Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN TN.

B DENGAN TINDAKAN ORIF


CLOSE FRAKTUR FATELLA SINISTRA DENGAN ANESTESI
REGIONAL (SAB) DI RS dr SOEPRAOEN MALANG

DISUSUN OLEH :

MUHAMAD ALIYAFIH

2213059AJ

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN ANESTESIOLOGI (AJ)

INSTITUT TEKNOGI SAINS DAN KESEHATAN RS dr. SOEPRAOEN


MALANG
PENDAHULUAN

A. Konsep Penyakit

1. Definisi

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai


dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Smeltzer, 2010).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya


disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer, 2011). Sedangkan menurut anatominya,
patella adalah tempurung lutut. Dari pengertiandi atas dapat disimpulkan bahwa
fraktur patella merupakan suatu gangguan integritastulang yang ditandai dengan
rusaknya atau terputus nyakontinuitas jaringan tulangdikarenakan tekanan yang
berlebihan yang terjadi pada tempurung lutut.

2. Etiologi

Menurut Smeltzer dan Bare (2010), fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang dapat di absorpsinya. Fraktur dapat
disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga
akan berpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak perdarahan ke otot
dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan
pembuluh darah. penyebab fraktur tulang paling sering adalah trauma, terutama
pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat terjadi setelah trauma
minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah
fraktur patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, atau
individu yang menglami tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain. Fraktur stress
atau fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat
rendah yang berulang, biasanya menyertai peningkatan yang cepat tingkatlatihan
atlet atau permulaan aktivitas fisik yang baru. Patah tulang biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dansudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang yang akanmenentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Penyebab terjadinya fraktur adalah
trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakaan
mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan
tulang lebih besar dari pada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh:
a) Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
b) Usia penderita.
c) Kelenturan tulang.
d) Jenis tulang

3. Tanda Dan Gejala

a) Nyeri

Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau
kerusakan jaringan sekitarnya.

b) Bengkak

Bengkak muncul dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah


fraktur dan ekstravasi daerah jaringan sekitarnya.

c) Memar

Terjadi karena adanya ekstravasi jaringan sekitar fraktur.

d) Spasme otot

Merupakan kontraksi involunter yang terjadi disekitar fraktur.

e) Gangguan fungsi

Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.

f) Mobilisasi abnormal

Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan.

g) Deformitas

Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

4. Pemeriksaan Penunjang

a) Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma


b) Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c) Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d) Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna pada
sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e) Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
f) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan
transfusi darah jika ada kehilangan darah yang bermakna akibat cedera atau
tindakan pembedahan.

5. Penatalaksanaan Medis

Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi serta


usia. Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :

a) Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi
karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat
pasien mengalami fraktur.

b) Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan


bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.

c) Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini tidak
boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli dengan
cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang pada posisi
semula.

d) Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari
kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap stabil.

e) Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar perlukaan.

f) Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke


posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa
penyembuhan patah tulang (imobilisasi). (Sjamsuhidajat & Jong,2012)

Penatalaksanaan yang dilakukan adalah :

1) Fraktur Terbuka

Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan: pembersihan luka, exici, hecting
situasi, antibiotik.

Ada bebearapa prinsipnya yaitu :

a) Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang


membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.

b) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan
dengan perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.

c) Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai penderita


dengan kemungkinan besar mengalami cidera ditempat lain yang serius.
Hal ini perlu ditekankan mengingat bahwa untuk terjadinya patah tulang
diperlukan suatu gaya yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya
berakibat total, tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip
dasar yaitu : airway, breath and circulation.

d) Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.

Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang tersebut


terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui bahwa periode 6
jam sejak patah tulang tebuka luka yang terjadi masih dalam stadium
kontaminsi (golden periode) dan setelah waktu tersebut luka berubah
menjadi luka infeksi. Oleh karena itu penanganan patuah tulang terbuka
harus dilakukan sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir
penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau dari segi
prioritas penanganannya. Tulang secara primer menempati urutan
prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud adalah mencegah sepsis,
penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
Pemberian antibiotika

e) Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi
tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang
tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar.
Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman gram positif
maupun negatif.

f) Debridemen dan irigasi

Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah patah


terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi
untuk mengurangi kepadatan kuman dengan cara mencuci luka dengan
larutan fisiologis dalam jumlah banyak baik dengan tekanan maupun
tanpa tekanan.

g) Stabilisasi.

Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan stabilisasi


fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah
tulang terbukanya dan fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2 dapat
dipertimbangkan pemasangan fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat
3 dianjurkan pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar
dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.

2) Seluruh Fraktur
a) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis.
c) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan
cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur
sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan
fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial,
darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai,
yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional),
dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain
dalam melakukan gerakan).
d) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
e) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.  Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler.
6. WOC fraktur Patella

Fraktur Patela
B. Pertimbangan Anestesi

1. Definisi Anestesi

Pengertian Anestesi Anestesia adalah suatu keadaan narcosis, analgesia,


relaksasi dan hilangnya reflek (Smeltzer, S C, 2010)

Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya


dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan
anestesi regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh
saja tanpa menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).

Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan


pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2013)

Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan
bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat
pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.

2. Jenis Anestesi

a) General Anestesi

Anestesi umum melibatkan hilangnya kesadaran secara penuh.


Anestesi umum dapat diberikan kepada pasien dengan injeksi intravena
atau melalui inhalasi (Royal College of Physicians (UK), 2011). Anestesi
umum meliputi:

1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi


(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia)

2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika intravena


(TIVA=Total Intravenous Anesthesia)

Anestesi umum merupakan suatu cara menghilangkan seluruh sensasi


dan kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota
tubuh. Pembedahan yang menggunakan anestesi umum melibatkan
prosedur mayor, yang membutuhkan manipulasi jaringan yang luas.
b) Regional Anestesi

1) Pengertian Anestesi Spinal

Anestesi spinal adalah injeksi agen anestesi ke dalam ruang


intratekal, secara langsung ke dalam cairan serebrospinalis sekitar
region lumbal di bawah level L1/2 dimana medulla spinalis berakhir
(Keat, dkk, 2013). Spinal anestesi merupakan anestesia yang
dilakukan pada pasien yang masih dalam keadaan sadar untuk
meniadakan proses konduktifitas pada ujung atau serabut saraf
sensori di bagian tubuh tertentu (Rochimah, dkk,2011)

2) Tujuan Anestesi Spinal

Menurut Sjamsuhidayat & De Jong 2012 anestesi spinal dapat


digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan, penanganan nyeri
akut maupun kronik.

3) Kontra indikasi Anestesi Spinal

Menurut Sjamsuhidayat & De Jong 2012 anestesi regional yang


luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan pada kondisi
hipovolemia yang belum terkontrol karena dapat mengakibatkan
hipotensi berat. Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi
menurut Sjamsuhidayat & De Jong 2012, adalah:

a) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup;

b) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan


memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera;

c) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung


pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.

4) Jenis – Jenis Obat Spinal Anestesi

Lidokain, Bupivakain, dan tetrakain adalah agen anestesi


lokal yang utama digunakan untuk blockade spinal. Lidokain efektif
untuk 1 jam, dan bupivacaine serta tetrakain efektif untuk 2 jam
sampai 4 jam
3. Teknik Anestesi

Menurut Mangku G & Senapathi T tahun 2018 pada sfraktur femur terdapat
dua kategori umum anestesi diantaranya Generał Anesthesia (GA) dan Regional
Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk dua teknik yakni teknik spinal dan
teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA biasanya digunakan untuk operasi
yang emergensi dimana tindakan tersebut memerlukan anestesi segera dan
secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga diperlukan apabila terdapat
kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat peningkatan pada
tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra.

Terdapat beberapa resiko dari GA yang dapat dihindari dengan


menggunakan teknik RA, oleh karena itu lebih disarankan penggunaan teknik
anestesi RA apabila waktu bukan menupakan suatu prioritas. Penggunaan RA
spinal dan RA epidural lebih disarankan untuk digunakan dibandingkan dengan
teknik GA pada sebagian kasus fraktur femur. Salah satu alasan utama pemilihan
teknik anestesi RA dibandingkan dengan GA adalah adanya resiko gagalnya
intubasi trakea serta aspirasi dari isi lambung pada teknik anestesi GA.

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk teknik spinal anestesi, yaitu:

a) Pre Block Preparations

Induksi spinal anestesia seringkali menimbulkan perubahan


hemodinamik, oleh karena itu pasien harus dimonitor secara kontinyu,
obat-obat resusitasi dan peralatan harus dapat disediakan dengan segera.
Sedasi (analgetik dan anxiolitik) seringkali diberikan sebelum melakukan
anestesi spinal untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan kecemasan.
Penting untuk mengingat bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan
spinal anestesia itu sendiri bisa mengakibatkan gangguan respirasi.
Sehingga, setiap anestesia spinal potensial memerlukan perubahan yang
cepat ke general anestesia.Obat-obat dan peralatan untuk airway
management yang tepat harus bisa disediakan dengan cepat.
b) Patient Positioning

Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat


digunakan untuk melakukan anestesia spinal. Tiap posisi memiliki
kelebihan dan kekurangan. Lateral dekubitus adalah posisi yang paling
sering dipakai. Pasien biasanya merasa nyaman dengan posisi ini dan
lebih sedikit menelungkup dalam bergerak, dibandingkan posisi duduk.
Sinkop lebih jarang terjadi daripada posisi duduk. Pasien diposisikan pada
pinggir meja operasi dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal.

Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali


dipilih saat dilakukan pada pasien obese. Pada populasi obese, palpasi
dimidline processus spinosus seringkali sulit / tidak memungkinkan. Pada
kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan dengan menghubungkan garis
imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol (C7) dan
cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien
duduk.

Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal


anestesia pada pasien yang akan dilakukan anal surgery dengan posis
jack-knife. Pasien diposisikan sesuai pembedahan lalu dilakukan lumbal
punksi. Anestesi lokal hipobarik dipergunakan untuk membatasi efek
anestesi pada dermatom sakral dan lumbal bawah.

c) Puncture Site

Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari


spinal cord yang berakhir pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari
masing- masing individu, sebuah garis yang melalui Krista iliaca biasanya
akan melalui ruang diantara L4-L5. Teknik aseptik sangat penting,
termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine dan atau larutan alkohol
dan memakai penutup steril.

4. Rumatan Anestesi

a. Regional Anestesi
1) Oksigen nasal 2 Liter/menit;
2) Obat Analgetik;
3) Obat Hipnotik Sedatif;
4) Obat Antiemetik;
5) Obat Vasokonstriktor.
b. General Anestesi
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia);
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika
intravena (TIVA=Total Intravenous Anesthesia);
3) Obat Pelumpuh Otot;
4) Obat Analgetik;
5) Obat Hipnotik Sedatif;
6) Obat Antiemetik.

5. Resiko Anestesi

Menurut Latief (2010), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada pasien
dengan anestesi spinal adalah :
a. Reaksi alergi;
b. Sakit kepala yang parah (PDPH);
c. Hipotensi berat akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’;
d. Bradikardi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
napas;
e. Trauma pembuluh darah;
f. Mual muntah;
g. Blok spinal tinggi atau spinal total.

D. TINJAUAN TEORI ASKAN


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan dasar proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengumpulkan data tentang penderita agar dapat mengidentifikasi
kebebutuhan serta masalahnya. Pengkajian meliputi:
a. Data Subjektif
1) Pasien mengeluh nyeri hebat pada bagian paha
2) Pasien mengatakan takut di operasi
3) Pasien merasa tidak dapat rileks
4) Pasien mengatakan belum pernah menjalani operasi
5) Pasien mengatakan kedinginan
6) Pasien merasa badan lemas
7) Pasien mengatakan kaki sulit digerakkan
b. Data obyektif
1) Skala nyeri sedang sampai berat
2) Wajah pasien tampak grimace
3) Mukosa bibir kering dan pucat
4) Akral teraba dingin
5) CRT >3 detik
6) Tekanan darah pasien dibawah batas normal
7) Denyut nadi lemah dan tidak teratur
8) Pasien tampak lemah
9) Suhu tubuh >38,5oC
10) Bromage score >1

2. Masalah Kesehatan Anestesi


Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
b. Hambatan Mobilitas
Intra Anestesi :
a. PK Disfungsi Respirasi
b. PK Disfungsi Kardiovaskular
c. PK Syok Hipovolemik
Post Anestesi :
a. Hipetermia
b. PK Cedera

3. Perencanaan Intervensi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg,
N : 60-100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan
karakteristik nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic
a) Urine output 1-2 cc/KgBB/jam
b) Hasil lab elektrolit darah normal
b. Hambatan Mobilitas
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
mampu melakukan aktifitas fisik sesuai. dengan
kemampuannya.
2) Kriteria hasil :
a) Mampu melakukan perpindahan
b) Meminta bantuan untuk aktifitas mobilisasi.
c) Tidak terjadi kontraktur
3) Rencana tindakan :
a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap
peningkatan kerusakan
b) Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal setiap 2 jam.
c) Ajarkan klien untuk melakukan gerak aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit.
d) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik.
Intra Anestesi:
a. PK Disfungsi Respirasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi disfungsi respirasi
2) Kriteria hasil:
a) Tidak terjadinya high spinal
b) Pasien dapat bernafas dengan relaks
c) RR normal: 16-20 x/menit
d) SaO2 normal: 95–100 %
3) Rencana tindakan:
a) Monitoring Vital sign
b) Monitoring saturasi oksigen pasien
c) Atur posisi pasien
d) Berikan oksigen
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan
alat ventilasi mekanik (k/p)
b. PK Disfungsi Kardiovaskular
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi disfungsi kardiovaskular
2) Kriteria hasil:
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 /
70 – 80 mmhg Nadi: 60 – 100 x/menit Suhu: 36-37°C
RR: 16 – 20 x/menit
b) CM = CK
c) Tidak terjadi edema/asites
d) Tidak terjadi cyanosis
e) Tidak ada edema paru
3) Rencana tindakan:
a) Observasi TTV
b) Observasi kesadaran
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Monitoring efek obat anestesi
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan
perioperatif maintenance cairan intravena dan
vasopresor
c. PK Syok Hipovolemik
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadinya Syok Hipovolemik
2. Kreteria Hasil
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 /
70 – 80 mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C
RR : 16 – 20 x/menit
b) Saturasi oksigen >95%
c) Output urine dalam batas normal
d) Tidak terjadi cyanosis
e) Tidak terjadi distensi vena
2) Rencana tindakan :
a) Monitor nilai laboratorium sebagai  bukti terjadinya
perfusi jaringan yang inadekuat
b) Monitor hemodinamiK
c) Berikan terapi oksigen dan ventilasi mekanik
d) Kolaborasi pemberian cairan kristaloid sesuai dengan
Post Anestesi :
a. Hipotermia
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan termoregulasi.
2) Kriteria hasil :
a) Akral hangat
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
c) CRT <2 detik
d) Pasien mengatakan tidak kedinginan
e) Pasien tampak tidak menggigil
3) Rencana tindakan :
a) Motitoring TTV
b) Berikan selimut hangat
c) Berikan infus hangat
d) Kolaborasi pemberian obat untuk
mencegah/mengurangi menggigil
b. PK Cedera
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
aman setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Bromage score <1
c) Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh
e) Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah

4. Evaluasi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
O : Skala nyeri ringan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi sebagian / masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi / pertahankan intervensi
b. Hambatan Mobilitas
S : Pasien mengatakan dapat melakukan gerak aktif pada ekstemitas
yang tidak sakit
O : Pasien dapat melakukan mobilisasi sendiri
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi

Intra Anestesi :
a. PK. Disfungsi Respirasi
S:-
O : Pasien dapat bernafas dengan relaks
RR normal : 16-20 x/menit
SaO2 normal : 95–100 %
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi

b. Komplikasi potensial syok kardiogenik


S : Pasien mengatakan tidak mual, tidak pusing dantidak lemas
O : Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 – 80
mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR : 16 – 20
x/menit
CM = CK
Tidak terjadi edema/asites
Tidak terjadi cyanosis
Tidak ada edema paru
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
c. PK Syok Hipovolemik
S: -
O : 1) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 / 70 –
80 mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C RR :
16 – 20 x/menit
2) Saturasi oksigen >95%
3) Output urine dalam batas normal
4) Tidak terjadi cyanosis
5) Tidak terjadi distensi vena
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
Post Anestesi :
a. Hipotermia
S: Pasien mengatakan sudah tidak kedinginan
O : Akral hangat, TTV dalam batas normal, pasien tampak tidak
menggigil, pasien tampak tidak pucat
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
b. PK Cedera
S : Pasien mengatakan tidak merasa lemas, pasien mengatakan kaki
dapat digerakkan
O : TTV dalam batas normal, bromage score <1, pasien mampu
mobilitas dini
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 3.
Jakarta: EGC.

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta:EGC.

Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta:EGC

Arif Muttaqin. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik
Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.

NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGCKeat,

Sally.2013. Anaesthesia on the move. Jakarta: Indeks

Latief, Said. dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Mansjoer, A.  (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius FKUI

Medical Mini Notes. 2019. Anesthesia and Intensive Care. MMN

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange
Medical Books/McGraw-Hill

Anda mungkin juga menyukai