Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Henti nafas didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh untuk mempertahankan pH,
PaCO2, dan PaO2 yang adekuat, sehingga membahayakan keselamatan pasien. Henti
nafas yang merupakan kegawatan medis sering merupakan stadium akhir dari penyakit
paru kronis. Selain itu bisa juga diakibatkan karena suatu kondisi yang parah, atau
penyakit paru-paru mendadak misalnya pada ARDS walaupun awalnya ia masih sehat.
Hampir setiap kondisi yang mempengaruhi pernafasan atau paru-paru dapat memicu
terjadinya henti nafas. Overdosis opioid atau alkohol yang menyebabkan efek sedasi
sehingga seseorang bisa mengalami henti nafas dan menderita henti nafas. Obstruksi
jalan nafas, cedera jaringan paru, dan kelemahan otot-otot pernafasan juga merupakan
penyebab yang umumnya terjadi. Henti nafas dapat terjadi jika darah yang melewati
paru-paru tidak normal, sebagaimana yang terjadi pada embolisme paru.
Gangguan ini tidak menghentikan pergerakan udara untuk masuk dan keuar dari paru,
tetapi tanpa aliran darah yang adekuat maka oksigen tidak bias diambil dari udara luar
(Purnawan, 2008). Mengingat begitu sering dijumpainya penyakit-penyakit tersebut di
atas, maka dapat diprediksi bahwa kejadian henti nafas juga akan sering dijumpai.
Perawat seringkali merupakan orang yang pertama mengenali timbulnya henti nafas.
Monitor sederhana di tempat tidur dapat mengenali tanda-tanda pasien tidak
mengkompensasi (Hudak dan Gallo, 1997). Maka perawat harus terus memperdalam
pengetahuan mengenai henti nafas, mulai dari faktor risiko, tanda dan gejala hingga
penanganannya. Oleh sebab itu penulis menulis makalah mengenai henti nafas ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian henti napas ?
2. Apakah etiologi henti napas ?
3. Apakah manifestasi klinis yang terjadi pada henti napas ?
4. Bagaimana patofisiologi henti napas ?
5. Bagaimana pathways henti napas ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada henti napas ?
7. Bagaimana penatalaksanaan medis henti napas ?
8. Bagaimana cara pertolongan bantuan hidup dasar pada henti napas ?
9. Apa saja komplikasi yang terjadi pada henti napas ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada henti napas ?

C. TUJUAN

1
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat memahami asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien
dengan henti napas
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat menjelaskan :
a) Definisi henti napas
b) Etiologi henti napas
c) Manifestasi klinis henti napas
d) Patofisiologi penyakit henti napas
e) Pathways penyakit henti napas
f) Bagaimana pemeriksaan diagnostik henti napas
g) Penatalaksanaan penyakit henti napas
h) Pertolongan bantuan hidup dasar pada henti napas
i) Komplikasi henti napas
j) Asuhan keperawatan pada pasien dengan henti napas

D. MANFAAT
1. Bagi Mahasiswa :
Agar mampu memahami tentang henti napas dan dapat menerapkan bagaimana cara
penanganan pasien dengan henti napas.
2. Bagi Institusi :
Agar dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang henti napas, serta dapat
lebih banyak menyediakan referensi-referensi buku tentang penyakit-penyakit serta
asuhan keperawatan penyakit tersebut.
3. Bagi Masyarakat :
Agar lebih mengerti dan memahami tentang henti napas serta mengenali gejala
klinis dari henti napas.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN
Henti Napas adalah pernapasan yang efektif akan terancaman bila alan napas
tersumbat atau penyempit akibatnya penanganan segera di butuhkan.henti napas terjadi
sebagai komplikasi yang paling serius dari erbagai penyakit pernapasan,syok atau
trauma.penanganan saat ini di tunjukan untuk ventilasi paru-paru pasien secara
artifisial/buatan (kapita selekta,pediatri edesi II)
Henti nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-
paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida

1
dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg
(hiperkapnia). (Brunner & Sudarth, 2001)
Henti nafas adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak mampu memenuhi
metabolisme tubuh. (Staf pengajar ilmu kesehatan anak, 1985)
Henti nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi darah normal (PaO2), eliminasi karbon dioksida (PaCO2) dan pH yang
adekuat disebabkanoleh masalah ventilasi difusi atau perfusi (Corwin, Elizabeth J, 2001)
Henti nafas adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksemia,
hiperkapnea (peningkatan konsentrasi karbondioksida arteri), dan asidosis. (Arif
Muttaqin,2008)
Jadi dari beberapa pengertian diatas Henti napas adalah gangguan pertukaran gas O2
dan CO2 yang tidak adekuat dimana PaO2 <50mmHg (Hipoksemia) sedangkan PaCO2
>45mmHg (Hiperkapnia) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh.

B. ETIOLOGI
1. Penyebab sentral
a) Trauma kepala : contusio cerebri
b) Radang otak : encephalitis
c) Gangguan vaskuler : perdarahan otak , infark otak
d) Obat-obatan : narkotika, anestesi
2. Penyebab perifer
a) Kelainan neuromuskuler : GBS, tetanus, trauma cervical, muscle relaxans
b) Kelainan jalan nafas : obstruksi jalan nafas, asma bronchiale
c) Kelainan di paru : edema paru, atelektasis, ARDS
d) Kelainan tulang iga/thoraks: fraktur costae, pneumo thorax, haematothoraks
e) Kelainan jantung : kegagalan jantung kiri.
Carpenito, Lynda Juall (2000)

C. MANIFESTASI KLINIS
1. Tanda
Henti nafas total
 Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.

1
 Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela iga serta
tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
 Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi buatan
Henti nafas parsial
 Terdenganr suara nafas tambahan gargling, snoring, Growing dan whizing.
 Ada retraksi dada
2. Gejala
 Hiperkapnia yaitu penurunan kesadaran (PCO2)
 Hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2 menurun)
(Arif Muttaqin,2008)

D. PATOFISIOLOGI
Henti nafas ada dua macam yaitu henti nafas akut dan henti nafas kronik dimana
masing masing mempunyai pengertian yang bebrbeda. Henti nafas akut adalah henti
nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal secara struktural maupun fungsional
sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan henti nafas kronik adalah terjadi pada pasien
dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah henti nafas akut biasanya paru-
paru kembali kekeasaan asalnya. Pada henti nafas kronik struktur paru alami kerusakan
yang ireversibel.
Indikator henti nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi
penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt tindakan yang dilakukan
memberi bantuan ventilator karena “kerja pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul
kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Henti nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan pernapasan terletak di
bawah batang otak (pons dan medulla). Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala,
stroke, tumor otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan
dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat
karena terdapat agen menekan pernafasan denganefek yang dikeluarkanatau dengan
meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru
dapat mengarah ke henti nafas akut.

1
Akibat bertambahnya aliran darah paru, hipoksemia yang mengakibatkan
permiabilitas kapiler bertambah, retensi CO2 yang mengakibatkan bronkokontriksi dan
‘metabolic rate’ yang bertambah, terjadinya edema paru. Dengan terjadinya edema paru
juga terjadinya gangguan ventilasi dan oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan
henti nafas.
( Price, Sylvia A dan Wilson, Lorraine M. 2006 )

E. PATHWAYS

1
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Analisa Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk menentukan adanya asidosis respiratorik
dan alkalosis respiratorik, serta untuk mengetahui apakah klien mengalami asidosis
metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada klien yang sudah lama
mengalami gagal napas.
2. Radiologi
Berdasarkan pada foto thoraks PA/AP dan lateral serta fluoroskopi akan banyak data
yang diperoleh seperti terjadinya hiperinflasi, pneumothoraks, efusi pleura,
hidropneumothoraks, sembab paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru
Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada tidaknya gangguan
obstruksi dan restriksi paru.
4. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang ditandai dengan
perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta jantung yang
mengalami hipertrofi ventrikel kanan.
5. Pemeriksaan Sputum
Yang perlu diperhatikan ialah warna, bau, dan kekentalan. Jika perlu lakukan kultur
dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai ada garis-garis darah
pada sputum (blood streaked), kemungkinan disebabkan oleh bronkhitis,
bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan keganasan. Sputum yang berwarna merah
jambu dan berbuih (pink frothy), kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk
sputum yang mengandung banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering
merupakan tanda dari TB paru atau adanya keganasan paru.
(Doengoes, E. Marilyn, 2000)

G. TERAPI MEDIS
1. Antibiotik
Pemberian antibiotic di berikan sebaiknya setelah diperoleh hasil kultur dan uji
kepekaan terhadap kuman penyebab
2. Bronkodilator
Untuk klien sesak nafas, dapat diberikan bronkodilator anal sesuai dengan factor
penyebab penyakit.
3. Kortikosteroid
Fungsi kortikosteroid untuk mengurangi peradangan, terutama pada penyakit asma,
bronchial dan di berikan dengan dosis setara hidrokortison 200mg setiap 6jam.
4. Diuretik
Obat – obatan diuretic dapat diberikan, bila ada kegagalan jantung kiri maupun
kanan. Dosis dan cara pemberian tergantung klinis setiap klien. Umumnya diberikan

1
20mg furosemide IV dan dapat diulang setiap 30mnt hngga diuresis tercapai atau di
hentikan sesuai dengan keperluan atau bila terjadi efek samping.
5. Digitalis
Dosis dan cara pemberian digitalis tergantung dari riwayat digitalisasi sebelumnya
da nada atau tidaknya kardiomegali.
Corwin, Elizabeth J, (2001)

H. BANTUAN HIDUP DASAR


Langkah – langkah tindakan resusitasi dapat dibagi menjadi tiga tahap :
Tahap I : Bantuan hidup dasar (BHD), terdiri atas :
A (Airway) : menguasai jalan nafas
B (Breathing) : membuat nafas buatan
C (Circulation) : membuat aliran darah buatan
Tahap II : Bantuan hidup lanjutan (BHL), terdiri dari :
D (Drug) : pengobatan dengan cairan dan obat
E (EKG) :melakukan pemantauan dengan alat elektrokardiografi
F (Fibrilasi) :menilai pengobatan dengan defibrilator (untuk fibrilasi
ventrikel)
Tahap III : Bantuan hidup jangka panjang (BHJP), terdiri dari :
G (Gauging) : menilai keadaan korban masih dapat
diselamatkan atau tidak
H (Human mentatiaon) : melakukan resusitasi lanjutan dengan
orientasi Otak
I (Intensive care) : mengelola korban secara intensif
(Suprihatin, Titin (2000)

Adapun tindakan pertolongan Henti Napas menurut Sjamsuhidajat R, Jong WD antara


lain :
 D = DANGEROUS
1. Prinsip 3 A (Aman Diri, Aman Pasien, Aman Lingkungan)
2. Jika curiga trauma kepala, jangan pindahkan atau gerakkan kepala/leher anak.
Hindari memindahkannya kalau anak tidak dalam bahaya injuri lebih lanjut, jika
anda akan membalikkan anak gulingkan kepala dan torso sebagai satu unit, dukung
kepala dan leher untuk mencegah pergerakan yang dapat menyebabkan injuri lebih
lanjut.

1
 R = RESPONSE
3. Coba untuk membangunkan anak.
Tepuk anak dan panggil namanya dengan keras atau kibaskan ujung kakinya dan
lihat adanya respon / pergerakan.
4. Segera cari bantuan.
5. Jika anak tetap tidak berespon, mulai lakukan CPR segera dengan membuka jalan
nafas anak.
6. Jika ada orang lain bersama anda, minta untuk menelpon 118 (gawat darurat) untuk
minta bantuan.
Jika anda sendirian tetaplah memulai RJP secepatnya, tidak usah berhenti untuk
menelpon 118, lakukan RJP selama 1 menit, lalu telepon 118 gawat darurat
secepatnya.
 C = CIRCULATION (SIRKULASI)
7. Setelah memberikan 2 tiupan nafas dan melihat pengembangan dada, jika anak belum
bernafas periksa nadi anak.
8. Tempatkan jari telunjuk dan jari tengah anda dengan ringan pada lengan bagian
dalam dekat tubuh anak. Rasakan selama 5 detik. Lakukan ini sebelum kasus
menjadi lebih gawat.
9. Jika terdapat nadi tetapi tidak ada pernafasan, teruskan berikan nafas bantuan sampai
anak mulai bernafas.
Pada banyi, anak 1 – 8 tahun, kecepatan kira-kira 1 kali nafas setiap 3 detik atau 20
kali per menit.
Bantuan pernafasan merupakan hal yang diperlukan agar dapat mulai bernafas
kembali.
Jika sudah dapat bernafas, lihat langkah nomor 18.
10. Lakukan RJP (kompresi jantung) jika tidak ada nadi.
11.Berikan posisi yang tepat untuk melakukan kompresi jantung.
Gunakan satu tangan untuk memegang kepala anak pada posisi yang benar. Gunakan
tangan lain, tarik garis imajinsi yang menghubungkan putting anak dan letakkan 2
jari pada titik di bawah garis imajiner pada tulang rusuk.
12. Gunakan jari tengah dan kelingking, tekan pada tulang rusuk dengan jarak ½ - 1 inci
ulangi tekan 5 kali. Setiap setelah 5 kali kompresi berhenti dan beri anak 1 kali
bantuan nafas.
13. Tekan dada kurang lebih 100 kali per menit.
1
Untuk menghindari tidak terlalu cepat hitung 1, 2, 3, 4, 5 dikepala anda.
14. Setelah sekitar 1 menit, berhenti dan periksa anak untuk melihat apakah anak mulai
bernafas atau nadi muncul.
Panggil nomor darurat 118 jika anda sendiri.
Jika anda akan memindahkan anak untuk mendapatkan bantuan/menghindari
bahaya, usahakan untuk tidak menghentikan RJP lebih dari 5 detik.
15. RJP dapat dihentikan jika setelah satu ini muncul :
a) Anak mulai bernafas dan detak jantung mulai kembali normal.
b) Anda digantikan oleh orang lain yang dapat melakukan CPR.
c) Anda memperoleh bantuan medis dan sudah dimulai tindakan lain.
d) Anda kelelahan.
16. Posisi pemulihan (Recovery Position).
Jika anak mulai bernafas sendiri dan tidak dicurigai adanya injuri, letakkan anak
dengan posisi miring dengan kepala direbahkan pada lengan dan dengan tungkai
sebelah atas ditekuk lututnya dan istirahatkan pada permukaan yang kuat dan rata.
Catat gambaran yang terlihat dan segera telepon 118.
 A = AIRWAY (JALAN NAFAS)
17. Tempatkan anak dengan posisi telentang (dengan punggung) pada permukaan yang
keras dan rata.
18. Posisi kepala dengan tepat dan buka jalan nafas dengan meletakkan tangan penolong
pada dahi dan letakkan jari (bukan ibu jari) dari tangan yang lain dibawah tulang
rahang bawah dekat pertengahan dagu.
19. Hati – hati, jangan terlalu mendorong dahi terlalu jauh kebelakang atau memberikan
tekanan terlalu kuat pada rahang bagian bawah.
20. Pastikan bibir anak terbuka, kemudian angkat dan miringkan sedikit kepala
kebelakang untuk menposisikan titik langit – langit hidung agar memudahkan
pemberian O2. Posisi ini penting untuk mengalirkan udara masuk batang
tenggorokan kemudian menuju ke paru-paru.
21. Jika terdapat muntahan, bersihkan mulut anak sebelum memberikan bantuan
pernafasan.
22. Bersihkan sekret atau muntahan dengan jari atau spuit balon setelah memiringkan
kepala anak.
23. Jika menggunakan spuit balon, peras dulu sebelum meletakkannya kedalam mulut,
kemudian lepaskan tekanan balon untuk memindahkan meterial.
1
a) Jika penolong melihat objek (sekret atau muntahan), masukkan tangan lain ke
dalam mulut.
b) Gerakkan / pindahkan jari ke arah anda ke dalam bagian belakang tenggorokan.
Tindakan ini akan membantu membuang benda asing.
 B = BREATING (PERNAFASAN)
24. Jika mulut sudah bersih, kembalikan posisi kepala dan obserfasi dada untuk
mengetahui apakah anak mulai bernafas. Tempatkan telinga penolong dekat dengan
mulut anak dan lihat, dengarkan, rasakan nafas anak selama 3 – 5 detik.
25. Jika anak tidak mulai bernafas, penolong harus memberikan bantuan nafas pada
anak.
a) Buka lebar mulut anak, tutup hidung dengan jari dan tutup mulut anak dengan
mulut anda.
b) Beri 2 tiupan pelan sekitar 1- 1 ½ detik lamanya, berhenti sebentar untuk
menarik nafas.
c) Setiap tiupan nafas harus cukup untuk mengangkat atau mengembangkan dada.
26. Jika penolong tidak melihat pengembangan dada, kembalikan posisi kepala dan coba
lagi.
27. Setelah reposisi kepala, jika anda tetap tidak melihat pengembangan dada, ikuti
untuk perawatan anak tersedak.
28. Jika anak muntah, miringkan kepala dan bersihkan mulut dengan jari atau dengan
spuit balon.
(Sjamsuhidajat R, Jong WD. 1997)

I. KOMPLIKASI
1. Paru: emboli paru, fibrosis dan komplikasi sekunder penggunaan ventilator
(seperti, emfisema kutis dan pneumothoraks).
2. Jantung: cor pulmonale, hipotensi, penurunan kardiak output, aritmia, perikarditis
dan infark miokard akut.
3. Gastrointestinal: perdarahan, distensi lambung, ileus paralitik , diare dan
pneumoperitoneum. Stress ulcer sering timbul pada gagal napas.
4. Polisitemia (dikarenakan hipoksemia yang lama sehingga sumsum tulang
memproduksi eritrosit, dan terjadilah peningkatan eritrosit yang usianya kurang
dari normal) .
5. Infeksi nosokomial: pneumonia, infeksi saluran kemih, sepsis.
6. Ginjal: gagal ginjal akut dan ketidaknormalan elektrolit asam basa.

1
7. Nutrisi: malnutrisi dan komplikasi yang berhubungan dengan pemberian nutrisi
enteral dan parenteral.
(Alvin Kosasih, 2008:34)
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
 Airway
1) Terdapat secret di jalan nafas (sumbatan jalan nafas).
2) Bunyi nafas krekels, ronchi, dan wheezing.
 Breathing
1) Distress pernafasan: pernafasan cuping hidung, takhipnea / bradipnea.
2) Menggunakan otot asesoris pernafasan.
3) Kesulitan bernafas: lapar udara, diaforesis, dan sianoasis.
4) Pernafasan memakai alat Bantu nafas
 Circulation
1) Penurunan curah jantung, gelisah, letargi, takikardi.
2) Sakit kepala.
3) Gangguan tingkat kesadaran: gelisah, mengantuk, gangguan mental (ansietas,
cemas)
Pemeriksaan fisik
 Inspeksi
Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekwensi pernafasan.
Penyakit akut paru sering menunjukan frekwensi pernafasan lebih dari 20
kali/menit.
 Palpasi
Perawat harus memperhatikan adanya pelebaran ICS dan penurunan taktil
fremitus yang menjadi penyebab utama henti nafas.
 Perkusi
Dapat ditemukan daerah redup, daerah dengan suara nafas melemah yang
disebabkan oleh penebalan pleura, efusi pleura yang cukup banyak, hipersonor
bila didapatkan pneumotorak atau emfisema paru.
 Auskultasi
Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti
wheezing dan ronkhi serta untuk menentukan dengan tepat lokasi yang didapat
dari kelainan yang ada.
(Muttaqin, Arif.2008)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN & INTERVENSI


DX 1 : Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan gangguan aliran udara ke
alveoli atau kebagian utama paru, sekresi tertahan, proses penyakit, ventilasi yang
tidak adekuat
NOC :

1
 Dapat memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam keadaan
normal
 Tidak terdapat cyanosis pada pasien
 Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea

NIC :
Airway management
 Buka jalan nafas
 Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Pasang mayo bila perlu
 Lakukan suction pada mayo
 Auskultasi suara nafas, catat adanya suatu tambahan
 Monitor konsentrasi dan status O2
Respiratory monitoring :
 Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
 Catat pengerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot tambahan,
retraksi otot supraclavikular dan intercostatis
 Monitor suara nafas, sprt dengkur
 Catat lokasi trakea
 Monitor kelelahan otot diafragma ( gerakan paradoksis )
 Tentukan kebutuhan suction dengan mengaukultasi crekles dan ronchi pada
jalan nafas utama
 Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya

DX 2 : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang tertahan
atau sisa sekresi
NOC :
 Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
 Mengeluarkan sekresi secara efektif
 Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
 Mempunyai fungsi paru dalam batas normal

NIC :
Airway suction
 Pastikan kebutuhan oral/ tracheal suctioning
 Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
 Informasikan kepada klien dan keluarga tentang suctioning
 Berikan O2 dgn menggunakan nasal untuk memfasilitasikan soction
nasotrakeal
 Anjurkan alat yang steril setiap melakukan tindakan

1
 Monitor status oksigen pasien
Airway management
 Buka jalan nafas
 Posiskan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
 Indentifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
 Lakukan fisio terapi dada jika perlu
 Berikan bronchodilator bila perlu
 Monitor respirasi dan status O2

.
Dx 3 : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan pemasangan selang
endotrakeal.
NIC :
 Catat faktor resiko terjadinya infeksi (suhu tubuh, nadi, malaise, keletihan, dll)
 Pantau hasil laboratorium
 Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.
 Pertahankan hidrasi adekuat dan nutrisi.
 Kolaborasi dengan pemberian antibitika sesuai pesanan.

Dx 4 : Resiko tinggi cidera b.d. penggunaan ventilasi mekanik


NIC :
 Observasi tanda-tanda cedera (kepala, servical, atau spinal)
 Posisikan head till chin lift, jaw trust dll
 Kolaborasi dengan tim medis

1
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Henti nafas timbul akibat pertukaran gas antara oksigen dengan karbondioksida di
paru tidak dapat mengimbangi laju konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida pada
sel tubuh.kondisi ini mengakibatkan tekanan oksigen arterial kurang dari 50 mmHg
(hipoksemia) dan tekanan karbondioksida arterial meningkat lebih dari 45 mmHg
(hiperkapnea). Definisi ini berdasarkan analisis gas darah tersebut tidak absolute
bergantung pada dengan riwayat penyakit sebelumnya dari klien.
Perawat harus membedakan antara henti nafas akut dengan ekserbasi akut henti nafas
kronis.Henti nafas akut adalah henti nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal
secara structural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Henti nafas kronik
adalah henti nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti
bronchitis kronik, emfisema, dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batu bara).
Pasien ini mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnea yang memburuk
secara bertahap. Setelah henti nafas akut, paru biasanya kembali pada keadaan
awalnya.Pada henti nafas kronis structural paru mengalami kerusakan ireversibel.
Penatalaksanaan mendasar dari kedua kondisi ini berbeda.

1
Penulis tertarik pada kasus henti nafas ini, dikarenakan henti nafas termasuk penyakit
yang berbahaya jika terlambat dilakukan tindakan pertolongan, maka akan menyebabkan
kematian.

B. SARAN
Semoga makalah yang kami susun dapat dimanfaatkan secara maksimal, sehingga
dapat membantu proses pembelajaran, dan dapat mengefektifkan kemandirian dan
kreatifitas mahasiswa. Selain itu, diperlukan lebih banyak referensi untuk menunjang
proses pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall (2000), Buku saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta
Corwin, Elizabeth J, (2001), Buku saku Patofisiologi, Edisi bahasa Indonesia, EGC, Jakarta
Doengoes, E. Marilyn (1989), Nursing Care Plans, Second Edition, FA Davis, Philadelphia
Kosasih, Alvin. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru Dalam Praktek
Sehari-Hari. Jakarta: Sagung Seto.
Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Penafasan.
Jakarta : Salemba Medika.
Price and Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Buku 2.
Jakarta:EGC.
Sjamsuhidajat R, Jong WD. 1997.Resusitasi. Hal : 124-129. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi Revisi.EGC. Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi
8. Jakarta : EGC
Suprihatin, Titin (2000), Bahan Kuliah Keperawatan Gawat Darurat PSIK Angkatan I,
Universitas Airlangga, Surabaya

Anda mungkin juga menyukai