Anda di halaman 1dari 30

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI Referat

KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN Agustus 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

ASPEK LABORATORIUM LEPTOSPIROSIS

Disusun Oleh:
Nursyahidah C0142020
Idris 80
Hasyemi C0142020
Rafsan Zani 81
Siti Noormadya Siradja C0142020
82

Residen Pembimbing :

dr. Linda Mayliana

Supervisor Pembimbing :

dr. Uleng Bahrun,Sp.PK (K),PhD

DEPARTEMEN ILMU

PATOLOGI KLINIK

FAKULTAS

KEDOKTERAN
UNIVERSITAS

HASANUDDIN

MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :
Nursyahidah Idris C014202080
Hasyemi Rafsan Zani C014202081
Siti Noormadya Siradja C014202082

Judul Referat : Aspek Laboratorium Leptospirosis


Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada departemen Ilmu
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Makassar, 21 Agustus 2021

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing,

dr. Uleng Bahrun, Sp.PK (K), PhD

Residen Pembimbing,

dr. Linda Mayliana

2
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan...............................................................................................2

Daftar Isi...................................................................................................................3

Bab I Pendahuluan...................................................................................................4

Bab II Tinjauan Pustaka...........................................................................................6

2.1 Definisi........................................................................................................6

2.2 Epidemiologi...............................................................................................6

2.3 Etiologi........................................................................................................7

2.4 Faktor Risiko...............................................................................................9

2.5 Patogenesis................................................................................................10

2.6 Manifestasi Klinis.....................................................................................13

2.7 Kriteria Diagnostik....................................................................................14

2.8 Pemeriksaan Laboratorium.......................................................................15

2.8.1 Pemeriksaan Lab Klinik Umum......................................................15


2.8.2 Pemeriksaan Bakteri.......................................................................17

2.8.3 Pemeriksaan Serologis....................................................................21


2.8.4 Pemeriksaan Molekular..................................................................25

2.9 Tatalaksana...............................................................................................25

2.10 Komplikasi..............................................................................................27

2.11 Prognosis.................................................................................................27

Bab III Kesimpulan................................................................................................28

Daftar Pustaka........................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Leptospirosis adalah suatu penyakit zoon
osis yang disebabkan oleh
mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya. Penyakit ini pertama sekali dikemukakan oleh Weil pada
tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini
dengan penyakit lain yang iuga menyebabkan ikterus.1 Di antara genus
leptospira, hanya spesies interogans yang patogen untuk binatang dan
manusia. Sekurang- kurangnya terdapat 180 serotipe dan 18 serogrup. Satu
jenis serotipe dapat menimbulkan gambaran klinis yang berbeda,
sebaliknya, suatu gambaran klinis, misalnya meningitis aseptik, dapat
disebabkan oleh berbagai serotipe. Leptospirosis memiliki manifestasi
klinis yang luas dan bervariasi. Pada leptospirosis ringan dapat terjadi
gejala seperti influenza dengan nyeri kepala dan mialgia. Leptospirosis
berat ditandai oleh ikterus, gangguan ginjal, dan perdarahan, dikenal

2
sebagai sindrom Weil.

Menurut
International Leptospirosis Society (ILS), Indonesia
merupakan negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi, serta

1
menempati peringkat ketiga di dunia untuk tingkat mortalitas. Penularan
leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang tersebar di seluruh
dunia dan ditransmisikan baik secara langsung ataupun tidak langsung dari
binatang ke manusia (zoonosis). Transmisi dari manusia ke manusia dapat
terjadi, namun sangat jarang. Transmisi leptospira ke manusia terjadi
karena kontak dengan urin, darah, atau organ dari binatang terinfeksi; serta
kontak dengan lingkungan (tanah, air) yang terkontaminasi leptospira.
Insiden leptospirosis di negara tropis saat musim hujan sebanyak 5-
20/100.000 penduduk per tahun. Selama wabah dan dalam kelompok
risiko tinggi paparan, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari 100 per
100.000 penduduk.2
Di Indonesia, leptospirosis tersebar di Propinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Lampung, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat. Jumlah pasien laki-laki dengan leptospirosis lebih tinggi
dibandingkan perempuan. Hal ini mungkin mencerminkan paparan dalam
kegiatan yang didominasi laki-laki. Angka kematian akibat leptospirosis di
Indonesia termasuk tinggi, mencapai 2,5%- 16,4% dan hal ini tergantung
sistem organ yang terinfeksi. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian
mencapai 56%.2
Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan
dalam melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan
sederhana memakai mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan
leptospira dalam urine. Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya
leptospira pada darah atau urine atau ditemukannya hasil serologi positif.
Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit
ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji
laboratorium. Oleh karena itu, penting mengangkat Aspek Laboratorium
Leptospirosis pada referat ini agar dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis pasti leptospirosis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit infeksi akut pada manusia dan hewan
(zoonosis) yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira sp yang terdiri dari
lebih 300 serovar. Pada manusia umumnya disebabkan oleh Leptospira
interogans (Gambar 1) yang ditemukan dalam air seni dan sel-sel hewan yang
terkena.3
Penyakit ini pertama sekali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang
membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang
iuga menyebabkan ikterus. Leptospirosis berat disebut juga dengan Weil’s
disease. Nama lain leptospirosis adalah mud fever, slime fever, swamp fever,
autumnal fever, infectious jaundice, field fever, canicola fever dan lain-lain.1

Gambar 1. Leptospira interogans dengan mikroskop elektron.1


2.2 Epidemiologi
Penularan leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang tersebar
diseluruh dunia dan ditransmisikan baik secara langsung ataupun tidak langsung
dari binatang ke manusia (zoonosis). Transmisi dari manusia ke manusia dapat
terjadi, namun sangat jarang. Leptospirosis tersebar luas di negara - negara yang
beriklim tropis termasuk Indonesia. Lingkungan di wilayah tropis sangat
mendukung penyebaran bakteri Leptospira karena bakteri ini cocok hidup pada
lingkungan dengan temperatur hangat, pH air dan tanah netral, kelembaban dan
curah hujan yang tinggi.4
Menurut WHO, jumlah kasus leptospirosis berat lebih dari 500.000 per
tahun di seluruh dunia atau berkisar 10 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun
di regio tropikal dan 0,1 – 1,0 per 100.000 penduduk di temperate area. Angka ini
tentunya dibawah yang sebenarnya, karena kurangnya survailans dan sulitnya
menegakkan diagnosis pasti.1
Di Indonesia, leptospirosis masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat, terutama di daerah rawan banjir. Indonesia adalah negara dengan
curah hujan yang tinggi dan di beberapa daerah yang sering terjadi banjir, seperti
Jawa Barat, sebagian wilayah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera,
Nangroe Aceh Darusalam. Kondisi tersebut berpotensi terjadinya Kejadian Luar
Biasa (KLB) Leptospirosis. Saat musim banjir terdapat 3 hal yang harus kita
perhatikan, yaitu : 1) Genangan air dapat menimbulkan risiko munculnya penyakit
leptospirosis juga demam berdarah; 2) hygiene sanitasi terutama keterbatasan air
berpotensi menyebabkan penyakit infeksi, termasuk leptospirosis dan 3)
kelembaban udara yang tinggi.1
Pada tahun 2014, terjadi KLB Leptospirosis di Kabupaten Kota Baru
Kalimantan Selatan juga peningkatan kasus terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan
DKI Jakarta setelah terjadi banjir besar yang cukup lama pada tahun yang sama
dengan jumlah kasus 435 dengan 62 kematian. Laporan dari Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa Case Fatality Rate (CFR)
tertinggi kasus leptospirosis pada tahun 2016 ada di Provinsi Banten sebesar 60%,
Daerah Istimewa Yogyakarta 35,29% dan Jawa Tengah 18,29%. 5
Penelitian seroprevalensi di Yaman mendapatkan kadar IgG positif pada
42% populasi penelitian. Kadar tertinggi didapati pada pekerja selokan (80%),
diikuti pada pekerja sanitari rumah sakit (60%), pekerja konstruksi bangunan
(37,5%), dan petani (37%). Antibodi terendah ditemukan pada pekerja rumah
potong hewan (36,4%). Seroprevalensi pada donor darah 25%, lebih rendah bila
dibandingkan dengan populasi berisiko. Seropositif leptospira IgG antibodi
ditemukan lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan (42,6% : 34,4%).
Seropositif antibodi tertinggi pada kelompok usia lanjut (81,8%). Seropositif
antibodi pada populasi yang tinggal di daerah rural dan urban tidak berbeda
bermakna.1
2.3 Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponemataceae,
suatu mikroorganisrne spirochaeta. (Gambar 2) Ciri khas organisme ini yakni
berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus,
lebarnya 0.1 - 0,2 um. Salah satu ujung organisme sering membengkak,
rnembentuk suatu kait. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya
flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga dalam mikroskop lapangan
gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan
lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat
dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop
lapangan gelap (darkfield microscope) (Gambar 3). Leptospira rnembutuhkan
media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu
berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium
Fletcher’s (Gambar 4) dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.1

Gambar
2. Spirochaeta.1

Gambar 3. Spirochaeta pada mikroskop lapangan gelap.1


Gambar 4. Medium Fletcher.1
Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L.interrogans
yang pathogen dan L.biflexa yang non pathogen/saprofit. Tujuh spesises dari
leptospira pathogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA-nya, namun
lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang
didasarkan atas perbedaan serologis. Spesis L.interrogans dibagi menjadi
beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi serovar menurut komposisi
antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari serovar L.interrogans yang dapat
menginfeksi manusia di antaranya adalah: L. icterohaemorrhagiae, L. canicola, L.
pomona, L. grippothyphosa, L. javanica, L. calledoni, L. ballum, L. pyrogenes, L.
automnalis, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. andamana, L.
shermani, L. ranarum, L. bufonis, L. copenhageni, L. australis, L. cynopteri dan
lain-lain.1
2.4 Faktor Risiko
Faktor resiko lingkungan berdasarkan karakteristik lingkungan
terdiri dari:
1) Pemukiman, semakin padat pemukiman maka akan semakin sulit untuk
mengontrol kebersihan lingkungan tersebut, sehingga lingkungan yang
kotor merupakan habitat yang sangat baik bagi tikus dan meningkatkan
faktor resiko bakteri Leptospira berada di dalam tikus tersebut
2) Ketinggian tempat, semakin rendah tempat tinggal maka akan semakin
sulit untuk mengalirkan air hingga akhirnya akan banyak terbentuk
genangan air yang dapat menjadi media sebagai tempat tikus
mengeluarkan urin dan akan menginfeksi manusia jika di genangan air
tersebut terdapat bakteri Leptospira.
3) Area luasan banjir, semakin luas area banjir dan ketika tikus yang
terinfeksi bakteri Leptospira mengeluarkan urinnya maka akan semakin
mudah penyebarannya dan akan banyak manusia yang terinfeksi bakteri
Leptospira.6
Faktor perilaku manusia terdiri dari:
1) Perawatan luka, luka merupakan jalan masuk yang mempermudah
bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia, luka yang tidak
diberikan perawatan seperti ditutup ketika ingin bersentuhan dengan
genangan air akan membuat semakin mempermudah bakteri Leptospira
masuk ke dalam tubuh manusia.
2) Penggunaan alat pelindung diri, alat pelindung diri merupakan alat yang
dapat mencegah infeksi bakteri Leptospira untuk masuk ke dalam tubuh
manusia, tidak menggunakan alat pelindung diri memperbesar faktor
resiko bakteri Leptospira untuk menginfeksi tubuh manusia.
3) Riwayat kontak dengan hewan, memilki riwayat kontak dengan hewan
peliharaan seperti anjing, kerbau, atau sapi yang merupakan hospes
perantara, apalagi kontak dengan tikus sebagai hospes definitif akan
memiliki resiko terkena Leptospirosis jauh lebih tinggi.
4) Riwayat kontak dengan genangan air, genangan air yang tercemar oleh
urin tikus yang mengandung bakteri Leptospira akan meningkatkan faktor
resiko infeksi dari bakteri Leptospira kepada manusia.
5) Pendidikan rendah, pendidikan yang rendah membuat pengetahuan dan
kesadaran diri mengenai pencegahan terhadap keselamatan diri dari bakteri
Leptospira kurang dilakukan.6
2.5 Patogenesis
Leptospira dapat masuk melalui luka di kulit atau menembus jaringan
mukosa seperti konjungtiva, nasofaring, dan vagina kemudian masuk ke dalam
darah, berkembang biak, dan menyebar ke jaringan tubuh. Leptospira juga dapat
menembus jaringan seperti ruang depan mata dan ruang subarakhnoid tanpa
menimbulkan reaksi peradangan yang berarti. Tubuh manusia akan memberikan
respon imunologik, baik secara selular maupun humoral.2
Beberapa penemuan menegaskan bahwa leptospira yang lisis dapat
mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain yang dapat menimbulkan gejala-
gejala klinis. Hemolisis dapat terjadi karena hemolisin yang bersirkulasi diserap
oleh eritrosit sehingga eritrosit tersebut lisis, walaupun di dalam darah sudah
terdapat antibodi. Diatesis perdarahan umumnya terbatas pada kulit dan mukosa,
tetapi pada keadaan tertentu terjadi perdarahan saluran cerna atau organ vital yang
dapat menyebabkan kematian. Setiap organ penting dapat terkena dan antigen
leptospira dapat dideteksi pada jaringan yang terkena. Gejala fase awal
ditimbulkan karena kerusakan jaringan akibat leptospira, sedangkan gejala fase
kedua timbul akibat respons imun pejamu. Beberapa organ yang mengalami
gangguan akibat toksin leptospira ialah ginjal, mata, hati, otot rangka, pembuluh
darah dan jantung. Bila leptospira masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS)
kemudian ke selaput otak, dapat menyebabkan meningitis yang merupakan
komplikasi neurologik tersering dari leptospirosis.2
Leptospira termasuk kuman nefrofilik yang dapat menyerang seluruh
bagian ginjal secara invasi langsung. Nefritis interstisial dengan infiltrasi sel
mononuklear dapat terjadi tanpa adanya gangguan fungsi ginjal. Selanjutnya
pasien dapat mengalami nekrosis tubuler, yang dapat menyebabkan komplikasi
acute kidney injury (AKI), disebut juga sindrom pseudohepatorenal. AKI
merupakan penyebab kematian yang penting pada leptospirosis. Pada kasus yang
meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau
nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal minggu ke-2 terlihat
banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal, sedangkan yang meninggal
setelah minggu ketiga ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal.2
Leptospira juga ditemukan di antara sel-sel parenkim hati. Leptospirosis
dapat menyebabkan infiltrasi sel limfosit dan proliferasi sel Kupffer disertai
kolestasis, yang mengakibatkan gejala ikterus. Keterlibatan organ hati pada
leptospirosis berat dapat dilihat dari kadar bilirubin yang tinggi dan membutuhkan
bermingguminggu untuk dapat kembali pada kadar normal. Dapat terjadi
peningkatan sedang kadar transaminase dan peningkatan ringan kadar alkali
fosfatase. Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain karena penurunan
hepatic flow dan toksin yang dilepaskan oleh leptospira. Leptospirosis berat dapat
menyebabkan pankreatitis akut, ditandai dengan peningkatan kadar amilase dan
lipase serta keluhan nyeri perut. Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan
oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal
yang akan menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin
darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler yang
meningkatkan kadar bilirubin, serta proliferasi sel Kupffer sehingga terjadi
kolestatik intra-hepatik.2
Gejala pada paru bervariasi, mulai dari batuk, dispneu, dan
hemoptisis sampai dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS)
dan severe pulmonary haemorrhage syndrome (SPHS). Kelainannya dapat
berupa kongesti septum paru, perdarahan multifokal, dan infiltrasi sel
mononuklear. Perdarahan dapat terjadi pada pleura, alveoli, dan
trakeobronkial. Efusi pleura mungkin juga dapat terjadi. Gambaran
infiltrat biasanya dapat terlihat pada daerah intra-alveolar dan perdarahan
interstisial. Baik infiltrat alveolar maupun dispneu merupakan indikator
yang buruk pada leptospirosis berat.2

Gambar 5. Diagram patogenesis leptospirosis.2


Gambar 6. Gambar patogenesis leptospirosis.2

2.6 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan rata-rata 10 hari.
Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas yaitu fase leptospiremia dan
fase imun.7
a. Fase leptospiremia
Fase ini ditandai dengan adanya leptospira di dalam darah dan cairan
serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang hebat terutama pada paha, betis, dan
pinggang disertai nyeri tekan. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit,
demam tinggi yang disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa
muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan
kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardia relatif, dan icterus
(50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya konjungtiva suffusion dan
fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash yang berbentuk macular, maculopapular,
atau urtikaria. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani, pasien akan
membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang terlibat dan
fungsinya akan kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada keadaan sakit
yang lebih berat, demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas demam selama 1-3
hari, setelah itu terjadi demam kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase
imun.7
b. Fase imun
Fase ini ditandai dengan peningkatan titer antibody, dapat timbul demam
yang mencapai suhu 40 derajat celcius disertai menggigil dan kelemahan umum.
Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher, perut, dan otot-otot kaki terutama
otot betis. Terdapat perdarahan berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal
dan hepar, uremia dan ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik,
purpura, petechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi perdarahan
paling sering. Conjungtiva injection dan conjungtiva suffusion dengan icterus
merupakan tanda patognomonis untuk leptospirosis. Terjadinya meningitis
merupakan tanda pada fase ini, walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis,
tetapi pleositosis pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal
dapat menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah 1-2
hari. Pada fase ini, leptospira dapat dijumpai dalam urin.7
2.7 Kriteria Diagnostik
Terdapat tiga kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus
leptospirosis, yaitu:
1. Kasus suspek : Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala, disertai
nyeri otot, lemah (malaise), conjungtival suffusion, dan riwayat
terpapar dengan lingkungan yang terkontaminasi atau aktifitas yang
merupakan faktor risiko leptospirosis dalam kurun waktu 2 minggu.
2. Kasus probable: Dinyatakan probable disaat kasus suspek memiliki dua
gejala klinis di antara berikut: nyeri betis, ikterus, manifestasi
pendarahan, sesak nafas, oliguria atau anuria, aritmia jantung, batuk
dengan atau tanpa hemoptisis, dan ruam kulit. Selain itu, memiliki
gambaran laboratorium: trombositopenia 80%, kenaikan jumlah
bilirubin total >2 g% atau peningkatan SGPT, amilase, lipase, dan
creatine phosphokinase (CPK), penggunaan rapid diagnostic test (RDT)
untuk mendeteksi IgM anti-leptospira
3. Kasus konfirmasi: Dinyatakan sebagai kasus konfirmasi saat kasus
probable disertai salah satu dari: isolasi bakteri Leptospira dari
spesimen klinik, hasil polymerase chain reaction (PCR) positif, dan
serokonversi macroscopic agglutination test (MAT) dari negatif
menjadi positif.7
2.8 Pemeriksaan Laboratorium
2.8.1 Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum
Pemeriksaan laboratorium klinik umum memberikan hasil berbeda
antara leptospirosis yang ringan dan berat. Hasil pemeriksaan laboratorium
penderita dengan gejala leptospirosis berat memperlihatkan kelainan hasil
laboratorium yang sangat jelas.8
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah7 :
1. Pemeriksaan darah lengkap
Indikasi : sebagai alat diagnosis dini apabila gejala klinik tidak
khas. Dapat dilakukan hingga 7 hari sejek onset.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan : Hitung jumlah eritrosit,
hematokrit, hemoglobin, indeks eritrosit, jumlah leukosit dan
differential counting, hitung trombosit, serta laju endap darah.
2. Pemeriksaan kimia darah
Indikasi : untuk mendeteksi komplikasi kegagalan fungsi
multiple organ seperti hepar dan ginjal
Pemeriksaan yang dapat dilakukan : tes enzim hati dan bilirubin,
pemeriksaan BUN dan kreatinin, elektrolit darah
3. Urinalisis
Indikasi : untuk mendeteksi adanya kelainan pada ginjal
Pemeriksaan yang dapat dilakukan : pemeriksaan visual meliputi
kekeruhan, pemeriksaan miksroskopis untuk menilai ada
tidaknya leukosit, eritrosit, bakteri, kristal, dan sel epitel;
metode dipstick untuk menilai pH, glukosa, bilirubin, protein.
4. Analisa cairan serebrospinal
Indikasi : untuk mendeteksi adanya Leptospira dan meningitis
sebagai komplikasi neurologik leptospirosis
Pemeriksaan : visual, kimia, dan hematologi.
2.8.1.1 Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Leptospirosis
Ringan
Hasil pemeriksaan darah tepi penderita leptospirosis ringan,
ditemukan laju endap darah meningkat, jumlah lekosit tidak jelas,
kadang-kadang di bawah nilai normal, normal, atau sedikit
meningkat. Hasil tes fungsi hati ditemukan sedikit peningkatan
aminotransferase, bilirubin, dan alkali phospatase. Hasil
pemeriksaan urine ditemukan proteinuria, pyuria, dan sering
ditemukan hematuria mikroskopik. Juga ditemukan adanya hialin
dan granular cast pada minggu pertama sakit.8
2.8.1.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium pada Leptospirosis
Sedang-Berat
Pemeriksaan darah tepi tampak leukositosis dengan
pergeseran ke arah kiri, dan trombositopeni berat. Dari tes fungsi
ginjal ditemukan gangguan fungsi ginjal ditandai dengan
peningkatan kadar kreatinin plasma. Tingkat azotemia terjadi
bervariasi tergantung beratnya penyakit. Biasanya juga terdapat
hypokalemia atau hypomagnesemia. Tes fungsi hati pada
leptospirosis berat umumnya memperlihatkan peningkatan kadar
bilirubin darah cukup bermakna dengan sedikit peningkatan kadar
alkalin phosphatase. Peningkatan bilirubin umumnya tidak sesuai
dengan nilai tes fungsi hati yang lain. Hasil pemeriksaan pungsi
lumbal terutama ditemukan sel limfosit, kadar protein normal atau
sedikit meningkat, sementara kadar glukosa normal. Pada penderita
dengan ikterus berat, cairan serebrospinal tampak xantochrom.
Kelainan cairan serebrospinal tampak jelas pada minggu ke-2 sakit,
dan pleositosis pada cairan serebrospinal dapat terjadi sampai
berminggu-minggu. Perubahan alami yang tidak spesifik ini hanya
dapat dipakai untuk menduga adanya infeksi leptospirosis. Untuk
memastikan diagnosis, perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologi
spesifik.8
Gambar 7. Pemeriksaan laboratorium pada Leptospirosis. 8
2.8.2 Pemeriksaan Bakteri
2.8.2.1 Pemeriksaan Mikroskop
Hasil pemeriksaan ini dapat digunakan menegakkan
diagnosis leptospirosis secara pasti. Leptospira dari spesimen klinik
dilihat secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap
atau menggunakan mikroskop cahaya setelah preparat dicat dengan
pewarnaan yang sesuai. Agar bakteri tampak pada mikroskop
lapangan gelap diperlukan 104 Leptospira/ml, dengan harapan
setiap lapangan pandang tampak satu sel. Agar pemeriksaan
mikroskopis berhasil, sampel darah diambil dalam 6 hari sesudah
timbul gejala, jika lebih, Leptospira sulit ditemukan. Juga sangat
sulit menemukan Leptospira pada cairan serebrospinal, karena
jumlah bakteri sangat sedikit. Pemeriksaan ini sering memberikan
hasil yang keliru, karena adanya fibrin atau protein yang kelihatan
bergerak dan berwarna coklat (Brownian Motion), sehingga
spesifisitasnya rendah.

Gambar 8. Leptospira saat pemeriksaan mikroskop lapangan gelap8


Leptospira tampak sebagai organisme bergerak cepat,
berbentuk spiral pegas yang kurus, umumnya ditemukan dalam
biakan, darah, dan urine. Dari hasil penelitian, sensitifitas
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap 40,2% dan spesifisitas
61,5%, dengan nilai ramal positif 55,2% dan nilai ramal negatif
46,6%. Nilai rata-rata positif pada penderita dengan pemeriksaan
biakan positif cukup rendah yaitu 40%. Walaupun pemeriksaan ini
merupakan tes yang cepat, tetapi tidak disarankan digunakan
sebagai prosedur tes tunggal untuk mendiagnosis leptospirosis.
Keuntungan pemeriksaan ini: dapat digunakan untuk mengamati
Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah
banyak dan untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan
Microscopic Agglutination Test (MAT). Kelemahannya,
memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah bakteri
sedikit, Leptospira sulit ditemukan. Sensitifitas pemeriksaan ini
dapat ditingkatkan dengan memberikan pewarnaan. Metode
pewarnaan yang sering dipakai immunofluorescence. Teknik ini
dapat dilakukan untuk pemeriksaan urine, darah, dan tanah. Di
samping itu, Leptospira dapat juga diwarnai dengan
immunoperoksidase, sering digunakan untuk pemeriksaan sampel
darah dan urine. Pewarnaan histologis yang paling sering
digunakan untuk memperlihatkan Leptospira adalah pewarnaan
perak dan pewarnaan Warthin-Starry.8

Gambar 9. Pemeriksaan Leptospira dengan pewarnaan Immunofluorescence.8


Gambar 10. Pemeriksaan histopatologi Leptospira dengan pewarnaan Warthi
Starry.8
2.8.2.2 Isolasi Bakteri Hidup
Spesimen dari penderita dibiakkan pada media untuk
memperbanyak bakteri. Metode ini membutuhkan waktu cukup
lama, sangat mahal, dan memerlukan tenaga ahli berpengalaman,
dan sensitifitasnya rendah. Biakan bakteri memerlukan media yang
komplek dan rumit, yang harus mengandung perangsang
pertumbuhan dan antibiotika untuk menekan pertumbuhan
kontaminan. Masa pertumbuhan bakteri cukup panjang yaitu 6-8
jam/siklus, sehingga tidak mungkin dipakai mendiagnosis
lepotospirosis secara dini. Infeksi Leptospira pada binatang dan
manusia diperkirakan terjadi sangat singkat. Biasanya bakteri
ditemukan di dalam darah selama 8 hari dari pertama sakit. Oleh
karena itu, darah diambil secepat mungkin. Pemberian antibiotika
dapat mempengaruhi keberhasilan isolasi bakteri. Cairan
serebrospinal untuk biakan harus diambil pada minggu pertama
sakit. Sampel urine diambil pada minggu kedua sakit. Masa hidup
Leptospira dalam urine sangat terbatas. Urine harus cepat diproses
dengan sentrifugasi, sedimen yang diperoleh diresuspensi ke dalam
phosphate buffer salin(PBS) untuk menetralisasi pH kemudian
diinokulasi ke dalam medium dan diinkubasi pada temperatur 28 O -
30OC diamati setiap minggu. Sekarang sudah tersedia sistem biakan
yang dijual secara komersial.8
Gambar 11. Koloni Leptospira pada medium LVW (Leptospira
Vanaporn Wuthiekanun). 8
2.8.2.3 Deteksi Antigen Bakteri
Ada berbagai metode untuk mendeteksi antigen Leptospira
di antaranya : teknik radioimmunoassay (RIA), enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA), dan chemiluminescent
immunoassay. Deteksi antigen Leptospira pada spesimen klinik
lebih sensitif dan spesifik dibandingkan dengan pemeriksaan
mikroskop lapangan gelap. Beberapa teknik ini telah dievaluasi,
misalnya, metode RIA dapat mendeteksi 104 sampai 105
Leptospira/ml, metode ELISA dapat mendeteksi 105 Leptospira/ml.
RIA lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan langsung dengan
mikroskop lapangan gelap, tetapi kurang sensitif dibandingkan
biakan, terutama untuk pemeriksaan urine. Metode
chemiluminescent immunoassay memberi hasil tidak berbeda
dengan ELISA. Berdasarkan hasil penelitian, pemeriksaan antigen
Leptospira dalam urine penderita dengan metode dot-ELISA
menggunakan antobodi monoklonal LD5 dan LE1 memberi hasil
positif berturut-turut 75%, 88,9%, 97,2%, 97,2% dan 100% bila
sampel urine secara berurutan diambil pada hari ke 1, 2, 3, 7, dan
14 perawatan. Hasil penelitian ini cukup kuat untuk dapat
diterapkan dalam mendeteksi antigen di dalam urine. Leptospira
yang sudah diisolasi juga dapat dideteksi menggunakan metode
absorbsi aglutinin silang. Dengan memiliki panel antibodi
monoklonal, maka laboratorium yang mampu melakukan tes
aglutinasi mikroskopis, dapat mengidentifikasi isolat dalam waktu
relatif lebih cepat. Metode molekuler seperti polymerase chain
reaction (PCR), restriction fragment length polymorphisms (RFLP)
juga dapat dipakai mendeteksi Leptospira. Di samping itu, serovar
atau serogup juga dapat ditentukan dari isolat Leptospira yang
diperoleh.8
2.8.3 Pemeriksaan Serologis
Sebagian besar kasus leptospirosis didiagnosis dengan tes serologi.
Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya
gejala. Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan, dan yang
dianggap paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test
(MAT).8
2.8.3.1 Microscopic Aglutination Test (MAT)
Microscopic aglutination test (MAT) adalah tes untuk
menentukan antibodi aglutinasi di dalam serum penderita. Cara
melakukan tes adalah serum penderita direaksikan dengan suspensi
antigen serovar Leptospira hidup atau mati. Setelah diinkubasi,
reaksi antigen-antibodi diperiksa di bawah mikroskop lapangan
gelap untuk melihat aglutinasi. Pada uji aglutinasi mikroskopik,
peningkatan titer empat kali lipat dari serum akut ke konvalesens
merupakan konfirmasi diagnosis.9
MAT hingga kini masih digunakan sebagai gold standard
pemeriksaan leptospirosis. Keuntungan utama adalah spesifitasnya
tinggi namun kekurangannya adalah MAT membutuhkan fasilitas
khusus untuk kultur dan pemeliharaan panel Leptospira hidup.
Bakteri ini sangat mudah terkontaminasi baik antar serovar
maupun bakteri lain yang dapat menyebabkan ketidaktepatan
dalam pembacaan hasil. Oleh karena itu selain keterampilan teknis
pekerja laboratorium, pemeliharaan kultur Leptospira adalah time
consuming, terutama bila panel kulturnya terlalu banyak.
Kekurangan lain yang sering terjadi adalah ketika titer antibodi
belum cukup terdeteksi atau bila serovar infeksi tersebut tidak ada
dalam panel serovar hal itu diketahui hingga kini ada lebih dari
300 serovar didunia yang terbagi kedalam 25 serogrup.jadi harus
diketahui terlebih dahulu jenis serovar apa saja yang bersirkulasi
diwilayah tersebut untuk menentukan jenis dan jumlah serovar
dalam pelaksaan MAT di laboratorium. Sepasang serum dapat
memastikan diagnosis tanpa memperhatikan jarak waktu
pengambilan di antara kedua sampel. Jarak pengambilan antara
sampel pertama dan kedua sangat tergantung pada waktu antara
munculnya gejala dan penampilan gejala penyakit yang berat pada
penderita. Jika gejala penyakit leptospirosis sangat jelas, maka
jarak 3-5 hari sudah dapat mendeteksi peningkatan titer. Untuk
penderita dengan perjalanan penyakit kurang jelas atau jika
munculnya gejala tidak diketahui, maka jarak pengambilan sampel
pertama dan kedua antara 10-14 hari. Pemeriksaan serologis
menggunakan MAT kurang sensitif terutama untuk pemeriksaan
spesimen yang diambil pada permulaan fase akut, sehingga tidak
dapat digunakan menentukan diagnosis pada penderita berat yang
meninggal sebelum terjadinya serokonversi.10
Karena pemeriksaan MAT sangat kompleks, maka
dikembangkan sistem pemeriksaan antibodi Leptospira yang cepat.
Ada berbagai metode serodiagnostik untuk leptospirosis. Beberapa
di antaranya sudah tersedia secara komersial.10
2.8.3.2 Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan
untuk pemeriksaan sudah tersedia secara komersial dengan antigen
yang diproduksi sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM
umumnya digunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara
luas, teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi
antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan pertanda adanya
infeksi baru Leptospira atau infeksi yang terjadi beberapa minggu
terakhir. Test ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira
dengan cepat pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan
dengan MAT. Tes ini dapat mendeteksi antibodi IgM yang muncul
pada minggu pertama sakit, sehingga cukup efektif untuk
mendiagnosis penyakit. ELISA dapat juga digunakan untuk
mendeteksi antibodi IgM dalam cairan serebrospinal, saliva dan
urine.. ELISA biasanya hanya mendeteksi antibodi yang bereaksi
dengan antigen spesifik genus yang sangat luas, sehingga tidak
dapat menentukan serovar atau serogrup penyebab. Di samping
untuk mendeteksi IgM, metode ini dimodifikasi untuk mendeteksi
IgG dan IgA. Dipstick assay telah digunakan secara luas di
beberapa negara. Dari hasil pemeriksaan sampel darah yang
diambil pada fase akut, tes ini memberikan sensitifitas 60,1%, dan
bila sampel darah diambil pada fase konvalesen sensitifitasnya
meningkat menjadi 87,4%. Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas
IgM-ELISA dan IgM-dipstick komersial untuk mendeteksi
leptospirosis akut adalah 89,6-98% dan spesifisitasnya 90-92,7%
dengan nilai ramal positif 87,6-90% dan nilai ramal negatif 90,7-
92%.9
2.8.3.3 Tes Serologis Lain
Tes Macroscopic Slide Agglutination sudah pernah
dilakukan pada binatang dan manusia. Sering digunakan untuk
penapisan serum manusia atau binatang, tetapi sering memberikan
hasil positif palsu. Di samping itu, juga dapat dilakukan
pemeriksaan hemaglutinasi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
antibodi IgM dan IgG. Pemeriksaan indirect hemagglutination
(IHA) dikembangkan oleh Communicable Disease Control (CDC),
mempunyai sensitifitas 92%, spesifisitas 95%, dan dengan nilai
ramal negatif 92%, bila dibandingkan dengan MAT. Metode ini
tersedia secara komersial. Sensitifitas IHA pada populasi yang
endemi Leptospira memberikan hasil yang sangat bervariasi. Tes
aglutinasi mikrokapsul menggunakan polimer sintetik sebagai
pengganti sel darah merah telah dievaluasi secara luas di Jepang
dan China, ternyata lebih sensitif dibandingkan dengan MAT atau
ELISA-IgM untuk pemeriksaan fase akut, tetapi gagal mendeteksi
infeksi yang disebabkan oleh banyak serovar. Pemeriksaan
aglutinasi latex sederhana (simple latex agglutination assay)
mempunyai sensitifitas 82,3% dan spesifisitas 94,6%. Pemeriksaan
ini sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan keahlian dan
peralatan khusus. Reagen mempunyai masa hidup lama, walaupun
pada temperatur lingkungan daerah tropis.
Teknik lain adalah immunofluorescence, RIA,
counterimmunoelectroforesis dan immuno assay tetes tebal, tetapi
jarang digunakan.1 Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas,
terdapat pula uji serologis penyaring yang lebih cepat dan praktis
sebagai tes leptospirosis. Uji serologis penyaring yang sering
digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay, LeptoTek Dri
Dot, dan Leptotek Lateral Flow.9

Gambar 12. Prinsip Deteksi Antibodi menggunakan Lepto Dipstick. 9

Gambar 13. Interpretasi Dipstick. 9


2.8.4 Pemeriksaan Molekuler
2.8.4.1 Teknologi PCR
Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis
leptospirosis terutama pada fase permulaan penyakit. Alat ini dapat
mendeteksi Leptospira beberapa hari setelah munculnya gejala
penyakit. Akan tetapi, alat ini belum tersedia secara luas terutama
di negara berkembang. Untuk mendeteksi DNA Leptospira,
teknologi PCR membutuhkan sepasang primer dengan sasaran gen
spesifik, seperti gen rRNA 16S dan 23S, atau elemen pengulangan.
Di samping itu, ada juga yang disusun dari pustaka genom.
Umumnya teknologi ini sangat jarang dipakai untuk memeriksa
spesimen klinik. Keterbatasan PCR adalah tidak mampu untuk
mendeteksi jenis serovar yang menginfeksi. Walaupun demikian
PCR bermanfaat untuk epidemiologi dan kesehatan masyarakat.
Keuntungan pemeriksaan PCR adalah bila bakteri ada maka
diagnosis dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini
penyakit sebelum titer antibodi dapat dideteksi. Kelemahannya,
memerlukan peralatan dan tenaga ahli yang khusus. Disamping itu,
PCR dapat memberikan hasil positif palsu, apabila terkontaminasi
oleh DNA asing. Dia juga dapat memberi hasil negatif palsu,
karena spesimen klinik yang diperiksa sering mengandung inhibitor
seperti heparin dan saponin.8
2.8.4.2 Metode Pemetaan
Metode yang digunakan adalah mencerna DNA kromosom
menggunakan restriction endonuclease (REA), restriction
fragment length polymorphism (RFLP), ribotyping, pulsed-field
gel electrophoresis (PFGE) dari hasil PCR. Metode-metode ini
dapat digunakan untuk mendeteksi berbagai serovar.8
2.9 Tatalaksana
Pasien leptospirosis pada fase penyakit mana pun, pada kasus ringan obat
terpilih adalah doksisiklin. Obat alternatif adalah amoksisilin dan azitromisin
dihidrat. Antibiotik terpilih pada leptospirosis sedang-berat adalah penicillin G.
Antibiotik harus diberikan selama 7 hari, kecuali azitromisin dihidrat selama 3
hari.7
Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan akan membaik seiring
perbaikan kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan
hemodialisa temporer, seperti pada kondisi azotemia/uremia berat. Tindakan
supportif diberikan sesuai tingkat keparahan penyakit dan komplikasi yang
timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa diatur sebagaimana pada
penanggulangan gagal ginjal secara umum.7
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian
dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis
Leptospirosis Ringan Leptospirosis Berat
Antibiotik Dosis Antibiotik Dosis
Agen Lini Pertama
Doksisiklin 100 mg 2 kali sehari Penisilin G 1,5 juta unit setiap
per oral 6-8 jam
Agen Alternatif
Amoksisilin 500 mg 4 kali sehari Ampisilin iv 0,5-1 g setiap 6 jam
atau 1 g setiap 8
jam per oral
Ampisilin 500-750 mg 4 kali Azitromisin 500 mg sekali sehari
sehari dihidrat selama 5 hari
Azitromisin dihidrat Inisial 1 g, Seftriakson 1 g setiap 24 jam
dilanjutkan 500 mg
Sefotaksim 1 g setiap 6 jam
per hari untuk 2
hari berikutnya

Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intravena penicillin G,


amoxicillin, ampisilin, dan eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-
kasus ringan dapat dberikan antibiotik oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin, atau
amoxicillin maupun sefalosporin. Sampai saat ini, penisilin masih merupakan
pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotik bermanfaat jika leptospira
masih di dalam darah.7
2.10 Komplikasi
Meningitis aseptik merupakan kompli-kasi yang paling sering
ditemukan, namun dapat pula terjadi ensefalitis, mielitis, radikulitis, neuritis
perifer (tidak biasa) pada minggu kedua karena terjadinya reaksi
hipersensitivitas. Komplikasi berat pada penderita leptospirosis berat dapat
berupa syok, perdarahan masif dan ARDS yang merupakan penyebab utama
kematian leptospirosis berat. Syok terjadi akibat perubahan homeostasis tubuh
yang berperan pada timbulnya kerusakan jaringan. 3 Gagal ginjal, kerusakan
hati, perdarahan paru, vaskulitis dan ganguan jantung berupa miokarditis,
perikarditis dan aritmia jarang ditemukan walaupun umumnya sebagai
penyebab kematian. Meskipun jarang dapat ditemukan uveitis setelah 2 tahun
timbul gejala leptospira.2
2.11 Prognosis
Perkembangan penyakit leptospirosis yang lebih parah biasa disebut
penyakit Weil. Kemungkinan sembuh penyakit Weil tergantung organ mana yang
ikut terserang infeksi dn tingkat keparahannya. Kematian pada pasien
leptospirosis biasanya disebabkan oleh komplikasi gangguan paru, gangguan
ginjal, atau perdarahan dalam tubuh. Selain itu prognosis dari leptospirosis juga
berhubungan dengan status imunologis seseorang dan umur. Sekitar 90% kasus
leptospirosis adalah ringan, self-limited, sub-klinis, atau yang terganggu imunitas
tubuhnya memiliki resiko tinggi kematian. Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang
fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur dibawah 30
tahun. Pada usis lanjut menjadi 30-40%.12-13

BAB III
KESIMPULAN

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik
serotipenya Leptospirosis tersebar luas di negara - negara yang beriklim tropis
termasuk Indonesia.. Faktor perilaku manusia dan lingkungan merupakan faktor
resiko penyebab leptospirosis dengan masa inkubasi bakteri 2-26 hari, biasanya 7-
13 hari dan rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 2 fase penyakit yang khas
yaitu fase leptospiremia dan fase imun. Untuk mendiagnosis leptospirosis,
terdapat beberapa aspek laboratorium yang menjadi pemeriksaan penunjang
seperti, pemeriksaan laboratorium klinik umum, pemeriksaan bakteri,
pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekuler. Terapi diberikan medika
mentosa dengan antibiotik dan suportif. Prognosis umumnya baik namun bisa
terjadi gejala sisa. Pencegahan dini seperti meminimalisir masuknya bakteri ini ke
tubuh manusia dengan memiliki perilaku hidup bersih dan sehat dan juga menjaga
kesehatan lingkungan sekitar, diharapkan dapat melindungi dari serangan
leptospirosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Zein, U. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 6 Jilid 1. Jakarta :
Interna Publishing; 2017. p. 633-638.

2. Rampengan, H.N. Leptospirosis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas


Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Manado: 2016; Vol 8 (3):
143-150

3. NSW Multicultural Health Commmunication Service (2015).


Leptospirosis. Available from : https://www.mhcs.health.nsw.gov.au
4. Widjajanti W. Epidemiologi, Diagnosis, dan Pencegahan Leptospirosis.
J.Health.Epidemiol.Commun.Dis. 2019; Vol 5 (2): 62 – 68.
5. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Data dan Informasi
Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta; 2017.
6. Suwandi, Aziz. Leptospirosis : Intervensi Faktor Resiko Penularan. Bagian
Parasitologi dan Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung. 2019; Vol 8 (1): 234.
7. Setiati, Siti dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna
Publishing; 2014. p. 635-637.
8. Setiawan, I Made. Pemeriksaan Laboratorium untuk Mendiagnosis
Penyakit Leptospira. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII No. II.
2008 [cited 17 August 2020]. Available from :
https://pdfs.semanticscholar.org/ddff/57eb846a8edfc30040af66cd8f83476
64fa4.pdf.
9. Amin, Lukman Zulkifli. Leptospirosis. Jurnal CDK 243 Volume 43 No. 8.
2016. [cited 17 August 2020].
10. Farida Handayani dkk. Diagnosis Laboratoris Leptospirosis.Jakarta :
Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2019.
11. Sitohang Vensya R.,dkk. Petunjuk Teknis Pengendalian Leptospirosis.
Ed.1. Jakarta. 2017. Hal. 136.
12. Zein Umar. (2006). “Leptospirosis”, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, edisi 4. FKUI: Jakarta. Hal. 1845-1848.
13. BMJ. Leptospirosis: Prognosis. Feb 2017; Available from:
http://bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/913/follow-
up/prognosis.html.

Anda mungkin juga menyukai