Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI DENGAN GENERAL ANESTESI


PADA KASUS CRANIOTOMY

Pembimbing Akademik : Nia Handayani, S. Tr. Kep

Disusun oleh:
Serina Puji Astuti 2011604141

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PROGRAM SARJANA TERAPAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika seseorang mengalami kecelakaan, benturan atau ruda paksa, kepala menjadi salah
satu bagian tubuh yang rentan untuk mengalami cedera. Cedera kepala, mengakibatkan
suattu gangguan traumatic pada fungsi otak dengan atau tanpa perdarahan interstiil dalam
substansi otak, tanpa terputusnya kontinuitas otak. Secara luas, istilah cedera kepala,
menggambarkan sejumlah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak dan jaringan
dibawahnya serta pembuluh darah di kepala. (Haryono & Utami, 2019).

Cedera kepala dapat terjadi disebabkan oleh kejadian jatuh tidak disengaja, kecelakaan
kendaraan bermotor, benturan pada benda tajam, tumpul, benda bergerak maupun tidak
bergerak (Manurung, 2014).Cedera kepala, bisa saja mengakibatkan trauma pada penderita,
baik secara fisik maupun psikologis. Penderita cedera kepalabisa saja mengalami kehilangan
memori sementara (30 menit) krang dari 24 jam, mengalami fraktur tengkorak, diikuti
contusia serebral, laserasi dan hematoma intracranial (Nurarif & Kusuma, 2013). Gejala yang
paling sering muncul pada penderita cedera kepala diantaranya disorientasi ringan, amnesia
post trauma, sakit kepla, mual muntah, vertigo jika posisi berbubah, dan gangguan
pendengaran (Wijaya & Putri, 2013).

B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui konsep teori general anestesi?
2. Mengetahui konsep teori cedera kepala?
3. Mengetahui konsep teori craniotomy ?
4. Mengetahui konsep asuhan keperawatan anestesi pada cedera kepala?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami konsep teori cedera kepala asuhan
keperawatan anestesi pada Nn.K dengan kasus cedera kepala ringan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep teori general anestesi?
b. Mengetahui konsep teori cedera kepala?
c. Mengetahui konsep teori craniotomy ?
d. Mengetahui konsep asuhan keperawatan anestesi pada cedera kepala?
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Teori General Anestesi
1. Pengertian

Anestesi umum atau general anesteis merupakan tindakan pembiusan, bersifat


narkotika yang menghilangkan rasa nyeri terpusat dan menyeluruh disertai hilang
kesadaran yang dapat dipulihkan kembali. Tujuan general anestesi adalah mencapai tiga
pilar anestesi, meliputi hipnotik atau sedative yang mebuat pasien tenang dan mengantuk,
analgesia dimana pasien tidak merasa nyeri dan sakit, dan relaksasi otot dimana terjasi
kelumpuhan otot skelet dan stabilitas otonom antara saraf simpatis dan parasimpatis
(Pramono, 2015).

2. Indikasi
General anestesi diindikasikan untuk pasien dengan kriteria :

a. Berpotensi gagal dalam mendapatkan kerja sama dengan pasien, terutama pasien


dengan kesulitan belajar.
b. Pasien memiliki fobia, terutama klaustrofobia berat
c. Anak – anak
d. Pembedahan lama
e. Pembedahan yang luas atau ekstensif 
f. Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi local (Sri, 2015)

3. Kontra Indikasi
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis derajat
III-IV AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi relatif
berupa hipertensi berat tak terkontrol (diastolik +110), DM tak terkontrol, infeksi
akut, sepsis, GNA. Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami
kelainan. Pada pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat
yang bersifat hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung harus dihindarkan
dengan obat yang mendepresi miokard atau menurunkan aliran coroner. Pasien
dengan gangguan ginjal harus dihindarkan dengan obat – obatan yang diekskresikan
melalui ginjal. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang
merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes karena dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah (Sri, 2015)

4. Teknik Pemberian General Anestesi

General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan
3 teknik, yaitu:

a. General Anestesi Intravena

Teknik general anestesi intravena adalah pemberian obat general anestesi dengan
cara menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena.

b. General Anestesi Inhalasi

Teknik general anestesi inhalasi dilakukan dengan cara memberikan kombinasi


obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap
melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.

c. Anestesi Imbang

Anestesi imbang adalah anestesi yang dilakukan mengkombinasikan obat-obatan


baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau
mengkombinasikan teknik general anestesi dengan analgesia regional untuk
mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang. Trias anestesi yang
dimaksud adalah:

1) Efekhipnosis,diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau


obat anestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat
atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia regional.
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot
atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.
5. Komplikasi pasca anestesi
a. Pernapasan

Gangguan pernapasan cepat dapat berakibat pada kematian, hal ini terjadi
karena hipoksia yang mungkin terjadi saat gangguan pernapasan tidak segera
ditangani, oleh karena itu gangguan pernapasan harus diketahui sedini mungkin dan
segera di atasi. Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah
sisa anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum
dimetabolisme dengan sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang menyebabkan
obstruksi hipofaring. Hal ini akan menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat
yang lebih berat menyebabkan apnea.

b. Sirkulasi

Komplikasi yang sering dijumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini
disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak tercukupi. Syok
hipotensi dan aritmia ini juga bisa disebabkan oleh sisa anastesi yang masih
tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi masih dalam proses akhir
pembedahan.

c. Regurgitasi dan Muntah

Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.


Pencegahan muntah perlu dilakukan karena apabila dibiarkan dapat menyebabkan
aspirasi.

d. Hipotermi

Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga


karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi ketiga
elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di
daerah pusat dan juga respons eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses
adaptasi serta mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu
menggeser batas ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil,
vasodilatasi, dan juga berkeringat.
e. Gangguan Faal Lain

Gangguan lain yang mungkin terjadi yaitu gangguan pemulihan


kesadaran yang disebabkan oleh kerja anestesi yang memanjang karena dosis
berlebih relatif ataupun karena penderita mengalami syok, hipotermi, usia lanjut
dan malnutrisi sehingga sediaan anestesi lambat dikeluarkan dari dalam darah.
(Potter dan Perry, 2010).

B. Konsep Teori Cedera Kepala


1. Pengertian

Cedera kepala atau trauma capitis merupakan cedera mekanik yang secara
langsung atau pun tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka dikulit
kepala, fraktu tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak, yang
mengakibatkan gangguan neurologis ( Jahrir, 2012). Cedera kepala dapat terjadi akibat
trauma benda tumpul (blunt trauma) atau trauma tembus (penetrating trauma) , secara
langsung maupun deselerasi terhadap kepala yang dapat menyebablan kerusakan
tengkorak dan otak (Pierce dan Nail, 2014).

2. Klasifikasi

Penilaian cedera kepala dapat dinilai menggunakan Glasglow Coma Scale (GCS)
atau penilaian respon kesadaran pasien.
Macam-macam tingkat kesadaran
1. Composmentis (normal), pada nilai GCS 14-15
a. Sadar penuh
b. Dapat dirangsang oleh rangsangan : nyeri, bunyi atau gerak
c. Tanda-tanda: sadar, merasa mengantuk atau sampaitertidur. Jika tidur dapat
disadarkan dengan memberikan rangsangan
2. Apatis (acuh tak acuh), pada nilai 13-12
a. Acuh
b. Lama untuk menjawab terhadap rangsangan yang diberikan.
c. Tanda-tanda: sadar tapi tidak kooperatif.
3. Somnolent (ngantuk), pada nilai 11-10
a. Keadaan ngantuk
b. Dapat dirangsang dengan rangsangan: dibangunkan atau dirangsang nyeri.
c. Tanda-tanda: sadar tapi kadang tertidur, susah dibangunkan, kooperatif dan
mampu menangkis rangsangan nyeri.
4. Dellirium (mengigau), pada nilai 9-7
a. Penurunan kesadaran disertai peningkatan yang abnormal
b. Dapat dirangsang dengan rangsangan nyeri
c. Tanda-tanda: gaduh, gelisah, kacau, teriak-teriak, disorientasi
5. Koma/sopor (tidak sadar), pada nilai 6-3
a. Keadaan tidak sadarkan diri
b. Tidak dapat dibangunkan bahkan dengan diberikan rangsangan yang kuat.
c. Tanda-tanda: tidak adanya jawaban terhadap rangsangan yang diberikan. (Tim
Pusbankes, 2018)

Klasifikasi cedera kepala juga ditentukan o;eh deerajat cedera, yang sesuai dengan
tingkat gangguan kesadaran dan digolongkan menjadi :

1) Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)


a) Skor skala koma Glasgow 13-15 (sadar penuh, alternative dan orientatif)
b) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
c) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
d) Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
e) Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala
f) Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat.
2) Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
a) Skor skala koma Glasgow 9-12 (kontusi, latergi atau stupor)
b) Konfusi
c) Amnesia pasca trauma
d) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,
hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal
e) Kejang
3) Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
a) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progersif
c) Tanda neurologis fokal
d) Cedera kepala penetrasi atau serba fraktur depresi cranium. (Manutung,
2018)
3. Etiologi
Beberapa etiologi cedera kepala (Yessie dan Andra, 2013):
a) Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera
local. Kerusakan local meliputi contusion serebral, hematom serebral, kerusakan
otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
b) Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi):
kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk, yaitu cedera
akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar pada hemisfer
serebral, batang otak atau kedua-duanya.
Damage cedera tergantung pada (Yessie dan Andra, 2013) :
a. Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
b. Akselerasi dan deselerasi.
c. Cup dan kontra cup
1) Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur.
2) Cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan
benturan.
d. Lokasi benturan
e. Rotasi: pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan
robekan substansia alba dan batang otak. Depresi fraktur: kekuatan yang

Ketika pasien mengalami trauma pada kepala akibat cedera, bisa jadi berupa luka
kecil pada kulit kepala atau luka dalam yang parah dengan atau tanpa retak tengkorak.
Kemungkinan adanya perdarahan internal atau edema akan mengakibatkan hipoksia
dan penurunan kemampuan kognitif dan fungsional. (Mary DiGiulio et al 2014).
Cedera kepala terbuka dapat terjadi akibat luka proyektil dari suatu tembakan atau
pisau, dan cedera kepala tertutup bisa terjadi akibat jatu, kecelakaan kendaraan
bermotor, olahraga bahkan perkelahian.

Pasien dengan cedera kepala atau gegar otak mungkin mengalami hilang
kesadaran karena bradikardia, tekanan darah rendah, nafas pendek, hilang ingatan
karena cedera dan peristiwa yang baru saja terjadi setelah cedera; sakit kepala; dan
hilangnya fokut mental temporer. Memar cerebral adalah suatu cedera lebih serius
dibanding geger otak. Kerusakan lebih besar yang dialami oleh otak; edema cerebral
atau perdarahan dapat terjadi dan menyebabkan necrosis.

Perdarahan dapat terjadi pada berbagai tingkat, antara tengkorak dan pelindung
otak (dura) sebelah luar, di dalam lapisan pelindung otak atau di dalam jaringan otak.
Perdarahan dapat terjadi secara akut, pada saat cedera terjadi, atau beberapa jam
hingga berminggu-minggu kemudian. Hematoma epidural terjadi ketika cedera di
lokasi urat nadi. Darah mengumpul antara tengkorak dan selaput sumsum (duramater),
atau lapisan paling jauh dari otak. Lokasi sering di area temporal.
4. Anatomi Fisiologi
Otak merupakan salah satu organ yang teksturnya lembut dan berada dalam
kepala. Otak dilindungi oleh rambut, kulit, dan tulang. Adapun pelindung otak yang lain
adalah lapisan meningen, lapisan ini yang membungkus semua bagian otak. , Lapisan ini
terdiri dari duramater, araknoid, piamater.
1) Tengkorak
Tengkorak merupakan kerangka kepala yang disusun menjadi dua bagian kranium
yang terdiri dari tulang oksipital, parietal, frontal, temporal, etmoid dan kerangka
wajah terdiri dari tulang hidung, palatum, lakrimal, zigotikum, vomer, turbinatum,
maksila, mandibula. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal
sebagai kubah tengkorak, yang licin pada permukaan luar dan pada permukaan
dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan
pembuluh darah.
a. Duramater
Duramater adalah membran luar yang liat semi elastis. Duramater melekat
erat dengan pemukaan dalam tengkorak. Duramater memiliki suplai darah
yang kaya. Bagian tengah dan posterior disuplai oleh arteria meningea
media yang bercabang dari arteria karotis dan menyuplai fosa anterior.
Duramater berfungsi untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena
dan membentuk poriosteum tabula interna. 10 Diantara duramater dan
araknoid terdapat ruang yang disebut subdural yang merupakan ruang
potensial terjadi perdarahan, pada perdarahan diruang subdural dapat
menyebar bebas , dan hanya terbatas oleh sawar falks serebri dan
tentorium. Vena yang melewati otak yang melewati ruang ini hanya
mempunyai sedikit jaringan penyokong oleh karena mudah terjadi cidera
dan robek yang menendakan adanya trauma kepala.
b. Araknoid
Araknoid terletak tepat dibawah duramater, lapisan ini merupakan lapisan
avaskuler, mendapat nutrisi dari cairan cerbrospinal, diantara araknoid dan
piamater terdapat ruang subaraknoid. Ruangan ini melebar dan mendalam
pada tempat tertentu, dan memungkinkan sirkulasi cairan serebrospinal.
Araknoid membentuk tonjolan vilus.
c. Piamater Piamater adalah suatu membran halus yang sangat kaya akan
pembuluh darah halus, piamater merupakan satu-satunya lapisan meningen
yang masuk ke dalam suklus dan membungkus semua girus(kedua lapisan
yang hanya menjembatani suklus). Pada beberapa fisura dan suklus di sisi
hemisfer, piamater membentuk sawar antara ventrikel dan suklus atau
fisura. Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus koroideus
pada setiap ventrikel.
2) Otak
Otak merupakan organ tubuh yang paling penting karena merupakan pusat dari
semua organ tubuh, otak terletak didalam rongga tengkorak (kranium) dan
dibungkus oleh selaput otak (meningen) yang kuat.

a) Cerebrum
Cerebrum atau otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari
otak, berbentuk telur terbagi menjadi dua hemisperium yaitu kanan dan
kiri dan tiap hemisperium dibagi menajdi empat lobus yaitu lobus
frontalis, parietalis, temporalis dan oksipitalis. Dan bagian tersebut
mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak.
i. Lobus frontalis
Lobus frontalis pada bagian korteks cerebri dari bagian depan
suklus sentralis dan di dasar suklus lateralis. Pada bagian ini
memiliki area motorik dan pramotorik. Lobus frontalis
bertanggung jawab untuk perilaku bertujuan, penentuan keputusan
moral, dan pemikiran yang kompleks. Lobus frontalis
memodifikasi dorongan emosional yang dihasilkan oleh sistem
limbik dan reflek vegetatif dari batang otak.
ii. Lobus parietalis
Lobus Parietalis adalah bagian korteks yang gterletak di belakang
suklus sentralis, diatas fisura lateralis dan meluas belakang ke
fisura parieto-oksipitalis. Lobus ini merupakan area sensorik
primer otak untuk sensasi raba dan pendengaran.
iii. Lobus oksipitalis
Lobus oksipitalis teletak disebelah posterior dari lobus parietalis
dan diatas fisura parieto-oksipitalis, yang memisahkan dari
serebelum. Lobus ini merupakan pusat asosiasi visual utama yang
diterima dari retina mata
iv. Lobus Temporalis
Lobus Temporalis mencakup bagian korteks serebrum. Lobus
temporalis merupakan asosiasi primer untuk audiotorik dan bau.
b) Cerebelum
Cerebelum atau otak kecil merupakan bagian terbesar dari otak belakang.
Cerebelum menempati fosa kranialis posterior dan diatapi tentorium cerebri
yang merupakan lipatan duramater yang memisahkan dari lobus oksipitalis
serebri. Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis
dan bagian yang melebar pada bagian lateral disebut hemisfer. Cerebelum
berhubungan dengan batang otak melalui pedunkulus cerebri inferior (corpus
retiform). Permukaan luar cerebelum berlipat-lipat seperti cerebrum tetapi
lebih lipatanya lebih kecil dan lebih teratur. Permukaan cerebelum ini
mengandung zat kelabu. Korteks cerebelum dibentuk oleh substansia grisea,
terdiri dari tiga lapisan yaitu granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular
dalam. Serabut saraf yang masuk dan yang keluar dari cerbrum harus
melewati cerebelum.
c) Batang otak
Batang otak terdiri dari otak tengah (diensfalon)pons varoli dan medula
oblongata. Otak tengah merupakan merupakan bagian atas batang otak
akuaduktus cerebri yangmenghubungkan ventrikel ketiga dan keempat
melintasi melalui otak tengah ini. Otak tengah mengandung pusat-pusat yang
mengendalikan keseimbangan dan gerakan-gerakan bola mata.
3) Saraf kranial
Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan pada saraf kranial jika mengenai
batang otak karena edema otak atau perdarahan pada otak. Macam saraf kranial
antara lain
a. Nervus Olfaktorius (Nervus Kranialis I)
Berfunsi sebagai saraf pembau yang keluar dari otak dibawa oleh dahi,
membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke otak;
b. Nervus Optikus (Nervus Kranialis II)
Mensarafi bola mata, membawa rangsangan penglihatan ke otak;
c.Nervus Okulomotorius (Nervus Kranialis III)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital (otot pengerak bola mata)
menghantarkan serabut-serabut saraf para simpati untuk melayani otot siliaris
dan otot iris;
d. Nervus Trokhlearis (Nervus Kranialis IV)
Bersifat motoris, mensarafi otot-otot orbital. Saraf ini berfunsi sebagai
pemutar mata yang pusatnya terletak dibelakang pusat saraf penggerak mata;
e. Nervus Trigeminus (Nervus Kranialis V)
Sifatnya majemuk (sensoris motoris) saraf ini mempunyai tiga buah cabang.
Fungsinya sebagai saraf kembar tiga, saraf ini merupakan saraf otak besar,
sarafnya yaitu
1) Nervus oftalmikus sifatnya sensorik, mensarafi kulit kepala bagian
depan kelopak mata atas, selaput lendir kelopak mata dan bola mata;
2) Nervus maksilaris sifatnya sensoris, mensarafi gigi atas, bibir atas,
palatum, batang hidung, ronga hidung dan sinus maksilaris;
3) Nervus mandibula sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi
otot-otot pengunyah. Serabut-serabut sensorisnya mensarafi gigi bawah,
kulit daerah temporal dan dagu.
f. Nervus Abducens (Nervus Kranialis VI)
Sifatnya motoris, mensarafi otot-otot orbital. Fungsinya sebagai saraf
penggoyang sisi mata;
g. Nervus Fasialis (Nervus Kranialis VII)
Sifatnya majemuk (sensori dan motori) serabut-serabut motorisnya
mensarafi otot-otot lidah dan selaput lendir ronga mulut. Di dalam saraf ini
terdapat serabut-serabut saraf otonom (parasimpatis) untuk wajah dan kulit
kepala fungsinya sebagai mimik wajah untuk menghantarkan rasa pengecap;
h. Nervus Akustikus (Nervus Kranialis VIII)
Sifatnya sensori, mensarafi alat pendengar, membawa rangsangan dari
pendengaran dan dari telinga ke otak. Fungsinya sebagai saraf pendengar;
i. Nervus Glosofaringeus (Nervus Kranialis IX)
Sifatnya majemuk (sensori dan motoris) mensarafi faring, tonsil dan lidah,
saraf ini dapat membawa rangsangan cita rasa ke otak.
j. Nervus Vagus (Nervus Kranialis X)
Sifatnya majemuk (sensoris dan motoris) mengandung saraf-saraf motorik,
sensorik dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster
intestinum minor, kelenjar-kelenjar pencernaan dalam abdomen. Fungsinya
sebagai saraf perasa;
k. Nervus Aksesorius (Nervus Kranialis XI),
Saraf ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan muskulus trapezium,
fungsinya sebagai saraf tambahan;
l. Nervus Hipoglosus (Nervus Kranialis XII)
Saraf ini mensarafi otot-otot lidah, fungsinya sebagai saraf lidah. Saraf ini
terdapat di dalam sumsum penyambung.
5. Patofisiologi
Cedera kepala terjadi, disebabkan oleh trauma benda tumpul dan tajam atau
disebabkan oleh kejadian jatuh maupun kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera
kepala primer akan menyebabkan kontusio dan laserasi, cedera ini bisa saja berlanjut
menjadi cedera sekunder. Trauma juga mengakibatkan peningkatan kerusakan sel
otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi. Ketika cedera kepala terjadi,
suplai darah dan oksigen ke otak menurun dan menyebabkan gangguan metabolism
dan prefusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis menyebabkan peningkatan
tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan tekanan darah. Penurunan tekanan
pembuluh darah di daerah pulmonal mengakibatkan peningkatan tekanan hidrolistik
sehingga terjadi kebocoran cairan kapiler. Trauma kepala dapat menyebabkan odeme
dan hematoma pada serebral sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intra
kranial. Sehingga pasien akan mengeluhkan pusing serta nyeri hebat pada daerah
kepala (Padila, 2012).
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis cedera kepala :
a. Cedera Kepala ringan – sedang :
 Disoerientasi ringan
Disorientasi merupakan kondisi mental yang berubah, dimana seseorang
tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu, bahkan bisa
saja tidak mengenal dirinya sendiri.
 Amnesia post traumatic
Amnesia post traumatic, merupakan tahap pemulihan setelah cedera otak
traumatis ketika seseorang sempat mengalami kehilangan kesadaran atau
koma.
 Sakit kepala
Sakit kepala atau nyeri dikepala, yang bisa muncul secara bertahap atau
mendadak.
 Mual dan muntah
Mual adalah perasaan ingin muntah, tetapi tidak mengeluarkan isi perut,
sedangkan muntah adalah kondisi perut yang tidak dapat dikontrol
sehingga menyebabkan perut mengeluarkan isinya secara paksa melalui
mulut.
 Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran adalah salah suatu keadaan yang umumnya
disebabkan oleh factor usia atau sering terpapar suara yang nyaring atau
keras.
b. Cedera kepala sedang-berat
 Oedema pulmonal
Edema paru adalah komdisi ketika terjadi penumpukan cairan diparu-paru
yang dapat mengganggu fungsi paru-paru. Biasanya ditandai dengan
gejala sulit bernafas.
 Kejang infeksi
Kejang infeksi adalah kejang yang disebabkan oleh infeksi kumandi dalam
saraf pusat.
 Tanda herniasi otak
Merupakan kondisi ketika jaringan otak dan cairan otak bergeser dari
posisi normalnya. Kondisi ini dipicu oleh pembengkakan otak akibat
cedera kepala, stroke, atau tumor otak.
 Hemiparase
Merupakan kondisi ketika salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan
yang dapat mempengaruhi lengan, kaki, dan otot wajah sehingga sulit
untuk digerakkan.
 Gangguan akibat saraf kranial

Secara spesifik, manifestasi klini cedera otak adalah :

1. Gangguan otak

a. Comosio cerebri (gegar otak)

1) Tidak sadar <10 menit

2) Muntah-muntah

3) Pusing

4) Tidak ada tanda defisit neurologis

5) Contusio cerebri (memar otak)

6) Tidak sadar >10 menit, jika area yang terkena luas dapat berlangsung >2-3 hari
setelah cedera

7) Muntah-muntah

8) Amnesia

9) Ada tanda-tanda defisit neurologis


2. Perdarahan epidural (hematoma epidural)
Merupakan suatu akumulasi darah pada ruang tulang tengkorak bagian dalam
dan meningen paling luar. Terjadi akibat robekan arteri meningeal
 Gejalanya : penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis dari kacau
mental sampai koma
 Peningkatan TIK yang mengakibatkan gangguan pernafasan, bradikardi,
penurunan TTV
 Herniasi otak yang menimbulkan : Dilatasi pupil dan reaksi cahaya hilang
a) Isokor dan anisokor
b) Ptosis
3. Hematom subdural
a. Akut: gejala 24-48 jam setelah cedera, perlu intervensi segera
b. Sub akut: gejala terjadi 2 hari sampai 2 minggu setelah cedera
c. Kronis: 2 minggu sampai dengan 3-4 bulan setelah cedera
4. Hematom intracranial
a. Pengumpulan darah >25 ml dalam parenkim otak
b. Penyebab: fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru, Gerakan
akselerasi-deselerasi tiba-tiba
5. Fraktur tengkorak
(a) Fraktur linier (simple)
(i) Melibatkan Os temporal dan parietal
(ii) Jika garis fraktur meluas kearah orbital atau sinus paranasal (resiko
perdarahan)
(b) Fraktur basiler
(i) Fraktur pada dasar tengkorak
(ii) Bisa menimbulkan kontak CSS dengan sinus, memungkinkan bakteri
masuk (Yessie dan Andra, 2013).
7. Komplikasi cedera kepala
Beberapa komplikasi dari cedera kepala (Andra dan Yessie, 2013):
a. Epilepsi pasca cedera Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang
terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala.
misalnya: fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat mengatasi kejang
pasca trauma.
b. Afasia
Merupakan hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya
cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau
mengekspresikan kata-kata. Bagian kepala yang mengendalikan fungsi bahasa
adala lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya.
Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera
kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
c. Apraksia
Merupakan ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan
atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan
oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan
kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi
otak.
d. Agnosis
Merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah
benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal
dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu
dikenalinya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil),
meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.
Penyebabnya adalah fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan
akan benda-benda penting fungsinya disimpan. Agnosis seringkali terjadi segera
setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan khusus,
beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan. Kejang bisa saja baru
terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.
e. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat
peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu.
Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa
menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum
terjadinya kecelakaan (amnesia retrograde) atau peristiwa yang terjadi segera
setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya
berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung pada beratnya
cedar) dan akan hilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia
bisa bersifat menetap. Mekanisme otak untuk menerima informasi dang
mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis,
parietalis, dan temporalis.
f. Kejang pasca trauma
Dapat terjadi (dalam 24 jm pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut (setelah
satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang lanjut,
kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien
ini harus dipertahankan dengan antikonvulasan
g. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, puncak edema terjadi setelah 72
jam setelah cedera. Perubahan TD, frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur
merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Tekanan terus menerus akan
meningkatkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi
vasodilatasi dan edema otak.Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan
menimbulkan herniasi. Herniasiakan mendorong hemusfer otak ke bawah/lateral
dan menekan di enchepalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri
otak posterior, saraf oculomotor. Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan
pengatur akan gagal.
h. Defisit neurologis dan psikologis
Tanda awal penurunan neurologis: perubahan TIK kesadaran, nyeri kepala hebat,
mual dan muntah proyekti. (Andra dan Yessie, 2013).
8. Pemeriksaan penunjang

Beberapa interpretasi hasil tes:

a. Sinar x-ray dan CT scan pada tengkorak menunjukan Hematom Cerebral, Edema
Cerebral, Perdarahan Intracranial, Fraktur Tengkorak.
b. MRI (Magnetic resonance imaging) biasa digunakan untuk pasien yang memiliki
abnormalitas status mental yang digambarkan oleh CT Scan. MRI telah terbukti
lebih sensitif daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non
hemoragik cedera aksonal.
c. Angiografi Cerebral, meunjukkan kelainan sirkulasi cerebral
d. EEG mermperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
e. AGD: PO2, PH, HCO2, : untuk mengkaji keadekuatan ventilasi (mempertahankan
AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah serebral adekuat) atau
untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat meningkatkan TIK.
f. Hematologi: leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum.
g. CSS: menenetukan kemungkinan adanya perdarahan subarachnoid (warna,
komposisi, tekanan)
9. Penatalaksanaan Cedera Kepala

Penatalaksanaan cedera kepala , meliputi :

i) Apabila terjadi nyeri kepala yang menetap, disertai mual dan muntah yang tidak
juga menghilang dilakukan pemberian obat-obat analgestik dan antiemetic.
ii) Apabila pasien mual muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu, diganti
dengan cairan infus, (contoh Ringer Laktat Asetat)
iii) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma
iv) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
v) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol
vi) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub dural,
cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
vii) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan MRI
(Satyanegara, 2010)
C. Konsep Teori Craniotomy
1. Pengertian
Craniotomy merupakan tindakan bedah dengan cara membuka sebagian tulang cranium
agar dapat mengakses otak, dan dilakukan di unit bedah saraf dan ICU (Garett Mp, 2014).
Tindakan operasi ini dilakukan selakyaknya operasi lain, dengan resiko paling fatal adalah
kematian. Craniotomy menjadi pilihan tindakan pada pasien dengan diagnose tumor otak,
perdarahan otak seperti subdural hematoma, epidural hematoma, aneurisma serebri,
melformasi arteriovenous, infeksi otak seperti abses serebri serta trauma otak (Luc J, Ray
T, 2017).

2. Indikasi Craniotomy
i) Hematoma ekstracerebral, seperti hematoma epidural dan hematoma subdural dengan
efek desak ruang > 10mm atau dengan midline shift yang bergesere lebih dari 5mm,
atau pada penyempitan cisternia perimecephalic atau ventriculus tertius .
ii) Hematoma intra cerebral dengan esek desakan dan di lokasi yang dapat dilakukan
tindakan
iii) Fraktur terbuka dengan fragmen impresi dengan atau tanpa robekan dura
iv) Terdapat tanda-tanda kompresi saraf optic
v) Fraktur impresi tertutup dengan defisit neurologi minimal pada kondisi pasien stabil,
serta pada hematoma intracranial dengan efek masa dan deficit neurologi yang
minimal pada kondisi pasien stabil, dilakukan craniotomy elektif / terprogram.

3. Komplikasi Craniotomy
Komplikasi pada pembedahan kepala diantaranya :
(1) Peningkatan tekanan intracranial
(2) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit ( dehidrasi, pedarahan, syok hipovolemi)
(3) Nyeri
Nyeri pasca kraniotomi sering terjadi dan derajat nyerinya mulai dari sedang
sampai berat. Nyeri ini dapat dikontrol dengan penggunaan: scalp infiltrations,
pemblokiran saraf kulit kepala, pemberian parexocib dan morphine – morphine
merupakan pereda rasa nyeri yang paling efektif (Keputusan Menteri Kesehatan
[Kepmenkes], 2010)
(4) Resiko infeksi
(5) Kejang
Apabila terjadi kejang, pasien akan diberikan obat anti kejang setidaknya tujuh
hari pasca operasi
(6) Kematian

D. Asuhan Keperawatan Perianestesi

1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan
menganalisanya (Manurung, 2011). Dalam proses pengkajian terdapat 2 tipe data
menurut Setiadi (2012) yaitu: Data subjektif yang merupakan deskripsi verbal pasien
mengenai masalah kesehatannya. Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan
termasuk persepsi pasien, perasaan dan ide tentang status kesehatannya. Sumber data
lain dapat diperoleh dari keluarga, konsultan dan tenaga kesehatan lainnya. Selain data
subjektif terdapat juga Data objektif yang merupakan hasil observasi atau pengukuran
dari status kesehatan pasien.Hal-hal yang perlu dikaji dalam hal ini adalah:

a. Identitas pasien
Identitas yang dikaji mencakup : nama, umur, agama, suku bangsa, alamat yang bisa
diperoleh dari wawancara kepada pasien dan keluarga pasien. No RM, diagosa pre
operasi, tindakan operasi tanggal operasi, nama dokter bedah dan nama dokter anestesi.

b. Anamnesa
Anamnesa adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara baik langsung
pada pasien ( Auto anamnese ) atau pada orang tua atau sumber lain ( Allo anamnese ).
80% untuk menegakkan diagnosa didapatkan dari anamnese. Tujuan anamnesis adalah
untuk mendapatkan keterangan sebanyak-banyaknya mengenai penyakit
pasien ,Membantu menegakkan diagnosa sementara,Ada beberapa penyakit yang sudah
dapat ditegaskan dengan anamnese saja, Menetapkan diagnosa banding ,Membantu
menentukan penatalaksanaan selanjutnya. Dalam anamnesa terdapat beberapa point
penilaian, yaitu sebagai berikut:

1) Keluhan utama pada point ini menjelaskan mengenai keluhan/yang dirasakan pasien
pada saat dilakukan pengkajian
2) Riwayat penyakit sekarang pada point ini menjelaskan mengenai kejadian yang
menimpa pasien dari pasien mengalami gejala/sakit sampai dengan pasien dilakukan
pengkajian. Termasuk tindakan yang telah diberikan saat di IGD (Infus, Obat,
Tindakan)
3) Riwayat penyakit dahulu pada point ini menjelaskan mengenai riwayat terdahulu yang
serupa dengan penyakit yang sedang terjadi, termasuk penyakit menular maupun
penyakit genetic
4) Riwayat penyakit keluarga pada point ini menjelaskan mengenai penyakit yang terjadi
pada keluarga Ayah/Ibu. penyakit menular maupun penyakit genetic
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dalam keperawatan digunakan untuk mendapatkan data objektif
daricerita keperawatan klien. Pemeriksaan fisik berharap dilakukan bersamaan
denganwawancara. Fokus pengkajian fisik keperawatan adalah pada kemampuan
fungsional klien. Misalnya kompilasi klien meningkat gangguan sistem
muskuloskeletal, makaperawat mengkaji apakah gangguan tersebut berpengaruh klien
dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari atau tidak.

i. Metode dan Langkah Pemeriksaan Fisik


a. inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung seluruh tubuh pasien
atau hanya bagian tertentu yang diperlukan. Metode ini berupaya melihat kondisi klien
dengan menggunakan ‘sense of sign’ baik melalui mata telanjang atau alat bantu
penerangan (lampu). Metode inspeksi ini digunakan untuk mengkaji warna kulit,
bentuk, posisi, ukuran dan lainnya dari tubuh pasien.

b. Palpasi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan menggunakan ‘sense of touch’ Palpasi
adalah suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan dan penekanan
bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Tangan dan jari-jari adalah
instrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya metode palpasi
ini dapat digunakan untuk mendeteksi suhu tubuh(temperatur), adanya getaran,
pergerakan, bentuk, kosistensi dan ukuran. Rasa nyeri tekan dan kelainan dari
jaringan/organ tubuh.

c. Perkusi
Perkusi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi getaran/
gelombang suara yang dihantarkan kepermukaan tubuh dari bagian tubuh yang
diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari atau tangan pada permukaan
tubuh. Perjalanan getaran/ gelombang suara tergantung oleh kepadatan media yang
dilalui. Derajat bunyi disebut dengan resonansi. Karakter bunyi yang dihasilkan dapat
menentukan lokasi, ukuran, bentuk, dan kepadatan struktur di bawah kulit.

d) Auskultasi

Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang
dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan stetoskop. Hal-
hal yang didengarkan adalah: bunyi jantung, suara nafas, dan bising usus.

ii. Macam-macam pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut:


Inspeksi, palpasi

Kepala : normal, mesochephal , tulang kepala umumnya bulat dengan tonjolan frontal di
bagian anterior dan oksipital dibagian posterior.

Rambut : tersebar merata, warna, kelembaban

Mata : tidak ada gangguan bentuk dan fungsi mata. Konjungtiva tidak anemis, tidak
ikterik, tidak ada nyeri tekan.

Telinga : bentuk normal , posisi simetris , tidak ada sekret tidak ada tanda-tanda infeksi
dan tidak ada gangguan fungsi pendengaran.

Hidung : bentuk dan fungsi normal, tidak ada infeksi dan nyeri tekan.
Mulut : mukosa bibir kering, tidak ada gangguan perasa dan tidak ada sianosis

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, tidak ada kelainan

Thorax : adanya kelainan kulit berupa peau d’orange,ulserasi atau tanda-tanda radang.

Hepar : tidak ada pembesaran hepar.

Ekstremitas : tidak ada gangguan pada ektremitas.

2. Diagnose
Komponen diagnosa keperawatan menurut Dermawan (2012) adalah Problem, Etiologi,
Sign and symptom.

Diagnose yang mungkin muncul dari kasus:

a. Diagnosa pre anestesi


1) Nyeri akut
2) Ketidakefektifan jalan nafas
3) Kekurangan volume cairan (berujung syok hipovolemi atau dehidrasi)
4) Resiko jatuh akibat penurunan kesadaran
5) Resiko infeksi akibat adanya luka terbuka , dll
b. Diagnose intra anestesi
1) Resiko aspirasi berhubungan dengan pemberian obat anestesi
2) Resiko komplikasi penurunan curah jantung berhubungan dengan efek obat anestesi
c. Diagnose post anestesi
1) Resiko Infeksi berhubungan dengan luka operasi
2) Obstruksi jalan nafas berhubungan dengan efek dari obat-obatan anestesi yang masih
tersisa
3) Hipotermia berhubungan dengan efek obat-obatan anestesi yang mempengaruhi
termoregulasi
4) Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya jaringan
4. Perencanaan keperawatan anestesiologi
Perencanaan keperawatan adalah suatu proses di dalam pemecahan masalah yang
merupakan keputusan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana
dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan
(Dermawan, 2012). Langkah – langkah perencanaan keperawatan menurut Manurung
(2011) adalah sebagai berikut:

a. Menentukan prioritas masalah.


Prioritas keperawatan adalah penyusunan diagnosa keperawatan atau masalah pasien
dengan menggunakan tingkat kedaruratan atau kepentingan untuk memperoleh tahapan
intervensi keperawatan yang dibutuhkan. Saat menentukan prioritas diagnosa
keperawatan digunakan standar prioritas kebutuhan dari Maslow. Misalnya :

1) Prioritas diagnose pre anestesi


Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Nyeri akut
ketidakefektifan perfusi jaringan
Gangguan pola nafasAnsietas
Kerusakan integritas kulit
2) Prioritas diagnose intra anestesi
Resiko aspirasiResiko perdarahan
Resiko komplikasi penurunan curah jantung
3) Prioritas diagnose post anestesi
Hipotermi
Obstruksi jalan nafas
Nyeri akut
Gangguan konsep diri
b. Menuliskan tujuan dan kriteria hasil.
Tujuan perawatan adalah hasil yang diinginkan dari asuhan keperawatan yang
diharapkan dapat dicapai bersama pasien serta direncanakan untuk mengurangi masalah
yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Misalnya :

1) Pre Anestesi
a) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Tujuan : setelah diberikan asuhan selama 1 x 30 menit diharapkan individu dapat
mencerna kebutuhan nutrisi harian sesuai dengan tingkat aktivitas dan kebutuhan
metabolic, dengan kriteria hasil:

(1) Menjelaskan pentingnya nutrisi yang baik


(2) Mengidentifikasi kekurangan dalam asupan harian
(3) Menyebutkan metode untuk meningkatkan nafsu makan

b) Nyeri akut
Tujuan : setelah diberikan asuhan selama 1 x 30 menit individu diharapkan akan
menyatakan redanya atau berkurangnya nyeri, dengan kriteria hasil

(1) Skala nyeri pasien berkurang


(2) Ekspresi wajah tampak nyaman dan tenang
(3) Menyebutkan factor yang meningkatkan nyeri
(4) Menyebutkan intervensi yang efektif
(5) Menyampaikan bahwa orang lain membenarkan bahwa nyeri memang ada

c) ketidakefektifan perfusi jaringan


tujuan : setelah dilakukan intervensi selama 1 x 30 menit diharapkan ketidakefektifan
perfusi jaringan teratasi dengan kriteria hasil:

(1) mendefinisikan masalah vascular perifer dengan bahasanya sendiri


(2) mengidentifikasi factor resiko yang meningkatkan sirkulasi perifer
(3) mengidentifikasi perubahan gaya hidup yang diperlukan
(4) mengidentifikasi factor yang menghambat sirkulasi perifer
d) ketidakefektifan pola nafas
Tujuan : setelah dilakukan intervensi selama 1 x 30 menit diharapkan individu akan
memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami pertukaran gas pada
paru. Dengan kriteria hasil

(1) menyebutkan factor penyebab ketidakefektifan gangguan pola nafas


(2) menyebutkan cara-cara adaptif untuk mengatasi factor penyebab

e) Ansietas
Tujuan : setelah dilakukan intervensi selama 1 x 30 menit diharapkan individu akan
menyatakan peningkatan kenyamanan psikologis dan fisiologis. Dengan kriteria hasil

(1) Skala cemas pasien berkurang


(2) Ekspresi pasien lebih tenang
(3) Menjelaskan ansietas dan pola kopingnya sendiri
(4) Menggunakan mekanisme koping yang efektif

f) Kerusakan integritas kulit


Tujuan : setelah dilakukan intervensi selama 1 x 30 menit diharapkan individu akan
memperlihatkan perbaikan jaringan yang progresif. Dengan kriteria hasil

(1) Terlibat dalam pengkajian resiko


(2) Mengungkapkan kesediaan untuk berpartisipasi dalam mencegah ulkus decubitus
(3) Menguraikan etiologi dan Tindakan pencegahan
(4) Menjelaskan rasional intervensi
2) Intra anestesi
a) Resiko aspirasi
Tujuan : setelah dilakukan asuhan selama 1 x 30 menit diharapkan risiko aspirasi pada
Individu dapat berkurang atau hilang dengan kriteria hasil:

(1) Menjelaskan Tindakan untuk mencegah aspirasi


(2) Menyebutkan makanan yang beresiko tinggi menyebabkan resiko aspirasi
(3) Resiko aspirasi tidak terjadi
b) Resiko perdarahan
Tujuan : Setelah diberikan asuhan diharapkan Resiko perdarahan berkurang atau hilang.
Kriteria hasil:

(1) Tanda-tanda vital dalam batas normal


(2) Tidak terjadi perdarahan ( tidak adanya ptekie, melena, epitaksis, hematemisis),
c) Resiko komplikasi penurunan curah jantung
Tujuan : setelah diberikan asuhan diharapakan risiko penurunan curah jantung dapat
teratasi, dengan kriteria hasil:
(1) Irama sinus normal
(2) Tidak ada nyeri dada
(3) Saturasi lebih dari 90%
(4) Klien tenang, terjaga dan terorientasi
3) Post anestesi
a) Hipotermia
Tujuan : setelah diberikan asuhan diharapakan klien akan mempertahankan suhu dalam
batas normal. Dengan kriteria hasil:
(1) Mengidentifikasi factor hipotermia
(2) Mengurangi factor resiko hipotermia
b) Obstruksi jalan nafas
Tujuan : individu tidak akan mengalami aspirasi dengan kriteria:
(1) Memperagakan cara batuk yang efektif
(2) Meningkatkan peningkatan pertukaran udara dalam paru-paru
c) Nyeri akut
Tujuan : setelah diberikan asuhan selama 1 x 30 menit individu diharapkan akan
menyatakan redanya atau berkurangnya nyeri, dengan kriteria hasil

(1) Skala nyeri pasien berkurang


(2) Ekspresi wajah tampak nyaman dan tenang
(3) Menyebutkan factor yang meningkatkan nyeri
(4) Menyebutkan intervensi yang efektif
(5) Menyampaikan bahwa orang lain membenarkan bahwa nyeri memang ada
d) Resiko infeksi
Tujuan : setelah dilakukan asuhan selama 1 x 30 menit diharapkan individu akan
melaporkan factor resiko yang berkaitan dengan infeksi dan Tindakan kewaspadaan
yang diperlukan. Dengan kriteria hasil:
(1) Memperlihatkan Teknik cuci tangan yang cermat
(2) Menjelaskan metode penyebaran infeksi
(3) Menjelaskan pengaruh nutrisi untuk pencegahan infeksi
e) Gangguan konsep diri
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan diharapkan individu akan menunjukan adaptasi dan
keterampilan koping yang sehat dengan kriteria hasil:
(1) Menghargai situasi dengan cara yang realistis tanpa penyimpangan
(2) Mengungkapkan dan menunjukan peningkatan perasaan yang positif
c. Memilih rencana tindakan atau intervensi keperawatan.
1) Pre Anestesi
a) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi :

(1) Pantau hasil laboratorium dan timbang BB pasien


(2) Atur rencana asuhan untuk mengurangi atau menghilangkan bau yang membuat
mual atau meniadakan prosedur menjelang waktu makan
(3) Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat. Diskusikan kepada klien mengenai
target asupan untuk setiap makan besar dan kudapan
(4) Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan kalori harian yang
realistis dan adekuat
b) Nyeri akut
Intervensi :

(1) Pantau ekspresi wajah pasien


(2) Kaji skala nyeri pasien
(3) Jelaskan penyebab nyeri, lama nyeri berlangsung dan menjelaskan mengenai
prosedur pemeriksaan atau prosedur Tindakan yang akan dilakukan
(4) Ajarkan Tindakan Pereda nyeri non infasiv seperti distraksi atau relaksasi nafas
dalam
(5) Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgesik
c) Perubahan perfusi jaringan
intervensi

(1) ajarkan individu untuk mempertahankan ekstremitas dalam posisi tergantung dan
hangat
(2) kurangi resiko trauma
(3) rencanakan program jalan kaki setiap hari
d) Gangguan (ketidakefektifan) pola nafas
Intervensi :

(1) pantau pola nafas pasien


(2) dampingi klien dan bombing klien untuk bernapas secara perlahan dan lebih
efektif
(3) jelaskan bahwa seseorang bisa mengatasi gangguan pola nafas melalui control
pernapasan secara sadar
(4) mendiskusikan Bersama klien mengenai penyebab gangguan pola nafas dan cara
penanganan yang efektif
(5) kolaborasikan dengan dokter apabila intervensi yang dilakukan tidak berhasil
e) Ansietas
Intervensi :

(1) Kaji tingkat ansietas pasien


(2) Berikan kenyamanan dan ketentraman hati kepada pasien
(3) Bantu klien menghentikan rasa marah
(4) Ajarkan penghenti ansietas seperti relaksasi nafas dalam atau mengubah
perspektif
Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat penenang
f) Kerusakan integritas kulit
Intervensi
(1) Identifikasi stadium ulkus debitus
(2) Kaji status ulkus (kedalaman, tepi dan lubang)
(3) Cuci area yang kemerahan dengan lembut dan menggunakan sabun yang ringan
(4) Mesase kulit yang sehat yang berada di sekitar area yang sakit
(5) Tingkatkan asupan protein dan karbohidrat
(6) Kolaborasikan dengan perawat luka atau dokter untuk penanganan lebih lanjut
2) Intra anestesi
a) Resiko aspirasi
Intervensi :

(1) Kaji posisi lidah pasien dan kaji secara sering adanya materi yang menyumbat
mulut
(2) Bersihkan sekresi pada mulut menggunakan tisu atau alat penghisap
(3) Untuk individu yang terpasang trakeostomi atau selang endotrakea kembangkan
manset dan lakukan pengisapan setiap 1-2 jam sekali
(4) Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat
b) Resiko perdarahan
(1) Observasi tanda-tanda vital
(2) pantau area pembedahan dan monitor tanda-tanda perdarahan untuk mengetahui
adanya perdarahan.
(3) Kaji cairan output dan input
(4) Kolaborasi untuk pemberian obat anti perdarahan
c) Resiko komplikasi penurunan curah jantung
Intervensi

(1) Pantau tanda dan gejala penurunan curah jantung


(2) Pantau asupan dan pengluaran cairan klien
(3) Kolaborasikan dengan dokter apabila resiko tidak teratasi
3) Post anestesi
a) Hipotermia
Intervensi :
(1) Ajarkan klien untuk mengurangi pajanan yang lama terhadap lingkungan dingin
seperti ajarkan pentingnya memakai pakaian tambahan seperti topi, sarung tangan
(2) Jelaskan tentang tanda awal hipotermia
(3) Konsultasikan dengan layanan social untu mengidentifikasikan sumber bantuan,
finansial dan baju hangat
b) Obstruksi jalan nafas
Intervensi :
(1) kaji adanya regimen analgesik
(2) Intruksikan klien untuk melakukan metode batuk efektif
(3) Lakukan batuk efektif apabila klien mendapat analgesic terbaik
(4) Pertahankan hidrasi yang adekuat
(5) Kolaborasikan dengan dokter untuk penanganan lebih lanjut
c) Nyeri akut
Intervensi :

(1) Pantau ekspresi wajah pasien


(2) Kaji skala nyeri pasien
(3) Jelaskan penyebab nyeri, lama nyeri berlangsung dan menjelaskan mengenai
prosedur pemeriksaan atau prosedur Tindakan yang akan dilakukan
(4) Ajarkan Tindakan Pereda nyeri non infasiv seperti distraksi atau relaksasi nafas
dalam
(5) Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgesik
f) Resiko infeksi
Intervensi :

(1) Kaji adanya factor yang meningkatkan risiko infeksi


(2) Kurangi organisme yang masuk ke tubuh pasien dengan ajarkan Teknik cuci
tangan, Teknik aseptic dan Tindakan isolasi
(3) Lindungi individu yang mengalami defisiensi imun dari infeksi
(4) Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi guna meminimalisir
risiko infeksi
(5) Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian antibiotic apabila resiko infeksi
tidak teratasi
g) Gangguan konsep diri
Intervensi

(1) Dorong klien untuk mengekspresikan perasaanya


(2) Dorong klien untuk bertanya mengenai masalah Kesehatan, penanganan,
kemajuan
(3) Berikan informasi yang dapat dipercaya
(4) Klarifikasi berbagai kesalahan konsep yang klien miliki mengenai diri, perawatan
atau pemberian asuhan
(5) Hindari kritik
(6) Beri privasi dan keamanan lingkungan
(7) Ajarkan klien mengenai cara sumber daya komunitas yang tersedia

5. IMPLEMENTASI
Merupakan pelaksanaan dari intervensi, dengan melaksanakan setiap langkah-
langkah di intervensi untuk mencapai tujuan, misalnya :
1) Pre Anestesi
a) Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

(1) Memantau hasil laboratorium dan timbang BB pasien


(2) Mengatur rencana asuhan untuk mengurangi atau menghilangkan bau yang
membuat mual atau meniadakan prosedur menjelang waktu makan
(3) Menjelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat. Diskusikan kepada klien mengenai
target asupan untuk setiap makan besar dan kudapan
(4) Mengkolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan kalori harian
yang realistis dan adekuat
b) Nyeri akut
(1) Memantau ekspresi wajah pasien
(2) Mengaji skala nyeri pasien
(3) Menjelaskan penyebab nyeri, lama nyeri berlangsung dan menjelaskan mengenai
prosedur pemeriksaan atau prosedur Tindakan yang akan dilakukan
(4) Mengajarkan Tindakan Pereda nyeri non infasiv seperti distraksi atau relaksasi
nafas dalam
(5) Mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgesik
c) Perubahan perfusi jaringan
(1) Mengajarkan individu untuk mempertahankan ekstremitas dalam posisi
tergantung dan hangat
(2) Mengurangi resiko trauma
(3) Merencanakan program jalan kaki setiap hari
d) Gangguan (ketidakefektifan) pola nafas
(1) Memantau pola nafas pasien
(2) Mendampingi klien dan ombing klien untuk bernapas secara perlahan dan lebih
efektif
(3) Menjelaskan bahwa seseorang bisa mengatasi gangguan pola nafas melalui
control pernapasan secara sadar
(4) Mendiskusikan Bersama klien mengenai penyebab gangguan pola nafas dan cara
penanganan yang efektif
(5) Mengkolaborasikan dengan dokter apabila intervensi yang dilakukan tidak
berhasil
e) Ansietas
(1) Mengkaji tingkat ansietas pasien
(2) Memberikan kenyamanan dan ketentraman hati kepada pasien
(3) Membantu klien menghentikan rasa marah
(4) Mengajarkan penghenti ansietas seperti relaksasi nafas dalam atau mengubah
perspektif
(5) Mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat penenang
f) Kerusakan integritas kulit
(1) Mengidentifikasi stadium ulkus debitus
(2) Mengkaji status ulkus (kedalaman, tepi dan lubang)
(3) Mencuci area yang kemerahan dengan lembut dan menggunakan sabun yang
ringan
(4) Mesase kulit yang sehat yang berada di sekitar area yang sakit
(5) Meningkatkan asupan protein dan karbohidrat
(6) Mengkolaborasikan dengan perawat luka atau dokter untuk penanganan lebih
lanjut
2) Intra anestesi
a) Resiko aspirasi
(1) Mengkaji posisi lidah pasien dan kaji secara sering adanya materi yang
menyumbat mulut
(2) Membersihkan sekresi pada mulut menggunakan tisu atau alat penghisap
(3) Untuk individu yang terpasang trakeostomi atau selang endotrakea
mengembangkan manset dan melakukan pengisapan setiap 1-2 jam sekali
(4) Mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat
b) Resiko perdarahan
(1) Mengobservasi tanda-tanda vital
(2) Memantau area pembedahan dan monitor tanda-tanda perdarahan untuk
mengetahui adanya perdarahan.
(3) Mengkaji cairan output dan input
(4) Mengkolaborasi untuk pemberian obat anti perdarahan
c) Resiko komplikasi penurunan curah jantung
(1) Memantau tanda dan gejala penurunan curah jantung
(2) Memantau asupan dan pengluaran cairan klien
(3) Mengkolaborasikan dengan dokter apabila resiko tidak teratasi
3) Post anestesi
a) Hipotermia
(4) Mengajarkan klien untuk mengurangi pajanan yang lama terhadap lingkungan
dingin seperti ajarkan pentingnya memakai pakaian tambahan seperti topi, sarung
tangan
(5) Menjelaskan tentang tanda awal hipotermia
(6) Mengkonsultasikan dengan layanan social untu mengidentifikasikan sumber
bantuan, finansial dan baju hangat
b) Obstruksi jalan nafas
(1) Mengkaji adanya regimen analgesik
(2) Mengintruksikan klien untuk melakukan metode batuk efektif
(3) Melakukan batuk efektif apabila klien mendapat analgesic terbaik
(4) Mempertahankan hidrasi yang adekuat
(5) Mengkolaborasikan dengan dokter untuk penanganan lebih lanjut
c) Nyeri akut
(1) memantau ekspresi wajah pasien
(2) mengkaji skala nyeri pasien
(3) menjelaskan penyebab nyeri, lama nyeri berlangsung dan menjelaskan mengenai
prosedur pemeriksaan atau prosedur Tindakan yang akan dilakukan
(4) mengajarkan Tindakan Pereda nyeri non infasiv seperti distraksi atau relaksasi
nafas dalam
(5) mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgesik
h) Resiko infeksi
(5) Mengkaji adanya factor yang meningkatkan risiko infeksi
(6) Mengurangi organisme yang masuk ke tubuh pasien dengan ajarkan teknik cuci
tangan, teknik aseptic dan tindakan isolasi
(7) Melindungi individu yang mengalami defisiensi imun dari infeksi
(8) Mengkolaborasikan dengan ahli gizi untuk pemberian nutrisi guna meminimalisir
risiko infeksi
(9) Mengkolaborasikan dengan dokter untuk pemberian antibiotic apabila resiko
infeksi tidak teratasi
i) Gangguan konsep diri
Intervensi

(1) Mendorong klien untuk mengekspresikan perasaanya


(2) Mendorong klien untuk bertanya mengenai masalah Kesehatan, penanganan,
kemajuan
(3) Memberikan informasi yang dapat dipercaya
(4) Mengklarifikasi berbagai kesalahan konsep yang klien miliki mengenai diri,
perawatan atau pemberian asuhan
(5) Menghindari kritik
(6) Memberi privasi dan keamanan lingkungan
(7) Mengajarkan klien mengenai cara sumber daya komunitas yang tersedia

6. Evaluasi keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana
keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana
keperawatan (Manurung, 2011). Evaluasi adalah tahap yang menentukan apakah
tujuan tercapai. Evaluasi selalu berkaitan dengan tujuan, apabila dalam penilaian
ternyata tujuan tidak tercapai, maka perlu dicari penyebabnya. Hal tersebut dapat
terjadi karena beberapa faktor : tujuan tidak realistis, tindakan keperawatan yang
tidak tepat, terdapat faktor lingkungan yang tidak dapat diatasi. Alasan pentingnya
Evaluasi sebagai berikut : menghentikan tindakan atau kegiatan yang tidak
berguna, untuk menambah ketepatgunaan tindakan keperawatan, sebagai bukti
hasil dari tindakan perawatan, untuk pengembangan dan penyempurnaan praktik
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Sri. 2019. Indikasi anestesi umum. https://www.scribd.com/document/271990120/INDIKASI-


ANESTESI-UMUM

Hanifa. 2017. Tinjauan pustaka general anestesi.


http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/415/5/Chapter2.pdf

S Wahyuningsih. 2017. General Anesthesia. http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/431/3/BAB


%201.pdf

Anggi pebrina rizki fani munthe. 2019. Pengkajian Dalam Proses Keperawatan Anamnesa dan
Pemeriksaan Fisik. https://osf.io/preprints/fwvm8/

Dea Kristin Sania Manik. 2020. Pentingnya Intervensi / Perencanaan dan juga Implementasi
dalam Asuhan Keperawatan. https://osf.io/2xsf4/

Lisa Khairani Rizal. 2019. Tahapan Pengkajian Dalam Proses Keperawatan.


https://osf.io/preprints/inarxiv/jd8m5/

NF. Fitriana, 2017. Konsep teori cedera kepala. http://repository.ub.ac.id/2296/3/BAB%202.pdf

Utari, Sri. 2019. MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN


TRAUMA BRAIN INJURY (TBI) SUBDURAL HEMATOMA (SDH) DENGAN
TINDAKAN KRANIOTOMI PADA Nn ”I” DI RUANGAN OK CITO.
https://stikespanakkukang.ac.id/assets/uploads/alumni/5be72150e0f1d3928349bb4b8b247
eca.pdf
ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI DENGAN GENERAL ANESTESI
PADA KASUS CRANIOTOMY

Pembimbing Akademik : Nia Handayani, S. Tr. Kep

Disusun oleh:

Serina Puji Astuti 2011604141


PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI
PROGRAM SARJANA TERAPAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2021/2022
KASUS 1
Pre Anestesi Nn. K, Umur 23 th, diagnosa pre operasi yaitu EDH dan CKR Temporal
Dextra, tindakan operasi Craniotomy. Pasien rujukan dari PKU Muhammadiyah
Bantul post kecelakaan lalu lintas sepeda motor pagi jam 08.10, Kepala terbentur
aspal, pasien tidak ingat kejadian saat kecelakaan. Pasien pingsan post jatuh, Pusing
(+), mual muntah (+), Tidak ada riwayat penyakit dahulu, Tidak ada anggota keluarga
yang mempunyai penyakit sistemik seperti DM dan hipertensi, Kesadaran: Apatis,
BB: 55 kg, GCS: E4.V4.M5, TB: 154 cm, RR: 28 x/mnt, N: 88 x/mnt, TD: 115/79
mmHg, Kepala terdapat hematoma pada temporal dekstra, terdapat banyak darah
pada mulut pasien, Suara nafas gurgling. Pasien mengatakan nyeri pada mulut dan
hidung dan tangan kiri, senut senut, perih di mulut dan hidung sampai dengan seluruh
muka serta tangan kiri, skala 7 secara terus menerus. Terdapat Luka terbuka pada
mulut dan fraktur nasal. Diagnosa medis EDH CKR temporal Dekstra direncanakan
dilakukan Craniotomy status fisik ASA II direncanakan general anestesi dengan ETT.

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Darah Rutin
Hemoglobin 14.8 13-17 g/dl
Hematokrit 44 40 – 50%
Leukosit 15,5 ribu 4 – 11 ribu/ul
MCV 90.4 82-98
MCH 30.0 27-34
MCHC 33.2 32-36
RDW 11.5 11-16
Trombosit 218 150-450
MPV 6.5 7-11
HBSAg Non Reaktif Non reaktif
GDS 93 10-140

Intra Anestesi
Pasien tiba di IBS pukul 11.45 WIB, Pasien mengalami fraktur nasal dan luka
terbuka pada mulut sehingga susah untuk dilakukan intubasi. Pemberian obat
premedikasi pukul 12.00 yaitu Fentanyl 100 mcg. Observasi tanda-tanda vital: TD:
118/73 mmHg, N : 89 x/mnt; SpO2: 99%; RR : 20x/mnt. Kemudian induksi dengan
obat Propofol 100 mg pada pukul 12.02 WIB. TD: 112/79 mmHg, N : 84 x/mnt;
SpO2: 99 %; RR : 20x/mnt, dilakukan pre oksigenasi 100%, Kemudian pasien
diberikan Tramus 25 mg dan dilanjutkan preoksigenasi sampai dengan 3 menit.
Kemudian dilakukan intubasi dengan ETT ukuran 7. Pasien mengalami penurunan
kesadaran dan terdapat suction pada jalan nafasnya.

Monitoring Intra Anestesi


JAM N SpO2 TD N2O+O2 Sevo RR Tind
(mmH akan
g)
12.00 89 99% 118/73 0 lt/mnt+6 - 20 Memberikan premedikasi Fentanyl 100
lt/menit mcg
12.02 84 99% 112/79 0 - 20 Memberikan obat induksi propofol 100
lt/mnt+6 mg,
lt/menit kemudian hiperventilasi
setelah itu dihubungan
dengan mesin anestesi
12.03 85 99% 112/79 2 lt/mnt + 2 vol% 20 Memberikan obat pelumpuh otot Tramus
2 lt/mnt 25 mg dan masih hiperventilasi selama 3
menit
kemudian dilanjutkan pemasangan ETT
12.10 89 99% 114/68 2 lt/mnt + 2 2 vol% 14 Operator melakukan insisi
lt/mnt
12.20 82 99% 111/63 2 lt/mnt+ 2 2 vol% 12
lt/mnt
12.30 70 99% 114/72 2 lt/mnt+ 2 2 vol% 12
lt/mnt
12.40 52 99% 123/73 2 lt/mnt+ 2 2 vol% 12 Mengganti infus kristaloid : RL
lt/mnt
12.50 72 90% 100/68 2 lt/mnt+ 2 2 vol% 20
lt/mnt
13.00 72 99% 120/90 2 lt/mnt+ 2 vol% 12
2 lt/mnt
13.10 70 99% 130/82 lt/mnt+ 6 0 vol% 12 Operasi selesai, tinggal menjahit kulit
lt/mnt
13.15 78 99% 113/78 2 lt/mnt+ 2 0 vol% 16 Melakukan suction pada jalan nafas
lt/mnt

Post Anestesi
Operasi selesai pukul 13.15 WIB, jalan nafas dibuka dengan jaw
trust, monitor tanda vital sebelum pasien di bawa ke RR TD:
113/78 mmHg, N: 78 x/mnt; SpO 2: 99 %; RR: 16 x/mnt. Pasien
post operasi, tingkat kesadaran diukur menggunakan aldrete skor
dengan hasil nilai skor 9, pasien belum sadar penuh. Pasien
membuka mata saat dipanggil saja. Pasien belum bisa
menggerakan ekstermitas atas dan bawah, serta belum bisa miring
kanan dan kiri.

Monitoring Post Anestesi

JAM N SPO2 TD O2 Respiras Tindakan


i
13.20 76 100% 112/78 2 lt/mnt 14x/mnt Pasien tiba di RR dilakukan
monitor tanda vital
13.25 72 99% 109/67 2 lt/mnt 14
x/mnt
13.30 57 99% 115/78 2 lt/mnt 16
x/mnt
13.35 67 100% 114/72 2 lt/mnt 14 Pasien dipindahkan ke ruangan
x/mnt

Anda mungkin juga menyukai