Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya
lah, maka penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Asuhan Keperawatan Kritis
pada Klien pasien Sepsis
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kepada semua pihak yang
memberikan dukungan, terutama dosen fasilitator Ibu Harmayetty, S.Kp. M.Kes.yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima sebagai bahan masukkan guna
penyempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
1.2 Tujuan........................................................................................................2
2.1 SEPSIS.......................................................................................................3
2.1.1 Definisi....................................................................................................3
2.1.3 Klasifikasi...............................................................................................5
2.1.8 Komplikasi..............................................................................................10
2.1.10 Penatalaksaan......................................................................................13
iii
3.1 Pengkajian.................................................................................................20
BAB 4 PENUTUP...........................................................................................31
4.1 Kesimpulan................................................................................................31
4.2 Saran..........................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................32
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Sepsis masih menjadi penyebab kematian utama pada kasus-kasus kritis di berbagai
penjuru dunia. Lebih dari sepertiga kunjungan rumah sakit disebabkan oleh sepsis dan hampir
50% pasien yang masuk intensive care unit (ICU) adalah pasien dengan sepsis. Sepsis
dikaitkan dengan mortalitas hingga 40% dan sekitar sepertiga meninggal dalam 48 jam
pertama di ICU (Mclymont, 2016). Sepsis banyak ditemukan pada pasien yang dirawat di
Intensive Care Unit (ICU) dengan variabilitas outcome yang tinggi. Pasien sepsis dapat
meninggal karena progresi penyakit menjadi sepsis berat yang berlanjut menjadi syok septik
ataupun karena terjadinya multiple organ failure (MOF) yang disertai menurunnya imunitas
(Yao et al, 2014).
Sepsis terus menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Amerika Serikat.
Tren yang diidentifikasi selama 10 tahun terakhir menunjukkan insiden sepsis dan syok septik
meningkat (Kadri 2017). Laporan menunjukkan angka kematian di rumah sakit hampir 16%
untuk sepsis dan lebih besar dari 40% untuk syok septik (Singer 2016). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Qing Feng (2019) pada 175 pasien dengan sepsis, penyakit primer
terdapat pada penyakit multiple trauma, pankreatitis, pneumonia berat, infeksi perut, infeksi
saluran kemih, kolangitis berat, penyakit darah , dan penyakit jaringan ikat. Usia rata-rata dari
kelompok yang mati karena sepsis sekitar umur 65 tahun pada 46 pria dan kelompok yang
hidup pada usia sekitar 56 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Klouweberg (2019)
1371 pasien di ICU terdapat 1.251 pasien terkena sepsis. Mortalitas ICU pada hari ke 14
adalah 252 (18%). Di antara 1151 pasien di ICU yang mengalami kegagalan organ, 197
(17%) berevolusi ke tahap penyakit yang lebih parah atau meninggal, 145 (13%) tetap dalam
tahap yang sama, dan 809 (70%) membaik atau dipulangkan pada hari ke 14. di antara 167
pasien yang dirawat dengan kegagalan multi-organ, 67 (40%) meninggal, 91 (54%) membaik
atau keluar dari ICU, dan 6% tetap di ICU dengan kegagalan organ setelah hari ke 14.
Sepsis diawali dengan adanya kejadian systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) yang disertai dengan infeksi, Sepsis terjadi ketika mikroorganisme menyerang tubuh
dan mengaktifkan respon system inflamasi. Interaksi yang kompleks antara kekebalan (baik
bawaan maupun adaptif), peradangan, koagulasi, dan sirkulasi sering menyebabkan kerusakan
jaringan dan kegagalan organ. Salah satu penghambat penanganan awal sepsis adalah
kurangnya alat diagnostik. Selama beberapa tahun, kriteria systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) dianggap sebagai yang utama dalam mendiagnosis sepsis, namun terlalu
sensitif dan pada saat bersamaan menghasilkan 1 negatif palsu dari 8 kasus infeksi dan
kegagalan organ. Pada tahun 2016 muncul definisi sepsis terbaru dengan rekomendasi
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring dan quick SOFA (qSOFA) sebagai alat
diagnostik sepsis (Singer, 2016).
Pasien membutuhkan observasi dan intervensi secara intensif untuk mencegah
terjadinya perburukan dan komplikasi. Untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien
sepsis, peran petugas kesehatan khususnya perawat kritis sangat penting untuk memberikan
asuhan keperawatan yang intens..
1.2 TUJUAN
Tujuan Umum : Untuk mengetahui asuhan keperawatan kritis pada pasien dengan
sepsis
Tujuan Khusus :
a. Mengetahui definisi sepsis
b. Mengetahui etiologi sepsis
c. Mengetahui kriteria sepsis
d. Mengetahui patofisiologi sepsis
e. Mengetahui manifestasi klinis sepsis
f. Mengetahui Komplikasi sepsis
g. Mengetahui penatalaksanaan sepsis
h. Mengetahui penghitungan SOFA score
2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 SEPSIS
2.1.1 Pengertian
Kelompok besar yang berkaitan dengan penelitian sepsis meliputi
Protocolized Care for Early Septic Shock (ProCESS) di Amerika Serikat,
Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation (ARISE) di Australia, dan
Protocolised Management in Sepsis Trial (ProMise) di Inggris, melakukan evaluasi
dan implementasi terhadap kasus sepsis. Dengan demikian, diperoleh pedoman
baru, yaitu third international consensus definition for sepsis atau dikenal dengan
sepsis-3, Sepsis merupakan Gangguan fungsi organ akibat respons tubuh terhadap
infeksi yang mengancam jiwa (Singer, 2016).
2.1.2 Etiologi
Sepsis disebabkan oleh berbagai macam masalah, yang mendasari terjadinya
sepsis diantara bakteri gram negatif, bakteri gram posistif, jamur dan virus. Sumber
dari mikroorganisme ini sangat bervariasi diantaranya eksogen dan endogen.
Eksogen bersumber dari lingkungan rumah sakit dan pelayan kesehtan. Endogen
bersumber dari kulit pasien, sistem pencernaan, sistem respirasi, dan sistem
perkemihan. Bakteri gram positif lebih peka pada kasus sepsis. Sepsis dan syok
septik terkait dengan faktor ekstrinsik dan ekstrinsik
Tabel 1. Faktor presipitasi terkait dengan syok septik
Faktor intrinsik Faktor ekstrinsik
a. Umur rentan a. Alat invasif
b. Penyakit penyulit: b. Terapi obat
-Kebakaran c. Terapi cairan
-AIDS d. Luka bedah dan trauma
-Diabetes e. Prosedur diagnostik
-Penyalahgunaan zat pembedahan dan invasif
3
-Disfungsi satu atau lebih pada f. Terapi imunosupresif
organ ditubuh
c. malnutrisi
4
Clostridium Neuro, darah
Mycobacteriu Saluran
m pernapasan
Saluran
Mycoplasma pernapasan
Jamur Aspergillus Sistem Aspergillosis
pernapasan
(paru-paru) dan
Sistem imun
Candida Sistem peredaran Candidiasis
darah
Histoplasma Sistem Histoplasmosis
Pernapasan,
Sistem imun
Pneumocystis Sistem imun Pneumocystispneumonia
Jirovecii (HIV/AIDS) (PCP)
Virus Herpes Sistem Imun Sepsis neonatal
Simplex
Sistem Pneumonia, ARDS
Influenza Pernapasan
6
b. Penurunan tekanan darah
c. Wide pulse pressure
d. Full, bounding pulse
e. Kulit merah muda, hangat dan memerah
f. Respiratory Rate meningkat dengan cepat ataupun Respiratory Rate menurun
(lambat)
g. Crackles
h. Perubahan sensorium
i. Menurunnya urine output
j. Kenaikan suhu
k. Kenaikan cardiac output dan cardiac index
l. Penurunan systemic vascular resistance
m. Penurunan tekanan atrial kanan
n. Penurunan pulmonary artery occlusion pressure
o. Penurunan left ventricular stroke work index
p. Menurunnya PaO2
q. Menurunnya PaCO2 dengan cepat atau kenaikan PaCO2 terlambat
r. Menurunnya HCO2¯
s. Kenaikan SVO2 atau SCVO2
2.1.5 Patofisiologi
Sindrom sepsis berat dan shock sepsis adalah respon sistemik komplek ketika
mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dan menstimulasi sistem imun. Interaksi antara
host dan pathogen menyerang oraganisme dan melukai jaringan dan mengeluarkan
protein intraseluler, kemudian mengaktifkan neutrophil, monosit, limfosit, makrofag,
mast cell, dan platelet seperti enzim plasma (complement, kinin/kallikrein, coagulation,
dan fibrinolytic factor). Ketika reaksi infeksi mulai melokalisasi, infeksi akan dilawan
dan diberantas. Tetapi ketika ukuran infeksi yang masuk sangat besar atau pasien dengan
fisiologinya menghasilkan host response dengan efektif maka pertahanan yang dibangun
gagal. Dengan begitu sistem akan melepaskan pathogen, mengaktifkan sel-sel dan
mediator yang di dalamnya terdapat cytokines yang mengawaki munculnya interaksi
komplek yang menyebabkan SIRS.
7
Aktivasi secara sistemik dari berbagai macam fisiologis dan patofisiologis yang
terjadi mempengaruhi dari pembekuan darah yaitu pada distribusi dari aliran darah ke
jaringan dan organ, membaran permeable kapiler, dan keadaan metabolisme pada tubuh.
Selanjutnya, ketidakseimbangan antara oksigen di sel serta kebutuhannya mengakibatkan
hipoksia selular, kerusakan, koma, dan kematian.
Tanda dari adanya sepsis berat adalah kerusakan endothelial dan disfungsi dari
koagulasi. Tissue factor (TF) dikeluarkan oleh sel endothel dan monosit respon untuk
menstimulasi inflamasi sitokinin. Pengeluaran TF adalah awal dari coagulation cascade,
yang menimbulkan thrombosis microvaskuler yang tersebar luas dan stimulasi lebih
lanjut perjalanan infalamasi sistemik. Kerusakan endothel yang tersebar mengurangi
mekanisme-mekanisme endogenous anticlotting. Akbitanya mediator yang menstimulasi
supresi dari fibrolisis berjalan lambat dan koagulasinya mengalami kerusakan. Hal ini
berakibat DIC (Disseminate Intravascular Coagulation) karena adanya faktor-faktor
koagulasi, bleeding, dan hemorrhage.
Perubahan signifikan pada hemodinamik kardiovaskuler dikarenakan karena
aktivasi faktor inflamasi oleh sitokinin dan kerusakan endothel. Massive peripheral
vasodilation mengakibatkan berkembangnya relative hypovolemia. Peningkatan
permeabilitas kapiler mengakibatkan hilangnya volume intravascular ke interstitium,
dengan menekankan pengurangan di preload dan CO. Perubahan ini diimbangi dengan
adanya thrombosis mikrovaskular thrombosis, adanya maldistribusi sirkulasi volume
darah, penurunan perfusi jaringan, dan ketidakadekuatan hantaran oksigen ke sel.
Microcirculatory shunting adalah kunci dari terjadinya shock. Gangguan dari
kontraktilitas ventricular merupakan akibat dari aktifnya sitokinin.
Aktivasi dari saraf pusat dan sistem endokrin juga terjadi pada pada respon untuk
menyerang mikroorganisme. Aktivasi ini mempengaruhi stimulasi SNS (Sacral Nerve
Stimulation) dan pelepasan ACTH. Kejadian ini ini pemicu dari pelepasan epinephrine,
norepinephrine, glucocorticoids, aldosterone, glucagon, renin, dan growth hormone. Hal
ini berakibat pada pada berkembangnya keadaan hipermetabolik dan terjadinya
vasokontriksi renal, paru-paru, dan splanchnic bed. Vasokontriksi selektif pada
splanchnic bed memungkinkan menambah hipoperfusi pada gastrointestinal mucosal
barrier dimana area rentan untuk memiliki efek dari sitokinin inflamasi. Akibat luka usus
menyebarkan respon inflamasi.
8
Beberapa perubahan metabolism terjadi pada CNS (Central Nervous System),
sistem endokrin, dan aktivasi sitokinin. Keadaan hipermetabolik meningkatkan
pengeluaran energi dan kebutuhan oksigen, dan menambah hipoksia selular. Asam laktat
diproduksi sebagai hasil dari peningkatan metabolisme produksi laktat dan metabolism
anaerob. Glucocorticoids, ACTH, epinephrine, glucagon, dan growth hormone adalah
semua hormone katabolic yang dikeluarkan sebagai hasil respon. Berhubungan dengan
sitokinin, hormone ini menstimulasi katabolisme simpanan protein di organ visceral dan
musculoskeletal sebagai bahan produksi glukosa di liver, hiperglikemia, dan insulin
resistenace. Sitokinin juga menstimulasi penggunaan lemak untuk produksi energi
(lipolisis).
Kekacauan metabolisme pada sepsis berat dan shock sepsis termasuk dalam
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen meskipun aliran oksigen adekuat.
Disfungsi mitokondria adalah inti yang mendasari sistem kerjanya. Kegagalan bioenergy
mempunyai peran penting dalam perkembangan iskemia jaringan dan disfungsi multiple
organ. Perubahan patofisiologi yang saling berhubungan menghasilkan sebuah patologi
ketidakseimbangan kebutuhan antara oksigen seluler dan suplai oksigen selular.
Respon inflamasi sistemik yang berlebihan diasosiakan dengan sepsis berat dan
shock sepsis dimana ditemukan kematian sel disertai nekrosis iskemik dan apoptosis.
Apoptosis adalah kematian sel terprogram atau kematian selular yang dimediasi oleh
caspase-3, cysteine protease, affecting endothelial, gastrointestinal epithelial, dan sel-sel
imun secara khusus. Apoptosis berupa imun sel mengakibatkan immunosupresan dan
infeksi kedua yang juga melepaskan toksin-toksin sel imun. Iskemik nekrosis dan
stimulasi opoptosis lebih lanjut menyebab kan inflamasi, penyebaran secara terus-
menerus rantai infeksi, cedera jaringan, dan SIRS. Jika tidak berkurang, keadaan ini
akhirnya mengakibatkan MODS dan kematian.
2.1.6 WOC
Terlampir
2.1.7 Penegakan Kriteria Diagnostik
Kriteria untuk menentukan diagnosis sepsis berdasarkan sebagai berikut:
a. Variabel umum/kriteria diagnosis systemic inflammatory response syndrome
(SIRS) : Demam (>38,3 ̊ C), hipotermia (<36 ̊C),denyut jantung (>90 denyut
permenit atau >2 SD batas atas kisaran normal berdasarkan
9
usia),takipnea,perubahan status mental,Edema atau keseimbangan cairan
positif (>20 mL/kg berat badan selama periode 24 jam), Hiperglikemia
(glukosa plasma>140 mg/dL [7,7 mmol/liter]) dengan tidak adanya riwayat
diabetes.
b. Variable inflamasi : Leukositosis (jumblah sel darah putih >12.000/μL),
leukopenia (jumblah sel darah putih <4000/μL), jumblah sel darah putih
normal dengan >10% bentuk imatur, peningkatan plasma C-reactive protein
(>2 SD di atas batas atas kisaran normal),plasma prokalsitonin (>2 SD di atas
batas atas dari kisaran normal sesuai usia).
c. Variable hemodinamik : Hipotensi arteri (tekanan sistolik <90 mmHg,mean
arterial pressure (MAP) <70 mmHg atau penurunan tekanan sistolik >40
mmHg atau >2 SD dibawah kisaran normal sesuai usia),saturasi oksigen vena
campuran <70%, cardiac index >3,5 liter/menit).
d. Variable disfungsi organ : Hipoksemia arteri (PaO₂ /FiO₂ <300) oliguria akut
output urine <0,5 mL/kg/jam selama ≥2 jam), kreatinin >176,8 mmol/L,
kelainan koagulasi (INR >1,5 atau aPTT >60 detik),ileus paralitik (tidak ada
bising usus), trombisitopenia (trombosit <100.000 μL), hiperbilirubinemia
(plasma bilirubin total>34,2 mmol/L).
e. Variable perfusi jaringan : Hiperlaktemia (laktat >1 mmol/L) dan penurunan
waktu pengisian ulang kapiler.
2.1.8 Komplikasi
Hudak & Gallo (1996) menjelaskan komplikasi-komplikasi dari syok sepsis adalah
sindrom distress pernapasan dewasa (ARDS), koagulasi intravascular, dan kegagalan
banyak organ. Beberapa komplikasi di uraikan seperti di bawah ini:
a. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) ARDS tampak pada 60-70%
pasien dengan sepsis berat. Hal ini ditandai dengan adanya infiltrat paru pada
rontgen tanpa adanya gagal jantung kiri dan adanya kegagalan dalam
pertukaran gas paru yang ditandai dengan rasio PaO2/FiO2 dibawah 200
mmHg.
b. Iskemia Jantung Iskemia adalah ketidakcukupan suplai darah ke jaringan atau
organ tubuh. Iskemia timbul oleh adanya permasalahan pada pembuluh darah.
Kelainan intrinsik fungsi jantung ditemukan pada 40% pasien sepsis meskipun
10
curah jantung pada keadaan sepsis berada dalam batas normal atau bahkan
meningkat, gangguan fungsi jantung pada keadaan sepsis dapat meningkatkan
resiko terjadinya kematian karena penurunan curah jantung dan gangguan
perfusi perifer. Penurunan curah jantung pada keadaan sepsis yang disertai
gangguan respon intrinsik (neuro hormonal) organ kardiovaskular
bermanifestasi pada timbulnya gangguan hemodinamik yang ditandai oleh
penurunan tonus pembuluh darah perifer, gangguan perfusi sistem organ dan
terjadinya penurunan pompa jantung (sistolik) yang diakibatkan oleh dilatasi
ruang – ruang jantung (ventrikel) disertai gangguan compliance (diastolik).
(Jurnal Kardiologi Indonesia,2010).
c. Iskemia Mesenterika Iskemia mesenterika atau sering di sebut Iskemia usus
terjadi ketika aliran darah ke usus diperlambat atau dihentikan. Karena aliran
darah berkurang, maka sel-sel dalam sistem pencernaan akan kekurangan
pasokan oksigen, dan dapat menjadi lemah dan mati, hingga merusak usus.
Pada Sepsis terjadi gangguan kardiovaskular dimana suplai darah dari jantung
ke seluruh tubuh berkurang termasuk usus. Selain itu kerusakan fungsi jantung
juga bisa menyebabkan hal ini,dimana jantung mengeluarkan bekuan darah
yang mengakibatkan penyumbatan arteri mesenterika sehingga suplai darah
tidak sampai ke usus.
d. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) DIC merupakan suatu
sindroma yang ditandai dengan memuncaknya aktivasi koagulasi dalam
pembentukan fibrin intravaskular dan endapan di mikrovaskular. Endapan
tersebut akan mempengaruhi suplai darah ke organ dan dapat berkontribusi
dalam proses terjadinya kegagalan multi organ.
e. Gagal Hepar Disfungsi hepar terjadi pada jam pertama sepsis. Gangguan
ditandai dengan adanya hepatomegali dan total bilirubin > 2mg/dl. Dengan
penanganan yang tepat diharapkan proses disfungsi ini tidak berlanjut, karena
disfungsi hati lanjut lebih berbahaya dan lebih tidak menyenangkan bagi
penderita. Ditandai dengan perlukaan yang lebih mendalam yang dapat
memicu kegagalan multi organ. Gangguan Neuromuskular Otot skeletal juga
dipengaruhi oleh mediator inflamasi dan oksigen reaktif yang secara simultan
menurunkan sintesa protein dan proteolisis. Faktor faktor ini dapat menurunkan
11
kekuatan otot termasuk didalamnya otot pernapasan yang dapat menyebabkan
gagal napas akut.
f. Hipoperfusi serebral Jika sumber infeksi diluar CNS, gangguan neurologik
dapat dianggap sebagai ensefalopati septik. Beberapa kondisi lainnya dapat
menambah efek sekunder seperti hipoksemia, gangguan metabolik, elektrolit,
dan hipoperfusi serebral selama keadaan syok. Gejal dapat bervariasi mulai
dari agitasi, bingung, delirium, dan koma. Walaupun tidak terlihat defisit
neurologi tetapi dapat terjadi mioklonus dan kejang. Gangguan CNS berat
memerlukan proteksi jalan napas dan support ventilasi. (Jeffrey and Scott,
2012)
12
[nitrogen urea darah]; 0,5-1,5mg/dL [kreatinin serum])² karena
dehidrasi,gangguan atau gagal ginjal, dan disfungsi atau gagal hati.
8. Gas darah arteri: Dapat terjadi alkalosis respiratori dini dan hipoksemia.
Pada selanjutnya, hipoksemia, asidosis respiratori, dan asidosis metabolic
dan laktat terjadi karena gangguan mekanisme kompensasi.
b. Pencitraan
1. Ronsen dada dan abdomen: Menunjukan pneumonia,sumber infeksi
umum,udara bebas di abdomen dapat menunjukan perforasi organ karena
infeksi.
2. USG abdomen: Modalitas pilihan ketika ada kecurigaan pada saluran
empedu.
3. CT scan: Memastikan adanya abses abdomen atau adanya kecurigaan
gangguan pencernaan lain.
c. Prosedur Diagnostik
1. Kultur dan sensitivitas: Luka,sputum,urine,darah,cairan spinal,atau jalur
invasive untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk pilihan
pengobatan yang tepat.
2. Urinalisis: Adanya sel darah,protein dan bakteri dalam urine menunjukan
adanya infeksi (Dosen Keperawatan Medikal-Bedah Indonesia 2017)
2.1.10 Penatalaksanaan
Hudak & Gallo (1996) menjelaskan pasien dengan syok septik memerlukan
pemantauan cepat dan agresif serta penatalaksanaan dalam unit perawatan kritis. Hal ini
dikarenakan syok septik adalah proses yang kompleks dan umum, penatalaksanaannya
melibatkan seluruh organ dan memerlukan pendekatan tim dari berbagai disiplin.
Penatalaksanaanya meliputi identifikasi dan tindakan terhadap infeksi. Mengidentifikasi
dan membasmi sumber infeksi adalah hal yang paling penting. Pasien akan memerlukan
berbagai antibiotik untuk memberikan cakupan spektrum luas terhadap bakteri gram-
negatif dan gram positif dan bakteri anaerob. Banyak dokter secara empiris akan
menggunakan bakteri berspektrum luas, sefalosporin generasi ketiga, seperti sefotaksim
atau seftazidim, san suatu aminoglikosida, seperti gentamisin atau amikasin. Tindakan-
tindakan lainnya untuk mengisolasi dan menyingkirkan penyebab sepsis termasuk reseksi
13
atau drainase jaringan atau sekresi purulen.
Dengan menyingkirkan penyebab sespsi tidak memadai untuk mengatasi reaksi
sistem umum yang terjadi pada syok septik. Pasien memerlukan tindakan suportif untuk
menetapkan serta mempertahankan perfusi jaringan yang memadai selain terapi-terapi
lain yang ditujukan untuk menghambat atau mengganggu berbagai mediator yang terlibat
dalam proses syok. Aspek-aspek perawatan suportif termasuk memulihkan volume
intravasular, mempertahankan curah jantung, menjamin ventilasi dan oksigenasi yang
adekuat, memberikan lingkungan metabolic yang sesuai.
Penalaksanaan penting untuk syok septik:
a. Terapi-terapi definitife
a. Identifikasi dan singkirkan sumber infeksi
b. Multiple antibiotic
b. Terapi-terapi suportif
a. Pulihkan volume intravaskuler
b. Pastikan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat
c. Berikan lingkungan metabolic yang sesuai
c. Terapi-terapi penelitian
a. Antihistamin
b. Antibody monoklonal untuk:
a. Endotoksin dan eksotsosin
b. Faktor nekrosis tumor
c. Faktor-faktor komplemen
d. Nalokson
e. Inhibitor neutrophil
f. Inhibitor prostaglandin (obat-obat anti-inflamatori non steroidal)
g. Steroid
15
6. Beberapa pencegahan yang dapat diberikan agar terhindar dari sepsis
berulang
a. Beri tahu pasien tentang risiko infeksi dan sepsis berulang.
b. Pastikan penerimaan vaksin yang sesuai untuk pasien.
c. Dorong pasien untuk mencari perawatan medis untuk tanda dan gejala
infeksi.
d. Beri konseling pada pasien tentang tanda dan gejala infeksi yang
berkembang menjadi sepsis (mis., Penurunan produksi urin,
kebingungan, sianosis, kulit berbintik-bintik), yang menunjukkan
bahwa evaluasi segera diperlukan.
e. Untuk pasien dengan tanda atau gejala infeksi, anjurkan rontgen dada,
hitung sel darah lengkap, urinalisis, atau biakan untuk mengkonfirmasi
atau menyingkirkan kemungkinan infeksi.
f. Jadwalkan secara langsung atau tindak lanjut melalui telepon untuk
memantau peningkatan gejala pada pasien dengan dugaan infeksi.
2.1.12
16
2.2 SKOR SOFA (Sequential Organ Failure Assessment)
Skor SOFA adalah sistem Skor untuk menilai kegagalan organ terutama dimaksudkan
sebagai alat deskriptif untuk menstratifikasi dan membandingkan status pasien di ICU dalam
hal morbiditas, bukan mortalitas.
Disfungsi organ dapat diidentifikasi sebagai perubahan akut skor total SOFA
(Sequential (Sepsis-related) Organ Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya
infeksi. Skor SOFA meliputi 6 fungsi organ, yaitu respirasi, koagulasi, hepar, kardiovaskular,
sistem saraf pusat, dan ginjal dipilih berdasarkan telaah literatur, masing-masing memiliki
nilai 0 (fungsi normal) sampai 4 (sangat abnormal) yang memberikan kemungkinan nilai
dari 0 sampai 24 (Tabel 3). Skoring SOFA tidak hanya dinilai pada satu saat saja, namun
dapat dinilai berkala dengan melihat peningkatan atau penurunan skornya. Variabel
parameter penilaian dikatakan ideal untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ.
Perubahan skor SOFA memberikan nilai prediktif yang tinggi. Pada studi prospektif
352 pasien ICU, peningkatan skor SOFA 48 jam pertama perawatan memberikan mortalitas
paling sedikit 50%, sementara penurunan skor SOFA memberikan mortalitas hanya 27%.
17
Tujuan utama skoring kegagalan fungsi organ adalah untuk menggambarkan urutan
komplikasi, bukan untuk memprediksi mortalitas. Meskipun demikian, ada hubungan antara
kegagalan fungsi organ dan kematian.
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis segera
tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA. Sistem skoring
ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-related) Organ Failure Assessment (SOFA).
qSOFA hanya terdapat tiga komponen penilaian yang masing-masing bernilai satu (Tabel 5).
Pasien diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau lebih
dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan uji qSOFA yang
dilanjutkan dengan SOFA (Gambar).
18
TIDAK
19
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Kasus
Ny. E usia 27 tahun, sedang dirawat di ICU dengan diagnosis Sepsis + Efusi Pleura +
Suspect Kista Ovari. Sebelum dirawat di runag ICU klien adalah pasien rujukan dari RS yang
telah dirawat selama 14 hari. Sebelum MRS perut klien membesar sekitar 1 bulan dan sering
muntah. Tahun 2019 klien pernah dirawat dengan Efusi Pleura.
Pemeriksaan fisik :
TD: 96/69 mmHg, N : 142 x/menit, S: 36,7’ , RR : 20 x/mnt
Hasil pemeriksaan lab:
PH : 7,19
PaCO2 : 28 mmHg
PaO2 : 142 mmHg
HCO3 : 10,7 mmHg
AaDO2: 27.000 mmHg
WBC : 12,41.103 / PL
RBC : 3,1 . 106 / PL
Hb : 7,9 g/Dl
HCT : 24,9 %
PLT : 16,5.103 / PL
Klien mendapatkan terapi :
Ceftriaxon 1 gr/ 12 jam
Omeprazole 40 mg/ 12 jam
Metoclopramid 10 mg/ 8 jam
Ca Gluconas 1 gr/ 8 jam
Metamizole 1 gr/ 8 jam
Nama : Ny. E
Umur : 27 Tahun
20
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jl. Kenjeran IVb/10
Pekerjaan : Karyawan
Pendidikan : SMA
Tgl. MRS : 10 Februari 2020
Diagnose : Sepsis + Efusi Pleura + Suspect Kista Ovari
Alasan MRS : Perut membesar, sering muntah
a. Keluhan utama
Pada tahun 2019 pasien pernah dirawat di RS X dengan diagnosa efusi pleura.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Circulation (Sirkulasi)
Sirkulasi perifer:
Nadi: 142 x/mnt
Irama: ( ) Teratur (v) Tidak
Denyut: ( ) Lemah (v) Kuat
( ) Tidak Kuat
TD: 96/69 mmHg
Suhu : 36,7 oC
Ekstremitas:
(v) Hangat ( ) Dingin
Warna kulit:
( ) Cyanosis (v) Pucat
( ) Kemerahan
Nyeri dada: ( ) Ada
(v) Tidak
Karakterisrik nyeri dada:
( ) Menetap ( ) Menyebar
( ) Seperti ditusuk-tusuk
( ) Seperti ditimpa benda berat
Capillary refill:
(v) < 3 detik ( ) > 3 detik
Edema:
( ) Ya (v) Tidak
22
Lokasi edema:
( ) Muka ( ) Tangan
( ) Tungkai ( ) Anasarka
Disability
( ) Alert/perhatian
( ) Voice respons/respon terhadap suara
(v) Pain respons/respon terhadap nyeri
() Unrespons/tidak berespons
(v ) Reaksi pupil
Eksposure/Environment/Event
Tidak ditemukan bekas cidera maupun perdarahan.
3.4. Pemeriksaan penunjang
Hasil Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
pH 7,19 7,35-7,45
PaCO2 28 mmHg 35-45 mmHg
PaO2 142 mmHg 80-100 mmHg
HCO3 10,7 mEq/L 22-26 mEq/L
AaDO2 27.000 mmHg 17.000 mmHg
WBC 12,41 x 103/ µl 3,37-10,0 103/µL
RBC 3,1 x 106/ µl 3,69-5,46 106/µL
Hb 7,9 g/dL Male: 13,3-16,6 g/dL
Female: 11,0-14,7 g/dL
HCt 24,9% Male: 41,3%-52,1%
Female: 35,2%-46,7%
PLt 16,5 x 103/ µl 150-450 103/µL
3.5. Terapi
Ceftriaxone : 1gr/12jam
Omeprazole : 40mg/12jam
Metoclopramide : 10ml/8jam
Ca Gluconase : 1gr/8jam
Metamizole : 1gr/8jam
NO
DATA ETIOLOGI MASALAH
.
1 DS: - Masuknya Gangguan
23
DO: mikroorganisme Pertukaran Gas b.d
PaCO2 : 28 mmHg (Normal: ketidaksesuaian
35-44 mmHg) perfusi jaringan paru
PaO2 : 142 mmHg (Normal: Endothelial damage
80-100)
AaDO : 27.000 mmHg
Microvascular
(Normal: <20 mmHg)
thrombosis
HCO3 : 10 mEq/L (Normal
22-26 mEq/L)
Maldistribusi volume
darah
Penurunan suplai
oksigen selular
Ketidakefektifan
perfusi jaringan paru
Penurunan HCO3
Penurunan kesadaran
Gangguan
Pertukaran Gas
DS : - Resiko syok
dibuktikan dengan
DO :
sepsis, SIRS
- Nadi : 142 x/menit
- pH : 7,19
- PaCO2 : 28 mmHg
- PaO2 : 142 mmHg
- HCO3 : 10,7 mEq/L
- WBC : 12,41 x 103/pL
- Hb : 7,9 g/dL
- HCt : 24,9 %
- PLT : 16,5 x 106/ µl
Skor SOFA : 11
DS :- Masuknya Gangguan ventilasi
mikroorganisme spontan
DO :
- PaCO2 : 28 mmHg
24
- AaDO : 27.000 mmHg Aktivasi
- HCO3 : 10 mEq/L Biochemical,
- pH : 7,19 humoral, mediator
- MAP : 78 selular
Microvaskuler
trombosis
Maldistribusi volume
darah
Penurunan suplai
oksigen
Peningkatan dan
penurunan RR,
peneurunan HCO3
Gangguan ventilasi
spontan
25
3.8 RENCANA KEPERAWATAN
N
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
O
1 Gangguan pertukaran gas b.d 1. Tingkat kesadaran meningkat 4-5- Terapi Oksigen
ketidaksesuaian perfusi jaringan paru 6
2. Bunyi napas tambahan (crackles) Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen sesuai dengan
menurun
masker oksigen yang digunakan
3. PCO2 membaik dengan nilai 34- 2. Monitor posisi alat terapi oksigen, jangan sampai
45 mmHg berpindah dari tempat yang telah ditentukan
4. PO2 membaik dengan nilai 80-100 3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi (peningkatan RR
mmHg dengan cepat, atau penurunan RR dengan lambat,
5. Takikardi membaik dengan 60-100 crackles, penurunan kesadaran, penurunan HCO3)
x/menit
Terapeutik
6. pH arteri membaik dengan 7,35-
1. Bersihkan secret pada mulut, hidung, dan trakea
7,45 2. Berikan oksigen tambahan jika pasien
membutuhkan
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga penggunaan oksigen
jika di rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
Dukungan Ventilasi
Observasi
1. Identifikasi adanya kelelahan otot nafas
26
2. Monitor status pernapasan seperti: frekuensi,
kedalaman napas, penggunaan otot bantu napas,
bunyi napas tambahan, dan saturasi oksigen
Terapeutik
1. Berikan oksigen sesuai kebutuhan seperti bag-valve
jika diperlukan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronchodilator jika
diperlukan
27
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator
Pemantauan Respirasi
Observasi
1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya
napas
2. Monitor pola napas
3. Auskultasi bunyi napas
4. monitor nilai BGA
Manajemen Asam-Basa
Observasi
1. Identifikasi penyebab ketidakseimbangan asam-
basa
2. Monitor status neurologis (tingkat kesadaran,
status mental)
3. Monitor perubahan pH, PaCO2, dan HCO3
Terapeutik
1. Ambil spesimen darah arteri untuk pemeriksaan
BGA
3 Resiko Syok dibuktikan dengan sepsis, 1. Tingkat syok Pencegahan syok
SIRS - Heart Rate dalam batas
normal 60-100 x/menit Observasi
- Tidak terjadi asidosis 1. Monitor status kardiopulmonal (frekuensi dan
metabolic (pH, PaCO3, kekuatan nadi, frekuensi napas, TD, MAP)
HCO3) dalam batas normal 2. Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD)
- Nilai Leukosit/ WBC > 4000 3. Monitor status cairan (input dan output, turgor kulit,
atau < 12.000 CRT)
- Platelet < 100.000 mm3 4. Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil
28
2. Keseimbangan asam-basa 5. Periksa riwayat alergi terhadap obat antibiotic
- pH arteri dalam batas normal
7,35-7,45 Terapeutik
- hemoglobin dalam batas 1. Pertahankan jalan nafas paten
normal Female: 12.0-16.0 2. Pertahankan saturasi oksigen > 94%
g/dL 3. Pasang jalur IV untuk terapi cairan dan pemberian
3. Status cairan membaik dengan : obat intravena
- Tekanan dan frekuensi nadi 4. Pasang kateter urine untuk untuk menilai produksi
dalam batas normal urine
- Kadar Hb normal untuk 5. Lakukan skin test untuk mencegah alergi
Female: 12.0-16.0 g/dL
- Kadar Hematokrit normal Edukasi
Female: 36%-46% 1. Jelaskan penyebab/factor resiko terjadi syok (factor
4. Status sirkulasi membaik dengan inflamasi)
: 2. Jelaskan tanda dan gejala awal syok
- Tekanan nadi dalam batas 3. Anjukan melapor jika menemukan/merasakan tanda
normal 60-100 x/menit dan gejala awal syok
- PaCO2 normal 35-44 mmHg
- PaO2 normal 80-100 mmHg Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian transfuse darah, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian antiinflamasi
Edukasi
1. Jelaskan penyebab dan mekanisme terjadinya
gangguan asam-basa
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bikarbonat, jika perlu
30
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sepsis masih menjadi penyebab kematian utama pada kasus-kasus kritis di berbagai
penjuru dunia. Sepsis banyak ditemukan pada pasien yang dirawat di Intensive Care Unit
(ICU) dengan variabilitas outcome yang tinggi. Sepsis disebabkan oleh berbagai macam
masalah, yang mendasari terjadinya sepsis diantara bakteri gram negatif, bakteri gram
posistif, jamur dan virus.
Pasien membutuhkan observasi dan intervensi secara intensif untuk mencegah
terjadinya perburukan dan komplikasi. Untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien
sepsis, peran petugas kesehatan khususnya perawat kritis sangat penting untuk memberikan
asuhan keperawatan yang intens.
4.2 Saran
Penulisan makalah ini tentu jauh dari sempurna, baik dari penyajian, cara penulisan
maupun pengutipan dari berbagai sumber pustaka. Untuk itu penulis sangat mengharapkan
saran yang membangun dari pembaca sekalian, agar kelak makalah ini semakin baik.
31
DAFTAR PUSTAKA
Blot, S., et,al. 2019. Epidemiology Of Intra-Abdominal Infection And Sepsis In Critically Ill
Patients: “Abses” A Multinational Observational Cohort Study And ESICM
Trials Group Project. Intensive Care Med: https://doi.org/10.1007/s00134-019-
05819-3.
Dean L. Blood Groups and Red Cell Antigens [Internet]. Bethesda (MD): National Center for
Biotechnology Information (US); 2005. Table 1, Complete blood count. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2263/table/ch1.T1/. Diakses pada
tanggal 12 Februari 2020
Funk DJ, Parrillo JE, Kumar A. Sepsis and septic shock: a history. Crit Care Clin 2009;25:83-
101.
Hudak, C.M. & Gallo, B.M., 2004. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik 6th ed., Jakarta:
EGC
IDAI, 2016, KONSENSUS Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak, Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
John Wiley & Sons, Limited.2014. Critical care nursing: Diagnosis and
management.Canada: Mosby Elsevier
Kadri SS, Rhee C, Strich JR, et al. Estimating ten-year trends in septic shock incidence and
mortality in United States academic medical centers using clinical data. Chest
2017;151:278-85.
Klouwenberg, K. 2019. Predicting The Clinical Trajectory In Critically Ill Patients With
Sepsis : A Cohort Study. Critical Care: https://doi.org/10.1186/s13054-019-2687-z
Maureen, Iannuzzi.2009.AACN Advanced critical care nursing.Canada: Saunders Elseviers
Putra, Ivan Aristo S.,.2019. Update Tatalaksana Sepsis. CDK-280/Vol.46 No. 11dalam
Qing Feng, MD., et,al. 2017. Characterization Of Sepsis And Sepsis Associated
Encephalopathy. Journal Of Intensive Care Medicine: Vol.34(11-12) 938-945:
DOI :1 0.1 177/0885066617719750
32
Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, et al. The third international consensus definitions
for sepsis and septic shock (Sepsis-3). JAMA 2016;315:801-10
33