23
=
1,3 23
20
= 1,495 /23
Konversi dosis tikus :
500 0,018 = 9 /200
Untuk tikus dgn bb 159 g, maka :
9
200
159
=
9 159
200
= 7,155 /159
b. Volume yg diberikan secara oral kepada mencit :
1,495
=
5
1
=
1,495 1
5
= 0,29
Volume yg diberikan secara oral kepada tikus :
7,155
=
5
1
=
7,155 1
5
= 1,423
2. Dik : Dosis obat A intraperitonial pada manusia dewasa 50 mg
Faktor konversi dosis dari manusia kepada mencit 0,0026
Faktor konversi dosis dari manusia kepada mencit 0,018
Konsentrasi larutan obat A yg tersedia di laboratorium 0,5 mg/mL.
Dit : a. Hitunglah konversi dosis untuk diberikan kepada mencit & tikus
jika Bobot badan mencit 23 g & tikus 159 g
b. Hitunglah volume yg diberikan secara intraperitonial kepada
mencit & tikus
Jwb
:
a. Konversi dosis mencit :
50 0,0026 = 0,13 /20
Untuk mencit dgn bb 23 g, maka :
0,13
20
=
23
=
0,13 23
20
= 0,149 /23
Konversi dosis tikus :
50 0,018 = 0,9 /200
Untuk tikus dgn bb 159 g, maka :
0,9
200
159
=
9 159
200
= 0,7155 /159
b. Volume yg diberikan secara intraperitonial kepada mencit :
0,149
=
5
1
=
0,149 1
5
= 0,029
Volume yg diberikan secara oral kepada tikus :
0,7155
=
5
1
=
0,7155 1
5
= 0,1423
VI. Pembahasan
Hewan coba atau hewan uji atau sering disebut hewan laboratorium
adalah hewan yang khusus diternakan untuk keperluan penelitian biologik.
Hewan percobaan digunakan untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat
pada manusia. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan sederhana
ke ukuran yang besar dan lebih komplek digunakan untuk keperluan penelitian
ini, yang sering dipakai dalam penelitian maupun praktikum yaitu: Kelinci
(Oryctolagus cuniculus), Marmut (Cavia parcellus), Mencit (Musmusculus), dan
Tikus (Rattus novergicus). Hewan sebagai model atau sarana percobaan haruslah
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain persyaratan genetis /
keturunan dan lingkungan yang memadai dalam pengelolaannya, disamping
faktor ekonomis, mudah tidaknya diperoleh, serta mampu memberikan reaksi
biologis yang mirip kejadiannya pada manusia.
Pada percobaan ini praktikan menggunakan hewan percobaan mencit,
tikus, kelinci, dan marmot. Tetapi yang benar-benar dilakukan untuk percobaan
adalah mencit dan tikus. Hewan-hewan tersebut dapat digunakan sebagai hewan
percobaan untuk praktikum farmakologi ini karena struktur dan sistem organ
yang ada di dalam tubuhnya hampir mirip dengan struktur organ yang ada di
dalam tubuh manusia. Sehingga hewan-hewan tersebut biasa digunakan untuk
uji praklinis sebelum nantinya akan dilakukan uji klinis yang dilakukan langsung
terhadap manusia. Percobaan kali ini adalah membahas tentang bagaimana cara
penanganan hewan coba sebelum kita melakukan pemberian obat terhadap
hewan coba serta dapat menghitung konversi dosis pada mencit dan tikus.
Sebelum melakukan percobaan, terlebih dahulu praktikan harus
mengetahui volume pemberian obat pada hewan percobaan. Volume cairan yang
diberikan pada setiap jenis hewan percobaan tidak boleh melebihi batas
maksimal yang telah ditetapkan. Karena kalau melebihi batas maksimal
kemungkinan hewan percobaan akan mengalami efek farmakologis yang dapat
membahayakannya yang bersifat toksisitas. Untuk memperoleh efek
farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies hewan percobaan,
diperlukan data penggunaan dosis dengan menggunakan perbandingan luas
permukaan tubuh setiap spesies
Pada hewan percobaan ini ada faktor-faktor yang dapat memperngaruhi
hasil percobaan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat
mempengaruhi hasil percobaan antara lain adalah variasi biologik (usia, jenis
kelamin), ras dan sifat genetik, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh, dan
luas permukaan. Usia dan jenis kelamin berpengaruh pada hasil percobaan
karena pada usia yang tepat pada fase hidup hewan tersebut, efek farmakologi
yang dihasilkan akan lebih baik. Beda hasilnya jika usia hewan tersebut masih
bayi. Jenis kelamin juga berpengaruh di lihat dari literature bobot badan hewan
akan berbeda. Hal ini berpengaruh pada dosis yang akan di gunakan pada hewan
percobaan tersebut. Begitu juga dengan ras dan sifat genetik, berpengaruh
karena jika menggunakan hewan percobaan dengan ras dan sifat genetik yang
berbeda-beda, maka hasil percobaannya juga akan berbeda. Hal ini karena gen
pada setiap individu berbeda. Dengan gen yang berbeda-beda dan karakteristik
yang berbeda pula, maka masing-masing memiliki perbedaan dalam perilaku,
kemampuan imunologis, infeksi penyakit, kemampuan dalam memberikan
reaksi terhadap obat, kemampuan reproduksi dan lain sebagainya. Status
kesehatan dan nutrisi berpengaruh terhadap hasil percobaan karena efek yang
dihasilkan dalam dosis akan cepat diserap oleh tubuh dan berlangsung cepat efek
yang di hasilkan. Selain itu, bobot tubuh dan luas permukaan tubuh juga
berpengaruh dalam hasil percobaan. Bobot dan luas permukaan tubuh hewan
yang besar akan lebih membutuhkan lebih banyak dosis dibandingkan dengan
yang memiliki bobot dan luas permukaan tubuh yang kecil untuk mendapatkan
data kuantitatif yang akurat pada efek farmakologis yang terjadi.
Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan antara lain
adalah pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau
baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup
seperti suhu, kelembaban udara, ventilasi, cahaya, kebisingan serta penempatan
hewan), suplai oksigen, pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan
jaringan atau organ untuk percobaan. Meningkatnya kejadian penyakit infeksi
pada hewan percobaan, disebabkan karena kondisi lingkungan yang jelek di
mana hewan itu tinggal. Maka dengan meningkatnya kejadian penyakit infeksi
dan disertai dengan keadaan nutrisi yang jelek pula, akan berakibat resistensi
tubuh menurun, sehingga akan berpengaruh terhadap hasil suatu percobaan. Jadi,
untuk menghasilkan hasil percobaan yang baik, faktor eksternal tersebut harus
disesuaikan dengan karakteristik hewan percobaan agar hewan tersebut tidak
stres. Karena kalau hewan tersebut stres akan menghambat percobaan
Percobaan pertama pada praktikum ini adalah cara memegang hewan serta
cara penentuan jenis kelaminnya perlu pula diketahui. Cara memegang hewan
dari masing-masing jenis hewan adalah berbeda-beda dan ditentukan oleh sifat
hewan, keadaan fisik (besar atau kecil) serta tujuannya. Kesalahan dalam
caranya akan dapat menyebabkan kecelakaan atau hips ataupun rasa sakit bagi
hewan (ini akan menyulitkan dalam melakukan penyuntikan atau pengambilan
darah) dan juga bagi orang yang memegangnya. Mencit dan tikus dapat
dipegang dengan memegang ujung ekornya dengan tangan kanan, letakan pada
alas kasar, biarkan mencit atau tikus mencengkram alas kasar (penutup kawat
kandang). Kemudian tangan kiri dengan ibu jari dan jari telunjuk menjepit kulit
tengkuknya seerat/setegang mungkin. Ekor dipindahkan dari tangan kanan,
dijepit antara jari kelingking dan jari manis tangan kiri. Dengan demikian,
mencit atau tikus telah terpegang oleh tangan kiri dan siap untuk diberi
perlakuan.Jika cara penanganan mencit tidak sesuai, biasanya mencit akan
merasa stress dan ketakutan sehingga akan buang air besar dan buang air kecil.
Selain cara memegang hewan yang berbeda-beda, cara pemberian sediaan
uji juga berbeda pada setiap hewan. Cara pemberian ini merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi respon obat pada hewan percobaan. Bentuk sediaan
yang akan digunakan perlu disesuaikan dengan cara pemberian yang dipilih
disamping juga sifat obat yang akan digunakan.
Pemberian secara oral pada mencit dan tikus dilakukan dengan alat suntik
yang dilengkapi jarum oral atau sonde oral (berujung tumpul). Hal ini untuk
meminimalisir terjadinya luka atau cedera ketika hewan uji akan diberikan
sedian uji. Perlu diperhatikan bahwa cara peluncuran/pemasukan sonde yang
mulus disertai pengeluaran cairan sediaannya yang mudah adalah cara
pemberian yang benar. Cara pemberian yang keliru, masuk ke dalam saluran
pernafasan atau paru-paru dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan
kematian. Praktikan dapat mengetahui pemberian obat secara oral ini berhasil
atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari cairan yang dimasukan tersebut. Bila dari
hidung hewan uji keluar cairan seperti yang kita berikan menunjukkan adanya
kesalahan dalam proses pemberian. Sedangkan bila berhasil, maka tidak akan
terjadi apa-apa.
Pemberian obat dengan rute Injeksi subkutan (SC) atau pemberian obat
melalui bawah kulit pada mencit dan tikus, hanya boleh digunakan untuk obat
yang tidak menyebabkan iritasi jaringan. Penyuntikkan dilakukan di bawah kulit
pada daerah kulit tengkuk untuk mencit sedangkan tikus dilakukan di bawah
kulit tengkuk atau kulit abdomen. Dibersihkan area kulit yang mau disuntik
dengan alkohol 70 % yang bertujuan agar daerah yang akan disuntik menjadi
Aseptik. Untuk mencit diusahakan dilakukan dengan cepat untuk menghindari
pendarahan yang terjadi karena pergerakan kepala dari mencit. Pemberian obat
ini berhasil jika jarum suntik telah melewati kulit dan pada saat alat suntik
ditekan, cairan yang berada di dalamnya dengan cepat masuk ke daerah bawah
kulit.
Pemberian obat dengan rute intra vena pada mencit dan tikus. Tujuannya
pemberian obat dengan rute intra vena untuk memperoleh reaksi obat yang cepat
diabsorbsi daripada dengan injeksi parenteral lain, untuk menghindari terjadinya
kerusakan jaringan dan untuk memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar.
Pada saat melakukan injeksi di dalam alat suntik tidak boleh ada udara karena
jika di dalamnya ada udara, pada saat dimasukan ke dalam vena ekor pada
mencit, vena akan rusak dan tidak stabil serta ekor akan menggelembung.
Sedangkan untuk tikus, vena marginalis akan rusak dan tidak stabil aliran darah.
Untuk menanggulanginya keluarkan jarum dan masukkan kembali itu dilakukan
sedikit di atas awal injeksi. Jika pemberian obat secara intravena berhasil dengan
posisi yang benar, maka akan terlihat pada vena jarum warnanya menjadi pucat.
Untuk mencit biarkan pada posisi tengkurap dengan menjulurkan ekor.
Kemudian ekor mencit dibuat mengalami vasodilatasi dengan cara ekor mencit
diolesi dengan etanol. Proses dilatasi pada ekor mencit juga bisa dilakukan
dengan cara merendamnya dalam air hangat. Ciri-ciri pembuluh vena yang
mengalami vasodilatasi adalah garis merah pada ekor mencit akan terlihat jelas
dan besar sehingga akan memudahkan praktikan untuk menyuntikan.
Pemberian obat dengan rute Injeksi intramuskular pada mencit dan tikus
adalah memasukkan obat secara tidak langsung ke dalam aliran darah sebagai
gantinya ke dalam jaringan otot di mana ia dapat diabsorbsikan oleh aliran darah
yang berlebih-lebihan melalui kapiler yang melayani otot. Injeksi intramuscular
memberikan efek sistemik yang diberikan secara parenteral. Penyuntikan
dilakukan pada jaringan berotot, disuntikan ke dalam otot pada daerah paha
posterior mencit dan tikus.
Pemberian obat dengan rute Intraperitonel (IP) tidak dilakukan pada
manusia karena bahaya. Intraperitonial mengandung banyak pembuluh darah
sehingga obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Disini obat langsung
masuk ke pembuluh darah sehingga efek yang dihasilkan lebih cepat
dibandingkan intramuscular dan subkutan karena obat di metabolisme serempak
sehingga durasinya agak cepat. Intinya absorpsi dari obat mempunyai sifat-sifat
tersendiri. Beberapa diantaranya dapat diabsorpsi dengan baik pada suatu cara
penggunaan, sedangkan yang lainnya tidak.
Apabila pada hewan percobaan terjadi keadaan rasa sakit yang hebat atau
lama akibat suatu percobaan atau apabila mengalami kecelakaan, menderita sakit
atau jumlahnya terlalu banyak dibandingkan dengan kebutuhan, maka perlu
dilakukan pengorbanan hewan. Etanasi atau cara kematian tanpa rasa sakit perlu
dilakukan sedemikian rupa sehingga hewan akan mati dengan seminimal
mungkin rasa sakit. Pada dasarnya cara fisik yaitu dengan melakukan dislokasi
leher adalah cara yang paling cepat, mudah dan berprikemanusiaan, tetapi cara
perlakuan kematian juga perlu ditinjau bila ada tujuan dari pengorbanan hewan
percobaan dalam rangkaian percobaan. Cara mengorbankan hewan percobaan
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kimia dan cara fisik. Pada umumnya
untuk mengorbankan mencit, tikus, kelinci, dan marmot dilakukan dengan cara
yang sama. Tetapi ada beberapa cara yang biasa dilakukan untuk mengorbankan
tikus, kelinci, dan marmot. Cara kimia untuk mengorbankan mencit, tikus,
kelinci, dan marmot adalah dengan menggunakan eter atau pentobarbital natrium
pada dosis letalnya sehingga dapat membunuh hewan-hewan tersebut. Untuk
cara fisik ada beberapa yang berbeda. Untuk mencit dan marmot bisa digunakan
dislokasi leher.
VII. Kesimpulan
1. Hewan yang lazim dipergunakan dalam percobaan memiliki karakteristik
berbeda-beda yang bertujuan agar bisa memperlakukan hewan percoban
sehingga hewan percobaan menjadi stress yang akan mempengaruhi hasil
percobaan
2. Menghitung konversi dosis antar spesies pada hewan percobaan ini agar
memperoleh efek farmakologis yang sama dari suatu obat pada spesies hewan
percobaan dengan menggunakan metode perbandingan luas permukaan tubuh
setiap spesies
3. Memegang hewan percobaan yang bertujuan agar hewan percobaan mudah di
tangani dalam pemberi sediaan uji seperti secara oral, subkutan, intravena,
intramuskular, intraperitoneal
4. Menganestesi hewan percobaan dengan dengan senyawa eter, halotan,
pentobarbital natrium, heksobarbital natrium, dan uretan (etil karabamat)
5. Mengorbankan hewan percobaan dilakukan jika proses percobaan telah
selesai dan hewan tidak akan dipergunakan untuk tahap percobaan
selanjutnya yang dapat dilakukan dengan cara kimia (pentobarbital-Na atau
eter dengan dosis letal) dan fisika (dislokasi leher)
Daftar Pustaka
Malole, M.M.B, Pramono. 1989. Penggunaan Hewan Hewan Percobaan
Laboratorium. Bogor : IPB. DitJen Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Bioteknologi.
Harmita, Maksum Radji, Analisis hayati, edisi 3, Jakarta,EGC,2008,
Anief, M., 1994. Farmasetika. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Katzung,
B.G., 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Sulaksono, M.E., 1987. Peranan, Pengelolaan dan Pengembangan Hewan Percobaan.
Jakarta.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002.Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-
Efek Sampingnya. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Kelompok Gramedia.
Reksohadiprodjo, M.S., 1994. Pusat Penelitian Obat Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I
PERCOBAAN I
PENANGANAN HEWAN PERCOBAAN DAN KONVERSI DOSIS
Tanggal Praktikum : 22 September 2014
Tanggal Laporan : 29 september 2014
Kelompok/Shift : 5/A
Anggota Kelompok :
Sarah Siva Mariam 10060312017
Wendy Wijaya 10060312018
Gina Trihandayani 10060312020
Yuli Ernawati 10060312021
Marsha Budi Clarasati 10060312022
Nama Asisten : Sri Peni F., M.Si., Apt.
LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT D
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2014