Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN FRAKTUR TIBIA

1/3 DISTAL SINISTRA DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI ORIF


DENGAN TINDAKAN REGIONAL (SPINAL) ANESTESI
DI BANGSAL RSUD KRT. SETJONEGORO WONOSOBO

Tugas ini disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah


Praktik Klinik Dasar

Dosen Pembimbing : Ratih Kusuma Dewi, S.Kep., Ns., M.Biomed

Disusun Oleh:
1. Marhajar Amalia Juswan 2011604009
2. Anggita Khoirunisa 2011604048
3. Serina Puji Astuti 2011604141
4. Agya Dhia Pratama 2011604089
5. Muhamad Fikri Fadhilah 2011604111

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


PROGRAM SARJANA TERAPAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2022
LAPORAN ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA PASIEN FRAKTUR TIBIA
1/3 DISTAL SINISTRA DILAKUKAN TINDAKAN OPERASI ORIF
DENGAN TINDAKAN REGIONAL (SPINAL) ANESTESI
DI BANGSAL RSUD KRT. SETJONEGORO WONOSOBO

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini disusun untuk Memenuhi Tugas Mata


Kuliah Praktik Klinik Dasar

Disusun Oleh :

Telah diperiksa dan disetujui tanggal .........

Mengetahui,
Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik

(Aidil A, S.Kep.,Ns) (Ratih Kusuma Dewi, S.Kep., Ns., M.Biomed)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fraktur merupakan patah tulang pada umumnya diakibatkan oleh trauma atau mungkin

tenaga fisik. Daya serta sudut dari tenaga inilah, posisi tulang, serta jaringan lunak tulang dapat

menetapkan apa mungkin fraktur yang terjadi ini utuh atau tidak utuh (Kusuma, 2015). Novita

(2012) mengatakan bahwa fraktur juga mengaitkan jaringan otot, saraf serta pembuluh darah

disekitarnya hal ini tulang bersifat rapuh akan tetapi cukup memiliki daya serta gaya pegas agar

bertahan, namun jika tekanan dari luar yang datang lebih kuat dari apa yang dapat diserap

tulang, hal ini dapat mengakibatkan trauma pada tulang yang menyebabkan hancurnya atau

terpotongnya kontinuitas tulang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-

2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 orang menderita fraktur akibat kecelakaan

lalu lintas. Tingkat kecelakaan transportasi di Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar 44%

dari total kecelakaan di dunia, yang di dalamnya termasuk Indonesia.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan

Pengembangan Depkes RI (2018) di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh

cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul. Dari

45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829

kasus kecelakan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%) dari 14.127

trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Dinas

Kesehatan Jawa Tengah (2013) mencatat kira-kira 2.700 orang mengalami kejadian fraktur,

56% menderita kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% bisa sembuh dan 5%

mengalami kejadian gangguan psikologis atau depresi terhadap kejadian fraktur. Berdasarkan

hasil penelitian, jumlah kasus fraktur di RS dr.Asmir Salatiga pada tahun 2018 adalah 199

dengan kasus tertinggi berada di Kecamatan tingkir (42,2% kasus). Kelompok umur pasien

dengan kasus fraktur yang paling banyak adalah kelompok usia 46-55 tahun (18,1%). Sebagaian

besar pasien dengan kasus fraktur di wilayah Kota Salatiga adalah laki-laki (55,6%).
Efek samping yang bisa ditimbulkan oleh pasien post operasi adalah nyeri. Proses

pembedahan berakibat jangka penyembuhan yang lama, terhalang ambulasi dini, penurunan

fungsi sistem (Novita,2012). Nyeri adalah salah satu efek terhadap responden post operasi

pembedahan yang meningkatkan hormon stress misalnya adrenokortikotropin, kortisol dan

secara simultan mampu menurunkan pelepasan insulin serta fibrinilisis yang mungkin akan

menghambat proses penyembuhan luka (Novita, 2012).

Salah satu penatalaksanaan non farmakologi yang termasuk dalam distraksi

audio/pendengaran yaitu dengan medengarkan bacaan Asmaul Husna. Mendengarkan bacaan

Asmaul Husna memiliki poin yang penting yaitu nada yang indah. Pada mekanisme distraksi,

terjadi penurunan perhatian atau persepsi terhadap nyeri dengan memfokuskan perhatian pasien

pada stimulasi lain. atau menjauhkan pikiran terhadap nyeri. Pelaksanaan mendengarkan bacaan

asmaul husna diulang 3 kali dengan volume 5 selama kurang lebih 15 menit dan diberikan 1 kali

sehari selama 2 hari berturut-turut (Masrvia, 2018).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana asuhan keperawatan tentang Clos Fraktur Tibia 1/3 Distal Sinistra?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui gambaran pengkajian keperawatan pada pasien dengan Close

Fraktur (tibia fibula) 1/3 distal sinistra.

2. Mengetahui gambaran rumusan diagnosa keperawatan pada Close Fraktur (tibia fibula)

1/3 distal sinistra.

3. Mengetahui gambaran intervensi keperawatan pada pasien dengan Close Fraktur

(tibia fibula) 1/3 distal sinistra.


4. Mengetahui gambaran implementasi keperawatan sesuai dengan rencana keperawatan yang

dibuat pada pasien dengan Close Fraktur (tibia fibula) 1/3 distal sinistra.
D. Metode

Metode yang digunakan penulis dalam kasus diatas berupa : Pengkajian ,Observasi
dan Rekam Medis pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori Penyakit

1. Definisi Fraktur

Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang, radiografi

(sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot

atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat

menjadi komplikasi pemulihan klien (Black and Hawks, 2014). Fraktur adalah terputusnya

kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan maupun karena adanya kelainan patologis

(Pelawi dan Purba, 2019). Fraktur tertutupp (Closed), terjadi apabila tidak terdapat hubungan

antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih karena kulit masih utuh

tanpa komplikasi (Wahid, 2013).

Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis dengan

pemasangan fiksasi internal yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara

cukup dengan close reduction. Fungsi ORIF adalah mempertahankan posisi fragmen tulang agar

tetap menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Tujuan dari tindakan ORIF adalah untuk

mengembalikan fungsi pergerakan tulang dan stabilisasi pasien diharapkan unutk memobilisasi

lebih awal setelah operasi (Sudrajat dkk., 2019).

2. Etiologi

Menurut Reksoprodjo, 2010:

1. Trauma

Trauma langsung: benturan pada tulang secara langsung dan mengakibatkan terjadi

fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung: titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur

berjauhan.
2. Fraktur patologis disebabkan karena penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-

lain.

3. Degenerasi

Terjadi kemunduran patologis dari jaringan itu sendiri/ usia lanjut.

4. Spontan

Terjadi tarikan oto yang sangat kuat seperti olahraga.

3. Tanda dan Gejala

Tanda-tanda tidak pasti diantaranya adalah: rasa nyeri dan tegang, nyeri hebat bila

bergerak, hilangnya fungsi akibat nyeri atau tak mampu melakukan gerakan dan deformitas

karena pembengkakan atau akibat perdarahan dan posisi fragmen berubah. Tanda-tanda pasti 7.

diantaranya adalah: gerakan abnormalitas (false movement), gesekan dari kedua ujung fragmen

tulang yang patah (krepitasi) serta deformitas akibat fraktur (umumnya deformitas berupa rotasi,

angulasi dan pemendekan) (Smletzer, 2004).

4. Pemeriksaan Diagnostik/ Pemeriksaan Penunjang terkait

Menurut (Muttaqin, 2008), pemeriksaan pemeriksaan penunjang pada fraktur yaitu:

a. Anamnesa/ pemeriksaan umum

b. Pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan menggunakan sinar

Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang

yang sulit.

c. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan

jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.

d. X - Ray : menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.

e. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk

mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi :

1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang

3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5), aspratat

aminotransferase (AST) dan aldolase meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

f. Pemeriksaan lain-lain :

1) Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih

diindikasikan bila terjadi infeksi.

2) Elekromiografi : terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.

3) Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.

4) MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

5) Indigium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

5. Penatalaksanaan Medis

Prinsip penanganan fraktur yaitu reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta

kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi yaitu mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung

pada sifat frakturnya. Metodereduksi fraktur adalah reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.

Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-

ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat

dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi harus disesuaikan

dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka dengan

pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,

sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang

dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahap selanjutnya yang dilakukan

setelah reduksi fraktur, adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam

posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan

fiksasi interna dan eksterna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat

dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Status neorovaskular dipantau, latihan isometrik dan

setting otot,
serta partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian

fungsi dan harga diri. (Brunner & Suddarth, 2013).

Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan empat R yaitu :

1) Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan kemudian di

rumah sakit.

2) Reduksi, yaitu usaha serta tindakan memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat

mungkin untuk kembali seperti letak asalnya.

3) Retensi, yaitu aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk mempertahankan

reduksi harus melewati sendi diatas dan sendi dibawah fraktur.

4) Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan fraktur (Price & Wilson, 2012)

Terapi pembedahan berdasarkan tipe fraktur nya (Schatzker classification) yaitu :

Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser. Fragmen kondilus yang besar harus benar-benar

direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini terbaik dilakukan dengan operasi terbuka2. Schatzker

tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah fraktur kompresi, mirip dengan fraktur

kompresi vertebra. Kalau depresi ringan (kurang dari 5 mm) dan lutut stabil atau jika pasien

telah tua dan lemah serta mengalami osteoporosis, fraktur diterapi secara tertutup dengan tujuan

memperoleh kembali mobilitas dan fungsi bukannya restitusi anatomis. Setelah aspirasi dan

pembalutan kompresi, traksi rangka dipasang lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm di bawah

fraktur. Kondilus mulai dibentuk, lutut kemudian difleksikan dan diekstensikan beberapa kali

untuk membentuk tibia bagian atas pada kondilus femur yang berlawanan. Kaki diletakkan pada

bantal dan dengan 5 kg traksi, latihan aktif harus dilakuakn tiap hari. Selain itu, lutut dapat

diterapi sejak permulaan dengan mesin CPM, untuk semakin meningkatkan rentang gerakan ;

seminggu setelah terapi ini penggunaan mesin itu dihentikan dan latihan aktif dimulai. Segera

setelah fraktur menyatu (biasanya setelah 3-4 minggu), pen traksi dilepas, gips penyangga
berengsel dipasang dan pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Pembebanan

penuh ditunda selama 6 minggu lagi. Pada pasien muda dengan fraktur tipe 2, terapi ini

mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi terbuka dengan peninggian plateau dan

fiksasi internal sering menjadi pilihan. Pasca operasi lutut diterapi dengan mesin CPM ; setelah

beberapa hari, latihan aktif dimulai dan setelah 2 minggu pasien dibiarkan dengan gips

penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu. Pasca operasi lutut diterapi

dengan mesin CPM setelah beberapa hari Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral

yang utuh. Prinsip terapinya mirip dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi,

fragmen lateral dengan kartilago artikular yang utuh merupakan permukaan yang berpotensi

mendapat pembebanan, maka reduksi yang sempurna lebih penting. Cara ini kadang-kadang

dapat dilakukan secara tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral, jika ini berhasil,

fraktur diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup gagal, reduksi terbuka dan

fiksasi dapat dicoba. Pasca operasi, latihan dimulai secepat mungkin dan 2 minggu kemudian

pasien dibiarkan bangun dalam gips-penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah

menyatu.

B. Pertimbangan Anestesi

1. Definisi Anestesi

Menurut Pramono (2015), anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang

meliputi sensasi sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif, sedangkan analgesia yaitu

hilangnya sensai sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada. Anestesi umum atau

general anesthesia mempunyai tujuan agar dapat menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar,

dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Anestesi umum disebut

juga sebagai narkose atau bius. Anestesi umum juga menyebabkan amnesia yang bersifat

anterograd, yaitu hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien

sudah sadar, pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan/pembiusan yang baru saja dilakukan.
2. Jenis Anestesi

 General anestesi

Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum dapat

diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi (Royal College of

Physicians (UK), 2011). Keuntungan dari penggunaan anestesi ini adalah dapat mencegah

terjadinya kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam jangka waktu yang lama;

memungkinkan untuk pengontrolan jalan, sistem, dan sirkulasi penapasan; dapat digunakan pada

kasus pasien hipersensitif terhadap zat anestesi lokal; dapat diberikan tanpa mengubah posisi

supinasi pasien; dapat disesuaikan secara mudah apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan

dapat diberikan secara cepat dan reversibel. Anestesi umum juga memiliki kerugian, yaitu

membutuhkan perawatan yang lebih rumit; membutuhkan persiapan pasien pra operasi; dapat

menyebabkan fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi aktif; berhubungan dengan

beberapa komplikasi seperti mual muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan

terlambatnya pengembalian fungsi mental normal; serta berhubungan dengan hipertermia

maligna, kondisi otot yang jarang dan bersifat keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum

dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh akut dan berpotensi letal, hiperkarbia, asidosis

metabolik dan hiperkalemia (Press, 2015).

 Regional anestesi

Anestesi regional memberikan efek mati rasa terhadap saraf yang menginervasi beberapa

bagian tubuh, melalui injeksi anestesi lokal pada spinal/epidural, pleksus, atau secara Bier block

(Mohyeddin, 2013). Anestesi regional memiliki keuntungan, diantaranya adalah menghindari

polifarmasi, alternatif yang efektif terhadap anestesi umum, anesthesia yang dapat

diperpanjang, pasient dapat tetap dalam keadaan sadar, dan dapat dilakukan pemberian

makanan atau minuman yang lebih dini (Mohyeddin, 2013). Tetapi, dalampemberian anestesi

regional dapat terjadi komplikasi meskipun jarang sekali terjadi, diantaranya sakit kepala pasca
penyuntikan; sakit punggung; Transient Neurological Symptomps (TNS;, anastesi spinal total,

hematoma spinal atau epidural; abses epidural; meningitis; arachnoiditis; cardiac arrest; retensi

urin; dan keracunan (Agarwal dan Kishore, 2009).

3. Teknik anestesi

Anestesi regional ini sendiri terdiri dari beberapa jenis (Oktaliansah, E. (2017). yaitu:

a. Anestesi spinal

Anestesi spinal merupakan prosedur dimana obat anestesi disuntikkan kedalam cairan yang

berada disekeliling spinal cord. Setelah disuntikkan obat anestesi tadi akan

bercampur dengan cairan spinal di punggung bagian bawah dan membuat urat syaraf yang

terkena kontak kehilangan sensasi atau mati rasa.

b. Anestesi epidural

Anestesi epidural merupakan prosedur dimana obat anestesi disuntikkan ke dalam area

epidural dengan menggunakan jarum suntik atau kateter.Anestesi epidural dapat disuntikkan

pada area yang berbeda mulai dari leher hingga tulang ekor, sesuai dengan kebutuhan.

c. Nerve block

Nerve block merupakan prosedur dimana obat anestesi disuntikkan ke area sekitar kumpulan

urat syaraf tertentu untuk memblokir rasa sakit pada area tersebut.Contoh penggunaan nerve

block adalah adductor canal nerve block yang dilakukan untuk operasi lutut dan

supraclavicular nerve block untuk operasi lengan.

d. Sedation anesthesia

Sedation anesthesia atau anestesi dengan menggunakan obat penenang pada umumnya

dilakukan untuk melengkapi anestesi lokal dan regional dengan tujuan agar pasien merasa lebih

nyaman dan rileks.

Ada 3 tingkatan sedation anesthesia yaitu:

1. Minimal sedation
Pada tingkat ini, pasien akan merasa lebih rileks namun tetap terjaga dan mampu menjawab

pertanyaan yang diberikan oleh dokter.

2. Moderate sedation

Pada tingkat ini, pasien umumnya akan tertidur selama prosedur berlangsung namun dapat

dengan mudah dibangunkan dengan sentuhan.

3. Deep sedation

Pada tingkat ini, pasien akan tertidur lelap selama prosedur berlangsung dan tidak akan

mengingat apapun mengenai prosedur yang telah dilakukan, mirip dengan anestesi umum.

4. Rumatan anestesi
Menurut KMK RI Nomor HK 02.02 /Menkes/251/2015, rumatan anestesi menggunakan
(1) Oksigen dan obat anestesi inhalasi dengan maupun tanpa pelumpuh otot atau rumatan
dengan obat intravena kontinyu, menggunakan dosis sesuai umur dan berat badan.
(2) Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman selama prosedur
tindakan.
(3) Pernafasan kontrol atau asissted selama perjalanan operasi.
(4) Suplemen analgetik opioid sesuai kebutuhan.
(5) Dapat dikombinasi dengan anestesi regional sesuai kebutuhan, setelah dilakukan
anestesi umum.
(6) Monitoring fungsi vital dan suara nafas dengan precordial, memperhatikan posisi
endotrakheal tube selama operasi berlangsung secara berkala.
(7) Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan pada
saat prosedur tindakan.
(8) Pastikan tidak ada sumber perdarahan yang belum teratasi.
(9) Menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat selama prosedur tindakan

5. Resiko

Anestesi regional memiliki resiko kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan

anestesi umum, namun memiliki resiko terhadap kerusakan sistem saluran pernafasan.

Komplikasi pasca anestesi umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2010).

1) Gangguan pernapasan

Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada ekspirasi (tidak ada suara napas) paling

sering dialami pada pasien pascaanestesi umum yang belum sadar karena lidah jatuh menutup
faring atau edema laring. Penyebab lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien

menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah atau sekret.

Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis (hiperkapnea, hiperkarbia) atau saturasi O2 yang
menurun (hipoksemia) yang disebabkan pernapasan pasien yang lambat dan dangkal (hipoventilasi).
Pernapasan lambat dapat diakibatkan karena pengaruh obat opioid dandangkal karena pelumpuh
otot yang masih bekerja. Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi,
takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.

2) Gangguan kardiovaskular

dijumpai pada pasien dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan hipotensi. Hipertensi dapat

disebabkan oleh nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan infus berlebihan, atau

aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia, atau asidosis. Hipertensi akut dan berat

yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema

paru, atau perdarahan otak. Hipotensi disebabkan akibat aliran isian balik vena (venous return)

menurun yang disebabkan perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi

miokardium kurang kuat, atau tahanan veskular perifer menurun. Hipotensi harus segera

ditangani agar tidak terjadi hipoperfusi organ vital yang berlanjut dengan hipoksemia dan

kerusakan jaringan.

3) Mual muntah

Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80% pasien yang menjalani

pembedahan dan anestesi. Beberapa pasien lebih memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan

mual dan muntah pasca bedah (Gwinnutt, 2011). Mual dan muntah pasca bedah merupakan efek

samping yang umum terjadi setelah sedasi dan anestesi umum. Insidensinya paling tinggi

dengan anestesi berbasis narkotika dan dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee,

2015).

4) Menggigil

Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien pascaanestesi umum pada sistem

termoregulasi. Hal tersebut terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi dapat

terjadi akibat suhu ruang operasi yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi dingin,

bedah abdomen luas dan lama.


C. Web of Caution (WOC)
D. Tinjauan Teori Asuhan Kepenataan Anestesi
1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses
yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien menurut Lyer et al (1996,
dalam Setiadi, 2012). Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan
data dan menganalisanya (Manurung, 2011). Dalam proses pengkajian terdapat 2 tipe
data menurut Setiadi (2012) yaitu:. Sumber data lain dapat diperoleh dari keluarga,
konsultan dan tenaga kesehatan lainnya.
a. Data subjektif
Data subjektif yang merupakan deskripsi verbal pasien mengenai masalah
kesehatannya. Data subjektif diperoleh dari riwayat keperawatan termasuk
persepsi pasien, perasaan dan ide tentang status kesehatannya
b. Data objektif
Data objektif yang merupakan hasil observasi atau pengukuran dari status
kesehatan pasien, keluhan utama dan riwayat penyakit pasien, pemeriksaan
fiski, vital sign, hingga kepada diagnose dan kondisi terkini pasien.
2. Masalah kesehatan anestesi, rencana intervensi dan evaluasi pre anestesi
Diagnosa Tujuan Intervensi Evaluasi
Nyeri akut Individu akan a. Kaji tingkat skala a. Skala nyeri apakah sudah
menyatakan nyeri berkurang
berkurangnya nyeri
b. Ajarkan metode b. Tanda-tanda vital pasien
setelah diberikan
distraksi selama nyeri terutama peningkatan
tindakan pereda
akut tekanan darah dalam batas
nyeri yang
normal
memuaskan c. Ajarkan tentang
Kriteria Hasil : tindakan pereda nyeri c. Frekuensi nafas pasien
a. Skala nyeri non invasif dalam batas normal
berkurang
a. Kolaborasi dengan a. Ekspresi wajah pasien
dengan skala 3-
dokter untuk (masih menunjukkan
2
pemberian obat tanda-tanda nyeri seperti
b. Ekspresi wajah pereda nyeri meringis)
tampak tenang
dan nyaman.
a. Menyebutkan
faktor yang
meningkatkan
nyeri

3. Masalah kesehatan anestesi, rencana intervensi dan evaluasi post anestesi


Diagnosa Tujuan Intervensi Evaluasi
Nyeri akut Individu akan d. Kaji tingkat skala d. Skala nyeri apakah sudah
menyatakan nyeri berkurang
berkurangnya nyeri
e. Ajarkan metode e. Tanda-tanda vital pasien
setelah diberikan
distraksi selama nyeri terutama peningkatan
tindakan pereda
akut tekanan darah dalam batas
nyeri yang
normal
memuaskan f. Ajarkan tentang
Kriteria Hasil : tindakan pereda nyeri f. Frekuensi nafas pasien
c. Skala nyeri non invasif dalam batas normal
berkurang
a. Kolaborasi dengan a. Ekspresi wajah pasien
dengan skala 3-
dokter untuk (masih menunjukkan
2
pemberian obat tanda-tanda nyeri seperti
d. Ekspresi wajah pereda nyeri meringis)
tampak tenang
dan nyaman.
Menyebutkan
faktor yang
meningkatkan
nyeri
Hambatan Individu akan b. Menggatur posisi b. Untuk memposisikan
Ektermitas meningkatkan pasien senyamannya pasien
Bawah kekuatan dan daya c. Bantu menggerakan
c. Membantu pergerakan
tahan ektremitas ekstermitas bawah
pasien untuk
Kriteria hasil : d. Lakukan penilaian
membiasakan pergerakan
a. Tidak ada bromage score
neuropati d. Penilaian bromage
b. Mampu membantu memantau efek
menggerakan hilangnya anestesi
ekstermitas
bawah (BS : 1)

Resiko Individu akan a. Monitor tanda dan


infeksi melaporkan faktor gejala infeksi
risiko yang
b. Jelaskan tentang
berkaitan dengan
peningkatan
infeksi dan tindak
kerentanan terhadap
kewaspadaan yang
infeksi
diperlukan
Kriteria hasil : c. Jelaskan tanda dan
a. Klien bebas dari gejala infeksi
tanda dan gejala d. Pasang drainase
infeksi
e. Lakukan kolaborasi
b. Menjelaskan dengan dokter untuk
metode pemberian obat
penyebaran
infeksi
c. Luka setelah
tindakan operasi
kering dan tidak
ada cairan di
sekitar perban
DAFTAR PUSTAKA

Alan Graham Aplpley. 2010. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th edition.
Butterworths Medical Publications.
Brunner LS, DS Suddarth, SCOC Smeltzer. 2013. Enfermería Medicoquirúrgica
[De] Brunner Y Suddarth: 12a Edición. Univeridad Peruana Urion.

Latief SA. 2010. Buku Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI.
Lynda Juall Carpenito - Moyet
Mohyeddin A, HM Goldsworthy, EF Gad. 2013. FE Modelling of RC Frames with Masonry
Infill Panels Under In-Plane and Out-Of-Plane Loading. Journal Engineering
Structures. Vol. 51: 73-87.

Pramono A. 2015. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC.


Rigby L, I Wilson, J Baker, T Walton, O Price, K Dunne dan P Keeley. 2012. The
Development and Evaluation of A ‘Blended’ Enquiry Based Learning Model for
Mental Health Nursing Students: “Making Your Experience Count”. Nurse Education
Today. Vol 32(3): 303-308.
Williams, Lippincot & Wilkins. 2012. EGC Edisi 13. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan

Anda mungkin juga menyukai