Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Mata Kuliah : Keperawatan Medikal Bedah III

LAPORAN PENDAHULUAN PRAKTIKUM


PROSEDUR PERAWATAN DAN MONITORING PASCA
PEMASANGAN GIPS

Oleh :
Alfi Irtiyah Andini 632201090001

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami cedera karena
salah satu sebab. Penyebab utama trauma adalah kecelakaan lalu lintas,
industri, olahraga dan rumah tangga. Trauma musculoskeletal biasanya
menyebabkan disfungsi struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang
dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi akibat
trauma muskuloskeletal adalah kontusi, strain,sprain, dislokasi dan sublukasi
serta fraktur. Trauma yang dialami seseorang akan menyebabkan berbagai
masalah.
Trauma merupakan suatu cedera atau rupadaksa yang dapat mencederai
fisik maupun psikis. Trauma jaringan lunak muskuloskeletal dapat berupa
vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robekan parsial
(sprain), putus atau robekan (avulsi atau rupture), gangguan pembuluh darah
dan gangguan saraf. Cedera pada tulang menimbulkan patah tulang (fraktur)
dan dislokasi. Fraktur juga dapat terjadi di ujung tulang dan sendi (intra-
artikuler) yang sekaligus menimbulkan dislokasi sendi. Fraktur ini juga disebut
fraktur dislokasi (Helmi, 2011).
Fraktur menjadi masalah yang banyak ditemui dipusat pelayanan
kesehatan diseluruh dunia dan menjadi penyebab tingginya angka morbiditas
baik di negara maju maupun negara berkembang (Geulis, 2013). Fraktur atau
patah tulang merupakan suatu keadaan dimana terputusnya kontinuitas tulang
atau tulang rawan yang di akibatkan karena adanya rudapaksa (Mansjoer,
2008).Jenis tindakan operasi untuk pasien fraktur seperti Open Reduction and
Internal Fixation (ORIF), Open Reductive External fixacation (OREF),
hemiarthroplasty (unipolar dan bipolar), dan Total Hip Arthroplasty (THA)
(Mittal and Benerje, 2012).
Di masyarakat, seorang perawat/Ners perlu mengetahui perawatan klien
trauma musculoskeletal yang mungkin dijumpai, baik di jalan maupun selama
melakukan asuhan keperawatan di rumah sakit. Selain itu, ia perlu mengetahui
dasar-dasar penanggulangan suatu trauma yang menimbulkan masalah pada
sistem musculoskeletal dengan melakukan penanggulangan awal dan merujuk
ke rumah sakit terdekat agar mengurangi resiko yang lebih besar. Resiko yang
lebih fatal perlu diketahui Ners adalah kematian.
Banyak tindakan yang umum/lazim dilakukan perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien gangguan musculoskeletal.
Tindakan yang umum tersebut meliputi proses keperawatan peri-operatif,
pemberian alat bantu, proses keperawatan klien dengan pemasangan gips,
peralatan luka dan pemasangan traksi. Semua tindakan tersebut perlu diketahui
perawat yang melaksanakan asuhan keperwatan di bangsal bedah pada klien
gangguan sistem musculoskeletal.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi fraktur.
2. Untuk mengetahui perawatan gips.
3. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik pada organ muskuloskeletal.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Fraktur merupakan kejadian terputusnya kontinuitas tulang yang
ditentukan sesuai jenis dan luasnya cedera (Brunner & Suddarth, 2013).
Fraktur juga menyebabkan terjadinya kerusakan atau patah tulang yang
disebabkan oleh adanya trauma ataupun tenaga fisik. Kondisi tulang yang
normal mampu menahan tekanan, namun jika terjadi penekanan ataupun
benturan yang lebih besar maka akan terjadi fraktur (Price & Wilson, 2013).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari struktur tulang, tulang rawan
dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan non trauma.
Tidak hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian fraktur lebih sering
mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fragmen tulang terpisah. Tulang
relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan kelenturan untuk menahan
tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh cedera atau trauma langsung dan
berupa trauma tidak langsung, stres yang berulang, kelemahan tulang yang
abnormal atau disebut juga fraktur patologis (Hoppenfield & Stanley, 2011).
Fraktur biasanya disebabkan karena cedera/trauma/ruda paksa dimana
penyebab utamanya adalah trauma langsung yang mengenai tulang seperti
kecelakaan mobil, olahraga, jatuh/latihan berat. Keparahan dari fraktur
bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika ambang fraktur suatu
tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak saja bukan
patah. Selain itu fraktur juga bisa akibat stress fatique (kecelakaan akibat
tekanan berulang) dan proses penyakit patologis (Black & Hawks, 2014).
Sewaktu tulang patah, perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak juga
biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah
fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga menyebabkan
peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-
sisa sel mati dimulai. Ditempat patahan terbentuk fibrin (hematoma fraktur)
yang berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin
direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk
tulang sejati (Andra & Yessie, 2013).
Retensi (immobilisasi). Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optiomal. Setelah fraktur reduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
tulang sampai penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan di luar
kulit untuk menstabilkan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin
metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari
tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
mengggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, terapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer & Muttaqin, 2008).

B. Indikasi
1. Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi sebagai bidal).
2. Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri
misalnya gips korset pada tuberkulosis tulang belakang atau pasca operasi
seperti operasi pada skoliosis tulang belakang.
3. Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi fraktur terutama pada anak-
anak dan fraktur tertentu pada orang dewasa.
4. Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan misalnya pada talipes
ekuinovarus kongenital atau pada deformitas sendi lutut oleh karena
berbagai sebab.
5. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
6. Imobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi tulang untuk menyatu
setelah suatu operasi misalnya pada artrodesis.
7. Imobilisas setelah operasi pada tendo-tendo tertentu misalnya setelah
operasi tendo Achilles.
8. Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai atau protesa.
9. Indikasi pemasangaan gips adalah pasien dislokasi sendi, fraktur, penyakit
tulang spondilitis TBC, pasca operasi, skoliosis, spondilitis TBC.

C. Kontraindikasi
1. Pemasangan gips yang ketat akan memberikan gangguan atau tekanan pada
pembuluh darah, saraf atau tulang itu sendiri.
2. Pemasangan yang lama dapat menyebabkan kekakuan pada sendi dan
mungkin dapat terjadi.
3. Alergi dan gatal-gatal akibat gips.

D. Langkah Kerja

Standar Operasional Prosedur (SOP)

PERAWATAN GIPS
Definisi : Melakukan tindakan perawatan terhadap luka dengan pemasangan gips untuk
mencegah terjadinya risiko infeksi dan meningkatkan kenyamanan fisik dan
psikologis bagi klien tanpa menimbulkan trauma baru.

Tujuan: Prosedur ini bertujuan untuk merawat gips tanpa menimbulkan trauma baru.

Persiapan Alat :
1. Bak instrumen steril berisi: balutan kasa, kom untuk larutan antiseptik atau larutan
pembersih.
2. Larutan garam faal (NaCl 0,9%) atau air
3. Sarung tangan bersih
4. Sarung tangan sekali pakai
5. Plaster
6. Tempat sampah.
Persiapan Pasien
1. Pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan dan klien disiapkan
pada posisi yang nyaman

Persiapan Lingkungan
1. Menjaga privasi pasien dengan menutup sampiran
Prosedur
Tahap Pra Interaksi
1. Mengkaji program/instruksi medik tentang perawatan GIPS (Prinsip 6 benar :
Nama klien, obat/jenis insulin, dosis, waktu, cara pemberian, dan
pendokumentasian).
2. Mengkaji tindakan yang akan diberikan, tujuan, waktu kerja, serta efek samping
yang mungkin timbul.
3. Mengkaji riwayat medic dan riwayat alergi.
Tahap Orientasi
1. Memberi salam pada pasien
2. Menjelaskan kepada klien tentang persiapan dan tujuan prosedur perawatan GIPS.
3. Menutup sampiran (kalau perlu).
Tahap Interaksi
1. Mencuci tangan.
2. Memakai handscoen bersih.
3. Perawatan GIPS.

Perawatan GIPS
1. Cuci tangan
2. Susun semua peralatan yang diperlukan dan dekatkan pada pasien
3. Tutup ruangan atau tirai tempat tidur
4. Ambil kantung sekali pakai dan buat lipatan diatasnya
5. Letakkan kantung dalam jangkauan area kerja anda
6. Bantu klien pada posisi yang nyaman. Instruksikan klien untuk tidak menyentuh
area gips atau peralatan steril
7. Gunakan sarung tangan bersih.
8. Buka balutan gips, kemudian buang kasa balutan tersebut pada tempat yang telah
disediakan sebelumnya.
9. Inspeksi keadaan luka, perhatikan kondisinya.
10. Perhatikan bau yang timbul pada luka dan gips, daerah yang terdapat noda, daerah
hangat, dan daerah yang tertekan.
11. Gunakan sarung tangan steril.
12. Bersihkan kotoran pada permukaan dengan kasa yang basah.
13. Buang kasa yang telah dipakai ke dalam tempat sampah yang telah disediakan
14. Keringkan area yang telah dibersihkan dengan kasa yang kering.
15. Buang kasa yang telah digunakan pada tempat sampah yang telah disediakan.
16. Jika terdapat noda, dapat dihilangkan dengan selapis semir sepatu putih.
17. Pasang kembali gips dan balut kembali dengan menggunakan kasa balutan yang
baru.
18. Segara laporkan bila pasien merasakan nyeri yang menetap, perubahan sensasi,
berkurangnya kemampuan menggerakkan jari tangan dan kaki yang terbuka,
perubahan warna, dan temperatur kulit.
19. Lepaskan sarung tangan dan buang pada tempat yang telah disediakan
20. Buang semua bahan yang telah dipakai dan bantu klien pada posisi yang nyaman
21. Cuci tangan
22. Catat pada catatan perawat mengenai hasil observasi pada gips.
23. Dokumentasikan perawatan gips yang telah dilakukan, termasuk pernyataan
respon klien.

Tahap Terminasi
1. Menjelaskan ke klien bahwa prosedur telah dilaksanakan
2. Membereskan alat
3. Melepaskan handscoon dan mencuci tangan

Evaluasi : .   
1. Mengevaluasi respon klien terhadap tindakan yang diberikan.
2. Mengobservasi tanda dan gejala adanya efek samping pada klien.
3. Menginspeksi tempat perawatan dan mengamati apakah terjadi pembengkakan
atau muncul tanda infeksi.

Dokumentasi :
1. Mencatat respon klien setelah tindakan perawatan GIPS.
2. Mencatat kondisi tempat perawatan GIPS.
3. Mencatat tanggal dan waktu pelaksanaan perawatan GIPS.
Referensi :
Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Perry, A. 2005. Buku saku keterampilan & Prosedur Dasar Ed.5. Jakarta: EGC.
Tim Keperawatan Dasar PSIK UNHAS. 2008. Penuntun Praktikum Pemenuhan
Kebutuhan Dasar Manusia II. Makassar: Progaram Studi Keperawatan Fakultas
Kedokteran UNHAS.
E. Evaluasi Pasca Tindakan
1. Mengevaluasi respon klien terhadap tindakan yang diberikan.
2. Mengobservasi tanda dan gejala adanya efek samping pada klien.
3. Menginspeksi tempat perawatan dan mengamati apakah terjadi
pembengkakan atau muncul tanda infeksi.

F. Monitoring Pasca Tindakan


1. Mencatat respon klien setelah tindakan perawatan GIPS.
2. Mencatat kondisi tempat perawatan GIPS.
3. Mencatat tanggal dan waktu pelaksanaan perawatan GIPS
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Banyak tindakan yang umum/lazim dilakukan perawat dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien gangguan musculoskeletal.
Tindakan yang umum tersebut meliputi proses keperawatan peri-operatif,
pemberian alat bantu, proses keperawatan klien dengan pemasangan gips,
peralatan luka dan pemasangan traksi. Semua tindakan tersebut perlu diketahui
perawat yang melaksanakan asuhan keperwatan di bangsal bedah pada klien
gangguan sistem musculoskeletal. Indikasi pemasangan gips yaitu:
1. Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi sebagai bidal).
2. Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri
misalnya gips korset pada tuberkulosis tulang belakang atau pasca operasi
seperti operasi pada skoliosis tulang belakang.
3. Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi fraktur terutama pada anak-
anak dan fraktur tertentu pada orang dewasa.
4. Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan misalnya pada talipes
ekuinovarus kongenital atau pada deformitas sendi lutut oleh karena
berbagai sebab.
5. Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
6. Imobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi tulang untuk menyatu
setelah suatu operasi misalnya pada artrodesis.
7. Imobilisas setelah operasi pada tendo-tendo tertentu misalnya setelah
operasi tendo Achilles.
8. Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai atau protesa.
9. Indikasi pemasangaan gips adalah pasien dislokasi sendi, fraktur, penyakit
tulang spondilitis TBC, pasca operasi, skoliosis, spondilitis TBC.
DAFTAR PUSTAKA

Andra, S. W. & Yessie, M. P., 2013. KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah


Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.

Black, J. & Hawks, J., 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis
untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: Salemba Emban Patria.

Brunner & Suddarth, 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta: EGC.

Geulis, S., 2013. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Helmi, Z., 2011. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Hoppenfield & Stanley, 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer, A. e. a., 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medica


Aesculapius.

Mansjoer & Muttaqin, 2008. Penatalaksanaan keperawatan. Jakarta: EGC.

Muttaqin, A., 2013. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. & Wilson, L., 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi VI. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai