Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Oksigen merupakan kebutuhan dasar manusia menurut Hierarki Maslow.
Kekurangan oksigen dalam hitungan menit saja dapat mengancam jiwa seseorang,
oleh karena itu masalah kesehatan yang berpengaruh terhadap sistem pernapasan
(respiratori) menuntut asuhan keperawatan yang serius.
Pneumonia adalah salah satu penyakit peradangan akut parenkim paru yang
biasanya dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah akut (ISNBA) (Sylvia A. Price).
Pneumonia disebabkan oleh mikro-organisme (bakteri, virus, jamur, atau
parasit). Peradangan paru yang disebabkan oleh non-mikroorganisme (bahan kimia,
radiasi, toksin, obat-obatan) disebut pneumonitis. Peradangan ini terjadi pada bagian
paru yang khusus berfungsi sebagai pertukaran udara sehingga penderita pneumonia
mengalami gangguan pertukaran udara di paru.
Secara klinis, pneumonia dibagi menjadi pneumonia komuniti (didapat di
komunitas/di luar rumah sakit) dan pneumonia nosokomial (didapat di rumah sakit),
dimana mikro-organisme penyebab kedua jenis pneumonia tersebut berbeda.
Berdasarkan penyebab, pneumonia dibagi menjadi: pneumonia khas (disebabkan
bakteri tertentu), pneumonia tidak khas (bukan disebabkan bakteri tertentu),
pneumonia virus, pneumonia jamur, dan pneumonia parasit.
Gejala pneumonia yang berat dapat berupa kulit kebiruan, kejang, muntah
hebat, demam sangat tinggi, penurunan kesadaran, dan kegagalan organ. Pneumonia
berat dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti gagal nafas, gagal organ,
gangguan perdarahan, dan penyebaran infeksi ke otak, jantung atau seluruh tubuh
sampai kematian.
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan
gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001).
Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/menit. Bila lebih dari 20x/menit tindakan yang
dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi

1
sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20
ml/kg). Penyebab terpenting dari gagal nafas adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas.
Kegagalan pernapasan merupakan indikasi yang paling umum untuk dirawat di
unit pelayanan intensif (ICU) rumah sakit. Pegagalan napas merupakan kondisi
ketidakseimbangan atantara homeostasis dan karbon dioksida di dalam tubuh serta
ketidakmampuan paru menyediakan oksigen yang cukup atau mengurangi tumbukan
karbon dioksida di dalam tubuh. Menurut Ignatavicius (2006) dan Workman (2006),
kegagalan pernapasan lanjut dapat didefinisikan sebagai kegagalan ventilasi dan atau
kegagalan oksigenasi karena berbagai faktor penyebab.
Perawat harus membedakan antara gagal nafas akut dengan ekserbasi akut
gagal nafas kronis. Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang
parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Gagal nafas kronik adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru
kronik seperti bronchitis kronik, emfisema, dan penyakit paru hitam (penyakit
penambang batu bara). Pasien ini mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapnea yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut, paru biasanya
kembali pada keadaan awalnya. Pada gagal nafas kronis struktural, paru mengalami
kerusakan ireversibel. Penatalaksanaan mendasar dari kedua kondisi ini berbeda.
Penulis tertarik pada kasus pneumonia dan gagal nafas ini, dikarenakan
pneumonia berat dapat menyebabkan beberapa komplikasi yang salah satunya adalah
gagal nafas, dimana ini termasuk penyakit yang berbahaya dan apabila terlambat
dilakukan tindakan pertolongan maka akan menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan perawatan penumonia dan gagal nafas memerlukan suatu
keterampilan dan pengetahuan khusus serta penafsiran dan perencanaan maupun
melakukan tindakan harus dilakukan dengan cepat dan sistematis, oleh karena itu
pengetahuan perawat tentang apa dan bagaimana terjadinya pneumonia dan gagal
nafas sangat diperlukan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu permasalahan, adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah konsep dasar dari gagal nafas akut?

2
2. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan gagal nafas
akut?
3. Bagaimanakah konsep dasar dari pneumonia?
4. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan pneumonia?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui konsep dasar dari gagal nafas akut.
2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan gagal nafas
akut.
3. Untuk mengetahui konsep dasar dari pneumonia.
4. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan pneumonia.

D. Manfaat Penulisan
Setelah membaca makalah ini, mahasiswa mampu memahami konsep dasar dari
gagal nafas akut, konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan gagal nafas akut,
konsep dasar dari pneumonia dan konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan
pneumonia.

BAB 2
PEMBAHASAN

I. Gagal Nafas Akut


A. Konsep Dasar Gagal Nafas Akut
a. Pengertian
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang
adekuat disebabkan oleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Susan Martin T, 1997).

3
Gagal nafas adalah kegagalan sistem pernafasan untuk mempertahankan
pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan
gangguan pada kehidupan (RS Jantung “Harapan Kita”, 2001).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen
kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih
besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001).
Gagal napas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi
yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar
paru. Menurut Joy M. Black (2005), gagal napas adalah suatu keadaan yang
mengindikasikan adanya ketidakmampuan sistem respirasi untuk memenuhi suplai
oksigen untuk proses metabolisme atau tidak mampu untuk mengeluarkan
karbondioksida.
Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksemia primer, oleh karena
kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dari O2 dan karena daerah yang mengalami
hipoventilasi dapat dikompensasi dengan meningkatkan ventilasi bagian paru yang
normal. Hiperkapnia adalah proses gerakan gas keluar masuk paru yang tidak adekuat
(hipoventilasi global atau general) dan biasanya terjadi bersama dengan hipoksemia.

b. Etiologi
1) Depresi sistem saraf pusat
Akan mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang mengendalikan pernapasan, terletak dibawah batang otak (pons
dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal. Terjadi pada penggunaan
narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma, infark otak dan hipoksia berat
pada susunan saraf pusat.
2) Kelainan neurologis primer
Akan memengaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak terus ke

4
saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada saraf seperti
gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau pertemuan neuromuslular
yang terjadi pada pernapasan akan sangat mempengaruhi ventilasi. Terjadi pada
polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera spinal, fraktur servikal,
keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan gangguan metabolik seperti
alkalosis metabolik kronik yang ditandai dengan depresi saraf pernapasan.
3) Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun
ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran napas
bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar. Kelainan
ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut maupun obstruksi kronik.
Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar, spasme
larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada trakhea. Obstruksi
kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik, asma, COPD, cystic fibrosis,
bronkhiektasis terutama yang disertai dengan sepsis. Efusi pleura, hemotoraks
dan pneumothoraks merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui
penghambatan ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru
yang mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat menyebabkan
gagal nafas.

4) Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan perdarahan
dari hidung dan mulut dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas atas dan
depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan fraktur tulang iga dapat
terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas. Flail chest dapat terjadi dan dapat
mengarah pada gagal nafas. Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi
yang mendasar.
5) Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau pnemonia
diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengiritasi dan materi lambung yang

5
bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru dan edema paru adalah
beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal nafas.
6) Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan minute
volume (mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering terjadi
pada guillain bare syndrome, distropi muskular, miastenia gravis, kiposkoliosis,
dan obesitas.
7) Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas hipoksemia,
seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS, fibrosis paru,
emfisema, emboli lemak, pneumonia, tumor paru, aspirasi, perdarahan masif
pulmonal.
8) Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace (ruang rugi), seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.

c. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah
gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema
dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalami toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali normal. Pada gagal nafas kronik struktur paru
alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari 20x/mnt tindakan yang
dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi

6
sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20
ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat, dimana
terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan
terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi,
cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia
mempunyai kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan
tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang
dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia atau
dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

d. Pathway
Etiologi (bronkiolitis, status
Penurunan respon asmatikus, pneumonia, kelainan
Permeabilitas membran
pernapasan dan otot neurologis, trauma/obstruksi
alveolar kapiler
pernapasan jalan napas

Gang.epithelium alveolar
Intoleransi Aktivitas
Penumpukan cairan alveoli

Ketidakefekti Kelelahan, diaporosis, Ketidakefektifan Pola


fan Bersihan Oedema pulmo sianosis Nafas
Jalan Nafas

Penurunan complain paru Kerja napas meningkat Gangguan Pertukaran


Gas
7
Cairan sulfaktan menurun Gangguan pengembangan
paru (atelaktasis), kolaps Hipoventilasi alveoli
alveoli

Gang.difusi dan retensi CO2

Hipoksia jaringan

Otak Kardiovaskuler Hipoksemia dan


hiperkapnia
Mekanisme kompensasi (peningkatan
Sel otak mati
tekanan darah dan heart rate)
O2↓ dan CO2↓,
dyspneu, sianosis
↑ tekanan intrakranial Dekompensasi (↓TD
dan CO, bradikardi)
Tindakan primer : BHD
Kejang, pusing,
gelisah, penurunan ↓ curah jantung
kesadaran Ventilasi mekanik
Gagal jantung

Kardio respirasi arest

e. Klasifikasi Risiko Infeksi Risiko Cedera


1) Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :
a) Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan kadar
PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal ini
disebabkan karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus, O2 yang
tersisih di alveolar dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena itu biasanya
diperoleh hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-sama, kecuali udara
inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan nilai pH tergantung pada level
dari bikarbonat dan juga lamanya kondisi hiperkapneu.
b) Gagal napas hipoksemia

8
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi nilai
PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang membedakannya
dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah utamanya pada hipoventilasi
alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih sering dijumpai daripada gagal napas
hiperkapneu.

2) Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :


a) Gagal napas akut

Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai
dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi
peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul pada pasien yang
keadaan parunya normal secara struktural maupun fungsional sebelum
awitan penyakit timbul.
b) Gagal napas kronik

Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan emfisema. Pasien
akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapneu yang
memburuk secara bertahap.

3) Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :


a) Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2 akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema paru ini
terjadi akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya sehingga terjadi
peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke interstisial dan alveoli paru.
Terdapat beberapa penyakit kardiovaskuler yang mendorong
terjadinya disfungsi miokard dan peningkatan left ventricel end diastolic
volume (LVEDV) dan left ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang

9
menyebabkan mekanisme backward-forward. Penyakit yang menyebabkan
disfungsi miokard :
(1) Infark miokard
(2) Kardiomiopati
(3) Miokarditis
Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
(1) Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan
coartasio aorta
(2) Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta insufisiensi,
ASD, dan VSD.
(3) Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid
insufisiensi.
b) Nonkardiak
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah maupun di
pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat disebabkan oleh
obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorak, dan ARDS.

f. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari gagal napas adalah nonspesifik dan mungkin minimal,
walaupun terjadi hipoksemia, hiperkarbia dan asidemia yang berat. Tanda utama dari
kegagalan pernapasan adalah penggunaan otot bantu napas, takipnea, takikardia,
menurunnya tidal volume, pola napas irreguler atau terengah-engah (gasping) dan
gerakan abdomen yang paradoksal. Hipoksemia akut dapat menyebabkan berbagai
masalah termasuk aritmia jantung dan koma. Terdapat gangguan kesadaran berupa
konfusi. PaO2 rendah yang kronis dapat ditoleransi oleh penderita yang mempunyai
cadangan kerja jantung yang adekuat. Hipoksia alveolar (PaO 2 < 60 mmHg) dapat
menyebabkan vasokonstriksi arteriolar paru dan meningkatnya resistensi vaskuler
paru dalam beberapa minggu sampai berbulan-bulan, menyebabkan hipertensi
pulmonal, hipertrofi jantung kanan (cor pulmonale) dan pada akhirnya gagal jantung
kanan. Hiperkapnia dapat menyebabkan asidemia. Menurunnya pH otak yang akut
meningkatkan drive ventilasi. Dengan berjalannya waktu, kapasitas buffer di otak

10
meningkat, dan akhirnya terjadi penumpukan terhadap rangsangan turunnya pH di
otak akibatnya drive tersebut akan menurun.
Efek hiperkapnia akut kurang dapat ditoleransi daripada yang kronis, yaitu
berupa gangguan sensorium dan gangguan personalia yang ringan, nyeri kepala,
sampai konfusi dan narkosis. Hiperkapnia juga menyebabkan dilatasi pembuluh darah
otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Asidemia yang terjadi bila (pH < 7,3)
menyebabkan vasokonstriksi arteriolar paru, dilatasi vaskuler sistemik, kontraktilitas
miokard menurun, hiperkalemia, hipotensi dan kepekaan jantung meningkat sehingga
dapat terjadi aritmia yang mengancam nyawa.
Manifestasi klinis gagal napas hipoksemia diperburuk oleh adanya gangguan
hantaran oksigen ke jaringan. Hal-hal yang dapat menyebabkan penurunan oksigen
delivery, antara lain:
1) Penurunan konsentrasi O2
Penurunan konsentrasi O2 terjadi karena penurunan saturasi haemoglobin akibat
berkurangnya PaO2 atau bergesernya kurva disosiasi oksihaemoglobin ke kanan.
2) Anemia
Ikatan antara CO dengan Hb lebih kuat daripada ikatan O 2 dengan Hb, sehingga
menyebabkan kesulitan untuk melepas O2 ke jaringan.

3) Penurunan curah jantung


Penurunan curah jantung tergantung dari aliran balik vena sistemik, fungsi
ventrikel kanan dan kiri, resistensi pulmonal dan sistemik, serta frekuensi denyut
jantung.
Selain itu, tanda dan gejala yang muncul pada gagal napas yaitu aliran udara di
mulut dan hidung tidak dapat dirasakan. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi
supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada saat inspirasi.
Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan dan
terdengar suara napas tambahan gargling, snoring, wheezing.

g. Pemeriksaan Diagnostik
1) Analisa gas darah

11
Membedakan gambaran kemajuan hipoksemia (penurunan PaO2 meskipun
inspirasi meningkat). Hiperkarbia dapat terjadi pada tahap awal berhubungan
dengan kompensasi hiperventilasi. Hiperkrbia menunjukkan kegagalan ventilasi.
a) Hb : dibawah 12 gr%
b) Analisa gas darah :
pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
PaO2 di bawah 80 atau di atas 100 mmHg
PaCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
BE di bawah -2 atau di atas +2
c) Saturasi O2 kurang dari 90 %
2) Sinar X (foto thorax)
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui. Terdapat gambaran akumulasi udara/cairan, dapat terlihat perpindahan
letak mediastinum.
3) Tes fungsi paru
Menunjukkan complain paru dan volume paru menurun.

4) EKG
Memperlihatkan bukti-bukti regangan jantung di sisi kanan atau menunjukkan
disritmia.
5) Pemeriksaan saturasi oksigen
Memadainya tekanan oksigen dalam darah arteri, PaO2 diharapkan dihitung dari
persamaan gas alveolar ketika pasien bernafas dengan FiO 2 yang lebih tinggi dari
udara biasa.

12
h. Penatalaksanaan
1) Jalan nafas
Jalan nafas sangat penting untuk ventilasi, oksigen, dan pemberian obat-obatan
pernapasan dan harus diperiksa adanya sumbatan jalan nafas. Pertimbangan
untuk insersi jalan nafas artificial seperti ETT berdasarkan manfaat dan resiko
jalan napas artificial dibandingkan jalan napas alami. Keuntungan jalan napas
artificial adalah dapat melintasi jalan napas bagian atas, menjadi rute pemberian
oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif dan PEEP .
memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute untuk bronkhoskopi.
2) Oksigen
Besarnya aliran oksigen tambahan yang diperlukan tergantung dari mekanisme
hipoksemia dan tipe alat pemberi oksigen. CPAP (Continous Positive Airway
Pressure ) sering menjadi pilihan oksigenasi pada gagal napas akut. CPAP
bekerja dengan memberikan tekanan positif pada saluran pernapasan sehingga
terjadi peningkatan tekanan transpulmoner dan inflasi alveoli optimal. Tekanan
yang diberikan ditingkatkan secara bertahap mulai dari 5 cm H 2O sampai
toleransi pasien dan penurunan skor sesak serta frekuensi napas tercapai.
3) Bronkhodilator
Bronkhodilator mempengaruhi kontraksi otot polos, tetapi beberapa jenis
bronkhodilator mempunyai efek tidak langsung terhadap oedema dan inflamasi.
Bronkhodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruksi, tetapi
peningkatan resistensi jalan nafas juga banyak ditemukan pada penyakit paru
lainnya.
4) Agonis beta-adrenergik
Obat-obatan ini lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan
secara parenteral atau oral.
5) Antikolinergik
Respon bronkhodilator terhadap antikolinergik tergantung pada derajat tonus
parasimpatis intrinsik.
6) Kortikosteroid

13
Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak
diketahui secara pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi.
7) Fisioterapi dada dan nutrisi
Merupakan aspek penting yang perlu diintegrasikan dalam tatalaksana
menyeluruh gagal nafas.
8) Pemantauan hemodinamik
Meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung tekanan darah
sistemik, tekanan vena central, dan penentuan hemodinamik yang lebih invasif.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gagal Nafas Akut


Pengkajian
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau
peningkatan frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran secara
menyeluruh apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan apakah tampak
mengalami kesukaran bernafas. Perlu diperhatikan juga apakah klien berubah
menjadi sensitif dan cepat marah (iritability), tanpak bingung (confusion), atau
mengantuk (somnolen). Yang tak kalah penting ialah kemampuan orientasi klien
terhadap tempat dan waktu. Hal ini perlu diperhatikan karena gangguan funngsi paru
akut dan berat sering direfeksikan dalam bentuk perubahan status mental. Selain itu,
gangguan keadaan sering pula dihubungkan dengan hipoksemia, hiperkapnea, dan
asidemia karena gas beracun. Selain itu kaji riwayat penyakit masa lalu, riwayat
penyakit keluarga, lingkungan serta habits/ kebiasaan.
Pengkajian kegawatdaruratan pada gagal nafas akut dengan metode ABCDE
a. Airway
1) Peningkatan sekresi pernafasan.
2) Bunyi nafas krekles ronki dan mengi.
b. Breating
1) Distress pernafasan : pernafasan cupping hidung, takipneu/bradipneu retraksi.
2) Menggunakan otot aksesori pernafasan.
3) Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.

14
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardi.
2) Sakit kepala.
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental, mengantuk.
4) Papiledema.
5) Penurunan haluan urine.
Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : kekurangan energy, insomnia
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya bedah jantung paru, fenomena embolik (darah, udara,
lemak)
Tanda :
TD : dapat normal atau meningkat pada awal (berlangjut menjadi hipoksia) ;
hipotensi terjadi pada tahap lanjut (syok) atau dapat faktor pencetus seperti pada
eklampsia.
Frekuensi jantung : takikardi biasanya ada
Bunyi jantung : normal pada tahap dini ; S2 (komponen paru) dapat terjadi
c. Integritas Ego
Gejala : ketakutan, ancaman perasaan takut
Tanda : gelisah, agitasi, gemetar, mudah terangsang, perubahan mental
d. Makanan / cairan
Gejala : kehilangan selera makan, mual
Tanda : edema atau perubahan berat badan, hilang atau berkurangnya bunyi usus
e. Neurosensori
Gejala/tanda : adanya trauma kepala, mental lamban, disfungsi motor.
f. Pernafasan
Gejala : adanya aspirasi atau tenggelam, inhalasi asap atau gas, infeksi difus
paru. Timbul tiba – tiba atau bertahap, kesulitan nafas, lapar udara.
Tanda:

15
1) Pernafasan : cepat, mendengkur, dangkal.
2) Bunyi nafas : pada awal normal, ronki, dan dapat terjadi bunyi nafas
bronchial.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan hilangnya fungsi jalan
nafas, peningkatan sekret dan oedema pada pulmonal, peningkatan resistensi
jalan nafas
2) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan peningkatan kerja pernafasan
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi yang tidak adekuat
ditandai dengan ketidakcocokan ventilasi atau perfusi dengan peningkatan ruang
mati dan pirau intrapulmonal
4) Intoleransi aktivitas b.d kelemahan umum sekunder dan peningkatan laju
metabolisme.
5) Risiko cidera berhubungan dengan penggunaan ventilasi mekanik
6) Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan selang ET dengan kondisi lemah

16
c. Intervensi Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
No Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC)
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas Setelah dilakukan tindakan Airway Management
Batasan Karakteristik : □ Buka jalan nafas menggunakan
keperawatan ..x.. jam diharapkan
□ Batuk yang tidak efektif head tilt chin lift atau jaw thrust
mampu mempertahankan kebersihan
□ Dispnea bila perlu
jalan nafas dengan kriteria :
□ Posisikan pasien untuk
□ Gelisah NOC :
Respiratory status : Airway Patency memaksimalkan ventilasi
□ Kesulitan verbalisasi
□ Respirasi dalam batas normal □ Identifikasi pasien perlunya
□ Mata terbuka lebar □ Irama pernafasan teratur
pemasangan alat jalan nafas buatan
□ Kedalaman pernafasan normal
□ Ortopnea
□ Tidak ada akumulasi sputum (NPA, OPA, ETT, Ventilator)
□ Penurunan bunyi nafas □ Batuk berkurang/hilang □ Lakukan fisioterpi dada jika perlu
□ Bersihkan secret dengan suction
□ Perubahan frekuensi nafas
bila diperlukan
□ Perubahan pola nafas
□ Auskultasi suara nafas, catat
□ Sianosis
adanya suara tambahan
□ Sputum dalam jumlah yang
□ Kolaborasi pemberian oksigen
berlebihan
□ Kolaborasi pemberian obat
□ Suara nafas tambahan
bronkodilator
□ Tidak ada batuk
□ Monitor RR dan status oksigenasi
Faktor yang berhubungan :
(frekuensi, irama, kedalaman dan
Lingkungan :

17
□ Perokok usaha dalam bernapas)
□ Perokok pasif □ Anjurkan pasien untuk batuk efektif
□ Terpajan asap □ Berikan nebulizer jika diperlukan
Obstruksi jalan nafas : Asthma Management
□ Adanya jalan nafas buatan □ Tentukan batas dasar respirasi
□ Benda asing dalam jalan nafas
sebagai pembanding
□ Eksudat dalam alveoli
□ Bandingkan status sebelum dan
□ Hiperplasia pada dinding
selama dirawat di rumah sakit
bronkus
□ Mukus berlebih untuk mengetahui perubahan status
□ Penyakit paru obstruksi kronis
pernapasan
□ Sekresi yang tertahan
□ Monitor tanda dan gejala asma
□ Spasme jalan nafas
□ Monitor frekuensi, irama,
Fisiologis :
□ Asma kedalaman dan usaha dalam
□ Disfungsi neuromuskular
bernapas
□ Infeksi
□ Jalan nafas alergik
2. Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan NIC
Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam diharapkan pola Oxygen Therapy
□ Bradipnea nafas pasien teratur dengan kriteria : □ Bersihkan mulut, hidung dan secret
□ Dispnea NOC : trakea
□ Pertahankan jalan nafas yang paten
□ Fase ekspirasi memanjang Respiratory status : Ventilation
□ Siapkan peralatan oksigenasi
□ Ortopnea □ Respirasi dalam batas normal □ Monitor aliran oksigen
□ Monitor respirasi dan status O2
□ Penggunaan otot bantu (dewasa: 16-20x/menit)
□ Pertahankan posisi pasien
□ Irama pernafasan teratur

18
pernafasan □ Kedalaman pernafasan normal □ Monitor volume aliran oksigen dan
□ Suara perkusi dada normal
□ Penggunaan posisi tiga titik jenis canul yang digunakan.
(sonor) □ Monitor keefektifan terapi oksigen
□ Peningkatan diameter anterior-
□ Retraksi otot dada
yang telah diberikan
posterior □ Tidak terdapat orthopnea
□ Observasi adanya tanda tanda
□ Taktil fremitus normal antara
□ Penurunan kapasitas vital
hipoventilasi
dada kiri dan dada kanan
□ Penurunan tekanan ekspirasi □ Monitor tingkat kecemasan pasien
□ Ekspansi dada simetris
□ Penurunan tekanan inspirasi □ Tidak terdapat akumulasi yang kemungkinan diberikan terapi
□ Penurunan ventilasi semenit sputum O2
□ Tidak terdapat penggunaan
□ Pernafasan bibir
otot bantu napas
□ Pernafasan cuping hidung
□ Pernafasan ekskursi dada
□ Pola nafas abnormal (mis.,
irama, frekuensi, kedalaman)
□ Takipnea
Faktor yang berhubungan
□ Ansietas
□ Cedera medulaspinalis
□ Deformitas dinding dada
□ Deformitas tulang
□ Disfungsi neuromuskular
□ Gangguan muskuluskeletal
□ Gangguan Neurologis

19
(misalnya :
elektroenselopalogram(EEG)
positif, trauma kepala,
gangguan kejang)
□ Hiperventilasi
□ Imaturitas neurologis
□ Keletihan
□ Keletihan otot pernafasan
□ Nyeri
□ Obesitas
□ Posisi tubuh yang menghambat
ekspansi paru
□ Sindrom hipoventilasi
3. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan NIC
Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam diharapkan hasil Acid Base Management
□ Diaforesis AGD pasien dalam batas normal □ Pertahankan kepatenan jalan nafas
□ Dispnea dengan kriteria hasil : □ Posisikan pasien untuk
□ Gangguan pengelihatan NOC: mendapatkan ventilasi yang
□ Gas darah arteri abnormal Respiratory status: Gas Exchange adekuat(mis., buka jalan nafas dan
□ Gelisah □ PaO2 dalam batas normal (80- tinggikan kepala dari tempat tidur)
□ Hiperkapnia 100 mmHg) □ Monitor hemodinamika status
□ Hipoksemia □ PaCO2 dalam batas normal (CVP & MAP)
□ Hipoksia (35-45 mmHg) □ Monitor kadar pH, PaO2, PaCO2,

20
□ Iritabilitas □ pH normal (7,35-7,45) dan HCO3 darah melalui hasil
□ Konfusi □ SaO2 normal (95-100%) AGD
□ Nafas cuping hidung □ Tidak ada sianosis □ Catat adanya asidosis/alkalosis
□ Penurunan karbon dioksida □ Tidak ada penurunan yang terjadi akibat kompensasi
□ pH arteri abnormal kesadaran metabolisme, respirasi atau
□ Pola pernafasan abnormal keduanya atau tidak adanya
(mis., kecepatan, irama, kompensasi
kedalaman) □ Monitor tanda-tanda gagal napas
□ Sakit kepala saat bangun □ Monitor status neurologis
□ Sianosis □ Monitor status pernapasan dan
□ Somnolen status oksigenasi klien
□ Takikardia □ Atur intake cairan
□ Warna kulit abnormal (mis., □ Auskultasi bunyi napas dan adanya
pucat, kehitaman ) suara napas tambahan (ronchi,
Faktor yang berhubungan : wheezing, krekels, dll)
□ Ketidakseimbangan ventilasi- □ Kolaborasi pemberian nebulizer,
perfusi jika diperlukan
□ Perubahan membran alveolar-
□ Kolaborasi pemberian oksigen, jika
kapiler
diperlukan.

21
4. Intoleransi Aktivitas NOC: NIC:
Batasan Karakteristik :
Energy conservation Activity Therapy
□ Respon tekanan darah
Activity tolerance □ Kolaborasikan dengan tenaga
abnormal terhadap aktivitas
Self care : ADLs rehabilitasi medik dan
□ Respon frekuensi jantung
□ Berpartisipasi dalam aktivitas merencanakan program terapi yang
abnormal terhadap aktivitas
fisik tanpa disertai peningkatan tepat
□ Perubahan EKG yang
tekanan darah, nadi dan RR □ Bantu klien untuk mengidentifikasi
mencerminkan aritmia
□ Mmapu melakukan aktivitas aktivitas yang mampu dilakukan
□ Perubahan EKG yang
sehari-hari (ADLs) secara □ Bantu untuk memilih aktivitas
mencerminkan iskemia
mandiri konsisten yang sesuai dengan
□ Ketidaknyamanan setelah
□ Tanda tanda vital normal kemampuan fisik, psikologikal dan
beraktivitas
□ Energy psikomotor sosial
□ Dispnea setelah beraktivitas
□ Level kelemahan □ Bantu untuk mengidentifikasi dan
□ Menyatakan merasa letih
□ Mampu berpindah dengan atau mendapatkan sumber yang
□ Menyatakan merasa lemah
tanpa bantuan alat diperlukan untuk aktivitas yang
Faktor yang berhubungan :
□ Status kardiopulmunari diinginkan
□ Tirah baring atau imobilisasi
adekuat □ Bantu untuk mendapatkan alat
□ Kelemahan umum
□ Sirkulasi status baik bantuan aktivitas seperti kursi roda,
□ Ketidakseimbangan antara
□ Status respirasi pertukaran gas krek
suplai dan kebutuhan oksigen
dam ventilasi adekuat □ Bantu untuk mengidentifikasi

22
□ Imobilitas aktivitas yang disukai
□ Gaya hidup monoton □ Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan di waktu luang
□ Bantu pasien atau keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
□ Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
□ Bantu pasien untuk
mengembangkan motivasi diri dan
penguatan
□ Monitor respon fisik, emosional,
sosial dan spiritual
5. Risiko Cedera NOC: NIC:
Faktor risiko : Risk Control Environment Management (Manajemen
□ Eksternal □ Klien terbebas dari cedera Lingkungan)
- Biologis (misal : tingkat □ Klien mampu menjelaskan □ Sediakan lingkungan yang aman
imunisasi komunitas, cara/metode untuk mencegah untuk pasien
mikroorganisme) injury/cedera □ Identifikasi kebutuhan keamanan
- Zat kimia (misal : racun, □ Klien mampu menjelaskan pasien, sesuai dengan kondisi fisik

23
polutan, obat, agenens faktor risiko dari dan fungsi kognitif pasien dan
farmasi, alkohol, nikotin, lingkungan/perilaku personal riwayat penyakit terdahulu pasien
pengawet, kosmetik, □ Mampu memodifikasi gaya □ Menghindarkan lingkungan yang
perwarna) hidup untuk mencegah injury berbahaya (misalnya memindahkan
- Manusia (misal : agens □ Menggunakan fasilitas perabotan)
nosokomial, pola kesehatan yang ada □ Memasang side rail di tempat tidur
ketegangan atau faktor □ Mampu mengenali perubahan □ Menyediakan tempat tidur yang
kognitif, afektif dan status kesehatan nyaman dan bersih
psikomotor) □ Menempatkan saklar lampu di
- Cara pemindahan / tempat yang mudah dijangkau
transpor pasien
- Nutrisi (misal : desain, □ Membatasi pengunjung
struktur dan pengaturan □ Menganjurkan keluarga untuk
komunitas, bangunan, menemani pasien
dan / atau peralatan □ Mengontrol lingkungan dari
□ Internal kebisingan
- Profil darah yang □ Memindahkan barang-barang yang
abnormal (misal : dapat membahayakan
leukositosis / leukopenia, □ Berikan penjelasan pada pasien dan
gangguan faktor keluarga atau pengunjung adanya

24
koagulasi, perubahan status kesehatan dan
trombositopenia, sel sabit, penyebab penyakit
talasemia, penurunan
hemoglobin)
- Disfungsi biokimia
- Usia perkembangan
(fisiologis, psikososial)
- Disfungsi efektor
- Disfungsi imun-autoimun
- Disfungsi integratif
- Malnutrisi
- Fisik (misal : integritas
kulit tidak utuh, gangguan
mobilitas)
- Psikologis (orientasi
afektif)
- Disfungsi sensorik
- Hipoksia jaringan

6. Risiko Infeksi NOC: NIC:

25
Faktor-faktor risiko : Immune status Infection control (control infeksi)
Knowledge : infection control
□ Penyakit kronis □ Bersihkan lingkungan setelah
Risk control
- Diabetes melitus dipakai pasien lain
Kriteria Hasil :
- Obesitas □ Pertahankan teknik isolasi
□ Klien bebas dari tanda dan
□ Pengetahuan yang tidak cukup □ Batasi pengunjung bila perlu
gejala infeksi
untuk menghindari pemajanan □ Instruksikan pada pengunjung
□ Mendeskripsikan proses
pathogen untuk mencuci tangan saat
penularan penyakit, faktor
□ Pertahanan tubuh primer yang berkunjung dan setelah berkunjung
yang mempengaruhi penularan
tidak adekuat meninggalkan pasien
serta penatalaksanaannya
- Gangguan peristalsis □ Gunakan sabun antimikrobia untuk
□ Menunjukkan kemampuan
- Kerusakan integritas kulit cuci tangan
untuk mencegah timbulnya
(pemasangan kateter □ Cuci tangan setiap sebelum dan
infeksi
intravena, prosedur sesudah tindakan keperawatan
□ Jumlah leukosit dalam batas
invasive) □ Gunakan baju, sarung tangan
normal
- Perubahan sekresi Ph sebagai alat pelindung
□ Menunjukkan perilaku hidup
- Penurunan kerja siliaris □ Pertahankan lingkungan aseptic
sehat
- Pecah ketuban dini selama pemasangan alat
- Pecah ketuban lama □ Ganti letak IV perifer dan line
- Merokok central dan dressing sesuai dengan
- Stasis cairan tubuh petunjuk umum

26
- Trauma jaringan (mis, □ Gunakan kateter intermiten untuk
trauma destruksi jaringan) menurunkan infeksi kandung
□ Ketidakadekuatan pertahanan kencing
sekunder □ Tingkatkan intake nutrisi
- Penurunan hemoglobin □ Berikan terapi antibiotic bila perlu
- Imunosupresi (mis, infection protection (proteksi
imunitas didapat tidak terhadap infeksi)
adekuat, agen □ Monitor tanda dan gejala infeksi
farmaseutikal termasuk sistemik dan local
imunosupresan, steroid, □ Monitor hitung granulosit, WBC
antibody monoclonal, □ Monitor kerentanan terhadap
imunomodulator) infeksi
- Supresi respon inflamasi □ Batasi pengunjung
□ Vaksinasi tidak adekuat □ Sharing pengunjung terhadap
□ Pemajanan terhadap pathogen penyakit menular
lingkungan meningkat □ Pertahankan teknik asepsis pada
- Wabah pasien yang beresiko
□ Prosedur invasive □ Pertahankan teknik isolasi kalau
□ Malnutrisi perlu
□ Berikan perawatan kulit pada area

27
epidema
□ Inspeksi kulit dan membrane
mukosa terhadap kemerahan, panas
drainase
□ Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
□ Dorong masukan nutrisi yang
cukup
□ Dorong masukan cairan
□ Dorong istirahat
□ Instruksikan pasien untuk minum
antibiotic sesuai resep
□ Ajarkan pasien dan keluarga tanda
dan gejala infeksi
□ Ajarkan cara menghindari infeksi
□ Laporkan kecurigaan infeksi
□ Laporkan kultur positif

28
II. Pneumonia
A. Konsep Penyakit Pneumonia
a. Pengertian
Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang umumnya disebabkan
oleh agens infeksius (Keperawatan Medikal-Bedah, 2002). Pneumonia adalah
peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. ( Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2
edisi ketiga). Pneumonia adalah Suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-
macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (FKUI).
Pneumonia adalah penyakit umum yang terjadi pada semua kelompok umur
dan merupakan penyebab utama kematian di antara orang tua dan orang-orang
dengan penyakit kronis. Selain itu, pneumonia juga merupakan penyebab utama
kematian pada anak di bawah lima tahun di seluruh dunia. Terjadinya pneumonia
pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa
disebut bronchopneumonia). (News Medical, 2012).

Gambar 1. (a) Foto sinar-X yang menampilkan paru-paru pengidap radang paru-
paru, (b) Peradangan Pada Alveoli (Google image, 2012)

Dapat disimpulkan Pneumonia adalah salah satu penyakit peradangan akut


parenkim paru yang biasanya dari suatu infeksi saluran pernapasan bawah akut
(ISNBA) dengan gejala batuk dan disertai dengan sesak nafas yang disebabkan oleh
agen infeksius seperti virus, bakteri, mycoplasma (fungi), dan aspirasi substansi
asing, berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi yang dapat dilihat melalui
gambaran radiologis.

b. Etiologi atau Penyebab

29
Penyebab pneumonia adalah invasi pagoten ke paru-paru dan menghasilkan
eksudat yang bercampur dengan penghantaran oksigen ke alveolus dan pemindahan
karbondioksida. Berikut adalah faktor penyebab terjadinya Pneumonia :
1. Bacteria : Diplococcus Pneumonia, Penumococcus, Streptococcus Hemolyticus,
Streptococcus Aureus,, Hemophilus Influinzae, Mycobacterium Tuberkulosis,
Bacillus Friedlander.
2. Virus : Respiratory Syncytial Virus, Adeno virus, V.Sitomegalitik, V.Influenza
3. Mycoplasma Pneumonia
4. Jamur :Histoplasma Capsulatum, Cryptococcus Neuroformans, Blastomyces
Dermatitides, Coccidodies Immitis, Aspergilus Species, Candida Albicans.
5. Aspirasi : Makanan, Kerosene (bensin, minyak tanah), Cairan Amnion, benda
asing.
6. Pneumonia Hipostatik
7. Sindrom Loeffler
Salah satu contoh penyebaran infeksi terjadi melalui droplet dan sering
disebabkan oleh Streptokoccus Pneumonia, melalui selang infuse oleh
Staphylococcus Aureus sedangkan pada pemakaian ventilator oleh P.Aeruginosa dan
Enterobacter.
Menurut (Smeltzer, 2001) etiologi pneumonia, meliputi :
a. Pneumonia bakterial
Penyebab yang paling sering: Streptoccocus pneumonia
Jenis yan lain :
- staphiloccocus aureus menyebakan pneumonia stapilokokus
- Klebsiella pnemoniae menyebabkan pneumonia klebsiella
- Pseudomonas aerugilnosa menyebabkan pneumonia pseudomonas
- Haemophilus influenzae menyebabkan Haemophilus influenza
b. Pneumonia atipikal
Penyebab paling sering :
- Mycoplasma penumoniae menyebabkan pneumonia mikoplasma
Jenis lain :

30
- Legionella pneumophila menyebakan penyakit legionnaires
- Mycoplasma penumoniae menyebabkan pneumonia mikoplasma
- Virus influenza tipe A, B, C menyebakan pneumonia virus
- Penumocyctis carini menyebakan pneumonia pnemosistis carinii (PCP)
- Aspergillus fumigates menyebakan pneumonia fungi
- Cipittaci menyebabkan pneumonia klamidia (pneumonia TWAR)
- Mycobacterium tuberculosis menyebabkan tuberculosis
(Smeltzer, 2001 : 568-570).
c. Pneumonia juga disebabkan oleh terapi radiasi (terapi radisasi untuk kanker
payudara/paru) biasanya 6 minggu atau lebih setelah pengobatan selesai ini
menyebabkan pneumonia radiasi. Bahan kimia biasanya karena mencerna
kerosin atau inhalasi gas menyebabkan pneumonitis kimiawi (Smeltzer, 2001 :
572). Karena aspirasi/inhalasi (kandungan lambung) terjadi ketika refleks
jalan nafas protektif hilang seperti yang terjadi pada pasien yang tidak sadar
akibat obat-obatan, alkohol, stroke, henti jantung atau pada keadaan selang
nasogastrik tidak berfungsi yang menyebabkan kandungan lambung mengalir
di sekitar selang yang menyebabkan aspirasi tersembunyi. ( Smeltzer,
2001:637)

c. Klasifikasi
1 Klasifikasi berdasarkan anatomi :
a. Pneumonia Lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau
lebih lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai Pneumonia
Bilateral atau “ganda”.
b. Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung akhir
bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk
bercak konsolidasi dalam lobus yang berada didekatnya, sehingga disebut
juga Pneumonia Loburalis.
c. Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang terjadi di dalam
dinding alveolar (interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.
2. Klasifikasi berdasarkan inang dan lingkungan :

31
a. Pneumonia Komunitas, dijumpai pada H.Influenza pada pasien perokok,
patogen atipikal pada lansia, gram negative pada pasien dari rumah jompo,
dengan adanya PPOK, penyakit penyerta Kardiopulmunal atau jamak, atau
paska terapi antibiotika spectrum luas.
b. Pneumonia Nosokomial, faktor resiko Pneumonia yang didapat dari Rumah
Sakit, menurut Morton :
1) Faktor resiko terkait-pejamu : PPOK, penyakit berat, malnutrisi, Syok,
trauma tumpul, merokok.
2) Faktor resiko terkait pengobatan : ventilasi mekanik, bronkoskopi, selang
nasogastric, terapi antibiotic sebelumnya, peningkatann pH lambung,
pemberian makanan enteral, pembedahan kepala, pembedahan thorax atau
abdomen atas.
3) Faktor resiko terkait infeksi : mencuci tangan kurang bersiih, mengganti
selang ventilator kurang dari 48 jam sekali.
c. Pneumonia Aspirasi, disebabkan oleh infeksi kuman, Pneumotitis kimia akibat
aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya cairan makanan
atau lambung, edema paru, dan obstruksi mekanik simple oleh bahan padat.
d. Pneumonia pada Gangguan Imun, terjadi akibat proses penyakit dan akibat
terapi. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman patogen atau
mikroorganisme yang biasanya nonvirulen, berupa bakteri, protozoa, parasite,
virus, jamur dan cacing. (NANDA NIC-NOC Jilid 3,2015)

d. Manifestasi Klinis
1. Demam, sering tampak sebagai tanda infeksi yang pertama. Paling sering terjadi
pada usia 6 bulan – 3 tahun dengan suhu mecapai 39,5-40,5 bahkan dengan
infeksi ringan.

32
2. Meningismus, yaitu tanda-tanda meningeal tanpa infeksi meninges. Terjadi saat
demam yang tiba-tiba disertai sakit kepala, nyeri dan kekakuan pada punggung
dan leher, adanya tanda kernig dan akan berkurang saat suhu tubuh turun.
3. Anoreksia
4. Biasanya didahului infeksi saluran nafas akut bagian atas selama beberapa hari,
kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang melebihi
40o celcius, sakit tenggorokan, nyeri pada otot- otot dan sendi. Kadang disertai
batuk, dengan sputum mukoid atau purulen dan dapat disertai dahak.
5. Peningkatan tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan, TD)
6. Diaforesis, mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang terinfeksi dalam
tubuh dengan cara berkeringat.
7. Nyeri dada pleura, myalgia, dan nyeri sendi
8. Sputum purulent berlebih
9. Sesak napas dan dyspnea
10. Hemoptysis
11. Suara napas tambahan : crackles (rales), gurgling, wheezing, dan gesekan friksi.

e. Patofisiologi
Pneumonia dapat terjadi sebagai akibat adanya inhalasi mikroba yang ada di
udara,dan aspirasi organisme di nasofaring. Bakteri yang masuk ke paru-paru melalui
inhalasi, aspirasi kuman orofaring, penyebaran hematogen dari fokus infeksi lain atau
penyebaran langsung dari lokasi infeksi, kemudian pada bagian saluran nafas bawah,
kuman akan menghadapi daya tahan tubuh berupa sistem pertahanan mukosilier, daya
tahan seluler makrofag alveolar, limfosit bronkhial, dan neutrofil, dan juga daya tahan
humoral IgA dan IgG dari sekresi bronkial.
Lokasi invasi dapat mengenai satu atau kedua paru. Inflamasi bronkus
ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi
positif dan mual. Adanya peradangan pada alveoli maka akan terjadi peningkatan
sekresi trakeobronkial dan aliran darah ke alveoli akan meningkat. Dengan adanya
peningkatan sekresi trakeobronkial akan menyebabkan jalan nafas tersumbat
sehingga bersihan jalan nafas pasien tidak efektif, pola nafas pasien tidak efektif dan

33
adanya respon batuk sehingga rasa nyaman pasien terganggu. Dengan adanya
peningkatan aliran darah pada alveoli maka metabolismepun akan meningkat
sehingga dengan adanya peningkatan metabolisme yang mungkin tidak diikuti oleh
intake cairan yang cukup, maka akan mengakibatkan suhu tubuh pasien meningkat.
Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang
terjadi adalah kolaps alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis. Kolaps alveoli akan
mengakibatkan penyempitan jalan napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa
menyebabkan penurunan fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan sebagai
pelumas yang berpungsi untuk melembabkan rongga pleura. Emfisema (tertimbunnya
cairan atau pus dalam rongga paru) adalah tindak lanjut dari pembedahan. Atelektasis
mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis respiratori, pada
klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan terjadinya
gagal napas. Secara singkat patofisiologi dapat digambarkan pada skema proses.

f. Pemeriksaan Diagnostik
1. Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi strukstural (mis. Lobar, bronchial); dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrate, empiema (stapilococcus); infiltrasi menyebar
atau terlokalisasi (bacterial); atau penyebaran/perluasan infiltrate nodul (lebih
sering virus). Pada pneumonia mikroplasma, sinar x dada mungkin bersih.
2. GDA (Gas Darah Arteri)
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada

3. Pemeriksaan darah.
Pada kasus bronchopneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis
(meningkatnya jumlah netrofil) (Sandra M. Nettina, 2001 : 684). Secara
laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000-40.000/m dengan pergeseran
LED meninggi.
4. LED meningkat.
Fungsi paru hipoksemia, volume menurun, tekanan jalan nafas meningkat dan
komplain menurun, elektrolit Na dan Cl mungkin rendah, bilirubin meningkat,
aspirasi biopsy jaringan paru
5. Rontegen dada

34
Ketidak normalan mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada. Foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-bercak
infiltrat pada satu atau beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris terlihat
adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
6. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal,bronskoskopi
fiberoptik, atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab,
seperti bakteri dan virus. Pengambilan sekret secara broncoscopy dan fungsi paru
untuk preparasi langsung, biakan dan test resistensi dapat menemukan atau
mencari etiologinya, tetapi cara ini tidak rutin dilakukan karena sukar.
7. Tes fungsi paru
Volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar), tekanan jalan nafas
mungkin meningkat dan complain menurun. Mungkin terjadi perembesan
(hipokemia)
8. Elektrolit
Natruim dan klorida mungkin rendah.
9. Aspirasi perkutan biopsi jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV),
karakteristik sel raksasa (rubeolla). (NANDA NIC-NOC Jilid 3, 2015)

g. Penatalaksanaan Medis
Institute of Healthcare Improvement merekomendasikan 4 langkah keperawatan
(Bundle of Care) pada pasien pneumonia :
1. Penentuan posisi – pertahankan kepala tempat tidur pasien terelevasi setidaknya
300, putar dan reposisi jika perlu.
2. Penanganan sedasi – bantu pasien untuk “keluar” dari pengobatan yang membuat
paralisis untuk mengkaji kebutuhan akan MV (Mekanik Ventilator).
3. Pencegahan tukak lambung
4. Pencegahan thrombosis vena dalam
Dalam hal penatalaksanaan penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Jika keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi untuk dirawat, maka dapat
dilakukan rawat jalan. Juga perlu diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu
keadaan yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen
yang spesifik misalnya Streptococcus pneumoniae yang resisten penisilin. Yang
termasuk dalam faktor modifikasi adalah:

35
1. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
a. umur lebih dari 65 tahun
b. memakai obat-obat golongan β-laktam selama tiga bulan terakhir
c. pecandu alcohol
d. penyakit gangguan kekebalan
e. penyakit penyerta yang multipel
2. Bakteri enterik Gram negatif
a. penghuni rumah jompo
b. mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
c. mempunyai kelainan penyakit yang multiple
d. riwayat pengobatan antibiotik
3. Pseudomonas aeruginosa
a. Bronkiektasis
b. pengobatan kortikosteroid >10 mg/hari
c. pengobatan antbiotik spektrum luas >7 hari pada bulan terakhir
d. gizi kurang
Berdasarkan kesepakatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), kriteria yang
dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:
1) Skor PORT >70
2) Bila Skor PORT kurang ≤70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini.
3) frekuensi napas >30/menit
4) PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
5) Foto toraks paru menunjukan kelainan bilateral
6) Foto toraks paru melibatkan >2 lobus
7) Tekanan sistolik <90 mmHg
8) Tekanan diastolik <60 mmHg
9) Pneumonia pada penggunaan NAPZA
Penderita yang memerlukan perawatan di ruang rawat intensif adalah penderita yang
mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilator

36
dan vasopresor >4 jam ) atau 2 dari 3 gejala minor (Tekanan sistolik < 90 mmHg,
Foto toraks paru menunjukan kelainan paru bilateral, PaO2 < 250mmHg). Kriteria
mayor dan minor bukan merupakan indikasi untuk perawatan ruang intensif.
Penatalaksanaan pneumonia komuniti dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Penderita rawat jalan
a. pengobatan suportif / simptomatik
b. istirahat di tempat tidur
c. minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
d. bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
e. bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
f. pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai dengan bagan) kurang dari
8 jam
2) Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
a. pengobatan suportif / simptomatik
b. pemberian terapi oksigen
c. pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
d. pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik dan mukolitik
e. pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai dengan bagan) kurang dari
8 jam
3) Penderita rawat inap di ruang rawat intensif
a. pengobatan suportif / simptomatik
b. pemberian terapi oksigen
c. pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
d. pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik dan mukolitik
e. pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai dengan bagan) kurang dari
8 jam
f. bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke Unit Gawat Darurat (UGD)
diobservasi tingkat kegawatannya. Bila dapat distabilkan maka penderita dirawat inap

37
di ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di ruang
rawat intensif.
Antibiotik masih tetap merupakan pengobatan utama pada pneumonia
aspirasi. Pemilihan antibiotik dan durasi pengobatan bergantung pada suspek
organisme ataupun yang telah terbukti. Bakteri patogen yang umumya menyebabkan
pneumonia aspirasi adalah stafilokokkus aureus, Escherichia coli, klebsiella, dan juga
enterobacter maupun pseudomonas. Klindamisin merupakan antibiotik pilihan
pertama, alternatif lainnya adalah amoxicilin dan asam klavulanat, dan juga
metronidazole. Penggunaan metronidazol dapat merupakan alternatif pengobatan
secara tunggal tidak dianjurkan karena tingkat kegagalan yang tinggi. Golongan
makrolid, sefalosporin dan fluorokuinolon merupakan alternatif lini kedua.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan Pada Pasien Dengan


Pneumonia
a. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian Primer (Primary Survey)
a) Airway
Kaji batuk yang dialami oleh pasien; batuk kering berdarah atau batuk yang
mengeluarkan sputum. Selanjutnya dikaji warna sputum yang dikeluarkan;
bewarna hijau atau kental.
b) Breathing
Kaji irama nafas klien; Nafas cepat dan dangkal (50 – 80) disertai dengan
perkusi: pekak datar area yang konsolidasi. Bunyi nafas menurun, pernapasan
mendengkur, pernapasan cuping hidung, dan penggunaan otot bantu
pernafasan
c) Circulation

38
Nadi biasanya meningkat sekitar 10x/menit untuk setiap kenaikan satu derajat
celcius atau mengalami Bradikardia apabila disebabkan oleh infeksi virus,
infeksi Mycoplasma, atau infeksi dengan spesies Legionella.
Dikaji pula warna kemerahan pada pipi, warna mata yang menjadi lebih
terang, dan bibir serta bidang kuku sianotik.
Serta kaji apakah pasien mengeluarkan keringat yang banyak karena pada
umumnya pasien pneumonia banyak mengeluarkan keringat.
d) Dissability
Kaji GCS pasien, pupil dan tonus otot.

2. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey)


a. Pemeriksaan head to toe
b. Pemeriksaan TTV
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit sebelumnya
e. Riwayat penyakit keluarga
f. Riwayat sosial ekonomi

3. Pemeriksaan Fisik
Tambahan Keadaan umum : TTV, kesadaran, head to toe
a. Inspeksi: wajah terlihat pucat, lemas, banyak keringat, sesak, adanya
pernapasan cuping hidung, adanya tachipne, dyspnea, sianosis sirkumoral,
distensi abdomen, batuk: non produktif – produktif, nyeri dada
b. Palpasi: denyut nadi meningkat, turgor kulit menurun, fremitus raba
meningkat disisi yang sakit, hati mungkin membesar
c. Auslkutasi: terdengar stridor, ronchii pada lapang paru, takikardia.
d. Perkusi: pekak bagian dada dan suara redup pada paru yang sakit.

4. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Pemeriksaan diagnostic :
a. Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi strukstural (mis. Lobar, bronchial); dapat juga
menyatakan abses luas/infiltrate, empiema (stapilococcus); infiltrasi menyebar

39
atau terlokalisasi (bacterial); atau penyebaran/perluasan infiltrate nodul (lebih
sering virus). Pada pneumonia mikroplasma, sinar x dada mungkin bersih.
b. GDA (Gas Darah Arteri)
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat dan
penyakit paru yang ada
c. Pemeriksaan darah.
Pada kasus bronchopneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis
(meningkatnya jumlah netrofil) (Sandra M. Nettina, 2001 : 684). Secara
laboratorik ditemukan leukositosis biasa 15.000-40.000/m dengan pergeseran
LED meninggi.

d. LED meningkat.
Fungsi paru hipoksemia, volume menurun, tekanan jalan nafas meningkat dan
komplain menurun, elektrolit Na dan Cl mungkin rendah, bilirubin meningkat,
aspirasi biopsy jaringan paru
e. Rontgen dada
Ketidak normalan mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat
dan penyakit paru yang ada. Foto thorax bronkopeumoni terdapat bercak-
bercak infiltrat pada satu atau beberapa lobus, jika pada pneumonia lobaris
terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
f. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal,bronskoskopi
fiberoptik, atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme
penyebab, seperti bakteri dan virus. Pengambilan sekret secara broncoscopy
dan fungsi paru untuk preparasi langsung, biakan dan test resistensi dapat
menemukan atau mencari etiologinya, tetapi cara ini tidak rutin dilakukan
karena sukar.
g. Tes fungsi paru
Volume mungkin menurun (kongesti dan kolaps alveolar), tekanan jalan nafas
mungkin meningkat dan complain menurun. Mungkin terjadi perembesan
(hipokemia)
h. Elektrolit
Natruim dan klorida mungkin rendah.

40
i. Aspirasi perkutan biopsi jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik (CMV),
karakteristik sel raksasa (rubeolla).

b. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya akumulasi
mukus ditandai dengan pilek, hidung berair, batuk, bersin-bersin , sesak napas,
takipnea, pernapasan cuping hidung, sianosis.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan eksudat dalam alveoli
3. Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan membran aveolar-kapiler ditandai
dengan Gas Darah Arteri abnormal, PH artery abnormal,sianosis,nafas cuping
hidung,dan gelisah
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agens cedera biologi.
5. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
6. Keletihan berhubungan dengan produksi ATP

c. Intervensi Keperawatan

NOC NIC
Diagnosa
(Tujuan) (Intervensi)
Ketidakefektifan Respiratory status: Airway Airway Management
bersihan jalan napas patency 1. Buka jalan nafas, gunakan
Respiratory status: Ventilation teknik chin lift atau jaw thrust
Setelah diberikan asuhan bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
keperawatan selama …x…
memaksimalkan ventilasi
masalah ketidakefektifan
(semifowler)
bersihan jalan napas klien dapat
3. Identifikasi pasien perlunya
teratasi dengan kriteria hasil :
pemasangan alat jalan nafas
1. Mampu mengeluarkan secret
buatan
2. Kedalaman inspirasi dalam
4. Lakukan fisioterapi dada jika
batas normal
perlu
3. Irama pernapasan dalam
5. Keluarkan sekret dengan
batas normal
batuk atau suction
4. Tidak ada dispneu ketika
6. Auskultasi suara nafas, catat

41
istirahat adanya suara tambahan
5. Tidak ada dispneu ketika 7. Berikan bronkodilator bila
selesai beraktivitas perlu
6. Tidak memakai otot bantu 8. Menganjurkan klien untuk
napas batuk efektif
7. Klien tidak batuk 9. Monitor respirasi dan status
8. Saturasi oksigen dalam batas
O2
normal (95-100%) 10. Kolaborasi pemberian terapi
nebulizer
11. Kolaborasi pemberian terapi
oksigen
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung, dan
secret trakea
2. Pertahankan jalan napas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor keefektifitasan aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Ketidakefektifan pola NOC Airway Management
Respiratory Status 1. Buka jalan napas, gunakan
napas
Respiratory Status : teknik chin lift atau jaw thrust
Ventilation bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
Setelah dilakukan asuhan
memaksimalkan ventilasi
keperawatan selama …x…
3. Identifikasi pasien perlunya
masalah ketidakefektifan pola
pemasangan alat jalan napas
napas klien dapat teratasi dengan
buatan
kriteria hasil : 4. Pasang mayo bila perlu
5. Lakukan fisioterapi dada jika
1. Jalan napas paten

42
2. Kedalaman inspirasi dalam perlu
6. Keluarkan sekret dengan
batas normal
3. Irama pernapasan dalam batuk atau suction
7. Auskultasi suara napas, catat
batas normal
4. Tidak ada dispneu ketika adanya suara tambahan
8. Lakukan suction pada mayo
istirahat
9. Berikan bronkodilator bila
5. Tidak ada dispneu ketika
perlu
selesai beraktivitas
10. Berikan pelembab udara kassa
6. Tidak memakai otot bantu
basah NaCl lembab
napas
11. Atur intake untuk cairan
7. Saturasi oksigen dalam batas
mengoptimalkan
normal (95-100%)
keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status
O2
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung, dan
secret trakea
2. Pertahankan jalan napas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor keefektifitasan aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Gangguan Pertukaran NOC : Airway Management
Gas Respiratory Status : Gas 1. Buka jalan nafas, gunakan
Exchange teknik chin lift atau jaw thrust
Mechnical Ventilation bila perlu
2. Posisikan pasien untuk
Response : Adult
memaksimalkan ventilasi
Setelah dilakukan asuhan
(semifowler)

43
keperawatan selama …x… 3. Identifikasi pasien perlunya
masalah kerusakan pertukaran pemasangan alat jalan nafas
gas klien dapat teratasi dengan buatan
4. Lakukan fisioterapi dada jika
kriteria hasil :
perlu
1. Saturasi oksigen dalam batas
5. Keluarkan sekret dengan
normal
batuk atau suction
2. Irama pernapsan dalam batas
6. Auskultasi suara nafas, catat
normal
adanya suara tambahan
3. Kedalaman pernapasan
7. Berikan bronkodilator bila
dalam batas normal
perlu
4. Keseimbangan ventilasi
8. Menganjurkan klien untuk
perfusi
batuk efektif
5. PaO2 dalam batas normal
9. Monitor respirasi dan status
6. PaCO2 dalam batas normal
7. Tidak ditemukan masalah O2
10. Kolaborasi pemberian terapi
pada Thorax Photo
nebulizer
11. Kolaborasi pemberian terapi
oksigen
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung, dan
secret trakea
2. Pertahankan jalan napas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor keefektifitasan aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Nyeri akut NOC Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri
Pain Level
secara komprehensif termasuk
Pain Control

44
Setelah dilakukan asuhan lokasi, karakteristik, durasi,
keperawatan selama …x… frekuensi, kualitas, dan faktor
masalah nyeri akut klien dapat presipitasi.
2. Observasi reaksi verbal dan
teratasi dengan kriteria hasil :
non verbal dari
1. Melaporkan nyeri
2. Klien tidak tampak ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi
memegang area yang nyeri
3. Tidak mengekpresikan wajah terapeutik untuk mengetahui
meringis pengalaman nyeri pasien
4. Tidak gelisah 4. Kaji kultur yang
5. Melaporkan nyeri dapat
mempengaruhi nyeri
terkontrol 5. Evaluasi pengalaman nyeri
6. Menjelaskan factor penyebab
lampau
nyeri 6. Evaluasi bersama pasien dan
7. Respirasi dalam batas normal
tim kesehatan lain tentang
8. Nadi dalam batas normal
9. Tekanan darah dalam batas ketidakefektifan kontrol nyeri
normal masa lampau
7. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi, dan inter
personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non

45
farmakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi kefektifan kontrol
nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri.
Analgesic Administration
1. Kolaborasi pemberian obat
analgesic dengan dokter
2. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
3. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
4. Cek riwayat alergi
5. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
6. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali

46
9. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi afektivitas analgesik,
tanda dan gejala.
Hipertermia NOC : NIC Label :
Thermoregulation Temperature Regulation
1 Tidak merasa merinding 1 Pasang alat monitor suhu
saat dingin inti secara kontinu, sesuai
2 Tidak berkeringat saat
kebutuhan
panas 2 Monitor suhu paling tidak
3 Tidak menggigil saat
setiap 2 jam, sesuai
dingin
kebutuhan
4 Mampu melaporkan
3 Monitor dan laporkan
kenyamanan suhu
tanda dan gejala
5 Tidak terjadi peningkatan
hipotermia dan hipertermia
suhu kulit
4 Monitor suhu dan warna
6 Ptidak terjadi penurunan
kulit
suhu kulit
5 Monitor tekanan darah,
7 Tidak terdapat tanda-
nadi dan respirasi, sesuai
tanda hipertermia
8 Tidak terdapat tanda- kebutuhan.
6 Tingkatkan intake cairan
tanda hipotermia
9 Tidak terdapat sakit dan nutrisi adekuat.
7 Berikan medikasi yang
kepala
10 Tidak terdapat sakit otot tepat untuk mencegah atau
11 Tidak terdapat sifat lekas
mengontrol menggigil.
marah 8 Diskusikan pentingnya
12 Tidak mengantuk
termoregulasi dan
13 Tidak menimbulkan
kemungkinan efek negatif
perubahan warna kulit
14 Tidak terdapat otot dari demam yang
berkedut berlebihan, sesuai
15 Tidak timbul dehidrasi
kebutuhan.
Vital Signs
1 Suhu tubuh dalam
rentang: 36 C-37,5 C Vital Signs Monitoring
2 Irama jantung sinus ritem 1 Monitor tekanan darah,

47
3 Denyut nadi 60- nadi, suhu, dan status
100x/menit pernapasan yang tepat
4 Frekuensi pernapasan 15- 2 Monitor suara paru-paru
3 Monitor Oksimetri nadi
20x/menit
4 Monitor akan adanya kuku
5 Irama pernapasan teratur
6 Tekanan darah sistolik clubbing
5 Monitor warna kulit,suhu,
100-120 mmHg
7 Tekanan darah diastolic dan kelembaban
6 Identifikasi kemungkinan
60-90 mmHg
penyebab perubahan tanda-
tanda vital
7 Monitor sianosis sentral
dan perifer

Hyperthermia Treatment
1 Pastikan kepatenan jalan
nafas
2 Berikan oksigen sesuai
kebutuhan
3 Hentikan aktifitas fisik
4 Longgarkan atau lepaskan
pakaian pasien
5 Berikan cairan IV, gunakan
cairan yang sudah
didinginkan sesuai
kebutuhan
6 Lakukan pemeriksaan
laboratorium, serum
elektrolit, urinalisis, enzim
jantung, enzim hati dan
hitung darah lengkap,
monitor hasilnya
7 Monitor hipoglikemi
8 Monitor urine output
9 Monitor hasil EKG

48
10 Monitor AGD
11 Instruksikan pasien
mengenai tanda dan gejala
awal dari kondisi sakit
yang berhubungan dengan
panas dan kapan mencari
bantuan petugas kesehatan

Environmental Management
1 Singkirkan benda-benda
yang berbahaya dari pasien
2 Sediakan tempat tidur dan
lingkungan yang bersih
dan nyaman
3 Sesuaikan suhu lingkungan
dengan kebutuhan pasien,
jika suhu tubuh berubah
4 Hindari dari paparan dan
aliran udara yang tidak
perlu terlalu panas dan
terlalu dingin
5 Edukasi pasien dan
pengunjung mengenai
perubahan/tindakan
pencegahan,sehingga
mereka tidak akan sengaja
mengganggu lingkungan
yang direncanakan
Keletihan (Fatigue) NOC NIC
Energy Management
Endurance
1. Observasi adanya pembatasan
Concentration
klien dalam melakukan
Energy Conservation
aktivitas
Nutritional Status Energy 2. Dorong klien untuk

49
Kriteria hasil : mengungkapkan perasaan
1. Memverbalisasikan terhadap keterbatasan
3. Kaji adanya faktor yang
peningkatan energy dan
menyebabkan kelelahan
merasa lebih baik
4. Monitor nutrisi dan sumber
2. Menjelaskan penggunaan
energy yang adekuat
energy untuk mengatasi
5. Monitor pasien akan adanya
kelelahan
kelelahan fisik dan emosi
3. Kecemasan menurun
4. Glukosa darah adekuat secara berlebihan
5. Kualitas hidup meningkat 6. Monitor respon
6. Istirahat cukup
kardiovaskuler terhadap
7. Mempertahankan
aktivitas
kemampuan untuk
7. Monitor pola tidur dan
berkonsentrasi
lamanya tidur/istirahat pasien
8. Dukung pasien dan keluarga
untuk mengungkapkan
perasaan berhubungan
dengan perubahan hidup yang
disebabkan keletihan
9. Bantu aktivitas sehari-hari
sesuai dengan kebutuhan
10. Tingkatkan tirah baring dan
pembatasan aktivitas
(tingkatkan periode aktivitas)
11. Konsultasi dengan ahli gizi
untuk meningkatkan asupan
makanan yang berenergi
tinggi

d. Implementasi Keperawatan
Dalam hal ini, perawat mengaplikasikan intervensi atau renacana yang
sudah ditetapkan sebelumnya sesuai dnegan kondisi pasien, adapun yang
harus diperhatikan adalah:

50
a. Mencegah terjadinya komplikasi
b. Meningkatkan konsep diri dan penerimaan situasi
c. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, risiko
komplikasi dan kebutuhan pengobatan lainnya

e. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi sebagai sesuatu yang direncanakan dan perbandingan yang
sistematik pada status kesehatan klien. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan klien mencapai tujuan. Hal ini bisa dilaksanakan dengan
melaksanakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien terhadap
tindakan keperawatan yang diberikan, sehingga perawat dapat mengambil
keputusan :
a. Mengakhiri rencana tindakan keperawatan (klien telah mencapai
tujuan yang ditetapkan).
b. Memodifikasi rencana tindakan keperawatan (klien mengalami
kesulitan untuk mencapai tujuan).
c. Meneruskan rencana tindakan keperawatan (klien memerlukan waktu
yang lebih lama untuk mencapai tujuan)

51
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Gagal napas adalah gangguan pertukaran gas antara udara dengan sirkulasi
yang terjadi di pertukaran gas intrapulmonal atau gangguan gerakan gas masuk keluar
paru. Menurut Joy M. Black (2005), gagal napas adalah suatu keadaan yang
mengindikasikan adanya ketidakmampuan sistem respirasi untuk memenuhi suplai
oksigen untuk proses metabolisme atau tidak mampu untuk mengeluarkan
karbondioksida. Penyebab atau etiologi adalah depresi sistem saraf pusat, kelainan
neurologis primer, gangguan ventilasi, trauma, penyakit akut paru, gangguan pada
sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada, gangguan difusi alveoli
kapiler, gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (v/q missmatch). Gagal napas akut
ditandai dengan penurunan konsentrasi O2, anemia, penurunan curah jantung. Selain
itu, tanda dan gejala yang muncul pada gagal napas yaitu aliran udara di mulut dan
hidung tidak dapat dirasakan. Pada gerakan napas spontan terlihat retraksi
supraklavikula dan sela iga serta tidak ada pengembangan dada pada saat inspirasi.
Adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan dan
terdengar suara napas tambahan gargling, snoring, wheezing.
Sedangkan pneumonia adalah penyakit umum yang terjadi pada semua
kelompok umur dan merupakan penyebab utama kematian di antara orang tua dan
orang-orang dengan penyakit kronis. Selain itu, pneumonia juga merupakan penyebab
utama kematian pada anak di bawah lima tahun di seluruh dunia. Pneumonia ini dapat
disebabkan oleh bebeara faktor seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur, aspirasi
karena makanan ataupun benda asing, dan lain lain. Tanda dan gejala yang muncul
pada penderita pneumonia adalah demam, meningismus, anoreksia, biasanya
didahului infeksi saluran nafas akut bagian atas selama beberapa hari, peningkatan
tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan, td), diaforesis, nyeri dada pleura, myalgia,
dan nyeri sendi, sputum purulent berlebih, sesak napas dan dyspnea, hemoptysis,
adanya suara napas tambahan. Jadi gagal nafas akut dan pneumonia ini saling

52
berhubungan yaitu biasanya pasien dengan pneumonia gejalanya mengalami infeksi
saluran nafas atas akut selama beberapa hari. Penanganannya pun hampir mirip
karena sama-sama termasuk ke dalam sistem respirasi.

B. Saran
Mahasiswa diharapkan mempu memahami konsep dasar dari penyakit gagal
nafas akut dan pneumonia dan menggunakan ketrampilannya dalam menangani kasus
gawat darurat pada sistem respirasi khususnya pada kasus gagal nafas akut dan
pneumonia.

53
DAFTAR PUSTAKA

Brunner and Suddart. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC.
Dochterman, Joanne McCloskey et al.2004.Nursing Interventions Classification
(NIC).Missouri : Mosby

Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000). Rencana Asuhan
Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. EGC: Jakarta.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia. Jakarta: Pustaka
Obor Populer.

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri :


Mosby

NANDA Internasional 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-


2011. Jakarta: EGC

NANDA NIC-NOC JILID 3. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis.Jogjakarta : Mediaction

News Medical. 2012. Pneumonia, (http://www.news-medical.net/health/Pneumonia-


Indonesian.aspx, diakses tanggal 14 September 2013)

Sherwood, Lauralee. (2011). Fisiologi Manusia (Dari Sel ke Sistem ). Edisi ke-6.
Jakarta: EGC.
Somantri, I. 2007. Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika

54
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Terry, Cynthia Lee. 2013. Keperawatan Kritis. Yogyakarta : Rapha Publishing.

Ulfah, Anna, dkk. (2001). Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta : Bidang
Pendidikan dan Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan Pembuluh Darah
Nasional Harapan Kita.

55

Anda mungkin juga menyukai