sulfida 20% lebih lebat gugurnya
dan banyak (rontok).
2. Asam sulfat adalah bahan yang paling dikenal memiliki sifat korosif kuat.
3. Fenol merupakan senyawa yang dapat menembus kulit dan mampu menyebabkan
terjadinya keratolisis pada kulit.

Daftar Pustaka

Mutschler E., Dinamika obat, Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi, ITB : Bandung

Katzung.G.Bertram, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta. 2002

Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : DEPKES RI

Guyton, A.C & Hall, J. E. Buku ajar fisiologi Kedokteran . Jakarta : EGC

Ditjen POM, 1979, Farmakope Indonesia Edisi III, DEPKES RI, Jakarta.

Katzung, B.G. (1998). Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
BAB I
PENDAHULUAN

1.21 Judul Praktikum : Percobaan Uji Diabetes

1.22 Judul Percobaan


- Uji Kadar Glukosa Darah dan Antidiabetes

1.23 Latar Belakang


Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya
gangguan pada metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi
insulin dari sel-sel beta. Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting
untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah. Bila terjadi gangguan pada kerja
insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas, keseimbangan tersebut akan terganggu,
dan kadar glukosa darah cenderung naik (hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996;
Tjokroprawiro, 1998).

Glukosa diperlukan sebagai sumber energi terutama bagi sistem syarafdan


eritrosit. Glukosa juga dibutuhkan didalam jaringan adiposa sebagai sumber gliserida-
glisero, dan mungkin juga berperan dalam mempertahankan kadar senyawa antara pada
siklus asam sitrat didalam banyak jaringan tubuh.

Insulin adalah hormon yang mengendalikan gula darah. Dengan meningkatnya


gula darah setelah makan, pankreas melepaskan insulin yang membantu membawa gula
darah ke dalam sel untuk digunakan sebagai bahan bakar ataudisimpan sebagai lemak
apabila kelebihan.
1.24 Tujuan
- Mengetahui secara lebih baik peran insulin dalam tubuh dan pengaruhnya pada
penyakit diabetes.
- Mengenal teknik untuk mengevaluasi penyakit diabetes dengan cara konvensional.
- Melakukan test glukosa konvensional pada manusia menggunakan alat ukur
glukosa darah

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang terjadi akibat adanya
gangguan pada metabolime glukosa, disebabkan kerusakan proses pengaturan sekresi
insulin dari sel-sel beta. Insulin, yang diahasilkan oleh kelenjar pankreas sangat penting
untuk menjaga keseimbangan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah normal pada
waktu puasa antara 60-120 mg/dl, dan dua jam sesudah makan dibawah 140 mg/dl. Bila
terjadi gangguan pada kerja insulin, baik secara kualitas maupun kuantitas,
keseimbangan tersebut akan terganggu, dan kadar glukosa darah cenderung naik
(hiperglikemia) (Kee dan Hayes,1996; Tjokroprawiro, 1998).

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan


hiperglikemia dan glukosuria yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan kurangnya insulin yang diproduksi
oleh sel β pulau Langerhans kelenjar Pankreas baik absolut maupun relatif (Herman,
1993; Adam, 2000; Sukandar, 2008). Kelainan metabolisme yang paling utama ialah
kelainan metabolisme karbohidrat. Oleh karena itu, diagnosis diabetes melitus selalu
berdasarkan kadar glukosa dalam plasma darah (Herman, 1993; Adam, 2000).

Diabetes melitus merupakan salah satu jenis penyakit yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) sebagai akibat dari rendahnya
sekresi insulin, gangguan efek insulin, atau keduanya. Diabetes mellitus bukan
merupakan patogen melainkan secara etiologi adalah kerusakan atau gangguan
metabolisme. Gejala umum diabetes adalah hiperglikemia, poliuria, polidipsia,
kekurangan berat badan, pandangan mata kabur, dan kekurangan insulin sampai pada
infeksi. Hiperglikemia akut dapat menyebabkan sindrom hiperosmolar dan kekurangan
insulin dan ketoasidosis. Hiperglikemia kronik menyebabkan kerusakan jangka
panjang, disfungsi dan kegagalan metabolisme sel, jaringan dan organ. Komplikasi
jangka panjang diabetes adalah macroangiopathy, microangiopathy, neuropathy,
katarak, diabetes kaki dan diabetes jantung (Reinauer et al, 2002).

Gejala penyakit diabetes melitus dari satu penderita ke penderita lainnya tidak
selalu sama. Gejala yang disebutkan dibawah ini adalah gejala yang umumnya timbul
dengan tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain. Ada pula penderita
diabetes melitus yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu
(Tjoktoprawiro, 1998).

Pada permulaan, gejala yang ditunjukkan meliputi “tiga P” yaitu:

1. Polifagia (meningkatnya nafsu makan, banyak makan)


2. Polidipsia (meningkatnya rasa haus, banyak minum)
3. Poliuria (meningkatnya keluaran urin, banyak kencing)

Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus meningkat,
bertambah gemuk, mungkin sampai terjadi kegemukan. Pada keadaan ini jumlah
insulin masih dapat mengimbangi kadar glukosa dalam darah (Kee dan Hayes,1996;
Tjokroprawiro, 1998).

Diabetes mellitus tergantung insulin (DMTI atau IDDM) merupakan istilah


yang digunakan untuk kelompok pasien diabetes mellitus yang tidak dapat bertahan
hidup tanpa pengobatan insulin. Penyebab yang paling umum dari IDDM ini adalah
terjadinya kerusakan otoimun sel-sel beta (β) dari pulau-pulau Langerhans (Katzung,
2002). Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (DMTTI atau NIDDM) merupakan
istilah yang digunakan untuk kelompok diabetes mellitus yang tidak memerlukan
pengobatan dengan insulin supaya dapat bertahan hidup, meskipun hampir 20% pasien
menerima insulin dengan tujuan untuk membantu mengontrol kadar glukosa darah.
NIDDM biasanya ditunjukkan oleh adanya kombinasi yang beragam dari tahanan
insulin dan kekurangan insulin (Tunbridge and Home, 1991).

Insulin adalah hormon yang disekresi oleh sel β pulau Langerhans dalam
pankreas. Berbagai stimulus melepaskan insulin dari granula penyimpanan dalam sel
β, tetapi stimulus yang paling kuat adalah peningkatan glukosa plasma (hiperglikemia).
Insulin terikat pada reseptor spesifik dalam membran sel dan memulai sejumlah aksi,
termasuk peningkatan ambilan glukosa oleh hati, otot, dan jaringan adipose (Katzung,
2002).

Glukosa merupakan stimulus paling kuat untuk pelepasan insulin dari sel-sel β
pulau Langerhans. Terdapat sekresi basal yang kontinu dengan lonjakan pada waktu
makan. Sel-sel β memiliki kanal K+ yang diatur oleh adenosin trifosfat (ATP)
intraselular. Saat glukosa darah meningkat, lebih banyak glukosa memasuki sel β dan
metabolismenya menyebabkan peningkatan ATP intraselular yang menutup kanalATP.
Depolarisasi sel Depolarisasi sel β yang diakibatkannya mengawali influks ion Ca 2+
melalui kanal Ca2+ yang sensitif tegangan dan ini memicu pelepasan insulin (Katzung,
2002).

Perawatan diabetes mellitus diambil dari empat faktor fundamental : pengajaran


pasien tentang penyakit; latihan fisik; diet dan agen-agen hipoglikemia. Agen-agen
yang baru digunakan sebagai kontrol diabetes mellitus adalah obat-obat dari golongan
sulfonilurea, biguanida, turunan thiazolidinedione, dan insulin (diberikan secara
injeksi). Meskipun obat-obat ini telah digunakan secara intensif karena efek yang baik
dalam kontrol hiperglikemia, agen-agen ini tidak dapat memenuhi kontrol yang baik
pada diabetes mellitus, tidak dapat menekan komplikasi akut maupun kronis
(Galaciaet.al, 2002).

Metformin bersifat anti hiperglikemia, bukan hipoglikemia.Obat ini


tidak menyebabkan pelepasan insulin dari pankreas dan tidak menyebabkan
hipoglikemia, bahkan dalam dosis yang besar. Metformin tidak memiliki efek yang
signifikan pada sekresi glukagon, kortisol, hormone pertumbuhan atau somastosin.
Metformin menurunkan kadar glukosa terutama dengan cara mengurangi produksi
glukosa di hati dan meningkatkan kerja insulin di otot dan lemak. Mekanisme
menurunkan produksi glukosa dihati oleh metformin masih controlersial, tetapi banyak
data menunjukkan efek penurunan glukoneogenesis. Metformin juga dapat
menurunkan glukosa plasma dengan cara mengurangi absorpsi dari usus, tetapi kerja
ini belum terbukti memiliki rele1ansi klinis.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


50. Kandang mencit
51. Alat suntik & Jarum Suntik
52. Glukometer
53. Strip glukosa
54. Gunting
55. Sonde
56. Timbangan hewan
57. Stopwatch
58. Koran
59. Spidol
60. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
61. Sarung tangan & Masker
62. Beaker glass

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
25. Na-CMC 1%
26. Glukosa 5%
27. Glibenklamid 5mg/70 KgBB secara manusia secara PO
28. Metformin 500mg/70KgBB secara manusia secara PO
29. Mencit
3.4 Prosedur Kerja
1. Puasakan mencit selama 12-16 jam, tetapi tetap diberikan air minum.
2. Cek kadar glukosa darah mencit sebelum pemberian glukosa pada menit ke-0 dengan
cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung
strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terihat pada monitor glukometer.
Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah puasa (GDP).
3. Berikan larutan glukosa 1 g/kgBB mencit.
4. Cek kadar glukosa darah mencit stelah pemberian glukosa pada menit ke-5 dengan
cara bagian ujung ekor mencit dipotong, kemudian darah diteteskan ke bagian ujung
strip dan setelah 5 detik kadar glukosa darah akan terlihat pada monitor glukometer.
Kadar glukosa darah ini dicatat sebagai kadar glukosa darah setelah pembebanan.
5. Mencit dibagi menjadi 3 kelompok dimana masing-masing kelompok terdiri dari 2
ekor mencit dengan perbedaan dosis obat yang diberikan:
Kelompok I : CMC-Na 1% Secara PO
Kelompok II&III : Glibenklamid 5 mg/70 kgBB manusia secara PO
Kleompok IV&V : Metformin 500 mg/ 70 kgBB manusia sacara PO
6. Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing mencit.
7. Berikan larutan obat sesuai kelompok maisng-masing pada menit ke-10.
8. Cek kadar glukosa darah mencit setelah pemberian glukosa pada menit ke- 2, 40’,
60’, 80’, 100’ & 120’.
9. Catat dan tabelkan pengamatan.
10. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis kanan dan
bermakna perbedaan kadar darah antara kelompok kontrol negatif, positif dan
kelompok uji kemudian dianalisis menggunakan student’s t-test. Data disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan

Kadar glukosa darah mg/dL


Percobaan Bahan Obat Kadar glukosa
No 0 menit 5 menit 60 menit
awal

1 149 mg/dL 166 mg/dL mati


Na-CMC 1%
2 147 mg/dL 153 mg/dL 151 mg/dL

Glibenklamid 5 1 114 mg/dL 157 mg/dL 211 mg/dL 154 mg/dL


mg/ 70 kgBB
Uji Kadar
manusia secara 2 143 mg/dL 141 mg/dL 245 mg/dL 178 mg/dL
Gluksa Mencit
PO
Darah
Metformin 500 1 147 mg/dL 110 mg/dL 132 mg/dL
mg/ kgBB
manusia secara
PO 2 172 mg/dL 212 mg/dL 177 mg/dL

4.2 Pembahasan

Diabetes melitus adalah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin
relativ maupun absolute. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa kedalam sel
terhambat serta metabolismenya terganggu. Jika telah berkembang penuh secara klinis,
maka diabetes melitus ditandai dengan hiprglikemia puasa dan postprandial,
aterosklerotik dan penyakit vaskuler mikroangiopati, dan neuropati.
Kadar glukosa serum puasa normal (teknik autoanalisis) adalah 70-110
mg/dl. Hiperglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa puasa yang lebih tinggi dari
110 mg/dl. Glukosa difiltrasi oleh glomerulus ginjal dan hamper semuanya diabsorpsi
oleh tubulus ginjal selama kadar glukosa dalam plasma tidak melebihi 160-180 mg/dl.
Jika konsentrasi tubulus naik melebihi kadar ini, glukosa tersebut akan keluar bersama
urine, dan keadaan ini disebut sebagai glikosuria. Kadar gula darah mencit berkisaran
antara 62-175 mg/dL. (Nicholas 2003)

Penyebab diabetes melitus adalah kekurangan hormone insulin, yang berfungsi


memungkinkan glukosa masuk ke dalam sel untuk dimetabolisir’ (dibakar) dan
demikian dimanfaatkan sebagai sumber energi. Akibatnya ialah glukosa bertumpuk di
dalam darah dan akhirnya dieksresikan lewat kemih tanpa digunakan. Karena itu,
produksi kemih sangat meningkat dan penderita sering berkemih, merasa amat haus,
berat badan menurun dan merasa lelah.

Pada praktikum ini akan dilakukan penentuan penurunan kadar glukosa darah
dan penentuan efek obat antidiabetes terhadap Mencit (Mus Muculus). Dan obat yang
digunakan yaitu metformin, glibenklamid, dan Na-CMC 1%. Tujuan dilakukan
percobaan ini ialah untuk menentukan efek farmakologi dari pemberian obat
antidiabetes hipoglikemik oral yaitu metformin dan glibenklamid dan Na-CMC sebagai
obat pembanding pada hewan coba mencit (Mus musculus) yang sebelumnya
didinduksi dengan glukosa 5% untuk meningkatkan kadar glukosa darah mencit dengan
interval waktu 5’ dan 40’ setelah pemberian obat secara peroral. Semua hewan coba
mencit diinduksi dengan glukosa 5 %. Alasan diinduksi glukosa 5% untuk
menigkatkan kadar glukosa darah mencit. Kemudian hewan uji yang digunakan yaitu
mencit jantan, hal ini disebabkan karena mencit betina mengalami fase estrus dimana
pada fase ini terjadi peningkatan hormone estrogen dan hormone pertumbuhan yang
akan mempengaruhi sekresi insulin. Semua mencit diukur kadar glukosa darahnya lagi
agar dapat diketahui kadar glukosa hewan coba mencit pada saat kadar glukosanya
meningkat. Untuk mengukur kadar glukosa dari mencit, digunakan alat yaitu
seperangkat alat ukur yang terdiri dari glukometer dan strip pembaca glukosa darah
yang terpasang pada bagian atas glukometer. Dalam strip terdapat enzim
glukooksigenase yang mana jika sampel darah mengenai strip, maka akan langsung
terbaca oleh glukometer. Alasan penggunaan alat glukometer sebagai alat yang
otometik memudahkan dalam memperoleh hasil glokosa darah, periksaan dengan
menggunakan alat ini memerlukan waktu yang reltif singkat, akurat, waktu tesnya
minimal 30 detik. Kemudian perkelompok dibagi-bagi dengan diberi obat per oral yaitu
ketiga mencit diberi Metformin, ketiga mencit diberi glibenklamid dan ketiga mencit
diberi Na-CMC 1%. Diukur kadar glukosa mencit pada menit 5’ dan 40’ agar diketahui
penurunan kadar glukosa pada hewan coba.

Mekanisme kerja obat-obat hipoglikemik oral secara umum ada 4 yaitu:

1. Menurunkan absorbsi karbohidrat yaitu golongan biguanid Metformin, dan


akarbose dari golongan glikooksidase inhibitor.
2. Menurunkan sekresi insulin yaitu golongan sulfonilurea generasi kedua dan
miglitinid.
3. Menurunkan ambilan glukosa dihati yaitu golongan Biguanid.
4. Meningkatkan ambilan glukosa dijaringan periver yaitu golongan sulfonil urea
generasi kedua tiasolidindion dan biguanid.

Pada percobaan yang dilakukan, Na-CMC 1% sebagai kontrol negatif


didapatkan penurunan kadar glukosa setelah pemberian obat dengan interval 5’ dan 40’
mengalami penurunan pada mencit kelompok-1 dengan rata-rata sebesar 194 mg/dL
dan hingga 136 mg/dL. Penurunannya signifikan jika dibandingkan dengan penurunan
kadar gula yang disebabkan oleh obat metformin dan glibenklamid. Seharusnya
penurunannya tidak signifikan dikarenakan Na.CMC sebagai kontrol negative yang
tidak memiliki efek antidiabetik.

Pada percobaan yang dilakukan dengan Glibenklamid didapatkan penurunan kadar


glukosa setelah pemberian obat dengan internal 5’ dan 40’ mengalami penurunan yang
drastis. Hal ini disebabkan Glibenklamin merupakan golongan sulfonilurea dengan
mekanisme kerja meningkatkan sekresi insulin dari sel beta pulau
langerhans,sedangkan pada pengobatan jangka panajang efek utamanya adalah
meningkatkan efek insulin terhadap jaringan perifer dan penurunan pengeluaran
glukosa dari hati (efek ekstra pankreatik). Mekanisme kerja dari golongan sulfonilurea
yaitu mengontrol glukosa tanpa meningkatkan insulin, golongan ini biasa digunakan
untuk pengobatan DM tipe I.
Kemudian dilakukan percobaan dengan Metformin didpatkan penurunan kadar
glukosa tetapi tidak berlebihan dibandingkan dengan glibenklamid. Karena metformin
Obat Hipoglikemik Oral dari golongan Biguanid dengan mekanisme kerja menurunkan
glukosa darah tidak tergantung pada adanya fungsi pankreatik sel-sel B. Golongan
Biguanid memproduksi glukosa dihati tanpa menurunkan absorbsi karbohidrat, dan
melakukan glukogenolisis dihati atau penguraian glukosa. Glukosa tidak menurun pada
subjek normal setelah puasa satu malam,tetapi kadar glukosa darah pasca prandial
mereka menurun selama pemberian biguanid. Mekanisme kerja yang diusulkan adalah
stimulasi glikolisis secara langsung dalam jaringan dengan peningkatan eliminasi
glukosa dari darah, penurunan glukoneogenesis hati, melambatkan absorbsi glukosa
dari saluran cerna dengan peningkatan perubahan glukosa menjadi laktat oleh enterosit
dan penurunan kadar glukagon plasma.

Pada percobaan kali ini dilakukan dengan membandingkan efek dari obat-obat anti
diabetes melitus golongan sulfonilurea yaitu Glibenklamin, golongan biguanid yaitu
Metformin, dan kontrol negative yaitu Na-CMC 1%.

Adapun hasil dari rata-rata penurunan setelah induksi pada obat glibenklamid yang
di uji dengan 2 kelompok menghasilkan Glibenklamid pada kelompok-1 yaitu sebesar
174 mg/dL dan kelompok-2 sebesar 188 mg/dL kemudian pada Metformin yang
diberikan pada 2 kelompok menghasilkan antara Metformin kelompok-1 sebesar 38,5
mg/dL dan Metformin kelompok-2 didapat hasil penurunan setelah induksi sebesar
34,3 mg/dL sedangkan pada Na-CMC 1% yaitu 58 mg/dL.

Dari hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa obat golongan sulfonilurea


memberikan efek yang lebih cepat bila dibandingkan dengan biguanide . Hal ini dapat
dilihat dari penurunan kadar glukosa darah mencit dari pengukuran setelah dipuasakan,
kadar setelah induksi hingga menit ke 40 setelah pemberian obat. Kadar glukosa rata-
rat mencit menurun dengan kadar glukosa normal yaitu 68,67 mg/dl. Dimana Kadar
glukosa normal manusia adalah 70 mg - 120 mg/dl sedangkan pada mencit 62-175
mg/dl. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa penurunan kadar
glukosa darah yang terjadi setelah pemberian sulfonilurea disebabkan oleh
perangsangan sekresi insulin dipankreas. Sifat perangsangan ini berbeda dengan
perangsangan oleh glukosa, karena ternyata pada saat hiperglikemia gagal merangsang
sekresi insulin dalam jumlah yang mencukupi, obat-obat tersebut masih mampu
merangsang sekresi insulin. Itulah sebabnya mengapa obat-obat ini sangat bermanfaat
pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi
insulin.

Adapun faktor kesalahan yang mungkin dapat mempengaruhi data yang


diperoleh yaitu, kurangnya waktu puasa mencit, dan ketidak telitian praktikan dalam
menimbang mencit sehingga akan berpengaruh pada volume pemberian pada mencit
serta menggunakan alat glukometer yang kurang akurat.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang dilakukan dapat diketahui bahwa:

1. Glibenklamid merupakan obat hipoglikemik yang paling kuat dikarenakan


penurunan glukosa yang paling besar
2. Metformin merupakan obat hipoglikemik yang paling efektif untuk penurunan
dengan penurunan glukosa yang tidak berlebihan.
3. Na-CMC 1% merupakan kontrol negatif yang tidak memiliki efek antidiabetik.

.
Daftar Pustaka

Katzung, G. Bertram. 2002. Farmakologi : Dasar dan Klinik. Buku 2. Penerbit Salemba
Medika. Jakarta.

Sukandar, E. Y., J. I. Sigit, I. K. Adnyana, A. A. P. Setiadi, Kusnandar. 2008. ISO


Farmakoterapi. Penerbit PT. ISFI Penerbitan. Jakarta.

Tan, H.T. dan K. Rahardja. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek
Sampingnya. Edisi Keenam. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia. Hal. 742.

Yosef. (2007). Terapi Kombinas Antidiabetika Oral Metformin Dan Glibenklamid Untuk
Diabetes Melitus Tipe-2.

ISFI(2008).Informasi Spesialite Obat Indonesia. Volume 43. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN

1.25 Judul Praktikum : Efek Obat Sistem Saraf Otonom

1.26 Judul Percobaan


- Pengaruh Obat Kolinergik dan Antikolinergik terhadap Kelenjar Saliva dan Mata

1.27 Latar Belakang

Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi sistem
saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat neuron
dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau sensorik dan
neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke sistem saraf pusat,
dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima impuls (informasi) dari
otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor. Jalur
eferen dalam sistem saraf otonom dibagi menjadi dua cabang yaitu saraf simpatis dan saraf
parasimpatis. Dimana kedua sistem saraf ini bekerja pada organ-organ yang sama tetapi
menghasilkan respon yang berlawanan agar tercapainya homeostatis (keseimbangan).
Kerja obat-obat pada sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis dapat berupa
respon yang merangsang atau menekan.

Dalam dunia farmasi, sistem saraf otonom ini sangat erat hubungannya dengan
farmakologi dan toksikologi karena kita dapat mengetahui mekanisme kerja obat yang
akan mempengaruhi sistem saraf otonom itu sendiri.

1.28 Tujuan
- Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom dalam
pengendalian vegetatif tubuh
- Mengenal teknik untuk mengevaluasi aktifitas obat kolinergik dan antikolinergik
pada neuefektor parasimpatis.

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik) yang
mempersarafiorgan-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan berbagai
kelenjar. Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol tekanan darah, motilitas
gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan kandung kemih, proses berkeringat,
suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain. Karakteristik utam SSO adalah kemampuan
memengaruhi yang sangat cepat (misal: dalam beberapa detik saja denyut jantung dapat
meningkat hampir dua kali semula, demikian juga dengan tekanan darah dalam belasan
detik, berkeringat yang dapat terlihat setelah dipicu dalam beberapa detik, juga
pengosongan kandung kemih). Sifat ini menjadikan SSO tepat untuk melakukan
pengendalian terhadap homeostasis mengingat gangguan terhadap homeostasis dapat
memengaruhi seluruh sistem tubuh manusia. Dengan demikian, SSO merupakan
komponen dari refleks visceral (Guyton, 2006).
Sistem saraf dibagi mnjadi 2, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf Tepi (SST).
SSP terdiri dari otak dan medulla spinalis, SST mempunyai 2 cabang, sistem saraf somatik
(SSS) dan sistem saraf otonom (SSO).
SSS merupakan saraf volunter karena mensarafi otot rangka yang dapat
dikendalikan. Sedangkan SSO bekerja pada otot polos dan kelenjar yang tidak dapat
dikendalikan. Fungsi SSO adalah mengendalikan dan mengatur organ-organ otonom,
seperti jantung, saluran gastrointestinal (GI), mata, kandung kemih, pembuluh darah,
kelenjar, paru-paru dan bronkus.
SSO mmpunyai 2 neuron, yaitu aferen (sensorik) dan eferen (motorik). Neuron
aferen mengirimkan inpuls (informasi) ke SSP, untuk diinterprestasikan. Neuron eferen
menerima inpuls dari otak dan diteruskan melalui medulla spinalis ke sel-sel organ efektor,
seperti jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan. Jalur eferen dari SSO dibagi menjadi
2, saraf simpatik dan saraf parasimpatik, yang sering disebut sebagai sistem saraf simpatik
dan sistem saraf para simpatik.
Sistem saraf simpatik dan parasimpatik jika bekerja pada organ yang sama akan
menghasilkan efek yang berlawanan untuk tujuan keseimbangan, kecuali pada organ
tertentu. Sistem saraf simpatik bersifat katabolik artinya menghabiskan energi. Sistem
saraf parasimpatik bersifat anabolik berarti berusaha menyimpan energi. Kerja obat pada
kedua sistem saraf ini menyebabkan perangsangan atau penghambatan.
Istilah untuk obat perangsangan simpatik adalah adrenergik, simpatomimetik atau
agonis adrenergik, dan penghambat simpatik, dan penghambat simpatik disebut
simpatolitik atau antiadrenergik. Istilah untuk perangsang parasimpatik adalah kolinergik,
parasimpatomimetik atau agonis kolinergik, dan penghambat parasimpatik disebut
parasimpatolitik atau antikolinrgik.

Sistem Saraf Parasimpatik

A. Kolinergik (Parasimpatomimetik)
1. Kolinoseptor
1) Reseptor Muskarinik
Reseptor ini, selain ikatannya dengan asetilkolin, mengikat pila
muskarin, yaitu suatu alkaloid yang dikandung oleh jamur beracun tertentu.
Sebalikya, reseptor muskarinik ini menunjukkan afinitas lemah terhadap
nikotin.
2) Reseptor Nikotinik
Reseptor ini selain mengikat asetilkolin, dapat pula mengenal
nikotin, tetapi afinitas lemah terhadap muskarin. Tahap awal nikotin
memang memacu reseptor nikotinik, namun setelah itu akan menyerap
reseptor itu sendiri.
Reseptor nikotinik ini terdapat didalam sistem saraf pusat, medula
adrenalis, ganglia otonom, dan sambungan neuromuskular.
2. Obat yang bekerja pada kolinergik
1) Parasimpatomimetik langsung
Mekanisme: bekerja agonis terhadap reseptor kolinergik (M,N)
Klasifikasi berdasarkan struktur kimia :
 Ester cholin (asetilkolin, karbakol, metakolin) => (M,N)
 Alkaloida (muskarin, pilokarpin (M), nikotin, cytisine, labeline (N)).
2) Parasimpatomimetik tidak langsung
Mekanisme:menghambat kolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi
asetilkolin endogen disekitar kolinoseptor.
Dibagi 2:
Reversibel : mengikat kolineterase dalam waktu tertentu.
Irreversibel : mengikat kolineterase secara permanen.
3. Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi
pembuluh darah, meningkatnya kontraksi otot polos saluran GI, kontriksi
kandung kemih, meningkatkan saliva, meningkatkan motilitas usus.

B. Antikolinergik (Parasimpatolitik)
1. Mekanisme : antagonis kompetitif asetilkolin di reseptor muskarin ->
menghambat aktivitas sistem saraf parasimpatik -> semua efek asetilkoin
diperlemah.
2. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi pembuluh
darah, relaksasi otot polos saluran GI, relaksasi kandung kemih, relaksasi
uterus.

Sistem Saraf Simpatik

A. Adrenergik (Simpatomimetik)
1. Simpatomimetik langsung
Pada reseptor :
Alfa-1 : mengaktivasi organ-organ efektor seperti otot-otot polos
(vasokontriksi) dan sel-sel kelenjar dengan efek bertambahnya sekresi ludah
dan keringat.
Alfa-2 : menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf adrenergik
dengan efek turunnya tekanan darah.
Beta-1 : memperkuat data dan frekuensi kontraksi jantung.
Beta-2 : bronkodilatasi dan stimulatasi dan stimulasi metabolisme glikogen
dan lemak.
1) Simpatomimetik Nonspesifik Langsung
Mekanisme : bekerja antagonis pada sistem saraf simpatik, aktivasi
adrenoseptor
2) Simpatomimetik Alfa Langsung
 Penggunaan sistemik (nonselektif) : alfa-1 dan alfa-2
 Penggunaan lokal (selektif) : alfa-1 atau alfa-2
3) Simpatomimetik Beta Langsung
 Nonselektif :kerja pada beta-1 dan beta-2
 Selektif beta 2
2. Simpatomimetik Tidak Langsung
Mekanisme : melepaskan noradrenalin dan atau menghambat penguraian atau
menghambat uptake noradrenalin.
3. Respon
Dilatasi pupil, dilatasi bronkus, denyut jantung meningkat, kontriksi
pembuluh darah, relaksasi GI, relaksasi otot kandung kemih, relaksasi uterus.
B. Antiadrenergik (Simpatolitik)
 Simpatolitik Alfa
1) Simpatolitik alfa (alfa bloker) nonselektif
 Derivat haloalkilamin
Mekanisme: bentuk basa->kehilangan gugus beta halogen -
>membentuk cincin etilenimonium->membentuk ion karbonium yang
sangat reaktif+gugus sulfidril, amino -> ikatan kovalen yang stabil
dangan adrenoseptor alfa.
 Derivat imidazolin
Mekanisme : menghambat reseptor alfa, dan agonis reseptor
muskarinik
 Derivat alkaloid ergot
Mekanisme : antagonis parsial pada reseptor alfa adrenergik, dopamin
dan serotonin.
2) Simpatolitik alfa-1 selektif
3) Simpatolitik alfa-2 selektif
Mekanisme : memblok reseptor alfa-2 pascasinaps, menyebabkan
peningkatan aktivitas neuron adrenergik sentral, meningkatkan pelepasan
NE dari ujung saraf adrenergik di perifer, akibatnya tekanan darah
meningkat.

 Simpatolitik Beta (beta bloker)


Mekanisme : antagonis kompetitif terhadap adrenoseptor beta.
 Respon
Kontriksi pupil, kontriksi bronkus, denyut jantung menurun, dilatasi
pembuluh darah, kontaksi GI, kontraksi kandung kemih.

Perangsangan Simpatik dan Parasimpatik

Perangsangan Simpatik Perangsangan Parasimpatik

- Meningkatkan tekanan darah - Menurunkan tekanan darah


- Meningkatkan denyut nadi - Menurunkan denyut nadi
- Relaksasi bronkus - Kontraksi bronkus
- Dilatasi pupil - Kontraksi pupil
- Relaksasi saluran kemih - Meningkatkan kontraksi saluran
- Relaksasi otot polos GI kemih
- Relaksasi urterus - Meningkatkan kontraksi GI
- Meningkatkan gula darah - Meningkatkan tonus otot

Jenis Obat

1. Atropin
 Sediaan : Cendotropine mengandung Atropina-sulfat 5mg/ml tts mata. In : Sebagai
medriatikum dan siklopentolat.
 Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Hambatan oleh atropin bersifat
reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan
atau pemberian antikolineterase.
 Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi hambatannya jauh
lebih kuat terhadap eksogen.
 Kepekaann reseptor muskarinik terhadap antimuskarinik berbeda antar organ. Pada
dosis kecil (sekitar 0,25 mg) misalnya atropin hanya menekan sekresi air liur,
mukus bronkus dan keringat, belum jelas mempengaruhi jantung. Pada dosis yang
lebih besar (0,5-1,0 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan
penghambatan N.vagus sehingga terlihat takikardi.
 Pemberian lokal pada mata menyebabkan perubahan yang lebih cepat dan
berlangsung lama sekali (7-12 hari), karena atropin sukar dieliminasi dari cairan
bola mata.
2. Pilokarpin
 Sediaan : Miokar mengandung Pilokarpin HCL 10mg/ml. In: untuk pupil;
mengendalikan tekanan intraokular. Ds: dua tts, topikal pada mata sehari 3-4 kali
atau menurut petunjuk dokter.
 Kerja obat agonis pada reseptor muskarinik.
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


63. Kandang kelinci
64. Alat suntik & Jarum Suntik
65. Sonde
66. Timbangan hewan
67. Wadah dan tempat pengamatan
68. Stopwatch
69. Koran
70. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
71. Sarung tangan & Masker
72. Beaker Glass
73. Gelas ukur

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
30. Fenobarbital
31. Nacl 0,9%
32. Triptofan SO4
33. Pilokarpin HCl
34. Kelinci 1 ekor
3.4 Prosedur Kerja
A. Kolinergik dan antikolinergik kelenjar saliva
20) Siapkan kelinci.
21) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat pada kelinci.
22) Disuntikkan pilokarpin HCl pada kelinci sebanyak 50mg/BB kelinci secara IM
23) Catat waktu saat kelinci memberikan efek saliva akibat pilokarpin HCl dan
tampung saliva yang di ekskresikan ke dalam beaker glass selama 5 menit dan
ukur volume yang ditampung.

24) Setelah 5 menit, suntikkan triptofan SO4 0,25mg/kg BB kelinci secara IV

25) Catat waktu pengamatan mulai timbul/efek saliva akibat triptofan SO4 dan
tampung saliva yang disekresikan pada beaker glass selama 5 menit.
Ukur volume saliva yang ditampung.

B. Kolinergik dan antikolinergik mata


1) Siapkan Kelinci. Sebelum pengamatan gunting bulu mata kelinci agar tidak
mengganggu saat pengamatan.
2) Sebelum pemberian obat amati, ukur dan catat diameter pupil mata pada
cahaya suram dan pada penyinaran dengan senter.
3) Teteskan ke dalam kantung konjungtiva kelinci :
- Mata kanan dan kiri : Tetes mata Piloarpin HCl 3 tetes
4) Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.
5) Amati, ukur dan catat diameter pupil setelah pemberian obat.
6) Uji reseptor reflex mata
7) Setelah terjadi miosis pada kedua mata, teteskan atropine SO4
8) Amati, Ukur dan Catat diameter pupil setelah pemberian obat.
9) Catat dan tabelkan pengamatan
10) Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis Nacl 0,9% pada
kedua mata kelinci.
3.5 Perhitungan Dosis

 Pilokarpin HCl
Dosis Pilokarpin HCl 5mg/kg BB Kelinci
Pilokarpin HCl sediaan 2g/100ml
Jawab
Berat Kelinci = 1,859 kg
Dosis = 1,859kg X 5 mg/kg
=9,295 mg ~ 9,3 mg
9,3 mg
Volume = X 100ml
2000 mg
= 0,465 ml ~ 0,4 ml

 Atropin SO4
Dosis Atropin SO4 0,25mg/kg BB Kelinci
Atropin SO4 sediaan 1g/100ml
Jawab
Berat Kelinci = 1,859 kg
Dosis = 1,859kg X 0,25 mg/kg
=0,465mg ~ 0,47 mg
0,47 mg
Volume = X 100ml
1000 mg
= 0,047 ml ~ 0,05 ml
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


A. Kolinergik dan Antikolinergik Kelenjar Saliva

Perbedaan Bahan Obat Efek Saliva

Pilokarpin HCl (1) 6.9 ml

Atropin SO4 (1) 1 ml

Pilokarpin
5 ml
HCL(2)
Efek obat
sistem saraf 2,1 ml
Atropin SO4 (2)
otonom pada Volume
kelenjar saliva Pilokarpin HCl (3) saliva yang 1,5 ml
ditampung
Kelinci Atropin SO4 (3) 0.21 ml
selama 5
Pilokarpin HCl (4) menit (ml) 8,2 ml

Atropin SO4 (4) 1 ml

Pilokarpin HCl (5) 3,8 ml

Atropin SO4 (5) 0,8 ml

Pilokarpin HCl (6) 2 ml

Atropin SO4 (6) 1 ml


B. Kolinergik dan Antikolinergik Mata

Efek
Diamet
Perbedaan Bahan Obat 1 2 3 4 5 6
er Pupil
Mata

Cahaya
0,9cm 1cm 1cm 1cm 1,3cm 0,5cm
suram

Cahaya
0,8cm 0,8cm 0,7cm 0,8cm 0,9cm 0,4cm
Senter

Setelah
Pember
ian 0,6cm 0,7cm 0,6cm 0,5cm 0,6cm 0,6cm
Mata fisotig
Pilokarpin
Kanan min
HCl
Kelinci
Respon
Efek obat Berkedi
refleks berkedip berkedip berkedip berkedip kotoran
p
sistem
mata
saraf
otonom Setelah
pada mata pember
ian 0,7cm 0,7cm 0,7cm 0,7cm 0,9cm 0,4
atropin
S04

Cahaya
0,8cm 1cm 1cm 1cm 1,3cm 0,5cm
suram
Mata Cahaya
Atropin 0,7cm 0,8cm 0,8cm 0,8cm 0,7cm 0,4cm
Kiri Senter
SO4
Kelinci
Setelah
Pember 0,7cm 0,6cm 0,6cm 0,6cm 0,5cm 0,7cm
ian
Pilokar
pin
(cm)

Respon
refleks berke Berke
berkedip berkedip berkedip berkedip
mata dip dip
(cm)

Setelah
pember
ian
0,8cm 0,7cm 0,7cm 0,7cm 0,8cm 0,4cm
atropin
S04
(cm)

4.2 Pembahasan

Praktikum farmakologi kali ini mengenai obat sistem syaraf otonom atau obat
kolinergik, dimana dilakukan pengujian terhadap pengaruh aktivitas obat-obat sistem
syaraf otonom pada Kelinci. Syaraf otonom atau dapat disebut juga sebagai sistem saraf
tak sadar merupakan syaraf-syaraf yang bekerja tanpa disadari atau bekerja secara
otomatis tanpa diperintah oleh sistem saraf pusat dan terletak khusus pada sumsum
tulang belakang. Sistem saraf otonom ini terdiri dari neuron-neuron motorik yang
mengatur kegiatan organ-organ dalam, misalnya jantung, paru-paru, ginjal, kelenjar
keringat, otot polos sistem pencernaan dan otot polos pembuluh darah.
Percobaan kali ini bertujuan untuk menghayati secara lebih baik pengaruh
berbagai obat sistem syaraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh
dan mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat antikolinergik pada
neoroefektor parasimpatikus. Sehingga digunakan obat antikolinergik dengan berbagai
cara pemberian obat yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap system syaraf
otonom. Percobaan ini diawali dengan mempersiapkan semua alat dan bahan yang
akan di gunakan dalam percobaan.
Kemudian dilakukan pemilihan hewan percobaan yaitu Kelinci. Kelinci yang
telah dipilih, lalu ditimbang. Penimbangan Kelinci ini dilakukan dengan meletakkan
seekor Kelinci yang akan digunakan, diatas neraca ohauss dan diamati angka yang
menunjukkan berat badan mencit. Penimbangan mencit ini bertujuan untuk mengetahui
perhitungan dosis yang tepat pada perlakuan percobaan, karena setiap individu yang
memiliki berat badan yang berbeda akan mendapatkan pemberian dosis yang berbeda,
mengingat berat badan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan
pemberian jumlah dosis. Setelah ditimbang setiap mencit diberikan tanda pengenal
yang berbeda. Hal ini bertujuan agar mempermudah mengenali kelinci baik pada saat
pemberian perlakuan maupun saat dilakukan pengamatan terhadap percobaan.
Selanjutnya kelinci disuntikkan obat kolinergik pilokarpin sebanyak 5 ml secara
intra muscular. Hasil yang diperoleh adalah ekskresi air liur dari kelinci sebanyak 1,5
ml selama 5 menit. Kelinci mengalami hipersalivasi setelah penyuntikan pilokarpin.
Setelah 5 menit penyuntikan pilokarpin, kelinci kembali disuntikkan obat atropine
sebanyak 0,05 ml. Diperoleh hasil berupa eksresi air liur kelinci sebanyak 0,01 ml.
Disuntikkan kelinci dengan Pilokarpin HCl secara IM selama 5 menit dan
terjadi pengeluaran air liur kelinci sebanyak 1,5 ml setelah penyuntikkan pilokarpin.
Hal ini membuktikan bahwa pemberian obat kolinergik pilokarpin dapat meningkatkan
kelenjar saliva kelinci untuk mengeluarkan air liur karena pilokarpin memberikan efek
muskarinik dan efek nikotinik. Pilokorpin dapat menyebabkan rangsangan terhadap
kelenjar ludah yang terjadi karena perangsangan langsung (efek muskarinik) dan
sebagian karena perangsangan ganglion (efek nikotinik). Sedangkan pemberian obat
atropine sulfat dapat menghambat eksresi kelenjar saliva dengan pengurangan
pengeluaran air liur kelinci sebanyak 0,01 ml. Atropin sulfat merupakan antikolinergik
golongan anti muskarinik yaitu golongan yang menyekat sinaps muskarinik saraf
parasimpatis secara selektif. Pada percobaan, atropin memperlihatkan efek hambatan
terhadap saraf parasimpatis dan rangsangan terhadap saraf simpatis yaitu mukosa mulut
kering (saliva berkurang).
Sistem syaraf otonom terbagi menjadi 2 bagian, yaitu sistem syaraf simpatik
dan sistem syaraf parasimpatik. Kelenjar saliva yang merupakan salah satu kelenjar
dalam sistem pencernaan, akan meningkat aktivitasnya jika distimulasi oleh sistem
saraf parasimpatik atau oleh obat-obat parasimpatomimetik. Tetapi sebaliknya, jika
diberikaan obat-obat yang aktivitasnya berlawanan dengan sistem parasimpatik yaitu
obat simpatomimetik, maka aktivitas kelenjar saliva akan menurun.
Pilokarpin yang diberikan kepada kelinci bertujuan agar kelinci tersebut dapat
mengeluarkan saliva. Alkaloid pilokarpin adalah suatu amin tersier dan stabil dari
hidrolisis oleh asetilkolenesterase. Dibandingkan dengan asetilkolin dan turunannya,
senyawa ini ternyata sangat lemah.
Polikarpin merupakan obat kolinergik yang merangsang saraf parasimpatik
yang dimana efeknya akan menyebabkan percepatan denyut jantung dan mengaktifkan
kelenjar-kelenjar pada tubuh salah satunya kelenjar saliva. Obat kolinergik adalah
sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan
Parasimpatis (SP), karena melepaskan neurohormon asetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Efek kolinergis yang ditimbulkan juga termasuk dalam merangsang atau
menstimulasi sekresi kelenjar ludah, sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya
hipersalivasi sehingga air liur atau saliva yang dikeluarkan oleh kelinci menjadi lebih
banyak karena pilokarpin merupakan salah satu pemacu sekresi kelenjar yang terkuat
pada kelenjar saliva.
Atropin merupakan obat antikolinergik (obat simpatomimetik) yang akan diuji
dengan diberikan pada kelinci untuk dilakukan pengamatan terhadap pengaruhnya pada
sistem saraf otonom. Atropin merupakan obat yang digolongkan sebagai antikolinergik
atau simpatomimetik. Atropin termasuk dalam alkaloid beladona, yang bekerja
memblokade asetilkolin endogen maupun eksogen. Atropin bekerja sebagai antidotum
dari pilokarpin. Efek atropin pada saluran cerna yaitu mengurangi sekresi liur,
sehingga pemberian atropin ini dilakukan agar produksi saliva menurun karena mukosa
mulut mencit menjadi kering (serostomia). Atropin, seperti agen antimuskarinik
lainnya, yang secara kompetitif dapat menghambat asetilkolin atau stimulan kolinergik
lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik, kelenjar sekresi dan sistem
syaraf pusat, meningkatkan output jantung, mengeringkan sekresi, juga mengantagonis
histamin dan serotonin. Pada dosis rendah atropin dapat menghambat salivasi. Hal ini
dikarenakan kelenjar saliva yang sangat peka terhadap atropin.
Selanjutnya pada praktikum, menggunakan obat tetes mata berupa pilokarpin
HCl dan Atropin SO4. Setiap kelinci diukur terlebih dahulu diameter mata kanan dan
kiri yaitu 0,7cm yang digunakan sebagai pembanding ketika telah ditetesi obat. Pada
kelinci, mata kanan dan kiri ditetesi pilokarpin sebanyak 3 tetes lalu ditutup masing-
masing kelopak mata selama 1 menit. Kemudian pada praktikum mengalami miosis
pada kedua mata. Semakin lama pupilnya semakin mengecil yaitu 0,4 cm. Hal ini
disebabkan karena pilokarpin merupakan obat kolinergik kerja langsung, yaitu kerja
obat ini berikatan dengan reseptor kolinergik pada mata. Lalu ditetesi Nacl 0,9% untuk
menetralkan mata kemudian kedua mata ditetesi Atropin SO4 sabanyak 3 tetes dan
masing-masing kelopak mata selama 1 menit. Dan terjadi perubahan diameter pupil
sebesar 0,3 cm pada mata kanan dan kiri. Pada praktikum ini hasil pengamatan yang
diperoleh tidak sesuai dengan litelatur, yang seharusnya diameter pupil pada kedua
mata kelinci lebih besar saat diteteskan oleh Atropin SO4 di bandingkan dengan
Pilokarpin HCl.

Mengapa demikian, saat diteteskan Pilokarpin HCl akan mengalami miosis


pada kedua mata. Semakin lama pupilnya semakin mengecil, hal ini disebabkan
pilokarpin merupakan obat kolinergik kerja langsung dan ikatan antara reseptor
kolinergik pada mata dengan pilokarpin, menimbulkan kntraksi pada otot sfingter iris.
Sedangkan Atropin SO4 mengalami midriasis yaitu dimana pupil semakin lama
semakin membesar. Atropin SO4 merupakan obat antikolinergik yang bekerja secara
antagonis kompetitif dengan asetilkolin untuk berikat dengan reseptor kolinergik.
Atropin SO4 menyebabkan penurunan rangsanga simpatis sehingga terjadi midriasis
yaitu relaksasi dari otot sfingter iris. Hal ini disebabkan terjadinya kesalahan pada

Pada percobaan kolinergik dan antikolinergik pada mata terjadi kesalahan,


kemungkinan dimana praktikan ketidak tepatan atau jumlah tetesan berbeda sehingga
menyebabkan efek yang berbeda dan tidak teliti dalam menghitung diameter pupil pada
mata.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang dilakukan pada kolinergik dan antikolinergik pada


kelenjar saliva dan mata dapat di simpulkan:

1. Kolinergik dan Antikolinergik pada kelenjar saliva pada obat Pilokarpin HCl
mengeluarkan saliva lebih banyak dibandingkan Atropin SO4.
2. Kolinergik dan Antikolinergik pada mata, diameter pupil mata saat ditetesi
Pilokarpin HCl lebih besar dibandingkan Atropin SO4

Daftar Pustaka

Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Umum.

Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum.

Prof.Mr.A.G Pringgodigdo.1977. Ensiklopedi Umum. Yogyakarata : Penerbit Kanisius

Gunawan, Sulistra Gan., dkk.20212. Farmakologi dan terapi. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.

Katzung,B.1998.Farmakologi dasar dan klinik:Jakarta: penerbit Buku Kedokteran EGC.


BAB I
PENDAHULUAN

1.29 Judul Praktikum : Efek Lokal Obat

1.30 Judul Percobaan


- Anestesi Lokal

1.31 Latar Belakang


Anestesika lokal atau zat penghilang rasa setempat adalah obat yang pada
penggunaan lokal merintangi secara reversible penerusan impuls saraf ke SSP dan
dengan demikiam menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas
atau dingin. (Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007).
Struktur dasar anastetika lokal pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yakni
suatu gugus amio hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus-aromatis lipofil. Semakin panjang gugus
alkoholnya, semakin besar daya kerja anastetiknya, tetapi toksisitasnya juga meningkat.
(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007).
Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi, dimulai
lebih dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang opthalmologist di Wina,
mencatat kegunaan dari kokain suatu ester dari asam para amino benzoat (PABA),
dalam menghasilkan anstesi korneal. (Rusda, 2004).
Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu Procaine.
Ester-ester lain telah dibuat termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan
Chloroprocaine, dan semuanya terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi kadang-kadang
menunjukkan sensitisasi dan reaksi alergi. (Rusda, 2004).
1.32 Tujuan
- Mengenal berbagai Teknik untuk menyebabkan anastesi lokal pada hewan coba.
- Memahami faktor yang melandasi perbedaan dalam sifat dan potensi kerja
anastetika lokal.

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh
Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu anestesi umum dan anestesi lokal.
Anestetika lokal bekerja menghambat penghantaran impuls saraf bila obat
tersebut dipergunakan secara lokal dan kontak langsung dengan jaringan saraf. Obat ini
dapat menyebabkan hilangnya sensasi panas, dingin, sentuh, dan nyeri tanpa
menghilangkan kesadaran umum.
Rute pemberian anestetika lokal berhubungan erat dengan efek anestesi lokal
yang dihasilkan. Sebagai contoh suatu anestetika lokal yang diberikan pada permukaan
tubuh (topikal) dapat mencapai ujung saraf sensoris dan bekerja menghambat
penghantaran impuls nyeri pada serabut saraf tersebut, sehingga terjadilah anestesi
permukaan. Anestetika lokal juga dapat diberikan secara injeksi ke dalam jaringan
sehingga menyebabkan hilangnya sensasi pada struktur disekitarnya. Efek yang
dihasilkan disebut anestesia infiltrasi.
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang
digunakan sebagai anestetikum lokal, antara lain:
- Tidak merangsang jaringan
- Tidak iritatif/merusak jaringan secara permanen & toksisitas sistemis rendah
- Efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat pada selaput lender
- Mulai kerjanya sesingkat mungkin, tetapi bertahan cukup lama
- Dapat larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga terhadap
pemanasan (sterilisasi).
(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007)\

Struktur dasar anastetika lokal pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yakni
suatu gugus amio hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus-aromatis lipofil. Semakin panjang gugus
alkoholnya, semakin besar daya kerja anastetiknya, tetapi toksisitasnya juga meningkat.
(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007).

Anastetika lokal dapat digolongkan secara kimiawi dalam beberapa kelompok,


yaitu sebagai berikut :

a. Senyawa-ester: kokain dan ester PABA (benzokain, prokain, oksibuprokain,


tetrakain).
b. Senyawa-amida: lidokain dan prilokain, mepivakain, bupivakain dan chincokain
c. Lainnya: fenol, benzilalkohol dan etilklorida.

Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium,
sehingga terjadidepolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Mekanisme utama aksianestetik lokal adalah memblokade “voltage-gated sodium
channels”. Membrane akson saraf,membrane otot jantung, dan badan sel saraf memiliki
potensial istirahat -90 hingga -60 mV.Selama eksitasi, lorong sodium terbuka, dan
secara cepat berdepolarisasi hingga tercapai potensial equilibrium sodium (+40 mV).
Akibat dari depolarisasi,, lorong sodium menutup(inaktif) dan lorong potassium
terbuka. Aliran sebelah luar dari repolarisasi potassium mencapai potensial equilibrium
potassium (kira-kira -95 mV). Repolarisasi mngembalikan lorong sodiumke fase
istirahat. Gradient ionic transmembran dipelihara oleh pompa sodium. Fluks ionic
inisama halnya pada otot jantung, dan dan anestetik local memiliki efek yang sama di
dalam jaringan tersebut (Rochmawati dkk, 2009).

Fungsi sodium channel bisa diganggu oleh beberapa cara. Toksin biologi
seperti batrachotoxin, aconitine, veratridine, dan beberapa venom kalajengking
berikatan pada reseptor diantara lorong dan mencegah inaktivasi. Akibatnya terjadi
pemanjangan influx sodium melaluilorong dan depolarisasi dari potensial istirahat.
Tetrodotoxin (TTX) dan saxitoxin memblok lorong sodium dengn berikatan kepada
chanel reseptor di dekat permukan extracellular. Serabutsaraf secara signifikan
berpengaruh terhadap blockade obat anestesi local sesuai ukuran danderajat mielinisasi
saraf. Aplikasi langsung anestetik local pada akar saraf, serat B dan C yangkecil diblok
pertama, diikuti oleh sensasi lainnya, dan fungsi motorik yang terakhir
diblok (Rochmawati dkk, 2009)

Teknik Pemberian Anestetik Lokal

a. Anestesi permukaan

Digunakan pada mukosa / permukaan luka Dari sana berdifusi ke organ akhir
sensorik dan ke percabangan saraf terminal. Pada epidermis yang utuh (tidak terluka),
maka anestetik lokal hampir tidak berkhasiat karena anestetik lokal hampir tidak
menembus lapisan tanduk.

b. Anestesi infiltrasi

Disuntikkan ke dalam jaringan, termasuk juga diisikan ke dalam jaringan.


Dengandemikian selain organ ujung sensorik, juga batang-bataang saraf kecil
dihambat.

c. Anestesi konduksi

Disuntikkan di sekitar saraf tertentuyang dituju dan hantarn rangsang pada tempatini
diputuskan.Contoh :

anestesi spinal, dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesic local ke dalam ruang
sub-arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5 anestesi
peridural anestesi paravertebral.

d. Anestesi regional intravena dalam daerah anggota badan

Aliran darah ke dalam dan ke luar dihentikan dengan mengikat dengan bantuan
pengukur tekanan darah dan selanjutnya anestetik lokal yang disuntikkan berdifusi ke
luar dari vena danmenuju ke jaringan di sekitarnya dan dalam waktu 10-15 menit
menimbulkan anestesi.Pengosongan darah harus dipertahankan minimum 20-30 menit
untuk menghindari aliran ke luar,sejumlah besar anestetik lokal yang berpenetrasi, yang
belum ke jaringan. Pada akhir pengosongan darah, efek anestetik lokal menurun dalam
waktu beberapa menit (Rochmawatidkk, 2009).

BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 Alat

Alat yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :


74. Kandang kelinci dan tikus
75. Alat suntik & Jarum Suntik
76. Aplikator
77. Gunting
78. Sonde
79. Timbangan hewan
80. Peniti
81. Stopwatch
82. Koran
83. Spidol
84. Alat Tulis (Buku Panduan Praktek & Jurnal)
85. Sarung tangan & Masker
86. Beaker Glass
87. Gelas ukur

3.2 Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
35. NaCl 0,9%
36. Lidokain HCl 2%
37. Lidokain HCl + Adrenalin
38. Kelinci 1 ekor
39. Mencit

3.4 Prosedur Kerja


A. Anastesi Lokal Metode Permukaan
26) Siapkan kelinci, gunting bulu mata kelinci sebelum praktikum.
27) Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus
pada menit ke-0.
“CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.”
28) Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. mata kanan : Tetes mata Nacl 0,9% sebanyak 1-2 tetes.
b. mata kiri : Tetes mata Lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes.
29) Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.

30) Cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-5,
10, 15, 20, 30, 49,60.
31) Catat dan tabelkan pengamatan.
32) Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis Nacl 0,9% pada
kedua mata kelinci.

B. Anastesi Lokal Metode Regnier


1) Siapkan kelinci, gunting bulu mata kelinci agar tidak menggangu aplikator.
2) Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata
berkedip) dengan menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus
pada menit ke-0.
“CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan aplikator dan ritme harus diatur.”
3) Teteskan ke dalam kantong konjungtiva kelinci :
a. mata kanan : Tetes mata Nacl 0,9% sebanyak 1-2 tetes.
b. mata kiri : Tetes mata Lidokain HCL 2% sebanyak 1-2 tetes.
4) Tutup masing-masing kelopak mata kelinci selama 1 menit.
5) Cek ada/tidaknya respon reflex ocular mata (mata berkedip) dengan
menggunakan aplikator pada kornea mata secara tegak lurus pada menit ke-8,
20, 25, 30, 40, 50, 60.
6) Ketentuan Metode Regnier:
a. Pada Menit ke-8
- Jika pemberian aplikator sampai 100x tidak ada respon reflex okuler -> maka
dicatat angka 100 sebagai respon negative.
- Jika pemberian aplikator sebelum 100x terdapat respon reflex okuler -> maka
dicatat angka terakhir saat memberikan respon sebagai respon negative.

b. Pada mencit ke-15, 20, 25, 30, 40, 50, 60 :


“Jika pemberian aplikator pada sentuhan pertama, terdapatrespon reflex okuler
-> maka dicatat angka 1 sebagai respon negative dan menit-menit yang tersisa
juga diberi angka 1.”

c. Jumlah respon refleks okuler negative dimulai dari menit ke-8 hingga menit
ke-60, jumlah ini menunjukkan angka regnier dimana efek anastetika lokal
dicapai pada angka regnier minimal 13 dan maksimal 800.

7) Setelah percobaan diatas selesai, teteskan larutan fisiologis Nacl 0,9% pada
mata kanan dan kiri kelinci.
8) Catat dan tabelkan pengamatan.

C. Anastesi Lokal Metode Infiltrasi


1) Siapkan kelinci, gunting bulu punggung kelinci dan cukur hingga bersih
kulitnya (hindari terjadi luka).
2) Gambar 3 daerah penyuntikkan dengan jarak ± 3 cm.
3) Sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon getaran otot punggung
kelinci dengan menggunakan peniti sebanyak 6x sentuhan pada daerah
penyuntikkkan pada menit ke ->
“CATATAN: Jangan terlalu keras menggunakan peniti dan ritme harus diatur.”
4) Suntikkan larutan obat tersebut pada daerah penyuntikkan.
5) Cek ada/tidaknya respon getaran otot punggung kelinci dengan
menggunakan peniti sebanyak 6x sentuhan ada daerah penyuntikkan pada menit
ke-5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, 60.
6) Catat dan tabelkan pengamatan.

D. Anastesi Lokal Metode Konduksi


1) Siapkan Mencit, sebelum pemberian obat, cek ada/tidaknya respon haffner pada
menit ke-0.
2) Hitung dosis dan volume pemberian obat dengan tepat untuk masing-masing
mencit.
3) Mencit pertama disuntikkan lar.lidokain HCl 2% secara IV
4) Mencit kedua disuntikkan lar.lidokain HCl 2% + Adrenalin secara IV
5) Mencit ketiga disuntikkan lar.Nacl 0,9%
6) Cek ada/tidaknya respon haffner pada ekor mencit dijepit lalu terjadi respon
angkat ekor/mencit bersuara pada menit ke-10, 15, 20, 25, 30.
7) Catat dan tabelkan pengamatan.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


A. Metode Permukaan Kelompok 1

Ada/tidaknya respon refleks okuler


Bahan Obat (menit ke-)

Percobaan 0 5 10 15 20 30 45 60

Mata Kiri Lidokain HCL


+ - - - - - - -
Kelinci 2%

=> Lidokain HCl 2% memberikan efek selama 30 menit.

B. Metode Regnier Kelompok 3

Jumlah sentuhan yang memberi Respon refleks


Bahan Obat okuler (menit ke-)

Percobaan 0 8 15 20 25 30 40 50 60

Mata Kiri Lidokain


+ 23 20 13 8 21 1 17 5
Kelinci HCL 2%

Total angka regnier pada mata kiri = 108

E. Metode Infiltrasi Kelompok 5

Ada/tidaknya getaran otot punggung kelinci sebanyak 6x


Obat dengan menggunakan peniti (menit ke-)

Percobaan Bahan 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 60

Lidokain
+ - - - - - - + + + +
HCl 2%
Lidokain
Mata Kiri
HCL 2% + - - + + + + + + + +
Kelinci
+Adrenalin

F. Metode Konduksi Kelompok 2 4 6

Ada/tidaknya respon Haffner (menit ke-)


Percobaan Bahan Obat
0 10 15 20 25 30 35 40 45 50

+ + + + + + + + + +

Nacl 0,5% + + + + + + + + + +

+ + + + + + + + + +

Anastesi + + + + + + + - - -
lokal Lidokain
Mencit + - - - - - - - - -
metode HCl 2%
Konduksi + - - - - - - - - -

+ - + + + + + + + +
Lidokain
HCL 2%
+Adrenalin
4.2 Pembahasan

Pada praktikum ini dilakukan percobaan efek anestesi menggunakan metode Anastesi
lokal yaitu Metode Permukaan, Metode Regnier, Metode Infiltrasi dan Metode Konduksi.
Obat yang dipergunakan adalah lidokain. Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang
kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topikal dan suntikan. Anestesi terjadi
lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh
prokain. Lidokain merupakan aminoetilamid. Lidokain dapat menghambat sinyal nyeri sel
saraf dengan mengeblok kanal Natrium dalam sel sehingga dapat menginaktivasi sel saraf.
Dan NaCl sebagai kontrol negative.

Percobaan kelompok 1 yaitu Anastesi Lokal Metode Permukaan dengan tetes mata
untuk mengetahui ada/tidaknya respon refleksi okuler pada mata kanan dan kiri pada menit
ke 0’,5’,10’,15’,20’,30’,45’,60’. Untuk mata kiri Lidokain HCl. Dari hasil data yang
diperoleh pada mata kiri yang diberi Lidokain HCl 2% pada mencit kel.1 saat kornea mata
dikenai aplikator pada menit ke-5 sampai menit ke-60 menujukkan tidak adanya refleksi
okuler dimana efek pada obat Lidokain HCl tidak bereaksi. Hal ini tidak sesuai dengean teori
karena lidokain mempunyai efek anestetika lokal dan mempunyai onset pada tetes mata 20
detik – 5menit serta durasi 5 - 30menit.

Percobaaan kelompo 3 yaitu Anastesi Lokal Metode Regnier untuk mengetahui


jumlah sentuhan yang memberi respon refleks okuler pada menit ke 0’, 8’, 15’, 20’, 25’, 30’,
40’, 50’, 60’. Untuk mata kiri Lidokain HCl.

Dari hasil data yang diperoleh pada kelompok 3 Sedangkan Lidokain HCl pada menit
ke-0 sampai 20’ tetap memperoleh jumlah sentuhan 56 kemudian pada menit ke-25 efek obat
mulai berkurang sehingga jumlah sentuhan mulai berkurang. Pada kel.3 memperoleh total
angka regnier 108. Pada metode ini dengan menggunakan obat Lidokain HCl menentukan
bahwa Lidokain HCl dapat digunakan sebagai obat anastesi lokal yang dapat menghilangkan
rasa nyeri serat memberikan efek anastesi yang lebih cepat dan bertahan lama.

Pada kelompok 5 menggunakan Metode Anastesi Lokal Metode Infiltrasi untuk


melihat ada/tidaknya getaran otot punggung yang dihasilkan oleh kelinci. Obat yang
digunakan yaitu Lidokain HCl dan Lidokain HCl+Adrenalin. Pada obat Lidokain HCl mulai
memberikan repon/efek pada menit ke-35 sampai menit ke-60. Sedangkan pada obat
Lidokain HCl + adrenalin menimbulkan efek pada menit ke-15 sampai ke-60. Data ini sesuai
dengan literalur karena Lidokain HCl mampu menghambat konduksi disepanjang serabut
saraf secara reversibel, baik secara saraf sensorik, motorik, maupun otonom. Kerja obat ini
untuk menyekat rasa sakit/implus vasokonstriktor menuju daerah tubuh tertentu. Pada data
yang diperoleh Lidokain HCl+Adrenalin tidak menujukkan lama kerja obat hal ini mungkin
terjadinya kesalahan pada percobaan karena Lidokain HCl+Adrenalin akan mengurangi
toksisitas sistemik dan meningkatkan masa kerja obat atau memberikan efek lama kerja.
Sedangkan pada NaCl ia tidak akan memberikan efek karena NaCl sebagai kontrol negative .

Pada kelompok 2,4, dan 6 menggunakan Metode Anastesi Lokal Metode Konduksi
untuk mengetahu ada/tidaknya Respon Haffer ( refleks mencit yang apabila ekornya dijepit,
maka terjadi respon angkat ekor/mencit bersuara) dan metode ini dilakukan secara IV. Obat
yang digunakan yaitu NaCl, Lidokain HCl dan Lidokain HCl+Adrenalin. Pada Obat NaCl
tidak memberikan efek/respon haffer karena NaCl tidak akan memberikan efek anastesi lokal
dan NaCl hanya sebagai Kontrol negative. Obat Lidokain HCl menimbulkan efek ke-10
sampai 25’ hanya selama 5 menit efek berkerja. Sedangkan pada Lidokain HCl + Adrenalin
memberikan efek pada menit ke-5 sampai 30’. Hal ini sesuai dengan litelatur bahwa obat
Lidokain HCl + Adrenalin memberikan efek kerja lama dibandingkan lidokain. Mekanisme
kerja Lidokain HCl akan masuk ke dalam sitoplasma dalam bentuk yang belum diubah.
Liodkain bekerja dengan menghambat kanal sodium sehingga menstabilkan membran
neuron. Akibatnya, tidak terjaid potensial aksial dan konduksi implus saraf menjadi
terganggu. Dan penambahan Adrenalin hanya untuk meningkatkan masa kerja obat agar
memberikan efek yang lama kerja.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Dari praktikum yang dilakukan dapat diketahui beberapa metode anastesi


lokal pada hewan coba ;

1. Metode Anastesi Lokal Permukaan memberikan efek refleks okuler pada mata
dengan menggunakan obat Lidokain HCl.
2. Metode Anastesi Lokal Regnier mendapat Total angka regnier sebesar 458&408
pada obat Lidokain HCl.
3. Metode Anastesi Lokal Infiltrasi menimbulkan getaran otot punggung pada
kelinci pada obat Lidokain HCl dan Lidokain HCl+Adrenalin
4. Metode Anastesi Lokal Konduksi yaitu menimbulkan efek/respon haffner yang
lama pada obat Lidokain HCl + Adrenalin dibandingkan Lidokain HCl.

Daftar Pustaka

Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Bagian Farmakologi Fakultas kedokteranUniversitas


Indonesia.

Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2007.Obat-Obat Penting.hal 407-413.Jakarta:CV.


Permata.

Mutschler, E. 1991.Dinamika Obat edisiV.Bandung: ITB

Pearce, Evelyn. 2009.Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis.Jakarta: PT.Gramedia Pustaka


Utama.

Anda mungkin juga menyukai