OLEH
I GEDE PATRIA PRASTIKA
NIM. P07120319048
7. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien fraktur antara lain
(Smeltzer & Bare, 2012) :
a. Terapi konservatif
1) Proteksi saja
Dengan menggunakan mitella agar kedudukan tetap baik.
2) Immobilisasi saja tanpa reposisi
Adalah mempertahankan reposisi selama masa penyembuhan tulang, misalnya
pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan
kedudukan baik.
3) Rehabilitasi
Adalah proses pemulihan kembali fungsi tulang yang dapat dilakukan dengan
fisioterapi aktif dan pasif.
4) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang dicetak sesuai kontur
tubuh dimana gips ini dipasang. Tujuan pemasangan gips adalah untuk
mengimobilisasi bagian tubuh dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan
yang merata pada jaringan lunak yang terletak didalamnya.
5) Traksi
Traksi adalah alat yang dipasang untuk memberi gaya tarikan ke bagian tubuh.
Traksi digunakan untuk menimbulkan spasme otot, untuk mereduksi,
mensejajarkan dan mengimobilisasi fraktur. Traksi harus diberikan dengan
arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Secara
umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstremitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa, sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang patah.
b. Terapi operatif
1) Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intra operatif maka
dipasang alat fiksasi eksterna. Reposisi tertutup dengan radiologis diikuti
fiksasi interna. Contoh : reposisi tertutup fraktur supra condylair humerus
pada anak diikuti dengan pemasangan pararel pins. Reposisi fraktur collum
pada anak diikuti dengan pinning dan immobilisasi gips. Cara ini terus
dikembangkan menjadi “close nailing” pada fraktur femur dan tibia yaitu
pemasangan fiksasi interna meduler (pen) tanpa membuka frakturnya.
2) Terapi operatif dengan membuka frakturnya.
a) ORIF (Open Reduction with Internal Fixation)
Merupakan tindakan insisi pada tempat yang mengalami cedera dan
ditentukan sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang mengalami
fraktur. Keuntungannya yaitu reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa
fiksasi luar.
Indikasi dari ORIF :
Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi.
Misalnya : Fraktur talus, fraktur collom femur.
Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya : fraktur avulasi,
fraktur dislokasi
Fraktur yang dapat direposisi sulit dipertahankan. Misalkan : fraktur
pergelangan kaki
Fraktur intra-articuler. Misalnya : fraktur patela
b) OREF (Open Reduction with eksternal Fixation)
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksternal dengan mempergunakan
kanselosa screw dengan metil metaklirat (akrilik gigi) atau fiksasi
eksternal dengan jenis-jenis lain misalnya dengan mempergunakan screw
schanz. Indikasi dari OREF : fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan
atau tulang yang hebat, fraktur dengan infeksi, fraktur yang miskin
jaringan ikat.
4) Monitoring pasien
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah :
a) Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
b) Heart rate, nadi, dan kualitasnya
c) Warna membran mukosa, dan capillary refill time
d) Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
e) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
f) Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
Monitoring tanda vital selama operasi biasanya dilakukan setiap 5 menit.
c. Post Operatif
1) Monitoring pasien
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit
(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Pasien yang dilakukan regional
anestesi, lebih mudah mengalami recovery dibandingkan dengan general
anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi sadar, sehingga komplikasi
yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih minimal. Meskipun
demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan
frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler harus
dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian
nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input
dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
2) Terapi cairan
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisitcairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
3) Pemindahan ke ruang rawat inap
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan
kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete
Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke
Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.
8. Komplikasi
a. Komplikasi awal
1) Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement syndrom
Sindrom kompartemen berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika
tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen merupakan masalah yang
terjadi saat perfusi jaringan dalam otor kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Biasanya pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak.
Ada 5 tanda syndrome kompartemen, yaitu : pain (nyeri), pallor (pucat),
pulsesness (tidak ada nadi), parestesia (rasa kesemutan), dan paralysi
(kelemahan sekitar lokasi terjadinya syndrome kompartemen)
3) Fat embolism syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal
ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang
dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati
sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah,
marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke
tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur
(yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang
terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada
pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
7) Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk
melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi, luka tembak,
fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
b. Komplikasi dalam waktu lama
1) Delayed union (penyatuan tertunda)
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat
menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan
lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang
bersifat patologis..
3) Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan
deformitas, angulasi atau pergeseran.
2. Diagnosa keperawatan
Pre Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan
c. Defisit pengetahuan b.d keterbatasan kognitif
Intra Operatif :
a. Risiko syok yang dibuktikan oleh kehilangan cairan secara aktif
b. Risiko cedera yang dibuktikan oleh faktor eksternal : pemajanan peralatan dan
instrument, penggunaan obat anastesi
c. Risiko hipotermia perioperatif yang dibuktikan oleh prosedur pembedahan, suhu
lingkungan rendah
Post Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Risiko infeksi yang dibuktikan oleh efek prosedur infasif
(SDKI, 2017)
3. Rencana keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
1 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri
pencedera fisik selama …. x … jam, diharapkan tidak 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
terjadi nyeri akut dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
Tingkat Nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
1. Tidak mengeluh nyeri 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
2. Tidak meringis 4. Monitor tanda – tanda vital
3. Tidak ada sikap protektif 5. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4. Tidak gelisah (mis : TENS, hypnosis, akupresure, terapi music, biofeedback,
5. Tanda – tanda vital dalam batas terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90 hangat atau dingin, terapi bermain)
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR : 6. Fasilitasi istirahat dan tidur
16 – 20 x/menit) 7. Berikan analgetik, jika perlu
2 Ansietas b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan Reduksi Ansietas
kekhawatiran selama ... x … jam, diharapkan tidak 1. Monitor tanda – tanda ansietas (verbal & non verbal)
mengalami terjadi ansietas dengan kriteria hasil : 2. Monitor tanda tanda vital
kegagalan Tingkat Ansietas 3. Berikan terapi relaksasi napas dalam
1. Tidak tampak wajah kebingungan / 4. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
khawatir 5. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
2. Tidak gelisah
3. Tidak mengalami tremor
4. Tanda – tanda vital dalam batas
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR :
16 – 20 x/menit)
3 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Edukasi Kesehatan
b.d keterbatasan selama …x… jam, diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
kognitif pengetahuan meningkat dengan kriteria 2. Identifikasi faktor – faktor yang dapat meningkatkan dan
hasil : menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
1. Perilaku sesuai anjuran meningkat 3. Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
2. Kemampuan menjelaskan 4. Anjurkan perilaku hidup bersih dan sehat
pengetahuan tentang suatu topik 5. Edukasi pasien mengenai mekanisme dan prosedur pembedahan
meningka 6. Edukasi mengenai tujuan pembedahan
3. Perilaku sesuai dengan pengetahuan 7. Edukasi pasien mengenai efek samping yang mungkin terjadi
4. Pertanyaan tentang masalah yang setelah pembedahan
dihadapi menurun
5. Persepsi yang keliru terhadap
masalah menurun
6. Perilaku membaik
Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC
Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 6. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A.; Wilson, Lorraine M.. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Denpasar, …………. 2020
Nama Pembimbing / CI Nama Mahasiswa
……………………………….…… ……………………………………
NIP. NIM.
Nama Pembimbing / CT
...................................................................
NIP.