Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegagalan pernapasan merupakan sindrom di mana sistem pernapasan
gagal untuk mempertahankan pertukaran gas yang memadai pada saat istirahat
atau selama latihan yang mengakibatkan hipoksemia dengan atau tanpa
hiperkapnia (Bammigatti, 2005). Gagal napas didefinisikan sebagai PaO2< 60
mmHg atau PaCO2> 50 mmHg. Gagal napas didiagnosis ketika pasien
kehilangan kemampuan untuk ventilasi memadai atau untuk menyediakan
oksigen yang cukup untuk darah dan organ sistemik (Surjanto, 2009).
Gagal napas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas
O2 dan CO2 serta masih menjadi masalah dalam penatalaksanaan medis.
Walaupun kemajuan teknik diagnosis dan terapi intervensi telah berkembang
pesat, tetapi gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan
kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif (Surjanto, 2009).
Beberapa penyebab gagal napas dapat berupa PPOK dan asma.
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi ppok dan asma di
provinsi sumatera utara masing-masing adalah 3,6% dan 2,4% (Riskesdas, 2013).
Menurut hasil penelitian Manik dalam Anita (2009), di rumah sakit haji medan
tahun 2000-2002 terdapat 132 penderita ppok dan 14 diantaranya meninggal
dunia (Rahmatika, 2009).
Penyebab lainnya adalah TB paru. Indonesia menempati urutan ke-3
terbanyak penderita TB di dunia setelah India, dan Cina. Di Indonesia setiap
tahun terdapat ± 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian akibat TB.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia tahun 2004
menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian nomor satu diantara
penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit
jantung dan pernapasan akut pada seluruh kalangan usia (Silitonga, 2011).
Selain itu, pneumotoraks dan efusi pleura merupakan salah satu etiologi
gagal napas. Angka kejadian primary spontaneous pneumothorax (PSP) di Inggris
adalah 24 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 9,8 per 100.000 penduduk
per tahun untuk perempuan (Aulia, 2015). Prevalensi efusi pleura mencapai 320
per 100.000 penduduk di negara-negara industri dan penyebaran etiologi
berhubungan dengan prevalensi penyakit yang mendasarinya (Surjanto, 2014).
Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Di negaranegara industri, diperkirakan
terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika Serikat melaporkan
1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura terutama disebabkan oleh
gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah konsep dasar teori dari respiratory failure ?
2. Bagaimanakah konsep dasar asuhan keperawatan dari respiratory failure ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan makalah ini adalah agar mahasiswa
khususnya mahasiswa S1 Keperawatan mengetahui konsep teori dan konsep
asuhan keperawatan pada pasien dengan respiratory failure.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penyususunan makalah ini adalah agar mahasiswa lebih
mengetahui dan memahami:
1.1.1.1. Konsep dasar teori respiratory failure
1.1.1.2. Konsep dasar asuhan keperawatan pada respiratory failure
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Fisiologi Pernafasan
Fungsi primer dari sistem pernapasan adalah untuk menyediakan
oksigen bagi jaringan dan membuang karbondioksida. Untuk mencapai tujuan
ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat peristiwa fungsional pertama,
yaitu ventilasi paru (masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli
paru), difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah, transport
oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel, dan
pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan (Putri, 2013).
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar
tubuh ke alveoli dan pemerataan distribusi udara kedalam alveoli alveoli.
Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat
dikembang kempiskan melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk
memperbesar atau memperkecil rongga dada, serta depresi dan elevasi tulang
iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior rongga
dada.
Ventilasi alveolar adalah salah satu bagian yang penting oleh karena
oksigen pada tingkat alveoli inilah yang mengambil bagian dalam proses
difusi. Besarnya ventilasi alveolar berbanding lurus dengan banyaknya udara
yang masuk atau keluar paru, laju napas, udara dalam jalan napas serta
keadaan metabolik. Setelah alveoli diventilasi dengan udara segar, langkah
selanjutnya dalam proses pernapasan adalah difusi Oksigen dari alveoli ke
pembuluh darah paru dan difusi karbondioksida dari arah sebaliknya melalui
membran tipis antara alveolus dan kapiler (Putri, 2013).
Transport oksigen dan karbondioksida terjadi bila oksigen telah
berdifusi dari alveoli kedalam darah paru. Oksigen terutama ditranspor dalam
bentuk gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan dimana oksigen
dilepaskan untuk digunakan oleh sel. Oksigen diangkut ke jaringan dari paru
melalui dua jalan, yaitu secara fisik larut dalam plasma, kira-kira hanya 3%
dan secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb) sebagai
oksihemoglobin, kira-kira 97% oksigen ditranspor melalui cara ini.
Sedangkan transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan
dengan tiga cara, yaitu sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, 20%
berikatan dengan gugus amino pada Hb (Karbaminohemoglobin) dalam sel
darah merah, dan 70 % dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-).

2. Definisi Respiratory Failure


Kegagalan pernapasan (respiratory failure) adalah suatu kondisi
dimana oksigen tidak cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ
tubuh, seperti jantung dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk
bekerja dengan baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru
tidak dapat membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon
dioksida dalam darah dapat membahayakan organ tubuh (National Heart,
lung, 2011).
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah
yang tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan pH, pO2, dan
pCO2, darah arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau
disertai hiperkapnia (Arifputera, 2014).

3. Etiologi
1) Depresi Sistem saraf pusat
Mengakibatkan gagal nafas karena ventilasi tidak adekuat. Pusat
pernafasan yang menngendalikan pernapasan, terletak dibawah batang
otak (pons dan medulla) sehingga pernafasan lambat dan dangkal.
2) Kelainan neurologis primer
Akan memperngaruhi fungsi pernapasan. Impuls yang timbul dalam pusat
pernafasan menjalar melalui saraf yang membentang dari batang otak
terus ke saraf spinal ke reseptor pada otot-otot pernafasan. Penyakit pada
saraf seperti gangguan medulla spinalis, otot-otot pernapasan atau
pertemuan neuromuslular yang terjadi pada pernapasan akan
sangatmempengaruhiventilasi.
3) Efusi pleura, hemotoraks dan pneumothoraks
Merupakan kondisi yang mengganggu ventilasi melalui penghambatan
ekspansi paru. Kondisi ini biasanya diakibatkan penyakti paru yang
mendasari, penyakit pleura atau trauma dan cedera dan dapat
menyebabkan gagal nafas.
4) Trauma
Disebabkan oleh kendaraan bermotor dapat menjadi penyebab gagal nafas.
Kecelakaan yang mengakibatkan cidera kepala, ketidaksadaran dan
perdarahan dari hidung dan mulut dapat mnegarah pada obstruksi jalan
nafas atas dan depresi pernapasan. Hemothoraks, pnemothoraks dan
fraktur tulang iga dapat terjadi dan mungkin meyebabkan gagal nafas.
Flail chest dapat terjadi dan dapat mengarah pada gagal nafas.
Pengobatannya adalah untuk memperbaiki patologi yang mendasar.
5) Penyakit akut paru
Pnemonia disebabkan oleh bakteri dan virus. Pnemonia kimiawi atau
pnemonia diakibatkan oleh mengaspirasi uap yang mengritasi dan materi
lambung yang bersifat asam. Asma bronkial, atelektasis, embolisme paru
dan edema paru adalah beberapa kondisi lain yang menyababkan gagal
nafas.
Beberapa mekanisme timbulnya gagal napas pada beberapa penyakit
adalah sebagai berikut:
1) Penyakit Paru Obstruktif Kronik(PPOK) dan Asma
Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran napas,
fibrosis, destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar yang
kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun, membuat
terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2.
2) Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu reaksi
inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area permukaan
alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu
menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2.
3) TB Pulmonal
Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan terjadi
peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membrane
alveolokapiler, sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu (Raina et
al., 2013).
4) Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat ventilasi
dan perfusi tidak adekuat (American Association for Respiratory Care,
www.aarc.org American Lung Association, 2009).
5) Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika tekanan
intrapleural melebihi tekanan atmosfi. Pada respirasi normal, ruang pleura
memiliki tekanan negatif. Saat dinding dada mengembang ke luar,
ketegangan permukaan antara pleura parietal dan viseral menyebabkan
paru-paru mengembang keluar. Penumpukan tekanan di dalam ruang
pleura pada akhirnya menyebabkan hipoksemia dan gagal napas akibat
kompresi paru-paru.
6) Efusi Pleura
Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea yang dikarenakan penurunan
compliance dinding dada.sehingga pertukaran udara tidak adekuat (Steven
A. Sahn, 2012).

4. Klasifikasi
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu gagal napas tipe I
dan gagal napas tipe II.
Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah,
ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun. Gagal
napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan tidak disebabkan oleh
kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terutama terjadi
akibat:
1) Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah mengalir ke
bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah. Keadaan ini paling
sering. Contohnya adalah posisi (terlentang di tempat tidur), ARDS,
atelektasis, pneumonia, emboli paru, dysplasia bronkupulmonal.
2) Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane alveolar atau
pembentukan cairan interstitial pada sambungan alveolar-kapiler.
Contohnya adalah edema paru, ARDS, pneumonia interstitial.
3) Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area paru-paru
yang tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya adalah malformasi
arterio-vena paru, malformasi adenomatoid congenital.
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2,
pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai dengan
retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai dengan penurunan
PH yang abnormal dan penurunan PaO2 atau hipoksemia.
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan
ekstrapulmonal dapat disebabkan karena penekanan dorongan pernapasan
sentral atau gangguan pada respon ventilasi (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked
(Paru), 2017).

5. Manifestasi Klinis
Gagal napas hipoksemia Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini
menunjukkan nilai normal atau rendah. Gejala yang timbul merupakan
campuran hipoksemia arteri dan hipoksia jaringan, antara lain:
1) Dispneu (takipneu, hiperventilasi)
2) Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat
3) Sianosis di distal dan sentral (mukosa,bibir)
4) Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi
5) Hipotensi, bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga gagal
jantung dapat terjadi pada hipoksia berat. (Arifputera, 2014).
Gagal napas hiperkapnia Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam
alveolus menyebabkan pO2 alveolus dari arteri turun. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh gangguan di dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak.
Contoh pada PPOK berat, asma berat, fibrosis paru stadium akhir, ARDS
berat, atau sindroma guillain barre. Gejala hiperkapnia antara lain penurunan
kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu, bradipneu), tremor, bicara kacau, sakit
kepala, dan papil edema (Arifputera, 2014).
6. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal
nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap
hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas
kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt
tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja
pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah
ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla).
Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak
adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang
dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pneumonia
atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

7. Pathway
(Terlampir)
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
a. Analisa Gas Darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika
gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah harus
dilakukan untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal napass
akut dan kronik. Hal ini penting untuk menilai berat-ringannya gagal
napas dan mempermudahkan pemberian terapi. Analisa gas darah
dilakukan untuk patokan terapi oksigen dan penilian objektif dalam
berat-ringan gagal napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk
peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernapasan.
Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan
respirasi akibat neuromuscular, misalnya pada sindroma guillain-barre,
dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan
kelemahan. Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu
gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked (Paru), 2017).
b. Pulse Oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan melalui
aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di dapatkan berupa
saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan
baik di lobus bawah telinga atua jari tangan maupun kaki. Hasil pada
keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak akurat. Hubungan antara
saturasi oksigen dantekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi
oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka
penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked (Paru), 2017).
c. Capnography
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar
karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain
untuk kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus serta
gangguan fungsi paru (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked (Paru), 2017).
a) Pemeriksaan apusan darah untuk mendekteksi anemia yang
menunjukakkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia
menunjukkan gagal napas kronik.
b) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena
hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-
sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti
kalium, magnesium dan fosfat dapat memperberat gejala gagal
napas.
c) Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat
membedakan infark miokard dengan gagal napas, kadar kreatinin
serum yang meningkat dengan kadar troponin 1 yang yang normal
menunjukkan terjadinya miositosis yang dapat menyebabkan gagal
napas.
d) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH
serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang
dapat menyebabkan gagal napas reversible.
e) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah
pengukuran kadar albumin serum, prealbumim, transferin, total
ironbinding protein, keseimbangan nitrogen, indeks kreatinindan
jumlah limfosit total.
2) Radiologi
a. Radiografi Dada
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal
napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner
kardiogenik dan nonkardiogenik.
b. Ekokardiografi
a) Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya
dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena
penyakit jantung.
b) Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang
abnormal atau regurgitasi mitral berat menunjukkan edema
pulmoner kardiogenik.
c) Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolik yang
normal pada pasien dengan edema pulmoner menunjukkan
sindromdistress pernapasan akut.
d) Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri
pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas
hiperkapnik kronik.
c. Pulmonary Function Tests (PFTs) dilakukan pada gagal napas kronik
a) Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced
vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan
di pusat control pernapasan.
b) Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan
napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang
tetap menunjukkan penyakit paru restriktif.
c) Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai
FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru
restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L (Syarani, Dr. dr.
Fajrinur, M.Ked (Paru), 2017).

9. Penatalaksanaan
Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus
diberikan untuk meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai
penyakit paru obstruktif, fraksi inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada
pasien yang sakit parah, walaupun pengobatan medis telah maksimal, NIV
(Noninvasive ventilation) dapat digunakan untuk memperbaiki oksigenasi,
mengurangi laju pernapasan dan mengurangi dyspnoea. Selain itu, NIV dapat
digunakan sebagai alternatif intubasi trakea jika pasien menjadi hiperkapnia
(Forte et al., 2006).
1) Tahap I
a. Pemberian oksigen
Untuk mengatasi hipoksemia, cara pemberian oksigen bergantung
FiO2, yang dibutuhkan. Masker rebreathing dapat digunakan jika
hipoksemia desertai kadar PaCO2 rendah.
Berikut nilai FiO2 tiap cara pemberian:
a) Nasal kanul: FiO2 25-50% dengan oksigen 1-6 L/menit
b) Simple mask : FiO2 30-50% dengan oksigen 6-8 L/menit
c) Masker non rebreathing: FiO2 60-90% dengan oksigen 15 L/menit
b. Nebulisasi dengan bronkodilator.
Terapi utama untuk PPOK dan asma.
c. Humidifikasi
d. Pemberian antibiotik
2) Tahap II
a. Pemberian bronkodilator parenteral
b. Pemberian kortikosteroid
3) Tahap III
a. Stimulasi pernapasan
b. Mini trakeostomi dan intubasi trakeal dengan indikasi: diperlukan
ventilasi mekanik namun disertai retensi sputum dan dibutuhkan
suction trakeobronkial, melindungi dari aspirasi, mengatasi obstruksi
saluran napas atas.
4) Tahap IV
a. Pemasangan ventilasi mekanik
Indikasi ventilasi mekanik: operasi mayor, gagal napas, koma,
pengendalian TIK, post-operatif, penurunan laju metabolik, keadaan
umum kritis (Arifputera, 2014).
10. Komplikasi
Komplikasi kegagalan pernapasan akut dapat berupa penyakit paru,
kardiovaskular, gastrointestinal (GI), penyakit menular, ginjal, atau
gizi.Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah
perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum. Infeksi
nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan sepsis terkait
kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas akut.Ini biasanya terjadi dengan
penggunaan alat mekanis. Komplikasi gizi meliputi malnutrisi dan
pengaruhnya terhadap kinerja pernapasan dan komplikasi yang berkaitan
dengan pemberian nutrisi enteral atau parenteral (Kaynar, 2016).
Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,
barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan dengan
mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga banyak
menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri, hipotensi,
barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya intubasi trakhea
adalah hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang, hipoventilasi,
pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga mempunyai komplikasi di
bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi, ileus dan diare (Putri, 2013).
Kardiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan
curah jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal.Komplikasi pada
ginjal dapat menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan. Resiko
terkena infeksi pada pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu infeksi
nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal (Putri, 2013).

2.2 KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
1) Anamnesis
Keluhan utama yang sering muncul adalah gejala sesak nafas atau
peningkatan frekuensi nafas. Secara umum perlu dikaji tentang gambaran
secara menyeluruh apakah klien tampak takut, mengalami sianosis, dan
apakah tampak mengalami kesukaran bernafas. Perlu diperhatikan juga
apakah klien berubah menjadi sensitif dan cepat marah (iritability), tanpak
binggung (confusion), atau mengantuk (somnolen). Yang tak kalah
penting ialah kemampuan orientasi klien terhadap tempat dan waktu. Hal
ini perlu diperhatikan karena gangguan funngsi paru akut dan berat sering
direfeksikan dalam bentuk perubahan status mental. Selain itu, gangguan
keadaan sering pula dihubungkan dengan hipoksemia, hiperkapnea, dan
asidemia karena gas beracun. Selain itu kaji riwayat penyakit masa lalu,
riwayat penyakit keluarga, lingkungan serta habits/ kebiasaan.
2) Pemeriksaan Fisik
a. Airway
a) Peningkatan sekresi pernafasan.
b) Bunyi nafas krekles ronki dan mengi.
b. Breating
a) Distress pernafasan : pernafasan cupping hidung,
takipneu/bradipneu retraksi.
b) Menggunakan otot aksesori pernafasan.
c) Kesulitan bernafas : lapar udara, diaphoresis, sianosis.
c. Circulation
a) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardi.
b) Sakit kepala.
c) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk.
d) Papiledema.
e) Penurunan haluan urine.
3) Keadaan Umum
Kaji tentang kesadara klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara
bicara. Denyut nadi, frekuensi nafas yang meingkat, penggunaan otot-otot
bantu pernafasan, sianosis.
4) Pemeriksaan B6
a. B1 (Breathing)
a) Inspeksi
Kesulitan bernafas tampak dalam perubahan irama dan frekuensi
pernafasan. Keadaan normal frekuensi pernafasan 16-20x/menit
dengan amplitude yang cukup besar. Jika seseorang bernafas
lambat dan dangkal, itu menunjukan adanya depresi pusat
pernafasan. Penyakit akut paru sering menunjukan frekuensi
pernafasan > 20x/menit atau karena penyakit sistemik seperti
sepsis, perdarahan, syok, dan gangguan metabolic seperti diabetes
militus.
b) Palpasi
Perawat harus memerhatikan pelebaran ICS dan penurunan taktil
fremitus yang menjadi penyebab utama gagal nafas.
c) Perkusi
Perkusi yang dilakukan dengan saksama dan cermat dapat
ditemukan daerah redup- sampai daerah dengan daerah nafas
melemah yang disebabkkan oleh peneballan pleura, efusi pleura
yang cukup banyak, dan hipersonor, bila ditemukan
pneumothoraks atau emfisema paru.
d) Auskultasi
Auskultasi untuk menilai apakah ada bunyi nafas tambahan seperti
wheezing dan ronki serta untuk menentukan dengan tepat lokasi
yang didapat dari kelainan yang ada.
b. B2 (Blood)
Monitor dampak gagal nafas pada status kardovaskuler meliputi
keadaan hemodinamik seperti nadi, tekanan darah dan CRT.
c. B3 (Brain)
Pengkajian perubahan status mental penting dilakukan perawat karena
merupakan gejala sekunder yang terjadi akibat gangguan pertukaran
gas. Diperlukanan pemeriksaan GCS unruk menentukan tiingkat
kesadaran.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urin perlu dilakukan karena berkaitan
dengan intake cairan. Oleh karena itu, perlu memonitor adanya
oliguria, karena hal tersebut merupaka tanda awal dari syok.
e. B5 (Boowel)
Pengkajian terhadap status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan
kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhanya. Pada klien sesak
nafas potensial terjadi kekurangan pemenuhan nutrisi, hal ini karena
terjadi dipnea saat makan, laju metabolisme, serta kecemasan yang
dialami klien.
f. B6 (Bone)
Dikaji adanya edema ekstermitas, tremor, tanda-tanda infeksi pada
ekstermitas, turgon kulit, kelembaban, pengelupasan atau bersik pada
dermis/ integumen.
5) Pemeriksaan Fisik
a. System pernafasaan
- Inpeksi : kembang kembis dada dan jalan nafasnya
- Palpasi : simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernafasaan
tertinggal.
- Perkusi : suara nafas ( sonor, hipersonor atau pekak)
- Auskultasi : suara abnormal (wheezing dan ronchi)
b. System Kardiovaskuler
- Inspeksi : adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari
daerah trauma.
- Palpasi : bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral
- Auskultasi : suara detak jantung menjauh atau menurun dan
adakah denyut jantung paradok.
c. System neurologis
- Inpeksi : gelisah atau tidak gelisah, adakah jejas di kepala
- Palpasi : kelumpuhan atau laterarisasi pada anggota gerak.
Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale
d. Aktifitas
- Gejala : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup
menetap.
- Tanda : takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas
e. Sirkulasi
- Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner,
masalah tekanan darah, diabetes mellitus, gagal nafas.
- Tanda : tekanan darah dapat normal / naik / turun, perubahan
postural dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri, nadi dapat
normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat kualitasnya
dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratus (disritmia), bunyi
jantung ekstra S3 atau S4 mungkin menunjukkan gagal jantung
atau penurunan kontraktilits atau komplain ventrikel, bila ada
menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot jantung, irama
jantung dapat teratur atau tidak teratur, edema, pucat atau sianosis,
kuku datar , pada membran mukossa atau bibir.
f. Eliminasi
Tanda : bunyi usus menurun.
g. Integritas ego
- Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan,
khawatir tentang keuangan , kerja , keluarga.
- Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata,
gelisah, marah, perilaku menyerang, focus pada diri sendiri, koma
nyeri.
h. Makanan atau cairan
- Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau terbakar
- Tanda : penurunan turgor kulit, kulit kering, berkeringat, muntah,
perubahan berat badan.
i. Hygiene
Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan
j. Neurosensori
- Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk
atau istrahat.
- Tanda : perubahan mental, kelemahan
k. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala : nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau
nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral).
l. Pernafasan
- Gejala : dispnea tanpa atau dengan kerja, dispnea nocturnal, batuk
dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit
pernafasan kronis.
- Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak / kuat,
pucat, sianosis, bunyi nafas (bersih, krekles, mengi), sputum.
m. Interkasi social
- Gejala : stress, kesulitan koping dengan stressor yang ada missal :
penyakit, perawatan di RS.
- Tanda : kesulitan istirahat dengan tenang, respon terlalu emosi
(marah terus-menerus, takut), menarik diri.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada

3. Intervensi Keperawatan
4. Implementasi
Implementasi keperawatan dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang
telah dibuat.

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dinilai berdasarkan kriteria hasil yang telah
ditentukan.
BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan
Kegagalan pernapasan (respiratory failure) adalah suatu kondisi
dimana oksigen tidak cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ
tubuh, seperti jantung dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk
bekerja dengan baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru
tidak dapat membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon
dioksida dalam darah dapat membahayakan organ tubuh.
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah
yang tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan pH, pO2, dan
pCO2, darah arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa atau
disertai hiperkapnia.
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal
nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam
(penyakit penambang batubara).Pasien mengalalmi toleransi terhadap
hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas
kronik struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.
Indikator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital,
frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila lebih dari20x/mnt
tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja
pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah
ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg).
Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla).
Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak
adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang
dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opiood. Pneumonia
atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.

3.2. Saran
Dalam keterbatasan yang penulis miliki, tentunya makalah ini sangat
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, masukan/saran yang baik sangat
diharapkan guna memperbaiki dan menunjang proses perkuliahan.
DAFTAR PUSTAKA

American Association for Respiratory Care, www.aarc.org American Lung


Association, W. lungusa. or. 2009. Gas Exchange and Respiratory Function.
pp. 484–516.
Arifputera, A. 2014. Kapita Selekta Kedokteran IV. Jakarta.
Forte, P. Mazzone, M. Portale, G. Falcone, C. Mancini, F. et al. 2006. Approach To
Respiratory Failure In Emergency Department. European Review for Medical
and Pharmacological Sciences, 10(3), pp. 135–151.
Kaynar, A. M. 2016. Respiratory Failure Clinical Presentation.
National Heart, lung, and B. I. (NIH). 2011. What Is Respiratory Failure?
Putri, E. S. 2013. Diagnosis Dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut. Jakarta: FK UPN
Veteran pp. 1–37.
Rahmatika, A. 2009. Karakteristik Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik yang
Dirawat Inap di RSUD Aceh Tamiang Tahun 2007-2008. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Raina, A. H. et al. 2013. Pulmonary Tuberculosis Presenting With Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS): A Case Report And Review Of Literature.
Silitonga, M. Ti. J. D. 2011. Perbandingan kadar interferon gamma cairan pleura
pada efusi pleura exudativa tuberkulosa dengan non tuberkulosa tesis.
Steven A. Sahn, M. 2012. Malignant Pleural Effusions. Pakistan Journal of Chest
Medicine, 18(1), pp. 13–22.
Surjanto, E. et al. 2009. The Relationship Between Underlying Disease of Respiratory
Failure with The Treatment's Outcome on Hospitalized Patients in Dr.
Moewardi Hospital Surakarta 2009. pp. 1–10.
Surjanto, E. et al. 2014. Penyebab Efusi Pleura pada Pasien Rawat Inap di Rumah
Sakit. Pp 34 (2).
Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.Ked (Paru), S. P. (K). 2017. Gagal Napas, Buku Ajar
Respirasi. Medan: USU Press, pp. 551–573.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Indikasi dan Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai