DEPARTEMEN MEDIKAL
Disusun Oleh:
DIDIK EKO SETYANTO
KELOMPOK 17
LAPORAN PENDAHULUAN
HIV/AIDS DENGAN TOXOPLASMOSIS
HIV/AIDS
A. Definisi
AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit
karena penurunan sistem kekebalan tubuh (Samsuridjal Djauzi, 2004). Centers for Disease
Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada individu yang
mengalami infeksi oportunistik, dimana individu tersebut mengalami penurunan sistem imun
yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV.
Kondisi lain yang sering muncul antara lain demensia progresif, wasting syndrome, atau
sarkoma kaposi (pada pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya
(yaitu kanker serviks invasif) atau diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami
lokalisasi (misalnya, TB) (Doengoes, 2000).
B. Etiologi
Agen penyebab AIDS yaitu HIV (human immunodeficiency virus). HIV merupakan
retrovirus yang menginfeksi sel-sel dalam sistem imun, terutama sel limfosit T CD4+, dan
menyebabkan kerusakan progresif pada sel-sel tersebut. Partikel infeksius HIV terdiri dari 2
rantai RNA dengan 1 protein inti, dikelilingi oleh selaput lemak (lipid envelope) yang didapat
dari sel host namun mengandung protein virus.
Siklus hidup HIV terdiri dari beberapa tahap yang saling berkesinambungan, yaitu
infeksi sel, produksi DNA virus dan integrasi DNA virus ke dalam genome host, ekspresi gen
virus, dan produksi partikel virus. HIV menginfeksi sel dengan selubung glikoproteinnya
yang disebut gp120, berikatan dengan CD4 dan reseptor kemokin khusus (CXCR5 dan
CCR5) pada sel-sel manusia. Dengan demikian, virus ini dapat menginfeksi sel-sel yang
mengekspresikan CD4 dan reseptor kemokin tersebut. Tipe sel utama yang dapat diinfeksi
oleh HIV yaitu sel T CD4+, tetapi sel ini juga dapat menginfeksi makrofag dan sel dendritik.
Setelah berikatan dengan reseptor seluler, terjadi perubahan konformasi gp41 yang
melepas fusion peptide, yang masuk ke dalam membran sel dan memungkinkan membran
bergabung (fusi) dengan membran sel host dan virus dapat memasuki sitoplasma sel host.
Dalam sitoplasma sel host, virus ini dapat melepas RNA. Kopi DNA dari RNA
disintesis oleh enzim reverse transcriptase yang dimiliki oleh virus, dan DNA berintegrasi ke
dalam DNA sel host karena kerja dari enzim integrase. Virus DNA yang telah berintegrasi
disebut dengan provirus. Jika sel T, makrofag, dan dendritik yang terinfeksi mengalami
aktivasi oleh stimulus ekstrinsik, seperti infeksi mikroba lain, sel-sel ini akan berespon
dengan mengaktifkan transkripsi gennya dan memproduksi sitokin. Efek merugikan dari
respon normal ini yaitu akticasi seluler dan produksi sitokin dapat mengaktifkan provirus dan
menyebabkan produksi RNA dan protein virus. Dengan demikian, virus dapat membentuk
struktur inti, yang akan bermigrasi ke membran sel, mendapatkan selaput lemak (lipid
envelope) dari sel host, dan terlepas menjadi partikel virus yang infeksius dan dapat
menginfeksi sel-sel lain.
C. Patogenesis HIV/AIDS
HIV menimbulkan infeksi laten pada sel-sel imun dan dapat mengalami reaktivasi
untuk memproduksi virus yang infeksius. Produksi virus menyebabkan kematian sel yang
terinfeksi dan limfosit yang tidak terinfeksi, defisiensi imun, dan manifestasi klinis AIDS.
Infeksi HIV didapatkan dari hubungan seksual, jarum yang terkontaminasi yang digunakan
pengguna obat intravena, transplacental transfer, atau transfuse darah atau produk darah
yang terinfeksi. Setelah terjadi infeksi, mungkin terdapat viremia akut ketika virus terdeteksi
dalam darah, dan host akan merespon sebagai infeksi virus ringan. HIV menginfeksi sel T
CD4+, makrofag, dan sel dendritik dalam darah, port de entry melalui epithelia, dan organ
limfoid, seperti nodus limfe.
Perjalanan penyakit yang disebabkan infeksi HIV dimulai dengan infeksi akut, yang
dikontrol oleh respon imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi kronik dari jaringan limfosit
perifer (gambar 2). Virus ini biasanya masuk melalui epitel mukosa. Beberapa efek
selanjutnya
dapat
dibagi
dalam
beberapa
fase.
Infeksi
akut
(early
infection)
dikarakteristikkan dengan infeksi pada sel T CD4 memori (yang mengekspresikan CCR5)
pada mukosa jaringan limfoid, dan kematian sejumlah besar sel-sel yang terinfeksi. Karena
jaringan mukosa merupakan tempat penyimpanan sel T terbesar dalam tubuh, dan tempat
penyimpanan sel T memori, kehilangan sel T ini sering disebut deplesi limfosit. Dalam 2
minggu terjadinya infeksi, mayoritas sel T CD4 dapat mengalami kerusakan.
Deplesi sel T CD4 setelah infeksi HIV merupakan efek sitopatik dari virus, terjadi
akibat produksi partikel virus dan kematian sel-sel yang tidak terinfeksi. Ekspresi gen virus
yang aktif dan produksi protein mungkin dapat mengganggu sintesis sel T. dengan demikian,
sel T yang terinfeksi akan mati selama proses ini. Kematian sel T selama perkembangan
AIDS berlangsung jauh lebih banyak daripada jumlah sel yang terinfeksi dengan mekanisme
yang masih belum diketahui dengan jelas. Salah satu mekanisme yang mungkin terjadi yaitu
sel T teraktivasi secara kronik, mungkin oleh infeksi mikroba lain, dan stimulasi apoptosis
yang kronik, karena AICD. Sel-sel lain yang terinfeksi, seperti sel dendritik dan makrofag,
juga dapat mengalami kematian, menyebabkan kerusakan bentuk organ limfoid.
Transisi dari fase akut menjadi fase kronik dikarakteristikkan dengan penyebaran
virus, viremia, dan pembentukan respon imun host. Sel dendritik yang ada pada mukosa
tempat entry virus dapat menangkap virus ini dan akan mengangkutnya ke organ limfoid
perifer, dimana virus ini akan menginfeksi sel T. Ketika telah berada di jaringan limfoid, sel
dendritik dapat menyampaikan HIV pada sel T CD4+ melalui kontak sel ke sel secara
langsung. Dalam beberapa hari setelah terpapar dengan HIV, replikasi virus dapat dideteksi
pada nodus limfa. Replikasi ini dapat menyebabkan viremia, selama sejumlah besar partikel
HIV terdapat dalam darah pasien, disertai dengan sindrom HIV akut yang meliputi berbagai
tanda dan gejala nonspesifik dari viral disease. Viremia yang terjadi memungkinkan
penyebaran virus ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T helper, makrofag, dan sel denditik
pada jaringan limfoid perifer. Karena terjadi penyebaran infeksi, sistem imun adaptif
membentuk respon imun humoral dan seluler yang ditujukan untuk melawan antigen virus.
Respon imun ini mengontrol infeksi dan produksi virus secara parsial. Mekanisme control ini
detunjukkan dengan penurunan viremia namun masih dapat dideteksi kurang lebih 12
minggu setelah paparan pertama (primer).
Fase selanjutnya yaitu fase infeksi kronik dimana terjadi replikasi HIV terus menerus
dalam nodus limfe dan limpa, serta terjadi kerusakan sel (gambar 3). Selama periode ini,
sistem imun masih mampu melawan sebagian besar infeksi dengan mikroba oportunistik,
dan terdapat sebagian kecil manifestasi klinik infeksi HIV. Oleh karena itu, fase ini juga
disebut clinical latency period. Walaupun sebagian besar sel T yang terdapat dalam darah
perifer tidak terinfeksi HIV, pada jaringan limfoid terjadi kerusakan sel T CD4+ yang terus
berlangsung sehingga jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi mengalami penurunan. Pada awal
terjadinya penyakit, tubuh masih mampu memproduksi sel T CD4+ baru sehingga jumlah sel
T CD4+ dalam sirkulasi dapat dikembalikan secepat kerusakan yang terjadi. Pada fase ini,
sekitar 10% sel T CD4+ dalam organ limfoid mungkin telah terinfeksi HIV, namun jumlah sel
T CD4+ dalam sirkulasi yang terinfeksi sebesar < 0,1% dari total sel T CD4+ dalam tubuh.
Namun, setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus yang terus berlangsung, kematian sel T,
dan infeksi baru menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ dalam sirkulasi dan organ
limfoid.
D. Transmisi HIV
HIV ditransmisikan dalam cairan tubuh yang mengandung HIV dan/atau sel T CD4+
yang terinfeksi. Cairan tubuh ini termasuk darah, cairan semen, sekresi vagina, cairan
amnion, dan ASI. Transmisi HIV dapat terjadi melalui tiga rute mayor, yaitu:
1) Kontak seksual
Kontak seksual merupakan penyebab tersering transmisi HIV, baik antara pasangan
heteroseksual maupun antara pasangan homoseksual.
2) Transmisi dari ibu ke bayi
Transmisi dari ibu ke bayi merupakan mayoritas penyebab kasus AIDS pada anak. Tipe
transmisi ini terjadi paling sering selama periode in utero atau selama persalinan,
walaupun dapat juga terjadi penularan melalui ASI.
3) Transfuse darah dan produk darah yang terinfeksi HIV
Inokulasi resipien dengan darah atau produk darah yang terinfeksi juga merupakan rute
transmisi HIV yang sering terjadi.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik infeksi HIV dikarakteristikkan dalam beberapa fase, yang berujung
pada defisiensi imun.
1) Acute HIV disease
Segera setelah infeksi HIV, pasien mungkin dapat mengalami:
Algoritma penggunaan pemeriksaan serologis untuk mendeteksi infeksi HIV-1 dan HIV-2
Interpretasi hasil pemeriksaan ini yaitu:
a. Interpretasi hasil pemeriksaan positif
Terdapat antibody HIV pada darah pasien (pasien terinfeksi HIV, dan tubuh
telah memproduksi antibody)
HIV aktif dalam tubuh dan pasien dapat menularkannya pada orang lain
Selain infeksi HIV, pasien belum tentu menderita AIDS
Pasien tidak kebal terhadap AIDS (antibody tidak mengindikasikan kekebalan)
b. Interpretasi hasil pemeriksaan negatif
Antibody HIV tidak terdapat dalam darah pasien saat ini. Terdapat dua
kemungkinan:
o Pasien tidak terinfeksi HIV
o Pasien terinfeksi, namun tubuh belum membentuk antibody terhadap
HIV
Pasien harus terus melakukan tindakan pencegahan. Hasil pemeriksaan ini
tidak menunjukkan pasien kebal terhadap HIV atau pasien terinfeksi HIV, tetapi
hanya tubuh belum memproduksi antibody terhadap HIV.
2) Viral Load
Menghitung level atau kadar RNA atau DNA dari HIV. Metode ini meliputi PCR
(polymerase chain reaction), RT-PCR (reverse transcriptase polymerase chain reaction),
dan NASBA (nucleic acid sequence based amplification). Viral load tes yang banyak
digunakan yaitu untuk menghitung kadar RNA HIV dalam plasma. Saat ini viral load test
banyak digunakan untuk mengetahui respon terhadap terapi infeksi HIV. RT-PCR juga
digunakan untuk mendeteksi HIV pada individu dengan risiko tinggi infeksi HIV sebelum
pembentukan antibody, untuk konfirmasi EIA positif, dan untuk skrining neonates.
Hitung sel T CD4+
Hitung sel T CD4+ merupakan pemeriksaan laboratorium sebagai indikator status
imunologi pasien dengan infeksi HIV. Pengukuran ini, yang dapat dilakukan secara langsung
ataudihitung sebagai produk % sel T CD4+ (dengan metode flow cytometry) dan hitung total
limfosit (ditentukan dengan WBC dan persen diferensial) telah diketahui berhubungan
dengan status imunologi. Pasien dengan hitung sel T CD4+ <200/L berisiko tinggi terhadap
infeksi P. jiroveci, sedangkan pasien dengan hitung sel T CD4+ <50/L berisiko tinggi
terhadap infeksi CMV, mycobacteria M. avium complex, dan/atau T. gondii. Pasien dengan
infeksi HIV harus melakukan pengukuran sel T CD4+ pada saat didiagnosis dan setiap 3-6
bulan setelahnya.
Hasil hitung sel T CD4+ <350/L merupakan indikasi untuk terapi ARV, dan penurunan
hitung sel T CD4+ >25% merupakan indikasi untuk perubahan terapi. Jika hitung sel T CD4+
<200/L, pasien harus menerima regimen terapi profilaksis P.jiroveci, dan jika <50/L,
profilaksis untuk MAC.
G. Penatalaksanaan
Beberapa strategi potensial yang secara spesifik ditujukan untuk mengganggu siklus
HIV antara lain:
Menghamba virus untuk berikatan dengan reseptor sel T CD4+
Mengganggu proses uncoating virus dalam sel, tahap pertama yang penting dalam
integrasi virus pada DNA host
Menghambat reverse transcriptase
Memblok protein regulatori dan transactivating protein, yang terlibat dalam transkripsi
serta translasi RNA virus dari DNA provirus
Menghambat protease, enzim virus yang bertanggung jawab dalam perlekatan virus
dengan membran sel host
Menghambat pelepasan virus baru dari sel host
Beberapa obat yang digunakan dalam terapi HIV antara lain:
1) Nucleoside/nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs)
Tipe obat pertama yang banyak digunakan terdiri dari analog nukleosida yang
menghambat aktivitas reverse transcriptase. Yang termasuk dalam tipe obat ini yaitu 3azido-3-deoxythymidine (AZT), deoxycytidine nucleoside analogues, dan deoxydenosine
analogues. Ketika obat-obat ini tidak dikombinasikan, obat-obat ini secara signifikan
dapat menurunkan kadar RNA HIV untuk beberapa bulan sampai tahun. Obat-obat ini
tidak dapat menghambat perkembangan penyakit lain yang diinduksi HIV.
2) Protease inhibitor
Protease inhibitor bekerja dengan memblok pemrosesan protein precursor menjadi
capsid virus yang matur dan protein inti. Ketika obat ini digunakan sebagai monoterapi,
banyak virus mutan yang resisten terhadap obat ini. Saat ini, protease inhibitor digunakan
sebagai kombinasi dengan 2 reverse transcriptase inhibitor yang berbeda, dinamakan
HAART
3) Highly active antiretroviral therapy (HAART)
HAART telah terbukti efektif dalam menurunkan kadar RNA virus dalam plasma
sampai kadar yang tidak terdeteksi pada sebagian besar pasien on terapi selama 3
tahun.
4) Integrase inhibitor
Memblok integrase dapat mencegah integrasi DNA virus ke dalam kromosom sel host
sehingga sel tidak dapat terinfeksi HIV.
5) Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak
Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke
anak. Obatobatan tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 1428
minggu selama masa kehamilan
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan
satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 23 hari. Diperkirakan bahwa dosis
tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%.
6) Postexposure prophylaxis (PEP)
adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali
setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi
dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi
occupational. Permulaan dari pengunaan PEP aadalah menetapkan status orang yang
bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang
tersebut
mengerti
obatobatan,
keperluan
untuk
mentaati,
kebutuhan
untuk
tidak terlindungi
Menggunakan kondom jika melakukan hubungan berisiko tinggi
Skrining darah dan produk darah untuk transfusi
Hindari transfusi darah yang tidak jelas sumbernya
Gunakan alat-alat medis dan nonmedis yang terjamin steril
sering tidak
babi, sapi, domba, dan hewan peliharaan lainnya. Untuk tertular penyakit
toxoplasmosis tidak hanya terjadi pada orang yang memelihara kucing atau anjing tetapi
juga bisa terjadi pada orang lainnya yang suka memakan makanan dari daging
setengah matang atau sayuran lalapan yang terkontaminasi dengan agent penyebab
penyakit toxoplasmosis.
Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Toxsoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat
alami dengan perjalanannya dapat akut atau menahun, juga dapat menimbulkan gejala
simtomatik maupun asimtomatik .Insiden komplikasi SSP pada penderita AIDS cukup
besar. Manifestasi klinis AIDS pada SSP dapat terjadi karena 2 hal yaitu virus AIDS itu
sendiri atau akibat infeksi oportunistik atau neoplasma.Ensefalitis toksoplasma
merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik yang paling banyak
terjadi pada pasien AIDS. Ensefalitis toksoplasma muncul pada kurang lebih 10%
pasien AIDS yang tidak diobati.
Siklus hidup Toxoplasma gondii :
a. Fase seksual
Berlangsung pada Hospes definitif dari T. Gondii (kucing) dan jenis Feliidae. Siklus
seksual berlansung dalam epitel usus kucing yang kemudian berakhir dengan
pembentukan Oocyst yang dikeluarkan bersama tinja (10-20 hari atau bisa lebih
lama). Oocyst berbentuk oval dengan diameter 10-20 dan berisi 8 sporozoit di dalam
2 sporokista.
b. Fase aseksual
T. gondii mengalami siklus reproduksi aseksual di semua spesies. Kista jaringan atau
oocyst larut selama digesti, menghasilkan bradizoit atau sporozoit, yang masuk ke
lamina propria pada usus kecil dan mulai untuk memperbanyak diri sebagai takizoid.
Takizoid dapat menyebar pada jarinngan eksternal dengan waktu singkat melalui
limfe dan darah. Mereka dapat masuk pada beberapa sel dan memperbanyak diri.
Sel dari host akhirnya pecah dan menghasilkan takizoid masuk ke sel yang baru.
Ketika host berkembang menjadi resisten, kira-kira 3 minggu setelah infeksi, takizoid
mulai menghilang dari dalam jaringan dan menjadi bentuk resting bradizoid dalam
kista jaringan (Knapen, 2008).
2. Etiologi
Infeksi Toksoplasma atau yang sering disebut toksoplasmosis, disebabkan oleh
Toxoplasma gondii, salah satu parasit filum Protozoa Toxoplasma, yang menyerang
sistem saraf manusia. Infeksi ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh seperti transfus
darah, melalui Infeksi ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh seperti pada transfusi
darah, melalui daging mentah dari ternak yang terinfeksi Toksoplasma (foodborne), dari
hewan ke manusia (misal dari kucing dan anjing), serta dibawa secara kongenital oleh
bayi dari ibu yang terinfeksi Toksoplasma. Di Indonesia, angka prevalensi infeksi
toksoplasma masih cukup tinggi, yaitu sebesar 42.9%.
Ensefalitis toksoplasma
dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang
tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau kurang matang. Begitu
parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, parasit tersebut menetap di sana, sistem
kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, dan
dapat mencegah terjadinya suatu penyakit. Namun, pada orang pasien HIV/AIDS
mengalami penurunan kekebalan tubuh sehingga tidak mampu melawan parasit
tersebut. Sehingga pasien mudah terinfeksi oleh parasit tersebut, gejala yang
ditimbulkan dapat berupa demam, nyeri kepala, kejang, mual, dan gangguan koordinasi
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba
yang mentah dan mengandung oocyst (bentuk infektif dari Toxoplasma gondii). Bisa
juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain
itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ.
oportunistik
dengan predileksi
di
otak. Tissue
cyst menjadi
ruptur
dan
melepaskan invasive tropozoit (tachyzoite). Tachyzoite ini akan menghancurkan sel dan
menyebabkan focus nekrosis.
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200
sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi
yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis
carinii, CD4 < 100 sel/mL adalah toxoplasma gondii , dan CD4 < 50 adalah M. Avium
Complex, sehingga diindikasikan untuk pemberian profilaksis primer. M. Tuberculo
sis & candida species dapat menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
4. Patofisiologi
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita
HIV/AIDS.
Infeksi
tersebut
dapat
menyerang
sistem
saraf yang
membahayakan fungsi dan kesehatan sel saraf. Setelah infeksi oral, bentuk tachyzoite
atau invasif parasit dariToxoplasma gondii menyebar ke seluruh tubuh. Takizoit
menginfeksi setiap sel berinti, di mana mereka berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan. Permulaan diperantarai sel kekebalan terhadap T gondii disertai dengan
transformasi parasit ke dalam jaringan kista yang menyebabkan infeksi kronis seumur
hidup.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmo
sis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan produksi IL-2, IL-12,
dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang
6. Manifestasi Klinis
Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terha
dap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang
meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan
perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi.
Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan
ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi
toksoplasma. Keadaan ini hampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat
hilangnya
kekebalan
pada
penderita-penderita
yang
semasa
mudanya
telah
untuk
Reaction (PCR)
mendeteksi
DNA Toxoplasmosis
untuk Toxoplasmosis
gondii dapat
gondii. Polymerase
Chain
juga positif
cairan
pada
bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis
yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah
infeksi akut.
d. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple dan biasanya
ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema
vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan
lesi tunggal atau tanpa lesi.
e. Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
8. Penatalaksnaan Medis
beberapa minggu, batuk yang tidak kunjung sembuh, dan nyeri dada yang
menurunkan kemampuan ekspansi dada selama proses respirasi.
4) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian mengenai riwayat penyakit yang sedang diderita pasien. Mulai dari
pasien merasakan gejala awal penyakit hingga saat pengkajian berlangsung.
5) Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya penyakit terdahulu yang pernah terjadi pada pasien yang
berhubungan dengan penyakit pasien saat ini, misalnya AIDS, pneumonia. Kaji
riwayat penggunaan obat yang pernah dikonsumsi oleh klien. Pengkajian riwayat
ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
6) Riwayat penyakit keluarga
Kaji tingkat kesehatan pada keluarga akan adanya penyakit yang sama atau mirip
pada keluarga terdahulu, atau merupakan penyakit bawaan.
7) Pengkajian psikososiospiritual
Menunjukkan interaksi inter dan intra personal pasien. Kemungkinan akan adanya
kelainan psikologis dan gangguuan interaksi sosial. Tentang bagaimana hubungan
antara pasien dengan lingkungannya dan aspek spiritual pasien.
8) Pengkajian lingkungan
Menunjukkan linglungan dimana klien tinggal. Keadaan lingkungan klien dapat
memberikan gambaran untuk menegakkan diagnosa dan program asuhan
keperawatan yang akan diberikan pada klien nantinya.
b. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas/istirahat
Gejala
Tanda
terhadap aktifitas.
2) Sirkulasi
Gejala : demam, proses penyembuhan luka lambat, perdarahan lama bila cedera
Tanda
: merasa tidak berdaya, putus asa, rasa bersalah, kehilangan kontrol diri,
dan depresi.
Tanda
4) Eliminasi
Gejala
Tanda
: feces encer disertai mucus atau darah, nyeri tekan abdominal, lesi pada
Tanda
: penurunan BB yang cepat, bising usus yang hiperaktif, turgor kulit jelek,
lesi pada rongga mulut, adanya selaput putih/perubahan warna mukosa mulut
6) Hygiene
Tanda
7) Neurosensorik
Gejala
Tanda
: nyeri umum atau lokal, sakit, nyeri otot, sakit tenggorokan, sakit kepala,
ROM, pincang.
9) Pernapasan
Tanda
Tanda
: demam berulang
11) Seksualitas
Tanda : riwayat perilaku seksual resiko tinggi, penurunan libido, penggunaan
kondom yang tdk konsisten, lesi pada genitalia, keputihan.
12) Interaksi social
Tanda
terorganisir
Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan antibodi spesifik toksoplasma,
yaitu IgG, IgM dan IgG affinity.
IgM adalah antibodi yang pertama kali meningkat di darah bila terjadi infeksi
toksoplasma.
IgG adalah antibodi yang muncul setelah IgM dan biasanya akan menetap
seumur hidup pada orang yang terinfeksi atau pernah terinfeksi.
IgG affinity adalah kekuatan ikatan antara antibodi IgG dengan organisme
penyebab infeksi. Manfaat IgG affinity yang dilakukan pada wanita yang hamil
atau akan hamil karena pada keadaan IgG dan IgM positif diperlukan
pemeriksaan IgG affinity untuk memperkirakan kapan infeksi terjadi, apakah
sebelum atau pada saat hamil. Infeksi yang terjadi sebelum kehamilan tidak
perlu dirisaukan, hanya infeksi primer yang terjadi pada saat ibu hamil yang
berbahaya, khususnya pada trimester I.
dan
cairan
vitreus
atau
aquos
humor
dari
penderita
toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak
tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cystdapat bertahan lama berada
di otak setelah infeksi akut.
4) CT scan
Menunjukkan
fokal
edema
dengan
bercak-bercak
hiperdens
multiple
dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan
disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma
jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
5) Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak.
c. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri kronik berhubungan dengan adanya proses infeksi atau inflamasi
2) Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme dan penyakit, ditandai
dengan peningkatan suhu tubuh, tubuh menggigil
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan tidak adekuat masukan
makanan dan cairan
4) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan tidak
adekuat masukan makanan dan cairan.
Indikator
1.
Reported pain
3.
Respiratory rate
4.
5.
Blood presssure
Indikator
Reported pain
Skala
nyeri 10
7-9
4-6
1-3
25-30
15-20
5-10 menit
Tidak ada
episodes
menit
menit
Respiratory
>30
30-35
26-30
21-25
16-20
rate
x/menit
x/menit
x/menit
x/menit
x/menit
111-115
106-110
101-105
60-
Radial
pulse >115
nyeri
rate
x/menit
x/menit
x/menit
x/menit
100x/menit
Blood
140/110
140/100
130/100
130/90
120/90
presssure
mmHg
mmHg
mmHg
mmHg
mmHg
komprehensif
meliputi
lokasi,karakteristik,
faktor
ketidaknyamanan/nyeri
8) Ajarin klien terapi non-farmakologi dalam mengontrol nyeri (relaksasi,
guided imagery, music terapi, distraksi, therapy aktifitas)
9) Kolaborasi pemebrian analgesic
10) Dukung istirahat/tidur yang adekuat untuk memfasilitasi pengurangan nyeri
11) Monitoring TTV klien sebelum dan sesuadah terapi pengontrolan nyeri
b. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme dan penyakit,
ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, tubuh menggigil
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam suhu tubuh dapat
dipertahankan dalam batas normal
Kriteria Hasil:
Indikator
1.
Body temperature
Increased
skin
temperature
3.
4.
Headache
Indikator
Body
1
>39
38,6-39
38,1-38,5
37,6-38
36,5-37,5
Panas
Sedang
Sedikit
Hangat
temperature
Increased skin Sangat
temperature
Moist
panas
mucous Sangat
panas
Kering
Sedang
Sedikit
Lembab
membrane
kering
kering
Headache
Sangat
Selalu
Sering
Kadang-
Tidak
sakit
sakit
sakit
kadang
kepala
kepala
sakit
kepala
tertahan
jam.
Tanda-tanda vita, dalam batas normal
Membran mukosa lembab
Nadi perifer teraba
Menampilkan hidrasi yang baik misalnya membran mukosa yang lembab.
Memiliki asupan cairan oral dan atau intravena yang adekuat.
sakit
Tekanan darah
3.
Urin output
4.
Fluid intake
Indikator
105-115
115-125
125-135
135-145
(Na)
mEq/L
mEq/L
mEq/L
mEq/L
mEq/L
Tekanan darah
140/110
140/100
130/100
130/90
120/90
mmHg
mmHg
mmHg
mmHg
mmHg
600-799 cc
800-999
1000-1199
1200-1399
1400-1500
cc
cc
cc
cc
600-899
900-1199
1500-1899
1800-2500
cc
cc
cc
cc
Urin Output
Fluid Intake
200-599 cc
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
Indikator
Food intake
Fluid intake
3.
Height ratio/weight
4.
Frequency of nausea
5.
Frequency of vomiting
Indikator
Food intake
1
Tidak
2
sekitar
3
3 sekitar
4
5 sekitar
5
7 Normal
mau
sendok
sendok
sendok
(menghabiskan
makan
makan
makan
makan
porsi
sama
Fluid intake
sekali
tidak
yang
ada)
gelas
1 gelas
2 gelas
Normal
mau
(menghabiskan
minum
porsi
sama
ada)
yang
Height
sekali
Turun
ratio/weight
kg
Frequency
of Sangat
Sering
Sedang
Jarang
sakit
Tidak pernah
nausea
Frequency
sering
of Sangat
Sering
Sedang
Jarang
Tidak pernah
vomiting
sering
5 Turun 4 kg
Turun 3 kg
Turun 2 kg
Sama dengan
BB
sebelum
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Doengoes, Marilynn, dkk, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3, alih
bahasa : I Made Kariasa dan Ni Made S.Jakarta: EGC.
Handoko AV. 2012. Hubungan Antara Hitung Sel CD4 dengan Kejadian Retinitis
pada Pasien HIV di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Skripsi. Program
Pendidikan Sarjana Kedokteran. Universitas Dipenogoro.
HIV
Discussion.
HIVwebstudy.
Available
at:
http://depts.washington.edu/hivaids/initial/case1/discussion.html. Accessed
on 2 march.
Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor. Patofisiologi:
Konsep Klinis proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG 2006. Hal .
224.
M. Leng see. Penanganan pajanan hiv bagi petugas kesehatan. Kesehatan
kedokteran.
2
disember
2010.
Available
at:
http://mlengsee.wordpress.com/2010/12/02/penanganan-pajanan-hiv-bagipetugas-kesehatan/. Acessesed on 2 march 2013.
Mandal,dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series.
Mansjoer, Arif M. Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS). In Triyanti
Kuspuji, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius FKUI; 2000. Hal162-163
Merati, Tuti P.Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W: editor. Buku ajar ilmu
penyalit dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI: 2006. Hal 545-6
Mitchell. H. Katz, MD, Andrew R. Zolopa, MD. HIV Infection and Aids. 2009
Current Medical Diagnosis dan Treatment. McGaw Hill, 48th ed. Hal. 11761205.
Prof. Dr. Sofyan Ismael, Sp. A (K). Antiretroviral. Pedoman nasional pelayanan
kedokteran. Tatalaksanan hiv/aids. 2011. Hal 47-67.
Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N and others. Hiv. Scribd. Available at:
http://www.scribd.com/doc/40951928/Hiv. Accessed on 2 march.
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan
pemberantasannya.Jakarta: Erlangga Medical Series.
Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.