Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PRAKTIKUM

AKTIVITAS OBAT ANTIKONVULSAN

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Praktikum Farmakologi


Toksikologi

Nama : Melda Khaerunnida

NIM : 220106150
Kelas : FA 22 3B
Dosen pengampu : apt.Kartika Sari,M.S.Farm.

Asisten : Regita Noor Aisy S

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG
2023
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 3


1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 3
1.2 Tujuan Khusus Praktikum .................................................................... 4
1.3 Manfaat Praktikum .............................................................................. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5


2.1 Suatu Topik ......................................................................................... 5
2.2 Uraian Topik ........................................................................................ 6
2.3 Klasifikasi Hewan Uji .......................................................................... 7

BAB III METODE PRAKTIKUM .................................................................. 8


3.1 Waktu Dan Tempat Praktikum ............................................................. 8
3.2 Alat Dan Bahan ................................................................................... 8
3.3 Variabel Praktikum .............................................................................. 9
3.4 Tahapan Praktikum .............................................................................. 9
3.5 Prosedur Praktikum.............................................................................. 9
3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 11

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 12


4.1 Tabel Pengamatan .............................................................................. 12
4.2 Pembahasan ....................................................................................... 14

BAB V PENUTUP .......................................................................................... 17


5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 17
5.2 Saran.................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18


LAMPIRAN……………………………………………………………………19
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Antikonvulsi (antikejang) digunakan untuk mencegah atau mengobati


bangkitan epilepsi dan bangkitan non-epilepsi. Bromida, obat pertama yang
digunakan untuk terapi epilepsi telah ditinggalkan karena ditemukannya
berbagai antiepilepsi yang baru yang lebih efektif. Fenobarbital diketahui
memiliki efek antikonvulsi spesifik, yang berarti antikonvulsinya tidak
berkaitan langsung dengan efek hipnotiknya. Di Indonesia fenobarbital ternyata
masih digunakan walaupun di luar negeri obat ini mulai banyak ditinggalkan.
Fenitoin (difenilhidantoin) sampai saat ini masih menjadi obat utama
antiepilepsi khususnya untuk bangkitan parsial dan bangkitan umum tonik-
ionik. Disamping itu karbamazepin semakin banyak digunakan karena
dibandingkan dengan fenitoin efek sampingnya lebih sedikit dan lebih banyak
digunakan untuk anak-anak karena tidak menyebabkan wajah kasar dan
hipertrofi gusi. Pengaruhnya terhadap perubahan tingkah laku maupun
kemampuan kognitif lebih kecil ( Welsh,L.2016 ).
Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam
otak. Secara pasti, apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian
otak yang memiliki muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang
sempit, maka penderita hanya merasakan bau atau rasa yang aneh. Jika
melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan kejang otot di
seluruh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran, kehilangan
kesadaran, kehilangan pengendalian otot atau kandung kemih dan menjadi
linglung.(Husna,2011)

1.2 Tujuan Khusus Praktikum


1. Mampu mempelajari daya anti implamasi obat pada hewan uji yang
diindukasikan radang buatan.
1.3 Manfaat Praktikum
Manfaat dari praktikum ini adalah :
1. Memberikan pemahaman kepada praktikan tentang aktivitas obat
antikonvulsan.
2. Memberikan pemahaman terhadap praktikan tentang macam macam obat
antikonvulsan,cara kerja serta efek obat tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suatu Topik


Kejang adalah gerak otot klonik atau tonik yang involuntar. Konvulsi
dapat timbul karena anoksia serebri, intoksikasi sereberi hysteria, atau berbagai
manifestasi epilepsi. Epilepsi ialah manifestasi gangguan otak dengan berbagai
etiologi namun dengan gejala tunggal yang khas, yaitu serangan berkala yang
disebabkan oleh lepas muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. ( Ajeng
Ratna,2018 )
Kejang yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi.
Timbulnya parestesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai
manifetasi epileptic. Tetapi suatu manifestasi motorik dan sensorik ataupun
sensomotorik ataupun yang timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah
epilepsi. ( Husna,2018 )
Epilesi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit
susunan saraf pusat yang timbul spontan dan berulang dengan episoda singkat
(disebut bangkitan berulang atau recurrent seizure) dengan gejala utama
kesadaran menurun sampai hilang, bangkitan ini biasanya disertai kejang,
hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikis dan selalu disertai
gambaran letupan EEG (abnormal dan eksesif). Untuk epilepsi, gambaran EEG
bersifat diagnostik. Berdasarkan gambaran EEG epilepsi dapat dinamakan
disritmia serebral yang bersifat paroksismal. Bangkitan epilepsi merupakan
fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik atau depolarisasi
abnormal yang eksesif, terjadi disuatu fokus dalam otak yang menyebabkan
bangkitan paroksimal. Fokus ini merupakan neuron epileptik yang sensitif
terhadap rangsangan yang disebut neuron epileptik. Neuron inilah yang
menjadi sumber bangkitan epileptik. Letupan depolarisasi dapat terjadi di
daerah korteks. Penjalaran yang terbatas di daerah korteks akan menimbulkan
bangkitan parsial misalnya epilepsi fokal jackson letupan depolarisasi tersebut
dapat menjalar ke area yang lebih luas dan menimbulkan konvulsi umum
(generalized epilepsy). Letupan depolarisasi di luar korteks motorik antara lain
korteks sensorik, pusat subkortikal, menimbulkan gejala prokonvulsi antara
lain adanya pengciuman bau wangi-wangian, gangguan paroksismal terhadap
kesadaran atau kejiwaan selanjutnya penjalaran ke daerah korteks motorik
menyebabkan konvulsi. Berdasarkan tempat asal letupan depolarisasi, jenis
bangkitan dan penjalaran depolarisasi tersebut, dikenal berbagai bentuk
epilepsi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,2019).
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan parsial meliputi eua fase,
yakni fase inisiasi dan fase propagasi. Fase inisiasi terdiri atas letupan potensial
aksi frekuensi tinggi yang melibatkan peranan kanal ion Ca++ dan Na+ serta
hiperpolarisasi/hipersinkronisasi yang dimediasi oleh reseptor GABA atau ion
K+. Fase propagasi terjadi peningkatan K+ intrasel (yang mendepolarisasi
neuron di sekitarnya), akumulasi Ca++ pada ujung akhir pre sinaps
(meningkatkan pelepasan neurotransmitter), serta menginduksi reseptor
eksitasi NMDA dan meningkatkan ion Ca++ sehingga tidak terjadi inhibisi
oleh neuron-neuron di sekitarnya. Kemudian akan dilanjutkan dengan
penyebaran dari korteks hingga spinal, sehingga dapat menyebabkan epilepsy
umum/epilepsy sekunder. ( Novia,2015 )
Mekanisme dasar terjadinya bangkitan umum primer adalah karena
adanya cetusan listrik di fokal korteks. Cetusan listrik tersebut akan melampaui
ambang inhibisi neuron disekitarnya., kemudian menyebar melalui hubungan
sinaps kortiko-kortikal. Kemudian, cetusan korteks tersebut menyebar ke
korteks kontralateral melalui jalur hemisfer dan jalur nukleus subkorteks.
Timbul gejala klinis, tergantung bagian otak yang tereksitasi. Aktivitas
subkorteks akan diteruskan kembali ke focus korteks asalnya sehingga akan
meningkatkan aktivitas eksitasi dan terjadi penyebaran cetusan listrik ke
neuron-neuron spinal melalui jalur kortikospinal dan retikulospinal sehingga
menyebabkan kejang tonik-klonik umum. Setelah itu terjadi diensefalon.
(Utami,2018 )
2.2 Uraian Topik
Disamping sebagai antiansietas, sebagian golongan benzodiazepin
bermanfaat sebagai antikonvulsi khususnya untuk epilepsi, misalnya saja
diazepam. Diazepam terutama digunakan untuk terapi konvulsi rekuren
misalnya status epileptikus. Obat ini juga bermanfaat untuk terapi parsial
sederhana misalnya bangkitan klonik fokal dan hipsaritmia yang refrakter
terhadap terapi lazim ( Rangkuti,2017 ).

Mekanisme kerja obat golongan Benzodiazepin (Diazepam).


Pengikatan GABA (asam gama aminobutirat) ke reseptornya pada
membrane sel akan membuka salutan klorida, meningkatkan efek konduksi
korida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah
menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan
pembentukan kerja potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan
berafinitas tinggi dari membrane sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor
GABA. Reseptor benzodiazepine terdapat hanya pada SSP dan lokasinya
sejajar dengan neuron GABA. Peningkatan benzodiazepin memacu afinitas
reseptor GABA untuk neurotransmitter yang bersangkutan, sehingga
saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan tersebut akan
memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron. Diazepam
bekerja pada reseptor di otak yang disebut reseptor GABA. Hal ini
menyebabkan pelepasan neurotransmitter yang disebut GABA di dalam
otak. Neurotransmiter merupakan bahan kimia yang disimpan dalam sel-sel
saraf di otak dan sistem saraf. Mereka yang terlibat dalam transmisi pesan
antara sel saraf. GABA adalah neurotransmitter yang berfungsi sebagai
alami 'saraf-menenangkan' agen. Ini membantu menjaga aktivitas saraf di
otak seimbang, dan terlibat dalam mendorong kantuk, mengurangi
kecemasan dan relaksasi otot. Diazepam meningkatkan aktivitas GABA
dalam otak, meningkatkan efek menenangkan dan hasil dalam kantuk,
penurunan kecemasan dan relaksasi otot ( Klaasenn,2019 ).

2.3 Klasifikasi Hewan Uji


Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih jantan dengan alasan
bahwa kondisi biologis mencit jantan lebih stabil dibandingkan dengan
mencit putih betina yang kondisi biologisnya dipengaruhi oleh siklus haid.
Disamping keseragaman jenis kelamin, hewan uji yang digunakan juga
mempunyai keseragaman berat badan antara 20-30 g dan berumur 2-3 bulan.
Guneberg mengklasifikasikan sistem orde mencit sebagai berikut
1. Kingdom : animalia
2. Filum : chordata
3. Kelas : mamalia
4. Ordo : rodentia
5. Famili : murinane
6. Genus : mus
7. Spesies : mus musculus
BAB III
METODE PRAKTIKUM

1.1 Waktu Dan Tempat Praktikum


Pelaksanaan praktikum dilaksanakan pada hari Sabtu jam 08.00 – 12.00
di Laboratorium Universitas Muhammadiyah Bandung.

1.2 Alat Dan Bahan


1.2.1 Alat
NO Nama Alat Gambar Kegunaan
1 Alat Suntik Untuk menyuntik kan atau
menghisap cairan

2 Stopwatch Untuk menentukan waktu

3 Timbangan Untuk menimbang


Mencit hewan uji

1.2.2 Bahan
No Nama Bahan Kegunaan Precaution
1 Diazefam Bahan uji Tidak bersifat
(C16H13ClN3O ) karsigonen.
2 Fenitoin Bahan uji Tidak berbahaya
(C15H12N22)
3 Mencit Hewan uji Tidak berbahaya
4 Gabapentin Bahan uji Tidak berbahaya
( C9H17NO2)
5 Karbamazepin Bahan uji Tidak berbahaya
(C15H12N20 )
6 PGA 5% Bahan uji Tidak berbahaya

7 Teofilin Bahan uji Tidak berbahaya


(C7H8N4O2 )
1.3 Variabel Praktikum
Variabel bebas dalam praktikum ini adalah pengukuran suhu tubuh mencit
sebelum diberi obat. Variabel terikat berupa perubahan suhu mencit ketika diberi
obat uji setiap 5 menit selama 20 menit.

1.4 Tahapan Praktikum


Mencit
- Ditimbang mencit dan dikelompokan menjadi 5 kelompok
- Diberi PGA untuk kontrol negatif
- Diberi diazefam untuk kontrol positif
- Diberi karbamazepin kelompok uji 1
- Diberi gabapentin untuk kelompok uji 2
- Diberi fenitoin untuk kelompok uji 3
- Diberi obat secara peritoneal untuk sementara semua kelompok
- Di catat waktu pemberian obat
- Diberi zat penginduksi konvulsi yaitu teofilin secara subkutan
selama 30 menit
- Dicatat waktu timbul kejang pertama dan waktu kejadian
pemakaian hewan percobaan
- Dibuat table hasil percobaan

Hasil Pengamatan

1.5 Prosedur Praktikum


1.5.1 Perhitungan Dosis
Diketahui: Bobot mencit 25 gram dengan bobot maksimal 30 gram
A. Fenitoin 4 mg
Dosis konversi: 4 mg x 0,0026 = 0,104 mg/ 25 gr
30
Konversi hewan Uji: 0,104 x 20 = 0,0156 mg
0,0156 𝑚𝑔
Stok Pemberian: 0,5 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 0,0936 mg/ml

Penimbangan Bahan: 0,0312 x 3 = 0,0936 mg/ 5 ml


0,0156 𝑚𝑔
VAO: = 0,5 ml
0,0312 𝑚𝑔/𝑚𝑙

B. Diazepam 500 mg
Dosis konversi: 500 mg x 0,0026 = 1,3 mg/ 25 gr
30
Konversi hewan Uji: 1,3 mg x 20 = 1,95 mg
1,95 𝑚𝑔
Stok Pemberian: 0,5 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 3,9 mg/ml

Penimbangan Bahan: 3,9 x 3 = 11,7 mg/ 5 ml


1,95 𝑚𝑔
VAO: 3,9 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 0,5 ml

C. Gabapentin 300 mg
Dosis konversi: 300 mg x 0,0026 = 0,78 mg/ 25 gr
30
Konversi hewan Uji: 0,78 x 20 = 1,17 mg
1,17 𝑚𝑔
Stok Pemberian: 0,5 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 2,34 mg/ml

Penimbangan Bahan: 2,34 x 3 = 7,02 mg/ 5 ml


1,17 𝑚𝑔
VAO: 2,34 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 0,5 ml

D. Karbamazepin 200 mg
Dosis konversi: 200 mg x 0,0026 = 0,52 mg/ 25 gr
30
Konversi hewan Uji: 0,52 x 20 = 0,78 mg
0,78 𝑚𝑔
Stok Pemberian: 0,5 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 1,56 mg/ml

Penimbangan Bahan: 1,56 x 3 = 4,68 mg/ 5 ml


0,78 𝑚𝑔
VAO: 1,56 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 0,5 ml

E. Aminofilin 200 mg
200 mg ~ 0,2 gram
F. Na-CMC 5%
5
5% = %b/v = 1000 x 100 = 0,5 ml

1.5.2 Persiapan Hewan Uji


Hewan uji yang digunakan adalah mencit putih jantan dengan alasan
bahwa kondisi biologis mencit jantan lebih stabil dibandingkan dengan
mencit putih betina yang kondisi biologisnya dipengaruhi oleh siklus
haid. Disamping keseragaman jenis kelamin, hewan uji yang
digunakan juga mempunyai keseragaman berat badan antara 20-30 g dan
berumur 2-3 bulan. Hal ini bertujuan untuk memperkecil perbedaan
respon yang ditunjukan oleh hewan uji.
1.5.3 Pengelompokan Hewan Uji
Kontrol Positif (+) : Diberikan perlakuan dan tidak diberi pengobatan.
Kontrol Negatif (-) : Tidak diberi perlakuan dan tidak diberi
pengobatan.

1.6 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada praktikum ini adalah
dengan melihat perubuhan suhu tubuh mencit setelah diberi obat setiap 5 menit
selama 20 menit.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tabel Pengamatan


Tabel 4.1.1 Hasil Pengamatan Antikovulsan
Mencit Kejang Kejang Kejang Mati
Awal Biasa Esktrem

Waktu (menit)
1 (Na-CMC) 02.20 27.00 - -
2 (Diazepam) 03.30 13.02 22.51 41.36
3 (Karbamazepin) 04.51 27.55 - -

4 (Gabapentin) 03.22 28.01 - -


5 (Fenitoin) 04.24 15.45 32.15 47.37

4.2 Pembahasan
Praktikum farmakologi ini bertujuan untuk mengetahui efek obat
terhadap konvulsi pada hewan percobaan yang diinduksi oleh striknin
berdasarkan pengamatan waktu timbulnya dan lamanya konvulsi. Pengujian
efek konvulsi ini dilakukan dengan induksi striknin dan obat yang diujikan yaitu
Diazepam dengan dosis 2,6 mg/kg BB dan 5,6 mg/kg BB.
Perangsangan sistem saraf pusat oleh striknin menyebabkan neuron
tereksitasi sampai ambang kritis tertentu sehingga menimbulkan efek konvulsi
sedangkan diazepam merupakan suatu obat antikovulsi, dimana bekerja melalui
penghambatan sistem GABAergik dengan cara berikatan dengan reseptor
GABAA pada kanal ion CL- yang menyebabkan penurunan eksitabilitas dari
neuron tersebut sehingga konvulsi dapat dicegah atau diturunkan.
Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih jantan.
Digunakan mencit putih jantan karena mencit betina tidak stabil. Mencit betina
mengalami menstruasi dan pada saat menstruasi maka hormonnya akan
meningkat sehingga mempengaruhi kondisi psikologisnya. Kenaikan hormon
ini juga akan berpengaruh pada efek obat, maka digunakan mencit jantan
sebagai hewan percobaan. Dengan alasan inilah mencit betina jarang digunakan
sebagai hewan percobaan. Adapun alat yang digunakan adalah syringe 1 ml,
jarum suntik karena obat diberikan secara intraperitoneal dan subkutan,
stopwatch untuk menghitung durasi waktu yang diperlukan dalam perlakuan,
dan timbangan mencit untuk mengukur bobot mencit agar dapat menghitung
volume dosis obat yang diberikan kepada tiap-tiap mencit. Bahan yang
digunakan antara lain larutan Gom Arab 2% sebagai pelarut atau pembawa obat
yang digunakan, striknin sebagai penginduksi konvulsi, dan diazepam dengan
dua dosis yaitu dosis 2,6 mg/kgBB dan dosis 5,6 mg/kgBB sebagai obat
antikonvulsi.
Alasan mencit dipakai sebagai hewan percobaan adalah karena anatomi
fisiologi tubuhnya mirip dengan manusia. Sebagai hewan percobaan mencit
yang digunakan harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: bersifat homogen
baik dari segi galur, berat, umur dan jenis kelaminnya karena akan
mempengaruhi dosisnya.
Disiapkan mencit dan bahan-bahan percobaan. Pertama sebanyak 5
ekor mencit diberi tanda terlebih dahulu pada ekornya agar mudah dikenali.
Lalu masing-masing mencit ditimbang berat badannya dengan menggunakan
timbangan. Pada saat mencit ditimbang, diusahakan mencit tidak bergerak
sehingga tidak mempengaruhi skala penimbangan.
Setelah itu, dihitung jumlah obat yang akan diberikan pada masing-
masing mencit berdasarkan berat badannya yaitu dengan cara menghitung
dengan menggunakan rumus: (BB ditimbang/ 20 g) x 0,5 ml untuk
intraperitonial. Larutan PGA dan diazepam yang akan diberi pada mencit
dengan cara intraperitonial.
Mencit yang sudah ditimbang dan diberi tanda dibagi menjadi 5
kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol negatif, kelompok obat uji I
kelompok obat uji II,III,IV dan V Lalu semua mencit dari setiap kelompok
diberi perlakuan sesuai dengan kelompoknya. Kelompok kontrol negatif
diberi PGA. Kelompok kontrol positif diberi diazepam dengan dosis 2,6
mg/kg BB dan kelompok uji diberi diazepam dengan dosis 5,2 mg/kg BB.
Pemberian zat obat dilakukan secara intraperitonial. Cara pemerian obat
melalui intraperitonial yaitu penyuntikan di perut. Mencit dipegang dengan
benar tetapi kepalanya agak ke bawah abdomen. Lalu jarum disuntikkan
dengan sudut 10° dari abdomen agak ke pinggir, untuk mencegah terkenanya
kandung kemih dan apabila terlalu tinggi akan mengenai hati.
Kemudian setelah 30 menit, hewan diberi striknin dengan dosis yang
sudah ditentukan. Diberikan setelah 30 menit karena daya absorpsi efektif
obat diazepam dan larutan PGA selama 30 menit. Cara menghitung dosis
striknin dengan cara (BB ditimbang/ 20 g) x 0,25 ml karena diberikannya
secara subkutan
Untuk mekanisme penyuntikan secara subkutan tengkuk mencit
dipegang, kemudian kulit tengkuknya ditarik dan disuntikkan di bawah kulit.
Striknin adalah suatu zat kimia yang dapat menimbulkan konvulsi. Striknin
dapat menghambat inhibisi pascasinaps dengan cara mengantagonis kerja
neurotransmitter glisin pada medulla spinalis, sehingga neuron tersebut akan
mengalami eksitasi. Eksitasi yang meningkat akan menyebabkan kontraksi
otot yang berlebihan dan tak terkendali yang disebut dengan konvulsi. Pada
pemberian striknin harus dilakukan dengan cermat, setiap akan memulai
penyuntikan pastikan suntikan telah dicuci terlebih dahulu karena apabila
tidak dicuci dapat mengakibatkan terjadi keracunan striknin pada hewan
percobaan karena akumulasi terjadinya akumulasi striknin dalam suntikan
sehingga hasil pengamatan tidak akan maksimal karena data yang didapat
akan memiliki terlalu banyak bias.
Segera setelah pemberian striknin, beberapa saat akan muncul konvulsi
pertama kemudian dicatat waktu konvulsi pertama tersebut, dan dicatat pula
waktu saat konvulsi pertama (onset) hingga waktu kematian mencit tersebut
death time. Onset didefinisikan sebagai selang waktu antara pemberian
striknin sampai timbulnya gejala kejang yang pertama, sedangkan death time
adalah panjang waktu antara timbulnya kejang pertama sampai terjadinya
kematian.
Berdasarkan perlakuan pemberian penginduksi dan antikonvulsi,
seharusnya pada mencit kontrol yang memberikan aktivitas normal akan
memberikan onset yang lebih cepat karena tidak diberikan obat antikonvulsi
sehingga akan memberikan death time yang lebih cepat pula. Pada mencit
uji I, seharusnya mencit uji I akan memberikan onset yang jauh lebih lama
daripada mencit kontrol sehingga mencit uji akan memberikan death time
yang lebih lama, karena adanya obat antikonvulsi diazepam yang bekerja
menghambat penginduksi striknin.
Dari percobaan ini diperoleh data berupa waktu onset dan waktu
mati (death time) dari mencit setelah diberi zat penginduksi konvulsi yaitu
striknin. Waktu onset yaitu waktu dari pemberian striknin sampai terjadinya
konvulsi yang pertama. Waktu mati (death time) yaitu waktu dari pertama
terjadinya konvulsi sampai mencit tersebut mati.Dari waktu onset tersebut
dapat terlihat berapa lama proses striknin dalam bekerja sehingga
ditimbulkan efek konvulsi. Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan
tempat suntikan, lalu akan segera meninggalkan sirkulasi masuk ke sistem
saraf pusat yaitu ke medula spinalis dan mulai bekerja dengan
mengantagonis kerja neurotransmitter glisin pada medula spinalis yang
menyebabkan hipereksitabilitas neuron sehingga neuron tersebut terksitasi
sampai pada ambang kritis tertentu yang menyebabkan bertambahnya tonus
otot rangka sehingga terjadi konvulsi atau kejang. Terjadinya konvulsi
tersebut menyebabkan terjadinya gangguan sistem kardiovaskuler. Jantung
mengalami gangguan dalam melangsungkan fungsinya untuk memompa
darah ke seluruh tubuh, konduktivitas jantung menurun sehingga akhirnya
jantung gagal dalam memompa darah dan menyebabkan kematian pada
mencit.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari percobaan ini dapat disimpulkan bahwa Obat antikonvulsi adalah

obat-obat yang dapat menyebabkan penghambatan terhadap

kejang.Mekanisme dan durasi kerja obat antikonvulsi berbeda-

beda. Perbedaan mekanisme dan durasi kerja obat antikonvulsi harus

diperhatikan untuk tujuan pengobatan terhadap jenis kejang/epilepsi yang

berbeda, juga berguna untuk penentuan dosis pemakaian obat.

5.3 Saran
Sebelum memulai praktikum, pastikan bahwa mencit yang digunakan
dalam penelitian sehat dan tidak sedang menderita kondisi yang dapat
mempengaruhi hasil percobaan dan pastikan bahwa dosis yang diberikan pada
mencit tidak melebihi dosis yang diizinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Ajeng Ratna.2018. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2019. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Husna.2018. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Novia. 2015. Obat-Obat Penting Edisi VI. Jakarta : PT Gramedia.
Utami.2018.Mekanisme kerja obat anti epilepsi secara biomolekuler malang :
University Brawijaya.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Mencit 3 disuntikkan karbamazepin secara i.p

Lampiran 2. Mencit diinduksi secara s.c dengan ampisilin

Anda mungkin juga menyukai