Anda di halaman 1dari 82

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 12

Disusun Oleh : Kelompok B3

Tutor: dr. Aspitriani Sp.PA

Nadya Salsabila E. 04011281823077

Brian Randing Boen 04011281823080

Mochamad Iqbal Ibnu T. 04011281823101

Vira Ayu Amirah 04011381823236

Deandra Ramadana 04011381823239

Dessy Agustini 04011281823155

Sherin Obella Balqis 04011281823158

Agrinia Ilza Ishlahiyah 04011381823212

Haikal Rifqi Nandika 04011381823209

Rafif Shidqi 04011381823227

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AKADEMIK 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami sampaikan kepada Tuhan karena telah menyertai serta memberkati
proses penyusunan laporan pleno kelompok B3 ini sehingga tugas penyusunan laporan pleno ini
dapat kami selesaikan dengan baik. Penyusunan laporan kelompok pleno ini merupakan tugas
yang membutuhkan kerja keras, kerja sama, dan kedisiplinan. Dalam penyusunan laporan
kelompok ini pula, anggota kelompok B3 telah berusaha agar dapat menyelesaikan laporan ini
dengan baik dan benar.

Namun, kami juga sadar dengan kesalahan dan kekurangan yang secara sadar maupun
tidak sadar telah kami lakukan dalam penyusunan laporan kelompok ini. Oleh karena itu, kami
berharap dapat menerima kritik dan saran yang membangun demi kemajuan pembuatan laporan
pleno selanjutnya. Sekian kata pengantar dari kami, terima kasih atas antusiasme pembaca dan
semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan laporan pleno Skenario A ini.

Palembang, 9 Januari 2020

Penulis

2
LAMPIRAN STRUKTUR KELOMPOK

Tutor : dr. Aspitriani, Sp.PA

Moderator : Mochamad Iqbal Ibnu Tsani

Sekretaris 1 : Agrinia Ilza Ishlahiyah

Sekretaris 2 : Sherin Obella Balqis

Presentan :

Pelaksanaan : 7 Januari 2020 dan 9 Januari 2020

07.30-10.00 WIB

Peraturan selama tutorial :


- Angkat tangan bila ingin berpendapat dan jika diberi kesempatan.
- Hanya menggunakan gadget untuk kepentingan tutorial.
- Dilarang memotong pembicaraan orang lain.
- Selama tutorial dilarang makan tapi diperbolehkan minum.
- Diperbolehkan ke toilet seizin tutor tapi diperbolehkan langsung keluar
apabila tutor sedang tidak ada di ruangan.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................4
SKENARIO A BLOK 12 TAHUN 2019..................................................................5
I. KLARIFIKASI ISTILAH.....................................................................................6
II. IDENTIFIKASI MASALAH..............................................................................8
III. ANALISIS MASALAH.....................................................................................9
IV. KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN (LEARNING ISSUES)...........16
V. SINTESIS MASALAH.....................................................................................18
5.1. Diabetes Mellitus........................................................................................18
5.2. Ketoasidosis Diabetikum............................................................................31
5.3. Pemeriksaan Fisik Diagnosis Banding........................................................38
5.4. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................44
5.5. Diagnosis Banding......................................................................................46
5.6. Tumbuh Kembang Anak.............................................................................52
5.7. Edukasi........................................................................................................58
VI. KERANGKA KONSEP..................................................................................60
VII. KESIMPULAN..............................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................61
SKENARIO A BLOK 12 TAHUN 2020

Remaja Perempuan, Monik. Usia 9 tahun, datang ke IRD sore hari dengan sesak napas dan sakit
perut. Terdapat riwayat bahwa 6 jam sebelum masuk rumah sakit penderita tampak mulai sesak
napas dan dan nafas cepat yang makin memberat serta lemas. Sesak tidak dipengaruhi cuaca,
posisi, dan aktifitas. Tidak ada jantung berdebar – debar juga sembab di kedua tungkai. Tidak
ada batuk pilek atau panas. Sehari sebelumnya pasien hanya mual dan perut rasanya sakit. Tidak
ada riwayat mencret dan sakit mag. Dalam 3 bulan memang BAK sering (+), tetapi minumnya
juga banyak dan dipikir hanya infeksi saluran air kencing. Nafsu makan tetap baik, tetapi terlihat
badan agak lebih kurus (berat badan 3 bulan yang lalu 23 kg). tidak ada riwayat DM, jantung,
hipertensi, asma di keluarga. Pertumbuhan dan perkembangan baik, dan saat ini sudah di SD
kelas 4.

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : tampak gelisah, tampak sakit sedang. Laju nadi 140 kali/menit (regular, isi dan
tegangan cukup), tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36,4 C (aksilla), laju napas 48 kali/menit
(cepat dan dalam, pernafasan kusmaul), CRT < 3”. Tidak ada kelainan.
Dinding abdomen soepol (lemas), ada nyeri tekan abdomen yang tidak khas pada seluruh area
abdomen. Bising usus normal, turgor sedikit turun, tidak ada meteorismus. Hepar lien tidak
teraba. Acral masih hangat, tidak ada edema. Status neurologis: dalam batas normal. Status
pubertas: P1M2.
Pada pemeriksaan cito di IRD : kadar gula acak 590%, urin menunjukkan reduksi +4 dan keton
urine +3. Darah rutin Hb 14,9%, leucocyte 19.300, Trombocyte 230.000, HbA 1C 12%. Hasil
analisis gas darah : FiO2 100. pH 6.961. pCO 22,1. pO2 56,7. SO2 70,1. HCO3 5,0 mmol/L. Beb
-25. PO2 / FIO2 56,7.
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Sembab : Bengkak (KBBI)
2. DM : Suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kinerja insulin, atau kedua
dua nya. (digilib.unila.ac.id)
3. Hipertensi : Tekanan darah atau denyut jantung yang lebih
tinggi dari normal karena adanya gangguan
(KBBI)
4. Asma : Serangan dyspnea paroksismal berulang, disertai
mengi akibat kontraksi spasmodik bronki
(Dorland)
5. CRT : Capillary Refill Time.
6. Kussmaul : Bernapas dalam cepat yang terjadi sebagai respon
tak disengaja terhadap asidosis berat (terkait
dengan diabetes atau gagal ginjal) (Merriam
Webster)
7. Anemis : Berhubungan dengan anemia (Merriam Webster)
8. Cyanosis : Perubahan warna kulit dan membran mukosa
menjadi kebiruan akibat konsentrasi hemoglobin
tereduksi yang berlebihan dalam darah (Dorland)
9. Meteorismus : Distensi yang bergas pada lambung dan usus
: tympanites (Merriam Webster)
10. Acral : Berkaitan dengan ekstremitas atau apeks (Dorland)
11. Status Neurologis : Penilain secara keseluruhan dari fungsi sistem saraf
(The Free Dictionary)
12. Status Pubertas P1M2 : (Tanner) Sistem klasifikasi untuk mengetahui
perkembangan genitalia anak ketika pubertas
P = Pertumbuhan rambut pubis. 1 = Tidak ada
rambut sama sekali. M = Pertumbuhan payudara.
2 = Kuncup payudara teraba dibawah areola.
(NCBI)
13. Pemeriksaan Cito : Pemeriksaan yang dilakukan segera (Medical
Dictionary)
14. Kadar Gula Darah Acak : Kadar gula darah sewaktu (GDS)
15. HbA 1C : Tes yang menghitung jumlah glukosa yang
menempel pada hemoglobin selama 3 bulan
terakhir (umur RBC 3 bulan) (Medline Plus)
16. FiO2 : (fraction of inspired oxygen; konsentrasi oksigen
inspirasi) Merupakan parameter yang harus dipilih
oleh provider ketika dukungan pernapasan dimulai
– dapat berkisar dari udara ruangan hingga 100%
O2 (Ebook Neurologic Effect of Respiratory
Support – oleh Matthew A Rainaldi, MD., dkk)
17. Beb : (base excess) Merupakan kelebihan atau
kekurangan basa didalam darah. Basis utama yang
berkontribusi terhadap kelebihan basa dalam
darah adalah bikarbonat. (Farlex Medical
Dictionary)
II. IDENTIFIKASI MASALAH

No Masalah Kesesuaian Concern

1. Monik. Usia 9 tahun, datang ke IRD sore hari dengan sesak napas TS 1
dan sakit perut.
2. 6 jam sebelum masuk rumah sakit penderita tampak mulai sesak TS 2
napas dan dan nafas cepat yang makin memberat serta lemas.
Sesak tidak dipengaruhi cuaca, posisi, dan aktifitas. Tidak ada
jantung berdebar – debar juga sembab di kedua tungkai. Tidak
ada batuk pilek atau panas. Sehari sebelumnya pasien hanya
mual dan
perut rasanya sakit. Tidak ada riwayat mencret dan sakit mag.
3. Dalam 3 bulan memang BAK sering (+), tetapi minumnya juga TS 4
banyak dan dipikir hanya infeksi saluran air kencing. Nafsu
makan tetap baik, tetapi terlihat badan agak lebih kurus (berat
badan 3 bulan yang lalu 23 kg). tidak ada riwayat DM, jantung,
hipertensi, asma di keluarga. Pertumbuhan dan perkembangan
baik, dan saat ini sudah di SD kelas 4.

4. Pemeriksaan Fisik TS 5
Kesadaran : tampak gelisah, tampak sakit sedang. Laju nadi 140
kali/menit (regular, isi dan tegangan cukup), tekanan darah 90/60
mmHg, suhu 36,4 C (aksilla), laju napas 48 kali/menit (cepat
dan
dalam, pernafasan kusmaul), CRT < 3”. Tidak ada kelainan
5. Dinding abdomen soepol (lemas), ada nyeri tekan abdomen yang TS 5
tidak khas pada seluruh area abdomen. Bising usus normal,
turgor sedikit turun, tidak ada meteorismus. Hepar lien tidak
teraba.
Acral masih hangat, tidak ada edema. Status neurologis: dalam
batas normal. Status pubertas: P1M2.
6. Pada pemeriksaan cito di IRD : kadar gula acak 590 mg%, urin TS 3
menunjukkan reduksi +4 dan keton urine +3. Darah rutin Hb
14,9%, leucocyte 19.300, Trombocyte 230.000, HbA 1C 12%.
Hasil analisis gas darah : FiO2 100. pH 6.961. pCO 22,1. pO2
56,7. SO2 70,1. HCO3 5,0 mmol/L. Beb -25. PO2 / FIO2 56,7.
Kami menempatkan masalah “Monik. Usia 9 tahun, datang ke IRD sore hari dengan sesak
napas dan sakit perut” pada prioritas pertama karena hal itu yang membuat pasien datang ke
rumah sakit. Selain itu, keluhan sesak napas dapat menimbulkan kematian cepat sehingga harus
cepat ditangani.

III. ANALISIS MASALAH


1. Monik. Usia 9 tahun, datang ke IRD sore hari dengan sesak napas dan sakit
perut.
a. Bagaimana tatalaksana bila ada pasien datang dengan keluhan sesak napas dan
sakit perut?
Karena sesak napas dan kussmaul merupakan gejala ketoasidosis diabetic,
maka sebaiknya tatalaksananya dengan tatalaksana ketoasidosis diabetic.
Salah satunya dengan Oksigenasi / ventilasi. Dengan memasang oksigen
melalui masker Hudson atau non-rebreather masker jika ditunjukkan.
Masukkan tabung nasogastrik dan biarkan drainase jika pasien muntah atau
jika pasien telah muntah berulang. Airway, pernafasan dan tingkat kesadaran
harus dimonitor di semua treatment DKA.

b. Bagaimana patofisiologi sesak napas pada kasus?


Kadar benda keton di dalam darah mempengaruhi konsentrasi H+ dengan
pengingkatan konsentrasi H+. Peningkatan ini akan merangsang pembentukan
asam krbonat secara berlebihan yang akan dikompensasi oleh tubuh dengan
melakukan kussmaul sehingga pengeluaran dan pemasukan CO2 dan O2
sama- sama meningkat. Tujuannya agar konsentrasi asam karbonat di dalam
darah menurun.

c. Bagaimana patofisiologi sakit perut pada kasus?


Sakit perut terjadi akibat menurunnya perfusi mesenterium, dehidrasi otot
dan jaringan usus serta paralisis saluran cerna akibat gangguan keseimbangan
asam basa dan elektrolit. Penyebab nyeri belum diketaui secara jelas. Sakit
perut ini akan hilang dengan sendirinya apabila asidosis teratasi.

d. Apa hubungan usia dengan kasus?


Diabetes Mellitus Tipe-1 (DMT1) biasanya terjadi pada anak biasanya
dibawah umur 20 tahun, dan cenderung mengidap KAD.

2. 6 jam sebelum masuk rumah sakit penderita tampak mulai sesak napas dan
dan nafas cepat yang makin memberat serta lemas. Sesak tidak dipengaruhi
cuaca, posisi, dan aktifitas. Tidak ada jantung berdebar – debar juga sembab
di kedua tungkai. Tidak ada batuk pilek atau panas. Sehari sebelumnya
pasien hanya mual dan perut rasanya sakit. Tidak ada riwayat mencret dan
sakit mag.
a. Mengapa sesak napas, napas cepat, makin memberat serta lemas?
Napas cepat dan dalam (Kussmaul) merupakan kompensasi hiperventilasi
akibat asidosis metabolic, sedangkan lemas terjadi akibat penurunan produksi
energy metabolic yang dilakukan oleh sel melalui proses glikolisis tidak
optimal karena kurangnya insulin yang berperan sebagai kunci terjadinya
metabolism energy.

b. Kenapa sehari sebelumnya pasien hanya mual dan perut rasanya sakit?
Akibat defisiensi insulin adalah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi
asam- asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi
badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton
yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal
akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam (pH
darah < 7,1) yang akan menyebabkan mual dan sakit perut. Muntah terjadi
akibat asidosis metabolic sedangkan nyeri perut terjadi akibat menurunnya
perfusi mesenterium.
c. Kenapa sesak tidak dipengaruhi cuaca, posisi, dan aktifitas?
Hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya pelepasan asam lemak bebas
dari jaringan lemak adiposa. Asam lemak bebas ini akan mengalami proses
beta oksidasi di hepar sehingga terkonversi menjadi badan keton yang
memiliki pH rendah. Penumpukan badan keton ini menyebabkan terjadinya
metabolik asidosis.
Tubuh akan merespon kondisi metabolik asidosis melalui sistem buffer
menggunakan bikarbonat. Metabolik asidosis yang tidak terkompensasi
dengan sistem buffer kemudian akan menyebabkan terjadinya hiperventilasi
untuk menurunkan kadar karbondioksida dalam darah, sehingga pasien
mengalami pola respirasi Kussmaul. Dengan kata lain pernapasan cepat tidak
dipengaruhi oleh factor lingkungan seperti cuaca, posisi, dan aktifitas.

3. Dalam 3 bulan memang BAK sering (+), tetapi minumnya juga banyak dan
dipikir hanya infeksi saluran air kencing. Nafsu makan tetap baik, tetapi
terlihat badan agak lebih kurus (berat badan 3 bulan yang lalu 23 kg). tidak
ada riwayat DM, jantung, hipertensi, asma di keluarga. Pertumbuhan dan
perkembangan baik, dan saat ini sudah di SD kelas 4.
a. Mengapa mengalami BAK yang sering?
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi (>180 mg/dL), ginjal
tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar. Hal ini
mengakibatkan lolosnya glukosa tersebut dari proses rearbsorpsi ginjal dan
glukosa akan muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (polyuria).

b. Mengapa badan nya kurus padahal nafsu makan nya tetap baik?
Pada diabetes melitus tipe 1 sel beta pankreas yang menghasilkan hormon
insulin rusak akibatnya karbohidrat tidak dapat dirubah menjadi glukosa
sedangkan untuk kebutuhan energi dalam tubuh dibutuhkan glukosa,
akibatnya tubuh akan mengirim sinyal ke pusat agar merangsang rasa lapar
sehingga nafsu makan meningkat tapi tidak ada yg bisa diubah menjadi
energi. Akhirnya tubuh menggunakan lemak sebagai sumber energi. Sehingga
pada pasien DM akan tampak lebih kurus dan penurunan berat badan.

c. Hubungan genetik dan lingkungan pada kasus?


Dalam hubungannya terhadap genetic, kasus ini dapat terjadi karena
diturunkannya informasi pada DNA orang tua terkait penurunan produksi
insulin kepada penderita. Sampai sekarang gen yang berhubungan dengan
risiko terjadinya DM belum bisa diidentifikasi secara pasti. Adanya perbedaan
yang nyata kejadian DM antara grup etnik yang berbeda meskipun hidup di
lingkungan yang sama menunjukkan adanya kontribusi gen yang bermakna
dalam terjadinya DM.
Sedangkan dalam faktor lingkungan yang meliputi usia, obesitas,
resistensi insulin, makanan, aktifitas fisik, dan gaya hidup penderita yang
tidak sehat juga bereperan dalam terjadinya diabetes.

4. Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : tampak gelisah, tampak sakit sedang. Laju nadi 140 kali/menit
(regular, isi dan tegangan cukup), tekanan darah 90/60 mmHg, suhu 36,4 C
(aksilla), laju napas 48 kali/menit (cepat dan dalam, pernafasan kusmaul),
CRT < 3”. Tidak ada kelainan.
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
1. Kesadaran : delirium
2. Laju nadi : takikardi
3. TD : Normal
4. Suhu : normal
5. Laju napas : takipneu dan napas cepat dan napas dalam, pernapasan
kussmaul yaitu pola pernapasan yang sangat dalam dengan frekuensi yang
normal atau semakin kecil. dan sering ditemukan pada penderita asidosis.
Penyebab pernapasan Kussmaul yaitu kompensasi pernapasan
pada asidosis metabolik, yang sering pada pasien diabates pada
ketoasidosis diabetikum.
6. CRT : Normal
7. Interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik menunjukan pasien mengalami
KAD.

b. Bila ada yang tidak normal, jelaskan patofisiologi nya?


Pernapasan yang cepat dalam, pernapasan kussmaul yaitu pola pernapasan
yang sangat dalam dengan frekuensi yang normal atau semakin kecil. , dan
sering ditemukan pada penderita asidosis. Hal ini disebabkan kompensasi
pernapasan pada asidosis metabolik, yang sering pada pasien diabates pada
ketoasidosis diabetikum.

c. Adakah hasil pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan kasus?


Ada, pernapasan cepat dan dalam, pernapasan kussmaul, yaitu
menandakan bahwa pasien tersebut mengalami DM tipe 1 karena hal tersebut
merupakan kompensasi pernapasan pada asidosis metabolik, yang sering pada
pasien diabates pada ketoasidosis diabetikum.

5. Dinding abdomen soepol (lemas), ada nyeri tekan abdomen yang tidak khas
pada seluruh area abdomen. Bising usus normal, turgor sedikit turun, tidak
ada meteorismus. Hepar lien tidak teraba.
Acral masih hangat, tidak ada edema. Status neurologis: dalam batas
normal. Status pubertas: P1M2.
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
1. Kadar gula darah acak: tinggi
2. Urin menunjukkan reduksi (+4) terjadi warna merah bata (kadar glukosa
>3,5%). Pada hasil kasus didapatkan +4 menandakan bahwa kadar
glukosa yang ada didarah pasien >3,5%.
3. Urin menunjukan keton urine (+3) Hasil pada kasus menunjukkan bahwa
urin pasien mengandung keton dengan kadar 50mg%.
4. Darah rutin : Hb 14,9 mg% = normal
5. Leukosit 19,3 . 10^3 = tinggi
6. Trombosit 230 . 10^3 = normal
7. HbA 1C dari pasien 12% yang berarti tidak normal, hemoglobin yang
berikatan dengan glukosa, yang artinya dalam 3 bulan terakhir, diabetes
tidak terkontrol (yang berarti bahwa gula darah terlalu tinggi terus
menerus).

b. Bila ada yang tidak normal, jelaskan patofisiologi nya?


Nyeri tekan tidak khas pada abdomen, dinding abdomen lemas dan turgor
sedikit turun akibat terjadi dehidrasi. Dehidrasi kemudian menyebabkan
hiperosmolaritas,gangguan fungsi ginjal, dan penumpukan asam laktat yang
berujung kepada keadaan asidosis.

c. Adakah hasil pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan kasus?


Kadar gula darah yang tinggi menunjukkan salah satu gejala DM, Keton
urine menunjukkan bahwa pasien menderita KAD, HbA 1C menunjukkan
kadar gula darah yang tinggi dalam 3 bulan terakhir. Hal- hal tersebut dapat
merujuk pada penyakit DM.

6. Pada pemeriksaan cito di IRD : kadar gula acak 590%, urin menunjukkan
reduksi +4 dan keton urine +3. Darah rutin Hb 14,9%, leucocyte 19.300,
Trombocyte 230.000, HbA 1C 12%. Hasil analisis gas darah : FiO2 100. pH
6.961. pCO 22,1. pO2 56,7. SO2 70,1. HCO3 5,0 mmol/L. Beb -25. PO2 /
FIO2 56,7.
a. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik?
Hasil didapat bahwa pemeriksaan darah terdapat nilai trombosit
normal namun pada Hb, leukosit, pemeriksaan gula, urin dan analisis gas
darah tersebut mengalami abnormalitas.
No. Pemeriksaan Angka Normal Angka Pasien
1 Kadar Gula Acak 70 – 200 mg/dl 590
2 Hb 12 - 14 g/dL 14,9
3 Leukosit 5.000 – 10.000/mm3 19.300
4 Trombosit 150.000 – 450.000/mm3 230.000
5 HbA1C < 6.5% 12
6 pH 7,35-7,45 6,961
7 pCO2 35 – 45 mmHg 22,1
8 pO2 80 – 100 mmHg 56,7
9 Saturasi O2 95 % atau lebih 70,1
10 HCO3 22 – 26 mEq/L 5,0
11 Be 0 ± 2 mEq/L -

b. Bila ada yang tidak normal, jelaskan patofisiologi nya?


Dari kasus didapat bahwa dalam pemeriksaan urin terdapat bahwa
urin menunjukkan reduksi (Glukosa) dan terdapat keton didalamnya. Pada
kasus pasien mengalami ketosis karena kekurangan energi akibat insulin tidak
ada untuk mengubah karbohidrat menjadi energi. Terjadi penumpukan keton
dan karbohidrat pada penderita diabetes mellitus tipe 1 dapat menyebabkan
ketoasidosis metabolic.

c. Adakah hasil pemeriksaan fisik yang berkaitan dengan kasus?


Ketoasidosis metabolik terjadi karena pasien mengalami diabetes mellitus
tipe 1. Karena metabolisme terganggu maka gas darah juga terganggu (seperti
gangguan asam basa)
IV. KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN (LEARNING ISSUES)

Topik What I Don’t What I Have to How I Will


No. What I Know
Pembelajaran Know Prove Learn

1. Diabetes 1. Pengertian 1. Patofisiologi 1. DM Pembelajaran


Mellitus dan DM DM dan berhubungan detail dan
Ketoasidosis 2. Penyebab KAD dengan KAD menyeluruh
Metabolik umum DM 2. Etiologi DM 2. Pasien mengenai
3. Pengertian dan KAD dalam kasus etiologi,
KAD 3. Tatalaksana menderita patofisiologi,
DM dan DM dengan
tatalaksana,
KAD komplikasi
diagnosis,
4. Diagnosis KAD
komplikasi,
DM dan 3. Gejala
lainnya dan prognosis
KAD
5. Komplikasi mendukung DM dan KAD
DM dan DM dan
KAD KAD
6. Prognosis
DM dan
KAD
7. Hubungan
DM dengan
KAD
8. Mengenali
bahaya
9. Mengetahui
kondisi rujuk
2. Diagnosis - 1. Penyakit- Pasien dalam Pembelajaran
Banding penyakit kasus detail dan
serupa menderita DM menyeluruh
dengan DM dengan
dan KAD komplikasi
2. Cara KAD
membedakan
penyakit-
penyakit
tersebut
dengan DM
dan KAD
3. Ciri khas
masing
masing
penyakit

3. Tumbuh 1. Tumbuh dan 1. Bagaimana Hubungan Pembelajaran


Kembang kembang anak proses masa detail dan
Anak terbagi atas 3 pertumbuhan pertumbuhan menyeluruh
masa dan dan
2. Pasien berada perkembangan perkembangan
pada masa pada masing- pasien dengan
juvenile masing masa kondisinya
2. Perubahan
sekarang
fenotip
3. Perubahan
hormonal
4. Landmark
peralihan
masa
4. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Interpertasi dari Hasil Pembelajaran
Fisik fisik yang kesesuaian dan pemeriksaan detail dan
harus ketidaksesuaian fisik menyeluruh
dilakukan pada hasil mendukung
umumnya pemeriksaan pasien
2. Nilai normal fisik mengalami
hasil DM dengan
pemeriksaan
komplikasi
fisik
KAD
3. Kesesuaian
dan
ketidaksesuaia
n hasil
pemeriksaan
fisik pasien
5. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Interpertasi dari Hasil Pembelajaran
Penunjang penunjang kesesuaian dan pemeriksaan detail dan
yang harus ketidaksesuaian penunjang menyeluruh
dilakukan hasil mendukung
pada pasien pemeriksaan pasien
2. Nilai normal penunjang mengalami
hasil DM dengan
pemeriksaan komplikasi
penunjang KAD
3. Kesesuaian
dan
ketidaksesuaia
n hasil
pemeriksaan
penunjang
pasien
6. Edukasi Pasien harus 1. Hal-hal yang Pembelajaran
diberi edukasi harus detail dan
mengenai disampaikan menyeluruh
penyakitanya ke pasien mengenai ilmu
dengan etika yang 2. Cara komuniskasi
benar supaya penyampaian serta
pasien patuh edukasi yang -
patofisiologi
mengonsumsi benar
DM dan KAD
obat dan/atau
menjalankan
terapi serta
menimbulkan rasa
lega bagi pasien.

V. SINTESIS MASALAH
5.1. Diabetes Mellitus
A. Definisi
Diabetes mellitus adalah suatu sindroma hiperglikemia yang sering
disertai kelainan metabolisme terkait (lemak dan protein), yang disebabkan
oleh karena defek sekresi dan jumlah insulin (DMT1), ataupun kombinasinya
dengan resistensi insulin yang merupakan penyebab awal (DMT2) defek
sekresi dan jumlah insulin tersebut. Diabetes mellitus tipe 1 (DMT1)
disebabkan karena destruksi sel beta pankreas yang kebanyakan akibat dari
proses autoimun ataupun idiopatik, dan penderita DMT1 ini cenderung
mengidap ketoasidosis diabetik (KAD). Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2)
adalah bentuk yang lebih
sering (95% lebih), dengan awal penyebabnya adalah resistensi insulin yang
akhirnya menimbulkan dekompensasi pankreas mensekresi insulin.

B. Klasifikasi
Menurut PERKENI 2015, klasifikasi Diabetes Melitus dapat dilihat dalam
tabel berikut
Jenis Etiologi
Tipe 1 Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut
• Autoimun
• Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai dari resistensi insulin yang disertai
defisiensi insulin relatif hingga defek sekresi insulin yang
dibarengi resistensi insulin.

Tipe lain • Defek genetik fungsi sel β


• Defek genetik kerja insulin
• Penyakit eksokrin pankreas
• Endokrinopati
• Karena obat atau zat kimia
• Infeksi
• Sebab imunologi (jarang)
• Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM

Diabetes Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada


Melitus kehamilan pertama dan gangguan toleransi glukosa setelah
gestasional terminasi kehamilan.
C. Perbedaan DM tipe 1 dan 2
Menurut Arisman 2011 terdapat perbedaan antara DM tipe 1 dan tipe 2
yang dapat dilihat pada tabel berikut.

DM tipe 1 DM tipe 2

Onset Anak/dewasa muda (<25 Biasanya setelah usia


tahun) pertengahan

Proporsi <10% dari semua >90% dari semua


penyandang DM penyandang DM

Riwayat Tidak lazim Sangat lazim


Keluarga

Gejala Akut/sub-akut Lambat

Ketoasidosis Sering sekali Jarang, kecuali jika


sakit/stress

Antibodi ICA, Sangat sering positif Biasanya negative


GAD

Obesitas daat Tidak obes Obes sebelum onset


onset

Kaitan dengan Ada Tidak ada


HLA tipe
tertentu

Kaitan dengan Kadang-kadang ada Tidak ada


penyakit
autoimun
C-peptida Sangat rendah Rendah/normal/tinggi
darah/urin

Kegunaan Penyelamat nyawa Kadang-kadang


insulin diperlukan sebagai
pengawasan gula darah

Penyebab Pankreas tidak mampu Produksi insulin masih


membuat insulin ada, tetapi sel target
tidak peka

Kegunaan diet Mengawasi gula darah Menurunkan BB (jadwal


(makan/jajan harus diatur tidak harus ketat, kecuali
seputar pemberian insulin kalau insulin juga
agar tidak terjadi diberikan)
hipoglisemia)

Kegunaan Merangsang sirkulasi dan Membuat tubuh menjadi


latihan fisik M membantu tubuh dalam lebih peka terhadap
penggunaan insulin insulinnya sendiri, di
samping menggunakan
energi untuk mengurangi
BB

D. Etiologi
a. Diabetes Melitus tipe-1
Diabetes Melitus tipe-1 ditandai oleh penghancuran sel-sel beta
pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi, dan dapat pula
lingkungan (misalnya infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan
destruksi sel beta (Potter & Perry, 2006).
1. Faktor Genetik
Pasien diabetes tidak mewarisi Diabetes Melitus tipe-1 itu sendiri;
tetapi, mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke
arah terjadinya Diabetes Melitus tipe-1. Kecenderungan genetik ini
ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (human
leococyte antigen) tertentu.. HLA merupakan kumpulan gen yang
bertanggungjawab atas antigen transplantasi dan proses imun
lainnya.
2. Faktor Imunologi
Diabetes Melitus tipe-1 terdapat bukti adanya suatu respon
autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi
terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan
asing.
3. Faktor Lingkungan
Faktor-faktor ekstetrnal juga dapat memicu destruksi sel beta.
Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus
atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi sel beta.
b. Diabetes Melitus tipe-2
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada Diabetes Melitus tipe-2 masih belum
diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses
terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor risiko
tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya Diabetes Melitus
tipe-
2. Faktor-faktor ini adalah: Usia (resistensi insulin cenderung meningkat
pada usia di atas 65 tahun), Obesitas, Riwayat keluarga, Kelompok etnik
(Potter & Perry, 2006).

E. Prognosis
1. DM Tipe 1
DM tipe 1 dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Hampir 50% pasien akan mengalami komplikasi serius seumur hidup.
Beberapa akan kehilangan penglihatan, dan yang lain akan
mengembangkan penyakit ginjal stadium akhir. Bagi mereka yang berhasil
melewati 20 tahun
pertama, prognosisnya bagus. Namun, penyakit ini tidak dapat
disembuhkan, dan seiring waktu, pasien dapat mengalami penyakit arteri
koroner prematur, neuropati, borok kaki, dan kehilangan penglihatan.
Mempertahankan euglycemia seumur hidup dikaitkan dengan kecemasan
dan depresi berat; bagi banyak pasien dengan diabetes tipe 1, kualitas
hidup buruk.
2. DM Tipe 2
a. Tingkat kematian untuk orang dewasa dengan diabetes (jenis apa pun)
kira-kira 1,5 kali lebih tinggi daripada populasi umum, terutama
karena kejadian kardiovaskular.
b. Orang dengan diabetes tipe 2 memiliki mortalitas berlebih
dibandingkan dengan populasi umum
c. Rasio bahaya kematian secara keseluruhan adalah 1,27 (interval
kepercayaan 95%, 1,26-1,28)
d. Rasio bahaya kematian kardiovaskular adalah 1,33 (interval
kepercayaan 95%, 1,31-1,34)
e. Kelebihan risiko kematian meningkat dengan meningkatnya rata-rata
hemoglobin A1C level
f. Untuk setiap peningkatan 1 poin persentase dalam tingkat hemoglobin
A1C, ada peningkatan rata-rata yang sesuai dalam risiko 12% untuk
semua penyebab kematian dan 14% untuk kematian kardiovaskular
g. Kelebihan kematian pada diabetes tipe 2 tampaknya lebih besar
dengan memburuknya kontrol glikemik, komplikasi ginjal yang parah,
dan gangguan fungsi ginjal.

F. Komplikasi
Komplikasi diabetes terbagi menjadi komplikasi akut dan kronis
Komplikasi akut
1. Ketoasidosis diabetikum akibat hiperglikemia yang tidak terkontrol
2. Hipoglikemi
Komplikasi kronis
1. Makrovaskular karena pembentukan arterosklerosis. Hal ini terjadi
karena rendahnya insulin menyebabkan FFA meningkat
2. Mikrovaskular karena hyalinasi arterosklerosis. Arterpsklerosis pada
makrovaskular dapat menyebabkan hyalinasi membran basalis
mikrovaskular yang dapat mengakibatkan iskemik setempat

G. Patofisiologi Diabetes Melitus


Hormon insulin dihasilkan sel beta di kelenjar pankreas. Dalam keadan
normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan disekresikan
ke dalam darah sesuai kebutuhan tubuh untuk keperluanregulasi glukosa
darah. Salah satu komponen utama yang memberikan rangsangan pada sel
beta untuk memproduksi insulin karena adanya peningkatan kadar glukosa
darah (Manaf dalam Sudoyo, et al. 2006).
a. Diabetes Melitus tipe-1
Terjadi defisiensi insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas,
karena adanya reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada
sel beta insulitis. Hal ini menyebabkan timbulnya anti bodi terhadap sel
beta yang disebut ICA (Islet Cel Antibody). Reaksi antigen (sel beta)
dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkan dapat menyebabakan hancurnya
sel beta. Insulitis dapat disebabakan oleh beberapa hal, diantaranya:
virus, seperti virus rubella, herpes dan lain-lain.
b. Diabetes Melitus tipe-2
Pada Diabetes Melitus tipe 2 sel beta pankreas tetap memproduksi
insulin bahkan lebih dari kadar normal, tetapi jumlah reseptor insulin
yang terdapat pada permukaan sel yang berkurang. Hal ini dapat
menyebabkan glukosa yang masuk kedalam sel akan berkurang, sehingga
sel akan kekurangan bahan bakar/glukosa dan glukosa didalam pembuluh
darah akan meningkat (Manaf dalam Sudoyo, et al.)

H. Gejala-Gejala Diabetes Melitus Pada Kasus


1. Sesak napas
Pernapasan Kussmaul adalah pola pernapasan yang sangat dalam
dengan frekuensi yang normal atau semakin kecil dan sering ditemukan
pada penderita asidosis. Penyebab pernapasan Kussmaul adalah
kompensasi pernapasan pada asidosis metabolic.Pada KAD, kombinasi
dari defisiensi insulin dan peningkatan dari hormon kontra insulin
menyebabkan pelepasan asam lemak. Asam lemak bebas ini akan
mengalami proses beta oksidasi di hepar sehingga terkonversi menjadi
badan keton (β-hydroxybutyrate dan acetoacetate), yang memiliki pH
rendah. Penumpukan badan keton ini menyebabkan terjadinya metabolik
asidosis. Gas-gas darah pada pasien dengan pernapasan Kussmaul
memperlihatkan tekanan parsial karbon dioksida yang menurun karena
adanya tekanan yang meningkat pada pernapasan. Pernapasan ini
membuang banyak karbon dioksida. Pasien akan merasa ingin cepat untuk
menarik napas secara mendalam, dan tampaknya terjadi secara tak sadar.
Kelak, asidosis metabolik akan menyebabkan hiperventilasi untuk
menurunkan kadar karbondioksida dalam darah, namun sebelumnya
pernapasan akan cenderung cepat dan dangkal. Pernapasan Kussmaul akan
muncul ketika asidosis semakin parah. Jadi, pernapasan ini juga dapat
menandakan tingkat keparahan penyakit, terutama pada pasien diabetes.
2. Sakit perut
Sakit perut terjadi akibat menurunnya perfusi mesenterium,
dehidrasi otot dan jaringan usus serta paralisis saluran cerna akibat
gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Penyebab nyeri belum
diketaui secara jelas. Sakit perut ini akan hilang dengan sendirinya apabila
asidosis teratasi.
3. Buang air kecil sering
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi (>180 mg/dL),
ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar.
Hal ini mengakibatkan lolosnya glukosa tersebut dari proses rearbsorpsi
ginjal dan glukosa akan muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa
yang berlebihan diekskresikan ke urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan pula. Keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik yang menyebabkan pasien mengalami
peningkatan dalam berkemih (polyuria). Sebagai akibat dari kehilangan
cairan yang berlebihan, pasien akan mengalami dehidrasi dan rasa haus
(polidipsia)
4. Berat badan turun tetapi makan baik
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya
transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan
simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena
digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka pasien akan
merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut
poliphagia. Penurunan berat badan sebagai akibat dari kehilangan cairan
dan mobilisasi lemak dan jaringan otot sebagai sumber energi akibat
insulin yang kurang.
5. Lemas
Defisiensi Insulin → Cadangan glukosa tidak dapat masuk
kedalam hepar ataupun sel otot untuk disimpan (glikogenesis) dan
menimbulkan keadaan hiperglikemia post prandial (sesudah makan) di
dalam darah → Penurunan transport glukosa ke sel tubuh → ATP menurun
→ Lemas
I. Manifestasi klinis
Adanya penyakit Diabetes Melitus pada awalnya sering tidak dirasakan
dan tidak disadari oleh pasien. Beberapa keluhan dan gejala yang perlu
mendapat perhatian bagi pasien Diabetes Melitus adalah (Slamet Suyono,
2002):
a. Keluhan klasik
1. Poliuri
Jika kadar gula darah meningkat, maka glukosa akan dikeluarkan
melalui air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan
membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar
glukosa yang hilang, karena ginjal menghasilkan air kemih dalam
jumlah yang belebih maka klien sering berkemih dalam jumlah yang
banyak.
2. Polidipsi
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan
yang keluar melalui air kemih. Untuk menghilangkan rasa haus
tersebut klien banyak minum.
3. Penurunan berat badan dan rasa lemah
Penurunan berat badan berlangsung dalam waktu yang relative
singkat. Hal ini disebabkan karena sejumlah besar kalori hilang ke
dalam air kemih. Juga disebabkan karena glukosa dalam darah tidak
dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar
untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber
tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot.
Akibatnya, klien kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga
menjadi kurus.
4. Polifagi
Pasien sering kali merasa lapar yang luar biasa karena kalori dari
makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan menjadi glukosa
dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, serta akibat dari
sejumlah besar kalori telah hilang kedalam air kemih. Untuk
mengkompensasikan hal ini, pasien banyak makan.
J. Tata Laksana
Perlu dilakukan evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama, yang
meliputi:
1. Riwayat Penyakit
a. Usia dan karakteristik saat onset diabetes.
b. Pola makan, status nutrisi, status aktifitas fisik, dan riwayat perubahan
berat badan.
c. Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda.
d. Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap,
termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh
tentang perawatan DM secara mandiri.
e. Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
perencanaan makan dan program latihan jasmani.
f. Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar
hiperglikemia, hipoglikemia).
g. Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenital.
h. Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik pada ginjal, mata,
jantung dan pembuluh darah, kaki, saluran pencernaan, dll.
i. Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
j. Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan
endokrin lain).
k. Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM.
l. Karakteristik budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tinggi dan berat badan.
b. Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam
posisi berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik.
c. Pemeriksaan funduskopi.
d. Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid.
e. Pemeriksaan jantung.
f. Evaluasi nadi baik secara palpasi maupun dengan stetoskop.
g. Pemeriksaan kaki secara komprehensif (evaluasi kelainan vaskular,
neuropati, dan adanya deformitas).
h. Pemeriksaan kulit (akantosis nigrikans, bekas luka, hiperpigmentasi,
necrobiosis diabeticorum, kulit kering, dan bekas lokasi penyuntikan
insulin).
i. Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain
3. Evaluasi Laboratorium
a. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2jam setelah TTGO.
b. Pemeriksaan kadar HbA1c
4. Penapisan Komplikasi
Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita yang baru
terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan:
a. Profil lipid pada keadaan puasa: kolesterol total, High Density
Lipoprotein (HDL), Low Density Lipoprotein (LDL), dan
trigliserida.
b. Tes fungsi hati
c. Tes fungsi ginjal: Kreatinin serum dan estimasi-GFR
d. Tes urin rutin
e. Albumin urin kuantitatif
f. Rasio albumin-kreatinin sewaktu.
g. Elektrokardiogram.
h. Foto Rontgen thoraks (bila ada indikasi: TBC, penyakit jantung
kongestif).
i. Pemeriksaan kaki secara komprehensif. Penapisan komplikasi
dilakukan di Pelayanan Kesehatan Primer. Bila fasilitas belum
tersedia, penderita dirujuk ke Pelayanan Kesehatan Sekunder
dan/atau Tersier.
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup sehat (terapi
nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi
farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau
suntikan. Obat anti
hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.
(PERKENI, 2015)

K. Penatalaksanaan DM tipe 1
Hal pertama yang harus dipahami bahwa DM tipe 1 tidak dapat disembuhkan
tetapi kualitas hidup penderita dapat dipertahankan seoptimal mungkin
dengan mengusahakan kontrol metabolik yang baik. Kontrol metabolik yang
baik adalah mengusahakan kadar glukosa darah berada dalam batas normal
atau mendekati nilai normal, tanpa menyebabkan hipoglikemia. parameter
HbAlc merupakan parameter kontrol metabolik standar pada diabetes melitus
tipe 1. Nilai HbAlc < 6,5% berarti kontrol metabolik baik, HbAlc < 8%
cukup, dan HbA1c > 8% dianggap buruk. Kriteria ini pada anak perlu
disesuaikan dengan usia anak mengingat semakin rendah HbA1c semakin
tinggi risiko terjadinya hipoglikemia (Ghosh dkk., 2009). Komponen
pengelolaan DM tipe 1 meliputi pemberian insulin, pengaturan makan,
olahraga, edukasi yang didukung oleh pemantauan mandiri. Keseluruhan
komponen berjalan secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik

yang baik (Rustama dkk., 2010).


L. Kriteria Diagnosis Prediabetes – ADA 2014
Kriteria diagnosis prediabetes atau IRD (Increased Risk of Diabetes)
adalah salah satu dari 4 komponen yang tersebut dibawah ini:
1. GDPT (FPG) 100 mg/dl – 125 mg/dl: GDPT (IFG) atau prediabets
2. 2 jam glukosa postprandial (2 jam PP) 140 mg/dl sampai dengan 199
mg/dl pada TTGO atau OGTT dengan beban glukosa 75 g: TGT (IGT)
atau prediabetes
3. HbA1C 5,7 – 6,4 % : IRD atau prediabetes.
ADA = American Diabetes Association; Harga normal orang sehat: AIC
< 5.7%

M. Kriteria Diagnosis Diabetes Menurut ADA-2014


1. AIC ≥ 6.5. Tes AIC yang akurat seharusnya dilakukan oleh laboratorim
yang mempunyai sertifikat internasional NGSP (The Nastional
Glycohemoglobin Standardization Program)
2. GDPT ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L). yang dimaksud puasa adalah puasa
minimal 8 jam
3. 2-h Plasma Glucose (2 jam PP) ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L) dengan OGTT
menurut WHO dengan beban glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air.
4. Glukosa darah acak (GDA) ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L) pada pasien
dengan gejala klasik dari hiperglikemia atau hiperglikemia krisis
*) Bila tidak terdapat hiperglikemia yang signifikan, tes harus dikonfirmasi
dengan tes ulang. Kriteria diagnosis atas dasar AIC, Diabetes: AIC ≥
6.5%; Pre-diabetes: AIC 5.7 – 6.4%

5.2. Ketoasidosis Diabetikum


A. Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensiasi-kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis,
teruatam disebabkan oleh difisiensi absolut atau relatif. KAD dan
hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabets melitus (DM) yang serius
dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik. KAD
biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan
syok.

B. Faktor Pencetus
Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktur pencetus. Faktor pencetus yang berperan terjadinya
KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan onat
golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu
20% pasien KAD tidak didapatkan faktur pencetus.

C. Klasifikasi
KAD diklasifikasikan menjadi empat yang masing-masing menunjukkan
tingkatan atau stadiumnya, seperti yang dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Keto Asidosis (KAD)

D. Etiologi
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam
pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Tidak adanya insulin atau
tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh:
1. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi
2. Keadaan sakit atau infeksi
3. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan
tidak diobati Beberapa penyebab terjadinya KAD adalah:
a. Infeksi : pneumonia, infeksi traktus urinarius, dan sepsis. diketahui
bahwa jumlah sel darah putih mungkin meningkat tanpa indikasi
yang mendasari infeksi.
b. Ketidakpatuhan: karena ketidakpatuhan dalam dosis
c. Pengobatan: onset baru diabetes atau dosis insulin tidak adekuat
d. Kardiovaskuler : infark miokardium
Penyebab lain : hipertiroidisme, pankreatitis, kehamilan,
pengobatan kortikosteroid and adrenergik.

E. Patogenesis KAD
KAD terjadi oleh karena menurunnya konsentrasi insulin efektif dan
meningkatnya hormone kontra insulin(katekolamin, kortisol, glukagon, dan
growth gormone) yang menyebabkan terjadinya hiperglikemia den ketosis.
Hiperglikemia terjadi sebagai dampak dari tiga proses: meningkatnya proses
glukoneogenesis, meningkatnya glikogenolisis, menurunya ambilan glukosa
di jaringan perifer. Keadaan ini terjadi oleh adanya ketidakseimbangan
hormone tersebut di atas yang menyebabkan meningkatnya resistensi insulin
sementara disertai dengan menigkatnya kadar asam lemak bebas (free faty
acid). Kombinasi defisiensi insulin dan meningkatnya hormone kontra insulin
pada KAD menyebabnya pelepasan asam lemak bebas yang tidak terkendali
dari jaringan adipose ke dalam sirkulasi (lipolisis) dan terjadi oksidasi asam
lemak bebas dalam hepar menjadi benda keton (β-hydroxybuturate dan
acetoacetate), menyebabkan terjadinya asidosis metabolik.

F. Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau
relatif dan peningkatan horman konta regulator (glukagon, katekolamin,
kortisol dan horman pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi
glukosa hati meningkatkan dan utilitas glukosa oleh sel tubuh menurun,
dengan
hasil hiperglikemia. Keadaan giperglikemia sangat bervariasi dan tidak
menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD
dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu (Gambar 1)
1. akibat hiperglikemia
2. akibat ketosis

Gambar 1. Patofisiologi KAD

Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem


homeostasis tubuh terus teraktivitas untuk memproduksi glukosa dalam
jumlah banyka sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin
dan peningakatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin,
mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis
meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam
lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati
dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utam ialah asam
asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidoksi butirat, (3HB); dalam keadaan normal
kadar 3HB meliputi 75-85% an aseton darah merupakan benda keton yang
tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel
tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel,
memberi signal untuk proses perubahana glukosa menjadi glikogen,
menghambat glukoneugenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi
melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut
akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber energi utama
sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi
insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya
asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan
asam-basa dapat mengganggu sensitivitas insulin.

G. Manifestasi Klinis
Tanda umum pada pasien dengan dugaan asidosis yang disebabkan oleh
diabetes (KAD) ditemukan :
1. Napas Kussmaul (cepat dan dalam) 4. Turgor kulit menurun
2. Kulit kering 5. Selaput lendir kering
3. Penurunan reflex 6. Mual, muntah, nyeri perut
Ada tanda khusus yang khas pada KAD
1. Napas berbau aseton ( berbau buah/ Fruity breath Odor)
Napas berbau aseton/ fruity reath odor adalah hasil pernapasan yang
berasal dari aseton yang berlebih
2. Penurunan kesadaran
Pasien KAD termasuk pasien gawat darurat, apalagi pasien sudah
mengalami koma KAD.

H. Komplikasi
Hipoglikemia adalah komplikasi paling umum dan dapat dicegah
dengan penyesuaian dosis insulin yang tepat waktu dan pemantauan kadar
glukosa darah secara rutin. Hipoglikemia didefinisikan sebagai kadar glukosa
darah apa pun di bawah 70 mg / dL. Jika DKA tidak terselesaikan dan kadar
glukosa darah di bawah 200 hingga 250 mg / dL, penurunan laju infus insulin
dan / atau penambahan 5% atau 10% dekstrosa ke cairan intravena saat ini
dapat diimplementasikan (lihat Gambar 1). Untuk pasien di mana DKA
diselesaikan, strategi untuk mengelola hipoglikemia tergantung pada apakah
pasien dapat makan atau tidak. Untuk pasien yang mampu minum atau
makan, konsumsi 15 hingga 20 g karbohidrat — misalnya, empat tablet
glukosa atau 6 ons jus jeruk atau apel atau minuman ringan "biasa" -
disarankan. Pada pasien yang tidak diizinkan melalui mulut, tidak dapat
menelan, atau memiliki tingkat kesadaran yang berubah, berikan 25 mL 50%
dekstrosa IV atau berikan 1 mg glukagon IM jika tidak ada akses IV. Glukosa
darah harus diperiksa ulang dalam 15 menit; hanya jika kadar glukosa kurang
dari 80 mg / dL maka langkah-langkah ini harus diulang.
Asidosis hiperkloremik non-anion terjadi akibat hilangnya ketoanion
dalam urin, yang diperlukan untuk regenerasi bikarbonat, dan reabsorpsi
klorida dalam tubulus ginjal proksimal sekunder akibat pemberian intensif
cairan yang mengandung klorida dan bikarbonat plasma rendah. Asidosis
biasanya sembuh dan tidak mempengaruhi perjalanan pengobatan. Edema
serebral telah dilaporkan pada pasien dewasa muda. Kondisi ini
dimanifestasikan oleh munculnya sakit kepala, lesu, perubahan papiler, atau
kejang. Kematian hingga 70%. Infus Mannitol (Osmitrol) dan ventilasi
mekanis harus digunakan untuk mengobati kondisi ini. Rhabdomyolysis
adalah komplikasi lain yang mungkin timbul akibat hiperosmolalitas dan
hipoperfusi. Edema paru dapat berkembang dari penggantian cairan yang
berlebihan pada pasien dengan CKD atau gagal jantung kongestif.

I. Prognosis
1. Sebagian besar pasien yang dirawat dengan cepat dan tepat pulih dalam
waktu 48 jam tanpa gejala sisa 27
2. Rata-rata waktu penyelesaian adalah antara 10 dan 18 jam
3. Angka kematian secara keseluruhan di Amerika Serikat kurang dari 1%,
tetapi jauh lebih tinggi di negara berkembang (sekitar 11% -30%)
4. Tingkat yang lebih tinggi dilaporkan pada pasien yang lebih tua dari 60
tahun 55 dan pada mereka yang menderita penyakit menahun
5. Tingkat kematian pada anak-anak adalah 0,15% hingga 0,30%; edema
serebral bertanggung jawab atas 60% hingga 90% dari kematian ini
6. Tingkat kematian pada orang dewasa biasanya terkait dengan peristiwa
yang mendasari dan mempercepat

J. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk DKA termasuk glukosa darah lebih tinggi
dari 250 mg / dL, pH arteri 7,30 atau kurang, kadar bikarbonat 18 mEq / L
atau kurang, dan disesuaikan untuk celah anion albumin lebih besar dari 10
hingga
12. Oleh karena itu evaluasi laboratorium awal harus mencakup metabolisme
yang komprehensif panel dan gas darah arteri. Keton serum dan urin positif
dapat lebih lanjut mendukung diagnosis DKA tetapi tidak diperlukan. Pada
DKA awal, konsentrasi asetoasetat rendah, tetapi merupakan substrat utama
untuk pengukuran keton oleh banyak laboratorium; Oleh karena itu
pengukuran keton dalam serum dengan teknik laboratorium biasa memiliki
spesifisitas tinggi tetapi sensitivitas rendah untuk diagnosis DKA. Sebaliknya,
β-OHB adalah ketoasid awal dan melimpah yang pertama kali dapat memberi
sinyal pengembangan DKA, tetapi pengukurannya membutuhkan penggunaan
uji spesifik yang berbeda dari pengukuran keton. β-OHB 3,8 mmol / L atau
lebih tinggi terbukti sangat sensitif dan spesifik untuk diagnosis DKA.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium 4 atau 5, diagnosis
DKA menantang karena adanya asidosis metabolik kronis dan kemungkinan
gangguan asam-basa campuran pada presentasi dengan DKA. Kesenjangan
anion yang lebih besar dari 20 mendukung diagnosis DKA pada pasien
tersebut.
Temuan fisik dan presentasi klinis ialah:
1. Poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, kelemahan
2. Tanda-tanda dehidrasi (takikardia, hipotensi, selaput lendir kering, bola
mata cekung, turgor kulit buruk)
3. Mual, muntah, nyeri tekan perut, ileus
4. Perolehan mental (dapat berkisar dari kewaspadaan penuh hingga koma)
5. Takipnea dengan rasa lapar udara (respirasi Kussmaul)
6. Napas buah (disebabkan oleh aseton)
Bukti faktor pencetus (mis., Iskemia atau infeksi)

5.3. Pemeriksaan Fisik


1. Kesadaran
Tingkat kesadaran ini dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :
a. Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik
terhadap dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab
pertanyaan yang ditanyakan pemeriksa dengan baik.
b. Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya.
c. Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan,
siklus tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi serta meronta-ronta.
d. Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat
sadar bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur
kembali.
e. Sopor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun
masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya
rangsang nyeri, tetapi tidak terbangun sempurna dan tidak dapat
menjawab pertanyaan dengan baik.
f. Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons
terhadap rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi
refleks kornea dan pupil masih baik.
g. Coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan
respons terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons
terhadap rangsang nyeri.
2. Nilai Tingkat Kesadaran GCS pada Bayi dan Anak
Berikut nilai acuan dalam penilaian GCS pada bayi/anak:
a. Eye (respon membuka mata) : (4) : spontan (3) : membuka mata saat
diperintah atau mendengar suara (2) : membuka mata saat ada
rangsangan nyeri (1) : tidak ada respon
b. Verbal (respon verbal) : (5) : berbicara mengoceh seperti biasa (4) :
menangis lemah (3) : menangis karena diberi rangsangan nyeri (2) :
merintih karena diberi rangsangan nyeri (1) : tidak ada respon
c. Motorik (Gerakan) : (6) : bergerak spontan (5) : menarik anggota gerak
karena sentuhan (4) : menarik anggota gerak karena rangsangan nyeri
(3)
: fleksi abnormal (2) : ekstensi abnormal (1) : tidak ada respon

3. Laju Nadi
Frekunsi denyut nadi manusia bervariasi,tergantung dari banyak faktor
yang mempengaruhinya, pada saat aktivitas normal:
a. Normal: 60-100 x/mnt
b. Bradikardi: < 60x/mnt
c. Takhikardi: > 100x/mnt

4. Tekanan Darah

Tabel 1. Tabel Klasifikasi Tekanan Darah


5. Suhu
Temperatur (suhu) merupakan besaran pokok yang mengukur derajat panas
suatu benda/makhluk hidup. Suhu tubuh dihasilkan dari:
a. Laju metabolisme basal diseluruh tubuh
b. Aktifitas otot
c. Metabolisme tambahan karena pengaruh hormon Tindakan dalam
pemeriksaan suhu tubuh alat yang digunakan adalah termometer.
Jenis2 termometer yang biasa dipakai untuk mengukur suhu tubuh adalah
termometer air raksa dan digital. Metode mengukur suhu tubuh:
a. Oral. Termometer diletakkan dibawah lidah tiga sampai lima menit.
Tidak dianjurkan pada bayi.
b. Axilla. Metode yang paling sering di lakukan . Dilakukan 5-10 menit
dengan menggunakan termometer raksa. Suhu aksila lebih rendah 0.6°
C (1°F) dari pada oral. Normalnya 36,3- 37,7 derajat celcius
c. Rectal. Suhu rektal biasanya berkisar 0.4°C (0.7°F) lebih tinggi dari
suhu oral.

6. Laju Napas
Interpretasi
a. Takhipnea :Bila pada dewasa pernapasan lebih dari 24 x/menit
b. Bradipnea : Bila kurang dari 10 x/menit disebut
c. Apnea : Bila tidak bernapas
Pernapasan Kussmaul adalah pola pernapasan yang sangat dalam dengan
frekuensi yang normal atau semakin kecil. , dan sering ditemukan pada
penderita asidosis. Penyebab pernapasan Kussmaul yaitu kompensasi
pernapasan pada asidosis metabolik, yang sering pada pasien diabates pada
ketoasidosis diabetikum.

7. CRT
Capillary refill time adalah tes yang dilakukan cepat pada daerah dasar
kuku untuk memonitor dehidrasi dan jumlah aliran darah ke jaringan
(perfusi). Jaringan membutuhkan oksigen untuk hidup, oksigen dibawa
kebagian tubuh oleh system vaskuler darah. Nilai normal Jika aliran darah
baik ke daerah kuku, warna kuku kembali normal kurang dari 2 detik CRT
memanjang (> 2 detik) pada : Dehidrasi (hipovolumia), syok, peripheral
vascular disease, hipotermia

CRT memanjang utama ditemukan pada pasien yang mengalami


keadaan hipovolumia (dehidrasi,syok), dan bisa terjadi pada pasien yang
hipervolumia yang perjalanan selanjutnya mengalami ekstravasasi cairan
dan penurunan cardiac output dan jatuh pada keadaan syok.

“Dinding abdomen soepol (lemas), ada nyeri tekan abdomen yang tidak
khas pada seluruh area abdomen. Bising usus normal, turgor sedikit turun,
tidak ada meteorismus. Hepar lien tidak teraba.”
Nyeri tekan tidak khas pada abdomen, dinding abdomen lemas dan turgor
sedikit turun akibat terjadi dehidrasi. Dehidrasi kemudian menyebabkan
hiperosmolaritas,gangguan fungsi ginjal, dan penumpukan asam laktat yang
berujung kepada keadaan asidosis.
Meteorismus terjadi bila banyak menelan udara, terjadi pembentukan gas
yang berlebihan di dalam usus, akumulasi gas di dalam usus, dan sumbatan usus
yang dapat menghalangi pengeluaran gas melalui anus.
Pemeriksaan fisik hepar lien dapat dilakukan dengan cara palpasi. Jika
saat palpasi teraba hepar lien, berarti terdapat pembesaran hepar atau lien yang
dikenal sebagai splenomegaly dan hepatomegaly

“Acral masih hangat, tidak ada edema.”


Suhu acral (telapak tangan dan kaki) mencerminkan perfusi/ proses
sirkulasi pertukaran darah dengan oksigen di perifer. Apabila suhu acral dingin
maka bisa mencerminkan adanya gangguan perfusi jaringan perifer. Jika acral
tetap hangat maka perfusi tidak terganggu dan masih dalam batas normal. Tidak
terjadi edema berarti tidak adanya penyumbatan pada sirkulasi.
Status pubertas: P1M2
Penilaian maturitas seks pada anak perempuan : payudara
a. Tahap 1 (M1)
Praremaja-hanya terdapat pnonjolan putting susu.
b. Tahap 2 (M2)
Tahap bakal payudara. Penonjolan payudara dan putting sususebagai bukit
kecil; pembesaran diameter areolar.
c. Tahap 3 (M3)
Pembesaran dan penonjolan payudara serta areola lebih lanjut, tanpa
pemisahan kontur.
d. Tahap 4 (M4)
Penonjolan areola dan putting susu untuk membentuk bukit sekunder di
atas tinggi payudara.
e. Tahap 5 (M5)
Tahap matur; hanya penonjolan putting susu. Areola telah menyatu pada
kontur umum payudara (walaupun pada beberapa individu ormal areola
berlanjut untuk membentuk bukit sekunder).
Penilaian maturitas seks pada anak perempuan : Rambut pubis
a. Tahap 1 (P1)
Praremaja—Tidak terdapat rambut pubis, kecuali rambut tubuth yang
halus (rambut vellus) serupa dengan yang terdapat pada abdomen.
b. Tahap 2 (P2)
Pertumbuhan jarang dari rambut yang panjang, agak berpigmentasi, halus,
lurus atau hanya sedikit keriting, terutama di sepanjang labia.
c. Tahap 3 (P3)
Rambut lebih gelap, lebih kasar, lebih kerititng, sedikit menyebar di atas
simfisis pubis.
d. Tahap 4 (P4)
Rambut kasar dan keriting seperti yang terdapat pada orang dewasa; area
yang tertutupi lebih besar dari yang terdapat pada tahap 3, tetapi tidak
sebanyak yang terdapat pada orang dewasa dan belum tumbuh di paha
e. Tahap 5 (P5)
Rambut sudah seperti orang dewasa dalam kuantitas dan berkualitas,
menyebar pada permukaan medial paha, tetapi tidak di atas abdomen.

Status neurologis: dalam batas normal.


a. Menguji tingkat kesadaran
1. Secara kualitatif (apatis, koma, delirium dll.)
2. Secara Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
b. Memeriksa tanda-tanda rangsangan otak: Adakah Peningkatan suhu tubuh,
nyeri kepala, kaku kuduk, mual – muntah, kejang
1. Pemeriksaan Kaku kuduk
2. Pemeriksaan Kernig
3. Pemeriksaan Brudzinski
c. Memeriksa nervus cranialis
1. Nervus I , Olfaktorius (pembau )
2. Nervus II, Opticus (penglihatan)
3. Nervus III, Oculomotorius
4. Nervus IV, Throclearis
5. Nervus V, Thrigeminus
6. Nervus VI, Abdusen
7. Nervus VII, Facialis
8. Nervus IX, Glosopharingeal
9. Nervus X, Vagus
10. Nervus XI, Accessorius
11. Nervus XII, Hypoglosal
d. Memeriksa fungsi sensorik
e. Memeriksa reflek kedalaman tendon
1. Reflek fisiologis
2. Reflek Pathologis Bila dijumpai adanya kelumpuhan ekstremitas pada
kasus-kasus tertentu

5.4. Pemeriksaan Penunjang


A. Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah yang normal adalah jika kadar glukosa darah puasa 70-
110 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa rendah adalah < 55 mg/dl. Kriteria
diagnosis DM menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
b. Pemeriksaan glukosa plasma ≥ 200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi
Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 mg.
c. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan keluhan
klasik.

B. Urin
Pemeriksaan Reduksi Urin
Nilai normal :
a. (-) tidak terjadi perubahan warna / tetap biru jernih (kadar glukosa
<0,5%)
b. (+1) terjadi warna hijau kekuningan (kadar glukosa 0,5% – 1%)
c. (+2) terjadi warna kuning keruh (kadar glukosa 1% – 1,5%)
d. (+3) terjadi warna jingga / lumpur keruh (kadar glukosa 2% – 3,5%)
e. (+4) terjadi warna merah bata (kadar glukosa >3,5%)
Pada hasil kasus didapatkan +4 menandakan bahwa kadar glukosa yang ada
didarah pasien >3,5%.

C. Pemeriksaan HbA1c
HbA1c merupakan reaksi antara glukosa dengan hemoglobin, yang
tersimpan dan bertahan dalam sel darah merah selama 120 hari sesuai
dengan umur eritrosit. Kadar HbA1c bergantung dengan kadar glukosa
dalam darah, sehingga HbA1c menggambarkan rata-rata kadar gula darah
selama 3 bulan. Sedangkan pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan
saat diperiksa, dan tidak menggambarkan pengendalian jangka panjang.
Pemeriksaan gula darah diperlukan untuk pengelolaaan diabetes terutama
untuk mengatasi komplikasi akibat perubahan kadar glukosa yang berubah
mendadak.
Kategori HbA1c 30
1. HbA1c < 6.5% Kontrol glikemik baik
2. HbA1c 6.5 – 8% Kontrol glikemik sedang
3. HbA1c > 8% Kontrol glikemik buruk

D. Pemeriksaan Hematologi
Nilai normal Hb
1. Nilai rujukan pria : 13 - 16 g/dL
2. Nilai rujukan wanita : 12 - 14 g/dL
Nilai normal leukosit
Nilai rujukan : 5.000 – 10.000/mm3
Nilai normal trombosit
Nilai rujukan : 150.000 – 450.000/mm3
E. Pemeriksaan Gas Darah
Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) akan memberikan hasil
pengukuran yang tepat dari kadar oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh.
Hal ini dapat membantu dokter menentukan seberapa baik paru-paru dan
ginjal bekerja. Biasanya dokter memerlukan tes analisa gas darah apabila
menemukan gejala-gejala yang menunjukkan bahwa seorang pasien
mengalamai ketidakseimbangan oksigen, karbon dioksida, atau pH darah.
No. Pemeriksaan Angka Normal Angka Pasien
1 Kadar Gula Acak 70 – 200 mg/dl 590
2 Hb 12 - 14 g/dL 14,9
3 Leukosit 5.000 – 10.000/mm3 19.300
4 Trombosit 150.000 – 450.000/mm3 230.000
5 HbA1C < 6.5% 12
6 pH 7,35-7,45 6,961
7 pCO2 35 – 45 mmHg 22,1
8 pO2 80 – 100 mmHg 56,7
9 Saturasi O2 95 % atau lebih 70,1
10 HCO3 22 – 26 mEq/L 5,0
11 Be 0 ± 2 mEq/L -

5.5. Diagnosis Banding


Tiga fitur utama ketoasidosis diabetikum adalah hiperglikemia, ketosis,
dan asidosis. Kriteria diagnosisnya adalah sebagai berikut (Utami, 2017):
a. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
b. Asidosis, bila pH darah < 7,3.
c. Kadar bikarbonat < 15 mmol/L.
Derajat berat-ringannya asidosis diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Ringan: bila pH darah 7,25-7,3, bikarbonat 10-15 mmol/L.

b. Sedang: bila pH darah 7,1-7,24, bikarbonat 5-10 mmol/L.


c. Berat: bila pH darah < 7,1, bikarbonat < 5 mmol/L.

A. Diagnosis banding KAD dan HHS


Diagnosis banding utama untuk DKA adalah keadaan hiperglikemik
hiperosmolar (HHS; hyperglycemic hyperosmolar syndrome) (Trachtenbarg,
2005). Meskipun keadaan hiperglikemik hiperosmolar dapat dikacaukan dengan
DKA, kadar keton rendah atau tidak ada pada orang dengan keadaan
hiperglikemik hiperosmolar. Penyebab lain dari asidosis metabolik gap anion
tinggi, seperti ketoasidosis alkoholik dan asidosis laktat, harus disingkirkan
(Westerberg, 2013).

Tabel 1. Kriteria diagnostik KAD dan HHS. Sumber: Guillermo, 2002

Masalah umum yang menghasilkan ketosis termasuk alkoholisme dan


kelaparan. Keadaan metabolik di mana asidosis dominan termasuk asidosis
laktat dan konsumsi obat-obatan seperti salisilat dan metanol (Trachtenbarg,
2005). Nyeri perut dapat merupakan gejala ketoasidosis atau bagian dari
penyebab DKA, seperti appendicitis atau cholecystitis. (Trachtenbarg, 2005).
Tampilan klinis DKA biasanya berkembang pesat, dalam periode <24 jam.
Poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan mungkin ada selama beberapa
hari
sebelum perkembangan ketoasidosis, dan muntah serta nyeri perut sering
merupakan gejala yang muncul. Nyeri perut, kadang-kadang seperti perut akut,
dilaporkan pada 40-75% kasus DKA. Adanya sakit perut dikaitkan dengan
asidosis metabolik yang lebih parah dan dengan riwayat penyalahgunaan alkohol
atau kokain, tetapi tidak dengan keparahan hiperglikemia atau dehidrasi. Pada
sebagian besar pasien, nyeri perut menghilang secara spontan setelah koreksi
gangguan metabolisme (Guillermo, 2002).
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda-tanda dehidrasi, termasuk hilangnya
turgor kulit, selaput lendir kering, takikardia, dan hipotensi. Status mental dapat
bervariasi dari kewaspadaan penuh hingga kelesuan yang mendalam; Namun,
<20% pasien dirawat di rumah sakit dengan kehilangan kesadaran. Sebagian
besar pasien memiliki suhu tubuh normal atau bahkan hipotermia. Bau aseton
pada nafas dan pernapasan Kussmaul juga dapat ditemukan, terutama pada
pasien dengan asidosis metabolik yang parah (Guillermo, 2002).
Pada pemeriksaan fisik pasien HHS, timbul tanda-tanda penurunan
volume. Demam karena infeksi yang mendasarinya sering terjadi, dan tanda-
tanda asidosis (respirasi Kussmaul, napas berbau aseton) biasanya tidak ada.
Manifestasi gastrointestinal (nyeri perut, muntah) yang sering dilaporkan pada
pasien dengan DKA biasanya tidak ditemukan pada HHS. Dengan demikian,
adanya nyeri perut pada pasien tanpa asidosis metabolik yang signifikan perlu
diselidiki. Pada beberapa pasien, tanda-tanda neurologis fokal (hemiparesis,
hemianopsia) dan kejang (kejang motorik parsial lebih umum daripada yang
digeneralisasi) mungkin merupakan gambaran klinis yang dominan, yang
mengakibatkan kesalahan diagnosis stroke yang umum. Meskipun sifat fokus
temuan neurologis, manifestasi ini sering mundur sepenuhnya setelah koreksi
gangguan metabolisme (Guillermo, 2002).
KAD juga harus dibedakan dengan penyebab asidosis, sesak, dan koma
yang lain termasuk : hipoglikemia, uremia, gastroenteritis dengan asidosis
metabolik, asidosis laktat, intoksikasi salisilat, bronkopneumonia, ensefalitis,
dan lesi intrakranial.
Tabel 2. Differential diagnosis of diabetic ketoacidosis. Sumber: Westerberg,
2013.

B. Diagnosis banding Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Tipe 2

Tabel 3. Differential Diagnostic Criteria for Type 1 and Type 2 Diabetes.


Sumber: Kerner dan Brückel, 2014
C. Differential Diagnosis of Acid-Base Disorders (Khususnya Metabolic acidosis)
1. Distinguishing between the 2 types of acidoses anion gap acidosis (associated
with a elevated anion gap) and the non-anion gap acidosis (associated with an
normal anion gap) is pivotal.
a. Anion gap metabolic acidosis
1. Occurs when an acid is produced and the associated unmeasured
anion accumulates (ie, ketones, lactate, sulfates, phosphates, or
organic anions), increasing the anion gap.
2. Affected by the serum albumin level (a) Albumin is negatively
charged so that lower serum albumin levels are associated with a
lower anion gap (b) The expected drop in the normal value for the
anion gap is 2.5 mEq/L for every 1 g/dL drop in the serum albumin
(below 4.4 g/dL).
b. Non-anion gap metabolic acidosis
1. Occurs when HCO3 − is lost in the urine or stool.
2. Since no unmeasured anion accumulates, the anion gap is normal.
3. The normal anion gap is due to negatively charged proteins such as
albumin, phosphates, and sulfates.
4. The upper limit of normal varies between institutions due to differing
technologies. (a) Although 12 ± 4 is often sited as an ideal cutoff, in
some institutions, a normal anion gap is only 7–9 mEq/L. (b) The
reference range at the institution performing the tests should be used.

2. Etiologies of metabolic acidosis


a. Anion gap acidoses
1. Ketoacidosis: (a) Diabetic ketoacidosis (DKA) (b) Starvation
ketoacidosis (c) Alcoholic ketoacidosis
2. Lactic acidosis: (a) Secondary to any impairment of aerobic
metabolism (b) The differential diagnosis of lactic acidosis includes
any disease that interrupts oxygen transport from the environment to
the cell’s mitochondria. Common causes include hypoxia or
hypotension (due to cardiogenic shock, septic shock, or hypovolemic
shock).
3. Uremia (associated with sulfate and phosphate accumulation)
4. Toxin, drugs, and miscellaneous: (a) Salicylate toxicity (b) Methanol
ingestion (c) Ethylene glycol ingestion (d) Rhabdomyolysis (e) D-
Lactic acidosis
b. Non-anion gap metabolic acidosis: (1) Diarrhea, (2) Renal tubular
acidosis (RTA) (type IV most common in adults), (3) Carbonic
anhydrase inhibitor

D. Diagnosis Banding DKA dan Starvation Ketoacidosis


Patients with starvation ketosis release insulin when carbohydrate is
administered. They are also producing high levels of glucose elevating hormones
such as glucagon and have depleted glycogen stores. These hormones cause the
lipolysis which helps generate ketones for fuel. The addition of exogenous
insulin in this state risks hypoglycaemia. Once provided with adequate
carbohydrate the insulin levels will rise and counterregulatory hormone levels
will fall, resolving the ketosis (Hammerbeck dan Holland, 2017).
The level of free fatty acids (FFA) can be used to differentiate between
starvation ketoacidosis and alcoholic ketoacidosis where the level of FFA is
higher in alcoholic ketoacidosis as compared to starvation ketoacidosis (Mubarik
et al, 2019).

E. Diagnosis Banding DKA dan Alcoholic Ketoacidosis


Alcoholic ketoacidosis (AKA) is a condition that presents with a
significant metabolic acidosis in patients with a history of alcohol excess. The
diagnosis is often delayed or missed, and this can have potentially fatal
consequences. There are a variety of nonspecific clinical manifestations that
contribute to these diagnostic difficulties. In particular, cases of AKA can be
misdiagnosed as diabetic ketoacidosis (DKA). Subsequent mismanagement can
lead to increasing morbidity and mortality for patients. AKA typically presents
with a severe
metabolic acidosis with a raised anion gap and electrolyte abnormalities, which
are treatable if recognized early and appropriate management instituted.

Gambar 1. Etiologi AKA. Sumber: Noor, 2016

Tabel 4. Karakteristik AKA dan DKA. Sumber: Noor, 2016.

5.6. Tumbuh Kembang Anak


A. Pertumbuhan fisik (usia 6-12 tahun)
Pertumbuhan selama periode ini rata-rata 3-3,5 kg dan 6 cm atau 2,5 inchi
per tahunnya. Lingkar kepala tumbuh hanya 2-3 cm selama periode ini,
menandakan pertumbuhan otak yang melambat karena proses mielinisasi
sudah sempurna pada usia 7 tahun. Anak laki-laki usia 6 tahun, cenderung
memiliki berat badan sekitar 21 kg, kurang lebih 1 kg lebih berat daripada
anak perempuan. Rata-rata kenaikan berat badan anak usia sekolah 6-12
tahun kurang lebih sebesar 3,2 kg per tahun. Periode ini, perbedaan indivisu
pada kenaikan berat badan disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Tinggi badan anak usia 6 tahun, baik laki-laki maupun perempuan memiliki
tinggi badan yang sama, yaitu kurang lebih 115 cm. setelah usia 12 tahun,
tinggi badan kurang lebih 150 cm. habitus tubuh cenderung secara relatif
tetap stabil selama masa anak pertengahan. Pertumbuhan wajah bagian tengah
dan bawah terjadi secara bertahap. Kehilangan gigi desidua (bayi) perupakan
tanda maturasi yang lebih dramatis, mulai usia 6 tahun setelah tumbuhnya
gigi-gigi molar pertama (Sarayati, 2016).
B. Faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak
a. Faktor Internal
Faktor dari dalam dapat dilihat dari faktor genetik dan hormonal,
faktor genetik akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan
kematangan tulang, alat seksual, serta saraf, sehingga merupakan modal
dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang, yaitu :
perbedaan ras. Etnis atau bangsa, keluarga, umur jenis kelamin dan
kelainan kromosom. Kemudian pengaruh hormonal, dimana sudah terjadi
sejak masa prenatal, yaitu saat janin beumur 4 bulan. Pada saat itu, terjadi
pertumbuhan yang cepat. Hormon yang berpengaruh terutama adalah
hormon pertumbuhan somatotropin (GH) yang dikeluarkan oleh kelenjar
pituitary. Selain itu, kelenjar tiroid juga menghasilkan hormon tiroksin
yang berguna untuk metabolisme serta maturasi tulang, gigi dan otak
(Sari, 2017).
b. Faktor Eksternal
Faktor dari luar dapat dilihat dari : (a) faktor prenatal, antara lain gizi,
mekanis, toksin/zat kimia, endoktrin, radiasi, infeksi, kelainan imunologi,
anoksiembrio dan psikologi ibu. (b) faktor persalinan, yaitu komplikasi
persalinan pada bayi seperti trauma kepala, afaksia dapat menyebabkan
kerusakn jaringan otak. (c) Faktor pasca salin, yaitu gizi, penyakit
kronis/kelainan kongenital, lingkungan fisis dan kimia, psikologis,
endokrin, sosio-ekonomi, lingkungan pengasuhan, stimulasi dan obat-
obatan (Sari, 2017).

C. Hormon Pertumbuhan pada Manusia


Hormon pertumbuhan (GH; somatotropin) adalah hormon yang paling
banyak diproduksi oleh hipofisis anterior , bahkan pada orang dewasa yang
pertumbuhannya sudah berhenti. Sekresi hormon pertumbuhan yang terus
tinggi di luar masa pertumbuhan ini mengisyaratkan bahwa hormon ini
memiliki pengaruh penting selain pengaruhnya pada pertumbuhan
(Widiyanto, 2007).
Sekresi hormon pertumbuhan diperantarai oleh 2 hormon hipotalamus:
Growth hormone-releasing hormone (GRH), Somatostatin (growth
hormoneinhibiting hormone). Pengaruh hipotalamus ini diatur melalui
integrasi sistem saraf, metabolisme dan faktor hormonal, sebab baik itu
somatostatin maupun GRH tidak dapat diperiksa secara langsung. Hasil dari
setiap faktor terhadap sekresi hormon pertumbuhan merupakan jumlah
efeknya pada hormon hipotalamus ini (Rusli, 2010).
GRH merangsang produksi cAMP melalui somatotrof serta
merangsang sintesis maupun sekresi hormon pertumbuhan. Efek GRH
sebagian dihambat oleh somatostatin. Pemberian GRH pada manusia normal
akan berakibat pelepasan hormon pertumbuhan secara cepat. Kadar puncak
dicapai dalam waktu 30 menit dan bertahan untuk 60-120 menit. Hormon
peptida lainnya seperti ADH, ACTH, dan α-MSH, bila terdapat dalam jumlah
yang cukup dapat bertindak sebagai GH-releasing factor. Bahkan tirotropin
dan gonadotropin releasing hormone (TRH dan GnRH) sering menyebabkan
sekresi hormon pertumbuhan pada penderita akromegalia, tetapi masih belum
jelas mengenai efek tersebut diperantarai oleh hipotalamus atau efek langsung
terhadap somatotrof (Rusli, 2010).
Somatostatin (growth hormoneinhibiting hormone), Somatostatin
adalah suatu tetradekapeptida yang merupakan suatu inhibitor sekresi hormon
pertumbuhan. Somatostatin menurunkan produksi cAMP dalam GH secreting
cell dan menghambat sekresi hormon pertumbuhan serta yang dirangsang.
Peningkatan kadar hormon pertumbuhan dan IGF-1 meningkatkan sekresi
somatostatin (Rusli, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi sekresi hormon pertumbuhan
adalah semua bahan pokok energi: protein, karbohidrat, lemak. Pemberian
glukosa per oral atau intravena, merendahkan kadar hormon pertumbuhan
pada orang normal dan ini merupakan tindakan sederhana yang berguna pada
diagnosis akromegalia. Sebaliknya hipoglikemia merangsang pengeluaran
hormon pertumbuhan. Efek ini tergantung pada glikopenia intrasel, karena
pada pemberian 2-deoksiglukosa juga meningkatkan hormon pertumbuhan.
Respon
hipoglikemia ini tergantung pada kecepatan perubahan glukosa dalam darah
dan dicapainya nilai absolut. Protein makanan atau pemberian asam amino
intravena menyebabkan pelepasan hormon pertumbuhan. Sebaliknya pada
keadaan malnutrisi protein juga menyebabkan meningkatnya hormon
pertumbuhan, karena kurangnya produksi somatomedin dan berkurangnya
umpan balik negatif. Asam lemak menekan respon hormon pertumbuhan
terhadap beberapa rangsangan, termasuk arginin dan hipoglikemia. Puasa
dapat merangsang sekresi hormon pertumbuhan untuk mobilisasi sebagai
sumber energi dan pencegahan hilangnya protein (Rusli, 2010).

D. Tanner Stage
1. Skala Rambut Kemaluan (pria dan wanita)
Stage 1: Tanpa rambut
Stage 2: Rambut berbulu halus
Stage 3: Rambut terminal sedikit
Stage 4: Rambut terminal yang mengisi seluruh segitiga di atas daerah
kemaluan
Stage 5: Rambut terminal yang melampaui lipatan inguinal ke paha

2. Skala Pengembangan Payudara Wanita


Stage 1: Tidak ada jaringan payudara kelenjar yang teraba
Stage 2: Payudara kuncup teraba di bawah areola (tanda pubertas pertama
pada wanita)
Stage 3: Jaringan payudara teraba di luar areola; tidak ada pengembangan
areolar
Stage 4: Areola diangkat di atas kontur payudara, membentuk penampilan
"sendok ganda"
Stage 5: Gundukan areolar menyusut kembali ke dalam kontur payudara
tunggal dengan hiperpigmentasi areolar, perkembangan papila
dan penonjolan puting susu
3. Skala Genitalia Eksternal Pria
Stage 1: Volume testis <4 ml atau sumbu panjang <2,5 cm
Stage 2: 4 ml-8 ml (atau panjang 2,5-3,3 cm), tanda pubertas pertama
pada pria
Stage 3: 9 ml-12 ml (atau panjang 3,4-4,0 cm)
Stage 4: 15-20 ml (atau panjang 4,1-4,5 cm)
Stage 5:> 20 ml (atau> 4,5 cm)
5.7. Edukasi
Edukasi memiliki peran penting dalam penangan DM tipe-1 karena
didapatkan bukti kuat berpengaruh baik pada kontrol glikemik dan keluaran
psikososial. Edukasi dilakukan oleh tim multidisiplin yang terdiri atas paling tidak
dokter anak endokrinologi atau dokter umum terlatih, perawat atau edukator DM,
dan ahli nutrisi. Edukasi tahap pertama dilakukan saat pasien pertama terdiagnosis
atau selama perawatan di rumah sakit yang meliputi pengetahuan dasar mengenai
DM tipe-1, pengaturan makan, insulin (jenis, dosis, cara penyuntikan,
penyimpanan, dan efek samping), serta pertolongan pertama kedaruratan DM
tipe- 1 (hipoglikemia, pemberian insulin saat sakit), sementara tahap kedua
dilakukan saat berkonsultasi di poliklinik. Dalam penelitian oleh Pulgaron dkk,
kemampuan berhitung dan kepercayaan diri orang tua dalam menangani diabetes
berhubungan signifikan dengan kadar HbA1c anak. Edukasi pada masyarakat dan
tenaga kesehatan juga tak kalah penting dalam penatalaksanaan diabetes. Studi
oleh Vanelli dkk menemukan bahwa program pencegahan KAD pada anak
dengan diabetes melalui penyebaran poster bermanfaat dalam menurunkan angka
KAD.
Selain dengan cara dia atas edukasi untuk merubah perilaku dapat
dilakukan juga dengan metode booklet. Booklet merupakan media untuk
menyampaikan pesan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun gambar.
Kelebihan Individu dapat lebih jelas menerima informasi karena dilengkapi
tulisan dan gambar. Selain itu, design bisa lebih menarik disesuaikan dengan
sasaran. Kekurangan Biaya pembuatan agak sedikit lebih banyak daripada
pembuatan leaflet.
Edukasi merupakan salah satu proses berlangsung secara terus menerus,
yang kemajuannya harus terus diamati. Tujuan pendidikan kesehatan pertama-
tama untuk meningkatkan pengetahuan tentang DM. Pengetahuan tersebut akan
menjadi titik tolak perubahan sikap dan gaya hidup mereka serta pada akhirnya
adanya perubahan perilaku masyarakat dan pasien DM dan meningkatnya
kepatuhan yang selanjutnya akan meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Edukasi yang dilaksanakan pada kegiatan ini melibatkan komunitas yang ada di
sekitar masyarakat. Pemecahan masalah di atas adalah edukasi berbasis
masyarakat. Edukasi berbasis masyarakat bukan hanya memberikan penyuluhan
akan tetapi ada
keterlibatan dari masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam deteksi dini dapat
dilakukan melalui kader kesehatan dan masyarakat. Metode yang dilakukan dalam
pemberian edukasi adalah pendidikan kesehatan menggunakan audio visual
disertai kasus dan tanya jawab. Dalam aktivitasnya, kader kesehatan memerlukan
kolaborasi dengan petugas kesehatan setempat, perwakilan dari masayarakat dan
pimpinan masyarakat. Oleh karena itu, kader kesehatan membutuhkan dukungan,
motivasi, instruksi dan pengawasan yang regular dari petugas kesehatan untuk
memastikan kualitas hasil dipertahankan.
Edukasi tahap pertama dilakukan saat diagnosis ditegakkan (biasanya
selama perawatan di rumah sakit). Edukasi ini meliputi: pengetahuan dasar
tentang DMT1 (terutama perbedaan dengan tipe lain), pengaturan makanan,
insulin (jenis, cara pemberian, efek samping, penyesuaian dosis sederhana, dll),
dan pertolongan pertama pada kedaruratan medik akibat DMT1 (hipoglikemia,
pemberian insulin pada saat sakit).
Edukasi tahap kedua selanjutnya berlangsung selama konsultasi di
poliklinik. Pada tahap ini, edukasi berisi penjelasan lebih terperinci tentang
patofisiologi, olahraga, komplikasi, pengulangan terhadap apa yang pernah
diberikan serta bagaimana menghadapi lingkungan social.
VI. KERANGKA KONSEP

VII. KESIMPULAN
Monic, 9 tahun, mengalami KAD sebagai komplikasi akut Neo Onset Diabetes
Mellitus Tipe 1.
DAFTAR PUSTAKA

Aji, Haryudi C. 2012. Gambaran Klinis Ketoasidosis Diabetikum Anak. Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. 27 (2) Hal 107-110.

Aman, Diadra, Sirma. 2019. Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak: Situasi di Indonesia dan Tata
Laksana. Depok: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Arisman. 2011. Diabetes Mellitus. Dalam: Arisman, ed. Buku Ajar Ilmu Gizi Obesitas, Diabetes
Mellitus dan Dislipidemia. Jakarta: EGC.

Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s principles
of internal disease. 15th edition. USA: McGraw-Hill; 2001.
Brown, T.B., Cerebral oedema in childhood diabetic ketoacidosis: is treatment a factor? Emerg
Med J, 2004. 21(2): p. 141-4.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Edisi IV

Charles, YM Bee. Point of care ketone testing: screening for diabetic ketoacidosis at the
emergency department. Singapore Journal Medicine: 2007.
Dahlquist, G. and B. Kallen, Mortality in childhood-onset type 1 diabetes: a population-based
study. Diabetes Care, 2005. 28(10): p. 2384-7.

Dr. MHD. Syahputra. Di``abetic ketosidosis. www. Library.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 07
Januari 2020.

Elsevier. 2019. Diabetes Mellitus Type 2 In Adults. Elsevier BV.


Emmanuel M, Bokor BR. Tanner Stages. [Updated 2019 May 13]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470280/

Fatimah, Restyana Noor. 2015. Diabetes Melitus Tipe 2. Lampung University. Vol. 4; No. 5.
Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL. Harrison’s principals of internal medicine. USA: The
McGraw- Hill Inc; 2008.
Feingold, David. “Pediatric Endocrinology” In Atlas of Pediatric Physical Diagnosis, Second
Edition, Philadelphia. W.B. Saunders, 1992, 9.16-19
Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic cr
isis in elderly. Med Cli N Am 88: 1063-1084, 2004.

Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.


Gosmanov, Aidar R., Pasquale Passarella dan Barry M. Wall. 2020. Diabetic Ketoacidosis.
Conn's Current Therapy, hal:290-294
Guillermo, E. Umpierrez, Murphy, Mary Beth, dan Kitabchi, Abbas E. 2002. Diabetic
Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum, 15(1):28-
36.

Hammerbeck, H. dan Holland, M.R. 2017. Starvation ketoacidosis: Treatment pitfalls. Journal
of the Intensive Care Society, 18(3):265.

Harjutsalo, V., et al., Sex-related differences in the long-term risk of microvascular


complications by age at onset of type 1 diabetes. Diabetologia, 2011. 54(8): p. 1992-9.

Homenta, Herriyanis dr. 2012. DIABETES MELLITUS TIPE I. Program Pasca Sarjana Ilmu
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

Hyperglycemic crises in patien ts with diabetes mellitus.


American Diabetes Association.Diabetes Carevol27 supplement1 2004, S94-S102.

IDAI. 2017.Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak dan Remaja.
PANDUAN PRAKTIK KLINIS IKATAN DOKTER ANAK INDONESIA.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. InfoDatin: Hari Diabetes Sedunia. Jakarta:
Kemenkes.

Kerner, W. dan Brückel, J. 2014. Definition, Classification and Diagnosis of Diabetes Mellitus.
German Diabetes Associaton: Clinical Practice Guidelines, 122(1): 384–386.

Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 18.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
Kliegman, Robert M et al. 2020. Diabetes Mellitus. Nelson Textbook of Pediatrics, Chapter 607,
3019-3052.
Kraut JA, Madias NE. Metabolic Acidosis : pathophysiology, diagnosis and management.
Macmillan Publishers Limited. May 2010

Liana, Phey., dkk. 2019. PENUNTUN PRAKTIKUM PATOLOGI KLINIK. Palembang:


Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Lubis, Abdurrahim Rasyid., dkk. ASIDOSIS METABOLIK. Fakultas Kedokteran Universitas


Sumatera Utara: Divisi Nefrologi - Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.

Lucier, Jessica dan Ruth S. Weinstock. Diabetes Mellitus Type 1. Diakses melalui daring
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507713/
Mairina, Ruhaya. 2018. PEMERIKSAAN ANALISA GAS DARAH.
http://www.yankes.kemkes.go.id/read-pemeriksaan-analisa-gas-darah-5708.html

Mairina. 2018. Pemeriksaan Analisa Gas Darah.(Diakses dari http://www.yankes.kemkes.go.id)

Mehrotra R, Kopple JD, Wolfson M. Metabolic acidosis in maintenance dialysis patients :


clinical considerations. International Society of Nephrology, Vol. 64, Supplement 88
(2003), pp. S13–S25

Mubarik A., et al. 2019. Isolated Starvation Ketoacidosis: A Rare Cause of Severe Metabolic
Acidosis Presenting with a pH Less than 7. Cureus 11(2): e4086.

Muhlisin, Ahmad. 2020. Penilaian Kesadaran (GCS) Dewasa dan Anak. (diaksesn dari
https://www.honestdocs.id/penilaian-tingkat-kesadaran-berdasarkan-nilai-gcs

Niken, Bambang. 2017. Diagnosis dan Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak dan
Remaja. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Noor, N.M., Basavaraju, K., dan Sharpstone, D. 2016. Alcoholic ketoacidosis: a case report and
review of the literature. Oxford Medical Case Reports, 3:31–33.

O'Neill, Ronan et al. Crash Course Endocrinology. Elsevier Health Sciences UK, 2015.
Ortega LM, Arora S. Metabolic acidosis and progression of chronic kidney disease : incidence,
pathogenesis, and therapeutic therapy. Revista Nefrologia 2012 ; 32(6):724-30

Patterson, C.C., et al., Early mortality in EURODIAB population-based cohorts of type 1 diabetes
diagnosed in childhood since 1989. Diabetologia, 2007. 50(12): p. 2439-42.

PERKENI. 2015. Konsesus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. e-
book. Jakarta: PB PERKENI.

Prabakaran Manokharan. 2017. Analisis Gas Darah dan Aplikasinya di Klinik. Bali: Ilmu
Anestasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Pratley, Richard E. 2013. The Early Treatment of Type 2 Diabetes. Florida Hospital Diabetes and
Translational Research Institute, Sanford Burnham Medical Research Institute, Orlando.
Pulungan, Aman B., dkk. 2019. Diabetes Melitus Tipe-1 pada Anak : Situasi di Indonesia dan
Tata Laksana. Sari Pediatri, Vol. 20 ( 6), Hal. 392-400.

Putri, Dewi Murdiyanti Prihatin. 2016. METODE BOOKLET DIABETES MELITUS (DM)
MENINGKATKAN KEPATUHAN PENYANDANG DM DALAM MANAJEMEN
REGIMEN TERAPEUTIK. Akademi Keperawatan YKY Yogyakarta.

Qurrataeni. 2017. Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Terkendalinya Kadar Gula
Darah pada Pasien Diabetes Mellitus di Rumah Sakit Pusat (RSUP) Fatmawati Jakarta.
Jakarta. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah.
Riduan, Ria Janita., dkk. 2017. Penatalaksanaan KAD dan DM tipe 1 pada Anak Usia 15 Tahun.
J. Medula Unila, Vol 7 (2), Hal 114-122.

Rustama, D.S., dkk., 2010. Diabetes Mellitus. Dalam: Jose RL. Batubara, dkk, Endokrinologi
Anak, Edisi I. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

SARAYATI, SAFIRAH. 2016. ANALISIS FAKTOR PERILAKU SEKSUAL PADA ANAK SD DI


SDN DUKUH KUPANG II – 489 KECAMATAN DUKUH PAKIS KELURAHAN DUKUH
KUPANG SURABAYA. Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Sari, Citra Windani Mambang., dkk. Edukasi Berbasis Masyarakat untuk Deteksi Dini Diabetes
Melitus Tipe 2. Fakultas Keperawatan Universitas Padjajaran: MKK: Volume 1 (1) Hal 29-
38.

Sari, Rini Maulida. 2017. Perbandingan Tumbuh Kembang Bayi Usia 6 Bulan yang Mendapat
ASI Eksklusif dengan Bayi yang Mendapat ASI Non Eksklusif. Medan: Universitas
Sumatera Utara.

Shill, Jessica E. 2020, Diabetic Ketoacidosis. Ferri's Clinical Advisor


Sikhan. 2009. Ketoasidosis Diabetikum. http://id.shvoong.com. Diakses pada tanggal 17 4
November 2012.

Stern, Scott D. C., Adam S. Cifu, dan Diane Altkorn. 2010. SYMPTOM TO DIAGNOSIS An
Evidence-Based Guide (Second Edition). United States: The McGraw-Hill Companies.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2007.
Sumantri, Steven. 2009. Pendekatan diagnostik dan tatalaksana ketoasidosis diabetikum
Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Penatalaksanaan dan Perkembangan Terbaru. Internal
Medicine Department

Sumantri, Steven. 2009. Pendekatan diagnostik dan tatalaksana ketoasidosisdiabetikum


Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Penatalaksanaan dan Perkembangan Terbaru. Internal
Medicine Department

Suwarto, S., et al., Predictors of five days mortality in diabetic ketoacidosis patients: a
prospective cohort study. Acta Med Indones, 2014. 46(1): p. 18-23.

Tjokroprawiro, Setiawan dkk (Ed.) . 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam. Surabaya. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga.

TM, Wallace, Mathews. Recent advances in the monitoring and management of diabetic
ketoacidosis. QJ Med: 2004.
Trachtenbarg, D.E. 2005. Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician, 71(9):1705-1714.
UNAIR, S. I. (n.d.). Diabetes Melitus Tipe 1. Retrieved 1 8, 2019, from Spesialis IKA FK
UNAIR: http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/EN15_DM-tipe-
1.pdf

Westerberg, D.P. 2013. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment. American Academy of
Family Physicians, 87(5):337-346B.
Widiyanto. 2007. LATIHAN DAN SEKRESI HORMON PERTUMBUHAN. Medikora,
3(2):173-188.

Wolfsdorf, J., N. Glaser, and M.A. Sperling. 2006. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and
Adolescents. Pittsburgh: Diabetes Care. 29(5): p. 1150.

Anda mungkin juga menyukai