Anda di halaman 1dari 35

REFERAT

SEPSIS

Disusun Oleh:

Siti Nadzirotul Munawaroh


1102019232

Pembimbing:
dr. Syafrizal, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PASAR REBOFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 06 NOVEMBER – 30 DESEMBER 2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil’alamin, Puji dan syukur penulis panjatkan ke


hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan kepada
penulis untuk menyelesaikan penyusunan referat dengan judul “SEPSIS”.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.

Referat ini dibuat sebagai tugas dalam memenuhi penilaian dari


Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo
serta untuk menambah ilmu pengetahuan bagi penulis.Pada kesempatan kali
ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya
kepada dr. Syafrizal, Sp.P selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan serta arahannya, serta berbagai pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih jauh


dari kesempurnaandan masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan
maupun segi materi. Saya sebagai penulis mengharapkan kritik serta
masukan dari berbagai pihak yang bersifat membangun untuk perbaikan
penulis kedepannya. Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wa Rahmatullahi Wa Barakatuh.

Jakarta, 1 Desember 2023

Penulis
Siti Nadzirotul Munawaroh

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2

DEFINISI ................................................................................................................ 3

EPIDEMIOLOGI .................................................................................................... 5

ETIOLOGI .............................................................................................................. 6

PATOFISIOLOGI SEPSIS ..................................................................................... 8

KRITERIA DIAGNOSIS SEPSIS DAN SEPSIS BERAT .................................... 9

DEFINISI SEPSIS BERAT .................................................................................. 11

PENEGAKAN DIAGNOSIS SEPSIS .................................................................. 11

TATALAKSANA SEPSIS ................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34

2
Definisi

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan (life threatening


organ dysfunction) yang disebabkan oleh disregulasi imun terhadap infeksi. Sepsis
merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi, saat patogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi.
Rangkaian patofisiologi sepsis didasari terjadinya inflamasi sistemik yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi. Terjadinya gangguan pada sistem
koaglukosasi juga sangat berperan dalam timbulnya berbagai komplikasi yang
disebabkan oleh sepsis. Komplikasi yang ditimbulkan oleh sepsis dapat berupa
systemic inflammatory response syndrome (SIRS), disseminated intravascular
coaglukosation (DIC), renjatan septik dan gagal multi organ.

Dalam praktik klinis, sering terjadi kendala pada aspek diagnosis sepsis.
Hasil kultur darah baru bisa didapatkan klinisi setelah beberapa hari perawatan,
sedangkan terapi empirik antimikroba perlu segera diberikan. Kultur hanya
menunjukkan hasil positif pada 30-50% sampel. Pada pasien dengan penyakit
penyerta seperti diabetes melitus, penyakit ginjal kronik, imunokompromais, serta
pasien usia lanjut seringkali manifestasi klinis sepsis tidak tampak, sehingga sepsis
seringkali lolos terdiagnosis. Ketelitian dan pengalaman klinisi sangat diperlukan
dalam rangka diagnosis dan terapi sepsis.

Sepsis merupakan sindroma klinik akibat komplikasi infeksi berat yang


ditandai dengan peradangan sistemik dan penyebaran kerusakan jaringan. Pada
sindroma ini, jaringan mengalami perubahan dan ditemukan adanya tanda - tanda
peradangan berupa vasodilatasi, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, dan
akumulasi leukosit.

3
4
Epidemiologi

Sepsis merupakan salah satu penyebab terbanyak pasien dirawat di ruang


perawatan intensif anak (Pediatric Intensive Care Unit/PICU) dengan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi serta memerlukan biaya tinggi dalam perawatannya.
Epidemiologi sepsis pada anak bervariasi dari berbagai penelitian akibat populasi
dan kriteria diagnostik yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Pasien dewasa dan
anak memiliki perbedaan epidemiologi, fisiologi, predisposisi dan pendekatan tata
laksana sepsis. Di Amerika Serikat pada tahun 1995 terdapat 42.000 kasus sepsis
berat pada anak di bawah 19 tahun. Bayi berusia kurang dari 1 tahun berisiko 10
kali lebih rentan mengalami sepsis dibandingkan dengan anak yang lebih besar.

Program imunisasi nasional juga berdampak besar terhadap angka kejadian


sepsis. Hal ini berhubungan dengan etiologi sepsis berbeda-beda pada tiap
kelompok umur. Pada bayi, penyebab sepsis tersering adalah gangguan respiratori
dan penyakit jantung bawaan, sedangkan pada anak berusia 1-9 tahun penyebab
terbesarnya adalah gangguan neuro- muskular. Fokus infeksi juga bervariasi pada
berbagai kelompok umur. Bayi cenderung untuk mengalami bakteremia primer
sedangkan pada anak yang lebih besar lebih banyak mengalami infeksi pada sistem
respirasi. Sepsis berat lebih sering dialami anak dengan komorbiditas yang
mengakibatkan penurunan sistem imunitas seperti keganasan, transplantasi,
penyakit respirasi kronis dan defek jantung bawaan.

Data WHO pada tahun 1999 menyebutkan bahwa kejadian sepsis berat
meningkat 11% sedangkan angka kematian akibat sepsis berkurang dari 12,8%
pada tahun 1995 menjadi 10,5% pada tahun 1999. Studi multi senter yang dilakukan
di Australia dan New Zealand sepanjang tahun 2000 – 2012 menyebutkan bahwa
angka kematian akibat sepsis sebesar 18-20%, sedangkan pada tahun 2012
penelitian yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat menemukan angka
kematian sepsis sebesar 41% dan 28,3%. Pada tahun yang sama, Columbia
melakukan survei epidemiologi pada 1.051 pasien sepsis yang dirawat di 9 PICU.
Survei ini menemukan 56% pasien sepsis berusia <2 tahun, 12,9% berusia 2 – 5

5
tahun, dan 31% berusia >5 tahun. Fokus infeksi terbanyak pada penelitian ini adalah
traktus respiratorius sebesar 54%, diikuti oleh abdomen 18,3% dan susunan saraf
pusat sebesar 7%. Mortalitas pasien sepsis pada penelitian ini sebesar 18,3%.

Penelitian Sepsis Prevalence Outcomes and Therapies (SPROUT) pada


tahun 2015 mengumpulkan data PICU dari 26 negara, memperoleh data penurunan
prevalensi global sepsis berat (case fatality rate) dari 10,3% menjadi 8,9% (95%IK;
7,6-8,9%). Usia rerata penderita sepsis berat 3,0 tahun (0,7-11,0), infeksi terbanyak
terdapat pada sistem respirasi (40%), bakteremia (19%), abdomen (8%), susunan
saraf pusat (4%) dan sistem urogenital (4%). Disfungsi multiorgan terjadi pada 67%
kasus. Angka kematian selama perawatan di rumah sakit sebesar 25% dan tidak
terdapat perbedaan mortalitas antara PICU di negara berkembang dan negara maju.
Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh de Souza dkk, yaitu
fokus infeksi terbanyak pada sepsis anak adalah sistem pernapasan sebanyak
70,3%, diikuti oleh gastrointestinal 10,8%, infeksi aliran darah 9,2%, susunan saraf
pusat 6,3% dan saluran kemih 5,2%.

Di Indonesia, data epidemiologi sepsis pada anak sangat terbatas. Di unit


perawatan intensif anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta tahun
2009, sejumlah 19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat mengalami sepsis dengan
angka mortalitas 54%. Angka mortalitas ini menurun pada tahun 2014 menjadi
23,9% dari 209 pasien sepsis yang dirawat di PICU RSCM, dan 65% tahun 2020.
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 oleh Patriawati dkk di Yogyakarta
dengan subyek pasien anak sepsis yang menjalani perawatan PICU mempunyai
mortalitas sebesar 52%. Pada tahun 2016, Devina dkk. melakukan penelitian sepsis
pada anak di Medan dengan angka mortalitas sebesar 32% dari 40 pasien.
Mortalitas sepsis anak pada tahun 2020 di Manado sebesar 35,6%.

Etiologi

Sepsis adalah kegagalan fungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi


sistem imun yang dipicu oleh infeksi. Diagnosis dini dan tepat waktu mampu
meningkatkan survival rate pasien sepsis, untuk itu perlu diketahui mikroorganisme

6
penyebab sepsis. Penyebab sepsis paling sering adalah bakteri, namun virus, jamur,
dan parasit juga dapat menjadi menyebabkan sepsis. Penelitian de Souza dkk di
Amerika Selatan menemukan bahwa penyebab sepsis anak terbanyak adalah bakteri
gram negatif sebesar 20,9%, bakteri gram positif 16,7% dan virus 17,1%. Penyebab
bakteri gram negatif terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli
dan Bordetella pertusis sedangkan penyebab bakteri gram positif terbanyak adalah
Streptococcus pneumonia dan Methicilin-ressistant Staphylococcus aureus
(MRSA).

Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram negatif (60-70% kasus).


Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan bakteri Gram positif lain lebih
jarang menimbulkan sepsis dengan angka kejadian antara 20-40% dari seluruh
angka kejadian sepsis. Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga dilaporkan
dapat menimbulkan sepsis dengan kekerapan lebih jarang.

Terdapatnya lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein yang


merupakan komponen utama dari membran terluar bakteri gram negatif
berpengaruh terhadap stimulasi pengeluaran mediator proinflamasi, kemudian
menyebabkan terjadi inflamasi sistemik dan jaringan. Peptidoglikan merupakan
komponen dinding sel kuman dilaporkan juga dapat menstimulasi pelepasan
sitokin, juga berperan penting dalam proses agregasi trombosit.

Pembuktian adanya infeksi merupakan tantangan tersendiri dalam


menegakkan diagnosis sepsis. Pembuktian adanya infeksi mencakup berbagai
pemeriksaan fisis dan penunjang baik pemeriksaan laboratorium dan atau radiologi.
Pemeriksaan kultur darah, urin, feses sputum, maupun spesimen lain sesuai dengan
lokasi fokus infeksi yang dicurigai perlu dilakukan sebagai konfirmasi diagnostik.
Pemeriksaan dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan
serologi dapat pula membantu dalam mendeteksi patogen penyebab sepsis.

7
Patofisiologi Sepsis

Patofisiologi sepsis terdiri dari inisiasi respon imun pejamu terhadap


patogen dengan sistem imunitas bawaan (innate) dan mediator inflamasi,
disregulasi hemostasis, dan disfungsi sel, jaringan,serta organ.

8
Kriteria Diagnosis Sepsis dan Sepsis Berat

9
10
Definisi sepsis berat

Penegakan Diagnosis Sepsis

Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan disebabkan oleh


disregulasi sistem imun sebagai respons terhadap infeksi. Untuk menegakkan
diagnosis sepsis diperlukan bukti adanya infeksi berupa tanda SIRS, faktor
predisposisi dan anamnesis adanya kecurigaan ke arah infeksi baik dari sistem saraf
pusat, respirasi, saluran kemih, saluran cerna dan lain sebagainya. Bila terdapat 2

11
dari 4 tanda SIRS langkah berikutnya adalah mencari tanda bahaya (warning sign)
adanya risiko terjadinya disfungsi organ pada pasien yang dicurigai mengalami
sepsis. Konsensus sepsis 3 merekomendasikan quick-sequential organ failure
assessement (qSOFA) pada pasien dewasa yang dicurigai mengalami sepsis.
Disfungsi organ yang mengancam kehidupan ditetapkan dengan menggunakan skor
PELOD-2 dengan titik potong ≥10.

1. Infeksi
Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda
infeksi, dan reaksi inflamasi. Faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor
genetik, usia, status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas (asplenia,
penyakit kronis, transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat
terapi (steroid, antibiotik, tindakan invasif).
Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoris.
Secara klinis ditandai oleh demam atau hipotermia, atau adanya fokus
infeksi. Secara laboratoris, digunakan penanda (biomarker) infeksi:
pemeriksaan darah tepi (leukositosis/leukopenia,
trombositopenia/trombositosis, rasio netrofil:limfosit, shift to the left),
pemeriksaan morfologi darah tepi (granula toksik, Dohle body, dan vakuola
dalam sitoplasma), c-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin. Sepsis
memerlukan pembuktian adanya mikroorganisme yang dapat dilakukan
melalui pemeriksaan pulasan gram, hasil kultur (biakan), atau PCR.
Pencarian fokus infeksi lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksaan analisis
urin, feses rutin, lumbal pungsi dan pencitraan sesuai indikasi.
Kemampuan menduga etiologi sepsis sangatlah penting untuk
memberikan terapi yang tepat sesuai mikroorganisme yang dituju.
Pemberian antibiotik empirik spektrum luas merupakan terapi sementara
yang segera akan menjadi terapi definitif pada saat etiologi sepsis telah
diketahui.
Pada pasien klinis sepsis namun telah diketahui etiologinya, misal
pada demam tifoid dengan komplikasi, tata laksana akan diberikan sesuai

12
panduan infeksi S. Typhi. Tata laksana berbagai penyakit infeksi dan
komplikasinya, yang mungkin bermanifestasi sepsis, tata laksananya
disesuaikan dengan panduan atau pedoman penyakit infeksi tersebut yang
berlaku baik secara nasional dan/atau internasional.
Respons inflamasi akan terjadi apabila mikroorganisme masuk ke
dalam tubuh dan akan memberikan reaksi sistemik, sebagai berikut:

1. Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau hipotermia
(suhu inti <36°C)
2. Takikardia: rerata denyut jantung di atas normal sesuai usia tanpa
adanya stimulus eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan
denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan lebih dari 30 menit sampai 4
jam.
3. Bradikardia (pada anak <1 tahun): rerata denyut jantung di bawah
normal sesuai usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta-blocker,
atau penyakit jantung kongenital; atau penurunan denyut jantung yang
tidak dapat dijelaskan selama lebih dari 30 menit; dan
4. Takipnea: rerata frekuensi napas di atas normal

2. Kecurigaan Disfungsi Organ


Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan 2 dari 3
tanda klinis: penurunan kesadaran yang ditandai dengan Glasgow Coma
Scale (GCS) < 11, saturasi oksihemoglobin > 92% hanya dapat dicapai

13
dengan terapi oksigen atau ventilasi mekanik, dan gangguan kardiovaskular,
yang ditetapkan bila ditemukan sedikitnya dua dari tiga gelaja berikut, yaitu
pemanjangan waktu pengisian kapiler, perbedaan suhu inti dan perifer > 30
C, dan produksi urin < 0,5 mL/kg/jam.
Secara laboratoris, respons inflamasi berdasarkan pada jumlah
leukosit, CRP, transaminase serum, dan prokalsitonin (Tabel 3). Diduga
suatu infeksi jika dijumpai predisposisi, fokus, tanda dan gejala klinis
infeksi berupa tiga dari empat gejala klinis di atas, ditambah dua atau lebih
penanda biologis infeksi.

3. Kriteria Disfungsi Organ

Disfungsi organ meliputi disfungsi sistem kardiovaskular, respirasi,


hematologis, sistem saraf pusat, dan hepatik.

Penunjang Diagnosis Infeksi

Kultur darah, merupakan baku emas untuk mendiagnosis sepsis. Tata cara
pengambilan spesimen, sebagai berikut:

1. Alat

a. Wing needle.
b. Botol kultur darah (Bactec/BacTAlert).
c. Antiseptik.
d. Sarung tangan steril.
e. Kapas alcohol.

2. Waktu Pengambilan Spesimen

a. Darah diambil sebaiknya pada saat suhu badan naik.


b. Untuk tifoid diambil pada demam minggu pertama.
c. Sebaiknya sebelum pemberian antibiotik atau setelah 3 hari
antibiotik dihentikan.

14
d. Bila pasien telah mendapat antibiotik, kultur tetap harus diambil
dengan memberikan catatan jenis antibiotik yang telah diberikan.

3. Cara Pengambilan Spesimen Darah


1. Pilih darah vena bukan dari darah arteri juga bukan darah dari
peralatan kateter intravena.
2. Darah diambil secara aseptik. Bersihkan terlebih dahulu daerah yang
akan diambil darah dengan povidone-iodine kemudian alkohol 70%.
3. Catatan untuk dekontaminasi kulit dan pencegahan kontaminasi:
Jenis antiseptik yang direkomendasikan: isoprophyl alkohol 70%,
iodium tincture, povidone iodine, iodofor, chlorine peroxida,
chlorhexidine glukonat (anak usia <2 tahun tidak boleh memakai
chlorhexidine).
4. Biarkan antiseptik mengering (30 detik untuk iodium tincture, 1,5 –
2 menit untuk iodophore).
5. Kulit yang sudah didekontaminasi tidak boleh dipalpasi ulang
kecuali memakai sarung tangan steril.
6. Ambil 2 set dalam satu waktu pada lokasi yang berbeda dengan
tenggang waktu 5 sampai 10 menit (untuk kasus infektif
endokarditis ambil 3 set darah dalam satu waktu dari tiga lokasi yang
berbeda). Satu set adalah satu botol kultur darah aerob dan 1 botol
kultur darah anaerob pada satu sisi lengan.
4. Catatan Untuk Volume Darah Yang Diambil/Botol Kultur Darah

1) Anak-anak: darah vena diambil 5-10 ml.


2) Neonatus - Infant: darah vena diambil 1-3 ml.
a. Masukkan spesimen darah secara aseptik (sebelumnya bagian tutup
botol dibersihkan dengan alkohol 70%).
Catatan:
Anak-anak, infant-neonatus: dimasukkan ke dalam botol kultur
darah khusus pediatric (contoh: BACTEC® Ped Plus).

15
b. Spesimen darah didistribusikan sesuai kebutuhan (aerob atau
anaerob).
c. Pengiriman botol kultur darah harus sudah sampai di laboratorium
dalam waktu ≤2 jam.
d. Jika terjadi penundaan pengiriman ke laboratorium, spesimen dalam
botol kultur darah dapat disimpan pada suhu ruang atau inkubator
selama 2 x 24 jam (jangan dimasukkan dalam lemari pendingin).

Tatalaksana Sepsis

Pengambilan kultur harus dikerjakan secara rutin dan sebaiknya dilakukan


sebelum pemberian antibiotik.

1. Terapi Antibiotik Rasional pada Sepsis


Pemberian antibiotik merupakan salah satu terapi utama yang harus
diberikan pada kasus infeksi bakteri. Antibiotik didefinisikan sebagai suatu
substansi yang dihasilkan dari berbagai jenis mikroorganisme seperti jamur
dan bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Era
antibiotik modern dimulai dengan ditemukan sulfanilamid pada tahun 1937
dan penisilin pada tahun 1941. Seiring tingginya angka kejadian infeksi
maka penggunaan antibiotik menjadi luas. Pemberian antibiotik tidak
rasional merupakan suatu faktor risiko tersendiri bagi munculnya
karakteristik bakteri baru. Dalam penggunaan antibiotik rasional, terdapat 3
aspek yang saling berkaitan erat, yaitu:
a. Aspek antibiotik
Perlu diperhatikan aspek farmakokinetik dan farmakodinamik
antibiotik. Efek farmakokinetik meliputi absorpsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Sementara itu, pada aspek farmakodinamik
antibiotik dibagi menjadi dua, yaitu: antibiotik yang bersifat
bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroorganisme) dan
antibiotik yang bersifat bakterisidal (membunuh mikroorganisme).
b. Aspek pejamu

16
Beberapa aspek pejamu yang perlu diperhatikan dalam pemberian
antibiotik antara lain derajat infeksi intensitas infeksi, tempat infeksi,
usia, berat badan, faktor genetik dan penyakit komorbid, status imun,
kehamilan atau laktasi, riwayat alergi dan faktor sosial ekonomi.
Adanya berbagai komorbid pada pejamu seringkali juga menyebabkan
menurunnya efikasi dan adekuasi terapi antibiotik, sehingga juga
merupakan sebuah faktor risiko terjadi resistensi antibiotik. Hal yang
perlu diperhatikan pada aspek pejamu adalah sebagai berikut:
1). Kelompok pejamu dengan status imun rendah (faktor risiko
internal), antara lain adalah:
a). Pasien dengan penyakit kronik, seperti diabetes melitus,
penyakit ginjal kronik, sirosis hati, dan sebagainya.
b). Pasien dengan penyakit keganasan.
c). Pasien dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV).
d). Pasien malnutrisi.
e). Pasien geriatri (lanjut usia).
2). Kelompok pejamu dari lingkungan rentan infeksi (faktor
eksternal), antara lain:
a). Pasien dirawat inap di rumah sakit dalam waktu lama.
b). Pasien menjalani rawat inap di ruang perawatan intensif.
c). Pasien dengan instrumentasi/pengguna peralatan
kedokteran, seperti dialisis peritoneal, kateter urin,
trakeostomi, dan sebagainya.
d). Pasien sosial ekonomi rendah dari komunitas higiene
buruk.
e). Kelompok individu di komunitas yang tinggal bersama
dengan pasien terinfeksi bakteri.

c. Aspek bakteri
Bakteri penyebab infeksi merupakan faktor penting
dipertimbangkan untuk menentukan terapi kausatif. Studi epidemiologi

17
mengenai pola sensitivitas dan resistensi bakteri merupakan hal sangat
penting dilakukan guna kebijakan pemberian terapi antibiotik empiris.
Terapi antibiotik perlu diberikan segera setelah diagnosis sepsis
ditegakkan dengan menggunakan strategi deeskalasi, yaitu dimulai
dengan pemberian antibiotik empiris kemudian disesuaikan atau
dihentikan sesuai dengan respons klinis atau hasil kultur. Terapi
antibiotik empiris yakni pemberian antibiotik spektrum luas dapat
diberikan baik secara tunggal maupun kombinasi, dapat memiliki
spektrum terhadap berbagai kemungkinan kuman penyebab berdasarkan
sindrom klinis dan pola kuman yang telah dikumpulkan sebelumnya
(antibiogram).
Contoh antibiotik spektrum luas untuk terapi empiris adalah
golongan karbapenem, sefalosporin generasi 4, piperacilin tazobactam.
Obat-obat tersebut dapat diberikan secara tunggal atau dikombinasikan
dengan golongan kuinolon anti-pseudomonas (siprofloksasin,
levofloksasin) atau aminoglikosida. Antibiotik yang bersifat
bakterisiostatik tetap dapat digunakan, tergantung pada infeksi
penyebab sepsis. Contoh: makrolida dapat diberikan pada pasien sepsis
yang disebabkan pneumonia atipikal. Antibiotik empiris diberikan dosis
optimal sesuai dengan panduan, dengan memperhatikan fungsi organ,
keamanan dan ketersediaan. Antibiotik perlu diberikan minimal selama
7 hari.

2. Terapi Antibiotik pada Mikroorganisme Resisten Antibiotik


a. Patogenesis Resistensi Bakteri Secara mikrobiologik, resistensi
1) Resistensi alami
Kuman yang sejak awal memang tidak pernah sensitif
terhadap antibiotik tertentu dikatakan memiliki resistensi alami,
misalnya: Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap
kloramfenikol, dan sebagainya.
2) Resistensi didapat

18
Suatu keadaan dimana kuman yang awalnya sensitif
terhadap antibiotik tertentu mengalami perubahan sifat menjadi
resisten. Untuk menangani bakteri yang telah memiliki resistensi
alami terhadap suatu jenis antibiotik tertentu, pemberian
antibiotik lain yang secara empiris terbukti memiliki sensitivitas
tinggi terhadap bakteri tersebut diperlukan. Di sisi lain, untuk
menangani bakteri dengan resistensi didapat, perlu diketahui
berbagai penyebab terjadi resistensi didapat tersebut. Resistensi
didapat bisa disebabkan oleh 2 faktor:
a) Faktor endogen
Faktor endogen yang menyebabkan resistensi adalah
perubahan sifat kuman yang terjadi bukan akibat transfer
genetik dari kuman lain. Mutasi genetik terjadi secara
internal, namun hal ini dapat tidak disertai perubahan
patogenitas dan viabilitas mikroorganisme tersebut. Contoh:
pemberian antibiotik amoksisilin yang tidak adekuat atau
tidak sesuai indikasi dapat menyebabkan terjadi perubahan
enzim internal kuman dan perubahan sifat kuman. Kuman
yang pada awalnya sensitif terhadap amoksisilin, berubah
menjadi resisten.
b) Faktor eksogen
Faktor eksogen yang menyebabkan resistensi adalah
perubahan sifat kuman yang terjadi akibat transfer genetik
dari kuman lain, misal melalui plasmid dan transposon yang
membawa gen pengkode tertentu. Faktor eksogen dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan sifat kuman yang
mendapat transfer gen pengkode tersebut sehingga kuman
yang awalnya sensitif terhadap antibiotik tertentu menjadi
resisten. Plasmid merupakan konjugat yang mampu
membawa gen pengkode protein yang diperlukan untuk
proses konjugasi. Transposon merupakan konjugat terdapat

19
pada kromosom sel bakteri dan dapat berpindah sendiri dari
spesies satu ke spesies lain, bahkan juga dari bakteri Gram
negatif ke bakteri Gram positif atau sebaliknya. Selain
mutasi genetik, perubahan yang terjadi pada komponen
bakteri juga berperan pada terjadinya resistensi antibiotik,
misal penurunan permeabilitas membran luar
mikroorganisme (misalnya pada kuman Gram negatif)
terhadap antibiotik tertentu akan mengakibatkan penurunan
infiltrasi antibiotik ke dalam sitoplasma bakteri atau
perubahan komponen enzimatik bakteri misalnya
terbentuknya beta laktamase yang menyebabkan bakteri
resisten terhadap antibiotik golongan beta laktam.
Saat ini bakteri patogen resisten kerap dihubungkan
dengan produksi enzim betalaktamase oleh bakteri yang
mampu menghidrolisis cincin beta-laktam yang terdapat
pada antibiotik golongan penisilin dan turunannya serta
golongan sefalosporin. Terjadinya perubahan endogen dan
eksogen bakteri membuat bakteri yang awalnya tidak
memproduksi betalaktamase, menjadi mampu memproduksi
betalaktamase.

b. Faktor Risiko Infeksi Bakteri Resisten Antibiotik di Komunitas


Bila ditinjau dari segi lingkungan, pada tiga daerah di Amerika
Serikat Fridkin SK dkk. menemukan bahwa infeksi MRSA mayoritas
terjadi pada kalangan masyarakat kulit hitam dengan sosio-ekonomi
rendah.16 Hal ini mungkin dapat dijelaskan oleh adanya faktor eksogen
lebih menonjol. Pada kondisi sosioekonomi rendah dengan higiene
lingkungan buruk, kemungkinan persinggungan antara bakteri satu
dengan yang lain menjadi lebih besar sehingga, terjadi peluang transfer
genetik (via plasmid dan transposon) antara bakteri satu dengan yang
lain menjadi lebih besar.

20
Fridkin SK dkk. juga menemukan bahwa infeksi MRSA di
komunitas ternyata lebih banyak terjadi pada individu kulit hitam
berumur kurang dari 2 tahun. Hal ini kemudian dikaitkan dengan aspek
pejamu. Pada usia kurang dari 2 tahun, status imun masih rendah.
Moran GJ dkk. pada penelitian yang dilakukan pada pasien dari
komunitas yang masuk di 11 unit gawat darurat di Amerika Serikat
mendapatkan bahwa bakteri patogen resisten yang terbanyak ditemukan
adalah MRSA. Bakteri MRSA ditemukan paling banyak pada sediaan
yang diambil dari manifestasi infeksi berupa abses, disusul dengan
infeksi spontan lain yang tidak diketahui faktor presipitasinya. Pada
penderita HIV, infeksi MRSA hanya dijumpai kurang lebih 4%
populasi. Pada pekerja kesehatan, homoseksual, individu yang telah
mengkonsumsi antibiotik sebelumnya, infeksi MRSA dijumpai secara
berturutan pada 5%, 5%, dan 34% populasi.
Pada studi terdahulu didapatkan insidens bakteri penghasil ESBL
cukup tinggi sebagai penyebab infeksi di komunitas. Baiio JR dkk.
menemukan 65% pasien dengan kultur urin dan darah yang memiliki
isolat bakteri penghasil ESBL berasal dari komunitas. Sebagian besar
subjek penelitian dengan bakteri penghasil ESBL adalah wanita dengan
infeksi saluran kemih yang memiliki riwayat berobat ke klinik rumah
sakit atau ke pusat pelayanan primer sebagai pasien rawat jalan.18
Faktor endogen terjadi perubahan karakteristik bakteri lebih menonjol,
mengingat adanya kemungkinan terapi antibiotik yang tidak diberikan
secara tepat guna.

c. Faktor Risiko Infeksi Bakteri Resisten Antibiotik di Rumah Sakit


Penggunaan antibiotik tidak tepat merupakan sumber masalah
terjadi mutasi endogenik pada bakteri yang akhirnya menyebabkan
timbul bakteri berkarakteristik baru yang resisten terhadap berbagai
jenis antibiotik.19 Penggunaan instrumen medis, seperti kateter urin,
naso-gastric tube (NGT), continuous ambulatory peritoneal dialysis

21
(CAPD) dalam jangka lama juga merupakan faktor risiko terjadi
paparan infeksi bakteri patogen resisten.
MDR Pseudomonas kerapkali dihubungkan dengan infeksi
nosokomial. Angka resistensi Pseudomonas spp terhadap antibiotik
beta-laktam pada individu rawat inap cukup tinggi. Tingginya angka
penggunaan antibiotik betalaktam dan kekerapkan Pseudomonas
sebagai infeksi nosokomial menjelaskan karakteristik Pseudomonas spp
baru, sebagai MDR Pseudomonas.20 Penelitian Miragaia dkk. pada
lima rumah sakit di Denmark dan sebuah rumah sakit di Islandia
mendapatkan 30% isolat MRSE pada pasien rawat inap kemudian
dikaitkan juga dengan penggunaan instrumen medis.21 Smith TL pada
dua laporan kasus mengenai infeksi VRSA, menemukan kesamaan pada
dua individu yang dilaporkan, keduanya tercatat sebagai pengguna
vankomisin jangka lama, pengguna alat peritoneal dialisis, pasien
diabetes melitus dengan infeksi pada peritoneum.

d. Pemilihan Antibiotik pada Bakteri Resisten Antibiotik


Saat ini antibiotik pilihan yang digunakan untuk terapi pada infeksi
MRSA adalah vankomisin, teikoplanin, linezolid, ceftobiprol.
Vankomisin merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh Streptomyces
orientalis, bersifat bakterisidal kuat untuk stafilokokus dan bekerja pada
target dinding sel bakteri. Kasus VRSA pertama ditemukan di Jepang.
Dikatakan bahwa kasus Staphylococcus aureus resisten terhadap
vankomisin masih jarang. Tingkat resistensi yang dijumpai masih
berada pada taraf intermediate, sehingga banyak ahli menyebut sebagai
Vancomycin Intermidiate Staphylococcus aureus (VISA).
MDR Pseudomonas merupakan bakteri gram negatif yang
memproduksi betalaktamase. Berbagai kepustakaan dan para ahli masih
berkesimpulan bahwa kepekaan antibiotik golongan meropenem dan
imipenem masih tinggi terhadap MDR Pseudomonas, sehingga

22
digunakan dalam pengobatan infeksi nosokomial disebabkan
Pseudomonas spp.
Kepekaan ESBL masih tergolong cukup tinggi terhadap antibiotik
golongan karbapenem, kuinolon, ceftazidim, piperacillin-tazobactam.
Sehingga karbapenem masih sebagai terapi pilihan pada kasus individu
dengan infeksi ESBL. Pemberian antibiotik dengan antibeta laktamase,
seperti sulbatam, tazobactam dan asam klavulanat juga merupakan
terapi pilihan yang dapat diberikan pada ESBL.

23
e. Terapi Antibiotik berbasiskan Pedoman Menurut Lokasi Infeksi
Pilihan antibiotik empiris menurut lokasi infeksi

24
25
26
3. Resusitasi awal dan Penanganan Infeksi

27
28
29
4. Tata Laksana Hemodinamik dan Terapi Penunjang
a. Terapi Cairan
b. Vasopresor
c. Inotropik
d. Kortikosteroid
e. Pemberian Komponen Darah
f. Ventilasi Mekanik pada Sepsis dengan Acute Respiratory Distress
Syndrome
g. Sedasi, Analgesia dan Obat Pelumpuh Otot
h. Terapi Pengganti Ginjal
i. Dukungan Nutrisi Pasien Sepsis

5. Prediksi Mortalitas Pasien Sepsis Berat


Dewasa ini, berkembang berbagai penanda biologis (biomarker)
untuk memprediksi luaran pasien sepsis berat. Penanda biologis yang
banyak diteliti dan terbukti mampu memprediksi luaran pasien sepsis berat
adalah bersihan laktat. Selain penanda biologis, terdapat beberapa sistem
skor yang dapat digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien ICU,
namun tidak semua skor tersebut digunakan untuk pasien sepsis. Beberapa
sistem skor yang sering digunakan antara lain acute physiology and chronic
health evaluation (APACHE) II, simplified acute physiology score (SAPS),
sequential organ failure assessment (SOFA), modified sequential organ
failure assessment (MSOFA). Untuk memprediksi mortalitas, sistem skor
berguna untuk menilai keadaan umum pasien termasuk disfungsi organ
yang terjadi secara obyektif.
APACHE II dikembangkan oleh Klauss dkk. berdasarkan data
pasien ICU pada 13 rumah sakit di Amerika tahun 1979-1981. Sampel yang
masuk penelitian diagnosisnya bervariasi baik medis maupun bedah. Sepsis
didapatkan hanya pada 180 dari 5030 sampel (3,5%). APACHE II menilai
12 variabel fisiologi disertai dengan penilaian usia dan penyakit kronik.
Skor tersebut telah digunakan pada berbagai macam kondisi seperti

30
pankreatitis, trauma, infark miokard akut, pasca transplantasi hati, dan
lainlain dengan hasil bervariasi.131 Pada pasien sepsis karena pneumonia
komunitas, skor APACHE II memiliki area di bawah kurva area under
receiver operating characteristic curve (AUC) 0,64, sedang pada sepsis
karena infeksi intraabdomen didapatkan AUC

31
Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ
yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap
infeksi. Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respondis regulasi yang
mengancam jiwa. Kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah
tidak membantu lagi. Di perawatan ICU digunakan skor SOFA (Sequential Organ
Failure Assesment)

Telah diketahui bahwa imunosupresi berperan penting pada terjadinya


mortalitas fase lanjut. Pasien yang sebelum mengalami sepsis sudah mengalami
imunosupresi akibat berbagai faktor mungkin akan memiliki prognosis yang lebih
buruk dibanding pasien imunokompeten yang mengalami sepsis. Hal tersebut
diperlihatkan oleh Damas dkk. yang menunjukkan beratnya kondisi klinis sebelum
sepsis merupakan faktor lebih berperan terhadap disfungsi organ dan mortalitas
dibanding infeksi itu sendiri. Pasien yang sebelumnya memiliki keadaan klinis lebih

32
buruk dan komorbiditas lebih banyak juga lebih rentan terhadap mortalitas pasien
sepsis. Pentingnya faktor predisposisi juga terlihat dalam pengembangan sistem
skor SAPS III. Pada pasien sepsis, faktor predisposisi menjelaskan 44,8% kekuatan
prediksi mortalitas SAPS III, diikuti faktor respons tubuh/disfungsi organ (35,3%)
lalu faktor infeksi (19,8%).

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Kepmenkes, 2017, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


HK.01.07/MENKES/342/2017 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Sepsis, Jakarta.
2. Purba D., Lubis H., Ginting Y. (2017). Koagulasi Intravaskular Diseminata pada
Sepsis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara, Medan, Indonesia.

34

Anda mungkin juga menyukai