Oleh:
Pembimbing:
Judul Referat:
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
ujian kepaniteraan klinik senior di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 27 Februari – 26 Maret 2023.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat
dan berkat-Nya Referat berjudul “Terapi Cairan pada Syok Septik” ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
ujian kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Siti
Fatimah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis
harapkan. Akhir kata, semoga referat ini membawa manfaat bagi banyak pihak
dan semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
2.1 Definisi...................................................................................................2
2.2 Epidemiologi..........................................................................................2
2.3 Etiologi...................................................................................................3
2.5 Patofisiologi...........................................................................................4
2.7 Diagnosis.............................................................................................10
BAB IV KESIMPULAN......................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Society of critical care medicine (SCCM), European society of intensive
medicine (ESIC), American college of clinical pharmacy (ACCP), American
Thoracic Society (ATS), surgical infection society (SIS) mendefinisikan syok
septik sebagai sepsis yang berhubungan dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
<90 mmHg, tekanan arteri rata-rata <60 mmHg) meskipun sudah mendapatkan
resusitasi cairan yang adekuat. Syok septik biasanya ditandai dengan perfusi
jaringan yang tidak adekuat dan disfungsi seluler yang luas. Berbeda dengan bentuk
syok lainnya (hipovolemik, kardiogenik, neurogenik, atau anafilaksis), disfungsi
seluler pada syok septik tidak selalu berhubungan dengan hipoperfusi. Sebaliknya,
blok metabolik pada tingkat seluler dan mikrosirkulasi yang menyebabkan
gangguan oksidasi seluler.7
2.2 Epidemiologi
Setiap tahun, angka kejadian sepsis dapat meningkat hampir 9%. Insidensi
sepsis dan sepsis berat telah meningkat selama dekade terakhir dari sekitar 600.000
menjadi lebih dari 1.000.000 rawat inap pertahun dari tahun 2000 sampai 2008,
karena hal ini terjadi peningkatan pengeluaran dana kesehatan dan menjadikan
perawatan pasien sepsis menjadi paling mahal pada tahun 2009, terhitung 5% dari
total biaya rumah sakit di Amerika Serikat. Kematian kasus untuk pasien dengan
sepsis telah menurun karena kemajuan dalam manajemen sepsis yang disediakan
oleh Surviving Sepsis Campaign. Sampel Rawat Inap Nasional Amerika Serikat
(NIS) dari tahun 2009 hingga 2012 menunjukkan angka kematian menurun dari
16,5% menjadi 13,8%. Namun, sepsis berat terus menduduki peringkat di antara
penyebab kematian paling umum pada pasien rawat inap. Selain itu 25% pasien
dengan sepsis berat dan 50% pasien dengan syok septik akan mengalami kematian.
Namun, kematian keseluruhan dari sindrom sepsis dapat bervariasi dari 30%
sampai 50% tergantung pada faktor demografis seperti usia, ras, jenis kelamin,
kondisi komorbid, dan adanya disfungsi organ.3
2
2.3 Etiologi
Prevalensi sepsis di Eropa tahun 2009 pada pasien dengan Perawatan Intensif
(studi EPIC II) mendapatkan bahwa infeksi bakteri gram negatif lebih banyak
dibandingkan etiologi lain yang menyebabkan sindrom sepsis dengan frekuensi
62%, diikuti oleh infeksi gram positif sebesar 47%, dengan mikroorganisme
dominan pada pasien Staphylococcus aureus (20%), Pseudomonas (20%), dan
Escherichia coli (16%). Tempat infeksi tersering pada pernapasan (42%), aliran
darah (21%), dan genitourinari (10%). Dalam penelitian ini juga didapatkan infeksi
gram negatif menyebabkan kematian yang lebih tinggi. Namun, bakteremia gram
positif seperti Acinetobacter atau pneumonia yang disebabkan Staphylococcus
menyebabkan 40% kematian, dan Pseudomonas pneumonia menyebabkan
kematian tertinggi sebesar 70%.7
Sindrom sepsis yang disebabkan oleh strain bakteri yang mengalami resistansi
terhadap obat (methicillin-resistant Staphylococcus (MRSA), enterococci yang
resisten terhadap vankomisin (VRE)) sedang meningkat dengan angka kejadian saat
ini 25%. Sindrom sepsi yang disebabkan oleh virus dan parasit lebih jarang angka
yang teridentifikasi pada 2% hingga 4% kasus.7
3
2.5 Patofisiologi
Syok sepsis dapat disebabkan karena respon inflamasi yang menyebabkan
aktivasi dari leukosit dan kerusakan serta disfungsi sel endotel, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan aktivasi sistem koagulasi. Respons inflamasi yang
berlebihan ini akan memicu terjadinya kerusakan jaringan sirkulasi yang akan
berakhir dengan disfungsi multiorgan dan akhirnya syok sepsis.10
1. Imun Non-Spesifik dan Mediator Inflamasi
Saat patogen memasuki tubuh maka sistem kekebalan bawaan tubuh kita akan
menjadi penangkap pertama dan bereaksi terhadap tanda-tanda awal infeksi
dengan mengaktivasi sel imun non-spesifik seperti neutrofil, makrofag, sel NK,
monosit, protein komplemen, dan lainnya yang bertujuan untuk mengendalikan
infeksi dengan cara yang tidak spesifik. Namun fungsi neutrofil dapat
menguntungkan dan merugikan Aktivasi neutrofil akan melepaskan berbagai
protease dan senyawa radikal bebas yang merusak endotel vaskular sehingga
dapat terjadi kebocoran kapiler difus yang menyebabkan volume intravaskular
menurun dan akhirnya hipotensi, selain itu pasien juga mungkin mengalami
depresi miokard. Selain itu aktivasi monosit juga akan menyebabkan peningkatan
aktifkan kaskade koagulasi intrinsik dan ekstrinsik, Aktivasi trombosit dan
kaskade koagulasi dapat menyebabkan pembentukan agregat fibrin-platelet, yang
selanjutnya akan mengurangi aliran darah ke jaringan.selain itu hipoksemia yang
disebabkan oleh ARDS (Acute Respiratory Distress Sydrome) akan semangkin
memperparah hipoksia jaringan.7,10,11
Selain sel imun non spesifik tubuh juga akan memberikan sinyal ke sistem
kekebalan adaptif untuk dukungan dan pengaturan tambahan. Pengenalan sinyal
patogen akan mengarah pada pelepasan molekul sitokin dan kemokin seperti IL-1,
TNF-α, IL-2, IL-6, IL-8, IL-10, IFN-γ, dan PAF, yang terlibat dalam program
kematian sel. Sitokin proinflamasi yang diproduksi ini berperan dalam aktivasi
dan proliferasi leukosit, kerusakan dan disfungsi sel endotel, peningkatan
permeabilitas kapiler, dan aktivasi sistem koagulasi. Pada sepsis, terdapat respon
imun yang berlebihan sehingga dapat terjadi kerusakan dan kematian dari sel dan
jaringan host.10
4
2. Disregulasi Homeostasis
Pada sepsis terjadi aktivasi dari kaskade koagulasi dan inflamasi secara
bersamaan. Interaksi ini dapat bermanifestasi klinis sebagai trombositopeni ringan
hingga fulminant disseminated intravascular coagulation (DIC). Etiologi dari
disregulasi koagulasi pada sepsis adalah multifaktorial. Hiperkoagulasi pada
sepsis dapat disebabkan oleh produksi dari tissue factor pada kerusakan sel
endotel. Kerusakan endotel akan memicu produksi dari thrombin, aktivasi platelet,
dan formasi klot. Mikrotrombi ini dapat menyebabkan gangguan pada perfusi
yang berakhir dengan hipoksia dan disfungsi jaringan. Selain peningkatan
aktivitas koagulan, pada pasien sepsis juga dapat ditemukan penurunan efek dari
antikoagulan. Hal ini menyebabkan disregulasi kaskade koagulasi. Selain itu,
karena adanya peningkatan TNF-α dan IL-1β terdapat juga fibrinolisis pada pasien
sepsis.10,11
3. Disfungsi Sel, Jaringan, dan Organ
Mekanisme yang mendasari disfungsi jaringan dan organ pada sepsis adalah
penurunan pengiriman dan penggunaan oksigen oleh sel akibat hipoperfusi.
Hipoperfusi terjadi karena disfungsi kardiovaskular yang terlihat pada sepsis.
Insiden kardiomiopati septik bervariasi dari 18% hingga 60% dalam berbagai
penelitian. Hal ini diduga terkait dengan sitokin yang bersirkulasi, seperti TNFα
dan IL-1β, yang dapat menyebabkan depresi miosit jantung dan mengganggu
fungsi mitokondrianya yang akhirnya menyebabkan fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang rendah disertai dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang normal atau
rendah (tidak seperti pada syok kardiogenik). Berbagai penelitian juga
menunjukkan terjadinya disfungsi sistolik dan diastolik dengan ditandainya
penurunan volume sekuncup dan peningkatan volume akhir diastolik dan akhir
sistolik pada sepsis.10
Selain itu, terjadi juga dilatasi arteri dan vena (diinduksi oleh mediator
inflamasi) yang mengakibatkan aliran balik vena berkurang. Terdapat pelebaran
tersebut disertai kebocoran cairan intravaskular ke dalam ruang interstitial sebagai
akibat dari hilangnya fungsi penghalang endotel yang disebabkan oleh perubahan
pada cadherin endotel akan menyebabkan hipotensi dan syok pada penderita
sepsis. Semua perubahan hemodinamik tubuh tersebut bersamaan dengan
trombosis
5
mikrovaskular dan dapat menyebabkan hipoperfusi jaringan dan organ.
Akibatnya, terjadi peningkatan glikolisis anaerobik dalam sel yang menghasilkan
produksi asam laktat. Selain itu, spesies oksigen reaktif (ROS) yang dihasilkan
oleh respon inflamasi menyebabkan disfungsi mitokondria dan penurunan kadar
ATP. Mekanisme ini menyebabkan kerusakan pada tingkat sel.10
Pengaruh signifikan pada endotelium dengan gangguan fungsi barrier,
vasodilatasi, peningkatan adhesi leukosit, dan pembentukan keadaan prokoagulan.
Hal ini menyebabkan akumulasi cairan edema di ruang interstitial, rongga tubuh,
dan jaringan subkutan. Di paru-paru, ada gangguan penghalang alveolar-endotel
dengan akumulasi cairan kaya protein di ruang interstisial paru dan alveoli. Hal ini
dapat menyebabkan ketidak sesuaian ventilasi-perfusi, hipoksia, dan penurunan
komplians paru yang menghasilkan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
dalam kasus yang ekstrim. Pada ginjal, kombinasi penurunan perfusi ginjal,
nekrosis tubular akut, dan defek yang lebih halus pada mikrovaskulatur dan
tubulus bersama-sama menghasilkan cedera ginjal akut dengan derajat yang
bervariasi. Pada saluran cerna, peningkatan permeabilitas lapisan mukosa
menyebabkan translokasi bakteri melewati usus dengan baik dan autodigesti usus
oleh enzim luminal. Di hati, terjadi supresi klirens bilirubin yang menghasilkan
kolestasis. Mental yang berubah biasanya dicatat pada sepsis dan merupakan
indikasi disfungsi SSP. Perubahan endotel yang dijelaskan di atas merusak
penghalang darah-otak, menyebabkan masuknya racun, sel inflamasi, dan sitokin.
Perubahan selanjutnya menyebabkan edema serebral, gangguan neurotransmitter,
stres oksidatif, dan materi putih.10
1. Kardiovaskular
Pathogenesis yang terjadi pada arteri yang disebabkan oleh sepsis disertai vena
dilatasi menyebabkan hipotensi, yang bisa sangat parah. Selain itu, depresi miokard
diamati pada hingga 60% pasien septik. Mekanisme yang tepat dari kardiomiopati
septik ini tidak jelas. Tingkat troponin yang sedikit meningkat biasanya diamati dan
dapat dikaitkan dengan tingkat keparahan sepsis.12
2. Pulmoner
Cedera paru yang dimediasi sitokin menghasilkan peningkatan permeabilitas
alveolar dan endotel kapiler, menyebabkan edema paru nonkardiogenik, yang
mengganggu oksigenasi dan ventilasi. Perkembangan hipoksia dan asidosis
metabolik menghasilkan takipnea yang signifikan. Insiden sindrom gangguan
pernapasan akut (ARDS) pada pasien dengan sepsis adalah 7%. Pemantauan
parameter pernapasan yang cermat adalah kunci dalam mengidentifikasi pasien
yang memerlukan intubasi dan ventilasi mekanis karena kelelahan otot
pernapasan.12
7
3. Renal
Cedera ginjal akut terkait sepsis (AKI) berkontribusi secara signifikan terhadap
morbiditas dan mortalitas sepsis. Pada ginjal, kombinasi penurunan perfusi ginjal,
nekrosis tubular akut, dan defek yang lebih halus pada mikrovaskulatur dan tubulus
bersama-sama menghasilkan cedera ginjal akut dengan derajat yang bervariasi.
Faktor risiko perkembangan AKI adalah usia lanjut, penyakit ginjal kronis, dan
penyakit kardiovaskular. Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa
pathofisologinya multifactorial dan berhubungan dengan perubahan hemodinamik,
disfungsi endotel, inflamasi parenkim ginjal, dan obstruksi tubulus dengan sel
nekrotik dan debris. Resusitasi volume yang cepat, mencegah hipotensi dan
menghindari penggunaan agen nefrotoksik, seperti kontras intravena, dapat
membantu mengurangi risiko berkembangnya AKI. Setelah AKI berkembang,
dosis obat yang tepat, menghindari kelebihan volume dengan penggunaan diuretik,
dan manajemen elektrolit yang hati-hati diperlukan.12
4. Hematologik
Manifestasi hematologi primer adalah anemia, leukositosis, neutropenia,
trombositopenia, dan koagulasi intravaskular diseminata (DIC). DIC didiagnosis
dengan trombositopenia, dan pemanjangan waktu protrombin atau waktu
tromboplastin parsial teraktivasi. DIC pada sepsis dapat muncul sebagai perdarahan
dari banyak tempat atau trombosis pembuluh darah kecil dan sedang. enyebab
presentasi pada DIC ini adalah adanya adanya kelainan pada sistem koagulasi dan
fibrinolitik.12
5. Gastrointestinal
Gagal hati adalah komplikasi syok septik yang jarang terjadi namun signifikan,
terjadi pada kurang dari 2% pasien septik, dengan dampak nyata pada morbiditas
dan mortalitas. Disfungsi hati septik didiagnosis dengan peningkatan konsentrasi
bilirubin lebih dari 2 mg/dL dan koagulopati dengan rasio normalisasi internasional
lebih besar dari 1.5. Patofisiologi dikaitkan dengan perubahan hemodinamik,
seluler, molekuler, dan imunologi yang menyebabkan hipoksia parenkim.
Manifestasi klinis meliputi hepatitis hipoksia, kolestasis yang diinduksi sepsis,
koagulopati, dan hiperamonemia, menyebabkan ensefalopati hepatik.12
8
6. Endokrin
Hiperglikemia umum terjadi pada pasien septik dan dikaitkan dengan
peningkatan glukagon, katekolamin, kortisol, dan resistensi insulin gabungan
hormon pertumbuhan yang diinduksi oleh pelepasan sitokin. Glukosa harus sering
dipantau pada syok septik, dengan tujuan menjaga glukosa darah kurang dari 180
mg/dL, sambil menghindari kontrol yang terlalu agresif dan episode hipoglikemik
terkait. Selain disregulasi metabolik, 8% sampai 9% pasien dengan sepsis berat
memiliki bukti insufisiensi adrenal, yang selanjutnya dapat berkontribusi pada
ketidak pekaan katekolamin. Pasien septik juga mengalami defisiensi vasopresin
karena penipisan simpanan, peningkatan aktivitas vasopresinase, dan
penghambatan produksi vasopresin yang dimediasi oksida nitrat. Sumbu
hipotalamus-hipofisis-tiroid juga dapat terpengaruh selama sepsis, yang
menyebabkan hipotiroidisme klinis; namun, tidak ada bukti yang mendukung
pengobatan hipotiroidisme septik.12
7. Neurologi
Mental yang berubah biasanya dicatat pada sepsis dan merupakan indikasi
disfungsi SSP. Perubahan endotel yang dijelaskan di atas merusak penghalang
darah-otak, menyebabkan masuknya racun, sel inflamasi, dan sitokin. Ensefalopati
septik adalah manifestasi umum dari sepsis berat dan syok septik. Gejala dapat
berupa perubahan status mental, perubahan siklus tidur/bangun, disorientasi,
agitasi, dan halusinasi. Perubahan selanjutnya menyebabkan edema serebral,
gangguan neurotransmitter, stres oksidatif. Penyebab reversibel ensefalopati adalah
hipoksemia, hiperkapnia, hipoglikemia, hiponatremia atau hipernatremia, toksisitas
obat, hiperamonemia, dan insufisiensi tiroid, harus dinilai dengan cepat dan
disingkirkan.10,12
9
2.7 Diagnosis
Syok septik didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas
sirkulasi dan metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara
signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi syok septik adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean
arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun
telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat.13
Pada pasien sepsis biasanya ditemukan adanya tanda tanda infeksi sistemik.
Tanda dan gejala dari sepsis tidak spesifik namun dapat ditemukan beberapa tanda
dan gejala yaitu tempratur >38 ̊C atau <36 ̊C, takikardi, takipneu, dan sistolik
<90mmHg atau MAP <70mmHg. Tanda dan gejala bisa bervariasi sesuai dengan
tempat infeksinya. Pada fase awal sepsis, kulit yang hangat mungkin ditemukan
pada pasien. Namun, bila sepsis berprogres menjadi syok, kulit bisa dirasakan
dingin. Penurunan capillary refill dan sianosis dapat menandakan adanya syok.
Gejala hipoperfusi seperti penurunan kesadaran, kegelisahan, dan oliguria tau
anuria bisa ditemukan. Pemeriksaan kultur dan rontgen juga dapat dilakukan dalam
membantu menegakkan diagnosis sepsis dan syok septik.14
Untuk diagnosis sepsis, harus terdapat paling sedikit 2 kriteria SIRS dan
terdapat atau curiga infeksi. Pada tahun 2016, Society of Critical Care Medicine
(SCCM) / European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) mengevaluasi
kriteria identifikasi pasien sepsis, dengan membandingkan kriteria tradisional SIRS
dengan metode lain, yaitu Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring.
Berdasarkan analisis direkomendasikan SOFA score untuk menilai derajat
disfungsi organ pada pasien sepsis. Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ, yaitu
respirasi, koagulasi, hepar, kardiovaskular, sistem saraf pusat, dan ginjal dipilih
berdasarkan telaah literatur, masing-masing memiliki nilai 0 (fungsi normal)
sampai 4 (sangat abnormal) yang memberikan kemungkinan nilai dari 0 sampai
24.15,16
Namun, menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi
sepsis segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring
qSOFA. Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-related)
Organ Failure Assessment (SOFA).
10
qSOFA hanya terdapat tiga komponen penilaian yang masing-masing bernilai satu.
Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ. Skor qSOFA
direkomendasikan untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami perburukan
dan memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU. Pasien
diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih dari
3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji
qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA.15,16
a. Cairan Intraseluler
Cairan intraseluler merupakan cairan yang terkandung di dalam sel. Cairan
intraseluler berjumlah sekitar 40% dari berat badan. Pada cairan intraseluler
memiliki ion kalium dan fosfat dalam jumlah besar, ion magnesium dan sulfat
dalam jumlah sedang, ion klorida dan natrium dalam jumlah kecil, dan hampir tidak
ada ion kalsium. Sel juga memiliki protein dalam jumlah besar, hampir lebih dari
empat kali lipat di dalam plasma.17
b. Cairan Ekstraseluler
Jumlah relatif cairan ekstraselular menurun seiring dengan bertambahnya usia,
yaitu sampai sepertiga dari volume total pada dewasa. Cairan ekstraselular terbagi
menjadi cairan interstitial dan cairan intravaskular. Cairan interstitial adalah cairan
yang mengelilingi sel dan termasuk cairan yang terkandung diantara rongga tubuh
seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi
saluran pencernaan. Sementara, cairan intravaskular merupakan cairan yang
terkandung dalam pembuluh darah, dalam hal ini plasma darah. Cairan ekstraseluler
meliputi kation ; natrium (Na+ = 136-145 mEq/L), kalium (K+ = 3,5-5,5 mEq/L)
dan kalsium (Ca2+ = 8,4-10,5 mEq/L) dan anion ; klorida ( mEq/L) dan hidrogen
karbonat (HCO3- 22-26 mM). Ion-ion ini penting untuk transportasi air ke seluruh
tubuh. Plasma sebagian besar adalah air (93% volume) dan mengandung protein
terlarut (protein utama adalah fibrinogen, globulin, dan albumin), glukosa, faktor
pembekuan, ion mineral (Na+, Ca++, Mg++, HCO3- Cl- dll.), hormon dan karbon
dioksida (plasma menjadi media utama untuk transportasi produk ekskresi). Zat
terlarut ini terlibat dalam banyak proses fisiologis yang bervariasi, seperti
pertukaran gas, fungsi sistem kekebalan, dan distribusi obat ke seluruh.17
c. Kebutuhan Cairan pada Tubuh
Makanan dan minuman yang masuk ke dalam tubuh dengan cara oral dapat
menjadi asupan cairan dan elektrolit dalam keadaan normal. TBW juga dipengaruhi
oleh proses metabolisme yang berlangsung. Normalnya, keluaran cairan tubuh
dapat terjadi melalui urin, insensibel water loss, dan juga melalui saluran cerna.
Sedangkan dari keadaan patologis seperti muntah, diare, trauma, ataupun
perdarahan aktif, merupakan beberapa cara yang menyebabkan tubuh dapat
kehilangan cairan. Kebutuhan cairan setiap harinya dapat ditentukan dengan rumus
Holiday-Segar.
13
Pada bayi dan anak
Tabel 3. Kebutuhan cairan menurut Holiday-Segar
Berat Badan Kebutuhan cairan per hari Kebutuhan cairan per jam
Sampai 10 kg 100 ml/kgBB 4 ml/kgBB
Berat 11-20 1000 ml + 50 ml/kgBB (setiap kg di atas 40 ml + 2 ml/kgBB (setiap kg di atas
kg 10 kg) 10 kg)
Berat >20 kg 1500 ml + 20 ml/kgBB (setiap kg di atas 60 ml + 1 ml/kgBB (setiap kg di atas
20 kg) 20 kg)
Kebutuhan kalium 2,5 mEg/kgBB/hari
Kebutuhan natrium 2-4 mEq/kgBB/hari
15
Hipertonis
Jika kristaloid berisi lebih elektrolit dari plasma tubuh, itu lebih terkonsentrasi
dan disebut sebagai “hipertonik” (hiper, tinggi, tonik, konsentrasi). Administrasi
dari kristaloid hipertonik menyebabkan cairan tersebut akan menarik cairan dari sel
ke ruang intravascular. Efek larutan garam hipertonik lain adalah meningkatkan
curah jantung bukan hanya karena perbaikan preload, tetapi peningkatan curah
jantung tersebut mungkin sekunder karena efek inotropik positif pada miokard dan
penurunan afterload sekunder akibat efek vasodilatasi kapiler viseral. Kedua
keadaan ini dapat memperbaiki aliran darah ke organ-organ vital. Efek samping
dari pemberian larutan garam hipertonik adalah hipernatremia dan hiperkloremia.
Contoh larutan kristaloid hipertonis: Dextrose 5% dalam 1⁄2 Normal Saline,
Dextrose 5% dalam Normal Saline, Saline 3%, Saline 5%, dan Dextrose 5% dalam
RL.
Hipotonis
Ketika kristaloid mengandung elektrolit lebih sedikit dari plasma dan kurang
terkonsentrasi, disebut sebagai “hipotonik” (hipo, rendah; tonik, konsentrasi).
Ketika cairan hipotonis diberikan, cairan dengan cepat akan berpindah dari
intravascular ke sel. Contoh larutan kristaloid hipotonis: Dextrose 5% dalam air, 1⁄2
Normal Saline.
b. Cairan Koloid
Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi
dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak
lama dalam ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada
pasien dengan defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik
sebelum diberikan transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat
dan kehilangan protein jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Berdasarkan jenis
pembuatannya, larutan koloid terdiri dari17 :
1. Koloid Alami
Koloid Alami yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5% dan
25%). Dibuat dengan cara memanaskan plasma 60°C selama 10 jam untuk
membunuh virus hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain
mengandung albumin (83%) juga mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Selain albumin, aktivator Prekallikrein (Hageman’s factor fragments) terdapat
dalam fraksi protein plasma dan sering menimbulkan hipotensi dan kolaps
kardiovaskuler.
16
2. Koloid Sintetik
Dextran
Koloid ini kol Dextrans diproduksi untuk mengganti cairan karena
peningkatan berat molekulnya, sehingga memiliki durasi tindakan yang lebih
lama di dalam ruang intravaskular. Namun, obat ini jarang digunakan karena
efek samping terkait yang meliputi gagal ginjal sekunder akibat pengendapan
di dalam tubulus ginjal, gangguan fungsi platelet, koagulopati dan gangguan
pada cross-matching darah.
Hydroxylethyl Starch (Hetastarch)
Cairan koloid sintetik yang sering digunakan saat ini. Pemberian 500 ml
larutan ini pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2
hari dan sisanya, yaitu starch yang bermolekul besar, sebesar 64% dalam waktu
8 hari. Hetastarch nonantigenik dan jarang dilaporkan adanya reaksi
anafilaktoid. Low molecular weight Hydroxylethyl starch (Penta- Starch) mirip
Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5 kali volume
yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai
plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak
mengganggu koagulasi maka pentastarch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi
cairan jumlah besar.
Gelatin
Merupakan bagian dari koloid sintesis yang terbuat dari gelatin, biasanya
berasal dari collagen bovine serta dapat memberikan reaksi. Larutan gelatin
adalah urea atau modifikasi succinylated cross-linked dari kolagen sapi. Berat
molekul gelatin relatif rendah, 30,35 kDa, jika dibandingkan dengan koloid
lain. Pengangkut berisi NaCl 110 mmol/l. Efek ekspansi plasma segera dari
gelatin adalah 80-100% dari volume yang dimasukkan dibawah kondisi
hemodilusi normovolemik. Efek ekspansi plasma akan bertahan 1-2 jam. Tidak
ada batasan dosis maksimum untuk gelatin. Gelatin dapat memicu reaksi
hipersensitivitas, lebih sering daripada larutan HES.
17
Resusitasi Cairan
Larutan intravena dapat dibagi menjadi dua kelas: (i) kristaloid, yang
merupakan larutan elektrolit dalam air yang melintasi bebas dari ruang vaskular ke
intersisial, dan (ii) koloid, yang mengandung molekul besar yang tidak dapat
menembus membran kapiler. Pemberian cairan resusitasi diawal sangat efektif dan
penting untuk menstabilkan hipoperfusi jaringan yang disebabkan oleh sepsis dan
syok septik.17
Sepsis merupakan salah satu kegawatdaruratan di dunia medis, maka cairan
harus diberikan sesegera mungkin ketika pasien sudah dicurigai sepsis dengan/atau
hipotensi dan peningkatan kadar laktat. Dalam guideline Surviving Sepsis
Campaign International pada tahun 2021 merekomendasikan untuk pasien dengan
hipoperfusi yang diinduksi sepsis atau syok septik disarankan setidaknya 30 mL/kg
cairan kristaloid IV harus diberikan dalam 3 jam pertama resusitasi. Pada pasien
dewasa dengan sepsis atau syok septik, guidelines 2021 lebih menyarankan
penggunaan larutan kristaloid yang seimbang (Balanced crystalloid solutions)
dibandingkan dengan saline (NACL 0,9%) untuk resusitasi.17
Pemberian cairan koloid tidak memberikan hasil yang baik dibandingkan
dengan pemberian cairan kristaloid dalam subkelompok gabungan sepsis, bersama
dengan pengeluaran albumin. Hal ini menjadikan penggunan kristaloid
direkomendasikan untuk diberikan terhadap pasien dengan sepsis atau syok septik.
Beberapa bukti menunjukan bahwa keseimbangan cairan positif berkelanjutan
selama perawatan Intensive Care Unit (ICU) berbahaya. Pada kondisi tertentu
seperti penyakit ginjal kronis, dekompensasi kordis, harus diberikan lebih hati-hati.
Pemberian cairan setelah resusitasi tahap awal membutuhkan kewaspadaan dari
kemungkinan pasien tetap merespon dengan pemberian cairan diawal.17
Beberapa teknik menilai respon cairan :
1. Passive Leg Raising Test
Penilaian ini untuk menilai pasien sepsis kategori responder atau non-
responder, dengan sensitivitas 97% dan spesitifitas 94%. Bila pulse pressure
bertambah >10% baseline, dianggap responder. Penilaian ini bertujuan untuk
menilai peningkatan cardiac output dengan pertambahan volume.
18
2. Fluid Challenge test
Mengukur kemaknaan perubahan isi sekuncup jantung (stroke volume) atau
tekanan sistolik arterial, atau tekanan nadi (pulse pressure). Pemberian cairan dapat
mengembalikan distribusi oksigen dalam darah dan perfusi ke organ vital untuk
mencegah ganguan kerusakan organ.
3. Stroke Volume Variation (SVV)
Penilaian variasi isi sekuncup jantung akibat perubahan tekanan intra-toraks
saat pasien menggunakan ventilasi mekanik.
Syarat penilaian responsivitas cairan dengan metode ini adalah17 :
a. Pasien dalam kontrol ventilasi mekanis penuh
b. Volume tidal 8-10 mL/kgBB (predicted body weight)
c. Tidak ada aritmia. Pasien masuk kategori responder bila SVV =12%.
19
Adapun Indikator untuk menilai keberhasilan resusitasi awal, sebagai berikut15:
1. Evaluasi Mean Arterial Pressure (MAP)
MAP merupakan driving pressure untuk perfusi jaringan atau organ terutama
otak dan ginjal. Batas rekomendasinya adalah 65 mmHg. Penetapan target MAP
yang lebih tinggi (85 mmHg dibandingkan 65 mmHg) justru meningkatkan risiko
aritmia. Target MAP lebih tinggi mungkin perlu dipertimbangkan pada riwayat
hipertensi kronis.
2. Laktat
Laktat sebagai penanda perfusi jaringan dianggap lebih objektif dibandingkan
pemeriksaan fisik atau produksi urin. Keberhasilan resusitasi pasien sepsis dapat
dinilai dengan memantau penurunan kadar laktat, terutama jika awalnya mengalami
peningkatan kadar laktat
3. TekananVena Sentral (CVP) dan Saturasi Vena Sentral (SvO2)
Tekanan CVP normal adalah 8-12 mmHg. CVP sebagai parameter panduan
tunggal resusitasi cairan tidak direkomendasikan lagi. Jika CVP dalam kisaran
normal (8-12 mmHg), kemampuan CVP untuk menilai responsivitas cairan (setelah
pemberian cairan atau fluid challenge) terbukti tidak akurat. Penggunaan target
CVP secara absolut seharusnya dihindari, karena cenderung mengakibatkan
resusitasi cairan berlebihan.
4. CO2 gap (Perbedaan kadar karbondioksida arteri dan vena (Pv-a CO2)
Peningkatan produksi CO2 merupakan salah satu gambaran metabolisme
anaerob. Jika peningkatan kadar laktat disertai peningkatan Pv-aCO2 atau
peningkatan rasio Pv-aCO2 terhadap Ca-vO2, kemungkinan besar penyebabnya
adalah hipoperfusi.
20
BAB III
LAPORAN KASUS
b. Heteroanamnesis
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
Riwayat penyakit sekarang
Pasien laki-laki 68 tahun datang diantar keluarga ke Rumah Sakit
Umum Daerah Klungkung dengan keluhan penurunan kesadaran sejak
kemarin sore. Pasien dikatakan sejak kemarin sore tidak nyambung ketika
diajak berbicara. Selain berbicara tidak sesuai dengan pertanyaan keluarga
mengatakan suara pasien terdengar pelo. Keluhan lainnya kulit pasien
nampak lebih kuning. Pasien dikatakan memiliki riwayat batuk sejak 3 hari
sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Pengobatan
-
Riwayat Penyakit Terdahulu
-
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes melitus dalam keluarga
disangkal.
21
c. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : menurun E1V3M4
Nadi : 122 kali/menit, lemah
Laju napas : 30 kali/menit
Tekanan darah : TDS 60 mmHg
Suhu : 35,9˚C
SpO2 : 85% via non rebreathing mask 12 lpm
22
23
d. Diagnosis Klinis
Syok Sepsis + Hipoksia Hepatik
e. Tatalaksana
1. IVFD RL 10 cc/kgBB dalam 30 menit, 50 ml dekstrosa 40% bolus
2. Dexamethason 4 mg bolus
3. Levofloxacin 500 mg intravena
4. Drip dobutamin 5 mcg/kgBB/menit
d. Monitoring
- Monitoring ketat dilakukan setiap 10 menit
- Setelah 30 menit pemberian cairan dan obat-obatan terdapat perbaikan
klinis pada pasien yaitu tekanan darah meningkat (90/60 mmHg).
Saturasi meningkat menjadi 89%, laju respirasi menurun menjadi 22 kali
per menit, dan kesadaran GCS E3V2M4.
Pembahasan Kasus
Beberapa tanda yang mengarahkan kondisi klinis pasien ini kearah syok
septik yang ditemukan pada pasien ini antara lain pada anamnesis ditemukan
penurunan kesadaran setelah didahului riwayat infeksi pada saluran pernafasan
pasien. Ditemukan juga perubahan pada bola mata dan warna kulit menjadi
kekuningan. Pada tekanan darah sistolik dibawah 100 mmHg dengan nadi
lemah, denyut jantung pada pasien ditemukan diatas 90 kali per menit. Laju
pernafasan diatas 20 kali permenit.
Adapun kriteria yang gunakan untuk menentukkan diagnosis kerja syok
septik adalah dengan quick SOFA (qSOFA). Dimana kriteria qSOFA adalah
laju pernafasan diatas 22 kali permenit, penurunan kesadaran, dan tekanan darah
sistolik dibawah 100 mmHg. Setelah ditemukan klinis mengarah ke kondisi
Syok
24
Septik dilakukan resusitasi awal dengan cairan Ringer Laktat tetes cepat
sebanyak 30 ml/kgBB disertai pemasangan kateter urine untuk monitoring.
Dari hasil pemeriksaan penunjang mengarah kepada syok septik sesuai
dengan kriteria American College of Chest Physian and Society of Critical
Medicine dimana adanya tanda infeksi berupa leukositosis dan tanda tanda
kegagalan fungsi organ (dalam kondisi ini ginjal dan hati) yang disertai dengan
hipotensi. Untuk kecurigaan sumber infeksi yaitu berasal dari infeksi paru
(pneumonia). Hal ini didukung oleh kriteria diagnosis pneumonia yang
terpenuhi yaitu terdapat dispneu disertai peningkatan laju pernafasan,
leukositosis dan gambaran pneumonia pada hasil foto rontgen.
Tekanan darah pasien menunjukkan perbaikan setelah diresuitasi (90/60
mmHg). Dengan jumlah MAP sebesar 70 mmHg, hal ini sesuai dengan prosedur
pemberian cairan yang memiliki target MAP diatas 65 mmHg. Saturasi oksigen
pada pasien mengalami peningkatan menjadi 89% dengan laju pernafasan
menurun menjadi 22 kali per menit. 30 menit setelah diberikan dextrose 40% 2
flash kadar gula dalam darah pasien tetap sebesar 20 mg/dL. Pasien dikonsulkan
ke dokter spesialis penyakit dalam dan disarankan untuk pindah rawat ke ruang
High Care Unit.
Pada kasus ini penatalaksanaan sudah sesuai dengan prosedur tetap
penanganan syok septik berdasarkan surviving sepsis companion yaitu
pemberian cairan resusitasi awal berupa kristaloid 10-20 ml/kgBB yang
dilanjutkan dengan pemberian antibiotik sesuai empiris (pada kasus ini dicurigai
pasien mengalami pneumonia). Pada kasus syok septik yang disertai dengan
hypoksia hepatik beberapa sumber menyarankan pemberian packed red cell
yang tidak diberikan segera pada pasien. PRC berfungsi meningkat oxygen
delivery sehingga diharapkan mampu memperbaiki kondisi hipoksia pada hati.
Tetapi atas pertimbangan jumlah hemoglobin pasien yang berada dalam range
normal, maka dari itu pemberian PRC tidak dilakukan.
25
BAB IV
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
27
10. McConnell KW, Coopersmith CM. Pathophysiology of septic shock: From
bench to bedside. Presse Med [Internet]. 2016 Apr;45(4):e93–8. Available
from: https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0755498216300148
11. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon AS. Sepsis: The evolution in definition,
pathophysiology, and management. SAGE Open Med [Internet]. 2019 Jan
21;7:205031211983504. Available from:
http://journals.sagepub.com/doi/10.1177/2050312119835043
12. Font MD, Thyagarajan B, Khanna AK. Sepsis and Septic Shock – Basics of
diagnosis, pathophysiology and clinical decision making. Med Clin North Am
[Internet]. 2020 Jul;104(4):573–85. Available from:
https://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0025712520300195
13. Levy MM, Evans LE, Rhodes A. The Surviving Sepsis Campaign Bundle:
2018 update. Intensive Care Med [Internet]. 2018 Jun 19;44(6):925–8.
Available from: http://link.springer.com/10.1007/s00134-018-5085-0
14. Kim K, Choi HS, Chung SP, Kwon WY. Septic Shock. In: Essentials of Shock
Management [Internet]. Singapore: Springer Singapore; 2018. p. 55–79.
Available from: http://link.springer.com/10.1007/978-981-10-5406-8_5
15. Putra IAS. Update Tatalaksana Sepsis. Vol. 46. Surakarta; 2019.
16. Putra IMP. Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. CDK-267 Journal. 2018 Dec
1;45(8):1–4.
17. Wiriansyah EP, Amalia DG, Tanra AH, Julia. Manajemen Terapi Cairan pada
Sepsis. Makassar; 2022 Juli.
28