Anda di halaman 1dari 5

SKEMA PATOFISIOLOGI HIV/AIDS

Manifestasi klinik.
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur
muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu
ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur <3
tahun. Meskipun demikian ada juga bayi yang terinfeksi HIV secara vertikal belum
memperlihatkan gejala AIDS pada umur 10 tahun.
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme
yang ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi
nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang,
limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya
infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit,
jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit pada anak normal.
Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas selular, maka anak akan
menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang biasanya lebih lama, lebih
berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis mulut yang dapat
menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru karena
mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium
tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan
otak. Anak sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV
pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan
limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus
bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati
kronik yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan
motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik.
Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi
dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat
ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
1

Penularan dan masuknya virus


HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata, sekresi
vagina atau seviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui
darah dan semen. HIV bisa masuk ke dalam tubuh manusia akibat perilaku atau
tindakan (pribadi atau tindakan orang lain ), yang memungkinkan darah atau cairan
kelamin atau ASI yang tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. misalnya: disuntik
dokter dengan jarum tidak steril.
Sesudah virus HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan virus
mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel T CD4 dan makrofag).
HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi

untuk HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat
dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu, masa ini
disebut sebagai masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien sangat
infeksius, mudah menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan
laboratoriumnya masih negatif. Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut
pada masa infeksius ini yakni demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat
malam, ruam kulit, sakit kepala dan batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda untuk jangka
waktu cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang tersebut mudah
menularkan infeksinya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan
laboratorium serum antibodi HIV. Sesudah suatu jangka waktu, yang bervariasi dari
orang ke orang, virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan
limfosit CD4 dan sel kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya
kekebalan tubuh yang progresif (progressive immunodeficiency syndrome).
Progresivitas tergantung pada beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau
diatas 40 tahun, infeksi lainnya, dan faktor genetik.
Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah dan kontak seksual dan
kontak bayi dan ibu yang sda dipaparkan lebih awal di bagian patofisiologi,. Setelah
virus ditularkan akan tejadi serangkaian proses yang kemudian menyrbabkan infeksi.
2

Perlekatan virus
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monositdan
makrofag. Monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat
berfungsi sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV
bersifat politrofik dan dapat menginfeksi beragam sel manusia. Sepeti sel natural
killer, limfosit B, sel endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel microglia dan
berbagai jaringan tubuh.
Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka berlangsung serangkaian
proses kompleks yang apabila berjalan lancar menyebabkan terbentuknya partikelpartikel virus baru dari sel yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan
provirus atau mungkin mengalami, siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan
banyak virusinfeksi pada limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sipatogenitas
melalui beragam mekanisme, termasuk apoptesis, anergi, atau pembentukan sinstisum
(fusi sel).

Replikasi virus
Setelah terjadi fusi sel virus, RNA virus masuk kedalam tengah sitoplasma
limfosit CD4+ setelah nuk;leokapsid dilepas, maka akan terjadi transkripsi terbalik
dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai ganda virus.
Integrase HIV membantu in sersi cDNA kedalm inti sel pejamu. Apabila sudah
terintegrasi kedal;am kromosom sel pejamu maka dua untai DNA sekarang menjadi
provirus. Provirus meghasilkan mRNA yang meninggalkan inti sel dan masuk
kedalam sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan
yang telah mengalami splicing (penggabungan), setelah RNA genom dibebaskan
kedalam sitoplasma. Tahap akhir produksi virus membutuhka suatu enzim virus yang

disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus menjadi segmensegmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk parikel virus menular yag
menonjol dari sel yang terinfeksi. Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel
virus tersebut akan terbungkus oleh sebagian dari membrane sel yang terinfeksi. HIV
yang baru terbentuk sekarang dapat menyerang sel rentan lainnya di seluruh tubuh.
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya terjadi
aktivitas virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah besar di
dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada tahap semua
infeksi. Partikel-partrikel virys juga telah dihubungkan sel-sel dendritik folikular,
yang mungkin memindahkan infeksi ke sel-sel selama imigrasi melaului folikelfolikel limfoid.
Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di selsel monokleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang
sejati. HIV secara terus menerus terakumlasi dan bereplikasi di organ-orgna limfoid.
Sebagian data menunujaka bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dabn
pertukaran sel yang sangat cepat dengan waktu paruh virus didalam plasma sekitar 2
hari. Aktivitas ini menunjukan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus
dajn sistem imun pasien.
4

Infeksi HIV
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna
oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang
kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa
jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada
fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut
merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya
dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh
reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan
monosit di darah, atau sel T CD4 + dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel
yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap
virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan
protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan
besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit
dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti
infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset
CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah
penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular
terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan
produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah
paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan

limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun
masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis
(clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T
perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam
jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4 + yang bersirkulasi semakin
berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 10 12 terdapat dalam jaringan limfoid,
dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal
penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4 + yang hancur dengan yang baru.
Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru
berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di
jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi
jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang
mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang
diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat
efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha
menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4 + dalam darah kurang dari
200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati
HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV).

Struktur dan siklus HIV

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau
viral, terdiri dari, lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan protein. Duriduri ini terdiri dari dua glikoprotein gp 120 dan gp41. Gp 120 adalah selubung
permukaan eksternal duri dan Gp1 adalah bagian transmembran.
Terdapat protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian
dalam membrane virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suati protein kapsid yang
disebut p24. didalamnya terdapat dua untai rantai RNA identik dan mplekul
performed reverse transcip , integrase, dan protease yang yang sydah terbentuk. HIV
adalah suatu retrovirus sehingga materi genetiknya RNA bukan DNA. Reverse
transciptase adalah enzim yang mentranskripkan RNA virus menjadi DNA setelah
virus masuk kesel sasaran. Enzim lain yang menyertai RNA adalah integrase dan
protease.
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4 yang mempunyai
reseptor CD4 beberapa sel lain yang juga mempunyai resptor CD4 adalah : sel
monosit, makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel dinding rahim, dan sel
langerhans. Penelitian terakhir juga menunjukan HIV dapat menginveksi sel astrogloa
otak dan sel endotel saluran cerna walaupun sel tsb tudak mempunyai reseptor CD4.
Protein selubung HIV gp 120 akan bersentuhan dan terikat pada reseptor CD4 sel
pejamu (antara lain sel selubunglimfosit t4); lalu selubung HIV akan mengalami fusi
denagn membrane sel 6pejamu dengan mendorong inti HIV masuk kedalam

sitoplasma pejamu. Dalam proses ini terlibat protein selubung HIV yang lain, yaitu gp
41. dalam sitoplasma sel pejamu, RNA virus akan dikonversi menjadi DNA oleh
enzim RTase dan dna ini yang disebut DNA provirus . DNA provirus ini akan masuk
kedala inti sel pejamu dan dengan inti sel pejamu. Integrasi materi genetic virus ini
biasanya akan terfjadi dalam 2-10 jam setelah infeksi. Selanjutnya virus replikasi
virus dimulai dengan adanya produksi RNA provirus yang sama sehingga akan
terbentu virion baru, suati virus HIV baru yang siap untuk menginfeksi sel target yang
lain, setekah keluar dari sel pejamu melalui suatu proses budding.

Anda mungkin juga menyukai