Disusun Oleh:
LABORATORIUM BIOLOGI
PROGRAM STUDI FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2022
1
TATA TERTIB UMUM PELAKSANAAN KEGIATAN PRAKTIKUM
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
A. Prosedur Masuk Laboratorium
1. Praktikan harus telah memakai jas lab (dikancing dan lengkap).
2. Praktikan duduk ditempat yang disediakan sesuai dengan kelompoknya masing – masing.
3. Simpan tas pada laci yang telah disediakan.
4. Barang – barang yang boleh dibawa ke dalam laboratorium hanya alat tulis, kalkulator, dan
perlengkapan praktikum.
5. Perlengkapan praktikum yang harus dibawa praktikan, yaitu masker, sarung tangan kain
dan latex, koran bekas dan rangkuman prosedur untuk praktikum.
2
PRAKTIKUM 1
CARA PENANGANAN DAN PEMBERIAN OBAT PADA HEWAN PERCOBAAN
I. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa diharapkan:
1. Mengetahui dan mampu menangani hewan untuk percobaan
farmakologi secara baik.
2. Mengetahui sifat-sifat hewan percobaan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi responnya.
3. Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute
pemberian serta pengaruhnya terhadap efek yang ditimbulkan.
II. Teori
Dalam praktikum farmakologi percobaan umumnya dilakukan terhadap hewan
hidup. Setiap hewan harus diperlakukan dengan baik karena perlakuan yang tidak
wajar terhadap hewan percobaan dapat menimbulkan penyimpangan-
penyimpangan dalam hasil pengamatan. Hewan percobaan memiliki karakteristik
yang bermacam-macam. Berikut ini adalah karakteristik beberapa hewan
percobaan yang sering digunakan di laboratorium farmakologi.
1. Mencit
Mencit merupakan hewan yang relatif lebih mudah ditangani, bersifat
penakut dan fotofobik, cenderung bersembunyi dan berkumpul dengan
sesamanya, lebih aktif pada malam hari, aktivitasnya terganggu dengan
adanya manusia, suhu normal badan 37,40C, laju respirasi normal 163
kali/menit.
2. Tikus
Tikus merupakan hewan yang sangat cerdas, relatif lebih mudah ditangani,
tidak terlalu bersifat fotofobik, lebih tahan terhadap infeksi, kecenderungan
untuk berkumpul dengan sesamanya tidak tinggi, dapat menjadi liar, galak,
dan menyerang si pemegang jika makanannya kurang atau diperlakukan
kasar, suhu normal badan 37,50C, laju respirasi 210 kali/menit.
3. Kelinci
Kelinci jarang bersuara kecuali bila merasa nyeri, dan jika merasa tidak aman
akan memberontak, suhu rektal umumnya 38-39,50C, suhu berubah jika
mengalami
3
gangguan lingkungan, laju respirasi 38-65 kali/menit, umumnya 50
kali/menit pada kelinci dewasa normal.
4. Marmut
Marmut sangat jinak, mudah ditangani, jarang menggigit, kulitnya halus dan
berkilat, bulunya tebal dan kuat tapi tidak kasar, tidak mengeluarkan cairan di
hidung dan telinga. Laju denyut jantung 150-160 kali/menit, laju respirasi
50-110 kali/menit, suhu rektal 39-400C.
5. Katak
Kulit katak bersifat lembab dan licin.
4
IV. Dosis Obat pada Hewan Percobaan
Pendekatan terbaik dalam penentuan dosis adalah dengan menggunakan
perbandingan luas permukaan tubuh. Perbandingan luas permukaan tubuh
beberapa spesies hewan percobaan yang sering digunakan di laboratorium
farmakologi ditunjukkan pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Perbandingan Luas Permukaan Tubuh Hewan Percobaan
(Untuk Konversi Dosis)
dicari 20 g 200 400 g 1,5 2 kg 4 kg 12 kg 70 kg
g kg
diketahui
Mencit Tikus t Kelinci Kucing Kera Anjing Manusia
20 g Mencit 1,0 7,0 12,29 27,8 23,7 64,1 124,2 387,9
200 g Tikus 0,14 1,0 1,74 3,3 4,2 9,2 17,8 56,0
400 g Marmot 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5
1,5 kg Kelinci 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2
Bila diinginkan dosis absolut pada manusia 70 kg dari data dosis pada anjing 20
mg/kg (untuk anjing dengan bobot badan 12 kg) maka dihitung terlebih dahulu
dosis absolut pada anjing tersebut yaitu 20 mg/kg x 12 kg = 240 mg. Dengan
menggunakan faktor konversi pada Tabel 2 maka diperoleh dosis absolut untuk
manusia (70 kg) yaitu 240 mg x 3,1 = 744 mg. Dengan demikian dapat diramalkan
efek farmakologis suatu obat yang timbul pada manusia dengan dosis 744 mg/70
kg BB adalah sama dengan yang timbul pada anjing dengan dosis 240 mg/12 kg
BB.
7
- Intraperitoneal : Mencit dipegang seperti pada Gambar 1.3 tetapi posisi kepala
lebih rendah dari abdomennya. Jarum disuntikkan dengan
membentuk sudut 100 dari abdomen, agak menepi dari garis
tengah, untuk mencegah terkenanya kandung kemih dan tidak
terlalu tinggi agar tidak mengenai hati.
Volume penyuntikan untuk mencit umumnya 1mL/100 g bobot badan. Kepekatan
larutan obat yang disuntikkan disesuaikan dengan volume yang dapat disuntikkan
tersebut.
1.3. Anestesi
Senyawa-senyawa anestesi dan cara penggunaannya adalah:
- Eter dan karbondioksida (anestesi singkat)
Letakkan obat pada dasar desikator kemudian hewan dimasukkan dan wadah
ditutup. Bila hewan sudah kehilangan kesadaran maka hewan dikeluarkan dan
siap dibedah. Penambahan selanjutnya bisa diberikan dengan bantuan kapas
sebagai masker. - Halotan
Digunakan untuk anestesi yang lebih lama.
- Pentobarbital natrium dan heksobarbital natrium
Dosis pentobarbital natrium adalah 45–60 mg/kg untuk pemberian
intraperitoneal, dan 35 mg/kg untuk cara pemberian intravena. Dosis
heksobarbital natrium adalah 75 mg/kg untuk intraperitoneal dan 47mg/kg untuk
pemberian intravena. - Uretan (etil karbamat)
Bentuk larutan 25% dalam air diberikan dengan dosis 1000–1250 mg/kg secara
intraperitoneal.
Hewan dipegang
pada ekornya,
kemudian
ditempatkan pada
permukaan
yang bisa
dijangkaunya dengan
demikian
hewan tersebut akan
berusaha
meregangkan
badannya. Kemudian
pada
tengkuknya ditempatkan suatu penahan,
misalnya pensil yang dipegang dengan
satu tangan. Tangan lainnya kemudian
menarik ekornya dengan keras, sehingga
lehernya akan terdislokasi dan mencit
akan terbunuh, seperti pada Gambar
1.4. Gambar 1.4 Cara mengorbankan mencit.
2. Tikus
2.1. Cara Perlakuan
Tikus dapat diperlakukan seperti mencit, tetapi sebaiknya bagian ekor yang
dipegang adalah bagian pangkalnya. Tikus dapat juga diangkat dengan
memegang perutnya dan leher dijepit diantara jari tengah dan telunjuk,
seperti terlihat pada Gambar 1.5 dan Gambar 1.6.
Gambar 1.5 Cara memegang tikus Gambar 1.6 Cara memegang tikus
untuk pemberian obat secara oral. untuk pemberian obat secara ip,
im.
2.3. Anestesi
3. Kelinci
3.1. Cara Perlakuan
Harus diperlakukan halus tetapi sigap, karena ia cenderung berontak. Untuk
menangkap atau memperlakukan kelinci jangan dengan mengangkat pada
10
telinganya, tetapi dengan cara memegang kulit lehernya dengan tangan kiri,
kemudian pantatnya diangkat dengan tangan kanan dan didekapkan ke dekat tubuh
seperti pada Gambar 1.7 dan 1.8
Gambar 1.7
Cara menggendong kelinci. Gambar 1.8 Cara mendekap kelinci.
11
Caranya: pegang
kaki belakang
kelinci
dengan tangan kiri
sehingga badan
dan
kepalanya
tergantung ke
bawah
menghadap ke kiri. Pukullah sisi telapak
tangan kanan dengan keras pada
tengkuk kelinci. Seperti terlihat pada
Gambar 1.10. Selain itu, dapat juga
digunakan alat, misalnya tongkat. Gambar 1.10 Cara mengorbankan
kelinci.
12
4. Marmot
4.1. Cara Perlakuan
Marmot dapat diangkat dengan jalan memegang badan bagian atas dengan tangan
yang satu dan memegang bagian belakangnya dengan tangan yang lain seperti
pada Gambar 1.11.
13
- Intramuskular : jarum ditusukkan melalui kulit dan diarahkan pada
jaringan otot, jangan terlalu dalam sampai menyentuh
tulang paha.
Daerah penyuntikan adalah otot paha bagian posterior–
lateral.
- Intravena : jarang digunakan.
4.3. Anestesi
Bahan yang digunakan biasanya eter dan pentobarbital natrium. Eter digunakan
untuk anestesi singkat, setelah hewan dipuasakan selama 12 jam. Dosis
pentobarbital natrium adalah 28 mg/kg.
5. Katak
5.1. Cara Perlakuan
Katak dipegang pada leher/punggung dengan menggunakan lap kasar seperti pada
Gambar 1.12.
14
5.3. Anestesi
Katak direndam dalam 1% uretan sampai teranestesi sempurna, atau
disuntikkan larutan uretan 35% secara intraperitoneal.
Prosedur:
Penyuntikan biasanya dilakukan di bawah kulit tengkuk atau abdomen. Seluruh
jarum ditusukkan langsung ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari
alat suntik.
16
3. Rute pemberian obat secara intraperitoneal
Hewan percobaan : Mencit
Zat yang diberikan : NaCl Fisiologis atau obat lain
Alat : alat suntik 1 mL
Prosedur:
Tikus dipegang pada tengkuknya sedemikian sehingga posisi abdomen lebih tinggi
dari kepala. Larutan obat disuntikkan pada abdomen bawah tikus di sebelah garis
midsagital.
IX. Pengamatan
1. Untuk masing-masing rute pemberian obat catat waktu pemberian, saat
timbul dan hilangnya masing- masing efek.
2. Efek yang diamati yaitu berbagai tingkat depresi diantaranya:
- Aktivitas spontan dari respon terhadap stimulus pada keadaan normal -
Perubahan aktivitas, spontan atau dengan stimulusi (gerakan tidak
terkoordinasi)
- Tidak ada respon lokomotorik jika distimulasi, tetapi righting reflex masih
ada. - Usaha untuk menegakkan diri tidak berhasil.
3. Diam tidak bergerak, usaha untuk menegakkan diri tidak lagidicoba.
4. Buatlah tabel yang memuat hasil-hasil pengamatan saudara. Dari tabel itu dapat
dilihat secara lengkap, apa yang saudara kerjakan dan hasil percobaan yang
diamati.
5. Bahaslah hasil percobaan ini dan buatlah kesimpulan.
17
PRAKTIKUM 2
HUBUNGAN DOSIS OBAT DAN RESPONS,
PENENTUAN INDEKS TERAPI DAN LD 50
I. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa:
1. Memahami hubungan dosis obat dan respons serta konsep indeks terapi
dan implikasi-implikasinya.
2. Memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk
memperoleh ED50, LD50 dan menentukan indeks terapi.
II. Teori
Intensitas efek obat pada makhluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang
diberikan kepadanya juga ditingkatkan. Prinsip ini memungkinkan untuk
menggambarkan kurva efek obat sebagai fungsi dari dosis yang diberikan, atau
menggambarkan kurva dosis-respons.
Dari kurva tersebut dapat diturunkan ED50 (effective dose 50%) artinya dosis yang
memberikan efek yang diteliti pada 50% dari hewan percobaan yang digunakan.
Prinsip yang sama dapat digunakan untuk menurunkan LD50 (lethal dose 50%)
atau dosis yang menimbulkan kematian pada 50% dari hewan percobaan yang
digunakan.
Untuk dapat menentukan secara teliti ED50 ataupun LD50 lazimnya dilakukan
berbagai transformasi untuk memperoleh garis lurus. Salah satunya dengan
menggunakan transfomasi log–probit. Dalam hal ini dosis yang digunakan
ditransformasi menjadi logaritma dan persentase hewan yang memberikan respons
ditransformasikan menjadi nilai probit.
18
IV. Prosedur
1. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok dan masing- masing terdiri dari 5ekor.
2. Setiap mencit pada setiap kelompok diberi tanda supaya mudahdikenali. 3.
Obat diberikan secara per oral kepada setiap mencit dan setiap kelompok
diberikan dosis yang meningkat. Dosis yang diberikan adalah sbb:
I 75
II 100
III 125
IV 150
V NaCl fisiologis
4. Amati dan catat jumlah mencit yang kehilangan “righting reflex” pada setiap
kelompok dan nyatakan angka ini dalam persentase serta catat pula jumlah
mencit yang mati pada setiap kelompok tersebut.
5. Gambarkan kurva dosis-respons:
Pada kertas grafik cantumkan pada absis dosis yang digunakan dan pada
ordinat persentase hewan yang memberikan efek (hilangnya “righting reflex”
atau kematian) pada dosis yang digunakan. Dengan memperhatikan sebaran
titik-titik pengamatan, gambarkan grafik dosis-respons yang menurut
pemikiran saudara paling representatif untuk fenomena yang diamati.
Turunkan dari grafik yang diperoleh ED50 phenobarbital untuk
menghilangkan “righting reflex” pada mencit yang lazimnya dinilai sebagai
saat mulai tidur dan bila ada juga LD50 nya.
19
PRAKTIKUM 3
PENGUJIAN AKTIVITAS OBAT SISTEM SARAF OTONOM
I. Tujuan Percobaan
Sistem saraf otonom yang dikenal juga dengan nama sitem saraf vegetatif, sistem
saraf viseral atau sistem saraf tidak sadar, mengendalikan dan mengatur
keseimbangan fungsi fungsi internal tubuh yang berada di luar pengaruh kesadaran
dan kemauan. Sistem saraf ini terdiri atas serabut saraf-saraf, ganglion-ganglion
dan jaringan saraf yang mensarafi jantung, pembuluh darah, kelenjar-kelenjar,
alat-alat dalaman dan otot-otot polos.
Meskipun tata penghantaran impuls saraf di sistem saraf pusat belum diketahui
secara sempurna, namun ahli-ahli farmakologi dan fisiologi menerima bahwa
impuls saraf dihantar oleh serabut saraf melintasi kebanyakan sinaps dan
hubungan neuroefektor dengan pertolongan senyawa-senyawa kimia khusus yang
dikenal dengan istilah neurohumor-transmitor. Obat-obat yang sanggup
mempengaruhi fungsi sistem saraf otonom, bekerja berdasarkan kemampuannya
untuk meniru atau memodifikasi aktivitas neurohumor-transmitor tertentu yang
dibebaskan oleh serabut saraf otonom di ganglion atau sel-sel (organ-organ)
efektor.
20
Prinsip pada percobaan ini adalah bahwa pemberian zat kolinergik pada hewan
percobaan menyebabkan salivasi dan hipersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat
antikolinergik.
Bahan Obat : - Uretan (1,8 g/kg BB) atau obat hipnotik lain seperti diazepam -
- Gom arab 3%
Alat : Papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakkan di atas papan lain dengan
IV. Prosedur
1. Persiapkan alat untuk percobaan, buatkan larutan gom dan obat. 2. Hewan
percobaan dipilih secara acak, amati kesehatan, kemudian masing- masing hewan
ditimbang dan diberi tandapengenalnya.
3. Pada waktu T = 0, satu kelompok diberi atropin 1 mg/kg BB (p.o) segera
sesudah pemberian obat hipnotik sedangkan kelompok kontrol negatif diberi
larutan gom dan obat hipnotik dengan cara yang sama.
4. Pada waktu T = 15 menit, kelompok lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kg BB
(s.c), segera sesudah pemberian obat hipnotik.
5. Pada waktu T = 45 menit, semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutan.
21
6. Kemudian masing-masing mencit diletakkan di atas kertas saring pada alat (1
mencit per kotak). Penempatan mencit haruslah sedemikian sehingga mulutnya
berada tepat di atas kertas, kemudian ekornya diikat dengan seutas tali dan
diberi beban sebagai penahan.
7. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas.
Selanjutnya diulangi hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas.
8. Amati besarnya noda yang terbentuk di atas kertas disetiap kotak dan tandai
batas noda (pakai spidol).
9. Diameter noda diukur dan dihitung persentase inhibisi yang diberikan oleh
kelompok atropin.
10. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam tabel dan buatlah grafik inhibisi
per satuan waktu.
22
PRAKTIKUM 4
SKRINING FARMAKOLOGI
I. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa:
1. Dapat menerapkan metode skrining farmakologi dalam penentuan
potensi aktivitas suatu senyawa obatbaru.
2. Dapat mengaitkan gejala-gejala yang diamati dengan sifat farmakologi
suatu obat.
3. Memahami faktor-faktor yang berperan dalam skrining farmakologi
suatu senyawa obat baru.
II. Teori
Skrining farmakologi terhadap suatu obat atau senyawa obat baru ditujukan untuk
memperoleh gambaran yang jelas mengenai aktivitas farmakologi dari obat atau
senyawa tersebut. Turner (1965) menyebutkan terdapat tiga macam prosedur
skrining aktivitas biologi yaitu skrining sederhana (simple screening) atau skrining
umum (general screening), skrining buta (blind screening), dan skrining
terprogram (programmed screening) atau skrining spesifik (spesific screening).
Pemilihannya berdasarkan kepada tujuan yang ingin dicapai.
Skrining sederhana adalah suatu prosedur pengujian obat dasar yang meliputi satu
atau dua pengujian yang sama untuk mendeteksi apakah suatu senyawa memiliki
aktivitas farmakologi. Prosedurnya sederhana dan tidak memerlukan sederetan
pengujian yang interpretasi hasil suatu pengujiannya tergantung kepada pengujian
lain. Misalkan, jika injeksi suatu senyawa uji menyebabkan hewan percobaan
kehilangan kesadaran, kemungkingan senyawa tersebut bersifat depresan sistem
saraf pusat. Kadang-kadang pendekatan ini disebut juga skrining awal (preliminary
or initial
screening).
Skrining buta adalah sederetan pengujian sederhana terhadap senyawa yang tidak
diketahui aktivitas farmakologinya yang bertujuan untuk mendapatkan
23
petunjuk aktivitas potensial senyawa tersebut. Skrining buta biasanya diterapkan
untuk senyawa yang tidak memiliki kriteria spesifik untuk aktivitas farmakologi
yang telah diterapkan. Beberapa prosedur dapat membandingkan potensi suatu
senyawa dengan senyawa lain yang telah diketahui aktivitas farmakologinya.
Terdapat banyak kegunaan skrining ini. Peneliti dapat menentukan aktivitas
farmakologi primer atau sekunder melalui penggunaan beberapa metode pengujian
yang spesifik. Irwin (1962) menguraikan suatu skema multidimensional yang
komprehensif yaitu suatu pengembangan prosedur skrining Hippokratik.
Prosedurnya membutuhkan beberapa pengamatan perilaku sederhana yang
dilakukan setelah injeksi (biasanya intraperitoneal) senyawa uji sehingga peneliti
dapat menentukan profil aktivitas suatu senyawa. Jika efek positif teramati,
pengujian harus diulang pada kelompok hewan yang baru untuk tujuan konfirmasi
dan reproduksibilitas.
Pada skrining terprogram, tujuan metode pengujian konvensional adalah untuk
mendapatkan informasi tipe aktivitas farmakologi yang spesifik. Suatu senyawa
dapat diteliti secara spesifik untuk aktivitas potensialnya misalnya aktivitas
antihipertensi (berdasarkan kemampuan untuk menurunkan tekanan darah).
Tujuan skrining ini lebih terbatas daripada skrining buta yaitu untuk menemukan
aktivitas yang spesifik dan dapat mencakup metode pengujian kuantitatif untuk
senyawa yang potensial. Desain penelitian harus meliputi beberapa indikasi efek
samping yang potensial yang dapat diperoleh dengan menentukan profil
dosis-respons suatu senyawa uji. Jadi, skrining terprogram harus menjawab
pertanyaan yang berkaitan dengan bagaimana potensi suatu senyawa berdasarkan
pada aktivitas farmakologinya.
Jadi, berdasarkan latar belakang dan tujuan yang ingin dicapai skrining dapat
bersifat skrining buta, skrining terprogram, dan skrining sederhana. Skrining buta
adalah program skrining terhadap senyawa baru tanpa informasi apapun mengenai
aktivitas farmakologinya. Hasil yang diharapkan adalah paling sedikit dapat
diketahui ada atau tidaknya aktivitas farmakologi obat dan lebih jauh lagi dapat
memberikan arah untuk indikasi aktivitas farmakologi tersebut pada manusia.
Skrining terprogram yang terbatas dilakukan terhadap senyawa yang telah
24
diperkirakan khasiatnya. Misalnya, senyawa yang dikembangkan atau dimodifikasi
dari senyawa obat lain yang telah diketahui khasiat dan potensinya. Hasil skrining
ini diharapkan lebih teliti daripada skrining buta.
Apabila pengujian dilakukan untuk mengetahui potensi farmakologi suatu obat
dengan khasiat tertentu, skrining menjadi sederhana dan terarah. Misalnya, pada
penentuan aktivitas hipoglikemik suatu senyawa dengan mengukur kadar gula
darah.
Dalam skrining buta pada mulanya dilakukan pengujian neurofarmakologi,
toksisitas (LD50), kemudian pengujian terhadap organ yang diisolasi serta
pengujian lain yang dianggap penting. Uji neurofarmakologi meliputi pengamatan
terhadap sikap, profil neurologis, dan fungsi otonomik
A. SIKAP
1. Awareness
2. Mood
3. Aktivitas Motorik
25
Aktivitas spontan 4 Reaksi yang ditunjukkan bila mencit
dimasukkan ke dalam botol menunjukkan
rasa ingin tahu
B. PROFIL NEUROLOGIS
1. Eksitasi SSP
2. Inkoordinasi motorik
3. Tonus otot
4. Reflex
26
Corneal 4 Refleks bila kornea disentuh dengan
rambut yang kaku
1. Optik
2. Sekresi
3. Umum
Writhing 0 Menggeliat
IV. Prosedur
1. Tiap kelompok bekerja dengan 3 ekor mencit. Mencit ditimbang dan
ditandai. 2. Amati keadaan mencit sebelum diberi obat
3. Berikan kepada masing-masing mencit secara peroral obat A, obat B, atau
blanko. 4. Tempatkan mencit pada tempat pengamatan.
5. Amati keadaan mencit sesudah diberi obat. Tentukan waktu mulai
munculnya efek obat, lamanya efek berlangsung, dan intensitas obat
tersebut.
27
PRAKTIKUM 5
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIDEPRESI
I. Tujuan
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa diharapkan dapat memahami bagaimana
aktivitas obat antidepresi pada hewan percobaan dan dapat merancang eksperimen untuk
pengujiannya.
II. Teori
Depresi adalah suatu kondisi yang dapat disebabkan oleh defisiensi relatif salah satu atau
beberapa aminergik neurotransmiter (noradrenalin, serotonin, dopamin) pada sinaps neuron di
SSP (terutama pada sistem limbik). Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk
memperbaiki perasaan (mood) yaitu dengan meringankan atau menghilangkan gejala keadaan
murung yang disebabkan oleh keadaan sosial – ekonomi, penyakit atau obat –obatan.
Kadar NT (nontransmiter) terutama NE (norepinefrin) dan serotonin dalam otak sangat
berpengaruh terhadap depresi dan gangguan SSP. Rendahnya kadar NE dan serotonin di dalam
otak inilah yang menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi
menyebabkan mania. Oleh karena itu antideresan adalah obat yang mampu meningkatkan
kadar NE dan serotonin di dalam otak.
Pada gangguan ini, selain serotonin dan norepinefrin, dopamin juga mempunyai peran.
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron dari substansi gria mid
brain. Dopamin pada posisi lain mengaktivitasi protein Gi yang berikatan dengan reseptor alfa
2, kondisi ini akan menghambat adenil siklase sehingga cAMP menurun. Hal ini sebagai
umpan balik kanal ion K. Dalam kondisi stress dalam mensekresikan dopamine yang
berlebihan sehingga aktivasi protein Gi meningkat dan aktivasi kanal ion K pun meningkat.
Hal ini menyebabkan ion K dalam jumlah berlebih akan keluar dari kanal ion sehingga terjadi
hiperpolarisasi dan penghambatan transmisi potensial aksi yang berlebihan hingga terjadi
hipereksitabelitas jaringan dan mendepresikan susunan syaraf pusat.
Beberapa golongan obat yang bekerja sebagai antidepresi dibagi berdasarkan target kerjanya
yaitu:
28
1. Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI)
SSRI mempunyai efek yang lebih langsung dalam mempengaruhi kadar serotonin.
SSRI juga mempunyai efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat
obatan lainnya (Reus and Osborne, 2000).
2. Antidepresan Trisiklik (TCA)
Antidepresan trisiklik bekerja dengan cara menghambat pengambilan
neurotransmitter 5-hidroksitriptamin (serotonin) dan noradrenalin (norepinefrin)
(Brooker, 2006).
3. Mono amin Oxidase Inhibitor (MAOI)
MAO Inhibitors meningkatkan ketersediaan neurotransmitter dengan cara
menghambat aksi dari Monoamine Oxidase, suatu enzim yang normalnya akan
melemahkan atau mengurangi neurotransmitter dalam sambungan sinaptik. MAOIs
sama efektifnya dengan Tricyclic Antidepressants tetapi lebih jarang digunakan
karena secara potensial lebih berbahaya (Reus and Osborne, 2000).
29
b. Mencit diberi larutan NaCl fisiologis (untuk kelompok kontrol) atau bahan uji
(untuk kelompok uji) secara per oral, dan 1 jam kemudian mencit dimasukkan ke
dalam tabung silinder yang berisi air. Mencit akan berenan secara aktif.
c. Dalam saat-saat tertentu, mencit akan menunjukkan sikap yang pasif, sama sekali
tidak bergerak menunjukkan bahwa mencit tersebut mengalami keputusasaan yang
dianggap emnyerupai keadaan depresi.
4. Pada saat itu, lamanya mencit tidak bergerak dicatat setiap 5 menit selama waktu
pengamatan 15 menit.
5. Data dianalisis berdasarkan analisis varians dan untuk mengetahui perbedaan yang
bermakna antara perlakuan bahan uji dan kontrol data analisis dengan Student’s t-test. 6.
Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.
7. Hitung persentase aktivitas antidepresi dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Prosedur II
Masing-masing praktikan diminta untuk mengisi kuisioner mengenai sifat psikis secara
pribadi.
30
PRAKTIKUM 6
AKTIVITAS ANALGETIKA
I. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini diharapkan mahasiswa:
1. Mengenal berbagai cara untuk mengevaluasi secara eksperimental aktivitas analgetika
suatu obat.
2. Memahami dasar-dasar perbedaan daya analgetik berbagai obat analgetika.
i. Hewan percobaan : Mencit putih jantan yang memberikan respon dalam waktu 3-6 detik
setelah ditempatkan pada plat panas. Mencit-mencit yang memberikan respon kurang
atau lebih dari waktu reaksi tersebut tidak digunakan dalam percobaan.
ii. Mencit putih jantan dengan berat badan antara 20-25 gram untuk percobaan induksi
kimia
b. Alat
32
i. Alat suntik 1 mL
ii. Sonde oral
iii. Stopwatch
iv. Timbangan mencit
v. Wadah penyimpanan mencit
c. Bahan
i. Asam asetat 0,7% v/v
ii. Obat analgetika standar (asam asetil salisilat/aspirin)
iii. Obat analgetika yang diuji (asam mefenamat)
iv. Suspensi gom arab 1-2%
33
Kelompok kontrol negatif diberi larutan NaCl fisiologis/larutan suspensi gom arab 1-
2%
Kelompok kontrol positif (obat standar) diberi asam asetil salisilat
Kelompok obat uji diberi asam mefenamat atau parasetamol
c. Pemberian obat dilakukan secara oral
d. Setelah 30 menit, hewan diberi asam asetat 0.7% secara i.p.
e. Segera setelah pemberian asam asetat, gerakan geliat hewan diamati, dan jumlah geliat
dicattat setiap 5 menit selama 60 menit jangka waktu pengamatan.
f. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik berdasarkan analisis variansi dan
kebermaknaan perbedaan jumlah geliat antara kelompok kontrol dan kelompok uji
dianalisis dengan Student’s t-test.
g. Daya proteksi obat uji terhadap rasa nyeri dan efektivitas analgetiknya dihitung dengan
rumus berikut:
h. Data disajikan dalam bentuk tabel atau grafik.
34
PRAKTIKUM 7
AKTIVITAS ANTIPIRETIK
B. Teori
Demam merupakan gangguan kesehatan yang hampir pernah dirasakan oleh setiap orang.
Demam ditandai dengan kenaikan suhu tubuh di atas suhu tubuh normal yaitu 36-37 C, yang
diawali dengan kondisi menggigil (kedinginan) pada saat peningkatan suhu, dan setelah itu
terjadi kemerahan pada permukaan kulit. Pengaturan suhu tubuh terdapat pada bagian otak
yang disebut hypothalamus, gangguan pada pusat pengaturan suhu tubuh ini lah yang
kemudian kita kenal dengan istilah demam (Amila, 2008).
Penyebab utama demam adalah infeksi oleh bakteri dan virus, meskipun ada beberapa jenis
demam yang tidak disebabkan oleh infeksi melainkan oleh kondisi patologis lain seperti
serangan jantung, tumor, kerusakan jaringan yang disebabkan oleh sinar X, efek
pembedahan dan respon dari pemberian vaksin (Amila, 2008).
Demam pada dasarnya salah satu mekanisme pertahanan tubuh dari infeksi oleh zat asing.
Tetapi demam juga mengakibatkan kerusakan sel-sel tubuh terutama sel-sel otak dan
kerusakan ini tidak dapat diperbaiki. Selain kerusakan sel otak, demam juga dapat
menyebabkan kerusakan pada organ tubuh lain seperti hati dan ginjal, dimana kerusakan ini
dapat menyebabkan kematian. Pada peningkatan suhu yang terlalu tinggi (44-450C), demam
dapat menyebabkan kematian (Amila, 2008).
Pengobatan antipiretik sekarang secara rutin diresepkan untuk demam. Antipiretik yang
paling umum digunakan adalah Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAIDS) yang juga
memiliki efek analgetik. NSAID menghambat siklooksigenase (COX) sehingga konversi
asam arakidonat menjadi prostaglandin E2 menjadi terganggu. Penurunan prostaglandin E2
di otak di yakini untuk menurunkan set point hipotalamus (Rahul, 2013).
Salah satu obat NSAID adalah paracetamol. Paracetamol merupakan penghambat biosintesis
prostaglandin yang lemah dan memiliki efek anti inflamasi yang juga lemah. Penggunaan
paracetamol dalam jangka waktu yang terlalu lama dapat mengakibatkan nekrosis hati
(Wilmana, 2011).
35
C. Alat dan Bahan
1. Alat yang diperlukan, yaitu :
a. Termometer rectal
b. Timbangan hewan
c. Spuit
d. Oral sonde
e. Alat pencatat waktu
f. Kotak kaca
2. Bahan yang diperlukan, yaitu :
a. Larutan NaOH 0,1 N
b. CMC
c. Parasetamol
d. Obat X
e. vaksin
f. Tikus
D. Cara Kerja
1. Diukur suhu tubuh tikus sebanyak tiga kali dengan selang waktu 5 menit. Ditentukan
temperatur rata-rata (temperatur normal tikus T0 = 36-370C).
2. Tikus disuntikkan dengan vaksin secara intramuskular pada daerah paha. Dicatat
perubahan suhu tubuh tikus setiap 5 menit selama 20 menit.
3. Setelah 20 menit, tikus diberi parasetamol dengan dosis 45 mg/kgBB dan obat X
dengan dosis 18 mg/kgBB. Tikus lain diberi suspensi kosong secara per oral sebanyak
volume suspensi paracetamol sebagai kontrol.
4. Dicatat perubahan suhu tubuh tikus setiap 5 menit selama 50 menit.
1 Tikus 1 (Aquadest) 5
10
15
20
Suhu rata-rata 36
2 Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
15
20
Suhu rata-rata
3 Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
20
Suhu rata-rata
B. Suhu setelah pemberian DNF
No Keterangan Waktu (menit) Suhu (0C)
1 Tikus 1 (Aquadest) 5
10
15
20
2 Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
15
20
3 Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
20
1 Tikus 1 (Aquadest) 5
10
15
20
25
37
30
35
40
45
50
2 Tikus 2 (Parasetamol) 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
3 Tikus 3 (Obat X) 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
38
PRAKTIKUM 8
AKTIVITAS OBAT ANTIKONVULSAN
I. Tujuan
a. Mengetahui efek dari obat-obat Sistem Saraf Pusat (SSP) golongan antikonvulsi
yaitu fenitoin, karbamazepin dan gabapentin pada hewan uji mencit (Mus musculus). b.
Mengamati seberapa lama obat antikonvulsan mampu menahan kejang (menunjukan
tingkat aktivitas obat antikonvulsan) yang disebabkan oleh pemberian teofilin yang
berfungsi sebagai penginduksi kejang
II. Prinsip
2.1 Kejang (konvulsi)
Merupakan akibat dari pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks
selebral yang ditandai dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan,
aktivitas motorik, dan/atau gangguan fenomena sensori. (Gunawan, S. G., 2007). 2.2
Antikonvulsan
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena adanya cetusan
listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui ambang inhibisi
neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan sinaps kortiko-kortikal.
Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke korteks kontralateral melalui jalur
hemisfer dan jalur nukleus subkorteks. Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak
yang tereksitasi. Aktivitas subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks
asalnya sehingga akan meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan
listrik ke neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga
menyebabkan kejang tonik- klonik umum. Setelah itu terjadi diensefalon (Utama dan
Gan, 2007).
Sedangkan mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua fase, yakni fase
40
inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial aksi frekuensi
tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta
hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion K+.
Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi neuron di
sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps (meningkatkan pelepasan
neurotransmitter), serta menginduksi reseptor eksitasi NMDA dan meningkatkan ion
Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan
dilanjutkan dengan penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat
menyebabkan epilepsy umum/epilepsy sekunder (Utama dan Gan, 2007).
Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang; muncul tanpa
diprovokasi (Purba, 2008). Sekitar 1 % penduduk dunia mengidap epilepsi yang
merupakan penyakit neurologic umum kedua setelah stroke (Katzung, 2003). Tujuan
terapi menggunakan antikonvulsan adalah untuk mengurangi frekuensi kejang dan
memaksimalkan kualitas hidup dengan efek samping obat yang minimum (Bauer,
2008). Toksisitas dan kurangnya kepatuhan dalam menggunakan obat antiepilepsi
adalah dua faktor penyebab pasien sulit untuk bebas dari serangan kejang (Pedley et
al., 1995).
Karbamazepin adalah turunan iminostilbene yang mirip dengan antidepresan trisiklik
yang digunakan dalam pengobatan tonik klonik, kejang parsial atau umum (Bauer,
2008). Studi bioavailabilitas dari formulasi karbamazepin lepas lambat pada pasien
epilepsi telah menunjukan hasil yang komersial dan bioeqivalen dengan formulasi
lepas segera (Garnett et al., 1998). Formulasi lepas lambat memungkinkan untuk aksi
diperlama serta pengurangan jumlah dosis yang dipakai, hal ini dipandang sebagai
manfaat dari sudut pandangan pasien (Patel, 2006).
Diazepam adalah kelompok obat benzodiazepine yang memengaruhi sistem saraf otak
dan memberikan efek penenang. Obat ini digunakan untuk mengatasi serangan
kecemasan, insomnia, kejang-kejang, gejala putus alkohol akut, serta sebagai obat bius
untuk praoperasi (Porter dan Meldrum, 2009).
Cara kerja fenitoin adalah memblokade pergerakan ion melalui kanal Na dengan
menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun aliran ion Na yang mengalir selama
penyebaran potensial aksi, memblokade dan mencegah potensial post tetanik,
membatasi perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi
penyebaran serangan (Wibowo dan Gofir, 2006). Kadar terapeutik fenitoin untuk
sebagian besar pasien adalah antara 10 dan 20µg/mL. Bila terapi oral dimulai, pada 41
umumnya pemberian dosis kepada orang dewasa mulai dari 300mg/hari, tanpa
memandang berapa berat badannya (Porter dan Meldrum, 2009).
Cara kerja karbamazepin yaitu dengan memblokade kanal Na selama pelepasan dan
mengalirnya muatan listrik sel-sel saraf serta mencegah potensial post tetanik (Wibowo
dan Gofir, 2006). Obat ini efektif untuk anak-anak, dan dosis yang tepat adalah 15-25
mg/kg/hari (Porter dan Meldrum, 2009).
Gabapentin yaitu terapi tambahan untuk epilepsi parsial dengan atau tanpa kejang
umum yang tidak dapat dikendalikan dengan antiepilepsi lain, nyeri neuropati (BPOM
RI, 2015).
Obat antiepilepsi bekerja untuk menghambat proses inisiasi dan penyebarang kejang.
Namun, umumnya obat antiepilepsi lebih cenderung bersifat membatasi proses
penyebaran kejang daripada mencegah proses inisiasi. Dengan demikian secara umum
ada dua mekanisme kerja, yakni : peningkatan inhibisi (GABA-ergik) dan penurunan
eksitasi yang kemudian memodifikasi konduksi ion Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau
aktivitas neurotransmitor, meliputi:
a. Inhibisi kanal Na+ pada membrane sel akson
b. Inhibisi kanal Ca2+ tipe T pada neuron talamus (yang berperan sebagai pace
maker untuk membangkitkan celusan listrik umum di korteks). Contoh:
etosuksimid, asam valproat, dan clonazepam.
c. Peningkatan inhibisi GABA
d. Menghambat degradasi GABA, yaitu dengan mempengaruhi re update
dan metabolisme GABA (Hendra dan Vincent, 2007).
Mencit ditimbang dan dikelompokan menjadi 5 kelompok, kelompok kontrol negatif diberi
PGA, kelompok kontrol positif diberi Diazepam, kelompok uji 1 diberi karbamazepin,
kelompok uji 2 diberi gabapentin dan kelompok uji 3 diberi fenitoin. Semua kelompok diberi
obat secara intraperitoneal catat waktu pemberian obat. Setelah 30 menit hewan diberi zat
penginduksi konvulsi yaitu teofilin secara subktuan. Setelah pemberian zat penginduksi di
catat waktu timbulnya kejang pertama dan juga waktu terjadinya kematian hewan percobaan.
Buat tabel hasil percobaan.
43
PRAKTIKUM 9
AKTIVITAS ANASTESI UMUM
B. Teori
Anestesi berasal dari Bahasa Yunani: An yang artinya tidak dan Aesthetos yang artinya
persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh.
American Sociesty of Anaesthesiologists (ASA) menetapkan sistem penilaian yang
membagi status fisik (resiko) penderita kesalam lima kelompok, yaitu :
1. Golongan I yaitu tidak ada gangguan organik, biokimia, dan psikiatri. Misalnya
penderita dengan hernia inguinalis tanpa kelainan, orangtua sehat dan bayi muda
yang sehat.
2. Golongan II yaitu gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan disebabkan
oleh penyakit yang akan dibedah, misalnya penderita dengan obesitas, penderita
bronchitis, penderita DM ringan yang akan menjalani apendektomi.
3. Golongan III yaitu penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM dengan
komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendicitis akut.
4. Golongan IV yaitu penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa yang
tidak selalu dapat dperbaiki dengan pembedahan, misal insufiensi koroner atau MCI. 5.
Golongan V yaitu keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan
dilakukan sebagai pilihan terakhir, misal penderita syok berat karena perdarahan akibat
kehamilan di luar uterus yang pecah.
Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias anastesi ideal
terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.
Cara pemberian anatesi umum, yaitu :
1. Parenteral (intramuscular/intravena) digunakan untuk tindakan singkat atau induksi
44
anastesi
2. Parektal, dapat digunakan pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan singkat. 3.
Anastesi inhalasi yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau cairan anastesi yang
mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anastetik melalui udara pernapasan. Zat
anastetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan oksigen) dan konsentrasi
tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.
Guedel (1920) membagi Stadium anestesi umum pada eter dalam 4 stadium, yaitu : 1.
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat
analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi
dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini.
2. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan
refluks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
3. Stadium III (pembedahan) dimulai dari teraturnya pernapasan sampai pernapasan
spontan hilang.
4. Stadium IV yaitu (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat
diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan
pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.
D. Cara Kerja
1. Tiap kelompok mahasiswa bekerja dengan 3 ekor tikus.
45
2. Pada masing-masing tikus, amati & catat hal-hal berikut sebelum pemberian anastesi
umum :
a. Kelakuan umum tikus
b. Reflek-reflek (nyeri).
3. Masukkan tikus kedalam toples kaca yang didalamnya diberi kapas yang sudah
ditetesi dengan eter, kloroform atau etanol absolut.
4. Catat setiap perubahan yang terjadi pada masing-masing tikus seperti ad. 2 5.
Setelah dicapai tingkat anastesi untuk pembedahan, pemberian anastesi dihentikan. 6.
Perhatikan dan catat tahap-tahap pemulihan kesadaran tikus.
7. Buatlah tabel pengamatan selengkap mungkin sehingga saudara dapat membahas
dan menarik kesimpulan dari percobaan ini dan terlihat korelasi antara gejala yang
muncul dengan tahap dan tingkat anastesi yang dicapai.
46
PRAKTIKUM 10
AKTIVITAS ANTIINFLAMASI
B. Teori
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan
oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat- zat mikrobiologik. Inflamasi adalah
usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang,
menghilangkan zat iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan ( Mycek, 2001 ).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka
pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini
kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan
baru. Rangkaian reaksi ini disebut radang (Rukmono, 2000).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang
adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin),
berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain.
Cedera radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang
mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi
(kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh
cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel
jaringan) pada tempat radang yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan
fibroblas, terjadinya proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik
(Rukmono, 2000).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas
kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial,
pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein
lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit
dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan
yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin,
beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan
darah, dan 47
berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang
tersensitisasi (Guyton, 1997).
Proses inflamasi ini juga dipengaruhi dengan adanya mediator-mediator yang berperan, di
antaranya adalah sebagai berikut (Abrams, 2005) :
∙ amina vasoaktif: histamin & 5-hidroksi tritophan (5-HT/serotonin). Keduanya terjadi
melalui inaktivasi epinefrin dan norepinefrin secara bersama-sama
∙ plasma protease: kinin, sistem komplemen & sistem koagulasi fibrinolitik, plasmin,
lisosomalesterase, kinin, dan fraksi komplemen
∙ metabolik asam arakidonat: prostaglandin, leukotrien (LTB4 LTC4, LTD4, LTE4 ,
5-HETE (asam 5-hidroksi-eikosatetraenoat)
∙ produk leukosit – enzim lisosomal dan limfokin
∙ activating factor dan radikal bebas
Banyak obat – obat antiinflamasi yang bekerja dengan jalan menghambat sintesis salah
satu mediator kimiawi yaitu prostaglandin. Sintesis prostaglandin yaitu (Mycek, 2001 ) :
Asam arakidonat , suatu asam lemak 20 karbon adalah prekursor utama prostaglandin dan
senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam komponen fosfolipid membran
sel, terutama fosfotidil inositol dan kompleks lipid lainnya. Asam arakidonat bebas
dilepaskan dari jaringan fosfolipid oleh kerja fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya.
Melalui suatu proses yang dikontrol oleh hormon dan rangsangan lainnya. Ada 2 jalan
utama sintesis eukosanoid dari asam arakidonat
1. Jalan siklo-oksigenase
Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga prostaglandin, tromboksan, dan prostasiklin
disintesis melalui jalan siklo – oksigenase. Telah diketahui dua siklo-oksigenase : COX-1
dan COX-2 Yang pertama bersifat ada dimana – mana dan pembentuk, sedangkan yang
kedua diinduksi dalam respon terhadap rangsangan inflamasi.
2. Jalan lipoksigenase
Jalan lain, beberapa lipoksigenase dapat bekerja pada asam arakidonat untuk membentuk
HPETE, 12-HPETE dan 15-HPETE yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang
dikorvensi menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETES) atau menjadi leukotrien atau
lipoksin, tergantung pada jaringan.
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau.
Tanda-tanda radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama
sesudah Masehi, sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang
ini masih digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan),
kalor (panas), 48
dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan
pada abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Mitchell, 2003). Umumnya,
rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami
peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai
darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi
lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut
hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut
(Abrams, 2005).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan
pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC
disalurkan ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah
normal (Rukmono, 2000).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung
saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf.
Rasa sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan
yang meradang (Rukmono, 2000).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh
pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial.
Campuran dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat
meradang (Rukmono, 2000).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002).
Functio laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum
diketahui secara mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang
(Abrams, 2005).
D. Cara Kerja
1. Tikus ditimbang dan diberi tanda sebatas lutut pada kaki belakang 2. Bagi dalam 4
kelompok pada 4 ekor tikus. Kelompok I sebagai kontrol, kelompok II, III, dan IV sebagai
perlakuan.
3. Kelompok I dicelupkan kaki kanan tikus kedalam alat plestimoglaf sampai tanda batas,
lalu disuntikan karagenin 1 % dalam aquadest pada telapak kaki kanan. 4. Kelompok II,
III, dan IV diberi obat masing-masing tikus diberi obat secara i.p dan disuntikan dengan
karagenin pada telapak kaki kanan setelah 15 menit. 5. Diamati dan catat volume udem
yang terjadi setiap 15 menit selama 2 jam. 6. Data dianalisis secara statistik
50