Disusun Oleh:
1. Marhajar Amalia Juswan 2011604009
2. Anggita Khoirunisa 2011604048
3. Serina Puji Astuti 2011604141
4. Agya Dhia Pratama 2011604089
5. Muhamad Fikri Fadhilah 2011604111
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh :
Mengetahui,
Pembimbing Lapangan Pembimbing Akademik
A. Latar Belakang
Fraktur merupakan patah tulang pada umumnya diakibatkan oleh trauma atau mungkin
tenaga fisik. Daya serta sudut dari tenaga inilah, posisi tulang, serta jaringan lunak tulang dapat
menetapkan apa mungkin fraktur yang terjadi ini utuh atau tidak utuh (Kusuma, 2015). Novita
(2012) mengatakan bahwa fraktur juga mengaitkan jaringan otot, saraf serta pembuluh darah
disekitarnya hal ini tulang bersifat rapuh akan tetapi cukup memiliki daya serta gaya pegas agar
bertahan, namun jika tekanan dari luar yang datang lebih kuat dari apa yang dapat diserap
tulang, hal ini dapat mengakibatkan trauma pada tulang yang menyebabkan hancurnya atau
terpotongnya kontinuitas tulang. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat pada tahun 2011-
2012 terdapat 5,6 juta orang meninggal dunia dan 1,3 orang menderita fraktur akibat kecelakaan
lalu lintas. Tingkat kecelakaan transportasi di Asia Pasifik memberikan kontribusi sebesar 44%
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Depkes RI (2018) di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan oleh
cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam/tumpul. Dari
45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 20.829
kasus kecelakan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5%) dari 14.127
trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Dinas
Kesehatan Jawa Tengah (2013) mencatat kira-kira 2.700 orang mengalami kejadian fraktur,
56% menderita kecacatan fisik, 24% mengalami kematian, 15% bisa sembuh dan 5%
mengalami kejadian gangguan psikologis atau depresi terhadap kejadian fraktur. Berdasarkan
hasil penelitian, jumlah kasus fraktur di RS dr.Asmir Salatiga pada tahun 2018 adalah 199
dengan kasus tertinggi berada di Kecamatan tingkir (42,2% kasus). Kelompok umur pasien
dengan kasus fraktur yang paling banyak adalah kelompok usia 46-55 tahun (18,1%). Sebagaian
besar pasien dengan kasus fraktur di wilayah Kota Salatiga adalah laki-laki (55,6%).
Efek samping yang bisa ditimbulkan oleh pasien post operasi adalah nyeri. Proses
pembedahan berakibat jangka penyembuhan yang lama, terhalang ambulasi dini, penurunan
fungsi sistem (Novita,2012). Nyeri adalah salah satu efek terhadap responden post operasi
secara simultan mampu menurunkan pelepasan insulin serta fibrinilisis yang mungkin akan
Asmaul Husna memiliki poin yang penting yaitu nada yang indah. Pada mekanisme distraksi,
terjadi penurunan perhatian atau persepsi terhadap nyeri dengan memfokuskan perhatian pasien
pada stimulasi lain. atau menjauhkan pikiran terhadap nyeri. Pelaksanaan mendengarkan bacaan
asmaul husna diulang 3 kali dengan volume 5 selama kurang lebih 15 menit dan diberikan 1 kali
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana asuhan keperawatan tentang Clos Fraktur Tibia 1/3 Distal Sinistra?
C. Tujuan
2. Mengetahui gambaran rumusan diagnosa keperawatan pada Close Fraktur (tibia fibula)
dibuat pada pasien dengan Close Fraktur (tibia fibula) 1/3 distal sinistra.
D. Metode
Metode yang digunakan penulis dalam kasus diatas berupa : Pengkajian ,Observasi
dan Rekam Medis pasien
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang, radiografi
(sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu menunjukkan otot
atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah yang pecah sehingga dapat
menjadi komplikasi pemulihan klien (Black and Hawks, 2014). Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan maupun karena adanya kelainan patologis
(Pelawi dan Purba, 2019). Fraktur tertutupp (Closed), terjadi apabila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih karena kulit masih utuh
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur bedah medis dengan
pemasangan fiksasi internal yang dilakukan ketika fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara
cukup dengan close reduction. Fungsi ORIF adalah mempertahankan posisi fragmen tulang agar
tetap menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Tujuan dari tindakan ORIF adalah untuk
mengembalikan fungsi pergerakan tulang dan stabilisasi pasien diharapkan unutk memobilisasi
2. Etiologi
1. Trauma
Trauma langsung: benturan pada tulang secara langsung dan mengakibatkan terjadi
fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung: titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur
berjauhan.
2. Fraktur patologis disebabkan karena penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-
lain.
3. Degenerasi
4. Spontan
Tanda-tanda tidak pasti diantaranya adalah: rasa nyeri dan tegang, nyeri hebat bila
bergerak, hilangnya fungsi akibat nyeri atau tak mampu melakukan gerakan dan deformitas
karena pembengkakan atau akibat perdarahan dan posisi fragmen berubah. Tanda-tanda pasti 7.
diantaranya adalah: gerakan abnormalitas (false movement), gesekan dari kedua ujung fragmen
tulang yang patah (krepitasi) serta deformitas akibat fraktur (umumnya deformitas berupa rotasi,
Rontgen (sinar-x) untuk melihat gambaran tiga dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang
yang sulit.
c. CT scan : pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan
1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang
f. Pemeriksaan lain-lain :
1) Biopsi tulang dan otot : pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih
3) Artroskopi : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5) Indigium Imaging : pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
5. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penanganan fraktur yaitu reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta
kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi yaitu mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung
pada sifat frakturnya. Metodereduksi fraktur adalah reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka.
ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat
dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi harus disesuaikan
dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka dengan
pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahap selanjutnya yang dilakukan
setelah reduksi fraktur, adalah mengimobilisasi dan mempertahankan fragmen tulang dalam
posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi interna dan eksterna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat
dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Status neorovaskular dipantau, latihan isometrik dan
setting otot,
serta partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian
1) Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kejadian dan kemudian di
rumah sakit.
2) Reduksi, yaitu usaha serta tindakan memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat
3) Retensi, yaitu aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang untuk mempertahankan
4) Rehabilitasi, yaitu pengobatan dan penyembuhan fraktur (Price & Wilson, 2012)
Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser. Fragmen kondilus yang besar harus benar-benar
direduksi dan difiksasi pada posisinya. Ini terbaik dilakukan dengan operasi terbuka2. Schatzker
tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah fraktur kompresi, mirip dengan fraktur
kompresi vertebra. Kalau depresi ringan (kurang dari 5 mm) dan lutut stabil atau jika pasien
telah tua dan lemah serta mengalami osteoporosis, fraktur diterapi secara tertutup dengan tujuan
memperoleh kembali mobilitas dan fungsi bukannya restitusi anatomis. Setelah aspirasi dan
pembalutan kompresi, traksi rangka dipasang lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm di bawah
fraktur. Kondilus mulai dibentuk, lutut kemudian difleksikan dan diekstensikan beberapa kali
untuk membentuk tibia bagian atas pada kondilus femur yang berlawanan. Kaki diletakkan pada
bantal dan dengan 5 kg traksi, latihan aktif harus dilakuakn tiap hari. Selain itu, lutut dapat
diterapi sejak permulaan dengan mesin CPM, untuk semakin meningkatkan rentang gerakan ;
seminggu setelah terapi ini penggunaan mesin itu dihentikan dan latihan aktif dimulai. Segera
setelah fraktur menyatu (biasanya setelah 3-4 minggu), pen traksi dilepas, gips penyangga
berengsel dipasang dan pasien diperbolehkan bangun dengan kruk penopang. Pembebanan
penuh ditunda selama 6 minggu lagi. Pada pasien muda dengan fraktur tipe 2, terapi ini
mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi terbuka dengan peninggian plateau dan
fiksasi internal sering menjadi pilihan. Pasca operasi lutut diterapi dengan mesin CPM ; setelah
beberapa hari, latihan aktif dimulai dan setelah 2 minggu pasien dibiarkan dengan gips
penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah menyatu. Pasca operasi lutut diterapi
dengan mesin CPM setelah beberapa hari Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral
yang utuh. Prinsip terapinya mirip dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi,
fragmen lateral dengan kartilago artikular yang utuh merupakan permukaan yang berpotensi
mendapat pembebanan, maka reduksi yang sempurna lebih penting. Cara ini kadang-kadang
dapat dilakukan secara tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral, jika ini berhasil,
fraktur diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup gagal, reduksi terbuka dan
fiksasi dapat dicoba. Pasca operasi, latihan dimulai secepat mungkin dan 2 minggu kemudian
pasien dibiarkan bangun dalam gips-penyangga yang dipertahankan hingga fraktur telah
menyatu.
B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Menurut Pramono (2015), anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang
hilangnya sensai sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada. Anestesi umum atau
general anesthesia mempunyai tujuan agar dapat menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar,
dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Anestesi umum disebut
juga sebagai narkose atau bius. Anestesi umum juga menyebabkan amnesia yang bersifat
anterograd, yaitu hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien
sudah sadar, pasien tidak mengingat peristiwa pembedahan/pembiusan yang baru saja dilakukan.
2. Jenis Anestesi
General anestesi
Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh. Anestesi umum dapat
diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena atau melalui inhalasi (Royal College of
Physicians (UK), 2011). Keuntungan dari penggunaan anestesi ini adalah dapat mencegah
terjadinya kesadaran intraoperasi; efek relaksasi otot yang tepat dalam jangka waktu yang lama;
memungkinkan untuk pengontrolan jalan, sistem, dan sirkulasi penapasan; dapat digunakan pada
kasus pasien hipersensitif terhadap zat anestesi lokal; dapat diberikan tanpa mengubah posisi
supinasi pasien; dapat disesuaikan secara mudah apabila waktu operasi perlu diperpanjang; dan
dapat diberikan secara cepat dan reversibel. Anestesi umum juga memiliki kerugian, yaitu
membutuhkan perawatan yang lebih rumit; membutuhkan persiapan pasien pra operasi; dapat
beberapa komplikasi seperti mual muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan
maligna, kondisi otot yang jarang dan bersifat keturunan apabila terpapar oleh anestesi umum
dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh akut dan berpotensi letal, hiperkarbia, asidosis
Regional anestesi
Anestesi regional memberikan efek mati rasa terhadap saraf yang menginervasi beberapa
bagian tubuh, melalui injeksi anestesi lokal pada spinal/epidural, pleksus, atau secara Bier block
polifarmasi, alternatif yang efektif terhadap anestesi umum, anesthesia yang dapat
diperpanjang, pasient dapat tetap dalam keadaan sadar, dan dapat dilakukan pemberian
makanan atau minuman yang lebih dini (Mohyeddin, 2013). Tetapi, dalampemberian anestesi
regional dapat terjadi komplikasi meskipun jarang sekali terjadi, diantaranya sakit kepala pasca
penyuntikan; sakit punggung; Transient Neurological Symptomps (TNS;, anastesi spinal total,
hematoma spinal atau epidural; abses epidural; meningitis; arachnoiditis; cardiac arrest; retensi
3. Teknik anestesi
Anestesi regional ini sendiri terdiri dari beberapa jenis (Oktaliansah, E. (2017). yaitu:
a. Anestesi spinal
Anestesi spinal merupakan prosedur dimana obat anestesi disuntikkan kedalam cairan yang
berada disekeliling spinal cord. Setelah disuntikkan obat anestesi tadi akan
bercampur dengan cairan spinal di punggung bagian bawah dan membuat urat syaraf yang
b. Anestesi epidural
Anestesi epidural merupakan prosedur dimana obat anestesi disuntikkan ke dalam area
epidural dengan menggunakan jarum suntik atau kateter.Anestesi epidural dapat disuntikkan
pada area yang berbeda mulai dari leher hingga tulang ekor, sesuai dengan kebutuhan.
c. Nerve block
Nerve block merupakan prosedur dimana obat anestesi disuntikkan ke area sekitar kumpulan
urat syaraf tertentu untuk memblokir rasa sakit pada area tersebut.Contoh penggunaan nerve
block adalah adductor canal nerve block yang dilakukan untuk operasi lutut dan
d. Sedation anesthesia
Sedation anesthesia atau anestesi dengan menggunakan obat penenang pada umumnya
dilakukan untuk melengkapi anestesi lokal dan regional dengan tujuan agar pasien merasa lebih
1. Minimal sedation
Pada tingkat ini, pasien akan merasa lebih rileks namun tetap terjaga dan mampu menjawab
2. Moderate sedation
Pada tingkat ini, pasien umumnya akan tertidur selama prosedur berlangsung namun dapat
3. Deep sedation
Pada tingkat ini, pasien akan tertidur lelap selama prosedur berlangsung dan tidak akan
mengingat apapun mengenai prosedur yang telah dilakukan, mirip dengan anestesi umum.
4. Rumatan anestesi
Menurut KMK RI Nomor HK 02.02 /Menkes/251/2015, rumatan anestesi menggunakan
(1) Oksigen dan obat anestesi inhalasi dengan maupun tanpa pelumpuh otot atau rumatan
dengan obat intravena kontinyu, menggunakan dosis sesuai umur dan berat badan.
(2) Titrasi dan pemantauan efek obat dan dijaga kadar anestesi aman selama prosedur
tindakan.
(3) Pernafasan kontrol atau asissted selama perjalanan operasi.
(4) Suplemen analgetik opioid sesuai kebutuhan.
(5) Dapat dikombinasi dengan anestesi regional sesuai kebutuhan, setelah dilakukan
anestesi umum.
(6) Monitoring fungsi vital dan suara nafas dengan precordial, memperhatikan posisi
endotrakheal tube selama operasi berlangsung secara berkala.
(7) Evaluasi pemberian cairan dan kebutuhan untuk mengganti kehilangan cairan pada
saat prosedur tindakan.
(8) Pastikan tidak ada sumber perdarahan yang belum teratasi.
(9) Menjaga suhu tubuh pasien tetap hangat selama prosedur tindakan
5. Resiko
Anestesi regional memiliki resiko kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan
anestesi umum, namun memiliki resiko terhadap kerusakan sistem saluran pernafasan.
Komplikasi pasca anestesi umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2010).
1) Gangguan pernapasan
Obstruksi jalan napas parsial atau total, tidak ada ekspirasi (tidak ada suara napas) paling
sering dialami pada pasien pascaanestesi umum yang belum sadar karena lidah jatuh menutup
faring atau edema laring. Penyebab lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien
menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah atau sekret.
Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis (hiperkapnea, hiperkarbia) atau saturasi O2 yang
menurun (hipoksemia) yang disebabkan pernapasan pasien yang lambat dan dangkal (hipoventilasi).
Pernapasan lambat dapat diakibatkan karena pengaruh obat opioid dandangkal karena pelumpuh
otot yang masih bekerja. Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi,
takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
2) Gangguan kardiovaskular
dijumpai pada pasien dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan hipotensi. Hipertensi dapat
disebabkan oleh nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan infus berlebihan, atau
aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia, atau asidosis. Hipertensi akut dan berat
yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema
paru, atau perdarahan otak. Hipotensi disebabkan akibat aliran isian balik vena (venous return)
menurun yang disebabkan perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi
miokardium kurang kuat, atau tahanan veskular perifer menurun. Hipotensi harus segera
ditangani agar tidak terjadi hipoperfusi organ vital yang berlanjut dengan hipoksemia dan
kerusakan jaringan.
3) Mual muntah
Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80% pasien yang menjalani
pembedahan dan anestesi. Beberapa pasien lebih memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan
mual dan muntah pasca bedah (Gwinnutt, 2011). Mual dan muntah pasca bedah merupakan efek
samping yang umum terjadi setelah sedasi dan anestesi umum. Insidensinya paling tinggi
dengan anestesi berbasis narkotika dan dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee,
2015).
4) Menggigil
termoregulasi. Hal tersebut terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi dapat
terjadi akibat suhu ruang operasi yang dingin, cairan infus yang dingin, cairan irigasi dingin,
Alan Graham Aplpley. 2010. Appley’s System of Orthopedics and Fracture 9th edition.
Butterworths Medical Publications.
Brunner LS, DS Suddarth, SCOC Smeltzer. 2013. Enfermería Medicoquirúrgica
[De] Brunner Y Suddarth: 12a Edición. Univeridad Peruana Urion.
Latief SA. 2010. Buku Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI.
Lynda Juall Carpenito - Moyet
Mohyeddin A, HM Goldsworthy, EF Gad. 2013. FE Modelling of RC Frames with Masonry
Infill Panels Under In-Plane and Out-Of-Plane Loading. Journal Engineering
Structures. Vol. 51: 73-87.