DISUSUN OLEH :
MUHAMAD ALIYAFIH
2213059AJ
A. Konsep Penyakit
1. Definisi
2. Etiologi
Menurut Smeltzer dan Bare (2010), fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang dapat di absorpsinya. Fraktur dapat
disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan puntir mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga
akan berpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak perdarahan ke otot
dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan
pembuluh darah. penyebab fraktur tulang paling sering adalah trauma, terutama
pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat terjadi setelah trauma
minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah
fraktur patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami osteoporosis, atau
individu yang menglami tumor tulang, infeksi, atau penyakit lain. Fraktur stress
atau fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang normal akibat stress tingkat
rendah yang berulang, biasanya menyertai peningkatan yang cepat tingkatlatihan
atlet atau permulaan aktivitas fisik yang baru. Patah tulang biasanya disebabkan
oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dansudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang yang akanmenentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Penyebab terjadinya fraktur adalah
trauma, stres kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakaan
mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga yang melawan
tulang lebih besar dari pada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya patah tulang
dipengaruhi oleh:
a) Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
b) Usia penderita.
c) Kelenturan tulang.
d) Jenis tulang
a) Nyeri
Terjadi karena adanya spasme otot tekanan dari patahan tulang atau
kerusakan jaringan sekitarnya.
b) Bengkak
c) Memar
d) Spasme otot
e) Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot,
paralisis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
f) Mobilisasi abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan.
g) Deformitas
Abnormal posisi tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, dan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
4. Pemeriksaan Penunjang
5. Penatalaksanaan Medis
a) Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang terjadi
karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang menjadi alasan kuat
pasien mengalami fraktur.
c) Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal ini tidak
boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh para ahli dengan
cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan tulang pada posisi
semula.
d) Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau papan dari
kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar posisi tetap stabil.
f) Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post operasi.
1) Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan
disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman
belum terlalu jauh meresap dilakukan: pembersihan luka, exici, hecting
situasi, antibiotik.
b) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera yang meliputi pembidaian, menghentikan perdarahan
dengan perban tekan, menghentikan perdarahan besar dengan klem.
e) Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat bervariasi
tergantung dimana patah tulang ini terjadi. Pemberian antibiotika yang
tepat sukar untuk ditentukan hany saja sebagai pemikiran dasar.
Sebaliklnya antibiotika dengan spektrum luas untuk kuman gram positif
maupun negatif.
g) Stabilisasi.
2) Seluruh Fraktur
a) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
b) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasfanatomis.
c) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan
cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external
fixation=OREF) sehingga diperoleh stabilisasi fraktur yang baik.
Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi fraktur
sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan
fraktur. Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial,
darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-latihan secara teratur dan
bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai,
yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional),
dan sembuh secara fungsional (tidak ada kekakuan dan hambatan lain
dalam melakukan gerakan).
d) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna
yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
e) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya
diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler.
6. WOC fraktur Patella
Fraktur Patela
B. Pertimbangan Anestesi
1. Definisi Anestesi
Dari beberapa definisi anestesi menurut para ahli maka dapat disimpulkan
bahwa Anestesti merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit pada saat
pembedahan atau melakukan tindakan prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit dengan cara trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik, relaksasi.
2. Jenis Anestesi
a) General Anestesi
Menurut Mangku G & Senapathi T tahun 2018 pada sfraktur femur terdapat
dua kategori umum anestesi diantaranya Generał Anesthesia (GA) dan Regional
Anesthesia (RA) dimana pada RA termasuk dua teknik yakni teknik spinal dan
teknik epidural. Teknik anestesi dengan GA biasanya digunakan untuk operasi
yang emergensi dimana tindakan tersebut memerlukan anestesi segera dan
secepat mungkin. Teknik anestesi GA juga diperlukan apabila terdapat
kontraindikasi pada teknik anestesi RA, misalnya terdapat peningkatan pada
tekanan intrakranial dan adanya penyebaran infeksi di sekitar vertebra.
Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk teknik spinal anestesi, yaitu:
c) Puncture Site
4. Rumatan Anestesi
a. Regional Anestesi
1) Oksigen nasal 2 Liter/menit;
2) Obat Analgetik;
3) Obat Hipnotik Sedatif;
4) Obat Antiemetik;
5) Obat Vasokonstriktor.
b. General Anestesi
1) Induksi inhalasi, rumatan anestesi dengan anestetika inhalasi
(VIMA=Volatile Induction and Maintenance of Anesthesia);
2) Induksi intravena, rumatan anestesi dengan anestetika
intravena (TIVA=Total Intravenous Anesthesia);
3) Obat Pelumpuh Otot;
4) Obat Analgetik;
5) Obat Hipnotik Sedatif;
6) Obat Antiemetik.
5. Resiko Anestesi
Menurut Latief (2010), beberapa risiko yang mungkin terjadi pada pasien
dengan anestesi spinal adalah :
a. Reaksi alergi;
b. Sakit kepala yang parah (PDPH);
c. Hipotensi berat akibat blok simpatis, terjadi ‘venous pooling’;
d. Bradikardi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
napas;
e. Trauma pembuluh darah;
f. Mual muntah;
g. Blok spinal tinggi atau spinal total.
3. Perencanaan Intervensi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
hilang atau terkontrol, klien tampak rileks.
2) Kriteria hasil :
a) Pasien mangatakan nyeri berkurang atau hilang
b) Pasien mampu istirahat atau tidur
c) Ekspresi wajah nyaman atau tenang
d) TTV dalam batas normal (TD : 100-120/70-80 mmHg,
N : 60-100 x/mnt R : 16-24 x/mnt, S : 36,5-37,5oC)
3) Rencana tinadakan:
a) Observasi tanda-tanda vital
b) Identifikasi derajat, lokasi, durasi, frekwensi dan
karakteristik nyeri
c) Lakukan Teknik komunikasi terapeutik
d) Ajarkan Teknik relaksasi
e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetic
a) Urine output 1-2 cc/KgBB/jam
b) Hasil lab elektrolit darah normal
b. Hambatan Mobilitas
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
mampu melakukan aktifitas fisik sesuai. dengan
kemampuannya.
2) Kriteria hasil :
a) Mampu melakukan perpindahan
b) Meminta bantuan untuk aktifitas mobilisasi.
c) Tidak terjadi kontraktur
3) Rencana tindakan :
a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap
peningkatan kerusakan
b) Ubah posisi pasien yang imobilisasi minimal setiap 2 jam.
c) Ajarkan klien untuk melakukan gerak aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit.
d) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik.
Intra Anestesi:
a. PK Disfungsi Respirasi
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi disfungsi respirasi
2) Kriteria hasil:
a) Tidak terjadinya high spinal
b) Pasien dapat bernafas dengan relaks
c) RR normal: 16-20 x/menit
d) SaO2 normal: 95–100 %
3) Rencana tindakan:
a) Monitoring Vital sign
b) Monitoring saturasi oksigen pasien
c) Atur posisi pasien
d) Berikan oksigen
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam pemasangan
alat ventilasi mekanik (k/p)
b. PK Disfungsi Kardiovaskular
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadi disfungsi kardiovaskular
2) Kriteria hasil:
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 /
70 – 80 mmhg Nadi: 60 – 100 x/menit Suhu: 36-37°C
RR: 16 – 20 x/menit
b) CM = CK
c) Tidak terjadi edema/asites
d) Tidak terjadi cyanosis
e) Tidak ada edema paru
3) Rencana tindakan:
a) Observasi TTV
b) Observasi kesadaran
c) Monitoring cairan masuk dan cairan keluar
d) Monitoring efek obat anestesi
e) Kolaborasi dengan dokter anestesi dalam tindakan
perioperatif maintenance cairan intravena dan
vasopresor
c. PK Syok Hipovolemik
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan anestesi diharapkan
tidak terjadinya Syok Hipovolemik
2. Kreteria Hasil
a) Tanda – tanda vital dalam batas normal TD: 110 – 120 /
70 – 80 mmhg Nadi : 60 – 100 x/menit Suhu : 36-37°C
RR : 16 – 20 x/menit
b) Saturasi oksigen >95%
c) Output urine dalam batas normal
d) Tidak terjadi cyanosis
e) Tidak terjadi distensi vena
2) Rencana tindakan :
a) Monitor nilai laboratorium sebagai bukti terjadinya
perfusi jaringan yang inadekuat
b) Monitor hemodinamiK
c) Berikan terapi oksigen dan ventilasi mekanik
d) Kolaborasi pemberian cairan kristaloid sesuai dengan
Post Anestesi :
a. Hipotermia
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menunjukkan termoregulasi.
2) Kriteria hasil :
a) Akral hangat
b) Suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5oC)
c) CRT <2 detik
d) Pasien mengatakan tidak kedinginan
e) Pasien tampak tidak menggigil
3) Rencana tindakan :
a) Motitoring TTV
b) Berikan selimut hangat
c) Berikan infus hangat
d) Kolaborasi pemberian obat untuk
mencegah/mengurangi menggigil
b. PK Cedera
1) Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
aman setelah pembedahan.
2) Kriteria hasil :
a) TTV dalam batas normal
b) Bromage score <1
c) Pasien mengatakan kaki dapat digerakkan
d) Pasien tampak tidak lemah
3) Rencana tindakan :
a) Monitoring TTV
b) Lakukan penilaian bromage score
c) Berikan pengaman pada tempat tidur pasien
d) Berikan gelang resiko jatuh
e) Latih angkat atau gerakkan ekstremitas bawah
4. Evaluasi
Pre Anestesi :
a. Nyeri akut
S : Pasien mengatakan nyeri berkurang atau hilang
O : Skala nyeri ringan, TTV dalam batas normal
A : Masalah teratasi sebagian / masalah teratasi
P : Lanjutkan intervensi / pertahankan intervensi
b. Hambatan Mobilitas
S : Pasien mengatakan dapat melakukan gerak aktif pada ekstemitas
yang tidak sakit
O : Pasien dapat melakukan mobilisasi sendiri
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
Intra Anestesi :
a. PK. Disfungsi Respirasi
S:-
O : Pasien dapat bernafas dengan relaks
RR normal : 16-20 x/menit
SaO2 normal : 95–100 %
A : Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Vol 3.
Jakarta: EGC.
Arif Muttaqin. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Jakarta:EGC
Arif Muttaqin. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik
Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.
Latief, Said. dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology, 4thed. Lange
Medical Books/McGraw-Hill