Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA PASIEN DENGAN


FRAKTUR

OLEH
I GEDE PATRIA PRASTIKA
NIM. P07120319048

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI NERS
2020
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi frakur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smeltzer, 2001).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang,
baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong,
2005).
Fraktur merupakan putusnya jaringan tulang yang umumnya penyebab
utamanya oleh tekanan atau trauma. Fraktur merusak kontinuitas tulang penyebabnya
tekanan luar yang datang berlebih, dibandingkan dengan yang diserap oleh tulang
(Asikin, 2013).
Berdasarkan beberapa definsi di atas, dapat disimpulkan bahwa fraktur
merupakan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang disebabkan oleh terkanan
yang berlebihan pada tulang, dan biasanya disertai dengan kerusakan jaringan sekitar
tulang.

2. Penyebab / faktor predisposisi fraktur


Fraktur disebabkan oleh trauma atau tekanan berlebihan pada tulang yang
biasanya diakibatkan secara langsung maupun tidak langsung. Fraktur sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan kendaraan bermotor.
Menurut Carpenito (2000), penyebab fraktur antara lain :
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau
miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Menurut Doenges (2000), penyebab dari fraktur yaitu :
a. Trauma langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa,
misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur.
b. Trauma tak langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat kejadian kekerasan.
c. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital,peradangan,
neuplastik dan metabolik). Contohnya adalah fraktur akibat osteoporosis.
3. Pohon masalah fraktur
4. Klasifikasi fraktur
Menurut Hariyanto & Sulistyowati (2015), fraktur diklasifikasikan secara
umum, berdasarkan jenisnya, dan berdasarkan tipe fraktur.
a. Klasifikasi secara umum
1) Fraktur lengkap, adalah terjadinya fraktur pada tulang secara lengkap
2) Fraktur tidak lengkap, merupakan fraktur yang tidak melibatkan keseluruhan
ketebalan tulang
b. Berdasarkan jenis frakturnya
1) Fraktur terbuka, adalah patah tulang yang menembus jaringan otot dan kulit,
tulang terkontaminasi dengan dunia luar.
2) Fraktur tertutup, adalah fraktur/patah tulang yang tidak sampai menembus
jaringan kulit beserta dunia luar.
c. Berdasarkan tipe ditinjau dari sudut patah fraktur
1) Fraktur transversal, yaitu suatu fraktur yang garis patahnya tegak lurus.
2) Fraktur oblik, yaitu fraktur yang garis patahnya berbentuk sudut atau miring.
3) Fraktur spiral, yaitu fraktur yang berbentuk seperti spiral. .
5. Gejala klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), manifestasi klinik dari faktur yaitu:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak / edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah
fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya, atau sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
c. Memar / ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya, atau akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
d. Pemendekan tulang
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering
saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
b. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan saraf, dan terkenanya saraf karena edema.
c. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang frkatur, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
d. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
e. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
f. Deformitas / perubahan bentuk
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
6. Pemeriksaan diagnostik
Menurut PERMENKES RI (2014), pemeriksaan diagnosik untuk fraktur meliputi :
a. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk
menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
b. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain: radioisotope
scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan
fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Pemeriksaan darah lengkap
Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).
Peningkatan sel darah putih (WBC) adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.

7. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada pasien fraktur antara lain
(Smeltzer & Bare, 2012) :
a. Terapi konservatif
1) Proteksi saja
Dengan menggunakan mitella agar kedudukan tetap baik.
2) Immobilisasi saja tanpa reposisi
Adalah mempertahankan reposisi selama masa penyembuhan tulang, misalnya
pemasangan gips atau bidai pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan
kedudukan baik.
3) Rehabilitasi
Adalah proses pemulihan kembali fungsi tulang yang dapat dilakukan dengan
fisioterapi aktif dan pasif.
4) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Gips adalah alat imobilisasi eksternal yang kaku yang dicetak sesuai kontur
tubuh dimana gips ini dipasang. Tujuan pemasangan gips adalah untuk
mengimobilisasi bagian tubuh dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan
yang merata pada jaringan lunak yang terletak didalamnya.
5) Traksi
Traksi adalah alat yang dipasang untuk memberi gaya tarikan ke bagian tubuh.
Traksi digunakan untuk menimbulkan spasme otot, untuk mereduksi,
mensejajarkan dan mengimobilisasi fraktur. Traksi harus diberikan dengan
arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Secara
umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstremitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa, sehingga
arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang patah.
b. Terapi operatif
1) Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologis intra operatif maka
dipasang alat fiksasi eksterna. Reposisi tertutup dengan radiologis diikuti
fiksasi interna. Contoh : reposisi tertutup fraktur supra condylair humerus
pada anak diikuti dengan pemasangan pararel pins. Reposisi fraktur collum
pada anak diikuti dengan pinning dan immobilisasi gips. Cara ini terus
dikembangkan menjadi “close nailing” pada fraktur femur dan tibia yaitu
pemasangan fiksasi interna meduler (pen) tanpa membuka frakturnya.
2) Terapi operatif dengan membuka frakturnya.
a) ORIF (Open Reduction with Internal Fixation)
Merupakan tindakan insisi pada tempat yang mengalami cedera dan
ditentukan sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang mengalami
fraktur. Keuntungannya yaitu reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa
fiksasi luar.
Indikasi dari ORIF :
 Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi.
Misalnya : Fraktur talus, fraktur collom femur.
 Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya : fraktur avulasi,
fraktur dislokasi
 Fraktur yang dapat direposisi sulit dipertahankan. Misalkan : fraktur
pergelangan kaki
 Fraktur intra-articuler. Misalnya : fraktur patela
b) OREF (Open Reduction with eksternal Fixation)
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksternal dengan mempergunakan
kanselosa screw dengan metil metaklirat (akrilik gigi) atau fiksasi
eksternal dengan jenis-jenis lain misalnya dengan mempergunakan screw
schanz. Indikasi dari OREF : fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan
atau tulang yang hebat, fraktur dengan infeksi, fraktur yang miskin
jaringan ikat.

Secara umum, penatalaksanaan pasien fraktur yang akan menjalani operasi


adalah sebagai berikut :
a. Pre operatif
1) Persetujuan operasi (informed consent)
2) Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
jenis operasi, fisik, dan kehendak pasien
3) Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal
4) Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology) :
Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa
limitasi aktivitas sehari-hari.
Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi
aktivitas normal.
Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan
maupun tanpa operasi.
Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap
dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.
Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya
akan diambil untuk tujuan donor
E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.
5) Puasa
Pada pasien dewasa umumnya puasa dilakukan 6-8 jam sebelum operasi, anak
kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5
jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3
jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1
jam sebelum induksi anesthesia.
6) Terapi cairan sebagai pengganti puasa
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah, atau
penghisapan isi lambung. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml/kgBB/jam.
7) Pemberian obat-obatan premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan sebagai berikut:
a) Meredakan kecemasan dan ketakutan
b) Memperlancar induksi anesthesia
c) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
d) Meminimalkan jumlah obat anestetik
e) Mengurangi mual muntah pasca bedah
f) Menciptakan amnesia
g) Mengurangi isi cairan lambung
h) Mengurangi reflek yang membahayakan
Obat-obat yang dapat digunakan untuk premedikasi :
No Jenis Obat Dosis (Dewasa)
.
Sedatif :
1 Diazepam 5-10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgBB
2 Analgetik Opiat
Petidin 1-2 mg/kgBB
Morfin 0,1-0,2 mg/kgBB
Fentanil 1-2 µg/kgBB
Analgetik non opiate Disesuaikan
3 Antikholinergik :
Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB
4 Antiemetik :
Ondansetron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklopramid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidine
Antasid
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara suntikan intramuskuler
(diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia), suntikan intravena
(diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia). Komposisi dan dosis obat
premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya
disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien.
8) Persiapan di kamar operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a) Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b) Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c) Alat-alat resusitasi (STATICS)
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan
jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade)
yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus
cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun
tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan
balloon (cuffed).
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway)
atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway).
Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak
terdorong atau tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus
plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan
untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan
anastesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
d) Obat-obat anestesia yang diperlukan
e) Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya
f) Tiang infus, plaster dan lain-lainnya
g) Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h) Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.
i) Kartu catatan medic anestesia
j) Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.
b. Intra Operatif
1) Induksi anestesi
Ada 3 jenis anestesia-analgesia yang diberikan pada pasien yang akan
menjalani pembedahan, yaitu anestesia umum, analgesia regional dan
analgesia lokal. Anestesi umum paling sering digunakan untuk operasi pada
fraktur multipel. Induksi dicapai dengan agen intravena diikuti intubasi trakea
difasilitasi oleh perelaksasi otot. Induksi pada anestesia umum dapat dilakukan
dengan obat anestetik intravena kerja cepat (rapid acting).
Perelaksasi otot memiliki peranan penting dalam mengurangi pergerakan pada
lapangan operasi. Anestesia dapat dipertahankan dengan dosis intermiten atau
melalui infus yang berlanjut, dengan agen intravena seperti thiopental,
propofol dan opioid serta dikombinasi dengan NO 2. Anestesi halogen (halotan,
enfluran, isofluran) adalah obat yang paling sering dipakai. Obat-obatan
tersebut dapat mengontrol refleks hemodinamik. Akan tetapi, isofluran dan
enfluran menjaga aliran darah hepar dan intestinal lebih baik dibandingkan
halotan. Sevofluran dapat juga dipertimbangkan karena memiliki efek yang
mirip dengan isofluran, efek kardiovaskular cukup stabil dan belum ada
laporan toksik terhadap hepar.Walaupun halonated agent dikombinasikan
dengan perelaksasi otot dapat membuat kondisi anestesi yang baik saat operasi
abdomen, obat-obat ini sering digunakan dengan kombinasi N 2O dan opioid.
N2O dapat digunakan pada permulaan operasi untuk memastikan status
anestesi ketika efek agen intravena telah menghilang. Penggunaan N 2O juga
dapat menurunkan konsentrasi halonated agent sekitar 50% dan mempercepat
pulihnya kesadaran pasien, sehingga digunakan untuk pemeliharaan.
Untuk terapi nyeri pasien intraoperatif dapat digunakan golongan opioid.
Golongan opioid ini bermanfaat pada intraoperatif maupun post-operatif. Obat
yang paling populer saat ini adalah fentanyl. Fentanyl mempunyai efek
analgesia yang kuat, bersifat depresan terhadap susunan saraf pusat, tidak
berefek pada sistem kardiovaskular, dan berefek menekan respon sistem
hormonal dan metabolik akibat stres anestesia dan pembedahan, sehingga
kadar hormon katabolik dalam darah tetap stabil.
2) Induksi endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan
untuk :
a) Mempermudah pemberian anestesi
b) Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas
c) Mencegah kemungkinan aspirasi lambung
d) Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial
e) Pemakaian ventilasi yang lama
f) Mengatasi obstruksi laring akut.
3) Terapi cairan
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada
dewasa untuk operasi :
a) Ringan = 4 ml/kgBB/jam
b) Sedang = 6 ml / kgBB/jam
c) Berat = 8 ml / kgBB/jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10%
EBV (Estimate Blood Volume), maka cukup digantikan dengan cairan
kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih
dari 10%, maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran
dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang. EBV pada orang dewasa rata-rata
adalah 70 cc/kgBB.

4) Monitoring pasien
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi
adalah :
a) Frekuensi napas, kedalaman, dan karakter
b) Heart rate, nadi, dan kualitasnya
c) Warna membran mukosa, dan capillary refill time
d) Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
e) Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
f) Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
Monitoring tanda vital selama operasi biasanya dilakukan setiap 5 menit.
c. Post Operatif
1) Monitoring pasien
Segera setelah operasi, pasien akan dipindah ke post-anesthesia care unit
(PACU), biasa disebut dengan recovery room. Pasien yang dilakukan regional
anestesi, lebih mudah mengalami recovery dibandingkan dengan general
anestesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi sadar, sehingga komplikasi
yang terkait airway, breathing, dan circulation lebih minimal. Meskipun
demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan
frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil. Fungsi neuromuskuler harus
dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring tambahan berupa penilaian
nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual atau muntah, input
dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
2) Terapi cairan
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisitcairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
3) Pemindahan ke ruang rawat inap
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan
kriteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete
Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke
Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.

Obyek Kriteria Nilai


Aktivitas Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2
Mampu menggerakkan 2 ekstremitas 1
Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2
Sesak atau pernafasan terbatas 1
Henti nafas 0
Tekanan Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
darah Berubah 20-50% dari pra bedah 1
Berubah > 50% dari pra bedah 0
Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2
Sadar setelah dipanggil 1
Tak ada tanggapan terhadap rangsang 0
Warna kulit Kemerahan 2
Pucat agak suram 1
Sianosis 0
Nilai Total
Idealnya, pasien di-discharge ke ruang rawat inap bila total skor 10 atau
minimal 9, tanpa ada nilai 0 pada kriteria penilaian objektif.

8. Komplikasi
a. Komplikasi awal
1) Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Kompartement syndrom
Sindrom kompartemen berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika
tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen merupakan masalah yang
terjadi saat perfusi jaringan dalam otor kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Biasanya pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak.
Ada 5 tanda syndrome kompartemen, yaitu : pain (nyeri), pallor (pucat),
pulsesness (tidak ada nadi), parestesia (rasa kesemutan), dan paralysi
(kelemahan sekitar lokasi terjadinya syndrome kompartemen)
3) Fat embolism syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal
ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang
dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati
sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah,
marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
5) Avaskuler nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke
tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur
(yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan
menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang
terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada
pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat
menahan beban
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
7) Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks
tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau
hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk
melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi, luka tembak,
fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
b. Komplikasi dalam waktu lama
1) Delayed union (penyatuan tertunda)
Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
2) Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –
kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat
menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan
lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang
bersifat patologis..
3) Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan
deformitas, angulasi atau pergeseran.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian keperawatan
a. Identitas klien
Kaji nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, pekerjaan, kebangsaan, suku,
pendidikan, no register, dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Kaji keluhan pasien yang menyebabkan ia datang ke pelayanan kesehatan.
Biasanya klien dengan fraktur akan mengalami nyeri saat beraktivitas / mobilisasi
pada daerah fraktur tersebut.
c. Riwayat penyakit
1) Riwayat penyakit sekarang
Menggambarkan keluhan utama klien, kaji tentang proses perjalanan penyakit
sampai timbulnya keluhan, faktor apa saja yang memperberat dan
meringankan keluhan. Pada klien fraktur / patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma / kecelakaan, degeneratif dan pathologis yang didahului dengan
perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang mengakibatkan nyeri, bengkak,
kebiruan, pucat / perubahan warna kulit dan kesemutan.
2) Riwayat penyakit dahulu
Tanyakan masalah kesehatan yang lalu yang relavan baik yang berkaitan
langsung dengan penyakit sekarang maupun yang tidak ada kaitannya. Kaji
apakah pada klien fraktur pernah mengalami kejadian patah tulang atau tidak
sebelumnya dan ada / tidaknya klien mengalami pembedahan perbaikan dan
pernah menderita osteoporosis sebelumnya.
3) Riwayat penyakit keluarga
Kaji apakah pada keluarga klien ada / tidak yang menderita osteoporosis,
arthritis dan tuberkolosis atau penyakit lain yang sifatnya menurun dan
menular.
d. Pengkajian B6
1) B1 (Breathing)
Pengkajian yang berhubungan dengan sistem pernapasan yaitu apakah klien
mengalami batuk, sesak nafas, adakah produksi secret, serta adanya
penggunaan otot bantu pernafasan.
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular, meliputi tekanan darah, frekuensi
nadi, serta ada tidaknya tanda-tanda syok.
3) B3 (Brain)
Pengkajian pada sistem persarafan meliputi tingkat kesadaran, GCS, fungsi
serebri, pemeriksaan saraf cranial, sistem motorik, maupun pemeriksaan
refleks.
4) B4 (Bladder)
Pengkajian pada sistem perkemihan meliputi frekuensi BAK, karakteristik
urine, ada tidaknya kelainan, serta penggunaan alat bantu kencing (kateter).
5) B5 (Bowel)
Kaji ada tidaknya mual muntah karena peningkatan asam lambung, frekuensi
makan, frekuensi BAB, ada tidaknya kesulitan BAB, serta karakteristik feses.
6) B6 (Bone)
Kaji pergerakan sendi & tulang serta ada tidaknya fraktur maupun gangguan
lainnya.
e. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum: kesadaran, tanda – tanda vital, sikap, keluhan nyeri
2) Kepala: bentuk, keadaan rambut dan kepala, adanya kelainan atau lesi
3) Mata: bentuk bola mata, pergerakan, keadaan pupil, konjungtiva,dll
4) Hidung: adanya secret, pergerakan cuping hidung, adanya suara napas
tambahan, dll
5) Telinga: kebersihan, keadaan alat pendengaran
6) Mulut: kebersihan daerah sekitar mulut, keadaan selaput lendir, keadaan gigi,
keadaan lidah
7) Leher: pembesaran kelenjar/pembuluh darah, kaku kuduk, pergerakan leher
8) Thoraks: bentuk dada, irama pernapasan, tarikan otot bantu pernapasan,
adanya suara napas tambahan
9) Jantung: bunyi, pembesaran
10) Abdomen: bentuk, pembesaran organ, keadaan pusat, nyeri pada perabaan,
distensi
11) Ekstremitas: kelainan bentuk, pergerakan, reflex lutut, adanya edema
12) Alat kelamin : Kebersihan, kelainan
13) Anus : kebersihan, kelainan

2. Diagnosa keperawatan
Pre Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan
c. Defisit pengetahuan b.d keterbatasan kognitif
Intra Operatif :
a. Risiko syok yang dibuktikan oleh kehilangan cairan secara aktif
b. Risiko cedera yang dibuktikan oleh faktor eksternal : pemajanan peralatan dan
instrument, penggunaan obat anastesi
c. Risiko hipotermia perioperatif yang dibuktikan oleh prosedur pembedahan, suhu
lingkungan rendah
Post Operatif :
a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
b. Risiko infeksi yang dibuktikan oleh efek prosedur infasif
(SDKI, 2017)
3. Rencana keperawatan
Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
Keperawatan
1 Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Nyeri
pencedera fisik selama …. x … jam, diharapkan tidak 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
terjadi nyeri akut dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
Tingkat Nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
1. Tidak mengeluh nyeri 3. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
2. Tidak meringis 4. Monitor tanda – tanda vital
3. Tidak ada sikap protektif 5. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
4. Tidak gelisah (mis : TENS, hypnosis, akupresure, terapi music, biofeedback,
5. Tanda – tanda vital dalam batas terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90 hangat atau dingin, terapi bermain)
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR : 6. Fasilitasi istirahat dan tidur
16 – 20 x/menit) 7. Berikan analgetik, jika perlu
2 Ansietas b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan Reduksi Ansietas
kekhawatiran selama ... x … jam, diharapkan tidak 1. Monitor tanda – tanda ansietas (verbal & non verbal)
mengalami terjadi ansietas dengan kriteria hasil : 2. Monitor tanda tanda vital
kegagalan Tingkat Ansietas 3. Berikan terapi relaksasi napas dalam
1. Tidak tampak wajah kebingungan / 4. Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
khawatir 5. Kolaborasi pemberian obat antiansietas, jika perlu
2. Tidak gelisah
3. Tidak mengalami tremor
4. Tanda – tanda vital dalam batas
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR :
16 – 20 x/menit)
3 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Edukasi Kesehatan
b.d keterbatasan selama …x… jam, diharapkan tingkat 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
kognitif pengetahuan meningkat dengan kriteria 2. Identifikasi faktor – faktor yang dapat meningkatkan dan
hasil : menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat
1. Perilaku sesuai anjuran meningkat 3. Jelaskan faktor risiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
2. Kemampuan menjelaskan 4. Anjurkan perilaku hidup bersih dan sehat
pengetahuan tentang suatu topik 5. Edukasi pasien mengenai mekanisme dan prosedur pembedahan
meningka 6. Edukasi mengenai tujuan pembedahan
3. Perilaku sesuai dengan pengetahuan 7. Edukasi pasien mengenai efek samping yang mungkin terjadi
4. Pertanyaan tentang masalah yang setelah pembedahan
dihadapi menurun
5. Persepsi yang keliru terhadap
masalah menurun
6. Perilaku membaik

4 Risiko syok yang Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan Syok


dibuktikan oleh selama ….. x … jam, diharapkan tidak Pencegahan Perdarahan
kehilangan cairan terjadi syok dengan kriteria hasil : 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan
secara aktif Tingkat 2. Monitor nilai hematocrit / hemoglobin sebelum dan setelah
1. Kekuatan nadi normal kehilangan darah
2. Akral tidak dingin 3. Monitor koagulasi darah (PT, PTT, fibrinogen, degradasi fibrin
3. Mean arterial pressure normal (70 – dan/atau platelet)
105 mmHg) 4. Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan kekuatan nadi,
4. Tekanan darah sistolik normal (90 frekuensi napas, TD, MAP
130 mmHg) 5. Monitor status cairan (masukan dan haluan, turgor kulit, CRT)
5. Tekanan darah diastolic normal (60 6. Pasang jalur IV, jika perlu
90 mmHg) 7. Pasang kateter urine untuk menilai produksi urine, jika perlu
6. Pengisian kapiler normal 8. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
7. Frekuensi nadi normal (60 – 100 9. Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
x/mnt)
8. Frekuensi nafas normal (16 – 20
x/mnt)
5 Risiko cedera yang Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pencegahan Cedera
dibuktikan oleh selama ….. x … jam, diharapkan tidak 1. Identifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
faktor eksternal : terjadi cedera dengan kriteria hasil : 2. Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera
pemajanan peralatan Tingkat cedera 3. Pastikan roda tempat tidur atau kursi roda dalam kondisi terkunci
dan instrument, 1. Tidak ada kejadian cedera 4. Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan fasilitas
penggunaan obat 2. Tidak ada luka/lecet akibat kelalaian pelayanan kesehatan
anastesi 3. Tidak terjadi perdarahan berlebih (< 5. Lakukan prosedur pembedahan sesuai SOP
200 cc)
6 Risiko hipotermia Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Hipotermia
perioperatif yang selama … x ... jam, diharapkan tidak 1. Monitor suhu tubuh
dibuktikan oleh terjadi hipotermia dengan kriteria hasil : 2. Monitor tanda dan gejala hipotermia (hipotermia ringan: takipnea,
prosedur 1. Tidak menggigil disartria, menggigil, hipertensi, diuresis; hipotermia sedang:
pembedahan, suhu 2. Tidak mengalami akrosianosis aritmia, hipotensi, apatis, koagulopati, reflex menurun; hipotermia
lingkungan rendah 3. Tidak pucat berat: oliguria, reflex menghilang, edema paru, asam-basa
4. Tidak mengalami hipoksia abnormail)
5. Suhu tubuh normal (36.50c – 3. Lakukan penghangatan pasif (mis. selimut, menutup kepala,
36.50C) pakaian tebal)
4. Lakukan penghangatan aktif eksternal (mis.kompres hangat, botol
hangat, selimut hangat, perawatan metode kangguru)
5. Lakukan penghangatan aktif internal ( mis. infus cairan hangat,
oksigen hangat, lavase peritoneal dengan cairan hangat)
7 Risiko infeksi yang Setelah diberikan asuhan keperawatan Pencegahan Infeksi
dibuktikan oleh selama … x … jam, diharapkan tidak 2. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
prosedur invasive terjadi infeksi dengan kriteria hasil : 3. Monitor tanda – tanda vital
Tingkat Infeksi 4. Berikan perawatan kulit pada area edema
1. Tidak ada demam 5. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
2. Tidak ada kemerahan lingkungan pasien
3. Tidak ada nyeri 6. Pertahankan teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi
4. Tidak bengkak 7. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
5. Tidak ada cairan berbau busuk 8. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
6. Kadar sel darah putih normal 5000 – 9. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
10000 / uL)
7. Tanda – tanda vital dalam batas
normal (TD : 90 – 130 / 60 – 90
mmHg, N : 60 – 100 x/menit, RR :
16 – 20 x/menit, S : 36.50C –
37.50C)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC

Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 6. Jakarta: EGC.

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

Price, Sylvia A.; Wilson, Lorraine M.. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Smeltzer, Suzanne C. Brenda G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal Bedah 2, Edisi 8.


Jakarta : EGC.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Denpasar, …………. 2020
Nama Pembimbing / CI Nama Mahasiswa

……………………………….…… ……………………………………
NIP. NIM.

Nama Pembimbing / CT

...................................................................
NIP.

Anda mungkin juga menyukai