Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit dengan karakteristik

keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible dan dapat dicegah.

Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan

respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas.1 PPOK bukan

penyakit tunggal tetapi merupakan istilah umum yang digunakan untuk

menggambarkan penyakit paru kronis yang menyebabkan keterbatasan dalam aliran

udara paru. Istilah lebih umum bronkitis kronis dan emfisema tidak lagi digunakan,

tetapi sekarang termasuk dalam diagnosis PPOK.2 Pada tahun 2020 World Health

Organization (WHO) memperkirakan penyakit yang dapat menyebabkan kematian

terbanyak nomor tiga ialah PPOK setelah penyakit jantung koroner dan stroke.3

Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan

kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti

polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.4

Secara global diperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK dan 3 juta

meninggal karena PPOK pada tahun 2005, dengan mewakili 5% dari seluruh

kematian. Total kematian akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat lebih dari 30%

pada 10 tahun mendatang. Peningkatan secara drastis pada dua dekade mendatang

diperkirakan di negara-negara Asia dan Afrika karena peningkatan pemakaian

tembakau.5 Meningkatnya masalah merokok membuat masalah ppok menjadi

semakin serius. Diperkirakan 22% dari populasi global yang berumur lebih dari 15

tahun merupakan perokok.6


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

PPOK eksaserbasi akut merupakan kejadian kompleks yang berhubungan dengan

peningkatan peradangan saluran napas, peningkatan produksi lendir, dan yang

ditandai dengan terperangkapnya udara di dalam saluran napas. Sehingga dapat

menyebabkan terjadinya dispnea dan gejala lain seperti peningkatan produksi dahak

purulen diikuti peningkatan batuk dan adanya mengi.

2.2 Etiologi

Eksaserbasi terutama dipicu oleh infeksi virus pernapasan meskipun infeksi

bakteri dan faktor lingkungan seperti tarikan dan suhu lingkungan juga dapat

memperkuat terjadinya peristiwa ini. Virus yang paling umum diisolasi adalah

rhinovirus dan dapat dideteksi hingga satu minggu setelah onset eksaserbasi. Ketika

dikaitkan dengan infeksi virus, eksaserbasi sering lebih parah, lebih lama dan

menyebabkan lebih banyak rawat inap.

Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK muncul sebagai modifikasi dari

respons inflamasi saluran nafas terhadap iritan kronik seperti merokok. Mekanisme

untuk menjelaskan inflamasi ini tidak sepenuhnya dimengerti tetapi mungkin terdapat

keterlibatan genetik. Stres oksidatif dan penumpukan proteinase pada paru akan

mengubah inflamasi paru. Secara bersamaan, mekanisme tersebut menyebabkan

karakteristik perubahan patologis pada PPOK. Inflamasi paru menetap setelah


memberhentikan merokok melalui mekanisme yang tidak diketahui, walaupun

autoantigen dan mikroorganisme persisten juga berperan. Perubahan yang khas pada

PPOK dijumpai pada saluran nafas, parenkim paru, dan pembuluh darah paru.

Perubahan patologi tersebut meliputi: inflamasi kronik, dengan peningkatan sejumlah

sel inflamasi spesifik yang merupakan akibat dari trauma dan perbaikan berulang.

Secara umum, inflamasi dan perubahan struktur pada jalan nafas meningkat dengan

semakin parahnya penyakit dan menetap walaupun merokok sudah dihentikan.

PPOK eksaserbasi akut dapat memperburuk gangguan pada pernafasan sehingga

membutuhkan terapi tambahan.

Terapi tambahan terdiri dari:

- Ringan (menggunakan SABD)

- Sedang (menggunakan SABD ditambah antibiotik dan/atau kortikosteroid

oral) atau

- Berat (membutuhkan rawat inap), eksaserbasi berat berhubungan dengan gagal

napas akut

2.3 Penanganan PPOK Eksaserbasi Akut

A. Terapi Farmakologi

Terdapat tiga jenis pengobatan yang paling sering digunakan pada penanganan PPOK

Eksaserbasi, yaitu bronkodilator, kortikosteroid dan antibiotik.

- Bronkodilator

Direkomendasikan bahwa Short-acting inhaled beta2-agonist, dengan atau

tanpa short-acting anticholinergic, adalah bronkodilator inisial untuk

penanganan PPOK eksaserbasi akut. Menurut tinjauan sistematis jalur


penghantaran short-acting bronchodilators ditemukan tidak ada perbedaan

yang signifikan pada VEP1 antara menggunakan metered dose inhalers (MDI)

(dengan atau tanpa spacer device) atau nebulizer untuk menghantarkan agen,

walaupun kemudian akhirnya menjadi metode penghantaran yang lebih mudah

untuk penderita yang lebih membutuhkan penanganan. Direkomendasikan

agar penderita tidak menerima nebuisasi terus menerus, tetapi menggunakan

MDI inhalasi satu semprot setiap satu jam untuk dua atau tiga dosis dan

kemudian setiap 2-4 jam berdasarkan respon penderita. Walaupun belum ada

penelitian klinis yang telah mengevaluasi penggunaan long-acting

bronchodilator (termasuk beta2-agonists atau anticholinergic atau kombinasi)

dengan atau tanpa kortikosteroid inhalasi selama eksaserbasi,

direkomendasikan untuk melanjutkan penanganan ini selama eksaserbasi atau

dapat memulai pengobatan secepat mungkin sebelum keluar dari rumah sakit.

Methylxanthines intravena (Theophylline atau aminophylline) tidak

direkomendasikan untuk diberikan pada pasien ini dikarenakan efek samping

yang dimiliki.

- Glukokortikosteroid

Data dari penelitian mengindikasikan bahwa glukokortikosteroid sistemik

pada PPOK eksaserbasi mempercepat waktu pemulihan dan meningkatkan

fungsi paru (VEP1). Selain itu juga dapat meningkatkan oksigenasi, risiko

relaps dini, kegagalan pengobatan, dan lama rawat inap. Dosis 40 mg

Prednisone per hari selama 5 hari direkomendasikan. Terapi menggunakan

prednisolone oral sama efektifnya dengan administrasi secara intravena.

Budesonide nebulisasi, walaupun mahal, dapat menjadi pilihan alternatif

dibandingkan kortikosteroid oral pada beberapa pasien untuk penanganan


eksaserbasi. Penelitian terkini menyatakan bahwa glukokortikosteroid dapat

menjadi kurang efektif untuk menangani PPOK eksaserbasi pada pasien

dengan kadar eosinophil dalam darah yang rendah.

Kortikosteroid sistemik dapat mengurangi jumlah kegagalan terapi dan

meningkatkan fungsi paru pada ppok eksaserbasi akut. Penggunaan

kortikosteroid sistemik menunjukkan peningkatan risiko hiperglikemia.

Tetapi, kelompok penggunaan jangka panjang pada penelitian yang dilakukan

tidak menunjukkan risiko tinggi dari efek samping. Pengobatan dosis rendah

dengan terapi inisial 30-80 mg/hari PE dapat dilakukan untuk menangani

PPOK eksaserbasi akut.7

- Antibiotik

Walaupun agen-agen infeksius pada PPOK eksaserbasi dapat berupa virus

ataupun bakteri, penggunakan antibiotik pada penderita eksaserbasi masih

menjadi kontroversi. Hal ini belum dapat dipastikan karena dari penelitian

sebelumnya tidak dapat dibedakan antara bronkitis (akut atau kronis) dan

PPOK eksaserbasi, penelitian tanpa menggunakan kontrol plasebo, dan/atau

penelitian tanpa foto thoraks tidak mengecualikan penderita yang mungkin

memiliki penyakit yang mendasari yaitu pneumonia. Ada beberapa bukti

penelitian yang mendukung penggunaan antibiotik pada eksaserbasi saat

pasien memiliki tanda klinis infeksi bakteri berupa peningkatan dahak yang

purulen. Tinjauan klinis penelitian plasebo terkontrol menunjukkan bahwa

antibiotik mengurangi risiko mortalitas jangka pendek 77%, kegagalan terapi

53% dan sputum yang purulen 44%. Tinjauan tersebut menyediakan bukti

klinis untuk menangani penderita PPOK eksaserbasi tingkat sedang atau

sangat berat dan frekuensi batuk yang semakin bertambah dan sputum yang
purulen dengan antibiotik. Penelitian pada penderita PPOK eksaserbasi

memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau non-invasif) yang

mengindikasikan bahwa apabila tidak diberikan antibiotik berhubungan

dengan meningkatnya mortalitas dan meningkatkan insidensi pneumonia

nosokomial sekunder. Dengan demikian, antibiotik harus diberikan kepada

penderita dengan PPOK eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal:

sesak yang semakin bertambah, bertambahnya volume sputum, dan sputum

yang purulen; jika ditemukan dua dari gejala kardinal, jika meningkatnya

sputum yang purulen dari dua gejala tersebut atau memerlukan ventilasi

mekanik (invasif maupun non-invasif).Rekomendasi lamanya pengobatan

dengan antibiotik adalah 5-7 hari. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada

pola resistensi bakteri lokal. Biasanya terapi empiris inisial adalah

aminopenicillin dengan asam klavulanat, makrolid, atau tetrasiklin. Pada

pasien yang lebih sering mengalami eksaserbasi, penyempitan saluran

pernapasan yang berat, dan/atau eksaserbasi yang memerlukan ventilasi

mekanik, kultur dari sputum atau bahan lainnya dari paru harus dilakukann,

seperti bakteri gram negatif (spesies Pseudomonas) atau patogen resisten

yang tidak sensitif terhadap antibiotik yang disebutkan di atas dapat ada. Jalur

administrasi (oral atau intravena) tergantung pada kemampuan pasien untuk

makan dan farmakokinetik antibiotik, walaupun dapat menjadi pilihan

antibiotik untuk diberikan secara oral.

Pada penelitian tentang pemilihan terapi yang lebih baik antara prulifloxacin

dan levofloxacin pada ppok eksaserbasi setelah gagal terapi menggunakan

antibiotik, dilakukan penelitian dengan pemberian Levofloxacin 500 mg dan

prulifloxacin 600 mg sekali sehari selama 10 hari menunjukkan tingkat efikasi


lebih tinggi dari 90%, dan ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak

respon pada terapi sebelumnya yang membutuhkan rawat inap akibat

perburukan gejala klinis. Fluorokuinolon sangat efektif dan ditoleransi dengan

baik pada tatalaksana ppok eksaserbasi yang gagal dengan terapi antibiotik

yang lain. Prulifloxacin menunjukkan efikasi keseluruhan yang sama jika

dibandingkan dengan levofloxacin, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai

pilihan terapi potensial.8

B. Terapi Tambahan

Bergantung pada kondisi klinis pasien, keseimbangan cairan yang sesuai,

penggunaan diuretik ketika terindikasi klinis, antikoagulan, penanganan komorbid dan

aspek nutrisi juga perlu dipertimbangkan. Secara keseluruhan, petugas kesehatan

perlu secara tegas menyatakan perlunya untuk berhenti merokok. Meningkatnya risiko

trombosis vena dalam dan pulmonary pcoca pada penderita PPOK eksaserbasi rawat

inap, pengukuran profilaksis perlu dimulai untuk thromboembolisme.

C. Bantuan Pernapasan

- Terapi Oksigen

Ini adalah komponen kunci penanganan eksaserbasi di rumah sakit. Pemberian

oksigen harus dititrasi utuk meningkatkan hipoksemia pasien dengan target

saturasi 88-92%. Saat oksigen dimulai, gas darah harus diperiksa lebih sering

untuk memastikan oksigen terpenuhi tanpa ada retensi karbondioksida

dan/atau asidosis yang semakin memburuk. Penelitian terkini menunjukkan

bahwa gas darah vena untuk menilai kadar bikarbonat dan pH lebih tepat

dibandingkan penilaian gas darah arteri. Data tambahan diperlukan untuk

memperjelas manfaat pengambilan sampel gas darah vena untuk membuat


keputusan klinis pada kasus gagal pernapasan akut; umumnya penderita

memiliki pH > 7.30, PCO2 yang berbeda ketika diukur menggunakan vena

dibandingkan dengan sampel darah arteri dan beratnya batasan saluran

pernapasan tidak dilaporkan. Masker Venturi (high flow device) memberikan

penghantaran oksigen yang lebih akurat dan terkontrol dibandingkan dengan

kanula nasal.

- Terapi Oksigen Aliran Tinggi dengan Nasal Cannula

Pada pasien dengan gagal pernapasan hipoksemia akut, terapi oksigen aliran

tinggi dengan nasal cannula (HFNC) dapat menjadi pilihan alternatif untuk

terapi oksigen standar atau ventilasi tekanan positif non-invasif; beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa HNFC dapat mengurangi kebutuhan

untuk intubasi atau mortalitas pada pasien dengan gagal napas hipoksemia

akut. Penelitian sampai saat ini yang dilakukan pada penderita PPOK dengan

penyakit mendasar yang sangat berat yang membutuhkan oksigen tambahan,

penelitian acak menunjukkan bahwa HFNC meningkatkan oksigenasi dan

ventilasi, dan mengurangi hiperkarbia.

D. Bantuan Ventilasi

Beberapa pasien membutuhkan penanganan segera terhadap tatalaksana pernapasan

atau unit rawat darurat (ICU). Penerimaan pasien dengan eksaserbasi berat ke sedang

atau unit perawatan respiratorik khusus dapat diperlukan jika ada kemampuan

personil serta peralatan yang ada untuk mengidentifikasi dan menangani gagal napas

akut. Bantuan ventilasi pada penderita eksaserbasi dapat disediakan baik

menggunakan ventilasi non-invasif (nasal atau masker hidung atau wajah) atau

ventilasi invasif (tabung oro-trakeal atau trakeostomi). Stimulan pernapasan tidak

direkomendasikan pada gagal napas akut.


E. Ventilasi mekanik non-invasif

Penggunaan ventilasi mekanik non-invasif (NIV) lebih dipilih daripadai ventilasi

invasive (intubasi dan ventilasi tekanan positif) sebagai tatalaksana awal ventilasi

untuk menangani gagal napas akut pada pasien rawat inap untuk PPOK eksaserbasi

akut. Keberhasilan NIV menunjukkan keberhasilan sebesar 80-86%. NIV telah

menunjukkan upaya peningkatan oksigenasi dan asidosis respiratorik akut misalnya,

NIV meningkatkan pH dan menurunkan PaCO2. NIV juga menurunkan frekuensi

pernapasan, upaya pernapasan dan tingkat keparahan sesak napas tapi juga dapat

menurunkan komplikasi seperti pneumonia terkait ventilator, dan lama rawat inap.

F. Ventilasi Mekanik Invasif

Indikasi untuk ventilasi mekanik invasif selama eksaserbasi:

a. Tidak mampu menoleransi NIV atau kegagalan NIV

b. Kondisi status: henti pernapasan atau henti jantung

c. Kesadaran berkurang, kontrol agitasi psikomotor yang inadekuat oleh sedasi.

d. Aspirasi massif atau muntah yang persisten

e. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekresi saluran pernapasan yang

persisten

f. Ketidakstabilan hemodinamik yang berat tanpa respon terhadap cairan dan

obat vasoaktif

g. Ventrikuler berat atau aritmia supraventrikuler

h. Hipoksemia mengancam jiwa pada pasien yang tidak mampu menoleransi

NIV

Intervensi yang dapat mengurangi frekuensi PPOK eksaserbasi akut


Kelas Intervensi Intervensi

Bronkodilator LABAs

LAMAs

LABA + LAMA

Regimen mengandung kortikosteroid LABA + ICS

LABA + LAMA + ICS

Anti inflamasi (non-steroid) Roflumilast

Anti-infeksi Vaksin

Makrolid jangka lama

Mucoregulator N-aetylcysteine

Carbocysteine

Variasi lainnya Berhenti merokok

Rehabilitasi

Pengurangan volume paru


DAFTAR RUJUKAN

1. Global Intiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global strategy for
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease.
(diunduh 27 september 2018). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.goldcopd.org/guidelines-global-strategy-for-diagnosi-management.html.
2. WHO. Burden of COPD. Rilis Berita 2014 (diunduh 27 september 2018). Tersedia
dari: URL: HYPERLINK http://www.who.int/respiratory/copd/burden/en
3. World Health Organization. Chronic obstructive pulmonary disease fact sheet.
Jeneva: WHO; 2015 (diunduh 27 september 2018).
4. PDPI. Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK di Indonesia Revisi
Juni. Jakarta: PDPI; 2003.
5. WHO. The top ten cause of death 2005. (diunduh 27 september 2018) Tersedia dari:
URL: HYPERLINK http://www.who.int/whr.
6. WHO. Global status report on noncommunicable disease 2010. (diunduh 27
september 2018). Tersedia dari: URL: HYPERLINK
http://www.who.int/nmh/publications/ncd report2010/en.
7. Cheng T, Gong Y, Guo Y, Cheng Q, Zhou M, Shi G, et al. Systemic corticosteroid
for COPD exacerbations, whether the higher dose is better? A meta-analysis of
randomized controlled trials. The Clinical Respiratory Journal [Internet]. 2013 Oct
[cited 2018 Sep 27];7(4):305–18. Available from:
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=mdc&AN=23072733&site=e
host-live
8. Giusti M, Blasi F, Iori I, Mazzone A, Sgambato F, Politi C, et al. Prulifloxacin vs
Levofloxacin for Exacerbation of COPD after Failure of Other Antibiotics. COPD
[Internet]. 2016 Oct [cited 2018 Sep 27];13(5):555–60. Available from:
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=mdc&AN=27027547&site=e
host-live

Anda mungkin juga menyukai