Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit parasit di Indonesia masih menempati posisi penting seperti juga penyakit
infeksi lainnya. Telah banyak upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit ini
tetapi sampai sekarang belum terlihat hasil yang memuaskan. Faktor sosial ekonomi
yang masih rendah bagi kebanyakan masyarakat Indonesia merupakan faktor terpenting.
Penyakit parasit yang paling sering di Indonesia adalah penyakit cacing usus karena
masih banyaknya masyarakat Indonesia yang mengidap penyakit ini (Isselbacher, 2014).
Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau lebih
dikenal dengan cacing gelang yang penularannya dengan perantara tanah (Soil
Transmitted Helminths). Ascaris lumbricoides merupakan salah satu investasi cacing
yang paling banyak ditemukan di dunia, yaitu lebih dari 600 juta kasus. Ascariasis
adalah infeksi cacing yang paling umum, dengan perkiraan prevalensi diseluruh dunia
sebesar 25%. Pada tahun 1974 di Amerika Serikat khususnya di bagian tenggara,
terdapat 4 juta orang dengan ascariasis (Sutedjo, 2013). Ascariasis ditemukan pada
daerah yang tingkat kebersihan rendah, sanitasi buruk, dan daerah yang masih
menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk alami. Di Indonesia, angka kejadian
ascariasis masih sangat tinggi, yaitu hampir pada semua anak yang berusia 16 minggu–
12 tahun, pada orang dewasa diperkirakan 60% (Hadidjaja, 2015).
Prevalensi penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah di daerah tropik masih
cukup tinggi. Di Indonesia, nematoda usus masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat adalah Ascaris Lumbricoides, cacing tamnbang dan Trichuris trichura. Salah
satu sumber penularannya adalah air dan lumpur yang digunakan dalam budidaya
sayuran. Tanah, sayur-sayuran dan air merupakan media transmisi yang penting. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan selain melalui pencegahan untuk mengurangi tingginya
angka infeksi parasit cacing di Indonesia ini adalah dengan mempelajari spesies-spesies
yang dapat menginfeksi dan juga memberikan pengobatan yang sesuai, sehingga infeksi
tidak akan menuju kategori berat. Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui
ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga
dimaksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang
diperiksa fesesnya (Margono, 2015).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara mengidentifikasi adanya telur cacing pada faeses.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengidentifikasi adanya telur cacing pada faeses.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari percobaan ini yaitu setelah melakukan praktikum ini kita dapat
mengetahui jenis parasit penyebab infeksi telur cacing pada faeses. Selain itu, dapat
membantu untuk penegakan diagnosa, dapat melakukan pencegahan infeksi cacing.
Untuk mahasiswa kedokteran yang berperan dalam bidang preventif dan promotif dapat
memiliki dasar mengenai komplikasi dari infeksi parasit cacing, sehingga dapat
terciptanya hidup sehat dan bersih, serta memberikan edukasi kepada masyarakat
mengenai penyakit infeksi akibat parasit sebelum masyarakat terinfeksi dengan tujuan
meningkatkan derajat kesehatan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Feses
Untuk pemeriksaan feses sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan jika
pemeriksaan sangat diperlukan, boleh juga sampel feses diambil dengan jari bersarung
dari rectum. Untuk pemeriksaan bisa dipakai feses sewaktu, jarang diperlukan feses 24
jam untuk pemeriksaan tertentu. Feses hendaknya di periksa dalam keadaan segar, jika
dibiarkan, mungkin sekali unsur-unsur dalam feses itu menjadi rusak. Untuk mengirim
feses, wadah yang sebaiknya ialah yang terbuat dari kaca atau dari bahan lain yang tidak
dapat ditembus seperti plastik. Wadah harus bermulut lebar. Pemeriksaan penting dalam
feses ialah terhadap parasit dan telur cacing (Bernardus, 2013).
Jika akan memeriksa feses, pilihlah selalu sebagian dari feses itu yang memberi
kemungkinan sebesar-besarnya untuk menemui kelainan, umpamanya : bagian yang
bercampur darah atau lendir, dan sebagainya. Oleh karena unsur-unsur patologi biasanya
tidak terdapat merata, maka hasil peeriksaan mikroskopi tidak dapat di nilai derajat
kepositifannya dengan tepat, cukup diberi tanda – (negatif), +, + + atau + + + saja
(Bernardus, 2013).
2.2 Infeksi Cacing
Pemeriksaan faeses pada dasrnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara
kualitatif dan pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan faeses secara kualitatif, yaitu
pemeriksaan yang didasarkan pada ditemukkan telur pada masing-masing metode
pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya. Pemeriksaan faeses secara kuantitatif yaitu
pemeriksaan faeses yang didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram faeses
(Soedarto, 2016).
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa
dengan mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah
dipulas. Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari
bermacam-macam parasit tetapi perbedaan individual tidak memungkinkan membedakan
spesies hanya dengan melihat besarnya. Faeses sebagai bahan pemeriksa harus
dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari urine. Identifikasi
terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa hari setelah tinja
dikeluarkan (Bernardus, 2013).
Pemeriksaan faeses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing
ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan faeses ini juga di maksudkan untuk

3
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa faesesnya.
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga faktor yaitu sumber infeksi, cara
penularan dan adanya hospes yang ditulari. Efek gabungan dari faktor ini menentukan
penyebaran dan menetapnya parasit pada waktu dan tempat tertentu. Penyakit yang
disebabkan oleh parasit dapat bersifat menahun disertai dengan sedikit atau tanpa gejala.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai
spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai
bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit
juga bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan
hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari
jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa
adalah tinja atau faeses (Soedarto, 2016).
2.3 Pemeriksaan Makroskopis (Longo, 2011)
1. Warna
Warna feses yang di biarkan pada udara menjadi lebih tua karna terbentuknya
lebih banyak urobilin dari urobilinogen yang diekskresikan lewat usus. Urobilinogen
tidak berwarna sedangkan urobilin berwarna coklat tua. Selain urobilin yang normal
ada, warna feses dipengaruhi oleh jenis makanan, oleh kelainan dalam saluran usus
dan oleh obat-obat yang di berikan. Warna kuning bertalian dengan susu, jagung, obat
santonin atau bilirubin yang belum berubah. Hijau biasanya oleh makanan yang
mengandung banyak sayur mayur jarang oleh biliverdin yang belum berubah. Warna
abu-abu mungkin di sebabkan oleh karena tidak ada urobilin dalam saluran makanan
dan hal itu didapat pada ikterus obstroktip (tinja acholik) dan juga setelah di pakai
garam barium pada pemeriksaan radiologik. Warna abu-abu itupun mungkin terjadi
kalau makanan mengandung banyak lemak yang tidak dicernakan karna defisiensi
enzim pancreas. Warna coklat di pertalikan dengan perdarahan proximal atau dengan
makanan coklat, kopi dan seterusnya. Warna hitam oleh carbo medicinalis, oleh obat-
obatan mengandung besi dan mungkin juga oleh melena.
2. Baunya
Bau normal feses di sebabkan oleh indol, skatol dan asam butirat. Bau itu menjadi
bau busuk jika dalam usus terjadi pembusukan isinya, yaitu protein yang tidak
dicernakan dan di rombak oleh kuman-kuman. Ada kemungkinan juga feses berbau
asam : keadaan itu disebabkan oleh peragian (fermentasi) zat-zat gula yang tidak di

4
cerna karna umpamanya diare. Reaksi feses dalam hal itu menjadi asam. Bau tengik
dalam feses di sebabkan oleh perombakan zat lemak pelepasan asam-asam lemak.
3. Konsistensi
Feses normal agak lunak dengan mempunyai bentuk. Pada diare konsistensi
menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya pada konstipasi di daat feses
keras peragian karbon hidrat dalam usus menghasilkan feses yang lunak dan
bercampur gas (CO2).
4. Lendir
Adanya lendir berarti terdapat rangsangan atau radang dinding usus. Kalau lendir
itu hanya didapat di bagian luar feses, lokalisasi iritasi itu mungkin usus besar : kalau
bercampur baur dengan feses mungkin sekali usus kecil. Pada dysenteri, intususepsi
dan ileocilitis mungkin di dapat lendir saja tanpa feses. Kalau lendir berisi banyak
leukosit terjadi nanah.
5. Darah
Perhatikanlah apa darah itu segar (merah muda), coklat atau hitam dan apakah
bercampu baur atau hanya di bagian luar feses saja. Makin proximal terjadinya
pendarahan, makin bercampurlah darah dengan feses dan makin hitamlah warnanya.
Jumlah darah yang besar mungkin disebabkan oleh ulcus, varices dalam oesophagus
atau hemorhoid.
6. Parasit
Normalnya tidak ditemukan parasit dalam pemeriksaan cacing. Sebaliknya jika tidak
normal dapat ditemukan cacing ascaris, ancylostoma, dan lain-lain mungkin terlihat.
2.4 Pemeriksaan Mikroskopis (Longo, 2011)
1. Pemeriksaan mikroskpis secara langsung
Pemeriksaan sederhana dan paling sering dilakukan. Infeksi parasit dapat dilihat
dengan pemeriksaan langsung. Untuk pemeriksaan secara mikroskopis, sejumlah kecil
feses atau bahan yang akan diperiksa diletakan diatas objek glass, bila feses sangat
padat dapat ditambahkan sedikit air selanjutnya ditutup dengan deck glass, buat dua
atau lebih sediaan. Pada pemeriksaan mikroskopis usaha mencari protozoa dan telur
cacing merupakan maksud terpenting. Untuk mencari protozoa sering dipakai larutan
eosin 1-2% sebagai bahan pengencer feses atau juga larutan Lugol 1-2%. Selain itu
larutan asam acetat 10% dipakai untuk melihat leukosit lebih jelas, sedangkan untuk
melihat unsur-unsur lain larutan garam 0,9% yang sebaiknya dipakai untuk
pemeriksaan rutin.

5
Sediaan hendaknya tipis, agar unsur-unsur jelas terlihat dan dapat dikenal;
meskipun begitu selalu akan dijumpai unsur-unsur yang telah ruksak sehingga
identifikasi tidak mungkin lagi.
A. Sel epitel
Beberapa sel epitel, yaitu yang berasal dari dinding usus bagian distal dapat
ditemukan dalam keadaan normal. Kalau sel epitel berasal dari bagian yang lebih
proximal, sel-sel itu sebagian atau seluruhnya ruksak. Jumlah sel epitel bertambah
banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus itu.
B. Makrofag
Sel-sel besar berinti satu memiliki daya fagositosis; dalam plasmanya sering
dilihat sel-sel lain (leukosi, eritrosit) atau benda-benda lain. Dalam preparat natif
sel-sel itu menyerupai ameba; perbedaanya ialah sel ini tidak dapat bergerak.
C. Leukosit
Lebih jelas terlihat kalau feses dicampur dengan beberapa tetes larutan asam
acetat 10%. Kalau hanya dilihat beberapa dalam seluruh sediaan, tidak ada artinya.
Pada dysentri basiler, colitis ulcerosa dan peradangan lain-lain, jumlahnya menjadi
besar.
D. Eritrosit
Hanya dilihat kalau lesi mempunyai lokalisasi colon, rectum, atau anus.
Pendapat ini selalu abnormal.
E. Kristal-kristal
Pada umumnya tidak banyak artinya. Apapun dalam feses normal mungkin
terlihat kristal-kristal tripelfosfat, celciumoxalat dan asam lemak. Sebagai kelainan
mungkin dijumpai kristal chacot-leyden adan kristal hematoidin.
F. Sisa makanan
Hampir seluruh dapat ditemukan juga; bukanlah adanya, melainkan jumlahnya
yang dalam keadaan tertentu dipertalikan dengan sesuatu hal yang abnormal. Sisa
makanan itu sebagian berasal dari makanan daun-daunan dan sebagian lagi
makanan berasal dari hewan, seperti serat otot, serat elestik, dan lain-lain. Untuk
identifikasi lebih lanjut emulsi tinja dicampur dengan larutan lugol: pati (amylum)
yang tidak sempurna dicerna nampak seperti butir-butir biru atau merah. Larutan
jenuh sudan III atau sudan IV dalam alkohol 70% juga dipakai : lemak netral
menjadi tetes-tetes merah atau jingga .

6
G. Sel ragi
Khusus glastocystis hominis tidak jarang didapat. Pentingnya mengenal
strukturnya ialah supaya jangan kista ameba.
H. Telur dan jentik cacing
Ascaris lumbricoides. Necator americanus enterobius permicularis. Trichiusus
trichiura, estrongyloides strcoralis, dan sebagainya; juga yang termasuk genus
cestodas dan trematodas mungkin di dapat.

7
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat
Adapun waktu dan tempat dilaksanakannya praktikum pemeriksaan feses yaitu:
Hari/Tanggal : Sabtu, 29 Juni 201
Pukul : 09.00 – 10.30 WITA
Tempat : Laboratorium Terpadu FK UNIZAR
3.2 Alat
1. Objek glass
2. Cover glass

Gambar 1.
3. Lidi

Gambar 2.
4. Mikroskop

8
Gambar 3.
5. Pot sampel
6. Selotip
7. Kertas minyak
8. Kawat saring

Gambar 4.
9. Kertas karton

Gambar 5.
3.3 Bahan
1. Faeses
2. Eosin 2%

9
Gambar 6.
3. Larutan kato (Malacite green 3%, gliserin, aquadest)
4. Tissue
3.4 Cara Kerja
 Sediaan Langsung
1. Teteskan 1-2 tetes eosin 2% pada object glass.

Gambar 7.
2. Ambil sedikit faeses dengan menggunakan lidi.

10
Gambar 8.
3. Letakkan pada object glass yang sudah ditetesi eosin 2% kemudian dicampur.

Gambar 9.
4. Tutup dengan cover glass.
5. Amati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10x.
 Teknik Kato
1. Rendam selotip pada lauratan kato selama kurang lebih 24 jam sebelum dipakai.

11
Gambar 10.
2. Letakkan kertas minyak diatas meja kerja.

Gambar 11.
3. Ambil kurang lebih seruas jari tangan faeses menggunakan lidi kemudian ditaruh
di atas kertas minyak.
4. Letakkan kawat saring diatas faeses lalu ditekan dengan dua batang lidi sehingga
faeses naik ke atas melalui kawat saring.
5. Pindahkan faeses yang sudah ada di atas kawat saring sebesar biji kacang merah
(20 – 50 mg) ke atas objeck glass.

12
Gambar 12.
6. Tutup dengan selotipe yang sudah direndam dengan larutan kato, usahakan
perekat selotip menghadap ke faeses diatas objeck glass.
7. Ratakan faeses ke seluruh penjuru di bawah selotip dengan objeck glass lainnya
hingga cukup tipis.
8. Biarkan sediaan selama 20-30 menit di atas tissue.
9. Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x.

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Sediaan Langsung

Gambar 13.
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses menggunakan sediaan langsung yaitu eosin
2%, didapatkan gambaran ascharis lumbricoides.
4.2 Teknik kato

Gambar 14.
Berdasarkan hasil pemeriksaan feses menggunakan teknik kato, didapatkan gambaran
trichuris trichiura.

14
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Feses untuk pemeriksaan sebaiknya yang berasal dari defekasi spontan. Jika
pemeriksaan sangat diperlukan, boleh juga sampel feses diambil dengan jari bersarung
dari rectum. Untuk pemeriksaan biasa dipakai feses sewaktu, jarang diperlukan feses 24
jam untuk pemeriksaan tertentu. Bahan-bahan untuk pemeriksaan feses harus melalui
saluran yang bersih tanpa bercampur dengan urin. Diperlukan dalam jumlah kecil kecuali
beberapa keadaan. Ditampung dalam wadah sekali pakai, harus dilakukan pemeriksaan
dalam beberapa jam setelah pengambilan, untuk pemeriksaan amuba specimen harus
segar.
Jumlah material feses sangat tergantung dari diet individu biasanya antara 100-250
mg/hari atau 100-250 ml dalam bentuk cairan. Konsistensi lunak warna cokelat tua yang
disebabkan oleh pigmen empedu, perubahan warna dapat disebabkan olehjenis makanan,
obat-obatan dan hal ini dapat dibedakan dari kondisi patolog. Putih keabu-abuan atau
warna pucat khas untuk gambaran penyumbatan saluran empedu. Perdarahan pada
saluran cerna bagian atas feses akan berwarna hitam pekat seperti cairan kopi yang
sangat karakteristik. Warna cokelat gelap bahkan kemerah-merahan tergantung luas dan
lamanya perdarahan disaluran cerna yang mengalami proses digesti atau denaturasi.
Bercak merah pada feses disebabkan lesi pada rectum atau anus. Mucus yang berlebihan
dapat dilihat dengan mudah. Sejumlah pus (nanah) dapat terlihat tanpa harus
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan mikroskopis.
5.2 Saran
Sebaiknya dalam pengambilan feses harus sesuai dengan yang dianjurkan dan lebih
teliti dalam melakukan praktikum. Setelah dilaksanakannya praktikum pemerikaan feses,
mahasiswa kedokteran diharapkan dapat melakukan pencegahan-pencegahan terhadap
penyakit infeksi parasit seperti malaria dan infeksi cacing serta mampu melakukan
upaya-upaya preventif di lingkungan masyarakat nanti.

15
DAFTAR PUSTAKA

Bernardus, S. 2013. Helminthologi Kedokteran. Jakarta : Prestasi Pustaka.


Hadidjaja, P. 2015. Dasar Parasitologi Klinik. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Isselbacher, Kurt J. 2014. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC.
Longo, D. L., Fauci, A.S., 2011. Harrison Gastroenterology & Hepatologi. Jakarta : EGC.
Margono S. 2015. Nematoda Usus Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : FK UI.
Soedarto. 2016. Helmintologi Kedokteran. Jakarta : Sugeng Seto.
Sutedjo, AY. (2013). Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Yogyakarta : Amara. Retrieved from
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJM190904081601401. Diakses tanggal 1 Juli
2019.

16

Anda mungkin juga menyukai