Anda di halaman 1dari 11

STIMULANSIA SISTEM SARAF PUSAT

Dosen Pembimbing: Drh. Min Rahminiwati, MS, Ph.D.


Asisten praktikum: Drh. Diah Nugrahani Pristihadi, Msi.

Oleh :

Muhammad Nurochman (B04180135)

Situmorang Angel (B04180140)

Albarido Muhammad (B04180146)

Aqila Zata Amani (B04180153)

Jasmine Electra Alicia W (B04180161)

DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2021
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sistem saraf pusat (SSP) berfungsi sebagai pusat pengaturan informasi,
yaitu menerima, memproses, menginterpretasikan, dan menyimpan informasi
sensoris dan mengirimkan respon berupa aktivitas motorik. Obat stimulansia SSP
merupakan obat-obatan yang berfungsi merangsang kerjanya sistem saraf pusat
sehingga terjadi peningkatan aktivitas motorik dan kesadaran. Penggunaan
stimulansia SSP dapat menyebabkan individu menjadi hiperaktif, agresif, denyut
jantung menjadi cepat, dan mudah tersinggung. Stimulan dipakai dalam terapi
untuk menaikkan atau memelihara kewaspadaan, menjadi penawar rasa lelah, di
dalam situasi yang menyulitkan tidur (misalnya saat otot-otot bekerja), untuk
menjadi penawar keadaan tidak normal yang mengurangi kewaspadaan atau
kesadaran (seperti di dalam narkolepsi), untuk menurunkan bobot tubuh
(phentermine), juga untuk memperbaiki kemampuan berkonsentrasi bagi orang-
orang yang didiagnosis sulit memusatkan perhatian (terutama ADHD).
Berdasarkan lokasi dan titik tangkapnya, daya kerja obat stimulan SSP dibedakan
menjadi stimulansia terhadap cortex cerebri, stimulansia terhadap medulla
oblongata, serta stimulansia terhadap medulla spinalis.

Tujuan
Praktikum stimulansia sistem saraf pusat bertujuan mengamati gejala yang
muncul setelah pemberian obat, serta menentukan target kerja obat pada sistem
saraf pusat.

TINJAUAN PUSTAKA

Stimulansia

Stimulansia merupakan obat-obatan yang berfungsi merangsang otak dan


sumsum tulang belakang sehingga mampu meningkatkan daya kerja sistem saraf
pusat. Efek yang diakibatkan oleh obat stimulansia diantaranya adalah peningkatan
denyut jantung dan laju respirasi, peningkatan daya kerja otot, serta peningkatan
tingkat kesadaran individu. Stimulasi yang diberikan pada daerah korteks otak
depan mampu meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan, pikiran, dan
peningkatan semangat (Rahmi et al. 2018).

Kafein

Kafein merupakan methylxanthine yang mengantagonisi phosphodiesterasi,


yang menyebabkan terjadinya stimulasi pada respiratory center dan didapatkan dari
daun dan buah seperti teh, kopi, dan kokoa. Hal tersebut menimbulkan efek berupa
peningkatan frekuensi respirasi, volume tidal, dan kontraksi diafragma (Plumb
2018). Kafein juga mampu meningkatkan frekuensi denyut jantung, vasodilatasi
darah, dan kontraksi otot rangka. Dalam penggunaan jangka panjang secara terus-
menerus, kafein dapat menimbulkan efek hypokalemia, hyperglycemia, takikardia,
hipotensi, asidosis metabolik, hypertonia, rhabdomyolysis, serta seizure.

Striknin
Striknin termasuk obat yang bekerja sebagai stimulan medula spinalis dan
konvulsinya disebut konvulsi spinal. Striknin merupakan alkaloid utama dalam Nux
vormica, tanaman yang banyak tumbuh di India. Striknin bekerja dengan cara
mengadakan antagonis kompetitif terhadap transmiter penghambatan yaitu glisin
didaerah penghambatan postsinaps. Obat ini merupakan konvulsan kuat dengan
sifat kejang yang khas. Pada hewan konvulsi berupa ekstensif tonik dari badan dan
semua anggota gerak (Ernesta 2018).

Kardiazol
Cardiazole merupakan obat analetpika yang berfungsi menstimulasi pusat
respirasi dan pusat vasomotor pada medulla spinalis. Pemberian cardiazole dalam
dosis yang tinggi dapat menimbulkan efek berupa spasmus otot, sementara pada
dosis yang rendah dapat menimbulkan efek berupa konvulsi (Gunawan 2007).

Amfetamin
Ametamin merupakan turunan dari D-pseudo epinefrin yang mampu
memberikan efek halusinasi kuat (Tambuun et al. 2018). Cara kerja amfetamin
adalah menstimulasi peningkatan katekolamin postsinaptik, seperti dopamin dan
norepinefrin. Hal tersebut menimbulkan efek berupa takikardia, hipertensi,
mydriasis, diaphoresis, dan agitasi psikomotoris. Apabila digunakan dalam jangka
waktu yang panjang dan secara terus-menerus, maka dapat timbul komplikasi
berupa hipertermia, agitasi, dan seizure (Fitzgerald dan Bronstein 2013).

METODOLOGI
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah spuid 1 mL, jam, dan
kandang hewan. Bahan yang digunakan adalah katak dan mencit sebagai hewan
coba, serrta kafein, striknin, kardiazol dan amfetamin sebagai obat yang digunakan.
Metode

Stimulansia dengan Kafein

Dilakukan pemeriksa kondisi katak normal seperti posisi tubuh, pernafasan,


frekuensi denyut jantung, keseimbangan tubuh, refleks membalik, dan rasa
nyerinya. Kafein disuntikan secara bertahap, dosis yang diberikan dimulai dari 0,05
mL, 0,2 mL, 0,4 mL. Pemeberian kafein melalui rute subcutan pada daerah
abdominal melalui saccus limphaticus femoralis yang diberikan setiap 10 menit
sekali dan dilakukan pengamatan perubahan fisiologis katak setiap 10 menit pasca
obat disuntikan. Dilakukan pengamatan pada katak yang mengalami kejadian
kejang spontan atau aspontan, ekstremitasnya simetris atau asimetris, serta tipe
kejang yang klonis atau tetanis. Perusakan bagian otak dilakukan setelah katak
mengalami kejang dengan sesegera mungkin. Perusakan dimulai dari cortex
cerebri, medulla oblongata dan medulla spinalis untuk menentukan target kerja dari
obat tersebut.

Stimulansia dengan Striknin dan Kardiazol

Pemberian striknin disuntikan dengan dosis 0,05 ml dan seterusnya, rute


pemberian yang striknin pada katak dilakaukan secara subcutan pada daerah
abdominal melalui saccus limphaticus femoralis. Pemberian dilakukan setiap 10
menit dan diamati perubahan perubahan fisiologis yang tejadi pada katak setiap 10
menit pasca pemberian obat. Untuk pemberian kardiazol masih sama dengan
pemberian striknin yaitu dilakukan pemberian secara subcutan dengan dosis 0.05
ml secara subcutan kemudian diamati perubahan fisiologis yang ada.

Stimulansia dengan Amfetamin


Dilakukan pemeriksaan kondisi normal pada mencit yang meliputi aktivitas
motorik tubuh, kesadaran, reflek, tonus otot, frekuensi napas dan jantung, salivasi,
defekasi, kejang dan tanda tanda lain. Pemberian amfetamin disuntikan dengan
dosis 0,05 ml, 0,2 ml, 0,8 ml dengan rute injeksi obat secara subcutan pada daerah
tengkuk atau dekat punggung dengan jeda waktu pemberian 10 menit setiap
dosisnya. Perubahan perilaku mencit diamati setiap 10 menit pasca obat
diinjeksikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Tabel 1. Pengamatan efek stimulan kafein sistem saraf pusat katak

Menit Dosis Posisi Reflek Rasa Tonus Frek. Frek Konvulsi


(mL) tubuh nyeri nafas jantung

Pre- - Tegak +++ +++ +++ 64 52 -


Injeksi Normal
0 0.05 Tegak +++ +++ +++ Tidak Tidak -
Normal diukur diukur

10 0.2 Tiarap + + + 52 Tidak -


diukur

15 0.4 Tiarap - - - - - +++

Keterangan :
(+) : Ada
(-) : Tidak ada

Tabel 2. Pengamatan efek stimulan striknin sistem saraf pusat katak

Menit Dosis Posisi Reflek Rasa Tonus Frek. Frek Konvulsi


(mL) tubuh nyeri nafas jantung

Pre- - Tegak +++ +++ +++ 44 52 -


Injeksi Normal

0 0.05 Tiarap - - - 68 - +++

Keterangan :
(+) : Ada
(-) : Tidak ada

Tabel 3. Pengamatan efek stimulansia Kardiazol sistem saraf pusat katak

Menit Dosis Posisi Reflek Rasa Tonus Frek. Frek Konvulsi


(mL) tubuh nyeri nafas jantung

Preinjeksi - Tegak +++ +++ +++ 44 52 -


normal

0 0.05 Tiarap - - - 68 - +++


Keterangan :
(+) : Ada
(-) : Tidak ada

Tabel 4. Pengamatan efek stimulansia Amfetamin sistem saraf pusat tikus

Defekasi/
Menit Dosis Aktivit Refl Urinasi/ Ton Frek. Frek Konvu
(mL) as ek Salivasi us nafas jantu lsi
ng

Preinj - ++ ++ - ++ Norm Norm -


eksi al al

0 0.05 +++ +++ - +++ Sanga Sanga -


t t
cepat cepat

10 0.2 +++ +++ Urinasi +++ Lebih Lebih -


cepat cepat

20 0.8 + - Salivasi, - - - -
Urinasi

Keterangan :
(+) : Ada
(-) : Tidak ada

Pembahasan

Stimulansia dengan Kafein


kafein memiliki efek stumulansia khusus terhadap sistem saraf pusat, seperti
peningkatan kortikal sehingga kewaspadaan hewan coba meningkat serta menunda
kelelahan. Namun, kafein tidak langsung meningkatkan metabolisme energi di
dalam tubuh. Penggunaan kafein dalam jangka panjang juga dapat menyebabkan
kelelahan adrenal. Biasanya kafein digunakan untuk mengurangi migraine yang
disebabkan oleh pelebaran pembuluh darah di otak (Bruce et al 2009).

Penyuntikan kafein dengan dosis 0,05 ml pada katak melalui subkutan


dilima menit pertama tidak menunjukkan perubahan aspek ukur yang ingin diamati
dari normalnya. Mulai dari posisi tubuh, reflex, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas,
frekuensi jantung dan konvulsi sama dengan normal dan setelah penyuntikannya
dengan dosis 0,05 ml. Namun yang sedikit berbeda yaitu frekuensi napas
mengalami peningkatan.. Selanjutnya dilakukan penyuntikan dengan dosis 0,2 pada
menit-10 terjadi perubahan posisi tubuh menjadi lebih rendah, reflex, tonus rasa
nyeri, frekuensi napas dan frekuensi jantung sudah sangat menurun tetapi konvulsi
belum ada. Penyuntikan selanjutnya yaitu dosis 0,4 menunjukkan hasil yang sama
dengan penyuntikan 0,2 namun pada saat penyuntikan dosis 0,4 terjadi konvulsi
asimetris, aspontan dan klonik. Efek konvulsi yang ditimbulkan dari kafein lebih
lama dibandingkan dengan sediaan stimulansia lainnya.

Dari hasil praktikum ini, titik kerja kafein berada pada medulla oblongata,
karena saat dilakukan deserebrasi pada bagian medulla oblongata konvulsi yang
terjadi pada katak berhenti. Medulla oblongata merupakan salah satu bagian dari
batang otak yang berada di bawah pons. Medulla oblongata itu sendiri juga
merupakan suatu organ yang dapat menghantarkan sinyal-sinyal yang datang dari
otak sebelum disampaikan ke saraf-saraf tulang belakang (medulla spinalis). Selain
itu, Medulla oblongata juga berfungsi mengontrol sirkulasi darah, pencernaan,
detak jantung serta pernapasan (Huda 2020)

Stimulansia dengan Striknin

Striknin merupakan stimulan yang merangsang semua bagian sistem saraf


pusat (SSP). Obat ini dapat menyebabkan konvulsi kuat dengan menunjukan gejala
kejang yang khas. Jika diberikan pada hewan coba kejang yang dialami dapat
berupa ekstensi tonik dari anggota tubuh dan semua anggota gerak. Gejala kejang
yang disebabkan oleh striknin berbeda dengan gejala kejang yang dihasilkan oleh
stimulan yang menuju langsung ke saraf pusat. Gejala kejang khas yang disebabkan
oleh striknin dapat berupa kontraksi ekstensor yang simetris pada otot-otot alat
gerak dan diperkuat dengan adanya rangsangan sensorik yaitu pendengaran,
penglihatan, dan sentuhan (Wang et al. 2018).

Sebelum katak diberi striknin, dilakukan PE pada katak untuk mengetahui


kondisi fisik katak. Frekuensi nafas katak sebesar 44 kali/menit dan frekuensi
jantung 52 kali/menit. Posisi tubuh normal. Refleks, rasa nyeri, dan tonus masih
terdapat dan merespons tinggi. Katak tidak menunjukan gejala konvulsi. Pada
pemberian dosis 0.05 ml, 2 menit setelah pemberian obat, terjadi konvulsi berat
pada katak secara spontan, tetanik, dan simetris. Ketika perusakan sonde dilakukan
sampai medulla spinalis, katak sudah tidak menunjukan reaksi apapun. Hal ini
menunjukkan bahwa lokasi dan titik tangkap kerja striknin adalah di medulla
spinalis.

Stimulansia dengan Kardiazol


Percobaan berikutnya adalah penyuntikan katak menggunakan kardiazol
secara subkutan melalui saccus limphaticus femoralis menuju saccus limphaticus
abdominalis. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian kardiazol dalam
dosis yang banyak akan menyebabkan kejang otot yang dimulai dari kaki kanan
katak, lalu berlanjut ke seluruh tubuh katak. Hal ini sesuai dengan Mutschler (1999)
yang menyatakan bahwa cardiazol dapat menyebabkan spasme otot pada pemberian
dosis tingkat tinggi berkelanjutan. Kardiazol termasuk dalam obat analeptika yang
mampu menstimulasi bagian sistem saraf tertentu, terutama pusat pernafasan dan
pusat vasomotor dalam medulla oblongata. Hal ini juga terbukti dengan frekuensi
napas katak yang semakin cepat ketika pertama kali diinjeksikan kardiazol.

Kardiazol dapat digunakan untuk mendeteksi kejang monolateral dan


bilateral. Kardiazol dengan dosis minimal akan menghasilkan kejang monolateral
(Maienschen dan Ruse 1999). Hal ini sesuai dengan hasil percobaan yang
menunjukkan kejang otot pada kaki kanan katak pada awal injeksi. Efek stimulasi
medulla oblongata yang diberikan kardiazol akan menyebabkan kejang bilateral
karena pengaturan gerak bilateral terdapat pada medulla oblongata (Gerhard dan
Olszewski 1969)

Stimulansia dengan Amfetamin

Percobaan terakhir adalah pemberian amfetamin pada hewan coba mencit.


Hasil percobaan menunjukkan bahwa seluruh keadaan fisiologis mencit meningkat
drastis setelah diberikan amfetamin. Hal ini sesuai dengan Kasper (2005) yang
menyatakan bahwa amfetamin akan meningkatkan detak jantung, tekanan darah,
dan pernafasan, serta mengurangi nafsu makan. makhluk hidup yang menggunakan
amfetamin dapat berkeringat, mulutnya kering, mengantuk, dan cemas. Dosis tinggi
menyebabkan seseorang merinding, pucat, gemetar, kehilangan koordinasi, dan
pingsan. Suntikan amfetamin dapat menyebabkan naiknya tekanan darah secara
mendadak sehingga mengakibatkan stroke, demam tinggi, atau jantung lemah.

Amfetamin adalah obat yang bekerja pada cortex cerebri. Obat ini
menstimulasi cortex cerebri yang fungsinya adalah sebagai pusat kesadaran. Mencit
yang diberikan sediaan amfetamine secara berlebihan akan berpengaruh pada pusat
kesadaran. Pada pemberian amfetamine dengan dosis 0.05 ml, aktivitas mencit
menunjukan peningkatan (lebih agresif), refleks yang berlebihan, tonus otot
meningkat, frekuensi dan denyut jantung yang tidak beraturan (meningkat).
Aktivitas mencit yang meningkat ditandai dengan gerakan mencit yang berputar-
putar mengelilingi kandangnya. Pemberian dosis amfetamin selanjutnya juga
menunjukan peningkatan aktivitas, refleks yang sangat berlebihan, tonus otot
meningkat, frekuensi dan denyut jantung yang tidak beraturan (meningkat), namun
tidak melebihi aktivitas mencit setelah pertama kali diberikan amfetamin. Mencit
juga mengalami urinasi pada pengulangan pemberian amfetamin yang kedua dan
ketiga.

KESIMPULAN

Kafein memiliki target kerja pada medulla oblongata dan memberi efek
konvulsi asimetris, spontan, dan klonik. Striknin memiliki target kerja pada medulla
spinalis dan memberi efek konvulsi simetris, spontan, dan tetanik. Stimulasi
kardiazol memiliki taget kerja pada medulla oblongata dan memberi efek konvulsi
simetris, spontan, klonik. Sementara amfetamin memiliki target kerja pada korteks
serebri dan memberi efek konvulsi asimetris.
DAFTAR PUSTAKA

Bruce M, Scott N, Lader M, Marks V. 2009. The psychopharmacological and


electrophysiological effects of single doses of caffeine in healthy human
subjects. British Journal of Clinical Pharmacology. Vol (22): 81-87

Ernesta S. 2018. Uji efek tonikumekstrak etanol akar pasak bumi (Eurycoma
longifolia jack) pada mencit putih jantan (Mus musculus) [skripsi].
Medan(ID): Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan.

Fitzgerald KT, Bronstein AC. 2013. Adderall® (amphetamine-dextroamphetamine)


toxicity. Topics in Companion Animal Medicine. 28(1): 2-7.

Gerhard L, Olszewski J. 1969. Medulla oblongata and ponds. Handbook Of


Primatology. 2(2): 3.

Goodman, Gilman. 2011. Manual farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): EDC

Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta (ID): GayaBaru.

Hasanah AH. 2015. Pertimbangan anestesi lokal pada pasien dengan penyakit
sistemik [skripsi]. Makassar(ID): Universitas Hasanuddin.

Huda AM. 2020. Otak dan akal dalam kajian Al-Quran dan neurosains. Jurnal
Pendidikan Islam Indonesian. Vol 5(1) : 68-79.

Jaichandran VV, Angayarkanni N, Karunakaran C, Bhanulakshmi IM, Jagadesh V.


2008. Diffusion of lidocaine buffered to an optimal pH across the
endotracheal pipa cuff - an in-vitro study. Indian J Anaesth. 52(5): 536-40.

Kasper DL. 2005. Harrison’s Manual of Medicine. New York(US): Mc Graw Hill
Medical Publishing Division

Kee JL, Hayes ER. 1993. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan.


Jakarta(ID): EGC.

Maienschein J, Ruse M. 1999. Biology And The Foundation Of Ethics.


Cambridge(UK): Cambridge University Press.

Mutschler. 1999. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung (ID):


Institut Teknologi Bandung

Noviani N, Nurilawati V. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Gigi: Farmakologi.


Jakarta(ID): Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan
Plumb DC. 2018. Plumb’s Veterinary Drug Handbook, Ninth Edition. Wisconsin
(US): Pharma Vet Inc.

Pramana C. 2004. Perbandingan respon hipotensi antara lidokain 5% hiperbarik


dengan bupivakain 0,5% hiperbarik pada anestesi spinal [tesis].
Yogyakarta(ID): Universitas Gajah Mada.

Rahmi M, Tobat SR, Ningsih S. 2018. Uji efek stimulan sistem saraf pusat ekstrak
etanol daun afrika selatan pada mencit putih betina. SCIENTIA J. Far. Kes.
8(2): 137-143.

Ranudinata F, Harahap MS. 2018. Perbadingan penggunaan ajuvan klonidin dan


ajuvan fentanyl pada spinal bupivakain isobarik 0,5% dalam menekan
reaksi inflamasi dilihat dari kadar netrofil pada operasi ortopedi ekstremitas
bawah. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 10(2): 108-114.

Samodro R, Sutiyono D, Satoto H. 2011. Mekanisme kerja obat anestesi lokal.


Jurnal Anestesiologi Indonesia. 3(1): 48-59.

Stoelting RK. 1999. Local anesthetics In: Pharmacology and Physiology in


Anesthetic Practice. 3rd ed. Philadelphia(US): Lippincott-Raven
Publishers.

Wang T, Chen X, Yu J, Du Q, Zhu J, Yang M, Wu H, Wang M, Zhu Y. 2018. High-


throughput electrophysiology screen revealed cardiotoxicity of strychnine
by selective targeting hERF channel. The American Journal of Chinese
Medicine. 46(8): 1825-1840.

Anda mungkin juga menyukai