Anda di halaman 1dari 36

Asuhan Keperawatan Edema Paru Akut

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Edema paru akut merupakan kondisi di mana cairan terakumulasi di dalam paru-paru,
biasanya diakibatkan oleh ventrikel kiri jantung yang tidak memompa secara adekuat. Edema
paru akut terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang
selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran
limfatik.
Bertambahnya cairan dalam ruang di luar pembuluh darah paru-paru disebut edema
paru akut. Edema paru akut merupakan komplikasi yang biasa dari penyakit jantung dan
kebanyakan kasus dari kondisi ini dihubungkan dengan kegagalan jantung. Edema paru akut
dapat menjadi kondisi kronik atau dapat berkembang dengan tiba-tiba dan dengan cepat
menjadi ancaman hidup. Tipe yang mengancam hidup dari edema paru terjadi ketika
sejumlah besar cairan tiba-tiba berpindah dari pembuluh darah paru ke dalam paru,
dikarenakan masalah paru, serangan jantung, trauma, atau bahan kimia toksik. Ini dapat juga
menjadi tanda awal dari penyakit jantung koroner.
Angka kejadian penyakit ini adalah sekitar 14 diantara 100.000 orang/tahun. Angka
kematian melebihi 40%. Tanpa pengobatan yang tepat, 90% kasus berakhir dengan kematian.
Bila pengobatan yang diberikan sesuai, 50% penderita akan selamat. Penderita yang bereaksi
baik terhadap pengobatan, biasanya akan sembuh total, dengan atau tanpa kelainan paru-paru
jangka panjang.
Mengingat begitu berbahayanya edema paru akut bagi kesehatan maka kelompok
akan membahas mengenai edema paru akut dan asuhan keperawatan yang diberikan.
Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan yang efektif dan mampu ikut
serta dalam upaya penurunan angka insiden edema paru akut melalui upaya promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada klien ALO dengan baik.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui definisi penyakit oedema paru akut.
b. Mengetahui etiologi ALO.
c. Mengetahui tanda gejala ALO.
d. Mengetahui patofisiologi ALO.
e. Mengetahui pemeriksaan penunjang dan komplikasi dari ALO.

C. Rumusan Masalah
a. Apa definisi dari ALO?
b. Apa etiologi dari ALO ?
c. Manifestasi klinis dari ALO?
d. Bagaimana patofisiologi dari ALO?
e. Apa komplikasi, serta pemeriksaan penunjang dari ALO?
f. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan edema paru akut?
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya
tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis.
Edema Paru Akut (Kardiak) menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di
interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri
melebihi keluaran ventrikel kiri.
Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tingkat lanjut dimana cairan
mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, menembus keluar dan menimbulkan dipsnea
yang sangat berat.
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru. cairan
ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak, sehingga sulit untuk
bernapas.

B. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-kardiogenik.
a. Cardiogenic pulmonary edema
b. Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada organ
jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa tidak bagus
atau jantung tidak kuat lagi memompa. Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan
yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung
yang buruk.
c. Non-cardiogenic pulmonary edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal berikut:
 Acute respiratory distress syndrome (ARDS).
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon
peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat
dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
 Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka
paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-
paru.
 Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat menyebabkan
penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema.
Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk
mengeluarkan kelebihan cairan tubuh
 High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke
ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
 Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang parah,
atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru,
menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
 Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion pulmonary
edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau
jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada
ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi
yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
 Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema.
Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada
aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.
 Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema mungkin
termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru
akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute lung injury (TRALI),
beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.

C. Etiologi
Edema Paru dapat terjadi oleh karena banyak mekanisme yaitu :
1) Ketidak-seimbangan Starling Forces :
 Peningkatan tekanan kapiler paru :
 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria
pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
 Penurunan tekanan onkotik plasma.
 Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday,
penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
 Peningkatan tekanan negatif intersisial :
 Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
 Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan
dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
 Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
2) Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
 Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
 Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, NO2, dsb).
 Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
 Aspirasi asam lambung.
 Pneumonitis radiasi akut.
 Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
 G Disseminated Intravascular Coagulation.
 Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
 Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
 Pankreatitis Perdarahan Akut.
3) Insufisiensi Limfatik :
 Post Lung Transplant.
 Lymphangitic Carcinomatosis.
 Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4) Penyebab tersering oedema paru adalah:
 Penyakit jantung (artero sklerotik).
 Hipertensi
 Kelainan katup
 Mopati

D. Patofisiologi
Edema Paru terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes
keluar dari pembuluh-pembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat
menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida),
berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini
dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-
pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan
pada sebab-sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.

E. Manifestasi Klinis
a. Terjadi awitan kesulitan nafas mendadak dan perasaan tercekik.
b. Tangan menjadi dingin dan basah
c. Kuku biru (sianosis)
d. Warna kulit menjadi abu-abu
e. Nadi lemah dan cepat
f. Vena leher menegang
g. Mulai batuk dengan mengeluarkan sputum yang banyak
h. Klien konfusi serta stupor
i. Napas berbunyi dan basah
j. Mengerluarkan cairan berbusa ke bronkus dan trakhea
k. edema alveolar
l. Pertukaran gas sangat terganggu
m. Terjadi hipoksemia dan hipokapnia.
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga
tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal). Adanya
penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas
kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks
bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan
fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat
sedikit perubahan saja.
Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan.
Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat
dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral, sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih, ronchi basah
nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai
ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai
asma kardiale, takikardia dengan S3 gallop, murmur bila ada kelainan katup.
b. Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
bisa ditemukan.
c. Laboratorium
 Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
 Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
 Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-
MB, Troponin T), angiografi koroner.
d. Ekokardiografi
e. Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP).
f. Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz).

G. Penatalaksanaan
a. Posisi ½ duduk.
b. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
c. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan
intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
d. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
e. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit.
Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 –
5 ug/kgBB.
f. Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1
ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan
perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya
mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital.
g. Morfin sulfat 3 – 5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
h. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam
atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
i. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau
Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
j. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
k. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
l. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding
ventrikel / corda tendinae.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
2. Riwayat Penyakit :
a. Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-batuk disertai
dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat terjadi dengan tiba-
tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar dengan masing-masik tanda klinik
mungkin menyertai klien
b. Riwayat penyakit dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis, Penyakit
paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada
klien.
3. Pemeriksaan Fisik.
a. TTV
b. Pemeriksaan B1-B6
4. Pola Aktivitas sehari-hari :
a. Nutrisi dan metabolisme
b. Cairan dan metabolik
c. Pola eliminasi
d. Aktivitas dan latihan
e. Pola istirahar tidur

B. Diagnosa Keperawatan
a) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus
(perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli).
c) Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
d) Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan
untuk bernafas).
e) Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan keletihan.

C. Intervensi
Dx 1 : Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan kontakilitas miokardial
(penurunan).
Tujuan : Curah jantung tercukupi untuk kebutuhan individual
Kriteria hasil : Menunjukkan tanda vital dalam batas normal dan bebas gejala gagal jantung.
Intervensi:
a) Catatan suara jantung.
R/l : S1 dan S2 mungkin lemah karena terdapat kelemahan dalam memompa.
c. Monitor TTV
R/ : pada awal tekanan darah meningkat karena peningkatan SVR, lama kelamaan
badan/body jantung tidak bisa bertambah panjang agar bisa untuk kompensasi dan bisa terjadi
hipotensi berat.
d. Kolaborasi dalam pemberian O2 lewat canul nasal/masker sesuai indikasi.
R/: meningkatnya persediaanya O2 untuk kebutuhan myokard untuk menanggulangi efek
hypoxia/iskemia.
e. Kolaborasi pemberian diuretic.
R/ : Pengurangan preload penting dalam pengobatan pada pasien cardiac out put yang relative
normal yang di sertai oleh gejala-gejala bendungan. Pemberian loup diuretics akan
mengurangi reabsorbsi dari sodium dan air.
Dx II : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler-alveolus
(perpindahan cairan ke dalam area intertitial/alveoli).
Tujuan : Pertukaran gas efektif.
Kriteria Hasil : menunjukkan ventilasi dan oksigenasi jaringan yang adekuat pada jaringan
di tunjukkan oleh GDA/oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi :
a) Auskultasi suara nafas, catat adanya krekels.
R/: Menunjukkan adanya bendungan pulmonal/penumpukan secret yang membutuhkan
penanganan lebih lanjut.
b) Atur posisi fowler dan bed rest.
R/ : merangsang pengembangan paru secara maksimal.
c) Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri
R/ : hipoksemia dapat menjadi berat selama edema paru.
d) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi.
R/: meningkatkan konsenterasi O2 alveolar yang akan mengurangi hypoxemia jaringan.
e) Kolaborasi pemberian obat .
 Diuretic
R/ : Mengurangi bendungan alveolar sehingga meningkatkan pertukaran gas
 Bronkodilator
R/ : Meningkatkan pemasukan O2 dengan jalan dilatasi saluran nafas.

Dx III : Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru


sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam paru.
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.
Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada
pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas terdengar
jelas.
Intervensi :
a) Identifikasi faktor penyebab.
R/ : Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat mengambil tindakan yang tepat.
b) Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi.
R/ : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat mengetahui
sejauh mana perubahan kondisi pasien.
c) Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat
tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
R/ : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.
d) Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien).
R/ : Peningkatan RR dan tachicardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.
e) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thorax.
R/l : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya
sianosis akibat hipoxia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya
cairan dan kembalinya daya kembang paru.

Dx IV : Cemas berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan


(ketidakmampuan untuk bernafas).
Tujuan : Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi
kecemasan.
Kriteria hasil : Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi dengan
keadaannya. Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai, nafas teratur dengan
frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90 kali permenit.
Intervensi :
a) Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi fowlerdan jelaskan
mengenai penyakit dan diagnosanya.
R/ : pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak kerjasama dalam
perawatan.
b) Ajarkan teknik relaksasi
R/ : Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan.
c) Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
R/ : Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien dan
membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
d) Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
R/ : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan baik,
perasaan yang mengganggu dapat diketahui.
e) Bantu dalam menggala sumber koping yang ada.
R/ : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat dalam
mengatasi stress.

Dx V : Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari berhubungan dengan keletihan.


Tujuan : Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.
Kriteri hasil : Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan
bersemangat, personel hygiene pasien cukup.
Intervensi :
f) Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat aktivitas serta adanya
perubahan tanda-tanda vital.
R/ : Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.
g) Bantu Px memenuhi kebutuhannya.
R/: Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri.
h) Awasi Px saat melakukan aktivitas.
R/ : Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan selanjutnya.
i) Libatkan keluarga dalam perawatan pasien.
R/ : Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara penuh.
j) Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ : Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme’.

BAB 2
PEMBAHASAN
DENGAN GANGGUAN PERNAFASAN EDEMA PARU

2.1 Definisi
a) Edema paru adalah penumpukan abnormal cairan didalam paru-paru baik dalam spasium
interstitial atau dalam alveoli. (Diane C. Baughman,Joann C Hackley.2000)
b) Edema paru merupakan penyebab utama timbulnya gagal pernafasan. Edema pulmo
awalnya akibat dari perubahan fisiologis tekanan dalam paru-paru dan jantung. (Charlene J
Reeves, dkk. 2001)
c) Edema Paru merupakan suatu keaadaan terkumpulnya cairan patologi di ekstravaskuler
dalam paru.(Muttaqin, Arif,2008)
Akumulasi cairan yang luas diinterstitium paru dapat terjadi karena ada gangguan
keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan onkotik dalam kapiler paru dan jaringan
sekitarnya. Tekanan hidrostatik menggerakkan cairan dari pembuluh darah ke interstitium,
sedangkan tekanan onkotik yang ditentukan oleh konsentrasi protein didalam darah,
menggerakkan cairan kedalam pembuluh darah. Tekanan yang seimbang dipertahankan oleh
tekanan hidrostatik intrakapiler antara 8-12 mmHg dan tekanan onkotik protein plasma
sebesar 25 mmHg.
Edema paru terjadi ketika hidrostatik kapiler paru meningkat melebihi tekanan onkotik,
terjadi peningkatan aliran cairan dan koloid dari pembuluh darah ke ruang interstitial dan
alveoli. Cairan yang terbentuk pada proses filtrasi dari kapiler ke ruang interstitial akan di
drainase oleh sistim limfatik. Pada peningkatan tekanan atrium yg kronik, terjadi hipertropi
sistem limfatik, yang melindungi paru dari edema,sehingga pada gagal jantung kronik, edema
paru baru terjadi bila tekanan kapiler paru > 25 mmHg karena adanya peningkatan kapasitas
sistem limfatik. Pada gagal jantung akut, edema paru dapat terjadi pada tekanan kapiler lebih
rendah, sekitar 18 mmHg.

Perbedaan Edema Paru Kardiogenik dan Edema Paru Non Kardiogenik


A. Edema Paru Kardiogenik
Adanya gangguan sirkulasi pada jantung akan menyebabkan peningkatan tekana vena
pulmonalis, tekanan hidrostatik meningkat melebihi tekanan onkotik, terjadi rembesan cairan
ke jaringan interstitial dan pada kasus yang lebih berat terjadi edema alveolar. Pada tahap
lanjut dapat terjadi pembentukan pleural effusion yang akan lebih mengganggu fungsi
respirasi. Tanda awal edema paru adalah Dipsnoe d’effort dan ortopnoe. Pada rontgen foto
thorax menunjukkan penebalan peribronkhial, apikalisasi corakan pembuluh darah, dan garis
kirley B. Lines. Pada edema paru yang lebih buruk, alveoli terisi cairan. Gambaran rontgen
foto thorax menunjukkan infiltrat diffuse pada alveola. Ditemukan rhonchi dan wheezing
yang disebabkan oleh paningkatan edema jalan nafas kronik.
B. Edema Paru Non Kardiogenik
Pada edema paru non kardiogenik tekanan hidrostatik normal, peningkatan cairan paru terjadi
karena kerusakan lapisan kapiler paru dengan kebocoran protein dan makromolekul kedalam
jaringan. Cairan berpindah dari pembuluh darah ke jaringan paru sekitarnya. Proses ini
dikaitkan dengan disfungsi lapisan surfaktan pada alveoli dan kecenderungan kolapsnya
alveoli pada volume paru yang rendah. Klinis bisa ditemukan dispnoe ringan sampai dengan
gagal nafas. Auskultasi paru relatif normal meskipun rontgen foto thorax menunjukkan
infiltrat alveolar difus.

2.2 Etiologi
Penyebab ALO (Acute Lung Odem)dibagi menjadi 2,yaitu sebagai berikut :
Etiologi Edema Paru Kardiogenik :
1. Gagal jantung
2. Hipertensi
3. Kardiomiopati
4. Gagal ginjal
Etiologi Edema Paru Non Kardoigenik :
1. Trauma thorax
2. Contusio paru
3. Aspirasi
4. Emboli paru
5. Sepsis
6. Keadaan tenggelam

2.3 Manifestasi Klinis


1. Serangan khas terjadi pada malam hari setelah berbaring selama beberapa jam dan
biasanya didahului
dengan rasa gelisah, ansietas, dan tidak dapat tidur.
2. Awitan sesak nafas mendadak dan rasa asfiksia (seperti kehabisan nafas), tangan menjadi
dingin dan basah, bantalan kuku menjadi sianotik, dan warna kulit menjadi abu-abu.
3. Nadi cepat dan lemah, vena leher distensi
4. Batuk hebat menyebabkan peningkatan jumlah sputum mukoid.
5. Dengan makin berkembangnya edema paru, ansietas berkembang menjadi mendekati
panic, pasien mulai bingung, kemudian stupor.
6. Napas menjadi bising dan basah, dapat mengalami asfiksia oleh cairan bersemu darah dan
berbusa (dapat tenggelam oleh cairan sendiri).
7. Manifestasi klinis edem paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium :
a. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran
gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini
mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas
menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya
saluran nafas yang tertutup saat inspirasi.
b. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur,
demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis kerley B).
Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor interstisial, akan lebih memperkecil saluran
nafas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi
refleks bronkhokonstriksi. Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda
gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe
sehingga penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
c. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia
dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas
vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Analisis gas darah
2 Foto rontgen thoraks
3 Pulse oksimetri
4 Elektrokardiografi

2.5 Patofisiologi

2.6 Penatalaksanaan
Sasaran penatalaksanaan medical adalah untuk mengurangi volume total yang bersirkulasi
dan untuk memperbaiki pertukaran pernafasan.
A. Oksigenasi:
1. Diberikan dalam konsentrasi yang adekuat untuk menghilangkan hipoksia dan dipsnea.
2. Oksigen dengan tekanan intermiten atau tekanan positif kontinu, jika tanda-tanda hipoksia
menatap.
3. Intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik, jikaterjadi gagal napas.
4. Tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP)
5. Gas darah arteri (GDA).

B. Farmakoterapi :
1. Morfin : IV dalam dosis kecil untuk mengurangi ansietas dan dispnea, merupakan kontra
indikasi pada cedera faskuler serebral, penyakit pulmonal kronis, atau syok kardiogenik.
Siapkan selalu nalokson hidroklorida (narcan) untuk depresi pernafasan luas.
2. Diuretik : furosemid (lasix) IV untuk membuat evek diuretik cepat.
3. Digitalis : untuk memperbaiki kekuatan kontraksi jantung, di berikan dengan kewaspadaan
tinggi pada pasien dengan MI akut.
4. Aminivilin : untuk mengi dan bronkospasme, drip IV kontinu dalam dosis sesuai berat
badan

C. Perawatan sportif :
1. Baringkan pasien tegak, dengan tungkai dan kaki di bawah, lebih baik bila kaki terjuntai di
samping tempat tidur, untuk membantu arus balik vena ke jantung.
2. Yakinkan pasien, gunakan sentuhan untuk memberikan kesan realitas yang konkrit
3. Maksimalkan waktu kegiatan di tempat tidur
4. Berikan informasi yang sering, sederhana, jelas tentang apa yang sedang di lakukan untuk
mengatasi kondisi dan apa makna respon terhadap pengobatan

2.7 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada edema paru,meliputi :
1. Gagal nafas
2. Asidosis respiratorik
3. Henti jantung

2.8 Pencegahan
1. Kenali tahap dini kapan tanda2 dan gejala2 yang ditunjukkan merupakan tanda dan gejala
kongesti pulmonal yaitu auskultasi bidang paru paru pasien dengan penyakit jantung
2. Hilangkan stress emosional dan terlalu letih untuk mengurangi kelebihan beban ventrikel
kanan.
3. Berikan morfin untuk mengurangi ansietas, dipsneu dan preload.
4. Lakukan tindakan mencegah gagal jantung kongestif dan penyuluhan pasien.
5. Nasihatkan untuk tidur dengan bagian kepala tempat tidur ditinggikan 25cm.
6. Tindakan bedah untuk menghilangkan atau meminimalkan defek valvular yang membatasi
aliran darah ke dalam dan keluar ventrikel kanan

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
DENGAN GANGGUAN PERNAFASAN EDEMA PARU
3.1 PENGKAJIAN
A. Data Subjektif
a. Identitas Klien
Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
agama, suku / bangsa, alamat, tanggal dan jam masuk rumah sakit, diagnosa medik.

b. Keluhan utama
Klien biasanya mengeluh sesak nafas, badan lemas

c. Riwayat penyakit sekarang


Adanya sesak nafas dan kelemahan,sianosis

d. Riwayat penyakit dahulu


pada pengkajian riwayat kesehatan terdahulu sering kali klien mengeluh merasakan nyeri
dada hebat dan pasien pernah mengalami hipertensi, Penyakit paru, jantung serta kelainan
organ vital bawaan serta penyakit ginjal mungkin ditemui pada klien

e. Riwayat penyakit keluarga


Penyakit keturunan yang pernah dialami keluarga seperti DM, hepatitis,dan hipertensi

B. Pola Fungsional Gordon


a. Pola persepsi kesehatan
b. Pola Nutrisi
c. Pola Eliminasi
d. Pola Aktivitas- latihan
e. Pola Istirhat-Tidur
f. Pola Kognitif perseptual
g. Pola Konsep diri
h. Pola Peran Hubungan
i. Pola seksualitas-produksi
j. Pola Koping-toleransi stress
k. Pola nilai kepercayaan

PEMERIKSAAN FISIK
A.Data Objektif
a. Keadaan umum : k/u lemah
b. Kesadaran : Composmentis
c. TB : -
d. BB : -
e. TTV :
TD : >120/80 mmHg
N : >80x/mnt
RR : > 20x/mnt
S : >37,5oC

PEMERIKSAAN FISIK HEAD TO TOE


1. Kepala
Inspeksi : Warna rambut, kebersihan rambur,rontok/tidak, bentukwajah.
Palpasi : ada benjolan atau tidak
2. Mata
Inspeksi : Bentuk mata, warna sklera dan konjungtiva, akomodasi mata
3. Hidung
Inspeksi : Ada benjolan atau tidak, bentuk hidung
4. Telinga
Inspeksi : Bentuk, kebersihan telinga, terdapatsedikit cilia
Palpasi :Teksturpina, helix kenyal.
5. Mulut
Inspeksi : bentuk bibir, ada stomatitis atau tidak, warna bibir.
6. Leher
Inspeksi : Simetris atau tidak
Palpasi : Kelenjar limfe tidak teraba, kelenjar tiroid tidak membesar.
7. Paru
Inspeksi : Bentuk dada asimetris
Palpasi : Vokal fremitus kanan kiri tidak sama
Perkusi : pekak
Auskultasi : terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing.
Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau teknan darah
bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot
bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat
retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukan tekanan
negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi, batuk dengan sputuk yang
berwarna kemerahan serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki
basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat
ditemukan ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edem perifer, akral dingin
dengan sianosis . Dan pada edem paru non kardiogenik didapatkan Pada pemeriksaan fisik,
pada perkusi terdengar keredupan dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan
bergelembung pada bagian bawah dada.
8. Jantung
Inspeksi : Ictus kordis terlihat
Palpasi : PMI teraba
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Terdengar Murmur
9. Abdomen
Inspeksi : simetris
Auskultasi : Hitung bising usus
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Timpani
10. Ekstremitas
Inspeksi : Atas /bawah simetris atau tidak, hitung jumlah jari
11. Integumen
Inspeksi : Terlihat sianosis pada kuku
Palpasi : Akral dingin

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorim yang diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan
tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi/ darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar
protein, urinalisa gas darah.
2. Radiologi
Pada foto thorax untuk menunjukan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler
dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat
edema. Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edem paru kardiogenik dan
edem paru non krdiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edem
tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa
masalah teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifitas rontgen paru, seperti rotasi,
inspirasi, ventilator, posisi pasien.
3. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG biasa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemik atau infark
miokard akut dengan edema paru.

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan akumulasi protein dan cairan dalam
interstitial/area alveolar
b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan secret
c. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan intubasi endotrakeal
d. Gangguan pola nafas yang berhubungan menurunnya ekspensi paru skunder terhadap
penumpukan cairan dalam alveoli
e. Menurunnya Intoleransi Aktivitas berhubungan dengan kelemahan, ketidak seimbangan
suplai nutrisi dan kebutuhan oksigen

3.3 RENCANA KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Dx: Gangguan Ventilasi dan
pertukaran gas oksigenasi
berhubungan adekuat setelah 1. BHSP pada pasien 1. Dengan BHSP
dengan dilakukan atau keluarga dapat memperoleh
akumulasi protein pemasangan pasien pemberian tindakan
dan cairan dalam endotrakeal 2. Observasi TTV 2. peningkatan RR
interstitial/ area 3. Berikan oksigen dan Takikardia
alveolar kriteria hasil: yang dilembabkan merupakan indikasi
dengan humidifier adanya penurunan
 sesak 4. Berkolaborasi fungsi paru
napas dengan dokter 3. sehingga jalan
berkurang dalam pemberian napas buatan
, tidak terapi meniadakan
sianosis 5. Motivasi pasien mekanisme
untuk nafas dalam pertahanan tubuh
dan panjang untuk pelembapan
dan penghangatan
4. pengobatan yang
diberikan berdasar
indikasi sangat
membantu dalam
proses terapi
5. nafas dalam dapat
membantu
membebaskan jalan
napas

Dx: Bersihan jalan napas


ketidakefektifan efektif setelah dilakukan
bersihan jalan fisioterapi napas dan 1. BHSP pada pasien 1. Dengan BHSP
nafas penghisapan sekret dan keluarga dapat
berhubungan pasien mempermudah
dengan Kriteria Hasil 2. Lakukan pemberian
penumpukan fisioterapi napas tindakan
sekret  Hilangnya dan penghisapan 2. Sehingga
dispnea sekret secara dengan
 Bunyi napas kontinu fisioterapi
bersih/tidak ada 3. Berikan napas akan
ronkhi oksigenasi melepaskan
 Mengeluarkan sebelum sekret dari
sekret tanpa dilakukan dinding alveoli
kesulitan penghisapan sehingga
sekret memudahkan
4. Kaji dan catat untuk
karakteristik dialkukan
sputum penghisapan
5. Berkolaborasi 3. Sehingga
dengan dokter menambah
dalam pemberian cadangan
terapi seperti oksigen
Morfin, sehingga pada
furosemid, saat dilakukan
aminofilin. penghisapan
sekret klien
tidak
mengalami
kekurangan
oksigen karena
dengan
menghisap
sekret oksigen
juga ikut
terhisap
4. Untuk
mengidentifika
si sputum
5. Pengobatan
yang diberikan
berdasar
indikasi sangat
membantu
dalam proses
terapi
keperawatan

3.4 IMPLEMENTASI
Merupakan tindakan yang dilaksanakan untuk mengatasi keluhan pasien berdasarkan
intervensi yang telah dibuat.

3.5 EVALUASI
S : Berisi keluhan pasien, berasal dari pasien sendiri
O : Data yang diambil dari hasil observasi
A : Pernyataan masalah sudah teratasi atau sebagian atau belum teratasi
P : Rencana tindakan untuk mengatasi keluhan pasien
BAB 3
PENUTUP

Edema paru biasa dibagi menjadi kardiogenik dan non kardiogenik. Edema paru non
kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru
ke dalam ruang interstisial dan alveolus paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada
jantung. Kelainan tersebut bisa diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik atau
penurunan tekanan onkotik (osmotik) antara kapiler paru dan alveoli, dan terjadinya
peningkatan permeabilitas kapiler paru yang bisa disebabkan berbagai macam penyakit.
Sedangkan pada kardiogenik atau edem paru hidrostatik atau edem hemodinamikkarenainfark
miokars, hipertensi, penyakit jantung katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/ diastolik dan
lainnya. Pengobatan edema paru ditujukan kepada penyakit primer yang menyebabkan
terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan suportif terutama mempertahankan
oksigenasi yang adekuat (dengan pemberian oksigen dengan teknik-teknik ventilator) dan
optimalisasi hemodinamik (retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator
pulmonal).

DAFTAR PUSTAKA

1. J.Reeves, Charlene dkk.2001.Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: Salemba Medika


2. C.Baughman, Diane, C Hackley JoAnn.1996.Keperawatan Medikal
Bedah.Jakarta:EGC
3. Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta:Salemba Medika
4. Gleadle Jonathan 2006 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga

ASKEP EDEMA PARU

EDEMA PARU

A. Definisi
Edema paru merupakan suatu keadaan terkumpulnya cairan patologi di ekstravaskuler
dalam paru.( Arief Muttaqin, 2008 )
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik rongga interstitial
maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti paru tindak lanjut,
dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler, merembes keluar menimbulkan
dispneu sangat berat. (Smeltzer,C.Suzanne.2008.hal 798). Kongesti paru terjadi bila dasar
vaskuler paru penerima darah yang berlebihan dari ventrikel kanan, yang tidak mampu
diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Sedikit ketidakseimbangan antara aliran masuk
dari sisi kanan dan aliran keluar pada sisi kiri jantung tersebu mengaibatakan konsekuensi
yang berat.
Edema paru adalah akibat dari perubahan fisiologis tekanan dalam paru seperti ketika
aliran darah berlangsung sangat cepat dan tidak normal sehingga terlalu membebani sistem
sirkulasi tubuh yang kemudian menyebabkan terakumulasinya cairan dalam paru. ( KMB
Joko Setyono hal: 55 )
Edema paru adalah terkumpulnya cairan extravaskuler yang patologis di dalam paru.(
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II hal : 767 )

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh kelebihan cairan di paru-paru.
cairan ini terkumpul dalam kantung-kantung udara di paru-paru banyak, sehingga sulit untuk
bernapas.

B. Etiologi
Menurut Arif Muttaqin.2008. Edema paru disebapkan karena 2 hal yaitu :
a. Peningkatan tekanan hidrostatik
b. Peningkatan permeabilitas kapiler paru
Secara garis besar Edema Paru dibagi menajdi 2 garis besar yaitu :
1. Kardiogenik
a. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral)
b. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri
c. Peningkatan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteri pulmonalis
d. Post cardioversion
e. Eclampsia
2. Non Koardiogenik
a. Pneumonia
b. Pneumonitis radiasi akut
c. Bahan vasoaktif endogen
d. Aspirasi asam lambung
e. Peningkatan tekanan onkotik interstitial
f. Bahan toksik ihalan
g. Bahan asing dalam sirkulasi seperti bisa ular, endoktoksin, dan bakteri
h. Emboli paru
i. Post cardiopulmonary bypass
j. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura

C. Patofisiologi
Pemahaman mengenai mekanisme ini memerlukan tinjauan mengenai pembentukkan
dan reabsorbsi cairan paru serta struktur ultra paru.Ruang alveolar dipisahkan dari
interstisium paru terutama oleh sel epitel alveoli Tipe I, yang dalam kondisi normal
membentuk suatu barier relatif nonpermiabel terhadap aliran cairan dari interstitium ke
rongga – rongga udara (spaces). Faktor penentu yang paling penting dalam pembentukkan
cairan ekstravaskuler adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam lumen kapiler
dan ruang interstitial, serta permeabilitas sel endotelium terhadap air, zat terlarut (solut) dan
molekul besar seperti protein plasma. (Aryanto,1994)
Ciri perubahan dini pada edema paru adalah terjadinya peningkatan aliran limfatik.
Perubahan ini terjadi karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang
mengelilingi arteriola paru dan saluran pernafasan yang kecil pembekaan saluran limfatik ini
akan berdampak pada struktur sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya prubahan hubungan
tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya obstruksi pada saluran
kecil yang telah dibuktikan sebagai perubahan fisiologis dini pada klien dengan gagal jantung
kiri mengingat lesi ini tidak merata disaluran paru, maka timbul perubahan dalam distribusi,
ventilasi, dan perfusi yang kemidian menyebabkan terjadinya hipoksemia ringan terkenanya
arteriola kecil juga menyebabkan gambaran radiologis dini pada gagal jantung kiri, yaitu
suatu redistribusi aliran darah dari basis ke apek paru pada klien dengan posisi tegak.
Jika terbentuknya cairan intersisial melebihi kapasitas sistem limfatik, maka terjadi
edema dinding alveolar.Pada fase ini komplan paru berkurang hal ini menyebabkan
terjadinya takipneu yang mungkin tanda klinis awal pada klien dengan edema
paru.Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan hipoksenia
memburuk. Meskipun demikian, ekskresi karbondioksida tidak terganggu dan klien akan
menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik.
Selain hal yang telah disebutkan diatas gangguan difusi juga berperan, dan pada fase
ini mungkin terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak mengalami
ventilasi. Pada fase alveolar penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi lebih berat dan
komplain akan menurun dengan nyata ( Nowak, 2004). Alveoli terisi cairan dan pada saat
yang sama aliran darah kedaerah tersebut tetap berlangsung, maka pintas kanan ke kiri aliran
darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksia yang rentan terhadap peningkatan
konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada keadaan yang amat berat, hiperventilasi
dan alkalosis respiratorik akan tetap berlangsung.
Secara radiologis akan tampak gambaran infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh
paru, terutama daerah parahilar dan basal. Ketika klien dalam keadaan sadar dia akan tampak
mengalami sesak nafas hebat dan ditandai dengan takipnea, takikardi, serta sianosis bila
pernafasannya tidak dibantu. Keadaan ini disebut sebagai adult respiratory sindrom (ARDS).
Nursing Pathway

Faktor
kardiogenik Faktor Non-Kardiogenik

Gagal jantung kiri ARDS Insufisiensi


Limfatik Lain-lain

1. Pneumonia 1. Post Lung transplantation 1. Emboli paru


2. Aspirasi as. Lambung 2. Limfangitis carsinomidosis 2. Eclampsia

3. Bhn. Toksik inhalan 3. Silicosis

Ketidakseimbangan Staling Force

Tekanan tekanan tekanan tekanan


Kapiler paru onkotik plasma negatif interstitial onkotik
interstitial

Cairan berpindah ke interstitial

Akumulasi cairan berlebih (transudat/eksudat)

Alveoli terisi cairan Curah jantung menurun

Gangguan pertukaran gas aliran darah sistemik tidak adekuat

Gangguan perfusi jaringan

Brain Breath Blood Bladder


Bowel Bone
Penurunan perfusi pngambilan prfusi jar prfusi ginjal prfusi
GIT kelemahan

Jaringan otak O2 trganggu mnurun


mnurun
Iskemia sel intoleransi

Iskemia jar. Otak takipne a, hipoksia retensi Na+


pncernaan aktivitas

Dispnea pucat dan air

Penurunan kesadaran
mual muntah

Ggn. Pola napas


aliran drah koroner ggn eliminasi urin

1. Risk cedera menurun


nutrisi

2. Ggn mobilitas fisik < kebutuhan

Iskemia miokard disfungsi


ginjal

nyeri dada
Kelebihan vol.
cairan

D. Manifestasi klinis
Serangan mendadak yang khas pada edema paru terjadi setelah pasien berbaring
selama beberapa jam. Posisi baring akan meningkatkan aliran balik vena ke jantung dan
memudahkan penyerapan kembali edema dari tungkai. Darah yang beredar menjadi lebih
encer dan volumenya bertambah. Tekanan vena meningkat dan atrium kanan terisi lebih
cepat. Akibatnya terjadi peningkatan curah ventrikel kanan yang ternyata melebihi curah
ventrikel kiri. Pembuluh darah paru membesar oleh darah dan mulai mengalami kebocoran.
Sementara pasien mulai merasa gelisah dan cemas.
Terjadi awitan kesulitan bernapas mendadak dan perasaan tercekik. Tangan
pasien menjadi dingin dan basah, kuku sianosis, dan warna kulit menjadi abu-abu
sampai pucat. Selain itu denyut nadi juga melemah, dan cepat, vena leher menegang.
Pasien mulai batuk, dengan mengeluarkan sputum yang banyak. Dengan berkembangnya
edema paru, kecemasan berubah menjadi panik. Napas berbunyi dan basah, pasien yang
mulai tercekik oleh darah, mengeluarakan cairan berbusa ke bronchi dan trakhea.
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau
ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut.
Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak
napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat
(tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien
dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope,
dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-
suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan
dalam alveoli selama bernapas).
Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
Stadium 1.
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada
stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga
tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena
terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
Stadium 2.
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial.Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley
B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil
saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula
terjadi refleks bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea.Meskipun hal ini merupakan
tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe
sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3.
Pada stadium ini terjadi edema alveolar.Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia.Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan.
Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left
intrapulmonary shunt.Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat
dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.Pada keadaan ini morphin hams
digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru.
Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler
pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema
secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada
beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh
karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.

E. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan dengan mengevaluasi manifestai klinis sehubungan dengan
kongesti paru. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan antara lain berupa :
1. EKG : untuk melihat apakah terdapat sinus takikardi dengan hipertropi atrium kiri atau
fibrilasi atrium, tergantung penyebap gagal jantung, gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri
atau aritmia
2. Laboratorium
- Analisa Gas Darah : pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah kemudian hiperkapnea
- Enzim jantung : meningkat jika penyebap gagal jantung adalah infark miokard
- Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalis, Enzim jantung (CK-MB, Troponin T),
angiografi koroner
- Foto thorak
Gambaran radiologisnya berupa :
a. Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskuler di hilus)
b. Corakan paru meningkat ( > 1/3 lateral)
c. Kranialisasi vaskuler
d. Hilus suram (batas tidak jelas)
- Echokardiography : gambaran penyebap gagal jantung : kelainan katup, hipertopi
ventrikel (hipertensi), segemental wall motion abnormally (PJK) umumnya ditemukan
dilatasi ventrikel kiri/atrium kiri
- Pulmonary Artery Catheter : Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang
panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan
dimajukan melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-
kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan
dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure
dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema,
sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic
cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan
hanya pada intensive care unit (ICU).

F. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Edema Paru akut adalah
mengurangi volume sirkulasi total untuk memperbaiki pertukaran gas pernapasan. Tujuan ini
dapat dicapai dengan kombinasi terapi oksigen dan terapi medis.
Oksigenasi. Oksigen diberikan dengan konsetrasi yang adekuat untuk mengurangi
hipoksia dan dispnea. Bila tanda-tanda hipoksia menetap, oksigen harus diberikan dengan
tekanan positif intermiten atau kontinu. Bila terjadi gagal napas, meskipun penatalaksanaan
telah optimal, perlu diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanis. Penggunaan tekanan
positif akhir ekspirasi sangat efektif mengurangi aliran balik vena, menurunkan tekanan
kapiler paru, dan memeperbaiki oksigenasi. Oksigenasi dipantau melalui pulse oksimetri dan
pengukuran AGD.
Farmakologi. Dilakukan pemberian Morfin secara intravena dalam dosis kecil untuk
mengurangi kecemasan dan dispnea serta menurunkan tekanan perifer sehingga darah dapat
didistribusikan dari paru ke bagaian tubuh lain. Hal tersebut akan menurunkan tekanan dalam
kapiler paru dan mengurangi perembesan cairan ke jaringan paru. Morfin juga bermanfaan
dalam menurunkan kecepatan napas.
Morfin tidak boleh diberikan bila edema paru disebapkan oleh cedera vaskuer otak,
penyakit paru kronis, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila terjadi depresi
pernapasan berat.
Diuretik. Furosemide diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik yang
cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah di pembuluh
darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang kembali ke jantung,
bahkan sebelum terjadi efek diuretik.
Digitalis. Diberikan untuk meningkatkan kontrakitilitas jantung dan curah ventrikel
kiri. Perbaikan kotrakitilitas jantung akan meningkatakan curah jantung, memeperbaiki
diuresis dan menurunkan tekanan diastole. Jadi tekanan kapiler paru dan trasnudasi atau
perembesan cairan ke alveoli akan berkuarang.
Aminofilin. Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang berarti,
maka perlu diberikan aminofilin untuk merelaksasi bronkospasme. Aminofilin diberikan
melalui intravena secara terus menerus dengan dosis sesuai berat badan.

G. Komplikasi
Pada pasien dengan Edema paru kemungkina untuk terjadi Gagal napas sangat tinggi
jika tidak dilakukan penatalaksanaan dengan tepat. Hal ini dikarenakan terjadinya akumulasi
cairan pada alveoli yang menyebapkan ketidakmampuan paru untuk melakukan pertukaran
gas O2 dan CO2 secara adekuat, sehingga mengakibatkan pasokan Oksigen ke jaringan paru
menjadi sedikit.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN EDEMA PARU

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama : Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau
batuk-batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan dapat
terjadi dengan tiba-tiba pada trauma..
3. Riwayat penyakit
a. Dahulu : Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis,
pancreatitis, Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien
4. Pemeriksaan fisik
a. Sistem pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan. Obyektif : Pernafasan cuping hidung,
hiperventilasi, batuk (produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu
pernafasan, pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat, terdengar
stridor, ronchii pada lapang paru.
b. Sistem kardiovaskuler
Subyektif : sakit dada, Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah
vasokontriksi, kualitas darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan.
c. Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang, Obyektif : GCS menurun,
refleks menurun/normal, letargi
d. Sistem perkemihan
Obyektif : produksi urine menurun/normal,
e. Sistem perncernaan
Subyektif : mual, kadang muntah, Obyektif` : konsistensi feses normal/diare
f. Sistem muskuluskletal
Subyektif : lemah, cepat lelah, Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi
paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan
g. Sistem integumen
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder), banyak
keringat , suhu kulit meningkat, kemerahan
5. Pemeriksaan penunjang
a. Hb : menurun/normal
b. Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah, kadar karbon
darah meningkat/normal
c. Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal

B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
pengambilan Oksigen tidak adekuat.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar
sekunder terhadap akumulasi cairan alveoli
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen sistemik
4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan sekuncup jantung
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan lemah sekunder
terhadap penurunan curah jantung, disfungsi ginjal
6. Nyeri berhubungan dengan penurunan suplai oksigen koroner
7. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan perfusi ginjal tidak adekuat
8. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual muntah
9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
10. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan disfungsi saraf motorik
11. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kesadaran

C. Perencanaan keperawatan

1. Diganosa : Gangguan pola Napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru, pengambilan O2 tidak adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selam ---x24 jam diharapkan pola napas kembali
efektif dengan kriteria hasil hasil pola napas pasien reguler, tidak tampak adanya retraksi
dinding dada, pasien tampak relaks.
Tindakan :
1. Monitor jumlah pernapasan, penggunaan otot bantu pernapasan, bunyi paru, tanda vital,
warna kulit dan AGD
Rasional : mengetahui status awal pernapasan pasien
2. Posisikan semifowler jika tidak ada kontraindikasi
Rasional : meningkatkan ekspansi paru
3. Ajarkan pasien teknik relaksasi napas dalam
Rasional : membantu meningkatkan pemenuhan oksigen
4. Berikan oksigen sesuai program
Rasional : mempertahankan oksigen arteri
5. Berikan pendidikan kesehatan mengenai perubahan gaya hidup, teknik bernapas, teknik
relaksasi.
Rasional : membantu beradaptasi dengan kondisi saat ini.

2. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran


kapiler alveolar sekunder terhadap akumulasi cairan alveoli.
Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama ---x24 jam diharapkan pertukaran
gas kembali adekuat dengan kriteria hasil bunyi napas normal, dan warna kulit normal,
eupnea, saturasi oksigen > 95%, pO2> 80 mmHg, pCO2< 45 mmHg.
Tindakan :
1. Auskultasi lapang paru terhadap bunyi napas, waspadai krekels
Rasional : suara krekels menandakan kongesti cairan alveolar
2. Bantu pasien dalam posisi semifowler tinggi
Rasional : meningkatkan pertukaran gas
3. Ajarkan teknik napas dalam
Rasional : meningkatkan oksigenasi
4. Berikan O2 sesuai program
Rasional : meningkatkan kadar oksigen jaringan
5. Kolaborasi dalam pemeriksaan AGD, pantau hasil hipoksemia dan hiperkapnea
Rasional : mengetahui keadaan pasien
6. Berikan diuretik sesuai program
Rasional : menurunkan kerja jantung
7. Bila diindikasikan, siapkan peralatan kedaruratan dalam keadaan berfungsi
Rasional : mempersiapkan keadaan darurat pasien

3. Diagnosa : Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai


oksigen sistemik
Tujuan :setelah dilakukan perawatan selama ---x24 jam diharapkan perfusi
jaringan pasien adekuat, dengan kriteria hasil nadi normal, kesadaran compos mentis, tidak
sianosis dan pucat, akral hangat, TTV dalam batas normal.
Tindakan
1. Monitor tanda vital, bunyi jantung, edema, dan tingkat kesadaran
Rasional : data dasar untuk mengetahui perkembangan pasien dan mengetahui status
awal kesehatan pasien.
2. Pantau terhadap indikator penurunan perfusi serebral
Rasional : menghindari kerusakan otak
3. Hindari terjadinya valsava manuver seperti mengedan, menahan napas, dan batuk.
Rasional : mempertahankan pasokan oksigen
4. Monitor denyut jantung dan irama
Rasional : mengetahui kelainan jantung
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
Rasional : meningkatkan perfusi
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan AGD, elektrolit, dan darah lengkap
Rasional : mengetahui keadaan umum pasien
7. Berikan pendidikan kesehatan seperti proses terapi, perubahan gaya hidup, teknik relaksasi,
napas dalam, diet, dan efek obat
Rasional : meningkatkan pengetahuan dan mencegah terjadinya kambuh dan komplikasi

4. Diagnosa : penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan sekuncup


jantung
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama ---x24 jam diharapkan tidak terjadi
penurunan curah jantung, dengan kriteria hasil tidak terjadi peningkatan tekanan vena
jugularis, EKG normal, Tekanan darah normal, akral hangat, tidak sianosis, TTV dalam batas
normal
Tindakan :
1. Monitor Tanda-tanda vital
Rasional : indikator keadaan umum pasien
2. Auskultasi bunyi jantung, kaji frekuensi dan irama jantung
Rasional : perubahan suara, frekuensi dan irama jantung mengindikasikan penurunan
curah jantung
3. Palpasi nadi perifer
Rasional : Penurunan curah jantung mempengaruhi kuat dan lemahnya nadi perifer
4. Kaji adanya distensi vena jugularis
Rasional : akumulasi cairan menghambat aliran balik vena sehingga terjadi distensi
vena jugularis
5. Kaji akral dan adanya sianosis atau pucat
Rasional : penurunan curah jantung menyebapkan aliran darah ke perifer menurun
6. Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional : menvegah hipoksia
7. Berikan cairan Intra Vena sesuai indikasi
Rasional : mencegah terjadinya kekuarangan cairan

Anda mungkin juga menyukai