Anda di halaman 1dari 64

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit hemoroid adalah suatu kelainan yang menyerang 4%
populasi dunia. Banyak teori yang menghubungkan gangguan ini dengan
prolaps bantalan anus. Hemoroid bukan varises, melainkan bantalan vaskular
yang terdiri atas jaringan fibroelastik, serat otot, dan pleksus vaskular dengan
anastomosis arteriovenosa. Hemoroid merupakan perubahan patologis pada
bantalan anus yang berupa pembesaran dan perpindahan distal dari bantalan
anus yang normal. Perubahan patologis ini termasuk pecahnya jaringan ikat
pendukung di dalam bantalan anus sehingga menghasilkan pembesaran
pleksus vaskular (Cerato, 2014; Brown, 2017).
Hemoroid dibagi menjadi dua yaitu, hemoroid eksterna dan hemoroid
interna. Hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan dari pleksus
hemoroidalis inferior yang terletak di sebelah distal linea dentatae. Sedangkan
hemoroid interna merupakan pelebaran dan penonjolan dari pleksus
hemoroidalis superior di atas linea dentatae (garis anorektum) yang dibagi
menjadi derajat I sampai derajat IV. Angka kejadian hemoroid interna lebih
besar, yaitu sekitar 82,10%. Berdasarkan penelitian di RSUP. dr. Mohammad
Hoesin Palembang pada tahun 2012, jenis hemoroid terbanyak adalah
hemoroid interna yakni (74,4%), sedangkan hemoroid eksterna sebanyak
(15,4%) dan hemoroid campuran antara hemoroid interna-eksterna sebanyak
(10,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Sanchez et al yang
menyatakan bahwa pasien hemoroid yang termasuk jenis hemoroid interna
memiliki proporsi yang lebih banyak dibanding jenis hemoroid lainnya, yakni
sebesar 77%. Hal ini ditinjau dari faktor pertimbangan pasien berobat ke
Rumah Sakit yang kebanyakan adalah karena peningkatan derajat keparahan
hemoroid interna (Sudarsono, 2015; Safyudin & Damayanti, 2017).

1
Kelainan daerah anorektal ini merupakan penyakit yang telah lama
dikenal oleh masyarakat. Penelitian tentang hemoroid telah banyak
dipublikasikan sekitar tahun 1970an. Hal ini menunjukkan bahwa hemoroid
telah sejak lama menjadi masalah bagi kehidupan kita (Safyudin &
Damayanti, 2017).
Hemoroid merupakan lesi pada anorektal yang paling sering
ditemukan. Menurut data WHO tahun 2008, jumlah penderita hemoroid di
seluruh dunia adalah sekitar 230 juta orang. Secara umum, penderita
hemoroid yang disertai dengan gejala diperkirakan sekitar 4,4% dari populasi
dunia, bahkan pada pemeriksaan rektal didapatkan bahwa 2/3 penduduk sehat
menderita hemoroid yang tidak bergejala. Kejadian hemoroid cenderung
meningkat seiring dengan bertambahnya usia seseorang, dimana usia
puncaknya adalah 45-65 tahun. Dalam hal prevalensi menurut jenis kelamin,
sebuah studi epidemiologi di AS tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dalam kejadian antara pria dan wanita. Survei rumah sakit London
menyetujui, melaporkan tidak ada perbedaan yang mencolok dalam prevalensi
kejadian antara jenis kelamin (Slavin, 2008; Thornton, 2019; Yamana, 2017).
Di Indonesia sendiri penderita hemoroid terus bertambah. Menurut
data Depkes tahun 2008, prevalensi hemoroid di indonesia adalah sekitar
5,7%, namun hanya 1,5% saja yang terdiagnosis. Data Riskesdas tahun 2007
menyebutkan ada 12,5 juta jiwa penduduk indonesia mengalami hemoroid,
maka secara epidemiologi diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi hemoroid
di Indonesia mencapai 21,3 juta orang.
Meskipun begitu, epidemiologi hemoroid tidak begitu diketahui
karena penelitian yang ada memiliki hasil yang sangat bervariasi. Banyak
orang yang mengalami hemoroid dan tidak berkonsultasi dengan dokter,
sehingga insidensi yang sebenarnya dari penyakit ini tidak dapat dipastikan.
Hemoroid ditemukan pada 50% populasi usia di atas 50 tahun, dan beberapa
penelitian menyebutkan bahwa 75% dari populasi akan mengalami penyakit
hemoroid pada hidup mereka (Sarosy, 2012; Sarles, 2013).

2
Terjadinya hemoroid dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti
kehamilan, mengedan terlalu lama, kurangnya mobilisasi, konstipasi kronik,
diet rendah serat, usia lanjut, aktifitas fisik berat, penyakit yang meningkatkan
tekanan intra abdomen seperti tumor usus, tumor abdomen dan berbagai
macam penyakit atau sindrom lainnya yang berdampak pada peningkatan
tekanan vena pelvis, serta duduk terlalu lama. Hasil uji statistik dengan uji chi
square ditemukan adanya peranan yang bermakna antara jenis pekerjaan
dengan kejadian hemoroid yaitu pekerja yang sifat pekerjaannya bersifat statis
berpeluang untuk menderita hemoroid sebesar 6,5 kali dibandingkan pekerja
yang sifat pekerjaannya dinamis (Safyudin & Damayanti, 2017; Mutmainnah
et al, 2015).
Untuk melakukan penegakan diagnosis hemoroid diperlukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan konfirmasi seperti anoscopy.
Anoscopy jauh lebih cocok untuk mendiagnosis hemoroid dengan tingkat
penemuan yang lebih tinggi dan kemampuan yang lebih besar untuk
mengenali perdarahan, serta perlu dievaluasi dengan seksama agar dapat
dicapai pendekatan terapeutik yang sesuai (Yamana, 2017).
Perawatan medis konservatif ditunjukkan sebagai terapi awal bagi
penderita hemoroid. Ketika tidak ada perbaikan klinis, metode pengobatan
yang lebih invasif dapat dilakukan, seperti rubber band ligation, koagulasi
inframerah dan skleroterapi. Perawatan bedah umumnya disediakan untuk
pasien yang gagal merespons tindakan konservatif, sekitar 5-10% pasien.
Berdasarkan penelitian di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang pada
tahun 2012, jenis tatalaksana operasi yang sering digunakan adalah
hemoroidektomi stapler yaitu sekitar 61,5%. Penelitian yang telah dilakukan
oleh Hetzer et al juga menyimpulkan bahwa operasi hemoroid dengan
penggunaan stapler mendominasi tatalaksana operatif yang dikerjakan atas
pertimbangan stapled hemoroidektomi memiliki nyeri postoperatif yang lebih
ringan, dan waktu pemulihan yang lebih pendek (Cerato, 2014; Safyudin &
Damayanti, 2017).

3
Atas pertimbangan data-data tersebut penulis berkeinginan untuk
meneliti tentang karakteristik penderita hemoroid di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo periode Juli 2017 – Juli 2019.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka
rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah karakteristik
penderita hemoroid rawat inap di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar?”

1.3 Batasan Masalah


Banyaknya variabel yang dapat dijadikan penilaian klinis,
keterbatasan data yang ada dalam rekam medik pasien dan juga keterbatasan
waktu, biaya, serta kemampuan. Maka dalam penelitian ini saya hanya akan
meneliti bagaimana karakteristik pasien hemoroid rawat inap berdasarkan
umur, jenis kelamin, ras/ suku, pekerjaan, klasifikasi dan derajat, gejala klinis,
cara diagnosis dan penatalaksanaan hemoroid.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik penderita hemoroid rawat inap di
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Juli 2017 - Juli
2019.

4
1.4.2 Tujuan Khusus
Untuk mengetahui distribusi penderita hemoroid rawat inap di RSUP.
Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Juli 2017 – Juli 2019
berdasarkan:
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Ras/ Suku
4. Pekerjaan
5. Klasifikasi dan Derajat Hemoroid
6. Gejala Klinis
7. Cara Diagnosis
8. Penatalaksanaan

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Aplikatif
Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai sumber informasi
bagi para praktisi kesehatan mengenai kasus hemoroid, sehingga
timbul kepedulian untuk mengurangi kasus ini di masa yang akan
datang.
1.5.2 Manfaat Teoritis
1. Sebagai bahan masukan bagi pihak instansi yang berwenang untuk
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil dan
memutuskan kebijakan-kebijakan kesehatan, khususnya
mengurangi angka kejadian hemoroid.
2. Memberikan informasi ilmiah kepada masyarakat dan tenaga
medis tentang hemoroid yang berguna untuk menurunkan angka
morbiditas yang diakibatkan oleh hemoroid.

5
3. Sebagai tambahan ilmu, kompetensi, dan pengalaman berharga
bagi peneliti dalam melakukan penelitian kesehatan pada
umumnya, dan terkait tentang hemoroid khususnya.
4. Sebagai acuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya yang ingin
melakukan penelitian mengenai kasus hemoroid.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kanalis Anal


Kanalis analis merupakan bagian terbawah dari usus besar yang
memiliki panjang kurang lebih tiga cm, berjalan ke bawah dari ampula recti
sampai anus. Saat defekasi, dinding lateral kanalis analis dipertahankan
saling berdekatan dengan muskulus levator ani dan muskukus sphincter ani.
Perbatasan tengah kanalis analis ditandai oleh linea dentatae, yaitu tempat
pertemuan antara ektoderm dan endoderm (Riwanto, 2010).
Tunika mukosa setengah bagian atas kanalis analis berasal dari
endoderm usus besar. Vaskularisasi kanalis analis berasal dari arteri yang
medarahi usus besar, yaitu arteri rectalis superior yang merupakan cabang
dari arteri mesenterica inferior. Aliran darah vena terutama oleh vena rectalis
superior, yang merupakan cabang dari vena mesenterica inferior dan vena
porta. Persarafannya sama seperti persarafan mukosa rektum dan berasal dari
saraf otonom plexus hypogastricus (Snell, 2012).
Tunika mukosa setengah bagian bawah kanalis analis berasal dari
ektoderm proctoderm. Suplai arterinya berasal dari arteri rectalis inferior,
cabang dari arteri pudenda interna. Aliran darah vena oleh vena rectalis
inferior, cabang vena pudenda interna yang mengalirkan darahnya ke vena
iliaca interna. Persarafan berasal dari saraf somatik nervus rectalis inferior
sehingga peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan (Snell, 2012).
Vaskularisasi rektum dan kanalis anal sebagian besar diperoleh
melalui arteri hemoroidalis superior, media, dan inferior. Arteri hemoroidalis
superior merupakan kelanjutan arteri mesentrika inferior. Arteri hemoroidalis
media merupakan percabangan anterior arteri iliaca interna. Arteri
hemoroidalis inferior merupakan cabang dari arteri pudenda interna.
Pendarahan pada pleksus hemoroidalis merupakan kolateral yang luas dan

7
kaya akan darah, sehingga pendarahan dari arteri hemoroid interna
menghasilkan darah segar yang berwarna merah (Snell, 2012).
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus
dan berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan
seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Vena ini tidak berkatup
sehingga tekanan rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. Vena
hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna dan ke
dalam vena iliaka interna dan sistem cava. Apabila terjadi pembesaran pada
vena hemoroidalis dapat menimbulkan keluhan hemoroid (Snell, 2012).

2.2 Fisiologi Kolon dan Rektum


Kolon adalah organ pengering dan penyimpan. Kolon tidak begitu
berperan dalam proses pencernaan atau absorpsi makanan, selain hanya
menyerap sedikit cairan. Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi
lumennya. Apa yang tertinggal dan akan dikeluarkan disebut feses (tinja).
Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan massa feses sebelum
defekasi. Selulosa dan bahan lain yang tak tercerna di dalam diet membentuk
sebagian massa dan karenanya membantu mempertahankan keteraturan
buang air. Selain itu sel-sel Goblet mukosa mengeluarkan mukus yang
berfungsi sebagai pelicin untuk keluarnya massa feses. (Pearce dan Evelyn,
2006; Prince dan Wilson, 2006)
Fungsi kolon menurut Pearce dan Evelyn (2006) dapat diringkas
sebagai berikut:
a. Absorpsi air, garam dan glukosa
b. Sekresi musin oleh kelenjar didalam lapisan dalam,
c. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon di dalam tumbuh-
tumbuhan, buah-buahan dan sayuran hijau dan penyiapan sisa
protein yang belum dicerna oleh kerja bakteri guna ekskresi.
d. Menampung massa feses sebelum defekasi

8
Peristaltik didalam kolon sangat lamban. Diperlukan waktu sekitar
enam belas sampai dua puluh jam bagi isinya untuk mencapai fleksura
sigmoid. Propulsi peristaltik massa, merupakan kontraksi yang melibatkan
segmen kolon. Gerakan peristaltik ini menggerakkan massa feses ke depan,
akhirnya merangsang defekasi. Kejadian ini timbul dua sampai tiga kali
sehari dan dirangsang oleh refleks gastrokolik setelah makan, terutama
setelah makanan yang pertama kali dimakan pada hari itu (Pearce dan
Evelyn, 2006; Prince dan Wilson, 2006).
Propulsi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi
dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh
sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter ani interna dikendalikan oleh
sistem saraf otonom, sedangkan sfingter ani eksterna dikendalikan oleh
sistem saraf voluntar. Refleks defekasi terintegrasi pada medula spinalis
segmen sakral kedua dan keempat (Prince dan Wilson, 2006).
Refleks ini menyebabkan sfingter ani interna (yaitu otot polos)
melemas dan rektum serta kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika
sfingter ani eksterna (yaitu otot rangka) juga melemas maka terjadi defekasi.
Karena sfingter ani eksterna berada di bawah kontrol volunter. Perengangan
awal dinding rektum disertai oleh timbulnya rasa ingin buang air besar. Jika
keadaan ini memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani
eksterna secara sengaja dapat mencegah defekasi meskipun refleks defekasi
telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang
secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda
sampai gerakan massa berikutnya mendorong lebih banyak feses ke dalam
rektum sehingga rektum kembali meregang dan memicu refleks defekasi.
Selama periode inaktivitas, kedua sfingter tetap berkontraksi untuk
menjamin kontinensia feses (Pearce dan Evelyn, 2006; Prince dan Wilson,
2006).

9
Proses defekasi biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang
melibatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glottis
tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intra
abdomen, yang membantu mendorong tinja. Defekasi dapat dihambat oleh
kontraksi voluntar otot sfingter ani eksterna dan levator ani. Dinding rektum
secara bertahap akan menjadi relaks, dan keinginan defekasi menghilang
(Price dan Wilson, 2006).

2.3 Definisi Hemoroid


Hemoroid atau wasir atau yang biasa disebut ambeien oleh masyarakat
awam merupakan lesi pada anorectal yang paling sering ditemukan.
Hemoroid berasal dari bahasa Yunani yakni haema (darah) dan rhoos
(mengalir), yang dalam medis berarti pelebaran pembuluh darah yang
terkadang disertai dengan pendarahan. Dilatasi ini sering terjadi seiring
dengan bertambahnya usia seseorang, dimana usia puncaknya adalah 45-65
tahun. Sekitar setengah dari orang-orang yang berumur 50 tahun pernah
mengalami hemoroid (Sudarsono, 2015).
Penyakit hemoroid adalah suatu kelainan yang menyerang 4%
populasi dunia. Banyak teori yang menghubungkan gangguan ini dengan
prolaps bantalan anus. Hemoroid bukan varises, melainkan bantalan vaskular
yang terdiri atas jaringan fibroelastik, serat otot, dan pleksus vaskular dengan
anastomosis arteriovenosa. Hemoroid merupakan perubahan patologis pada
bantalan anus yang berupa pembesaran dan perpindahan distal dari bantalan
anus yang normal. Perubahan patologis ini termasuk pecahnya jaringan ikat
pendukung di dalam bantalan anus sehingga menghasilkan pembesaran
pleksus vaskular (Cerato, 2014; Brown, 2017).
Hemoroid dapat bersifat internal, eksternal atau campuran. Hemoroid
internal diklasifikasikan berdasarkan derajat prolaps kanalis anal. Sedangkan
hemoroid eksternal dapat diklasifikasikan sebagai akut (trombosis hemoroid)
atau kronis (Anal Skin Tag) (Cerato, 2014).

10
2.4 Klasifikasi dan Derajat Hemoroid
Berdasarkan letaknya, hemoroid dibagi menjadi dua yaitu hemoroid
eksternal dan hemoroid internal. Hemoroid eksternal berupa dilatasi vena
subkutan di bawah linea dentata sedangkan hemoroid interna berupa dilatasi
vena submukosa di atas linea dentata (Sudarsono, 2015).
Hemoroid eksterna adalah terjadinya dilatasi vena pada pleksus
hemorodialis inferior yang terletak di bawah linea dentata dan tertutup oleh
kulit. Hemoroid ini diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bentuk akut
berupa pembengkakan bulat kebiruan pada tepi anus dan sebenarnya
merupakan hematoma. Walaupun disebut hemoroid trombosis eksterna akut,
bentuk ini sangat nyeri dan gatal karena ujung-ujung syaraf pada kulit
merupakan reseptor nyeri. Hemoroid eksterna kronik atau “Skin Tag” berupa
satu atau lebih lipatan kulit anus yang terdiri atas jaringan dan sedikit
pembuluh darah (Lohsiriwat, 2012; Sudarsono, 2015).
Hemoroid interna adalah dilatasi vena pada pleksus hemoroidalis
superior, di atas linea dentata dan tertutup oleh mukosa anus. Hemoroid
interna dapat prolaps saat mengedan dan kemudian terperangkap akibat
tekanan sfingter anus sehingga terjadi pembesaran mendadak yang edematosa,
hemoragik, dan sangat nyeri. Pada posisi litotomi, benjolan paling sering
terdapat pada arah jam 3, 7, dan 11. Ketiga letak ini dikenal dengan three
primary haemoorhoidal areas (Lohsiriwat, 2012; Sudarsono, 2015).
Derajat hemoroid interna berdasarkan Goligher Classification, yaitu
(Brown, 2017) :
1. Derajat I, terjadi pendarahan tetapi belum mengalami prolaps.
2. Derajat II, terjadi perdarahan dan prolaps melalui anus saat
mengejan tetapi dapat kembali secara spontan.
3. Derajat III, sama dengan derajat II, hanya saja prolaps tidak dapat
kembali secara spontan, harus didorong secara manual.
4. Derajat IV, prolaps menetap dan tidak dapat direduksi.

11
2.5 Epidemiologi Hemoroid
Hemoroid merupakan lesi pada anorektal yang paling sering
ditemukan. Menurut data WHO tahun 2008, jumlah penderita hemoroid di
seluruh dunia adalah sekitar 230 juta orang. Secara umum, penderita
hemoroid yang disertai dengan gejala diperkirakan sekitar 4,4% dari populasi
dunia, bahkan pada pemeriksaan rektal didapatkan bahwa 2/3 penduduk sehat
menderita hemoroid yang tidak bergejala. (Slavin, 2008; Thornton, 2019).
Di Indonesia sendiri penderita hemoroid terus bertambah. Menurut
data Depkes tahun 2008, prevalensi hemoroid di indonesia adalah sekitar
5,7%, namun hanya 1,5% saja yang terdiagnosa. Data Riskesdas tahun 2007
menyebutkan ada 12,5 juta jiwa penduduk indonesia mengalami hemoroid,
maka secara epidemiologi diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi hemoroid
di Indonesia mencapai 21,3 juta orang.
Angka kejadian hemoroid interna lebih besar, yaitu sekitar 82,10%.
Berdasarkan penelitian di RSUP. dr. Mohammad Hoesin Palembang pada
tahun 2012, jenis hemoroid terbanyak adalah hemoroid interna yakni (74,4%),
sedangkan hemoroid eksterna sebanyak (15,4%) dan hemoroid campuran
antara hemoroid interna-eksterna sebanyak (10,3%). Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya oleh Sanchez et al yang menyatakan bahwa pasien
hemoroid yang termasuk jenis hemoroid interna memiliki proporsi yang lebih
banyak dibanding jenis hemoroid lainnya, yakni sebesar 77%. Hal ini ditinjau
dari faktor pertimbangan pasien berobat ke Rumah Sakit yang kebanyakan
adalah karena peningkatan derajat keparahan hemoroid interna (Safyudin &
Damayanti, 2017).
Kejadian hemoroid cenderung meningkat seiring dengan
bertambahnya usia seseorang, dimana usia puncaknya adalah 45-65 tahun.
Dalam hal prevalensi menurut jenis kelamin, sebuah studi epidemiologi di AS
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kejadian antara pria dan
wanita. Survei rumah sakit London menyetujui, melaporkan tidak ada

12
perbedaan yang mencolok dalam prevalensi kejadian antara jenis kelamin
(Yamana, 2017).
Meskipun begitu, insiden dan prevalensi hemoroid tidak diketahui
pasti karena penelitian yang ada memiliki hasil yang sangat bervariasi.
Banyak orang yang mengalami hemoroid dan tidak berkonsultasi dengan
dokter, sehingga insidensi yang sebenarnya dari penyakit ini tidak dapat
dipastikan. Hemoroid ditemukan pada 50% populasi usia di atas 50 tahun, dan
beberapa penelitian menyebutkan bahwa 75% dari populasi akan mengalami
penyakit hemoroid pada hidup mereka (Sarosy, 2012; Sarles, 2013).

2.6 Faktor Risiko Hemoroid.


Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya hemoroid, adalah:
a. Konstipasi
Konstipasi merupakan keadaan BAB jarang atau kurang dari 3 kali
seminggu. Keadaan tersebut menjadi salah satu faktor risiko yang paling
sering menyebabkan hemoroid. Kotoran dan zat-zat yang berada didalam
usus seharusnya di keluarkan dari dalam tubuh. Jika terlalu lama
mengendap di usus dan rektum akan menjadi toksin atau racun yang
memicu sel-sel kanker/bersifat karsinogen. Kotoran-kotoran tersebut yang
bergesekan dengan mukosa pada dinding usus besar dan rektum akan
berpotensi tumbuhnya sel-sel abnormal sebagai cikal bakal kanker rektum
dan timbulnya polip (Wibowo et al, 2018).
b. Mengedan pada buang air besar yang sulit.
Keadaan dimana terjadinya kesulitan untuk melakukan buang air besar
menyebabkan perlunya seseorang mengedan yang kuat. Hal ini
disebabkan oleh feses yang kering dan keras pada colon descenden yang
menumpuk karena absorpsi cairan yang berlebihan. Buang air besar yang
sulit menyebabkan waktu mengedan yang lebih lama sehingga tekanan
yang kuat pada saat mengedan dapat mengakibatkan trauma pada plexus
hemoroidalis dan terjadi penyakit hemoroid (Riwanto, 2010).

13
c. Diet rendah serat
Kurangnya mengonsumsi makanan yang berserat tinggi menyebabkan
bentuk feses menjadi padat dan keras yang mengakibatkan kondisi
mengedan saat BAB sehingga dapat menyebabkan trauma pada plexus
hemoroidalis (Dason dan Tan, 2015).
d. Kehamilan
Wanita hamil mengalami peningkatan hormon progesteron yang
mengakibatkan peristaltik saluran pencernaan melambat dan juga
memberikan tegangan yang abnormal pada otot sfingter ani interna.
Relaksasi inilah yang mengakibatkan konstipasi. Wanita hamil juga
mengalami peningkatan tekanan intra abdomen yang akan menekan vena
di rektum. Proses melahirkan juga dapat menyebabkan hemoroid karena
adanya penekanan yang berlebihan pada plexus hemoroidalis (Pigot et al,
2005).
e. Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi degenerasi jaringan-jaringan tubuh. Musculus
sphincter ani menjadi tipis dan mengalami penurunan kontraksi. Kedua
hal tersebut menyebabkan kelemahan musculus sphincter dan timbul
prolaps pada anus (Riwanto, 2010).
f. Aktifitas fisik berat
Seseorang yang mempunyai aktifitas fisik berat dalam jangka waktu lama
dan frekuensi rutin maka akan menyebabkan peningkatan tekanan plexus
hemoroidalis sehingga menyebabkan hemoroid (Nugroho, 2014)
g. Duduk terlalu lama
Hal yang paling diwaspadai dari dampak pola kerja kurang aktif ini adalah
meningkatnya kemungkinan mengalami risiko pembekuan pembuluh vena
dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT) hingga dua kali lipat. Pembekuan
darah terjadi di pembuluh vena dan biasanya pada bagian betis, bahkan
bisa terjadi di bagian saluran pencernaan bawah. Jika pembekuan ini tidak
dicairkan dengan obat pengencer darah, maka akan terjadi hematoma dan

14
akan mengangu aliran darah. Jika hal ini terjadi pada anus maka terjadilah
hemoroid (Wibowo et al, 2018).
h. Penyakit yang meningkatkan tekanan intra abdomen seperti tumor usus
dan tumor abdomen (Safyudin & Damayanti, 2017).

2.7 Patofisiologi Hemoroid


Hemoroid eksternal trombosis akut adalah masalah yang umum terjadi
tetapi masih menjadi topik yang kurang dipelajari. Faktor-faktor risiko yang
diketahui dapat menyebabkan hemoroid eksternal trombosis akut, antara lain:
konstipasi, persalinan pervaginam yang traumatis, aktivitas fisik yang berat,
mengedan, konstipasi, diare, dan diet rendah serat (Lorber, 2018; Thornton,
2019).
Hemoroid eksternal terjadi di distal linea dentate dan berkembang
sebagai akibat distensi dan pembengkakan sistem vena hemoroidalis eksterna.
Pembengkakan akut pembuluh darah hemoroid memungkinkan darah
menggumpal dan kemudian membeku; hal ini menyebabkan inflamasi dan
distensi kulit perianal di atasnya, perubahan warna kebiru-biruan serta sering
disertai dengan rasa nyeri yang hebat (Lorber, 2018).
Nyeri terjadi akibat pembesaran dari persarafan kulit akibat bekuan
darah dan edema di sekitarnya. Nyeri berlangsung 7-14 hari dan sembuh
dengan resolusi trombosis. Dengan resolusi ini, anoderm yang meregang
bertahan sebagai kulit yang berlebih atau skin tags. Trombosis eksternal
kadang-kadang mengikis kulit di atasnya dan menyebabkan perdarahan
(Thornton, 2019).
Patofisiologi hemoroid internal juga masih belum sepenuhnya
dipahami. Terdapat banyak temuan fungsional, histopatologis, dan anatomi
telah terakumulasi selama dekade terakhir, tetapi hubungan antara temuan-
temuan tersebut masih tidak jelas. Terdapat empat teori mengenai
patofisiologi hemoroid yang telah dikembangkan. Pertama, teori varises.
Namun teori ini telah terbukti salah, karena saat ini telah diterima secara luas

15
bahwa hemoroid bukanlah varises. Teori selanjutnya yaitu teori-teori yang
melibatkan hiperplasia vaskular (teori yang menjelaskan bahwa wasir
menyerupai jaringan ereksi penis) dan hipertensi sfingter ani internal yang
merupakan sebuah kebenaran, tetapi tidak dapat diterima sepenuhnya. Saat
ini, teori pergeseran dinding saluran anal atau teori bantal telah diterima
secara luas. Hal ini mengusulkan bahwa hemoroid berkembang ketika
jaringan pendukung bantalan anal hancur atau memburuk. Teori ini disebut
sebagai patofisiologis utama terjadinya hemoroid (Lohsiriwat, 2012;
Margetis, 2019).
Terdapat banyak hal yang diyakini memicu terjadinya hemoroid.
Terlepas dari itu, secara universal diakui bahwa terdapat 4 hal yang menjadi
patofisiologis inti dari penyakit hemoroid. Pertama, proses pergeseran
bantalan anal. Kedua, kerusakan jaringan ikat bantal. Ketiga, kurangnya aliran
balik vena dari sinusoid ke SRV dan MRV selama buang air besar. Keempat,
stagnasi darah di dalam pleksus yang mengalami dilatasi (Margetis, 2019).
Peningkatan kronis tekanan intra abdominal dan tidak adanya katup
dalam vena rektal, dapat membatasi drainase vena dari sinusoid selama
defekasi, yang mengakibatkan dilatasi abnormal anastomosis arteriolar-
venular dari pleksus hemoroid internal. Faktor-faktor seperti kehamilan,
mengedan saat buang air besar, dan melakukan aktifitas fisik berat dapat
menyebabkan peningkatan berlebihan pada tekanan intraabdominal. Selain
itu, konstipasi juga dapat meningkatkan tekanan intraabdominal dan dapat
secara langsung menghambat aliran balik vena melalui efek feses yang keras
pada vena rektal (Margetis, 2019).
Salah satu ciri utama penyakit hemoroid adalah tersumbatnya sinusoid.
Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan tekanan intra abdomen dan
berkurangnya aliran balik vena selama buang air besar. Selain itu, hiperperfusi
arteri sinusoid (sebagai akibat dari mekanisme sphincteric arteriolar yang
terganggu) dan penurunan tonus pembuluh darah dapat meningkatkan
kemacetan sinusoid. Selain itu, jaringan ikat yang rileks dan hipertrofi,

16
kehilangan kapasitasnya untuk mendukung jaringan vaskular; dengan
demikian terjadi sinusoid kongesti pasif. Akhirnya, terjadi peningkatan
aktivitas sfingter anal internal baik primer atau sekunder yang kemudian
menghambat aliran balik vena, dan memperburuk kemacetan. Terlepas dari
hal di atas, pembesaran bantalan anal diperkuat oleh hipertrofi jaringan fibrosa
dan oleh neovaskularisasi. Pembuluh baru terbentuk ketika peradangan
berkembang karena hemoroid yang memburuk (Margetis, 2019).
Bendungan dan hipertrofi pada bantalan anus menjadi mekanisme
dasar terjadinya hemoroid. Akibatnya, bantalan anal menjadi semakin padat
dan membesar kemudian berubah menjadi bantalan anal yang abnormal, yang
menyebabkan terbentuknya nodul pada anus atau disebut "hemoroid". Karena
keadaan tersebut juga menyebabkan kehilangan fiksasi otot dan fibrosa, maka
terjadi prolaps melalui kanalis analis (Margetis, 2019).
Dalam proses kronis, nodul yang prolaps terperangkap di dalam
kanalis anal yang secara bertahap akan terjepit dan menyebabkan peningkatan
tekanan anal, obstruksi vena dan kemacetan yang parah. Prolaps bantalan anus
juga dapat terjadi secara akut. Pada prolaps akut, jaringan hemoroid
terperangkap secara tiba-tiba oleh mekanisme sfingter di luar anus; pada
akhirnya dapat menyebabkan obstruksi dari aliran balik vena dan kongesti.
Sebagai nodul anal yang prolaps melalui kanalis analis, jaringan nodul
menjadi terluka, meradang dan rapuh. Proses peradangan membuat arteriol
lamina propria pada nodul rentan terhadap erosi selama buang air besar dan
menyebabkan terjadinya perdarahan (Margetis, 2019).
Kombinasi dari kemacetan sinusoidal, kongesti dan proses inflamasi
kronis di dalam nodul pada akhirnya menghasilkan stagnasi darah di dalam
sinusoid. Stagnasi menyebabkan hiperkoagulabilitas yang terkendali secara
lokal, yang meningkatkan pembentukan gumpalan dan akhirnya menyebabkan
trombosis. Trombosis pada akhirnya dapat menyebabkan iskemia, ulserasi,
dan nekrosis pada permukaan nodul (Margetis, 2019).

17
2.8 Gejala Klinis Hemoroid.
Gejala utama hemoroid adalah pendarahan, rasa sakit, prolaps,
pembengkakan, dan gatal. Gejala tergantung pada klasifikasi dan derajat
hemoroid. Apakah itu eksternal atau internal, dan apakah bersifat kronis atau
akut. Dalam beberapa kasus, mungkin hanya ada satu gejala, tetapi beberapa
gejala dapat muncul bersamaan (Yamana, 2017).
Hemoroid menyebabkan rasa gatal dan nyeri, dan sering menyebabkan
perdarahan berwarna merah terang pada saat defekasi. Hemoroid eksternal
dihubungkan dengan nyeri hebat akibat inflamasi dan edema yang disebabkan
oleh trombosis. Trombosis adalah pembekuan darah dalam hemoroid. Hal ini
dapat menimbulkan iskemia pada area tersebut dan terjadinya nekrosis
(Setiawan et al, 2015).
Umumnya perdarahan merupakan tanda pertama dari hemoroid interna
akibat trauma oleh feses yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar
dan tidak tercampur dengan feses, dapat hanya berupa garis pada feses atau
perdarahan yang terlihat menetes dan mewarnai air toilet menjadi merah
(Setiawan et al, 2015).
Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat
menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya
terjadi pada waktu defekasi dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada
stadium yang lebih lanjut, hemoroid interna ini perlu didorong kembali
setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam anus. Pada akhirnya hemoroid
dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps menetap dan tidak
bisa didorong masuk lagi (Sudarsono, 2015).

18
2.9 Diagnosis Hemoroid
Diagnosis hemoroid dapat ditegakkan dengan melakukan:
a. Anamnesis
Hasil anamnesis menurut Setiawan et al (2015), antara lain:
1. Terdapat pendarahan segar pada saat defekasi.
2. Mengeluh nyeri dan gatal-gatal di sekitar anus
3. Terdapat pembengkakan di anus.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik yang dapat dilakukan menurut Setiawan et al (2015),
antara lain:
1. Inspeksi prolaps, dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
kondiloma perinatal dan tumor anorektum.
2. Colok dubur, jika prolaps tidak terlihat untuk menyingkirkan
diagnosis banding karsinoma rektum.
3. Meminta pasien mengedan, maka didapatkan hasil hemoroid
menonjol keluar atau hemoroid yang sudah menonjol akan terlihat
semakin besar.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan menurut Wandari (2011),
antara lain:
1. Pemeriksaan anoskopi dilakukan untuk menilai mukosa rektal dan
mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid.
2. Pemeriksaan sigmoidoskopi fleksibel atau kolonoskopi untuk
mengevaluasi pendarahan rektal dan rasa tidak nyaman seperti fisura
anal, fistula, kolitis, polip rectal dan kanker.
d. Diagnosis Banding
Menurut Kaidar-Person et al (2007) selama evaluasi awal pasien,
kemungkinan penyebab lain dari gejala-gejala seperti pendarahan rektal,
gatal pada anus, rasa tak nyaman, massa serta nyeri dapat disingkirkan. Di
bawah ini adalah diagnosa banding untuk gejala-gejala di atas:

19
i. Nyeri
1. Fisura Anal
2. Herpes Anal
3. Proktitis ulseratif
4. Proctalgia fugax
ii. Massa
1. Karsinoma anal
2. Perianal warts
3. Skin tags
iii. Nyeri dan Massa
1. Hematom perianal
2. Pilonidal sinus
3. Abses
iv. Nyeri dan Pendarahan
1. Proktitis
2. Fisura Anal
v. Nyeri, Massa dan Pendarahan
1. Hematom perianal ulseratif
vi. Massa dan Pendarahan
1. Karsinoma anal

vii. Pendarahan
1. Polips kolorectal
2. Karsinoma anal
3. Karsinoma kolorectal

20
2.10 Penatalaksanaan Hemoroid
Menangani hemoroid tak selamanya dengan melakukan tindakan
invasif. Penatalaksanaan hemoroid pada umumnya dapat meliputi modifikasi
gaya hidup, perbaikan pola makan dan minum serta perbaikan cara defekasi.
Diet seperti minum 30–40 ml/kgBB/hari dan makanan tinggi serat 20-30
g/hari. Perbaikan pola defekasi dapat dilakukan dengan berubah ke jongkok
pada saat defekasi serta penanganan lain seperti melakukan warm sits baths
dengan merendam area rektal pada air hangat selama 10-15 menit 2-3 kali
sehari (Yamana, 2017; Sudarsono, 2015).
Menangani hemoroid dengan obat juga dapat dilakukan. Namun,
pemilihan jenis terapi sangat bergantung dari keluhan penderita serta derajat
hemoroidnya. Pasien hemoroid grade I dan II dapat diberikan terapi
medikamentosa dan edukasi tentang modifikasi gaya hidup. Penatalaksanaan
farmakologi untuk hemoroid menurut Sudarsono (2015) adalah:
a. Obat-obatan yang dapat memperbaiki defekasi, yaitu suplemen serat yang
banyak digunakan antara lain psyllium atau isphagula husk dan obat
pencahar antara lain Natrium dioctyl sulfosuccinat.
b. Obat simptomatik yang mengurangi keluhan rasa gatal dan nyeri. Bentuk
suppositoria untuk hemoroid interna dan ointment untuk hemoroid
eksterna.
c. Obat untuk menghentikan perdarahan yaitu diosmin dan hesperidin.
d. Terapi topikal dengan nifedipine dan krim lidokain lebih efektif untuk
menghilangkan rasa sakit.

Office Theraphy.
Sebagian besar dilakukan pada pasien dengan hemoroid derajat I dan
II yang gagal dalam perawatan medis serta pasien tertentu dengan hemoroid
internal derajat III dapat diobati secara efektif dengan office-based procedure
(Davis, 2018).

21
Tujuan dari office-based procedure adalah untuk meringankan gejala
pasien dengan mengurangi ukuran atau vaskularisasi jaringan hemoroid dan
meningkatkan fiksasi jaringan hemoroid ke dinding anal untuk meminimalkan
prolaps. Semua prosedur ini relatif ditoleransi dengan baik dan menyebabkan
rasa sakit serta ketidaknyamanan yang minimal. Namun, pasien harus
memahami bahwa terdapat kemungkinan terjadinya kekambuhan dan
kemungkinan untuk dilakukan aplikasi berulang (Davis, 2018).

1. Rubber band ligation.


Teknik ini merupakan perawatan yang paling populer dan efektif, yang
telah terbukti lebih unggul daripada skleroterapi dan infrared
photocoagulation karena memiliki tingkat kekambuhan terendah. Ligasi
dari jaringan hemoroid akan menyebabkan iskemia dan nekrosis pada
mukosa yang prolaps diikuti dengan terjadinya fiksasi jaringan parut pada
dinding rektum. Teknik cepat ini ditoleransi dengan baik pada pasien,
karena ligatur dilakukan jauh di atas linea dentate, di mana sensitivitas
somatik tidak ada. Metode ini telah terbukti menjadi pengobatan non
bedah yang paling efektif untuk hemoroid (Davis, 2018).
2. Skleroterapi.
Teknik ini digunakan untuk pasien dengan gejala utama pendarahan
dan dapat menyebabkan hemoroid menyusut dan menghilang dalam waktu
singkat. Metode ini menggunakan zat sklerosan yang diinjeksikan pada
submukosa tepat di atas pangkal hemoroid. Setelah itu, sklerosan
menyebabkan ulserasi mukosa atau nekrosis dan merangsang
pembentukan jaringan parut. Sklerosan yang paling umum digunakan
adalah 5% phenol in almond or vegetable oil or sodium tetradecyl sulfate
(Chugh, 2014; Davis, 2018).

22
3. Infrared photocoagulation/ Infrared thermocoagulation.
IRC melibatkan aplikasi langsung dari gelombang infra merah. Sinar
infra merah masuk ke jaringan dan berubah menjadi panas. Manipulasi
instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengatur banyaknya jumlah
kerusakan jaringan. Prosedur ini menyebabkan koagulasi, oklusi dan
sklerosis jaringan hemoroid (Chugh, 2014).

Surgical Theraphy.
Untuk pasien dengan gejala hemoroid eksternal atau gabungan hemoroid
eksternal dan internal derajat III – IV (Davis, 2018).

1. Surgical Excision
Teknik yang paling banyak dipraktikkan dan dianggap sangat
efektif untuk pasien jika tindakan konservatif dan office-based
psocedure gagal, hemoroid derajat III atau IV, hemoroid yang
mengalami komplikasi seperti ulserasi, fistula, fissura, atau yang
dikaitkan dengan symptomatic external hemorrhoids atau anal tags
yang besar (Chugh, 2014).
Meskipun ada banyak variasi teknik, terdapat dua teknik operasi
yang penting, antara lain; hemoroidektomi terbuka (Open Milligan-
Morgan Hemorrhoidectomy) dan hemoroidektomi tertutup (Closed
Ferguson Hemorrhoidectomy). Untuk teknik eksisi terbuka, elemen
eksternal hemoroid yang tertutup kulit dikeluarkan bersama dengan
elemen mukosa dengan ligasi pada pedikel hemoroid. Ferguson
hemoroidektomi juga menghilangkan jaringan hemoroid vaskular
tetapi mempertahankan anoderm, secara teoritis membatasi keluarnya
cairan pasca operasi dan mempercepat proses penyembuhan (Brown,
2017).
Dalam metaanalisis dari 11 studi yang membandingkan
hemoroidektomi terbuka versus tertutup (1326 pasien). Pendekatan
tertutup dikaitkan dengan penurunan nyeri pasca operasi,

23
penyembuhan luka yang lebih cepat, dan risiko perdarahan
pascaoperasi yang lebih rendah. Komplikasi pasca operasi, rekurensi
hemoroid, dan komplikasi infeksi serupa. Dalam meta-analisis dari 5
studi dengan 318 pasien, penggunaan perangkat energi bipolar
ditemukan lebih cepat dan lebih sedikit menyebabkan rasa sakit pasca
operasi bila dibandingkan dengan hemoroidektomi tertutup dengan
tingkat komplikasi pasca operasi yang sebanding (Davis, 2018).

2. PPH (Stapled Hemorrhoidopexy).


Teknik Circular Stapler Hemorrhoidopexy atau dikenal dengan
Procedure for Prolapse and Haemorrhoids baru diperkenalkan oleh
Longo A pada tahun 1998. Teknik ini menggunakan alat circular
stapling yang menghilangkan mukosa dan submukosa sekitar 2-3 cm
tepat di atas linea dentatae. Dengan melakukan hal ini, prosedur ini
tidak hanya mengganggu suplai darah ke pleksus, mengurangi
pembengkakan, tetapi juga menarik mukosa yang berlebih ke dalam
kanalis anal sehingga mengurangi prolaps. Karena tidak ada sayatan di
mukosa anal yang sensitif, teknik ini tidak terlalu menyakitkan dan
kemungkinan pemulihan lebih cepat dibandingkan dengan
hemoroidektomi, tetapi tingkat kekambuhan mungkin lebih tinggi
dalam jangka panjang (Chugh, 2014; Brown, 2017).

3. Doppler-guided Hemorrhoidal Artery Ligation


Prosedur ini pertama kali dijelaskan oleh Morinaga et al pada
tahun 1995, teknik ini menggunakan proktoskop yang dimodifikasi
dengan menggabungkan Doppler probe. Perangkat ini memungkinkan
deteksi yang akurat dari arteri hemoroid yang kemudian diikat.
Pengikatan tersebut ditargetkan akan mengurangi pembengkakan
hemoroid. Sementara, pada saat yang sama dilakukan fiksasi bantal
untuk mengurangi potensi prolaps. Karena tidak ada luka bedah dan

24
jahitan dilakukan di atas linea dentate, rasa sakit secara teoritis
berkurang dan pemulihan akan lebih cepat. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa teknik ini memberikan hasil baik. Namun, teknik
ini membutuhkan lebih banyak biaya (Chugh, 2014; Brown, 2017;
Davis, 2018).
Edukasi yang dapat diberikan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan hemoroid menurut Setiawan et al (2015) antara lain:
1. Konsumsi makanan tinggi serat seperti sayur-sayuran, buah-
buahan dan kacang-kacangan untuk membuat feses menjadi lunak
sehingga mengurangi proses mengedan. Bila perlu diberikan
suplemen serat atau obat yang memperlunak feses (bulk forming
cathartic)
2. Hindari mengedan terlalu kuat saat buang air besar
3. Minum air sebanyak 6-8 gelas sehari agar tubuh kita tidak
kekurangan cairan.
4. Melakukan kegiatan olahraga rutin (seperti joging, berenang,
senam)
5. Jangan menunda-nunda jika ingin buang air besar sebelum feses
menjadi keras
6. Jangan duduk terlalu lama.

25
2.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis hemoroid baik apabila ditangani dengan
tepat. Kebanyakan hemoroid sembuh secara spontan atau hanya dengan terapi
medis konservatif. Namun, komplikasinya dapat berupa trombosis, infeksi
sekunder, ulserasi, abses, dan inkontinensia. Hemoroidektomi pada umumnya
memberikan hasil yang baik. Setelah terapi, penderita harus diberikan edukasi
untuk mencegah tejadinya kekambuhan. Tingkat kekambuhan dengan teknik
non-bedah adalah 10-50% selama periode 5 tahun, sedangkan dengan bedah
hemoroidektomi kurang dari 5% (Thornton, 2019).
Mengenai komplikasi dari operasi, ahli bedah yang terlatih hanya
mengalami komplikasi pada kurang dari 5% kasus. Komplikasi termasuk
stenosis, perdarahan, infeksi, kekambuhan, luka tidak sembuh, dan
pembentukan fistula. Retensi urin berhubungan langsung dengan teknik
anestesi yang digunakan dan cairan perioperatif yang diberikan. Membatasi
cairan dan penggunaan rutin anestesi lokal dapat mengurangi retensi urin
hingga kurang dari 5% (Thornton, 2019).

26
BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Teori


Terjadinya hemoroid dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain: usia, dimana keadaan ini sering terjadi seiring dengan bertambahnya usia
seseorang, dimana usia puncaknya adalah 45-65 tahun, konstipasi, mengedan
pada buang air besar yang sulit, kurangnya mengonsumsi makanan berserat,
aktifitas fisik berat, duduk terlalu lama, kehamilan dan berbagai penyakit yang
menyebabkan peningkatan tekanan intra abdomen.
Adapun beberapa cara untuk mencegah terjadinya hemoroid adalah
dengan mengonsumsi makanan yang berserat, minum air sebanyak 6-8
gelas/hari, menghindari mengedan, tidak menunda defekasi, melakukan
olahraga rutin, tidak melakukan aktifitas fisik yang berat dan tidak duduk
terlalu lama.
Hemoroid dapat menyebabkan rasa gatal dan nyeri saat BAB, dan
sering menyebabkan pendarahan saat defekasi. Darah yang keluar berwarna
merah segar dan tidak tercampur dengan feses. Pada tahap awal, prolaps
terjadi pada waktu defekasi dan disusul dengan reduksi spontan setelah
defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut, prolaps tersebut perlu didorong
secara manual setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam anus dan pada
akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps
menetap.
Diagnosis hemoroid dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis, apabila pasien
mengeluh gejala yang terjadi sesuai dengan gejala klinis dari hemoroid. Pada
pemeriksaan fisik dapat dilakukan inspeksi prolaps dan colok dubur. Dan
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
hemoroid adalah dengan melakukan pemeriksaan anoskopi dan pemeriksaan
sigmoidoskopi fleksibel atau konoloskopi. Penanganan yang dapat diberikan

27
pada penderita hemoroid dapat berupa terapi medikamentosa dengan
pemberian jenis terapi sesuai dari keluhan penderita serta derajat
hemoroidnya. Selain itu dapat digunakan Office-based procedure, antara lain:
Rubber band ligation, skleroterapi, dan infrared thermocoagulation. Dan
pilihan terakhir adalah dengan tindakan operatif, antara lain: surgical
excision, PPH (Stapled hemorrhoidopexy), dan doppler-guided Hemorrhoidal
Artery Ligation

Faktor Risiko Hemoroid Gejala Klinis Hemoroid

 Nyeri saat BAB


 Usia
 Gatal pada anus
 Konstipasi
 Pendarahan pada
 Mengedan pada buang air
rektum
besar yang sulit
 Prolaps pada rektum
 Diet rendah serat Diagnosis Hemoroid
 Aktifitas fisik berat
 Duduk terlalu lama  Anamnesis
 Kehamilan  Pemeriksaan Fisik
 Peningkatan tekanan intra  Pemeriksaan
Pencegahan Hemoroid penunjang
abdomen HEMOROID
 Diet tinggi serat
Penatalaksanaan
 Minum air 6-8 gelas/hari
Hemoroid
 Hindari mengedan
 Tidak menunda defekasi  Medikamentosa
 Melakukan olahraga rutin  Office Theraphy
 Tidak melakukan aktifitas  Surgical Theraphy
Diagram 3.1 Kerangka Teori Penelitian
fisik berat
 Tidak duduk terlalu lama

3.2 Kerangka Konsep


Berdasarkan konsep pemikiran yang dikemukakan di atas, maka disusunlah
pola variabel sebagai berikut:

Umur

28
Jenis Kelamin
Ras / Suku

Pekerjaan Karakteristik
Penatalaksanaan
Klasifikasi Hemoroid
dan Derajat
Hemoroid
Gejala Klinis

Diagram 3.2 Kerangka Konsep Penelitian


Cara Diagnosis

3.3 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

3.3.1 Umur
a. Definisi : Lama waktu hidup dimulai sejak dilahirkan hingga
saat penderita didiagnosis hemoroid.
b. Alat Ukur : Tabel pengisian data.
c. Cara Ukur : Dicatat umur pasien saat berobat ke rumah sakit dari
rekam medik.
d. Hasil ukur: Menggunakan kategori umur menurut Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009 (Depkes, 2009).
1. Masa balita : 0-5 tahun
2. Masa kanak-kanak : 5-11 tahun

29
3. Masa remaja awal : 12-16 tahun
4. Masa remaja akhir : 18-25 tahun
5. Masa dewasa awal : 26-35 tahun
6. Masa dewasa akhir : 36-45 tahun
7. Masa lansia awal : 46-55 tahun
8. Masa lansia akhir : 56-65 tahun
9. Masa manula : >65 tahun
e. Skala ukur : Skala

3.3.2 Jenis Kelamin

a. Definisi : Identitas subjek berdasarkan organ seksualnya.


b. Alat Ukur : Tabel pengisian data.
c. Cara Ukur : Dicatat jenis kelamin pasien saat berobat ke rumah
sakit dari rekam medik.
d. Hasil ukur berupa:
1. Laki-laki
2. Perempuan
e. Skala Ukur : Nominal

3.3.3 Ras/ Suku


a. Definisi : Asal atau ras seseorang.
b. Alat Ukur : Tabel Pengisian data.
c. Cara Ukur : Dicatat suku pasien saat berobat ke rumah sakit dari
rekam medik.
d. Hasil ukur berupa:
1. Suku Bugis
2. Suku Makassar
3. Suku Toraja
4. Lain-lain.
e. Skala Ukur : Nominal

30
3.3.4 Pekerjaan
a. Definisi : Hal yang dilakukan untuk mendapatkan nafkah.
b. Alat Ukur : Tabel pengisian data.
c. Cara Ukur : Dicatat pekerjaan pasien saat berobat di rumah sakit
dari rekam medik.
d. Hasil ukur berupa:
1. PNS
2. Wiraswasta
3. TNI/POLRI
4. Karyawan Swasta
5. Pelajar/ Mahasiswa
6. Petani
7. IRT
8. Pensiunan
9. Tidak Bekerja
e. Skala Ukur : Nominal.

3.3.5 Klasifikasi dan Derajat Hemoroid


a. Definisi : Klasifikasi dan derajat hemoroid yang diderita oleh
pasien.
b. Alat Ukur : Tabel pengisian data.
c. Cara Ukur : Dicatat klasifikasi dan derajat hemoroid pasien saat
berobat ke rumah sakit dari rekam medik.
d. Hasil ukur berupa:
1. Hemoroid Eksterna: dilatasi vena pada pleksus hemorodialis
inferior di bawah linea dentata dan tertutup oleh kulit
2. Hemoroid Interna: dilatasi vena pada pleksus hemoroidalis
superior, di atas linea dentata dan tertutup oleh mukosa anus.

31
Derajat hemoroid interna berdasarkan Goligher Classification;
a) Hemoroid Interna Grade 1: terjadi pendarahan, belum
mengalami prolaps.
b) Hemoroid Interna Grade 2: terjadi pendarahan, prolaps
dapat kembali secara spontan.
c) Hemoroid Interna Grade 3: prolaps harus didorong secara
manual.
d) Hemoroid Interna Grade 4: prolaps menetap dan tidak
dapat direduksi.
e. Skala Ukur : Ordinal

3.3.6 Gejala Klinis


a. Definisi : Tanda-tanda sewaktu terjangkit penyakit.
b. Alat Ukur : Tabel pengisian data.
c. Cara Ukur : Dicatat gejala klinis yang didapatkan pasien saat
berobat di rumah sakit dari rekam medik .

d. Hasil ukur berupa:


1. Nyeri saat BAB
2. Gatal pada anus
3. Pendarahan rektum
4. Prolaps pada rektum
e. Skala Ukur : Nominal

3.3.7 Cara Diagnosis


a. Definisi : Suatu cara yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis.
b. Alat Ukur : Tabel pengisian data.

32
c. Cara Ukur : Dicatat cara diagnosis yang didapatkan pasien saat
berobat di rumah sakit dari rekam medik .
d. Hasil ukur berupa:
1. Colok Dubur
2. Anoskopi
3. Kolonoskopi
e. Skala Ukur : Nominal

3.3.8 Penatalaksanaan
a. Definisi : Penanganan yang didapatkan pasien.
b. Alat Ukur : Tabel pengisian data.
c. Cara Ukur : Dicatat penatalaksanaan yang didapatkan pasien saat
berobat di rumah sakit dari rekam medik .

d. Hasil ukur berupa:


1. Terapi konservatif,
2. Rubber band ligation,
3. Skleroterapi,
4. Infrared thermocoagulation.
5. Surgical excision,
6. Stapler Hemorrhoidopexy,
7. Doppler-guided Hemorrhoidal Artery Ligation.
e. Skala Ukur : Nominal.

33
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan
metode cross sectional, yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus pada
suatu waktu yang bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien penderita
hemoroid di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar melalui penggunaan
rekam medik sebagai data penelitian.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian

34
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
4.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan mulai pada bulan Desember 2019.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah penderita yang terdaftar dalam
registrasi pasien rawat inap pada bagian bedah digestif RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Juli 2017 – Juli 2019.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua penderita hemoroid yang
dirawat inap di RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo periode Juli 2017 –
Juli 2019 yang tercatat dalam rekam medik yang memenuhi kriteria
pemilihan.
4.3.3 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode
total sampling dengan mencatat semua pasien hemoroid rawat inap di
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Juli 2017 – Juli
2019.

4.4 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi


4.4.1 Kriteria Inklusi
Rekam medik yang memiliki seluruh data variabel yaitu umur
penderita, jenis kelamin, ras/suku, pekerjaan, klasifikasi dan derajat
hemoroid, gejala klinis, cara diagnosis dan penatalaksanaan hemoroid.
4.4.2 Kriteria Eksklusi
Data berkaitan variabel tidak lengkap.
4.5 Jenis Data dan Instrumen Penelitian
4.5.1 Jenis Data

35
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari pencatatan status penderita hemoroid pada bagian rekam medik
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
4.5.2 Instrumen Penelitian
Alat pengumpul data dan instrumen penelitian yang dipergunakan
dalam penelitian ini terdiri atas lembar pengisian data dengan tabel-
tabel tertentu untuk mencatat data yang dibutuhkan dari rekam medik.
4.6 Manajemen Penelitian
4.6.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah meminta izin kepada pihak
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Kemudian nomor rekam
medik pasien hemoroid dalam periode yang telah ditentukan
dikumpulkan di bagian Rekam Medik RSUP. Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Setelah itu dilakukan pengamatan dan pencatatan
langsung ke dalam tabel check list yang telah disediakan.
4.6.2 Pengolahan dan Analisa Data
Pengolahan dilakukan setelah pencatatan data dari rekam medik yang
dibutuhkan ke dalam tabel check list dengan menggunakan program
Microsoft Excel untuk memperoleh hasil statistik deskriptif yang
diharapkan.

4.6.3 Penyajian Data


Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram
untuk menggambarkan karakteristik penderita hemoroid di RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo periode Juli 2017 – Juli 2019
4.7 Etika Penelitian
1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah
setempat sebagai permohonan izin untuk melakukan penelitian.

36
2. Menjaga Kerahasiaan data pasien yang terdapat pada rekam medik,
sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian
yang dilakukan.

4.8 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

No Kegiatan Bulan
7 8 9 10 11 12 1 2 3
1. Penyusunan
Proposal
2. Pengurusan
Etik
Penelitian
3. Persiapan
Instrumen
Penelitian
4. Pengambilan
Data dan
Sampel
5. Analisa Data
6. Publikasi
Hasil
Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian

4.9 3.4 Anggaran Penelitian

No Kegiatan Jumlah Harga Biaya


(Satuan)
1. Bahan Habis Pakai:
Kertas HVS Quarto 4 Rp. 50.000 Rp. 200.000
Tinta Printer 4 botol Rp. 100.000 Rp. 400.000
2. Administrasi:
Pembuatan proposal dan Rp. 100.000
laporan penelitian
Fotokopi dan ATK Rp. 200.000

37
Perizinan Penelitian Rp.200.000
3. Lain-Lain:
Biaya Internet Rp. 100.000
Dokumentasi Rp. 150.000
Biaya tak terduga Rp. 300.000
Total Rp. 1.650.000
Tabel 4.2 Anggaran Penelitian

BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS PENELITIAN

5.1 Angka Kejadian Hemoroid di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo


Makassar Periode Juli 2017 – Juli 2019
Selama periode juli 2017 – juli 2019 ditemukan sebanyak 174 pasien
dengan diagnosis hemoroid pada RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Dari 174 pasien yang terdiagnosis hemoroid, berdasarkan rekam
medik hanya didapatkan 96 pasien yang memenuhi kriteria.

5.2 Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Kelompok Umur

38
Penderita hemoroid pada kelompok umur 46-55 tahun menduduki
urutan teratas dengan jumlah penderita sebanyak 26 orang (27%). Di urutan
kedua yaitu pada kelompok umur 36 – 45 tahun sebanyak 17 orang (18%),
disusul dengan kelompok umur 56 – 65 tahun sebanyak 16 orang (17%),
kelompok umur 26 – 35 tahun sebanyak 14 orang (15%), kelompok umur 18–
25 tahun dan > 65 tahun masing-masing sebanyak 11 orang (11%). Sedangkan
pada urutan terbawah jumlah penderita hemoroid yaitu pada kelompok umur
12-16 tahun dengan jumlah pasien 1 orang (1%).

Diagram 5.1 distribusi penderita hemoroid berdasarkan kelompok umur.

39
Kelompok Umur

30

25

20

15

10

12 - 16 tahun 18 - 25 tahun 26 - 35 tahun


36 - 45 tahun 46 - 55 tahun 56 - 65 tahun
> 65 tahun

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

5.3 Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Jenis Kelamin


Distribusi penderita hemoroid berdasarkan jenis kelamin tidak jauh
berbeda. Dimana penderita hemoroid dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak
49 orang (51%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 47 orang (49%).

Diagram 5.2 distribusi penderita hemoroid berdasarkan jenis kelamin.

40
Jenis Kelamin

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Laki - Laki Perempuan


Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

5.4 Karakteristik Penderita Hemoroid berdasarkan Ras/ Suku


Ditinjau dari ras/ suku penderita hemoroid, Suku Bugis mencatatkan
angka tertinggi dengan jumlah 55 orang (57%), kemudian disusul oleh Ras/
Suku Makassar sebanyak 17 orang (18%), Ras/ Suku Toraja sebanyak 5 orang
(5%), Ras/ Suku Mandar sebanyak 4 orang (4%), Ras/ Suku Luwu sebanyak
3 orang (3%), Ras/ Suku Jawa, Tolaki, Gorontalo dan Selayar masing-masing
sebanyak 2 orang (2%), dan yang menduduki urutan terakhir yaitu Ras/ Suku
Ambon, Bungku, NTT dan Aceh masing-masing sebanyak 1 orang (1%).

41
Diagram 5.3 distribusi penderita hemoroid berdasarkan ras/ suku.

Ras/ Suku
60

50

40

30

20

10

Bugis Makassar Luwu Jawa Toraja Tolaki


Gorontalo Ambon Selayar Mandar Bungku NTT
Aceh

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

5.5 Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Pekerjaan


Ditinjau dari pekerjaan, penderita hemoroid dengan pekerjaan PNS
menduduki urutan teratas dengan jumlah pasien sebanyak 27 orang (28%). Di

42
urutan kedua yaitu dengan pekerjaan Wiraswasta sebanyak 18 orang (19%)
disusul dengan pekerjaan Karyawan Swasta sebanyak 14 orang (15%), IRT
sebanyak 11 orang (11%), Pelajar/ mahasiswa sebanyak 8 orang (8%), Petani
sebanyak 7 orang (7%), TNI/POLRI sebanyak 5 orang (5%), Pensiunan
sebanyak 4 orang (4%). Sedangkan pada urutan terbawah jumlah pasien
hemoroid yaitu penderita yang tidak bekerja dengan jumlah 2 orang (2%).

Diagram 5.4 distribusi penderita hemoroid berdasarkan pekerjaan

Pekerjaan
30

25

20

15

10

PNS Pelajar/ Mahasiswa Petani Wiraswasta


Pensiunan Karyawan Swasta TNI/POLRI IRT
Tidak Bekerja

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

5.6 Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Klasifikasi dan Derajat


Hemoroid

43
Ditinjau dari klasifikasi hemoroid, angka kejadian hemoroid interna
lebih besar yaitu sebanyak 64 orang (66%), sedangkan hemoroid eksterna
sebanyak 19 orang (20%) dan hemoroid campuran antara hemoroid interna-
eksterna berada pada urutan terbawah yaitu sebanyak 13 orang (14%).

Diagram 5.5 distribusi penderita hemoroid berdasarkan klasifikasi


hemoroid

Klasifikasi Hemoroid

70

60

50

40

30

20

10

Hemoroid Eksterna Hemoroid Interna Hemoroid Campuran

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

44
Berdasarkan derajat hemoroid interna, diagram 5.6 memperlihatkan
angka kejadian hemoroid interna grade III menduduki urutan teratas yaitu
sebanyak 28 orang (44%), disusul oleh hemoroid interna grade IV
sebanyak 14 orang (22%), hemoroid interna grade II sebanyak 12 orang
(19%), dan pada urutan terbawah yaitu, hemoroid interna grade I sebanyak
10 orang (16%).

Diagram 5.6 Distribusi Penderita Hemoroid Berdasarkan Derajat Hemoroid


Interna.

Derajat Hemoroid Interna

30

25

20

15

10

Grade I Grade II Grade III Grade IV

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

45
5.7 Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Gejala Klinis
Pasien hemoroid ditinjau dari gejala klinis menunjukkan bahwa keluhan
yang paling banyak dialami pasien yaitu pendarahan rektum sebanyak 79
orang (82%). Yang kedua yaitu prolaps pada rektum sebanyak 53 orang
(55%) dan yang paling sedikit dialami pasien yaitu nyeri pada saat buang air
besar sebanyak 32 orang (33%).

Diagram 5.7 Distribusi Penderita Hemoroid Berdasarkan Gejala Klinis

Gejala Klinis

80
70
60
50
40
30
20
10
0

Prolaps pada rektum Pendarahan rektum Nyeri saat BAB

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

5.8 Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Cara Diagnosis

46
Distribusi pasien hemoroid berdasarkan cara diagnosis menggunakan
kolonoskopi sedikit lebih banyak dilakukan yaitu sebanyak 52 orang (54%).
Sedangkan dengan colok dubur sebanyak 44 orang (46%).

Diagram 5.8 Distribusi Penderita Hemoroid Berdasarkan Cara Diagnosis

Cara Diagnosis

50

40

30

20

10

Kolonoskopi Colok Dubur


Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

47
5.9 Karakteristik Penderita Hemoroid Berdasarkan Penatalaksanaan
Distribusi pasien hemoroid ditinjau dari penatalaksanaannya
memperlihatkan bahwa tindakan operasi stapler hemoroidopexy sebanyak 54
orang (56%), sedangkan penatalaksanaan pasien hemoroid dengan pemberian
terapi konservatif sebanyak 42 orang (44%).

Diagram 5.9 Distribusi Penderita Hemoroid Berdasarkan Penatalaksaan

Penatalaksanaan

50

40
n = 96
30

20

10

Stapler Hemoroidopexy Terapi Konservatif

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

48
Distribusi penatalaksanaan stapler hemoroidopexy berdasarkan jenis
hemoroid menunjukkan bahwa hemoroid interna grade III menduduki
urutan teratas dengan jumlah 27 orang (50%), kemudian disusul oleh
hemoroid interna grade IV sebanyak 14 orang (26%), hemoroid campuran
antara hemoroid interna-eksterna sebanyak 7 orang (13%), dan yang
menduduki urutan terakhir adalah hemoroid eksterna sebanyak 4 orang
(7%).

Diagram 5.10 Distribusi Penatalaksaan Stapler Hemoroidopexy


Berdasarkan Jenis Hemoroid.

Stapler Hemoroidopexy
30

25

20

15

10

0
n = 54

Hemoroid Interna Grade III Hemoroid Interna Grade IV


Hemoroid Eksterna Hemoroid Campuran

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

49
Distribusi penatalaksanaan terapi konservatif berdasarkan jenis
hemoroid menunjukkan bahwa hemoroid eksterna menduduki urutan
teratas yaitu sebanyak 15 orang (36%), yang kedua yaitu hemoroid interna
grade II sebanyak 12 orang (29%), disusul oleh hemoroid interna grade I
sebanyak 10 orang (24%), hemoroid campuran antara hemoroid interna-
eksterna sebanyak 6 orang (14%), dan yang menduduki urutan terendah
yaitu hemoroid interna grade III sebanyak 1 orang (2%).

Diagram 5.11 Distribusi Penatalaksaan Terapi Konservatif Berdasarkan


Jenis Hemoroid.

Terapi Konservatif
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
n = 42

Hemoroid Interna Grade I Hemoroid Interna Grade II


Hemoroid Interna Grade III Hemoroid Eksterna
Hemoroid Campuran

Sumber: Data Rekam Medis RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar

50
BAB 6
PEMBAHASAN

Selama periode juli 2017 – juli 2019 ditemukan sebanyak 174 pasien
dengan diagnosis hemoroid pada RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar. Dari 174 pasien yang terdiagnosis hemoroid, berdasarkan rekam
medik hanya didapatkan 96 pasien yang memenuhi kriteria.
Dari hasil penelitian tentang Karakteristik Penderita Hemoroid di
RSUP. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Juli 2017 – Juli 2019
diperoleh karakteristik penderita hemoroid berdasarkan usia, jenis kelamin,
ras/ suku, pekerjaan, klasifikasi dan derajat hemoroid, gejala klinis, cara
diagnosis dan penatalaksanaan hemoroid.
Berdasarkan usia, hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien
hemoroid pada kelompok usia 46-55 tahun menduduki urutan teratas dengan
jumlah pasien sebanyak 26 orang (27%). Di urutan kedua yaitu pada
kelompok usia 36 – 45 tahun sebanyak 17 orang (18%), disusul dengan
kelompok usia 56 – 65 tahun sebanyak 16 orang (17%), kelompok usia 26 –
35 tahun sebanyak 14 orang (15%), kelompok usia 18 – 25 tahun dan >65

51
tahun masing-masing sebanyak 11 orang (11%). Sedangkan pada urutan
terbawah jumlah pasien hemoroid yaitu pada kelompok usia 12-16 tahun
dengan jumlah pasien 1 orang (1%).
Dari data-data di atas terlihat pasien hemoroid banyak didapatkan pada
kelompok usia dewasa akhir – lansia akhir (36 – 65 tahun) dan menurun pada
usia manula (>65 tahun). Hal ini sesuai dengan kepustakaan, dimana menurut
Yamana (2017), sebuah survei skala besar di Amerika Serikat menunjukkan
bahwa hemoroid paling sering terjadi pada usia 45-65 tahun dan cenderung
menurun di atas usia 65 tahun.
Hal ini diduga karena faktor usia dari rentang tersebut merupakan usia
produktif, dimana pada usia produktif manusia akan melakukan aktivitas yang
lebih padat dari biasanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga
kasus hemoroid meningkat. Selain itu, faktor degeneratif diduga
mempengaruhi lemahnya sphincter ani untuk mampu berkontraksi pada saat
defekasi. Gangguan yang umum terdapat pada orang tua berupa perubahan
kebiasaan buang air besar yang dapat mengarah kepada konstipasi dan diare.
Dimana keadaan tersebut merupakan faktor risiko terjadinya hemoroid
(Safyudin, 2017).
Berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
96 jumlah sampel, penderita dari kelompok jenis kelamin laki-laki sebanyak
49 orang (51%) dan kelompok jenis kelamin perempuan sebanyak 47 orang
(49%).
Dari penelitian Pearl (2014), menyebutkan bahwa angka kejadian
hemoroid umumnya sebanding terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Hal
ini sesuai dengan kepustakaan, Yamana (2017) yang menyebutkan bahwa
sebuah studi epidemiologi di Amerika Serikat memperlihatkan angka kejadian
antara kelompok laki-laki dan kelompok perempuan tidak jauh berbeda.
Ditinjau dari Ras/ Suku penderita Hemoroid, hasil penelitian
memperlihatkan bahwa Suku Bugis mencatatkan angka tertinggi dengan
jumlah 55 orang (57%), kemudian disusul oleh Ras/ Suku Makassar sebanyak

52
17 orang (18%), Ras/ Suku Toraja sebanyak 5 orang (5%), Ras/ Suku Mandar
sebanyak 4 orang (4%), Ras/ Suku Luwu sebanyak 3 orang (3%), Ras/ Suku
Jawa, Tolaki, Gorontalo dan Selayar masing-masing sebanyak 2 orang (2%),
dan yang menduduki urutan terakhir yaitu Ras/ Suku Ambon, Bungku, NTT
dan Aceh masing-masing sebanyak 1 orang (1%).
Tingginya angka kejadian hemoroid pada suku Bugis dan Makassar
mempunyai hubungan dengan letak dari rumah sakit yang diteliti, dimana
daerah tersebut didominasi penduduk dengan Ras/ Suku Bugis dan Makassar.
Selain itu, kejadian hemoroid juga dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko
yang dapat meningkatkan angka kejadian hemoroid.
Berdasarkan pekerjaan, tampak penderita hemoroid dengan pekerjaan
PNS menduduki urutan teratas dengan jumlah penderita sebanyak 27 orang
(28%). Di urutan kedua yaitu dengan pekerjaan Wiraswasta sebanyak 18
orang (19%) disusul dengan pekerjaan Karyawan Swasta sebanyak 14 orang
(15%), IRT sebanyak 11 orang (11%), Pelajar/ Mahasiswa sebanyak 8 orang
(8%), Petani sebanyak 7 orang (7%), TNI/POLRI sebanyak 5 orang (5%),
pensiunan sebanyak 4 orang (4%). Sedangkan pada urutan terbawah jumlah
pasien hemoroid yaitu penderita yang tidak bekerja dengan jumlah 2 orang
(2%).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Yulisa et all (2018) di RS Tk II Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun
2015-2016 yang menyebutkan bahwa pekerjaan pada penderita hemoroid
terbanyak adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yaitu sebanyak 16%.
Pekerjaan dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya hemoroid.
Dimana, pekerjaan yang dilakukan terlalu berat dapat meningkatkan tekanan
intra abdomen yang dapat meningkatkan angka kejadian hemoroid. Selain itu,
pekerjaan yang kurang mobilisasi seperti terlalu banyak duduk juga
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hemoroid. Contohnya, Pegawai
Negeri Sipil (PNS), wiraswasta, karyawan swasta, dan sebagainya. Hal ini
didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Cintron dan Abcarian (2013)

53
bahwa kebiasaan duduk yang terlalu lama menjadi salah satu penyebab
terjadinya hemoroid. Hal yang paling diwaspadai dari dampak pola kerja
kurang aktif ini adalah meningkatnya kemungkinan mengalami risiko
pembekuan pembuluh vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT) hingga dua
kali lipat. Jika pembekuan ini tidak dicairkan dengan obat pengencer darah,
maka akan terjadi hematoma dan akan mengangu aliran darah. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya hemoroid (Wibowo et al, 2018).
Hal ini sesuai dengan kepustakaan, (Yamana, 2017) yang
menyebutkan bahwa terdapat beberapa penelitian yang telah mensurvei
korelasi antara gaya hidup dan kejadian hemoroid, dimana didapatkan bahwa
kejadian hemoroid kebanyakan disebabkan oleh pekerjaan yang melibatkan
angkat berat ataupun pekerjaan yang memerlukan duduk untuk jangka waktu
yang lama.
Berdasarkan klasifikasi hemoroid, hasil penelitian memperlihatkan
angka kejadian hemoroid interna lebih besar, yaitu sebanyak 64 orang (66%),
sedangkan hemoroid eksterna sebanyak 19 orang (20%) dan hemoroid
campuran antara hemoroid interna-eksterna berada pada urutan terbawah yaitu
sebanyak 13 orang (14%).
Hasil penelitian di atas tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Safyudin dan Damayanti (2017) di RSUP. dr. Mohammad
Hoesin Palembang tahun 2012 yang menyebutkan bahwa jenis hemoroid
terbanyak adalah hemoroid interna yakni (74,4%), sedangkan hemoroid
eksterna sebanyak (15,4%) dan hemoroid campuran antara hemoroid interna-
eksterna sebanyak (10,3%).
Berdasarkan derajat hemoroid interna, angka kejadian hemoroid
interna grade III menduduki urutan teratas yaitu sebanyak 28 orang (44%),
disusul oleh hemoroid interna grade IV sebanyak 14 orang (22%), hemoroid
interna grade II sebanyak 12 orang (19%), dan pada urutan terbawah yaitu,
hemoroid interna grade I sebanyak 10 orang (16%).

54
Penelitian yang dilakukan Utomo et all (2016) di RSUD dr. Soedarso
Pontianak Tahun 2009-2013 juga memperlihatkan bahwa angka kejadian
hemoroid interna derajat III mencatatkan angka tertinggi yaitu sebanyak 69
orang (32,2%), kemudian disusul oleh hemoroid interna derajat IV sebanyak
63 orang (29,4%), hemoroid interna derajat II sebanyak 47 orang (22%), dan
menempati urutan terakhir yaitu hemoroid interna derajat I sebanyak 35 orang
(16,4%).
Hal ini diakibatkan oleh kurangnya keprihatinan dan pengetahuan
penderita tentang suatu penyakit. Menurut Sarles (2013), pasien hemoroid
banyak yang tidak mencari pengobatan karena rasa malu, takut, dan kurang
mengetahui tentang penyakit ini. Hal ini juga didukung oleh teori yang
dikemukakan oleh Schwartz (2012) bahwa faktor pertimbangan pasien
berobat ke rumah sakit kebanyakan karena peningkatan derajat keparahan
hemoroid tersebut. Selain itu, menurut kepustakaan, hemoroid grade I kadang
tidak bergejala sehingga pasien tidak menyadari bahwa mereka menderita
hemoroid dan menyebabkan pasien datang berobat setelah penyakitnya
menjadi kronik dengan berbagai gejala klinis yang jelas terlihat.
Ditinjau dari gejala klinis, hasil penelitian memperlihatkan bahwa
keluhan yang paling banyak dialami pasien yaitu pendarahan rektum sebanyak
79 orang (82%). Yang kedua yaitu prolaps pada rektum sebanyak 53 orang
(55%) dan keluhan yang paling sedikit dijumpai yaitu nyeri saat buang air
besar sebanyak 32 orang (33%).
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Yulisa et all (2018) di RS Tk II Kesdam I/Bukit Barisan
Medan Tahun 2015-2016, yang menyebutkan bahwa keluhan yang terbanyak
adalah BAB berdarah sebanyak 33 orang (55%), adanya benjolan di anus
sebanyak 22 orang (36,7%) dan nyeri di anus sebanyak 5 orang (8,3%).
Umumnya perdarahan merupakan tanda pertama dari hemoroid interna
akibat trauma oleh feses yang keras. Hemoroid yang membesar secara
perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar menyebabkan prolaps. Pada

55
tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi dan disusul
reduksi spontan setelah defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut, hemoroid
interna ini perlu didorong kembali setelah defekasi agar masuk kembali ke
dalam anus. Pada akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang
mengalami prolaps menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. Nyeri timbul
akibat inflamasi dan edema yang disebabkan oleh trombosis (Sudarsono,
2015).
Hal ini juga didukung oleh Osborn (2013) yang menyebutkan bahwa
keluhan yang paling sering dari hemoroid adalah pendarahan rektal atau BAB
berdarah. Penderita hemoroid biasanya akan lebih takut dan segera
memeriksakan diri ke dokter apabila telah melihat darah saat berdefekasi
dibanding hanya merasakan adanya benjolan di anus.
Berdasarkan cara diagnosis pasien hemoroid, metode diagnostik
dengan menggunakan kolonoskopi sedikit lebih banyak dilakukan yaitu
sebanyak 52 orang (54%). Sedangkan dengan colok dubur sebanyak 44 orang
(46%).
Hal ini sesuai dengan kepustakaan, (Yamana, 2017) menyebutkan
bahwa dalam suatu laporan kasus di Jepang, 6,3% dari diagnosis hemoroid
ditegakkan melalui kolonoskopi rutin. Diagnosis hemoroid dapat ditegakkan
dengan melakukan pemeriksaan fisik anorektal berupa inspeksi kemudian
dapat dilanjutkan dengan melakukan colok dubur dan melakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan anoskopi ataupun pemeriksaan sigmoidoskopi
fleksibel atau kolonoskopi. Kolonoskopi terutama dilakukan pada pasien
pendarahan rektum untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Berdasarkan penatalaksanaan hemoroid, hasil penelitian menunjukkan
bahwa tindakan operasi Stapler Hemoroidopexy sebanyak 54 orang (56%),
sedangkan penatalaksanaan pasien hemoroid dengan pemberian terapi
konservatif sebanyak 42 orang (44%).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Safyudin dan
Damayanti (2017) di RSUP. dr. Mohammad Hoesin Palembang tahun 2012

56
yang menyebutkan bahwa dari 39 pasien, sebanyak 24 pasien (61,5%)
mendapat tatalaksana operatif stapler hemoroidopexy. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Hetzer dkk juga menyimpulkan bahwa operasi hemoroid
dengan penggunaan stapler mendominasi tatalaksana operatif yang dikerjakan
atas pertimbangan stapler hemoroidopexy memiliki nyeri postoperatif yang
lebih ringan, waktu pemulihan yang lebih pendek, dan kembali ke pekerjaan
lebih cepat dibanding dengan hemoroidektomi konvensional.
Dari diagram 5.10 menunjukkan bahwa penatalaksanaan stapler
hemoroidopexy pada hemoroid interna grade III menduduki urutan teratas
dengan jumlah 27 orang (50%), kemudian disusul oleh hemoroid interna
grade IV sebanyak 14 orang (26%), hemoroid campuran antara hemoroid
interna-eksterna sebanyak 7 orang (13%), dan yang menduduki urutan
terakhir adalah hemoroid eksterna sebanyak 4 orang (7%).
Hal ini sesuai dengan kepustakaan, dimana Davis (2018)
menyebutkan bahwa penatalaksanaan dengan surgical therapy dapat
dilakukan untuk pasien dengan gejala hemoroid internal derajat III-IV,
hemoroid eksternal atau gabungan hemoroid eksternal dan internal derajat III
– IV.
Dari diagram 5.11 memperlihatkan distribusi penatalaksanaan terapi
konservatif berdasarkan jenis hemoroid. Dimana, hemoroid eksterna
menduduki urutan teratas yaitu sebanyak 15 orang (36%), yang kedua yaitu
hemoroid interna grade II sebanyak 12 orang (29%), disusul oleh hemoroid
interna grade I sebanyak 10 orang (24%), hemoroid campuran antara
hemoroid interna-eksterna sebanyak 6 orang (14%), dan yang menduduki
urutan terendah yaitu hemoroid interna grade III sebanyak 1 orang (2%).
Hal ini sesuai dengan kepustakaan, dimana Chugh et all (2014)
menjelaskan bahwa terapi konservatif sudah cukup untuk memperbaiki atau
menyelesaikan gejala pada kebanyakan pasien dengan hemoroid derajat I-II
atau yang memang belum memerlukan intervensi bedah. Secara keseluruhan,

57
terapi konservatif dapat mengurangi keparahan gejala dengan rata-rata sekitar
50% pada pasien dengan hemoroid derajat Ι-ΙΙ.

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian “Karakteristik Penderita Hemoroid di RSUP. Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Juli 2017 – Juli 2019” disimpulkan:
a) Jumlah pasien hemoroid berjumlah 96 kasus.
b) Hemoroid lebih banyak diderita pada kelompok usia dewasa akhir – lansia
akhir (36 – 65 tahun).
c) Angka kejadian hemoroid tidak jauh berbeda dalam kejadian antara
kelompok laki-laki dan kelompok perempuan.
d) Distribusi penderita hemoroid berdasarkan ras/ suku memperlihatkan
bahwa Suku Bugis dan Makassar mencatatkan jumlah yang tinggi
dibandingkan dengan suku lainnya.
e) Angka kejadian hemoroid interna lebih banyak dibanding hemoroid
eksterna dan hemoroid campuran antara interna-eksterna.
f) Hemoroid interna grade III mencatatkan angka kejadian hemoroid
tertinggi.

58
g) Gejala yang paling sering dikeluhkan pasien adalah pendarahan pada
rektum.
h) Metode diagnostik yang paling sering digunakan adalah kolonoskopi dan
colok dubur.
i) Penatalaksanaan operatif yang paling sering dilakukan adalah Stapler
Hemoroidopexy.
j) Penatalaksanaan stapler hemoroidopexy paling banyak dilakukan pada
hemoroid grade III.
k) Terapi konservatif banyak dilakukan pada hemoroid interna grade I-II dan
hemoroid eksterna.

7.2 Saran

Saran untuk penelitian “Karakteristik Penderita Hemoroid di RSUP Dr.


Wahidin Sudirohusodo Makassar Periode Juli 2017 – Juli 2019” adalah
sebagai berikut:

a) Kepada pihak manajemen RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar


diharapkan agar melakukan evaluasi kembali mengenai ketersediaan
rekam medis, kelengkapan isi rekam medis, dan sistematisasi penyusunan
rekam medis agar memudahkan peneliti di masa yang akan datang.
b) Kepada para peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat
digunakan sebagai pedoman bagi penelitian selanjutnya dengan
memperluas variabel penelitian dan mengembangkan penelitian ini dengan
menggali faktor-faktor yang berhubungan dengan hemoroid sehingga
hasilnya dapat dijadikan sebagai masukan upaya penurunan angka
kejadian hemoroid.

59
DAFTAR PUSTAKA

Brown, S. R. 2017. ‘Haemorrhoids: an update on management’, Therapeutic


Advances in Chronic Disease, 8(10), pp. 141–147. doi:
10.1177/2040622317713957.

Cerato, M. M. et al. 2014. ‘Surgical treatment of hemorrhoids: a critical appraisal of


the current options’, ABCD. Arquivos Brasileiros de Cirurgia Digestiva (São
Paulo), 27(1), pp. 66–70. doi: 10.1590/s0102-67202014000100016.

Chugh, A., R. Singh, dan P. N. Agarwal. 2014. Management of Hemorrhoids. Indian


Journal of Clinical Practice. Vol. 25(6).

Cintron JR, Abcarian H (2013). Benign anorectal: Hemorrhoids. In: Wolfff BG,
Fleshman JW, Beck DE (eds). The ASCRS textbook of colon and rectal
surgery. New York: Springer, pp: 156-172.

Dason, Y., K. Y. Tan. 2015. Hemorrhoidectomy-Making Sense of Surgical Option.


World J Gastroenterology. 21(31): 9249-50.

60
Davis, B. R. et al. (2018) ‘The American Society of Colon and Rectal Surgeons
Clinical Practice Guidelines for the Management of Hemorrhoids’, Diseases
of the Colon & Rectum, 61(3), pp. 284–292. doi:
10.1097/dcr.0000000000001030.

Departemen Kesehatan RI. 2009. Kategori Usia. Dalam depkes.go.id – Diakses: 13


Agustus 2019

Kaidar-Person O, Person B, dan S. D. Wexner. 2007. Hemorrhoidal Disease: A


Comprehensive Review. J. American College of Surgeons. 204(1): 102-114.

Lorber, B. W. 2018. Thrombosed External Hemorrhoids Excision. Diambil dari :


https://emedicine.medscape.com/article/81039-overview Diakses: 13
Agustus 2019

Lohsiriwat, V. 2012. ‘Hemorrhoids: From basic pathophysiology to clinical


management’, World Journal of Gastroenterology, 18(17), pp. 2009–2017.
doi: 10.3748/wjg.v18.i17.2009.

Margetis, N. 2019. ‘Pathophysiology of internal hemorrhoids’, Annals of


Gastroenterology, pp. 1–9. doi: 10.20524/aog.2019.0355.

Nugroho, S.H.P. 2014. Hubungan Aktivitas Fisik dan Konstipasi dengan Derajat
Hemoroid di URJ BEDAH RSUD Dr. Soegiri Lamongan. 2(18): 41-50.

Pearce, dan C. Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologis Untuk Para Medis. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.

Pearl KR. 2014. Hemorrhoids national digestive diseases information clearinghouse.


Jersey Shore University Medical Center. USA. Diambil dari:
http://digestive.niddk.nih.gov/diseases/pubs/hemorrhoids/Hemorrhoids.pdf
Diakses: 6 Januari 2020

Pigot, F., L. Siproudhis, F. A. Allaert. 2005. Risk Factors Associated with


Hemorrhoidal Symtoms in Specialized Consultation. Gastroenterol Clin Biol.
29: 1270-74

61
Prince, S. A. dan L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed. 6. Vol. 1. Jakarta: EGC.

Riwanto Ign. 2010. Usus Halus, Apendiks, Kolon dan Anorektum. Dalam:
Sjamsuhidajat R, Jong WD, penyunting. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC. 788-92.

Safyudin, Damayanti, L. 2017. Gambaran Pasien Hemoroid Di Instalasi Rawat Inap


Departemen Bedah Rumah Sakit Umum Pusat dr . Mohammad Hoesin
Palembang. Vol 4. Palembang: Universitas Brawijaya.

Sarles, Harry, J. R. 2013. Approach to Hemorrhoids: A primer for


Gastroenterologist, Gastroenterology & Endoscopy News. 64 (1): 1-4.

Sarosy, C. 2012. Hemorrhoid Care Medical Clinic & Vein Treatment Center.
Available At: http://www.hemorrhoid.net.

Schwartz SI, Shires GT. 2012. Principles of Surgery. 7th Edition. Singapore:
McGraw-Hill, pp: 657-658.

Setiawan, M.R et al. 2015. Buku Ajar Ilmu Bedah. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang.

Slavin, J. L. 2008. Position statement of the American Dietetic Association: health


implications of dietary fiber. Journal of the American Dietetic Association.
108(10):1716–1731

Sudarsono, D.F. 2015. Diagnosis Dan Penanganan Hemoroid. Vol 4. Lampung:


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Sun, Z. dan J. Migaly. 2016. Clinics in Colon and Rectal Surgery. [Review of book
Hemorrhoid Disease: Presentation and Management]. (1): 22-29.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4755769/#__ffn_sectitle
(25 Juli 2019)

Thornton, S.C. 2019. Hemorrhoids. Diambil dari:

62
https://emedicine.medscape.com/article/775407-overview#a4 (24 Juli 2019).

Wandari, N.N. 2011. Prevalensi Hemoroid di RSUP Haji Adam Malik Medan
Periode Januari 2009-Juli 2011 [Karya Tulis Ilmiah]. Medan. Universitas
Sumatera Utara. 6-9.

Wibowo, H., Erlinengsih, A. Gusman, dan R. Syahira. 2018. Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Hemoroid Di Poliklinik Bedah Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Jambi. Vol 2. Jambi: Universitas Muhammad
Natsir Bukittinggi.

Yamana, T. 2017. ‘Japanese Practice Guidelines for Anal Disorders I. Hemorrhoids’,


Journal of the Anus, Rectum and Colon, 1(3), pp. 89–99. doi:
10.23922/jarc.2017-018.

Yulisa, S., B. Simangunsong, dan F. Lumongga. 2018. Karakteristik Penderita


Hemoroid di RS Tk II Kesdam I/ Bukit Barisan Medan Tahun 2015-2016.
Jurnal Kedokteran Methodist. Vol. 11(1). http://ojs.lppmmethodistmedan.net

63
%

64

Anda mungkin juga menyukai