PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
a. Nama : INS
b. Usia : 40 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Songan B
e. Status : Menikah
f. Pekerjaan : Petani
g. MRS : 23 Agustus 2019
h. No.RM : 2797051
2. Anamnesa
a. Keluhan utama : Batuk darah
Keluhan sekarang : Pasien datang ke UGD RSUD Bangli bersama
keluarganya dengan keluhan batuk disertai keluar darah dialami sejak 5 hari
makan menurun diikuti berat badan sekitar 4 kg yang terus menurun dalam
1 bulan terakhir. Pasien mengaku sering keluar keringat pada malam hari.
2
d. Riwayat Pengobatan : Asam Tranexamat 3 x 500 mg (p.o), Cefixime
2x100mg, Paracetamol 3 x 650 mg
e. Riwayat sosial :
Pasien tiap harinya bekerja sebagai petani, merokok (+), alkohol (-)
3. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital :
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 88 x/menit,
Pernafasan : 20 x/menit,
Suhu : 36,°C suhu aksila
Berat badan : 50 kg
GCS :E4V5M6
• Kepala : normocephal
• Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), Reflek Pupil (+/+) isokor
• THT : kesan tenang
• Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)
• Thoraks
Inspeksi : simetris, tanda peradangan (-)
Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler + + Rhonki + +
+ + + +
+ + - -
Wheezing - -
- -
- -
• Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba, kuat angkat (+), pelebaran (-)
3
Perkusi : batas kanan ICS 5 PSL dekstra, batas kiri : ICS 5
MCL sinistra, batas atas ICS 2 PSL
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-)
• Abdomen
Inspeksi : simetris
Auskultas : bising usus (+) normal
Perkusi : timfani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri epigastrium (-), ginjal teraba (-), lien teraba
(-), hepar teraba (-), nyeri ketok ginjal (-)
• Ekstremitas : akral hangat keempat ekstremitas , ekstremitas
superior dan inferior edema (-), sianosis,’
4. Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap tanggal 23 Agustus 2019
Tes Nilai Nilai Rujukan
WBC 9,2 /ul 3,5-10,0
RBC 4,79 juta/ul 3,50-5,50
HGB 13,9 g/dl 11,5-16,5
HCT 40,7 % 35,0-55,0
MCV 84,9 fl 75,0-100,0
MCH 28,8 pg 25,0-35,0
MCHC 33,9 g/dl 31,0-38,0
PLT 241/ul 150-400
4
Ronten Thorax
5. Rencana Kerja
Cek BTA
6. Diagnosis
• Hemoptisis ec. TB
• dd/ Bronkiektasis
• dd/ Malignancy
7. Terapi
• IVFD Asering 20 tpm
• Cefo sulbactam 2 x I gr iv
• Pantoprazole 1 x 40mg iv
• Azitromisin 1 x 500 mg
5
• Asam Tranexamat 3 x 500 mg
• Codein 3 x 10 mg
• Diet TKTP 1700 kal/ hari
8. Follow Up
6
7
BAB III
PEMBAHASAN
8
fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik
jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam
membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing,
disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat
terjadinya perdarahan.
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang
masif. Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport
kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang
merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.
9
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Hemoptisis
4.1. 1 Definisi
Hemoptoe atau hemoptisis adalah mendahakan darah yang berasal
dari bronkus atau paru. Hemoptisis bisa banyak bisa juga sedikit sehingga
hanya berupa garis merah cerah di dahak. Hemoptisis masif adalah
ekspektorasi 600 ml darah dalam 24 sampai 48 jam. Dikatakan nyata
(gross) bila leibh dari sekedar garis di sputum namun kurang dari kriteria
masif.
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada
saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran
napas bawah laring.3 Klasifikasi hemoptisis dibagi menjadi massif dan
nonmasif. Hemoptisis massif terjadi apabila kehilangan darah >600
ml/hari. 1
4.1.2 Etiologi
Upaya menduga etiologi hemoptisis dapat dilakukan dari
pendekatan masif dan tidak masifnya. Penyebab tersering hemoptisis
masif adalah infeksi (terutama tuberkulosis), bronkiektasis dan
keganasan. Harus diingat bahwa 2 hingga 32 % kasus hemoptisis tidak
diketahui penyebabnya atau idiopatik. 2
Etiologi lain hemoptisis adalah sebagai berikut:
1. Batuk darah idiopatik
Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana
perbandingan antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi
pada umur 30-50 tahun kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti
spontan dengan suportif terapi.
2. Batuk darah sekunder
Batuk darah sekunder adalah batuk darah yang diketahui
penyebabnya.
10
a. Oleh karena infeksi, ditandai vaskularisasi arteri bronkiale >
4% (normal1%)
1) TB:batuk sedikit-sedikit, masif perdarahannya dan
bergumpal.
2) Bronkiektasis : bercampur purulen.
3) Abses paru : bercampur purulen.
4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih.
5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir.
b. Neoplasma
1) Karsinoma paru.
2) Adenoma.
c. Lain-lain
1) Trombo emboli paru – infark paru.
2) Mitral stenosis.
3) Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat.
• ASD
• VSD
4) Trauma dada
4.1.3 Patogenesis
Arteri-arteri bronkial adalah sumber darah utama bagi saluran
napas ( dari bronkus utama hingga bronkus terminalis), pleura, jaringan
limfaoid intra pulmonal serta pesarafan didaerah hilus. Anatomosis arteri
dan vena bronkopulmonar yang merupakan hubngan antara ke-2 sumber
perdarahan di atas terjadi didekat persambungan antara bronkiolus
respiratorius dan terminalis. Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe
dan lokasi kelainan. Secara umum bila pedarahan berasal dari lesi
endobronkial maka perdarahan adalah dari sirkulasi bronkialis, sedang bila
lesi diparenkim maka perdarahan dari sirkulari pulmoner. Pada keadaan
kronik dimana terjadi pedarahan berulang maka perdarahan sering kali
berhubungan dengan peningkatan vaskularitas di lokasi yang terlibat.4
11
Pada tuberkulosis, tuberkulosis penyebab pedarahan bisa sangat
beragam. Pada lesi parenkim akut, perdarahan bisa akibat nekrosis
percabangan arteri / vena. Pada lesi kronik, lesi fibroulseratif parenkim
paru dengna kavitas bisa memiliki tonjolan aneurisma arteri ke rongga
kavitas yang mudah berdarah. Pada tuberkulosis endobronkial, hemoptisis
disebabkan oleh ulserasi granulari dari mukosa bronkus. 7 Terdapatnya
aneurisma Rassmussen pada kavena tuberkulosis yang merupakan asal
dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya
perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama
dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularissasi bronkus yang merupaan percabangan dari
arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada
hemoptoe. 6
Mekanisme terjadinya hemoptisis pada pasien TB bisa terjadi pada
penderita infeksi TB paru atau bekas penderita TB paru. Pada penderita
TB terjadi rusaknya susunan parenkim paru dan pembuluh darah paru, bila
ada pembuluh darah yang terkena dan kemudian pecah. Tergantung dari
besarnya pembuluh darah yang pecah maka akan terjadi batuk darah
ringan, sedang, atau berat tergantung dari berbagai faktor. Pecahnya
aneurisma Rasmussen penyebab batuk darah massif pada penderita TB
paru ataupun pada bekas penderita TB.2
Pada penderita bronkiektasis perdarahan terjadi akibat iritasi oleh
infeksi dari jaringan granulasi yang menggantikan dinding bronkus yang
normal.7 Pada penderita bronkiektasis terjadi perubahan berupa proses
inflamasi yang sifatnya desktruktif dan ireversibel pada tulang rawan
bronkus (dinding) akibat infeksi atau fibrosis alveolar. Perdarahan juga
dapat terjadi pada bronkiektasis dengan pecahnya pembuluh darah arteri
bronkial karena proses infeksi atau peradangan. 2
Pada karsinoma bronkogenik, pedarahan beasal dari nekrosis tumor
serta terjadinya hipervaskularisasi pada tumor atau juga bisa berhubungan
dengan invasi tumor ke pembuluh darah besar . 1
12
Pada stenosis mital dan gagal jantung, walapun masih
diperdebatkan tetapi mekanisme hemoptisis diduga berasal dari pecahnya
varises dari vena bronkialis di submukosa bronkus besar akibat dari
hipetensi vena pulmonalis. Hal ini tampak dari pelebaran pembuluh darah
beranastomosis antara arteri bronkialis dan pulmonalis.7
Pada emboli paru, hemoptisis timbul akibar infark jaringan paru.
Bisa juga perdarahan akibat aliran darah berlebihan pada anastomosis
bronkopulmonar pada sebelah distal tempat sumbatan. Pedarahan difus
intrapulmonar yang berasal dari pecahnya kapiler bisa terjadi pada bebagai
penyakit autoimun.2
4.1.4 Klasifikasi
Pembagian hemoptisis berdasarkan asalnya:
1. Hemoptisis idiopatik
2. Hemoptisis sekunder: penyebab diketahui
Pembagian berdasarkan jumlah darah yang keluar:
+ : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis
dalam sputum
++ : batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ : batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml
Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis
sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan:
1. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
2. Hemoptisis nonmasif:
Jumlah perdarahan < 100 ml/24 jam
3. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di
atas laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa
perdarahan buatan (factitious).
13
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada
hemoptisis selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari
depot darah, sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran
besarnya perdarahan yang terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang
dikeluarkan selama hemoptisis juga mempunyai kelemahan oleh karena:
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-
kadang dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk menentukan
jumlah darah yang hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama dengan
tinja, sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan
oleh:
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat
dinilai dengan adanya iskemia miokardium, baik berupa gangguan
aritmia, gangguan mekanik jantung, maupun aliran darah serebral.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:
a. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b. Lamanya perdarahan
c. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran. 3
14
Tabel 2.1 Perbedaan hemoptisis dengan hematemesis
No Keadaan Batuk Darah (Hemoptisis) Muntah Darah (Hematemesis)
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
penyakit pepticum, kelainan hepar
dahulu
(RPD)
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) / Blood Test (+) /
Benzidine Test (-) Benzidine Test (+)
Kriteria batuk darah:
1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan
darah sedikitnya 600 ml dalam 24 jam). 6
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif:
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10
g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
15
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti. 5
4.1.6 Diagnosis
Evaluasi hemoptisis melibatkan evaluasi rutin dan evaluasi khusus.
Evaluasi rutin dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
mengkategorikan berbagai penyebab hemoptisis. Diagnosis biasanya
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gambaran
radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain
perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga
pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat
disesuaikan. 7
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.
f. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
2. Pemeriksaan fisik
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Demam merupakan tanda adanya infeksi.
b. Auskultasi :
1) Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan
oleh : Ca, bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing : bronkiektasis, neoplasma. 7
3. Pemeriksaan penunjang
16
Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada
setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat
menunjukkan tempat perdarahannya.3
Pemeriksaan bronkografi untuk mengetahui adanya
bronkiektasis, sebab sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat
pada pemeriksaan X-foto toraks.
Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi
(bahan dapat diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi
atau dahak langsung).
4. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan
dan sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak
terjadi penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan
berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat
diketahui. 3,8
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah :
a. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
b. Batuk darah yang berulang
c. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik. 3
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun
waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang
masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan,
bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga
dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi
pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptik dapat menilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi
perdarahan. 3
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior,
bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop
metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari
bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat
17
melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya
perdarahan.
4.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah: 1) Mencegah asfiksia. 2) Menghentikan
perdarahan. 3) Mengobati penyebab utama perdarahan.
Penatalaksanaan dilakukan melalui tiga tahap:
1. Proteksi jalan napas dan stabilisasi pasien
2. Lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab perdarahan
3. Terapi spesifik
Langkah-langkah:
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps
kardiovaskuler.
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah
dipertimbangkan sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan
bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade
perdarahan.
18
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan
pembedahan. 13
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support
kardiopulmoner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia
yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis massif.
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan
dalam saluran napasyang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi,
tingkat kegawatan hemoptisis paling tinggi dan menyebabkan kegagalan
organ yang multipel. Hemoptisis dalam jumlah kecil dengan refleks batuk
yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat
menimbukan renjatan hipovolemik. 6
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif
Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut :
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat
diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh
membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat
dibantu dengan pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat
pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik,
diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga
asal perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah
aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita
disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang
menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat
pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan
perdarahan sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat
diberikan Codein10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif
biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang
19
berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat
diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih
kooperatif.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
c. Menghentikan perdarahan
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di
dalam kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam
7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks,
vasopresin (Pitrissin).,ascorbic acid dikatakan khasiatnya belum
jelas. Apabila ada kelainan didalam faktor-faktor pembekuan
darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus.
Di beberapa rumah sakit masih memberikan Hemostatika
(Adona Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral.
Walaupun khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi
ketenangan bagi pasien dan dokter yang merawat.
20
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi
18% dengan tindakan operasi.
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab
7
terjadinya hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
4.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis,
yaitu ditentukan oleh tiga faktor :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam
saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa
makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi. 6
Penyulit hemoptisis yang biasanya didapatkan :
• Bahaya utama batuk darah ialah terjadi penyumbatan trakea dan
saluran napas, sehingga timbul sufokasi yang sering fatal.
Penderita tidak tampak anemis tetapi sianosis, hal ini sering
terjadi pada batuk darah masif (600-1000 cc/24 jam).
• Pneumonia aspirasi merupakan salah satu penyulit yang terjadi
karena darah terhisap ke bagian paru yang sehat.
• Karena saluran nafas tersumbat, maka paru bagian distal akan
kolaps dan terjadi atelektasis.
Bila perdarahan banyak, terjadi hipovolemia. Anemia timbul bila
perdarahan terjadi dalam waktu lama. 7
4.1.9 Prognosis
Pada hemoptisis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptisis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder
ada beberapa faktor yang menentukan prognosis:
21
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Kecepatan bertindak, sepeti bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita.
a. Hemoptisis <200 ml/24 jam prognosa baik
b. Profuse massive >600 cc/24 jam prognosa jelek 85% meninggal.7
4.2 Tuberkulosis
4.2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes
RI, 2013). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal,
tulang, dan nodus limfe. Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh
hipersensifitas yang diperantarai sel (cellmediated hypersensitivity).
4.2.2 Suspek TB
Suspek TB Setiap orang dengan batuk produktif tanpa sebab yang
jelas selama 2-3 minggu atau lebih harus dievaluasi untuk tuberkulosis
(TB).Gejala tuberkulosis paru yang paling umum adalah batuk produktif
yang persisten, sering disertai gejala sistemik seperti demam, keringat
malam, dan penurunan berat badan. Gejala lain yang dapat ditemukan
adalah batuk darah, sesak napas, nyeri dada, malaise, serta anoreksia.
Limfadenopati yang konsisten dengan TB paru juga dapat ditemukan,
terutama pada pasien dengan infeksi HIV.
Walaupun kebanyakan pasien dengan TB paru memiliki gejala
batuk, gejala tersebut tidak spesifik untuk tuberkulosis. Batuk dapat terjadi
pada infeksi saluran napas akut, asma, serta PPOK. Walaupun begitu,
22
batuk selama 2-3 minggu merupakan kriteria suspek TB dan digunakan
pada guideline nasional dan internasional, terutama pada daerah dengan
prevalensi TB yang sedang sampai tinggi. Pada negara dengan prevalensi
TB yang rendah, batuk kronik lebih mungkin disebabkan kondisi selain
TB.
Dengan memfokuskan terhadap dewasa dan anak dengan batuk
kronik, kesempatan mengidentifikasi pasien dengan TB paru dapat
dimaksimalkan. Selain gejala batuk, pada pasien anak penting
mengevaluasi berat badan yang sulit naik dalam kurun waktu 2 bulan
terakhir atau gizi buruk. Beberapa studi menunjukkan bahwa tidak semua
pasien dengan gejala respiratori menerima evaluasi yang adekuat untuk
TB. Kegagalan ini terjadi karena kurangnya deteksi dini TB sehingga
menyebabkan meningkatnya keparahan penyakit pada pasien dan
meningkatnya kemungkinan transmisi Mycobacterium tuberculosis ke
orang-orang di sekitarnya.
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan TB paru, kelainan yang
didapat tergantung luas kelainan. Pada awal perkembangan penyakit sulit
ditemukan kelainan. Pada umumnya kelainan paru terletak di lobus
superior terutama apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Temuan yang bisa didapatkan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma, dan mediastimun.
Pada pleuritis TB, apabila cairan di rongga pleura cukup banyak,
dapat ditemukan redup atau pekak pada perkusi. Pada auskultasi suara
napas melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis TB terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tersering
di daerah leher
4.2.3 Patofisiologi
Pada tuberculosis, basil tuberculosis menyebabkan suatu reaksi
jaringan yang aneh di dalam paru-paru meliputi : penyerbuan daerah
terinfeksi oleh makrofag, pembentukan dinding di sekitar lesi oleh
jaringan fibrosa untuk membentuk apa yang disebut dengan tuberkel.
23
Banyaknya area fibrosis menyebabkan meningkatnya usaha otot
pernafasan untuk ventilasi paru dan oleh karena itu menurunkan kapasitas
vital, berkurangnya luas total permukaan membrane respirasi yang
menyebabkan penurunan kapasitas difusi paru secara progresif, dan rasio
ventilasi-perfusi yang abnormal di dalam paru-paru dapat mengurangi
oksigenasi darah.
4.2.4 Diagnosis TB
24
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan
yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan
lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali
bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak
harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit
paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma,
kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia
saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasyankes
dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang terduga
pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada
orang dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB,
tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah
pengungsian, dan orang yang bekerja dengan bahan kimia yang
berrisiko menimbulkan paparan infeksi paru.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
25
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah
bangun tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau di
bangsal rawat inap bilamana pasien menjalani rawat
inap.
26
d. Pemeriksaan serologis Sampai saat ini belum direkomendasikan.
27
28
Keterangan alur:
29
indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB yang bukan
kriteria terduga TB RO, pada hasil Rif
Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA
untuk pemeriksaan uji kepekaan Lini2 dengan metode cepat)
4. Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF
terdiri atas cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF),
jaringan biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi
cairan lambung (gastric aspirate).
5. Pasien dengan hasil Mtb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal
dari kriteria terduga TB RO harus dilakukan pemeriksaan TCM
ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM
yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya.
6. Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang.
Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan
biakan dan uji kepekaan.
7. Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua
pasien TB RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan
OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan
MDR, lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan
resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan harus disesuaikan
dengan hasil uji kepekaan OAT.
8. Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe
Assay) Lini-2 atau dengan metode konvensional
9. Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar
TB pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
10. Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto
toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas
pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB
terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung
TB kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.
30
b. Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB
1. Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses
TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
2. Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2
(dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak
Sewaktu-Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.
3. BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak
menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang
menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama, pasien
dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+)
4. BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA
negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif,
maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis
menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya
pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
5. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak
memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan
pemberian terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non
kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan
klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB.
Pasien dengan faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis
sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
a) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
b) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
c) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, dll.
c. Diagnosis TB ekstraparu:
1. Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya
kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura
(Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis
TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan
lain-lainnya.
31
2. Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan
pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh
uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.
3. Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan
kemungkinan TB Paru.
4. Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstraparu
dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal (Cerebro Spinal
Fluid/CSF) pada kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah
bening melalui pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus/BAJAH
(Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan
TB kelenjar, dan contoh uji jaringan pada pasien dengan kecurigaan
TB jaringan lainnya.
d. Diagnosis TB Resistan Obat:
Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga
diawali dengan penemuan pasien terduga TB-RO
1. Terduga TB-RO Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko
tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB
yang memiliki riwayat satu atau lebih di bawah ini:
a. Pasien TB gagal pengobatan Kategori2.
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak
standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua
paling sedikit selama 1 bulan.
d. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan
pengobatan.
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori
1 dan kategori 2.
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai
berobat/default).
32
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien
TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di
Lapas/Rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
i. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis
maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan
diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).
2. Pasien dengan risiko rendah TB RO
Selain 9 kriteria di atas, kasus TB RO dapat juga dijumpai pada
kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan
diagnosis dengan TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada
kelompok ini, jika hasil pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB
RR, maka pemeriksaan TCM TB perlu dilakukan sekali lagi untuk
memastikan diagnosisnya.
33
6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat
baik dalam maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.
a. Definisi kasus TB
Definisi kasus TB terdiri dari dua, yaitu;
1. Pasien TB yang terkonfirmasi Bakteriologis:
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan
contoh uji biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik
dengan BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan
yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus
dicatat.
2. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis
Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara
bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter,
dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
1. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto
toraks mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis
setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor
risiko TB
3. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun
laboratoris dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Pasien TB
yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi
34
bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai
pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
b. Klasifikasi pasien TB:
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien
juga diklasifikasikan menurut:
1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
a. Tuberkulosis paru : Adalah TB yang berlokasi pada parenkim
(jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya
lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus
juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB
paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu: Adalah TB yang terjadi pada organ selain
paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing,
kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB dirongga dada
(hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat
gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB
ekstra paru harus diupayakan secara bakteriologis dengan
ditemukannya Mycobacterium tuberculosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan
dengan organ yang terkena proses TB terberat.
2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:
a. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun
kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah
menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis).
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah
pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).
35
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosisresistan
terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosisresistan
terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H)
dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium
tuberculosisresistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)
secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resitan OAT lini
pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT
golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT
lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat
molekuler) atau metode fenotip (konvensional).
4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah
pasien TB dengan:
• Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan
ART, atau
• Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
• Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
• Hasil tes HIV negative pada saat diagnosis TB.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB
tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB
ditetapkan.
36
4.2.5 Terapi
OAT Lini Pertama OAT Lini Kedua
-INH - Kanamisin
-Rifampicin - Kapreomisin
-Pirazinamid - Amikasin
-Ethambutol - Quinolon
-Streptomisin - Sikloserin
- Etionamid / protionamid
- Para-amino salisilat (PAS)
Panduan OAT
• Pasien Baru : Kategori 1 (2HRZE/4HR)
• Pasien Relapse/Gagal/Treatment after Default : Kategori 2
(2HRZES/HRZE/5HRE) sambil menunggu hasil uji kepekaan /DST
• Pengobatan TB ekstraparu lebih lama yaitu 9-12 bulan
37
BAB V
KESIMPULAN
38
DAFTAR PUSTAKA
39