Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI

ANTIPIRETIK

Dosen Pengampu :
Apt. Nur Anggreini Dwi Sasangka. S.Farm., M.Sc

Disusun oleh :
Kelompok 4
1. Intan Olivia Putri (25195827A)
2. Andri Priambodo (25195831A)
3. Astri Nur Sholikah (25195834A)
4. Ahmad Nur Faozan (25195835A)
5. Dimas Dwi Prasetyo (25195850A)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2020
I. Tujuan
1. Untuk Mengetahui apa itu antipiretik
2. Mengetahui mekanisme kerja obat antipiretik
II. Dasar teori

Obat analgetik antipiretik serta obat Antiinflamasi Non Steroid (AINS) merupakan
suatu kelompok obat yang heterogen secara kimia dan memiliki banyak persamaan dalam
efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini disebut juga sebagai obat
mirip aspirin (aspirin-like drugs) (Wilmana dan Gan, 2007). Antipiretik adalah obat yang
menekan suhu tubuh pada keadaan demam. Semua analgetik perifer memiliki kerja
antipiretik, yaitu menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam, maka disebut pula
analgetik antipiretik. Khasiat antipiretik ditentukan berdasar rangsangannya terhadap
pusat pengaturan panas di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit),
ditandai dengan bertambahnya pengeluaran kalor disertai keluarnya banyak keringat (Tjay
dan Rahardja, 2002).
Antipiretik digunakan untuk membantu untuk mengembalikan suhu set point ke
kondisi normal dengan cara menghambat sintesa dan pelepasan prostaglandin E2, yang
distimulasi oleh pirogen endogen pada hipotalamus (Sweetman, 2008). Obat ini
menurunkan suhu tubuh hanya pada keadaan demam namun pemakaian obat golongan ini
tidak bolehdigunakan secara rutin karena bersifat toksik. Efek samping yang sering
ditimbulkan setelah penggunaan antipiretik adalah respon hemodinamik seperti hipotensi,
gangguan fungsi hepar dan ginjal, oliguria, serta retensi garam dan air (Hammond and
Boyle, 2011).
Obat – obat antipiretik secara umum dapat digolongkan dalam beberapa golongan
yaitu golongan salisilat, (misalnya aspirin, salisilamid), golongan para-aminofenol
(misalnya acetaminophen, fenasetin) dan golongan pirazolon (misalnya fenilbutazon dan
metamizol) (Wilmana, 2007). Indonesia memiliki berbagai macam kekayaan alam, di
antaranya ialah kekayaan tumbuh-tumbuhan yang termasuk di dalamnya tanaman
berkhasiat obat. Pemanfaatan tanaman berkhasiat obat sudah lama dilakukan oleh
masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun ke generasi berikutnya sebagai obat
tradisional. Berdasarkan data pada Lokakarya Nasional Tanaman Obat tahun 2010,
Indonesia memiliki 30.000 jenis tumbuhan dari total 40.000 jenis tumbuhan di dunia,
termasuk di antaranya 940 jenis tumbuhan berkhasiat obat.
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) atau disebut juga belimbing asam adalah
sejenis pohon yang diperkirakan berasal dari Maluku. Kandungan dari belimbing ini
mampu mengobati berbagai penyakit. Belimbing wuluh mengandung zat aktif saponin,
flavonoid, tanin, glukosida, asam sitrat, asam format, dan beberapa mineral, terutama
kalium dan kalsium. Buah ini juga mengandung beberapa vitamin yaitu vitamin A, B, dan
C.
Demam adalah peningkatan suhu tubuh di atas batas normal. Suhu normal tubuh
berkisar antara 36,5 – 37,5°C. Demam pada anak dapat membuat orang tua cemas,
mengingat bisa terjadi komplikasi kejang demam. Hal inilah yang mendorong para orang
tua membawa anaknya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan. Untuk masyarakat
yang tinggal di pedesaan yang jasa pelayanan kesehatan masih minim, demam diatasi
dengan cara pengobatan tradisional. Masyarakat di daerah Minahasa dan Kotamobagu,
masih banyak menggunakan pengobatan tradisional untuk mengatasi masalah kesehatan.
Salah satunya menggunakan Belimbing wuluh sebagai obat penurun demam. Caranya
dengan merebus Belimbing wuluh kemudian meminum air rebusan tersebut.

III. Alat dan Bahan


1) Pepton 1%
2) Kontrol Positif (Ibuprofen)
3) Kontrol Negatif (CMC)
4) Obat Uji A
5) Obat Uji B
6) Obat Uji C
7) Kapas
8) Termometer
9) Timer
IV. Cara Kerja
Preparasi sampel, alat bahan dan hewan uji

Menimbang mencit terlebih dahulu dan mengukur suhu mencit dan catat suhunya

Masukkan penginduksi panas (Pepton 1%)

Mengukur kembali suhu mencit lalu di catat

Memberikan obat Ibu profen (kontrol positif), CMC (kontrol negatif) dan obat uji lainnya
(herbal) dengan cara p.o. (oral)

Mencatat suhu tiap 15 menit, 30 menit, dan 60 menit

Mengamati perubahan suhu pada mencit dan reaksi tubuh mencit

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


Ibuprofen termasuk salah satu dari golongan obat antiinflamasi non steroid
(AINS) yang banyak digunakan sebagai analgesik, antiinflamasi dan antipiretik.
Ibuprofen dosis rendah sama efektifnya dengan aspirin dan parasetamol untuk indikasi
sebagai antipiretik (Sofwan, 2013).
CMC diberikan pada hewan uji dimana jika pada dosis manusia CMC diberikan
100 mg/ml. Ibuprofen diberikan kepada hewan uji dimana jika pada dosis manusia
Ibuprofen diberikan 400 mg/5 ml. Obat A diberikan pada hewan uji di mana jika pada
dosis manusia obat A diberikan 200 mg/ml. Obat B diberikan pada hewan uji di mana
jika pada dosis manusia obat B diberikan 200 mg/5 ml. Obat C diberikan pada hewan uji
dimana jika pada dosis manusia obat C diberikan 500 mg. Jadi pemberian dosis tertinggi
terdapat pada perlakuan obat C yang diberikan sebanyak 500 mg, sedangkan dosis
terendah terdapat pada perlakuan CMC yang diberikan sebanyak 100 mg/ml. Semua
perlakuan tersebut menggunakan vol. pemberian secara p.o.
Pada hasil pengamatan yang telah diamati didapatkan hasil :
Perlak HU Bobo Do Vol. Konsent Suhu (oC)
uan t (g) (mg) Pemberi rasi (%) T0 T1 (sudah 15’ 30’ 60’
an (P.O) diberikan
pepton)
CMC 1 29 0,377 0,377 0.038% 37. 40 40. 38. 37.
mg ml 8 3 5 6
2 25 0,325 0,325 0.033% 37. 39.8 39. 38. 38.
mg ml 5 8 5 2
3 26 0,338 0,338 0.034% 37. 39.6 39. 38. 38.
mg ml 5 5 7 6
4 26 0,338 0,338 0.034% 37. 40.3 40. 40 39.
mg ml 8 1 6
5 20 0,26 0,26 ml 0.026% 37. 39.5 39. 38. 38.
mg 8 5 9 1
Ibupro 1 24 1,248 1,56 ml 0,1248 37. 40.3 39. 38. 37.
fen mg % 8 8 7 6
2 25 1,3 1,625 0,13% 37. 39.7 39. 38. 37.
mg ml 5 7 7 5
3 26 1,352 1,69 ml 0, 37. 39.7 39. 38. 37.
mg 1352% 5 6 7 8
4 26 1, 1,69 ml 0, 37. 39.7 39. 39. 37.
352 1352% 8 7 2 7
mg
5 20 1, 04 1,3 ml 0, 104% 37. 40 39. 38. 37.
mg 8 8 8 5
Obat A 1 25 0.65 0,325 0,065 % 37. 40.5 39. 39. 37.
mg ml 8 8 4 5
2 25 0.65 0,325 0,065 % 38. 39.7 39. 38. 38.
mg ml 5 6 9 2
3 26 0.68 0,34 ml 0,068 % 37. 39.3 39. 38. 38.
mg 5 2 7 1
4 20 0.52 0,26 ml 0,052 % 37. 39.6 38. 37. 38.
mg 8 8 6 5
5 20 0.52 0,26 ml 0,052 % 37. 39.7 39. 38. 37.
mg 8 7 7 6
Obat B 1 20 0,52 1,3 ml 0.052% 37. 39.6 40. 38. 37.
mg 5 3 7 6
2 22 0,572 1,43 ml 0.0572 37. 40.3 39. 39. 38.
mg % 8 8 2 2
3 25 0,65 1,625 0.065% 37. 39.5 39. 38. 38.
mg ml 8 5 8 6
4 25 0,65 1,625 0.065% 37. 40.3 40. 39. 39.
mg ml 5 1 4 6
5 29 0,754 1,885 0.0754 37. 39.7 39. 38. 38.
mg ml % 5 5 9 1
Obat C 1 30 1,95 0,39 ml 0,195 37. 40.3 39. 39. 38.
mg (%) 8 6 2 2
2 30 1,95 0,39 ml 0,196 38. 39.5 39. 38. 38.
mg (%) 5 2 8 1
3 25 1,62 0,32 ml 0,162 37. 40.3 38. 39. 38.
mg (%) 5 8 4 5
4 20 1,3 0,26 ml 0,13 (%) 37. 39.7 39. 38. 37.
mg 8 7 9 6
5 27 1,7 0,34 ml 0,17 (%) 37. 39.7 40. 38. 37.
mg 8 3 7 6

Tabel 1
Pada hasil data Tabel 1 dapat diketahui bahwa :
a. CMC
Pada perlakuan CMC dosis tertinggi terdapat pada Hewan uji kelompok 1 dengan bobot
29 gr, dosis 0,377 mg, dan konsentrasi 0,038% sedangkan dosis terendah terdapat pada
kelompok 5 dengan bobot 20 gr, dosis 0,26 MG dan konsentrasi 0,026 %.
b. Ibuprofen
Pada perlakuan Ibuprofen dosis tertinggi terdapat pada kelompok 3 dan 4 dengan bobot
26 gr, dosis 1,352 mg dan konsentrasi 0,135 2%, sedangkan dosis terendah terdapat pada
hewan uji kelompok 5 dengan bobot 20 gr, dosisnya 1,04 mg dengan konsentrasi 0,1%.
c. Obat A
Pada perlakuan obat A dosis tertinggi terdapat pada hewan uji kelompok 3 dengan bobot
26 gram, dosis 0,68 mg, dan konsentrasi 0,068%, sedangkan dosis terendah hewan uji
terdapat pada kelompok 4 dan 5 dengan bobot 20 gr, dosis 0,52 mg, dan konsentrasi
0,052%.
d. Obat B
Pada perlakuan obat B dosis tertinggi terdapat pada hewan uji kelompok 5 dengan bobot
29 gr, dosis 0,754 mg, dan konsentrasi 0,0754%, sedangkan dosis terendah terdapat pada
hewan uji kelompok 1 dengan bobot 20 gr, dosis 0,52 mg dengan konsentrasi 0,052%.
e. Obat C
Pada perlakuan obat C dosis tertinggi terdapat pada hewan uji kelompok 1 dan 2 dengan
bobot 30 gr, dosis 1,95 mg dan konsentrasi 0,196%, sedangkan dosis terendah terdapat
pada hewan uji kelompok 4 dengan bobot 20 gr, dosis 1,3 mg dan konsentrasi 0,13%.

Dari hasil data diatas dapat disimpulkan bahwa obat C memiliki dosis, konsentrasi
dan volume tertinggi pada hewan uji kelompok 1 dan 2 dengan bobot 30 gr, dosis 1,95
mg, volume 0, 39 ml, dan konsentrasi 0,196 %. Pada suhu awal atau suhu demam 38,5°
, kemudian pada saat diberikan pepton suhu meningkat menjadi 39, 5°, pada menit ke-15
suhu menurun menjadi 39,2°, Kemudian pada menit ke-30 suhu kembali menurun
menjadi 38,8°, pada menit ke-6 suhu menurun menjadi 38,1°. Jadi pada suhu awal
mengalami suhu 38,5° menjadi 38,1° pada menit ke-60.

Dosis terendah terdapat pada perlakuan CMC pada kelompok 5 dengan bobot 20 gr,
dosis 0,26, volume 0,26ml, dan konsentrasi 0,026%. Pada suhu awal (T0) 37,8°,
kemudian pada T1 yang telah diberikan pepton suhu meningkat menjadi 39,5° kemudian
pada menit ke 15 suhu tetap, pada menit ke-30 suhu menurun menjadi 38,9° dan pada
menit ke-60 menurun kembali menjadi 38,1°. Jadi pada suhu awal 37,8° pada menit ke-
60 38,1° tidak adanya penurunan suhu tapi kenaikan.

Ditunjang dengan hasil uji yang menunjukkan semakin tinggi dosis semakin besar
penurunan suhu tubuh yang dihasilkan. Kenaikan suhu tubuh tikus yang tiba-tiba dapat
disebabkan oleh beberapa kemungkinan diantaranya aktivitas fisik, stress, suhu kamar
dan kelembaban yang tinggi.

Konsentrasi yang rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan konsentrasi


yang tinggi dapat membunuh mikroorganisme tertentu. Bahan dengan konsentrasi yang
tinggi bersifat bakterisid yaitu memiliki daya membunuh kuman, sedangkan bahan
dengan konsentrasi rendah bersifat bakteriostatik yaitu memiliki daya menghambat
pertumbuhan kuman.
Kelompok perlakuan
Waktu menit ke CMC Ibuprofen Obat A Obat B Obat C
Suhu
37.88
T0 demam 37.68 37,68 37.62 37.88
T1 15’(t1-t0) 2.16 2.2 1.88 2.14 2.02
T2 30’(t2-t1) 0 -0.16 -0.34 0.08 -0.38
T3 60’(t3-t2) -0.92 -0.9 -0.76 -0.84 -0.52
T4 90’ (t4-t3) -0.5 -1.2 -0.68 -0.58 -1

Tabel 2
Pada kelompok perlakuan obat B didapatkan hasil rata-rata T0 suhu demam = 37,
62, pada T1 menit ke-15 = 2,14, pada T2 menit ke-30 = 0,08, pada T3 menit ke-60
didapatkan rata-rata sebanyak -0,84, pada T4 menit ke-90 didapatkan rata-rata = -0,58.
Pemberian obat B pada hewan uji (mencit) ternyata efektif untuk menurunkan
panas. Hal ini dapat dilihat pada akhir pengamatan, suhu tubuh tikus sudah kembali pada
suhu normalnya.

VI. KESIMPULAN

Efek Antipiretik sebagai antipiretik obat mirip aspirin akan menurunkan


suhu badan.Pada keadaan demam walaupun kebanyakan obat ini memperlihatkan efek
antipiretik in vitro, tidak semuanya berguna sebagai antipiretik karena bersifat toksin bila
digunakan secara rutin atau terlalu lama.

Berdasarkan uji yg sudah dilakukan didapatkan Dosis Tertinggi di hasilkan oleh


obat C dengan uji kelompok 1 dan 2 bobot 30 gr, dosis 1,95 mg dan konsentrasi 0,196%,
dan dosis terendah ada pada obat CMC Dengan Hewan uji kelompok 1 bobot 29 gr, dosis
0,377 mg, dan konsentrasi 0,038% , dari kedua obat tersebut obat yg paling ampuh ialah
obat dengan konstentarsi tertinggi karena Bahan dengan konsentrasi yang tinggi bersifat
bakterisid yaitu memiliki daya membunuh kuman, sedangkan bahan dengan konsentrasi
rendah bersifat bakteriostatik yaitu memiliki daya menghambat pertumbuhan kuman.
DAFTAR PUSTAKA
Guyton AC, Hall JE. Suhu Tubuh, Pengaturan Suhu dan Demam. Dalam: Rachman LY,
Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi ke-11. Jakarta: EGC;2018. h. 945-6.
Ganong WF. Pengaturan Sentral Fungsi Visera. Dalam: Novrianti A, Dany F, Resmisari
T, Rachman LY, Muttaqin H, Nugroho AW, Rendy L, Liena, Dwijayanthi L,
Bourman V, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-22. Jakarta: EGC;
2019. h. 266-8.
Guyton AC, Hall JE. Suhu Tubuh, Pengaturan Suhu dan Demam. Dalam: Rachman LY,
Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N, editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.
Edisi ke-11. Jakarta: EGC;2018. h. 945-6.
Himran Angriana Hi., Sabir. M. EFEK ANTIPIRETIK EKSTRAK BELIMBING WULUH
(Averrhoa Bilimbi) TERHADAP MENCIT (Mus Musculus) YANG DIINDUKSI VAKSIN
DPT, MEDIKA TADULAKO, Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 3 No. 1. Januari 2016.

Anda mungkin juga menyukai