Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI

PERCOBAAN 6

“ AKTIVITAS ANESTESI UMUM ”

Disusun Oleh:

Nama : Nurul Hayati


NIM : 210106093
Tanggal Percobaan : 18 Mei 2022
Tanggal Masuk Laporan : 27 Mei 2022
Dosen : Dr. Apt. Dwintha Lestari, M.Si
Apt. Ardilla Kemala Dewi, M.S.Farm

Asisten Dosen : Ahmad Qodri, Hanif Nurqolbi

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PROGRAM STUDI FARMASI

TAHUN 2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 TUJUAN
1.1.1 Mengenal tahap-tahap manifestasi anestesi umum dan tahap-tahap pemulihan dari
anestesi umum.
1.1.2 Mampu menganalisa perbedaan anestesi oleh berbagai bahan.

1.2 PRINSIP
1.2.1 Berdasarkan mekanisme kerja anestesi umum pada sistem saraf pusat.
1.2.2 Berdasarkan tahapan-tahapan pada anestesi umum.
1.2.3 Berdasarkan anestesi inhalasi yang dilakukan dengan menggunakan kloroform.
1.2.4 Berdasarkan penggunaan hewan mencit sebagai bahan uji coba, dan pengamatan
respon yang ditimbulkan pada saat pemberian anestesi inhalasi.
1.2.5 Berdasarkan waktu pemulihan setelah pemberian obat anestesi umum.
BAB II

TEORI DASAR

Sistem saraf pusat sangat peka terhadap obat-obatan, akibatnya sebagian besar obat-obatan
jika diberikan dalam dosis yang cukup besar menimbulkan efek yang mencolok terhadap fungsi
system saraf pusat. Akibatnya obat-obatan pada system saraf pusat dibagi berdasarkan
manifestasi efek yang diamati yaitu : a) Obat-obatan yang bekerja depresif terhadap fungsi-
fungsi saraf pusat. b) Obat-obatan yang bekerja stimulatif terhadap fungsi-fungsi saraf pusat.
c) Obat-obatan yang mempengaruhi suasana kejiwaan dan kelakuan. Teori yang menerangkan
mekanisme kerja anastesika umum baik secara fisika, biokimia maupun secara sectoral tidak
berketeraturan terhadap system saraf pusat. Hal ini memungkinkan pada tahap dan tingkatan
asetesi tertentu dapat dilakukan berbagai manipulasi terhadap struktur organ atau jaringan
tubuh tanpa kesulitan seperti pembedahan (Bertram et all., 2013).
Anestesi umum adalah keadaan hilangnya nyeri di seluruh tubuh dan hilangnya kesadaran
yang bersifat sementara yang dihasilkan melalui penekanan sistem syaraf pusat karena adanya
induksi secara farmakologi atau penekanan sensori pada syaraf. Agen anestesi umum bekerja
dengan cara menekan sistem syaraf pusat (SSP) secara reversibe. Anestesi umum merupakan
kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran reversibel dan diperoleh melalui
penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya
respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap
rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran
(unconsciousness) (Tan Hoan et all., 2007).
Anastesi dibagi menjadi dua yaitu anastesi umum dan anastesi lokal. Anestesi umum atau
pembiusan umum adalah kondisi atau prosedur ketika pasien menerima obat untuk amnesia,
analgesia, melumpuhkan otot, dan sedasi. Anestesi umum memungkinkan pasien untuk
menoleransi prosedur bedah yang dalam kondisi normal akan menimbulkan sakit yang tak
tertahankan, berisiko eksaserbasi/isiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang
tidak menyenangkan. Anestesi umum dapat menggunakan agen intravena/injeksi atau inhalasi,
meskipun injeksi lebih cepat yaitu memberikan hasil yang diinginkan dalam waktu 10 hingga
20 detik. Anestesi local adalah teknik untuk menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian
tubuh tertentu. Hal ini memungkinkan pasien untuk menjalani prosedur pembedahan dan gigi
tanpa rasa sakit yang mengganggu (Dobson et all., 2004).
Secara tradisi, stadium anestesi umum dapat digunakan untuk menentukan kedalaman
depresi sentral. Namun, stadium-stadium ini tidak secara jelas dapat di observasi pada
penggunaan obat modern karena kecepatan efek anestetik dan efektivitasnya minimal. Anestesi
umum dapat dibagi menjadi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anastetik sampai hilangnya kesadaran.
Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya
rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat
dilakukan pada stadium ini.
2. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks
bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
3. Stadium III (pembedahan) dimulai dari teraturnya pernapasan sampai pernapasan spontan
hilang.
4. Stadium IV yaitu (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan
perut dibanding stadium III. Pada stadium ini tekanan darah tidak dapat diukur, denyut
jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini
tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan (Mycek et all., 2013).
Cara pemberian anatesi umum, yaitu : a) Parenteral (intramuscular/intravena) digunakan
untuk tindakan singkat atau induksi anastesi. b) Parektal, dapat digunakan pada anak untuk
induksi anastesi atau tindakan singkat. c) Anastesi inhalasi yaitu anastesi dengan menggunakan
gas atau cairan anastesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anastetik melalui
udara pernapasan. Zat anastetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan oksigen) dan
konsentrasi tersebut tergantung dari tekanan parsialnya (Mecca, 2013).
Menurut Morgan E.G, dkk, 2006 bahwa berdasarkan klasifikasi dari American Society of
Anesthesiology (ASA) status fisik pasien pra-anestesi dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu :
1. Golongan I yaitu tidak ada gangguan organik, biokimia, dan psikiatri. Misalnya penderita
dengan hernia inguinalis tanpa kelainan, orangtua sehat dan bayi muda yang sehat. 2. Golongan
II yaitu gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan disebabkan oleh penyakit yang
akan dibedah, misalnya penderita dengan obesitas, penderita bronchitis, penderita DM ringan
yang akan menjalani apendektomi. 3. Golongan III yaitu penyakit sistemik berat, misalnya
penderita DM dengan komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendicitis akut. 4.
Golongan IV yaitu penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa yang tidak
selalu dapat dperbaiki dengan pembedahan, misal insufiensi koroner atau MCI. 5. Golongan V
yaitu keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan dilakukan sebagai
pilihan terakhir, misal penderita syok berat karena perdarahan akibat kehamilan di luar uterus
yang pecah.
Anastetik umum dikelompokkan berdasarkan bentuk fisiknya, tetapi pembagian ini tidak
sejalan dengan penggunaan di klinik yang pada dasarnya dibedakan atas 2 cara, yaitu secara
inhalasi atau intravena. Eter, halotan, enfluran, isofluran, metoksifluran, etiklorida,
trikloretilen, dan fluroksen merupakan cairan yang mudah menguap Yang dieliminasi melalui
saluran pernapasan.meskipun zat-zat ini kontak dengan pasien hanya beberapa jam saja, namun
dapat menimbulkan aritmia pada jantung selama proses anastetika berlangsung. Terlepas dari
cara penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus memperlihatkan 3 efek utama
yang dikenal sebagai” Trias Anastesia”, yaitu efek hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan
efek relaksasi otot (Ganiswara, 2005).
Anastetik umum merupakan depresan sistem saraf pusat, dibedakan menjadi anastetik
inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anastetik parenteral. Pada percobaan hewan
dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap dan anastetik parenteral. Efek
anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch respon, yaitu dengan
menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda misalnya pensil. Jika mencit tidak
bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh anastetik. Selain itu pasivitas juga dapat
mengindikasikan pengaruh anastesi. Pasivitas yaitu mengukur respon mencit bila diletakkan
pada posisi yang tidak normal, misalnya mencit yang normal akan menggerakkan kepala dan
anggota badan lainnya dalam usaha melarikan diri, kemudian hal yang sama tetapi dalam posisi
berdiri, mencit normal akan meronta-ronta. Mencit yang diam kemungkinan karena
terpengaruh oleh senyawa anastetik. Uji neurologik yang lain berkaitan dengan anastetik ialah
uji ringhting refles (Katzung, 2010).
Mekanisme terjadinya anesthesia sampai sekarang belum jelas meskipun dalam bidang
fisiologi SSP dan susunan saraf perifer terdapat kemajuan hebat sehingga timbul berbagai teori
berdasarkan sifat obat anestetik,misalnya penurunan transmisi sinaps, penurunan konsumsi
oksigen dan penurunan aktivitas listrik SSP. Efek samping obat anestetik umum misalnya :
anestetik inhalasi, Delirium bisa timbul selama induksi dan pemulihan anestesia inhalasi
walaupun telah diberikan medikasi preanestetik. Muntah yang dapat menyebabkan aspirasi
bisa terjadi sewaktu induksi atau sesudah operasi. Enfluran dan halotan menyebabkan depresi
miokard yang dost related, sedangkan Isofluran dan N20 tidak. Enfluran, isofluran, N20 dapat
menyebabkan takikardi. Halotan menimbulkan sensitisasi jantung terhadapkatekolamin,
sehingga penggunaan adrenalin, noradrenalin / Isoproterenol + halotan menyebabkan aritmia
ventrikel (Mycek et all., 2013).
Praktik anestesia, terdapat 6 periode dalam anestesi umum (Morgan E.G. 2006) :
1. Premedikasi, premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obatobat
pendahuluan yang terdiri dari obat-obat golongan anti kolinergik (misal: atropin), sedatif
(misal: barbiturat), dan analgetik (misal: meperidine, morfin). Tujuan pemberian
premedikasi adalah untuk menimbulkan rasa nyaman, mengurangi sekresi kelenjar dan
menekan refleks vagus, memperlancar induksi, mengurangi dosis obat anestesia, serta
mengurangi rasa sakit dan kegelisahan pasca bedah.
2. Induksi anestesi, induksi anestei adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Dapat
dikerjakan 4 cara pemberian obat-obat anestesi ke dalam tubuh, yaitu: 1). Intravena, misal:
tiopental, droperidol; 2). Rektal, misal: tiopental; 3) Intramuskular, misal: ketamin; 4)
Inhalasi, misal: halotan, sevofluran (Latif A S.2002). Tujuan tindakan induksi ini bukanlah
untuk menganestesi, tetapi untuk mempercepat terjadinya proses anestesi dan
menyenangkan. Sebelum induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obta-obatan
yang diperlukan sehingga terjadi keadaan gawat dapat diatasi lebih cepat dan tepat, dengan
kata ingat STATICS (Stetoskop, Tube, Airway, Tape/plester, Introducer/stilet, Conector,
Suction).
3. Periode Maintenance (Periode Pemeliharaan) ini dihitung sejak mulainya induksi dan
selama pelaksanaan pembedahan. Ada beberapa metode dan obat-obatan yang dipilih oleh
seorang ahli anestesi untuk mengkoordinir tim anestetis, misal secara inhalasi dengan
halotan, enfluran, sevofluran atau secara parenteral dengan fentanil, petidin, morfin.
Belakangan ini, metode ini sering dikombinasikan dengan obat pelumpuh otot, seperti:
atrakurium, pasien masih tertidur dan sering dijumpai adanya muntah. Karakteristik
pernafasannya pun sudah teratur dan membaik.
4. Periode Reversal (Periode Bangun), pada periode ini terjadi perubahan dari tingkat
kesadarannya hingga kesadarannya sempurna. Terkadang pasien masih tertidur dan sering
dijumpai adanya muntah. Karakteristik pernafasannya pun sudah teratur dan membaik.
5. Periode Recovery (Periode Pemulihan), periode pemulihan ini dapa dibagi atas 3 bagian,
yaitu: (1) Reversal (bangun dari anestesi) periode ini biasanya sangat singkat, tetapi
merupakan stadium yang sangat penting dan penuh risiko. Oleh karena itu, periode ini
harus di bawah pengawasan langsung dari ahli anestesi dan biasanya dilakukan di kamar
operasi. (2) Early Recovery (permulaan pemulihan kesadaran), stadium ini berakhir
sampai pasien dapat mengenal orientasi dengan baik, dalam hal waktu, ruangan, dan dapat
mengatur pernafasannya sendiri. Periode ini memerlukan waktu 1-2 jam dan lamanya
tergantung anestesi yang diberikan. (3) Late Recovery (pemulihan kesadaran seperti
semula) periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya dan dimulai sejak efek
obat anestesi menghilang dari dalam tubuh. Terkadang efek hangover didapati seperti
pening, pusing, dan tidak dapat berkonsentrasi.
6. Periode Pasca Operasi. Pada periode ini, diharapkan pasien sudah dapat berdiri dan
berjalan sendiri serta tidak dijumpai kelainan respirasi, kelainan tekanan darah, maupun
gejala muntah.
BAB III

METODELOGI PERCOBAAN

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat

No Nama Alat Fungsi


1. Kapas Untuk pemberian anestesi inhalasi
2. Pipet tetes Untuk meneteskan bahan anestesi umum
3. Timbangan tikus Untuk menimbang berat badan/bobot tikus
4. Toples kaca dan tutup Sebagai tempat pembiusan tikus pada saat
toples pemberian anestesi inhalasi

3.1.2 Bahan
No Nama Bahan Fungsi
1. Eter Sebagai zat pada anestesi umum
2. Etanol absolut Sebagai zat pada anestesi umum
3. Kloroform Sebagai zat pada anestesi umum
4. Tikus Sebagai hewan uji/percobaan

3.2 Prosedur
Praktikan dibagi menjadi beberapa kelompok. Tiap kelompok bekerja dengan 3 ekor
mencit. Mengamati dan mencatat hal-hal berikut (Kelakuan umum mencit, Reflek-reflek/
nyeri yang direaksikan oleh mencit) sebelum pemberian anestesi umum pada masing-
masing mencit. Memasukkan mencit ke dalam toples kaca yang di dalamnya diberi kapas
yang telah ditetesi dengan eter, kloroform atau etanol absolut. Mencatat setiap perubahan
yang terjadi pada masing-masing mencit (Kelakuan umum mencit, Reflek-reflek/ nyeri
yang direaksikan oleh mencit). Setelah dicapai tingkat anestesi untuk pembedahan,
pemberian anestesi dihentikan. Memperhatikan dan mencatat tahap-tahap pemulihan
kesadaran mencit. Membuat tabel pengamatan selengkap mungkin sehingga saudara dapat
membahas dan menarik kesimpulan dari percobaan ini dan terlihat korelasi antara gejala
yang muncul dengan tahap dan tingkat anestesi yang dicapai.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Waktu Awal Teranestesi (Menit)
Hewan Coba (gr)
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3

1 (324,8) 4 - -

2 (168) 2 4 -

3 (126) 1 3 5

Keterangan
Stadium 1 tidak memberikan reaksi pada saat ditusuk dengan jarum.
Satdium 2 hewan coba takikardia, pupil tampak membesar.
Stadium 3 kesadaran hilang, pupil kembali keukuran normal, bradikardia.

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan terhadap aktivitas anestesi umum yang
diuji cobakan kepada hewan mencit untuk mengetahui reaksi dan tahap-tahap aktivasi obat
anestesi. Adapun beberapa tujuan dari praktikum kali ini ialah untuk mengetahui tahap-
tahap manifestasi anestesi umum dan tahap-tahap pemulihan dari anestesi umum dan
mampu menganalisa perbedaan anestesi oleh berbagai bahan. Prinsip percobaan pada
praktikum kali ini ialah dengan melakukan anestesi inhalasi dengan menggunakan
kloroform.
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas
neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan
terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat
melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang
secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang
kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan antara pemberian
dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi intravena
adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan
mengurangi konsentrasi dari gas / uap yang diinhalasi (Dobson et all., 2004).
Perubahan yang diamati dalam penelitian ini adalah waktu induksi, durasi dan
pemulihan anestesi. Waktu induksi dihitung mulai dari hewan dianestesi secara inhalasi
dengan kloroform sampai hilangnya kesadaran yang ditandai hilangnya reflek rasa sakit,
eksitasi hingga tercapainya anestesi. Durasi anestesi diamati dengan memperhatikan setiap
menit yang dihitung dari awal hilangnya refleks rasa sakit pada daerah interdigital, daun
telinga, serta daerah disekitar perut sampai pulihnya kesadaran yang ditandai dengan
adanya respon terhadap rangsangan yang diberikan melalui pencubitan dengan
menggunakan pinset dan ditusuk dengan jarum pada daerah kulit mencit. Sedangkan
waktu pemulihan anestesi dihitung dari mulai pulihnya kesadaran, pupil kembali keukuran
normal, denyut jantung dan pernafasan mulai teratur dan hewan mampu merasakan sakit
(memberikan respon) ketika dicubit ataupun ditusuk dengan jarum.
Pada praktikum kali ini digunakan 3 ekor mencit dimana pada masing-masing mencit
tersebut dimasukkan ke dalam toples kaca berbeda, yang di dalamnya terdapat kapas yang
telah ditetesi dengan kloroform kemudian toples terebut ditutup. Penetesan kloroform pada
kapas bertujuan agar nantinya terhirup oleh mencit. Pada mencit pertama dilakukan
anestesi inhalasi menggunakan kloroform dan ditunggu beberapa menit untuk melihat
respon yang diberikan. Setelah 4 menit menimbulkan efek analgesi yang dimana ketika
ditusuk dengan jarum mencit tidak memberikan reaksi/refleks apapun. Kemudian pada
mencit kedua setelah dilakukan anestesi inhalasi menggunakan kloroform hasilnya
mengalami efek analgesi pada menit ke 2, dimana mencit tidak memberikan reaksi pada
saat ditusuk dengan jarum dan pada menit ke 4 mencit mengalami eksitasi yaitu mencit
mengalami takikardia dan pupil mata membesar. Pada mencit ketiga, setelah dilakukan
anestesi inhalasi menggunakan kloroform hasilnya mengalami efek analgesi pada menit
pertama, setelah menit ke 3 mencit mengalami eksitasi dan anestesi pada menit ke 5 yang
ditandai dengan hilangnya kesadaran, pupil kembali keukuran normal dan terjadi
takikardia. Sehingga proses anestesi dihentikan dan dapat disimpulkan bahwa mencit
mengalami efek anestesi pada menit ke 5.
Perbedaan waktu pada anestesi ini disebabkan oleh bobot berat badan tiap mencit.
Dapat dilihat perbedaan berat badan antara mencit 1 dengan mencit 2 dan 3. Mencit 1 bisa
saja mengalami kelebihan berat badan (obesitas) sehingga dapat mengurangi efektivitas
dalam perjalanan obat anestesi ini. Hal ini juga telah dijabarkan pada American Sociesty
of Anaesthesiologists (ASA) menetapkan sistem penilaian yang membagi status fisik
(resiko) penderita ke dalam lima kelompok. Namun yang termasuk ke dalam masalah
kesehatan obesitas terdapat pada golongan/kelompok II yaitu gangguan sistemik ringan
sampai sedang yang bukan disebabkan oleh penyakit yang akan dibedah, misalnya
penderita dengan obesitas, penderita bronchitis, penderita DM ringan yang akan menjalani
apendektomi.
Perbedaan durasi lama waktu anestesi juga dapat dipengaruhi oleh jumlah obat dan
cara pemberian obat tersebut. Contohnya pada praktikum ini pemberian obat dilakukan
dengan cara anestesi inhalasi, dimana dapat kita ketahui bahwa anestesi inhalasi ini
memiliki keuntungan dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk
dapat lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas
/uap yang diinhalasi (Dobson et all., 2004). Rataan waktu anestesi yang dihasilkan dalam
praktikum ini dinyatakan memiliki waktu yang cepat karena memang dipengaruhi oleh
jenis obat dan cara pemberian obat yang tepat.
Cara pemberian obat sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat, karena
karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia yang berbeda pada daerah kontak
obat dan karakteristik tubuh ini berbeda sehingga jumlah suplai darah juga berbeda;
demikian juga enzim-enzim dan cairan fisiologis yang terdapat di lingkungan tersebut juga
berbeda. Hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat mencapai lokasi kerjanya
dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari cara pemberian obat tersebut
(Katzung, 2010).
Durasi (lama) tindakan anestesi merupan waktu dimana pasien dalam keadaan
teranestesi, dalam hal ini dinamakan dengan general anestesi. Lama tindakan anestesi
dimulai sejak dilakukan induksi anestesi dengan obat atau agen anestesi yang umumnya
menggunakan obat atau agen anestesi intravena dan inhalasi sampai obat atau pembedahan
yang dilakukan. Jenis operasi adalah pembagian atau klasifikasi tindakan medis bedah
berdasarkan waktu, jenis anestesi dan resiko yang dialami, meliputi operasi kecil, sedang,
besar dan khusus dilihat dari durasi operasi. Pembedahan yang lama secara otomatis
menyebabkan durasi anestesi semakin lama. Hal ini akan menimbulkan efek akumulasi
obat dan agen anestesi di dalam tubuh semakin banyak sebagai hasil pemanjangan
penggunaan obat atau agen anestesi tesebut dimana obat diekskresikan lebih lambat.
Waktu pasien/mencit akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit dan tidak sadar
yang berlangsung diatas 15 menit dianggap prolonged (Mecca, 2013).
BAB V
PENUTUP

5.1 KESIMPULAN
5.1.1 Praktikan dapat mengetahui tahap-tahap manifestasi anestesi umum dan tahap-tahap
pemulihan dari anestesi umum. Tahap-tahap manifestasi pada anestesi umum terbagi
ke dalam empat stadium atau tingkat kedalaman depresi SSP, yaitu : Stadium I -
analgesia, Stadium II - eksitasi, Stadium III – anestesia operasi dan Stadium IV -
depresi medulla oblongata.
5.1.2 Praktikan mampu menganalisa perbedaan anestesi oleh berbagai bahan. Bahan yang
digunakan dalam anestesi ini ialah kloroform. Kloroform memiliki keunggulan dari
pada bahan obat yang lain yaitu, koroform lebih cepat memberikan efek anastesi
terhadap mencit daripada eter, akan tetapi terdapat kekurangan yaitu range waktu
dari fase anastesi ke fase pemulihan kloroform lebih lama dari eter.
5.1.3 Dalam praktikum ini dosis tidak diperhitungkan karena pemberiannya tidak
dilakukan secara oral maupun injeksi, melainkan dilakukan secara inhalasi.
5.1.4 Dalam pengamatan anastesi umum yang dilakukan secara inhalasi diperlukan
kecermatan dalam mengamati fase-fase anastesi umum, agar mencit tidak mati.
DAFTAR PUSTAKA

Bertram, S, Dobson, M.B., Dharma A. (2013). Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta.

Dobson, M.B.,ed. Dharma A. (2004). Penuntun Praktis Anestesi. EGC, Jakarta.

Ganiswarna. G Sulistia. (2005). Farmakologi dan Terapi Edisi 4.Jakarta: Gaya baru.

Katzung, G. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika : Jakarta.

Mycek, M. A., Harvey, R.A. & Champe, P. C. (2013). Farmakologi : Ulasan Bergambar Edisi

4. Penerbit Widya Medika, Jakarta.

Morgan, E.G., Soerasdi E., Satriyanto M.D. (2006). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Jakarta : FKUI.

Mecca, S.A. (2013). Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. Jakarta : FKUI.

Tjay, Tan Hoan, KiranaRahardja. (2007). Obat-Obat Penting, Kasiat, Penggunaan dan Efek-

Efek Sampingnya. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Anda mungkin juga menyukai